KONSERVASI DUGONG
REGULASI DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA
Di susun oleh :
Kelompok 8
Nama Anggota :
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan.......................................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan.....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Deskripsi Umum Dugong..........................................................................3
2.2 Sebaran Dugong di Indonesia....................................................................5
2.3 Dampak Kemunculan Dugong terhadap Sosial Kemasyarakatan.............7
2.4 Pengertian Konservasi...............................................................................8
2.5 Regulasi Konservasi Dugong di Indonesia...............................................9
2.6 Penerapan Konservasi Dugong di Indonesia...........................................10
BAB III PENUTUP..............................................................................................13
3.1 Kesimpulan..............................................................................................13
3.2 Saran........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14
II
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Meningkatnya jumlah penduduk serta faktor-faktor ekonomi lainnya
dapat menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya alam laut dan ekosistemnya
semakin meningkat pula. Hal tersebut semakin dipicu oleh kegiatan yang tidak
mengacu pada kriteria-kriteria pembangunan berwawasan lingkungan serta
pemanfaatan sumberdaya alam laut yang berlebihan. Oleh karenanya diperlukan
upaya untuk menanggulangi hal tersebut (Dermawan dan Suraji, 2006).
Salah satu alat pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang efektif
adalah dengan mengembangkan Kawasan Konservasi Perairan (KKP), yaitu
mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut sebagai tempat perlindungan
bagi ikan-ikan ekonomis penting untuk memijah dan berkembang biak dengan
baik. Dengan mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut yang memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi, ekosistem terumbu karang yang sehat, dan
menyediakan tempat perlindungan bagi sumberdaya ikan, maka pada akhirnya
akan mendukung kegiatan-kegitan perikanan dan pariwisata
berkelanjutan(Susanto, 2011).
Duyung (Dugong dugon) merupakan salah satu jenis biota laut yang
menjadi target penting Kementerian Kelautan dan Perikanan karena menjadi salah
satu spesies dari 20 spesies prioritas yang dilindungi. Jenis mamalia ini bisa
dikatakan langka bahkan hampir punah dan mempunyai tingkat ancaman
kehidupan tinggi. Ancaman lainnya adalah tertangkapnya dugong dengan tidak
sengaja oleh alat tangkap perikanan serta adanya perburuan masif untuk
pemanfaatan dari bagian anggota tubuhnya, seperti daging dan taring. Spesies ini
memiliki tingkat pemanfaatan dan nilai ekonomi yang cukup tinggi.
Perlindungan Dugong secara nasional dengan perundang-undangan
melalui UU. No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya hayati dan
ekosistemnya dan UU. No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan, sedangkan di dalam
‘Global Red List of IUCN’ dugong telah terdaftar sebagai ‘Vulnerable to
1
Extinction’ (merupakan yang rentan akan kepunahan, serta termasuk juga dalam
Appendix I CITES (The Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora) yang menyatakan bahwa bagian anggota tubuh
duyung (Dugong) tidak diperbolehkan untuk diperdagangkan dalam bentuk
apapun.
Duyung adalah spesialis pemakan lamun dan biasanya berada di daerah
perairan pesisir. Konsentrasi utama duyung cenderung terjadi di seluruh teluk
dangkal yang dilindungi dan pulau perairan pantai besar. Duyung juga diamati di
perairan yang lepas pantai daerah landas kontinen, dangkal dan dilindungi.
Fekunditas dugong ini sangat sensitif terhadap ketersediaan makanan lamunnya.
Ketika duyung tidak memiliki cukup untuk makan mereka menunda aktivitas
reproduksi yang akan membuat konservasi habitat menjadi kritis (Penrose et al,
2002).
Duyung (Dugong dugon) tersebar di seluruh perairan pantai hingga laut
dalam, baik bertabiat menetap maupun migran. Beberapa jenis binatang paus yang
bersifat migran/pengembara menggunakan perairan Indonesia bagian Timur
sebagai jalur migrasi di antara Samudera Hindia dan Pasifik melalui perairan
Kepulauan Komodo, Solor-Lembata (NTT), Laut Banda (Maluku), Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Utara dan Sorong-Fakfak (Papua) (Salim, 2011).
