Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

Pengaruh Kebudayaan Tiongkok Dan Zaman Permulaan Buddhisme

Kelompok 3

Nama : 1. Rifqi Galih Adha Subali (3020009)

2. Kornelius Chandra Setiawan (3019012)

Mata Kuliah : Sejarah Asia Timur

Dosen Pengampu : Agus Susilo,M.Pd

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA

PRODI SEJARAH
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Pengaruh Kebudayaan Tiongkok Dan Zaman
Permulaan Buddhisme ini dengan tepat waktunya. Adapun tujuan dari penulis makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas dari bapak Agus Susilo,M.Pd.Saya selaku penulis
mengucapkan terimakasih kepada bapak Agus Susilo.M.Pd selaku dosen pengampu mata
kuliah sejarah asia timur yang telah memberikan tugas ini, sehingga dapat menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan sesuatu dengan bidang studi yang kami tekuni. Penulis juga
mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa
sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah ini dengan judul “Pengaruh Kebudayaan Tiongkok Dan Zaman Permulaan
Buddhisme "

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Demikian, semoga makalah ini dapat
bermanfaat. Kami ucapkan Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Lubuklinggau, Oktoberr 2021.

Penulis

I
DAFTAR ISI

BAB I...............................................................................................................................................4

PENDAHULUAN...........................................................................................................................4

A.Latar Belakang.........................................................................................................................4

B.Rumusan Masalah....................................................................................................................5

C.Tujuan.......................................................................................................................................5

BAB II.............................................................................................................................................6

ISI....................................................................................................................................................6

1. Pengaruh Kebudayaan Tiongkok.............................................................................................6

2. Zaman Permulaan Buddhisme...............................................................................................16

BAB III..........................................................................................................................................22

PENUTUP.....................................................................................................................................22

1. Kesimpulan............................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................23

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sebelum ajaran Kong Fu Zi dan Meng Zi, bangsa Tiongkok menganut kepercayaan dewa-
dewa yang dianggap memiliki kekuatan alam. Dewa-dewa yang menerima pemujaan
tertinggi dari mereka adalah Feng-Pa (dewa angin), Lei-Shih (dewan angin taufan yang
digambarkan sebagai naga besar), T'sai-Shan (dewa penguasa bukit suci), dan Ho-Po.
Menurut kepercayaan Tiongkok kuno, dunia digambarkan sebagai sebuah segiempat yang di
bagian atasnya ditutupi oleh 9 lapisan langit. Di tengah-tengah dunia itulah terletak daerah
yang didiami bangsa Tiongkok yang disebut T'ienhsia. Daerah di luar T'ien-hsia dianggap
sebagai daerah kosong tempat tinggal para hantu dan Dewi Pa (penguasa musim semi).
Sistem religi ini termasuk didalamnya kepercayaan, sistem nilai, pandangan atau upacara
kenegaraan. Pemujaan dan penghormatan kepada leluhur sangat di junjung tinggi oleh
masyarakat Tiongkok. Anak laki-laki mempunyai kewajiban berdoa untuk arwah orang tua
atau leluhur secara periodik. Sebagai penghormatan, makam leluhur dibangun di tempat yang
tinggi dan subur. Bangsa Tiongkok juga percaya kepada dewa-dewa alam (dewa sungai,
dewa gunung, dewa laut, dan lain-lain) serta siluman-siluman (ular, kera, babi, dan lain-lain).
Dewa tertinggi adalah dewa Shang Ti (dewa angin). Bangsa Tiongkok percaya pada banyak
dewa atau Polytheisme. Mereka memuja dan menganggap dewa-dewa memiliki kekuatan
alam. Dunia digambarkan sebagai bidang segiempat dan di atasnya tertutup oleh langit yang
terdiri dari sembilan lapisan.

Buddhisme yang masuk di Cina bersintesis dengan aliran-aliran Cina terutama


Konfusianisme dan Taoisme. Hasil paling nyata dari pertemuan alam pikiran ini adalah
Mazhab Buddhisme Ch’an. Buddhisme Ch’an mengajarkan bahwa dalam kepercayaan bahwa
pikiran harus dijaga agar tetap murni dan cerah. Pikiran dapat menangkap kebenaran
mendasar alam semesta, kemudian dapat memperoleh kodrat Buddha, nirwana atau
keselamatan jiwa. Di sinilah dalam pemikiran filsafat Cina Mazhab Buddhisme Ch’an, bahwa
nirwana atau keselamatan jiwa tidak hanya diperoleh melalui Buddhisme, Taoisme, atau
Konfusianisme saja, akan tetapi perlu kelenturan untuk mensintesakannya.

1
Neo-Konfusianisme merupakan aliran yang muncul sebagai reaksi terhadap masuk dan
berkembangnya Buddhisme di Cina. Masuknya Buddhisme ke Cina merupakan suatu
peristiwa bersejarah dalam hubungan kebudayaan antara Cina dengan India. Hal itu juga
mempunyai arti yang jauh melebihi kedatangan suatu agama begitu saja. Bagi segenap
bangsa Cina, entah mereka menerima atau menolak Buddhisme, berarti untuk selanjutnya
dunia dipandangnya secara baru, serta alam semesta dipahamkan sebagai sesuatu yang sangat
berbeda dibanding pemahaman yang sudah ada.

B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh kebudayaan tiongkok ?

2. Bagaimana zaman permulaan buddhisme ?

C.Tujuan
1.Untuk mengetahui dan memahai bagaimana pengaruh kebudayaan tiongkok

2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana permulaan buddhisme

2
BAB II

ISI

1. Pengaruh Kebudayaan Tiongkok


Sebelum ajaran Kong Fu Zi dan Meng Zi, bangsa Tiongkok menganut kepercayaan dewa-
dewa yang dianggap memiliki kekuatan alam. Dewa-dewa yang menerima pemujaan
tertinggi dari mereka adalah Feng-Pa (dewa angin), Lei-Shih (dewan angin taufan yang
digambarkan sebagai naga besar), T'sai-Shan (dewa penguasa bukit suci), dan Ho-Po.
Menurut kepercayaan Tiongkok kuno, dunia digambarkan sebagai sebuah segiempat yang di
bagian atasnya ditutupi oleh 9 lapisan langit. Di tengah-tengah dunia itulah terletak daerah
yang didiami bangsa Tiongkok yang disebut T'ienhsia. Daerah di luar T'ien-hsia dianggap
sebagai daerah kosong tempat tinggal para hantu dan Dewi Pa (penguasa musim semi).
Sistem religi ini termasuk didalamnya kepercayaan, sistem nilai, pandangan atau upacara
kenegaraan. Pemujaan dan penghormatan kepada leluhur sangat di junjung tinggi oleh
masyarakat Tiongkok. Anak laki-laki mempunyai kewajiban berdoa untuk arwah orang tua
atau leluhur secara periodik. Sebagai penghormatan, makam leluhur dibangun di tempat yang
tinggi dan subur. Bangsa Tiongkok juga percaya kepada dewa-dewa alam (dewa sungai,
dewa gunung, dewa laut, dan lain-lain) serta siluman-siluman (ular, kera, babi, dan lain-lain).
Dewa tertinggi adalah dewa Shang Ti (dewa angin). Bangsa Tiongkok percaya pada banyak
dewa atau Polytheisme. Mereka memuja dan menganggap dewa-dewa memiliki kekuatan
alam.

