Anda di halaman 1dari 10

Drone

Drone merupakan pesawat tanpa awak yang diterbangkan menggunakan kendali via
remote, smartphone ataupun komputer. Dengan menggunakan Drone, data dapat diperoleh
dengan biaya relatif rendah, dalam waktu relatif cepat, dan aman dalam berbagai kondisi
cuaca. Drone merupakan sistem tanpa awak (Unammed System), yaitu sistem berbasis
elektro-mekanik yang dapat melakukan misi-misi terprogram, dengan karakteristik sebagai
berikut :
1. Tanpa awak pesawat
2. Beroperasi pada mode mandiri baik secara penuh atau sebagian
3. Sistem ini dirancang untuk dapat dipergunakan secara berulang

Ada dua macam jenis drone, yaitu fixed wing dan multi rotor. Drone Fixed Wing
memberikan keuntungan dalam hal jarak tempuh dan lama terbang dibanding multi rotor.
Namun Fixed Wing membutuhkan lokasi terbuka yang luas untuk take-off maupun landing.
UAV Fixed Wing cocok diaplikasikan untuk survei pemetaan skala luas. UAV Multi Rotor
cocok untuk pemetaan yang tidak mempunyai area terbuka luas untuk take-off dan landing.
Survei dengan multi rotor memberikan keuntungan terkait dengan tingkat kedetilan objek
yang dapat diperoleh. Multi Rotor menggunakan beberapa motor sebagai penggeraknya,
sehingga membutuhkan sumber tenaga lebih yang berakibat pada jangkauan dan lama
terbang berkurang.
Drone atau pesawat tanpa awak mulai diaplikasikan untuk dunia pertanian. drone
digunakan terutama untuk pertanian dengan lahan skala luas. Seperti lahan padi, jagung dan
perkebunan anggur. Keterbatasan mata manusia untuk mengawasi hamparan luas, dapat diatasi
dengan menggunakan drone pertaniann yang dapat menangkap citra dari atas dan memberikan
informasi penting mengenai kondisi tanaman dan lingkungan disekitarnya bahkan secara live.
Drone agriculture dapat memantau areal pertanian dalam skala luas dengan lebih akurat
dan lebih jelas dibandingkan foto citra satelit. Keakuratan citra bisa disesuaikan berdasarkan
kebutuhan dan tingkat kecanggihan alat. Semakin canggih kamera memungkinkan citra atau
gambar yang didapat bisa lebih akurat dan jernih.

DEM (Digital Elevation Model)


Digital Eelevation Model atau yang sering disebut dengan DEM memiliki beberapa
pengertian yang pada dasarnya memiliki arti yang sama. DEM adalah data digital yang
menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari
himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari permukaan dengan algoritma yang
mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan himpunan koordinat [3]. Model DEM ini
bisa dibentuk berdasarkan titik-titik koordinat yang kemudian dihubungan dengan segitiga
tidak beraturan yang mempunyai tekstur, sehingga dapat merepresentasikan permukaan objek
yang dimodelkan. DEM terbagi menjadi dua yaitu DSM dan DTM. Digital Terrain Model
(DTM) merupakan gambaran permukaan digital dari permukaan tanah tanpa ada bangunan di
atasnya. Sedangkan dengan Digital Surface Model (DSM) merupakan permukaan digital
yang merepresentasikan permukaan bumi beserta bangunan dan pohon di atas permukaan
tanah.

Pengaruh drone dalam pertanian


milenial
Drone atau pesawat tanpa awak mulai diaplikasikan untuk dunia pertanian. drone
digunakan terutama untuk pertanian dengan lahan skala luas. Seperti lahan padi,
jagung dan perkebunan anggur. Keterbatasan mata manusia untuk mengawasi
hamparan luas, dapat diatasi dengan menggunakan drone pertaniann yang dapat
menangkap citra dari atas dan memberikan informasi penting mengenai kondisi
tanaman dan lingkungan disekitarnya bahkan secara live.