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai bahan kajian atau
sumber informasi mengenai regulasi, penerapan, dan upaya perlindungan Dugong
dugon.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamamilia
Ordo : Sirenia
Famili : Dugongidae
Marga : Durgo
Spesies : Dugong dugon (Muller, 1766 dalam Berta et al, 2006)
Dugong merupakan salah satu mamalia yang dilindungi oleh Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan
Ekosistemnya. Selain itu juga terdapat pada Undang-undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan. Dugong termasuk hewan yang memiliki ancaman dari
kepunahan. Hal ini dikarenakan reproduksinya yang lambat. Butuh sekitar 10
tahun untuk menjadi dugong dewasa dan sekitar 14 bulan untuk melahirkan satu
individu baru pada interval 2,5 – 5 tahun.
Dugong memiliki panjang tubuh berkisar 240 – 406 cm dengan berat 908
kg (Berta et al., 2006). Dugong memiliki kulit yang tebal, berkerut, keras,
berambut keil, dan biasanya berwarna kelabu. Sirip dugong memiliki panjang
sekitar 35 – 45 cm yang digunakan sebagai pendorong. Dugong juga memiliki
ekor yang berfungsi sebagai pengatur arah. Apabila ekor dugong diayunkan naik
turun, maka akan memberikan daya dorong maju ke depan dan akan belok apabila
diberi gerakan seperti dipelintir.
Dugong memiliki moncong yang tebal dengan bentuk seperti tapal kuda
dengan bibir yang tebal. Pada bibir dugong ditumbuhi rambut kasar yang mirip
sikar (bristles). Bulu kasar ini merupakan organ sensitive yang dapat membantu
mencari makanan. Pada dugong betina dan jantan memiliki bentuk gigi yang
sedikit berbeda. Dugong betina memiliki gigi taring yang tidak tumbuh
menembus gusinya. Sedangkan pada jantan, terdapat sepasang taring pada gigi
serinya. Terdapat banyak bakteri yang hidup di lambung dugong. Bakteri-bakteri
ini berfungsi sebagai penghancur dinding sel lamun yang dimakan oleh dugong.
3
Di Indonesia sendiri, dugong umumnya banyak ditemukan di daerah
Indonesia bagian Timur (Lawler, 2002), di Maluku dugong dapat ditemukan di
Kepulauan Lease (Haruku, Saparua, dan Nusa Laut) dan Timur Pulau Ambon (de
Logh et al. 2007). Mamalia yang dilindungi secara global ini tercatat ada 6
kejadian dugong terdampar di Provinsi Maluku dari 20 kejadian dugong
terdampar di wilayah Indonesia Timur pada tahun 2016-2018. Dugong ini
terdampar dalam keadaan mati yang akan berdampak terhadap penurunan
populasi dan ancaman penyebaran penyakit di wilayah pesisir (Jayanti, 2019).
4
2.2 Sebaran Dugong di Indonesia
5
melepaskannya kembali ke laut, namun tak semuanya berhasil. Hanya satu yang
mati tak terselamatkan. Hal ini terjadi dalam kurun waktu 2008 – 2011
(Trismades dalam Nontji, 2015).
6
Kemudian di tahun-tahu berikutnya penangkapan ini terus berkurang. Ada sekitar
59 – 90 ekor dugong yang tertangkap di tahun 1989 dan sekitar 29 – 36 ekor
dugong di tahun 1990 (Brasseur dalam Nontji, 2015).
7
Selain itu pemerintah juga menerbitkan Surat Keputusan Bupati Bintan
No. 267/VI/2010 tanggal 3 Juni 2010 tentang penetapan kawasn konservasi
padang lamun Kabupaten Bintan. Kawasan tersebut mencakup wilayah perairan
laut pesisir timur pulau Bintan yang membentang dari Desa Teluk Bakau sampai
dengan Desa Pegudang. Hal ini dikarenakan banyaknya ditumukan dugong yang
terdampar (Hidayat, 2016).
8
2. Melindungi benda-benda cagar alam yang dilakukan secara langsung yaitu
dengan cara membersihkan, memelihara dan memperbaiki baik itu secara fisik
maupun secara langsung dari pengarauh berbagai macam faktor, misalnya seperti
faktor lingkungan yang bisa merusak bendabenda tersebut.
3. Melindungi sepesies flora dan fauna yang langka atau hampir punah,
sehingga dapat menyelamatkan spesies flora dan fauna tersebut dari kepunahan.