Dunia digambarkan sebagai bidang segiempat dan di atasnya tertutup oleh langit yang terdiri
dari sembilan lapisan. Di tengah-tengah dunia yang berbentuk segiempat terletakT’ienhsia,
yaitu suatu daerah yang didiami oleh bangsa Tiongkok. Daerah T’ienhsia merupakan daerah
yang didiami oleh bangsa Barbar. Di luar daerah bangsa-bangsa Barbar terdapat daerah
kosong dan menjadi tempat tinggal para hantu dan Dewi Pa, yang menguasai musim
kemarau. Di sebelah timur dan selatan negara Tiongkok ada empat lautan besar yang disebut
Su-hai.

3
Dewadewa yang dipuja bangsa Tiongkok pada saat itu di antaranya Feng Pa (Dewa angin),
Lei-Shih (Dewa Angin Topan), Tai-Shan (dewa yang menguasai bukit suci), dan lain
sebagainya. Masyarakat lembah sungai kuning menganut polytheisme. Mereka memuja
dewa-dewi yang mempunyai kekuatan alam. Dewa yang mereka sembah antara lain: Feng Pa
(dewa angin), Lei -Shih (dewa angin topan yang digambarkan sebagai naga besar), Tai Shan
(dewa yang menguasai bukit suci), Ho Po (dewa penguasa sungai Hoang-Ho). Untuk memuja
Ho Po setiap tahun diadakan upacara yang dipimpin oleh para pendeta perempuan dengan
memberi sesaji berupa gadis tercantik di Tiongkok yang diterjunkan di sungai Hoang Ho
tersebut. Pegunungan, sungai-sungai, dan angin semuanya merupakan dewa-dewa yang
penting. Dewa –dewa alam ini milik Bumi, yang merupakan imbangan ilahiah dari Di, Dewa
Langit. Karena mereka bisa mempengaruhi panen, mereka ditundukkan dan dibujuk dengan
sesajian. Akan tetapi yang lebih penting adalah leluhur kerajaan, yang kultusnya merupakan
inti agama Shang. Shang percaya bahwa ruh orang mati bisa jadi berbahaya; jadi, sanak
saudara mengubur orang yang meninggal di dalam peti mati kayu yang tebal, menghiasi jasad
mereka dengan permata hijau lumut, dan menyumpal semua lubang, agar ryhnya tidak lolos
keluar dan memangsa orang-orang yang masih hidup. Ritual-ritual dirancang untuk
mengubah hantu yang berpotensi menimbulkan masalah ini menjadi kehadiran yang
menolong dan baik hati.

Orang mati diberi nama baru dan hari pemujaan khusus dengan harapan dia kini akan
menjadi kebajikan yang membantu komunitas. Dengan berlalunya watu, seorang leluhur
menjadi lebih kuat, sehingga dirancanglah ritual-ritual untuk membujuk orang yang baru mati
agar menyampaikan permohonan mereka kepada leluhur yang lebih tinggi, yang mungkin,
pada gilirannya, bisa menjadi perantara dengan Dewaa Di. Dewa langit adalah dewa yang
mendapat pemujaan tertinggi. Masyarakat Tiongkok memuja dewa langit yang disebut
Shang, karena langit adalah pemberi hujan dan panas matahari. Sedangkan bumi sebagai
lahan yang menerima sinar matahari dan hujan dari langit. Sehingga masyarakat juga memuja
dewi bumi. Selain pemujaan kepada dewa-dewa masyarkat Tiongkok juga memuja arwah
leluhur. Upacara pemujaan dilakukan oleh anak laki-laki tertua. Kepercayaan ini tidak
langsung menghilang ketika muncul filsafat seperti Lao Tse dan Kong Fu Tse yang
mengajarkan berbagai tentang norma dan nilai.

4
Pada zaman dinasti Zhou, sama seperti pada dinasti Shang, masyarakatnya mengadakan
upacara kurban “tuan rumah” (bin) khusus setiap lima tahun dan mengundang dewa-dewa
alam dan para leluhur untuk penjamuan besar. Selama sepuluh hari, istana mengadakan
persiapan yang banyak, berpuasa, membersihkan kuil, dan mengeluarkan prasasti memorial
para leluhur dari ceruk mereka dan menempatkannya di halaman istana. Pada hari pesta, raja
dan ratu berjalan sendirisendiri ke halaman, kemudian anggota keluarga raja yang lebih
muda, masingmasing menampilkan sosok seorang leluhur, digiring masuk oleh pendeta,
mengucapkan salam dengan hormat, dan diantar ke tempat mereka masing-masing. Hewan
disembelih untuk menghormati mereka, dan ketika dagingnya sedang dimasak, para pendeta
berlarian di sepanjang jalan sembari memanggil dewa-dewa yang tersasar untuk menghadiri
perjamuan itu. Pendeta meneriakkan, “Adakah kau disini? Adakah kau disini?” Musik indah
mengiringi pesta itu dan setiap orang memainkan peran mereka dengan sangat riuh.

Usai perjamuan—persekutuan suci dengan para leluhur yang secara mistis hadir dalam
keturunan muda mereka—himne merayakan penyelenggaraan ritus yang sempurna itu:
“setiap adat dan ritus ditunaikan,” partisipan bernyanyi, “setiap senyuman, setiap kata pada
tempatnya.” Setiap isyarat wajah, setiap gerakan tubuh, dan setiap kata yang mereka ucapkan
selama bin sudah ditentukan. Para partisipan meninggalkan individualitas mereka untuk
tunduk pada dunia ritual yang ideal,” agar ritus-ritus itu dilakukan tanpa cela.” Festival itu
merupakan epifani masyarakat yang suci, hidup dalam kedekatan erat dengan tuhan; setiap
orang memiliki perannya yang tak tergantikan, dan dengan meninggalkan diri mereka
terserap ke dalam sesuatu yang lebih besar dan lebih berani. Ritual itu secara
dramatismenciptakan replika istana Langit, tempat Tuhan Tinggi, Leluhur Pertama (diwakili
oleh sang raja), duduk tenang bersama para leluhur Shang dan Zhou dan dewa-dewa alam.
Ruh-ruh memberkati, tetapi mereka pun tunduk pada ritual-ritual drama yang sacral. Dinasti
Shang telah menggunakan riitus ini untuk memperoleh perantaraan yang baik dari para
leluhur dan dewa-dewa, tetapi menjelang abad kesembilan, pelaksanaan ritus ini secara
akurat dan indah menjadi lebih dipentingkan. Jika dilakukan secara sempurna, sesuatu yang
ajaib akan terjadi pada para partisipan, yang member mereka kedekatan dengan harmoni
ilahi.

5
Ritual-ritual masih dilaksanakan dengan indah, dan masih berpengaruh besar pada para
peserta, namun beberapa kritikus yang keras kepala mulai kehilangan keyakinan pada
kekuatan magisnya. Namun, respons terhadap krisis yang terus berkembang ini ternyata
adalah dengan memperbanyak ritual, bukan menguranginya,bahasa yang umum dipakai di
negeri tiongkok sekarang adalah bahasa Kwo Yu, yaitu bahasa tiongkok tinggi yang asalnya
dari tiongkok timur laut. Orang Manchu yang menggunakannya lebih suka menyebutnya
bahasa Mandarin, sedangkan di sebelah selatan pegunungan terdapat bermacam-macam
dialek, seperti dialek Kanton, Shanghai, Hokkian, Hsiang, Kwang Si dan Hainan. Meskipun
negeri tiongkok memiliki banyak bahasa daerah, penduduk dimana pun menggunakan huruf
sama; dimana setiap tanda mempunyai makna tertentu. Kesatuan huruf ini besar pengaruhnya
di bidang budaya, politik dan sosial di sepanjang sejarah tiongkok.Begitupun juga masyarakat
Tiongkok sudah mengenal tulisan, yaitu tulisan gambar. Tulisan gambar itu merupakan
sebuah lambang dari apa yang hendak ditunjukkan. Tulisan itu merupakan salah satu sarana
komunikasi. Untuk memupuk rasa persatuan dan rasa persaudaraan, pada permulaan abad ke-
20 dikembangkan pemakaian bahasa persatuan, yaitu bahasa Kuo-Yu.

Pada zaman Dinasti Chou, aksara Tiongkok ditulis pada potongan bambu. Cara
menuliskannya adalah dari atas ke bawah. Sekitar tahun 105 M, pada masa Dinasti Han
ditemukan teknik pembuatan kertas yang dibuat dari campuran bubur kayu dan lem.
Sehingga aksara Tiongkok kemudian ditulis di atas kertas. Penemu tersebut bernama Tsai
Lun. Adapun pada zaman Dinasti T’ang ditemukan teknik cetak (untuk mencetak buku dan
kalender). Bangsa Tiongkok juga menemukan tik gerak (movable type) yaitu blok-blok kayu
dengan huruf-huruf yang dicungkil ke luar. Dengan penemuan kertas dan alat cetak tersebut
memungkinkan adanya penerbitan buku-buku dalam jumlah yang besar dan dengan harga
murah. Bangsa Tiongkok termasuk bangsa yang sangat memperhatikan tulisan. Penemuan
kertas dan alat cetak juga membantu penyebaran karya sastra di Tiongkok.

6
- Tembok Besar Tiongkok (The Great Wall of Tiongkok)

Dibangun pada masa pemerintahan Dinasti Chin. Namun, sebelum dinasti Chin berkuasa di
Tiongkok, sebenarnya di daerah Tiongkok utara sudah dibangun dinding terpisah untuk
menangkal serangan yang dilakukan oleh suku di sebelah utara Tiongkok. Pada masa
pemerintahan kaisar Shih Huang TI, dinding-dinding itu dihubungkan menjadi tembok
raksasa yang panjangnya mencapai 7000 kilometer dan tingginya 16 meter serta lebarnya 8
meter. Pada jarak tertentu didirikan benteng pertahan yang dijaga ketat oleh pasukan
Tiongkok. Untuk membuat tembok raksasa ini, diperlukan waktu ratusan tahun di zaman
berbagai kaisar. Semula, diperkirakan Qin Shi-huang yang memulai pembangunan tembok
itu, namun menurut penelitian dan catatan literatur sejarah, tembok itu telah dibuat sebelum
Dinasti Qin berdiri, tepatnya dibangun pertama kali pada Zaman Negara-negara Berperang.
Kaisar Qin Shi-huang meneruskan pembangunan dan pengokohan tembok yang telah
dibangun sebelumnya.Sepeninggal Qin Shi-huang, pembuatan tembok ini sempat terhenti dan
baru dilanjutkan kembali di zaman Dinasti Sui, terakhir dilanjutkan lagi di zaman Dinasti
Ming. Bentuk Tembok Raksasa yang sekarang kita lihat adalah hasil pembangunan dari
zaman Ming tadi. Bagian dalam tembok berisi tanah yang bercampur dengan bata dan batu-
batuan. Bagian atasnya dibuat jalan utama untuk pasukan berkuda Tiongkok. Tembok raksasa
ini dibangun dalam waktu 18 abad lamanya dan selesai pada masa kekuasaan Dinasti Ming
(abad ke-17 M).

- Kuil

Salah satu kuil yang terkenal di Tiongkok bernama Kuil Dewa Beijing. Terbuat dari batu
pualam yang dikelilingi tiga pelataran yang amat indah serta di bagian tengah terdapat tangga
yang terbuat dari batu pualam pilihan. Atap bangunan dibuat berlapis tiga menurut
kepercayaan masyrakat Cina, tangga ini merupakan tangga untuk roh-roh leluhur.

- Istana

Kaisar atau raja Tiongkok dibangunkan Istana dengan sangat megah dan indah. Tujuannya
sebagai tanda penghormatan terhadap raja atau kaisar, karena Rakyat Cina menghormati
kaisar karena kaisar dipandang sebagai penjelmaan para Dewa.