9
2. Meningkatkan kapasitas SDM dalam meneliti dan meningkatkan kegiatan
studi
3. Menetapkan kawasan konservasi dugong dan habitatnya dalam tata ruang
laut Indonesia, maupun dalam peta zonasi kawasan konservasi perairan
4. Mengembangkan kelembagaan pengelolaan dugong dan habitatnya di
tingkat nasional maupun tingkat operasional di lapangan
5. Mengembangkan mekanisme penanganan dugong terdampar dan by-catch
6. Mengembangkan model pemanfaatan dugong dan habitatnya yang
memberikan dampak kepada masyarakat local dan pendapatan bagi daerah
dan Negara
7. Mengembangkan kampanye publik dalam rangka meningkatkan kesadaran
dan memperoleh dukungan masyarakat dalam upaya pelestarian dugong
dan habitatnya di Indonesia
8. Melakukan upaya penataan dan penegakan hukum
9. Melakukan pengendalian peredaran illegal dugong
10
(Kementerian Kelautan dan Perikanan), wilayah Aceh, Sumatera Utara dan
Padang masih kurang memperoleh informasi mengenai ekosistem lamun disana.
Selain itu, perlindungan dugong yang perlu dilakukan lagi adalah ketika
terjadinya By-catch. Dimana dugong by-catch ini merupakan penangkapan
dugong oleh alat tangkap nelayan secara tidak sengaja. Alat tangkat yang
umumnya dapat membuat dugong terhalang, terjebak, atau terjerat jarring adalah
alat tangkap jenis Gillnet (Jaring Insang), Sero, dan Jermal atau Jaring Kelong.
11
1. Pelaporan: menghubungi petugas pemerintah, seperti kepala pemerintah
setempat, polisi, TNI, DKP atau KKP, kelompok konservasi terdekat atau
bisa juga dengan memposting ke media sosial. Selain itu, jika ada dokter
hewan terdekat maka juga perlu dihubungi.
2. Dokumentasi dan Pencatatan: mendokumentasikan dan mencatat kondisi
Dugong dan lingkungan tempat Dugong ditemukan sekaligus alat tangkap.
Bentuk dokumentasi dapat berupa foto maupun video. Hasil dokumentasi
ini juga dapat langsung dilaporkan ke petugas yang telah dihubungi.
3. Persiapan Alat: langkah ke-3 dan seterusnya pada dasarnya disesuaikan
dengan kondisi Dugong. Apabila Dugong masih hidup, maka disiapkan
peralatan untuk menjaga stabilitas kondisi fisik Dugong. Sementara
apabila Dugong ditemukan sudah dalam kondisi mati, maka dipersiapkan
peralatan yang diperlukan untuk pemusnahan bangkai, melalui
pembakaran, penenggelaman, atau penguburan.
4. Menstabilkan Dugong: dilakukan pada Dugong yang masih hidup dengan
cara menjaga kondisi Dugong, baik secara fisik dari luka, sinar matahari,
benda asing, dan kelembaban, maupun secara non-fisik dari keramaian,
jaga ketenangan, pola pernapasan, dan tingkat stress Dugong.
5. Mengamankan Bangkai Dugong: dilakukan pada Dugong yang sudah mati
dengan cara menjaga bangkai Dugong dari jangkauan/kerumunan
penduduk serta menyiapkan Dugong untuk proses pemusnahan.
6. Konsultasi ke Petugas: untuk menanyakan proses tahapan selanjutnya.
Apakah dilepas liarkan langsung atau perlu dilakukan perawatan
sementara pada Dugong hidup. Dan apakah dibakar, dikubur, atau
ditenggelamkan pada Dugong mati. Lakukan proses selanjutnya sesuai
dengan instruksi petugas
Upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi terjadinya by-catch perlu
dilakukannya pengawasan saat proses penangkapan selama 1 – 2 jam sekali dan
perlu adanya semacam sistem zonasi wilayah perlindungan dugong dan wilayah
untuk penangkapan.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
Nontji, Anugerah. 2015. Dugong Bukan Putri Duyung. Jakarta: Oseanografi LIPI.
Jayanti, Ikha Mamanyu Utami. 2019. Wilayah Potensial Kejadian Dugong dugon
(Muller, 1776) Terdampar dan Strategi Pengelolaannya di Kabupaten
Maluku Tengah Provinsi Maluku. [Tesisi]. Semarang: Universitas
Diponogoro.
14
Hidayat, Rachmad, Muin Sinaga, Neil Edwin, Frengky Azrianto, Syarviddint
Alustco, Ince M. Rizqan. 2016. Dampak Kemunculan Dugong terhadap
Sosial Kemasyarakatan di Kabupaten Bintan. Bunga Rampai Konsevasi
dan Habitat Lamun di Indonesia: Bagian 1. Hal 15 – 24
15