7
- Museum of the Terracotta Army

Salah satu makam Kaisar Dinasti Qin yang bernama Qin Shi Huang satu dari peninggalan
terhebat saat menggali sumur dekat gunung Li di Provinsi Shaanxi, Tiongkok Terletak sekitar
25mil (40 kilometer) di Timur Xi’an ada sekitar 8.099 Terakotta. Selain patung prajurit, juga
terdapat kereta kuda, senjata, termasuk akrobat untuk menhibur Qin di alam kubur. Banyak
ahli berpendapat bahwa pasukan terakotta tersebut dikuburkan bersama kaisar Tiongkok
pertama untuk melindunginya di alam akhirat dan ingin di sembunyikan. Kini, patung
pasukan terakota misterius yang merupakan salah satu keajaiban dunia ini menarik sekita
jutaan wisatawan setiap tahun.

- Seni Kerajinan

Seni kerajinan tiongkok kuno adalah lukisan dan keramik, keramik merupakan ciri khas dan
hasil karya masyrakat tiongkok. Pembuatan keramik mengandung jiwa seni, karena pada
benda-benda keramik terdapat berbagai macam bentuk hiasan seperti guci keramik yang
dihiasi dengan seekor naga atau dihiasi dengan gambar-gambar hewan maupun tumbuhan.

Di Lembah Sungai Hwang-Ho yang subur ini, pada tahun 2500 SM, tumbuh peradaban
manusia yang didukung oleh bangsa Han. Bangsa tersebut merupakan campuran ras
Mongoloid dengan ras Kaukasoid. Menurut cerita, pada sekitar 1800- 1600 SM di Lembah
Sungai Hwang-Ho telah berdiri pemerintahan Dinasti Hsia dengan dasar budaya perunggu,
tetapi masyarakatnya belum mengenal tulisan. Nama bangsa Han diambil dari nama dinasti
yang pernah memerintah pada 206SM-221M. Orang Tiongkok juga menyebut dirinya dengan
bangsa Tang, mengambil dari nama dinasti yang pernah memerintah pada 618M-906M
dengan gilang gemilang. Masyarakat Tiongkok kuno telah mengenal tulisan sejak 1500 SM
yang ditulis pada kulit penyu atau bambu. Pada awalnya huruf Tiongkok yang dibuat sangat
sederhana, yaitu satu lambang untuk satu pengertian.pada masa pemerintahan Dinasti Han,
seni sastra Tiongkok kuno berkembang pesat seiring dengan ditemukannya kertas. Ajaran
Lao Zi, Kong Fu Zi, dan Meng Zi banyak dibukukan baik oleh filsuf itu sendiri maupun para
pengikutnya.

8
Pada masa pemerintahan Dinasti Tang, hidup dua orang pujangga terkemuka yang banyak
menulis puisi kuno, yaitu Li Tai Po dan Tu Fu. Selain berupa sastra, kebudayaan Tiongkok
yang muncul dan berkembang dilembah Sungai Kuning adalah seni lukis, keramik, kuil, dan
istana. Perkembangan seni lukis terlihat dari banyaknya lukisan hasil karya tokoh ternama
yang menghiasi istana dan kuil. Lukisan yang dipajang umumnya berupa lukisan alam
semesta, lukisan dewa-dewa, dan lukisan raja yang pernah memerintah. Keramik Tiongkok
merupakan hasil kebudayaan rakyat yang bernilai sangat tinggi dan menjadi salah satu
komoditi perdagangan saat itu. Rakyat Tiongkok menganggap bahwa kaisar atau raja
merupakan penjelmaan dewa sehingga istana untuk sang raja dibangun dengan indah dan
megah. Hasil kebudayaan Tiongkok yang terkenal hingga saat ini adalah Tembok Besar
Tiongkok yang dibangun pada masa Dinasti Qin untuk menangkal serangan dari musuh di
bagian utara Tiongkok. Kaisar Qin Shi Huang menghubungkan dinding-dinding pertahanan
yang telah dibangun tersebut menjadi tembok raksasa dengan sepanjang 7000 km. Misalnya
Pada bagian hilir dari Sungai Kuning, terdapat dataran rendah Tiongkok yang subur dan
merupakan pusat kehidupan bangsa Tiongkok. Masyarakat Tiongkok umumnya bercocok
tanam gandum, padi, teh, jagung, dan kedelai.

Kegiatan pertanian Tiongkok Kuno memang sudah dikenal sejak zaman Neolitikum (5000
SM) dan tanaman pangan utama yang ditanam adalah padi. Pada zaman perunggu, prioritas
pokok dalam pertanian rakyat Tiongkok adalah padi, teh, kacang kedelai, dan rami. Kegiatan
pertanian mengalami kemajuan pesat dalam pemerintahan Dinasti Qin (221-206 SM). Di
masa itu, masyarakat Tiongkok telah menerapkan sistem pertanian yang intensif dengan
penggunaan pupuk, irigasi yang baik, dan perluasan lahan gandum. Pada daerah yang subur
itu masyarakat Tiongkok hidup bercocok tanam seperti menanam gandum, padi, teh, jagung
dan kedelai. Pertanian Tiongkok kuno sudah dikenal sejak zaman Neolitikum, yakni sekitar
tahun 5000 SM. Kemudian pada masa pemerintahan Dinasti Chin (221-206 SM) terjadi
kemajuan yang mencolok dalam sistem pertanian. Pada masa ini pertanian sudah diusahakan
secara intensif. Pupuk sudah dikenal untuk menyuburkan tanah. Kemudian penggarapan
lahan dilakukan secara teratur agar kesuburan tanah dapat bertahan. Irigasi sudah tertata
dengan baik. Pada masa ini lahan gandum sudah diusahakan secara luas.

9
Masyarakat Tiongkok kuno memiliki banyak ahli astronomi (ilmu perbintangan) yang dapat
membantu masyarakat dalam pembuatan sistem penanggalan. Perkembangan ilmu astronomi
merupakan dasar dari berbagai aktivitas kehidupan bangsa Tiongkokkarena sistem pertanian,
pelayaran, dan usaha lainnya memerlukan informasi tentang pergantian dan perputaran
musim. Ilmu astronomi digunakan untuk:

1. Menentukan penanggalan yang didasarkan pada peredaran bulan;

2. Meramal masa depan manusia dan masa depan Negara.

3. Mengetahui saat terjadinya gerhana matahari dan bulan; dan

4. Mengetahui perputaran atau pergantian musim yang erat hubungannya dengan kehidupan
masyarakat seperti pertanian.

Perkembangan teknologi masyarakat Tiongkok kuno terlihat dari pembuatan barang-barang


perdagangan seperti barang tambang dan hasil olahannya berupa perabot rumah tangga,
senjata, perhiasan, dan alat pertanian. Tiongkok kaya akan barang tambang seperti batu bara,
besi, timah, emas, wolfarm, dan tembaga. Bumi Tiongkok mengandung berbagai barang
tambang seperti batu bara, besi, timah, wolfram, emas dan tembaga, yang sebagian besar
terdapat di daerah Yunan. Pembuatan barang-barang seperti perhiasan, perabotan rumah
tangga, alat-alat senjata seperti pisau, pedang, tombak, cangkul, sabit dan lain-lain,
menunjukan tingginya tingkat perkembangan teknologi masyarakat Tiongkok pada saat itu.

Secara social kemasyarakatan, terlihat pada dinasti Shang (yang nanti akan dijelaskan
kemudian), namun yang jelas bahwa ini bukanlah masyarakat egalitarian. Shang
menunjukkan kesenangan luar biasa pada hierarki dan peringkat yang akan menjadi salah
satu ciri khas peradaban Tiongkok. Sebagai putra Di, sang raja berada di puncak pirmida
feodal, sendirian di kastanya. Peringkat selanjutnya adalah para pangeran kerajaan, penguasa
berbagai kota Shang, di bawah mereka adalah kepala keluarga-keluarga terhormat yang
memegang jabatan di istana, dan para bangsawan yang memperoleh pendapatan dari wilayah
pedesaan di luar dinding-dinding kota.

10
Akhirnya, pada bagian dasar piramida feodal, adalah rakyat biasa, kasta prajurit,kehidupan
kota kaum terhormat Dinasti Shang nyaris sama sekali tidak punya kesamaan dengan
kehidupan komunitas petani yang menanami tanah itu.kaum aristocrat menganggap mereka
hamper bukan manusia, namun seperti kaum barbar, petani juga punya pengaruh yang terus
bertahan pada budaya Tiongkok. Para petani ini mengidentifikasi diri dengan tanah, dan
masyarakat mereka diatur oleh pembedaan antara musim dingin dan musim panas. Pada
musim semi, musim bekerja dimulai. Kaum lelaki bergerak ke luar desa dan mendirikan
pondok-pondok permanen di lading; selama musim bekerja mereka tidak ada kontak dengan
istri dan anak perempuan mereka, kecuali ketika kaum perempuan itu membawakan makanan
mereka. Setelah panen, tanah itu diistirahatkan dan para pria kembali ke rumah. Mereka
menutup tempat tinggal mereka dan terus berada di dalam rumah selama musim dingin. Ini
merupakan periode sabbatical, untuk bersitirahat dan menyembuhkan diri, tetapi kaum wanita
yang tidak punya banyak pekerjaan selama musim panas, kini memulai musim bekerja
mereka, seperti menenun, memintal, dan membuat minuman anggur. Pergantian ini mungkin
telah berkontribusi pada konsep Yin dan Yang Tiongkok. Yin adalah aspek perempuan dari
realitas. Seperti kaum perempuan petani, musimnya adalah musim dingin, aktifitasnya
bersifat ke dalam, dan dilakukan di dalam tempat-tempat yang gelap dan tertutup. Yang
adalah aspek laki-laki, aktif pada musim panas dan siang hari, ia merupakan kekuatan yag
bersifat ke luar dan hasilnya berlimpah.

Dalam perjalan sejarahnya, ada dua macam sistem pemerintahan yang pernah dianut dalam
kehidupan kenegaraan Tiongkok kuno, yaitu: Sistem Pemerintahan Feodal, dalam masa
pemerintahan ini, kaisar tidak menangani langsung urusan kenegaraan. Kondisi ini berlatar
belakang bahwa kedudukan kaisar bersifat sakral. Kaisar dihormati sebagai utusan atau
bahkan anak dewa langit, sehingga tidak layak mengurusi politik praktis. Sistem
Pemerintahan Unitaris, kaisar berkuasa mutlak dalam memerintah. Kekuasaan negara
berpusat di tangan kaisar, sehingga kaisar campur tangan dalam segala urusan politik praktis.
Sejarah mencatat terdapat banyak dinasti yang membangun Tiongkok menjadi bangsa besar,
Tiongkok pun memasuki fase pasang surut kekuasaan, tercerai berai, dan mencapai puncak
kekuasaannya.

11
Secara umum, pusat kekuasaan dinasti di Tiongkok berada di bagian utara , pada sebuah
lembah dimana aliran sungai Hwang Ho di utara bertemu dengan sungai Yang Tse di selatan.
Sebagai contoh, misalnya pada masa pemerintahan Dinasti Xia (s. 2200-1600). Tidak ada
bukti arkeologis atau documenter tentang Xia, tetapi ada kemungkinan ada semacam kerajaan
di dataran luas itu pada akhir millennium ketiga. Peradaban datang dengan lambat dan penuh
rintangan ke Tiongkok.dataran luas itu terisolasi dari wilayah-wilayah sekelilingnya oleh
pegunungan tinggi dan tanah berawa yang tak dapat dihuni. Iklimnya keras, dengan musim
panas yang memanggang dan musim dingin yang menusuk tulang, ketika koloni itu diserang
oleh angin berpasir yang membekukan. Sungai kuning sulit untuk dinavigasi dan gampang
meluap. Para pemukim awal harus menggali kanalkanal untuk mengeringkan tanah berawa
dan membangun tanggul agar banjir tak menghancurkan lading-ladang. Orang Tiongkok
tidak punya ingatan sejarah tentang orang-orang yang telah menciptakan karya-karya kuno
ini, tetapi mereka menyampaikan berbagai kisah tentang raja feodal yang pernah memerintah
kekaisaran Tiongkok sebelum Xia, dan yang membuat wilayah pinggiran dapat ditinggali.
Huang Di, kaisar Kuning telah melawan monster dan menetapkan perjalanan matahari, bulan,
bintang. Shen Nong telah menemukan pertanian, dan pada abad kedua puluh tiga,

Kaisar Yao dan Shun yang bijak telah membangun masa keemasan perdamaian dan
kemakmuran. Selama pemerintahan Shun, tanah itu dilanda banjir bandang, dan Shun
memerintahkan Yu, kepala bagian pekerjaan umumnya, untuk memecahkan persoalan
tersebut. Selama tiga belas tahun, Yu membangun kanal-kanal, menjinakkan rawa-rawa, dan
menggiring sungai-sungai ke laut, sehingga mereka mengalir dengan cara yang teratur
bagaikan tuan-tuan pergi ke resepsi besar. Berkat upaya Yu yang bertindak seperti Hercules,
orang-orang bisa menanam padi dan gandum. Kaisar Shun begitu terkesan sehingga dia
mengatur agar Yu menjadi penggantinya, dan begitulah Yu menjadi pendiri Dinasi
Xia(KH,Jawad,2014).

12
2. Zaman Permulaan Buddhisme
Buddhisme yang masuk di Cina bersintesis dengan aliran-aliran Cina terutama
Konfusianisme dan Taoisme. Hasil paling nyata dari pertemuan alam pikiran ini adalah
Mazhab Buddhisme Ch’an. Buddhisme Ch’an mengajarkan bahwa dalam kepercayaan bahwa
pikiran harus dijaga agar tetap murni dan cerah. Pikiran dapat menangkap kebenaran
mendasar alam semesta, kemudian dapat memperoleh kodrat Buddha, nirwana atau
keselamatan jiwa. Di sinilah dalam pemikiran filsafat Cina Mazhab Buddhisme Ch’an, bahwa
nirwana atau keselamatan jiwa tidak hanya diperoleh melalui Buddhisme, Taoisme, atau
Konfusianisme saja, akan tetapi perlu kelenturan untuk mensintesakannya. Neo-
Konfusianisme merupakan aliran yang muncul sebagai reaksi terhadap masuk dan
berkembangnya Buddhisme di Cina. Masuknya Buddhisme ke Cina merupakan suatu
peristiwa bersejarah dalam hubungan kebudayaan antara Cina dengan India. Hal itu juga
mempunyai arti yang jauh melebihi kedatangan suatu agama begitu saja. Bagi segenap
bangsa Cina, entah mereka menerima atau menolak Buddhisme, berarti untuk selanjutnya
dunia dipandangnya secara baru, serta alam semesta dipahamkan sebagai sesuatu yang sangat
berbeda dibanding pemahaman yang sudah ada.

Pada awalnya Buddhisme Hinayana masuk ke Cina, kemudian Mahayana yang pada
gilirannya mendapatkan simpati besar dari masyarakat Cina. Buddhisme dapat masuk di Cina
dan mendapat simpati masyarakat antara lain: pertama, keadaan masyarakat Cina pada waktu
itu sangat menderita karena terjadinya peperangan dan pemberontakan yang menghancurkan
masalah ekonomi dan menimbulkan kemelaratan bagi orang banyak. Rakyat merasa kecewa
terhadap Konfusianisme dan Taoisme yang tidak dapat memperbaiki nasib rakyat.
Buddhisme dapat memberikan penghiburan kepada rakyat yang menderita walaupun tidak
dapat memperbaiki keadaan ekonomi dan mensejahterakannya. Penghiburan ini berupa ajaran
bahwa manusia sesudah mati akan masuk nirwana dan akan hidup bahagia. Ajaran tentang
kehidupan sesudah mati tidak begitu mendapat perhatian dari filsuf Konfusianisme. Kedua,
manusia yang tidak dapat menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari kemudian akan masuk
ke biara-biara; di situ mereka memperoleh ketenteraman jiwa dan jaminan hidup sehingga
seolaholah mereka mereka bebas dari kesulitan ekonomi yang melanda sebagian besar
wilayah Cina.

13
Ketiga, menurut ajaran Buddhisme, khususnya menurut aliran Mahayana, bahwa setiap
penganut Buddhisme dapat memperoleh keselamatan, sedangkan dalam Konfusisme hanya
kaum terpelajar yang mampu mempelajari dan mengamalkan kitab klasik yang akan hidup
bahagia, begitu pula menurut Taoisme, orang yang bahagia adalah orang yang hidup dekat
dengan alam. Dalam pemikiran masyarakat Konfusianis, ide tentang Tuhan dan kehidupan
sesudah mati tidak ditolak, namun tidak ditekankan. Konfusius menerima sesuatu yang telah
dipercaya oleh masyarakat tentang Tuhan dan kehidupan sesudah mati. Dalam benak bangsa
Cina, termasuk Konfusius, langit dan kehidupan sesudah mati tidak didefinisikan secara jelas
dan dogmatis, namun secara samar-samar diakui sebagai yang konkret.Fakta ini sangat
menarik untuk dicatat karena kebanyakan orang keturunan Cina memperhatikan pemujaan
terhadap leluhur dan membuat sesajian berupa makanan secara teratur. Namun demikian,
terdapat perhatian yang terbatas terhadap kehidupan sesudah mati itu sendiri. Jadi, maksud
dari pemujaan dan pemberian sesaji berupa makanan bukan demi keuntungan orang yang
telah meninggal melainkan bagi orang yang masih hidup. Perspektif ini dapat dipandang
sebagai perwujudan dari sudut pandang yang pragmatis dan mementingkan keduaniwian.

Dalam kaitannya dengan ini, Thompson (1969: 10) mengatakan: “Sama sekali tidak ada
tempat bagi ruh. Tao, berfungsi melalui bekerjanya yang dan yin, menghasilkan perwujudan
yang lebih kasar, material, dan perwujudan yang lebih halus, spiritual. Manusia adalah
kombinasi dari semua ini, dan karena kematiannya manusia akan kembali ke Bumi
(merupakan yin) sedangkan kombinasi unsur akan naik ke kawasan Langit yang terang dan
halus (merupakan yang).konfusius lebih memperhatikan pemahaman aspek kehidupan dunia
dari pada aspek kematian. Acuan ini menunjukkan bahwa Konfusius menolak untuk
berspekulasi atau memberikan penegasan dogmatik tentang eksistensi ruh ataupun kehidupan
sesudah mati, meskipun dia tidak menolaknya. Di sini kita menemukan sifat humanistik yang
mendasar dari pemikiran Konfusius. Pusat perhatian Konfusianisme dapat dibagi menjadi
enam kategori, empat meliputi dunia kehidupan dan dua kehidupan sesudah kematian:
pertama, melindungi hidup dan kekayaan: sehat dan umur panjang, menghindarkan
kecelakaan, dan mengusir ruh jahat.

14
Kedua, menyesuaikan diri dengan tertib alam: kemurahan dari para dewa, mengendalikan
musim hujan dan musim kemarau, hati-hati dalam memilih tempat unfuk bangunan dan
pekuburan sehingga tidak mengacaukan “energi” yang dipercaya terdapat di dalam alam, dan
perlindungan dari dewa penjaga desa dan kota.Ketiga, damai dan selaras dalam kehidupan
rumah tangga: kemurahan dari paradewa yang melindungi perapian dan gerbang, anak untuk
menjaga garis keluarga, mudah melahirkan anak, melindungi anak, kesejahteraan para
leluhur. Keempat, sukses di dalam perjuangan hidup: kemurahan dari para dewa di dalam
pertanian, kesuburan, pertukangan, dan kemakmuran. Kelima, pembebasan dari siksaan
neraka: pengampuan dosa, terhindar dari penderitaan. Keenam, kelahiran kembali yang
menyenangkan: reinkarnasi di dalam keluarga yang kaya, kesempurnaan moral di dalam
Buddha, dan surga Tao.Meskipun kehidupan sesudah mati tidak disebutkan dengan jelas, dan
hal tersebut dapat juga tergantung kepada T’ien. Kondisi roh sangat erat berkaitan dengan
perilaku orang selama masa hidupnya, yang menentukan si individu akan masuk surga atau
neraka. Ajaran-ajaran filsafat yang ditimbulkan oleh Buddhisme T’ien t’ai dan Buddhisme
Hua-yen dalam menyelesaikan masalah yang dipersengketakan antara pengertian-pengertian
khusus partikular dengan umum universal, subjektif dengan objektif, lahiriah dan
mengutamakan kesamaan.

Selain itu, ajaran-ajaran filsafat ini juga menggaris bawahi ajaran “satu dalam semua dan
semua dalam satu”. Buddhisme di Cina mempunyai kedudukan yang penting dalam membela
gagasan mengenai penyelamatan jiwa (dari lingkaran kelahiran kembali) secara umum, dan
memberikan peluang yang leluasa bagi pencerahan secara tiba-tiba. Buddhisme
mempengaruhi kebudayaan dan filsafat Cina, tetapi Buddhisme sendiri secara diam-diam
dipengaruhi unsur-unsur kebudayaan dan filsafat Cina seperti Konfusianisme dan Taoisme.
Di dalam terjemahan-terjemahan secara berturut-turut selama berabadabad mengenai istilah
nirwana–yang diawali dengan terjemahan ”kelepasan melalui kepadaman (nafsu)” yang
berakhir dengan terjemahan ”penyempurnaan penuh”–dapat dengan mudah disimak adanya
pengaruh Konfusianisme. Hasil paling menonjol dari pertemuan alam pikiran ini ialah
mazhab Ch’an, yang boleh dikatakan merupakan perpaduan antara Buddhisme India dengan
sudut pandangan Taoisme Cina. Di sinilah bisa dilihat kelenturan filsafat Cina.

15
Ia dipengaruhi Buddhisme, tetapi juga mempengaruhi Buddhisme namun demikian Cina
tidak kehilangan jati diri dan identitasnya, yakni keharmonisan. Buddhisme Ch’an merupakan
sebuah mazhab di Cina yang berkembang sejak abad ke-10 dan kemudian pengaruhnya
masuk ke Jepang. Sebagai ajaran tersebut merupakan hasil ciptaan alam pikiran Cina di
bidang kefilsafatan–keagamaan. Diawali dengan pengutamaan tafakur, mazhab ini berlanjut
dengan ketentuanketentuan asasi seperti: mengajar tanpa menggunakan kata-kata, mengacu
langsung kepikiran, menjadi Buddha dengan menyadari kodratnya sendiri yangs ejati, dan
menjadi Buddha di sini dan kini.pada hakikatnya Buddhisme Ch’an teguh dalam kepercayaan
bahwa pikiran harus dibebaskan dari kekusutan dan harus dijaga agar tetap murni dan cerah.
Dengan itu pikiran dapat menangkap kebenaran mendasar alam semesta, dan secara demikian
dapat memperoleh kodrat Budha, nirwana atau keselamatan jiwa. Buddhisme Ch’an banyak
dipengaruhi Taoisme, begitu pula Buddhisme berpengaruh mendalam terhadap kesenian,
kesusasteraan, dan sikap bangsa Cina dalam menghadapi kehidupan.

Munculnya Neo-Konfusianisme dikemudian hari yang secara sepintas merupakan penolakan


terhadap perkembangan dan pengaruh Buddhisme dalam masyarakat dan sistem kenegaraan,
namun juga sebagai akibat dari rangsangan dan tantangan Buddhisme Ch’an. Buddhisme
banyak berbaur dengan Konfusianisme dan Taoisme. Konfusianisme bertujuan untuk
memperbaiki dan menyeimbangkan hubungan antar sesama manusia, khususnya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Manusia ideal menurut adalah chun tzu,
the gentlemen, the superior men atau manusia paripurna. Peletak dasar Konfusianisme adalah
Pangeran Chou, kemudian diteruskan oleh Konfusius pernah menyatakan bahwa: negara
yang adil dan makmur dapat dicapai apabila para pejabat negara atau penguasa adalah orang-
orang yang berkarakter baik dan orang-orang yang benar-benar baik dalam hal mentalnya.
Kemampuan untuk menjadi pejabat yang baik tidak ditentukan oleh faktor keturunan, akan
tetapi sangat ditentukan oleh karakter atau kecakapan serta pengetahuan seseorang.

16
Karakter, kecakapan, dan pengetahuan itu dapat diperoleh melalui pendidikan, oleh karena itu
pendidikan harus disebarluaskan, ditingkatkan kualitas maupun kuantitasnya.Pemikiran
Buddhisme memainkan peranan yang penting dalam filsafat Cina sampai berkembangnya
Neo-Konfucianisme, para pemikir Cina tertarik kepada Buddhisme. Sebagian besar di antara
mazhab Buddhisme yang ada di Cina termasuk dalam cabang Mahayana.namun demikian,
aliran Hinayana juga mempunyai wakilnya. Jika mazhab Wei Shih dan San-lun
menganjurkan kecenderungan India akan analisis dan abstraksi, maka mazhab T’ien t’ai dan
Hua-yen yang berakar di bumi Cina sendiri memadukan kecenderungan akan sintesis dengan
penyelarasan. Pada hakikatnya Buddhisme Ch’an teguh dalam kepercayaan bahwa pikiran
harus dibebaskan dari kekusutan dan harus dijaga agar tetap murni dan cerah. Dengan itu
pikiran dapat menangkap kebenaran mendasar alam semesta, dan secara demikian dapat
memperoleh kodrat Buddha, nirwana atau keselamatan jiwa, yang dapat diperoleh tidak
hanya melalui Buddhisme, Taoisme atau Konfusianisme saja, akan tetapi perlu kelenturan
untuk mensintesiskan ketiga filsafat tersebut.

Buddhisme Ch’an bercirikan Taoisme Cina berpengaruh mendalam terhadap kesenian,


kesusasteraan, dan sikap bangsa Cina dalam menghadapi kehidupan. Munculnya Neo-
Konfusianisme di kemudian hari yang secara sepintas merupakan penolakan terhadap
Budhisme, sebetulnya juga sebagai akibat rangsangan dan tantangan Budhisme Ch’an. Lebih
lanjut di dalam Buddhisme juga diajarkan tentang bodhisattva yang sering diartikan sebagai:
“seseorang yang telah punya hak untuk masuk nirvana dan menjadi Buddha, akan tetapi
mendahulukan haknya itu untuk memperingatkan orang yang masih di dalam semesta ini
supaya mendapatkan penerangan dan bekerja untuk keselamatan mereka”.Ajaran ini
memberikan suatu harapan hidup bahagia di masa yang akan datang yang dengan masuk
nirvana yang dapat dicapai apabila manusia telah berhasil dalam hidupnya dan menjadi
Buddha, manusia sudah mampu mengatasi kehidupan duniawi yang penuh dengan
problematika dan tantangan hidup yang tiada henti-hentinya. Buddhisme di Cina juga
mengajarkan hidup sederhana dan kalau perlu manusia berusaha untuk menghilangkan
keinginan-keinginan agar dapat mengatasi hidup yang penuh dengan penderitaan. Citacita
yang ingin dicapai adalah agar manusia terhindar dari proses reinkarnasi yang tiada
habisnnya yang disebabkan oleh keterikatannya dengan keinginan-keinginan.

17
Manusia bermaksud untuk mencapai nirvana, dengan lebih dulu memperoleh pencerahan dan
menjadi boddhisattva, serta bekerja untuk membantu sesama manusia untuk memperoleh
keselamatan. Hal ini sesuai dengan kecenderungan filsafat Cina yang berusaha untuk
memperbaiki dan menyeimbangkan hubungan antar sesama manusia, hubungan antara
manusia dengan masyarakat, bangsa, dan negara.

Kecenderungan humanistik ini menjadikan manusia sebagai pusat segala-galanya dan


kemampuan manusia perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga melalui daya kreatifnya
yang rasional akan mampu menghasilkan hal-hal yang bermanfaat untuk meningkatkan
kualitas kehidupan manusia itu sendiri. Namun demikian, di lain pihak manusia kadang kala
khilaf bahwa problem-problem yang dihadapi manusia makin kompleks karena hasil
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pemanfaatnnya tidak dikembalikan
pada kepentingan manusia justru akan mengancam kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Hal ini merupakan motivasi bagi Buddhisme di Cina untuk lebih menekankan aspek spiritual
dalam kehidupan manusia. Dewasa ini Buddhisme di Cina juga dipandang sebagai
pengembangan kehidupan spiritual untuk mencapai kebahagiaan sejati melalui meditasi.
Meditasi dilakukan untuk mengubah diri sendiri dalam mengembangkan kualitas kesadaran,
kebaikan dan kebijaksanaan dalam rangka untuk menemukan kedamaian perasaan dan
pikiran.

Wilayah Tibet sebagai daerah otonomi di Cina, yang mayoritas penduduknya penganut
Buddhisme yang dikenal dengan Tibetan Buddhisme dibawah kepemimpinan tokoh
spiritualnya Dalai Lama. Hal ini merupakan daya tarik tersendiri bagi warga dunia untuk
mengunjungi wilayah tersebut karena memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri. Penganut
Buddhisme di Cina dewasa ini lebih dari seratus juta orang yang pada dekade yang lalu
terdiri atas orang tua, namun sekarang banyak generasi muda yang berpendidikan dan sukses
dalam profesinya mulai tertarik dan menjadi penganut Buddhisme. Kelompok muda ini
sering mengadakan aktivitas keagamaan di Vihara untuk meningkatkan kualitas kehidupan
spiritual. Buddhisme menddorong manusia untuk menemukan jalan sendiri dalam mencapai
pencerahan melalui kualitas kehidupan spiritual. Buddhisme mengajarkan bagaimana cara
menemukan kedamaian hidup melalui kembali kedalam batin untuk mencerahkan
hati(Lasiyo,2018).

18
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari makalah tersebut dapat disimpulkan bawha pengaruh kebudayaan tiongkok adalah
Sebelum ajaran Kong Fu Zi dan Meng Zi, bangsa Tiongkok menganut kepercayaan dewa-
dewa yang dianggap memiliki kekuatan alam. Dewa-dewa yang menerima pemujaan
tertinggi dari mereka adalah Feng-Pa (dewa angin), Lei-Shih (dewan angin taufan yang
digambarkan sebagai naga besar), T'sai-Shan (dewa penguasa bukit suci), dan Ho-Po.
Menurut kepercayaan Tiongkok kuno, dunia digambarkan sebagai sebuah segiempat yang di
bagian atasnya ditutupi oleh 9 lapisan langit. Di tengah-tengah dunia itulah terletak daerah
yang didiami bangsa Tiongkok yang disebut T'ienhsia. Dan zaman permulaan buddhisme ,
Buddhisme yang masuk di Cina bersintesis dengan aliran-aliran Cina terutama
Konfusianisme dan Taoisme. Hasil paling nyata dari pertemuan alam pikiran ini adalah
Mazhab Buddhisme Ch’an. Buddhisme Ch’an mengajarkan bahwa dalam kepercayaan bahwa
pikiran harus dijaga agar tetap murni dan cerah. Pikiran dapat menangkap kebenaran
mendasar alam semesta, kemudian dapat memperoleh kodrat Buddha, nirwana atau
keselamatan jiwa. Di sinilah dalam pemikiran filsafat Cina Mazhab Buddhisme Ch’an, bahwa
nirwana atau keselamatan jiwa tidak hanya diperoleh melalui Buddhisme, Taoisme, atau
Konfusianisme saja, akan tetapi perlu kelenturan untuk mensintesakannya. Neo-
Konfusianisme merupakan aliran yang muncul sebagai reaksi terhadap masuk dan
berkembangnya Buddhisme di Cina.

19
DAFTAR PUSTAKA

KH, Jawad. Mughofar.2014. Sejarah Dunia Tiongkok. Dalam Journal China A New History,
Vol 2,Halaman 23 - 32.

Lasiyo. 2018. "PENGARUH BUDDHISME TERHADAP NEO-KONFUSIANISME DI


CINA". Dalam Journal Filsafat, Vol 28,No.1,Halaman 94 - 101.

Anda mungkin juga menyukai