Drone agriculture dapat memantau areal pertanian dalam skala luas dengan lebih
akurat dan lebih jelas dibandingkan foto citra satelit. Keakuratan citra bisa disesuaikan
berdasarkan kebutuhan dan tingkat kecanggihan alat. Semakin canggih kamera
memungkinkan citra atau gambar yang didapat bisa lebih akurat dan jernih fungsi
penting drone agriculture dalam sektor pertanian yaitu

Drone dapat membantu pekerjaan


pertanian yaitu
1. Investigasi kesehatan tanaman.
Dengan menggunakan kamera NDVI (Normalized Difference vegetatif Index), hasil
pencitraan dari drone dapat menilai apakah target yang diamati mengandung vegetasi
hijau hidup atau tidak. Tanaman yang sakit akan terlihat menunjukkan suatu warna
yang berbeda dibandingkan tanaman normal. Sehingga titik penyebaran penyakit bisa
terdeteksi dan segera dilakukan pencegahan secepatnya.

2. Inspeksi pengairan/irigasi .
Pengairan atau irigasi merupakan faktor utama dalam pertumbuhan tanaman. Dengan
pencitraan melalui drone, laju pengairan bisa terkontrol dan wilayah yang kekurangan
air bisa terdeteksi lebih cepat.

3. Identifikasi gulma.
Sama halnya dengan pemantauan kesehatan tanaman, NDVI dapat digunakan untuk
identifikasi gulma. Sehingga dengan pencitraan dari drone, perkembangan gulma bisa
terdeteksi lebih akurat.

4. Identifikasi kesuburan tanah.


Drone dapat digunakan untuk mengambil citra permukaan tanah sekaligus
menganalisis kondisi kandungan tanah. Jika dalam satu hamparan terdeteksi
mengandung unsur hara tidak merata, maka dosis pemberian pupuk bisa diberikan
sesuai dengan kondisi tanah. Artinya dalam satu blok bisa diberikan lebih banyak
pupuk dibandingkan blok lainnya jika terdeteksi kurang hara.

5. Aplikasi drone sprayer nutrisi atau pestisida.


Berbeda dengan fungsi pencitraan, fungsi aplikasi penyemprotan bisa digunakan untuk
mengganti tenaga penyemprotan secara manual. Dengan drone penyemprotan bisa
lebih cepat, hemat air dan merata.

Kesimpulan
Teknologi Drone untuk pertanian indonesia sudah berkembang dalam sektor pertanian
modern di indonesia dalam pekerjaan penyemprotan lahan pertanian hingga inspeksi
kesehatan tanaman skala besar dalam hal ini fulldronesolutions menyediakan jasa
hingga produk untuk menunjang pertanian modern indonesia

Arcgis di pertanian

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian berupaya meningkatkan


akurasi, kecepatan dan kualitas data pertanian. Salah satunya data pertanian yang penting
adalah data produksi tanaman pangan. Penguatan data tanaman pangan dilakukan dengan
sinkronisasi data ditiap kabupaten yang dilakukan dengan tepat, dikarenakan data-data
Penguatan Data Pangan Strategis (PDPS) di Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
(Pusdatin) tersebut digunakan sebagai salah satu acuan untuk konfirmasi data KSA BPS.
Pada saat ini data yang disinkronkan masih  berupa data tabular yang dikumpulkan dari setiap
Kabupaten. Untuk peningkatan kualitas data tanaman pangan yang akan disinkronkan dengan
KSA BPS maka Direktorat Jenderal Tanaman Pangan bekerjasama dengan Pusat Data dan
Sistem Informasi Pertanian memanfaatkan aplikasi collector for ArcGis untuk mendapatkan
data spasial lahan tanaman pangan. aplikasi Collector for ArcGIS dapat didownload di
Playstore untuk Android dan di AppStore untuk Iphone. Aplikasi Collector for ArcGIS ini
merupakan alat bantu bagi petugas lapang didalam pengambilan data spasial lahan pertanian.
Dengan aplikasi Collector for ArcGIS, bisa mengumpulkan data spasial di lapangan dengan
background peta (basemap) dari ArcGIS Online dan juga bisa menambahkan foto
berkoordinat pada obyek data spasial tersebut. Bahkan bisa menambahkan informasi pada
attribute data spasial tersebut melalui form yang sebelumnya telah dibuat melalui ArcGIS
online sebelum pergi ke lapangan.

pemanfaatan aplikasi collector for Arcgis Pemetaan lahan tanaman pangan saat ini
masih difokuskan pada komoditas tanaman padi dan jagung terlebih dahulu. Uji coba
pemanfaatan aplikasi collector for Arcgis ini dilakukan di dua Kabupaten yaitu di Kabupaten
Garut dan Kabupaten Sukabumi di Provinsi Jawa Barat.

Dengan dilakukan sosialisai pemanfaatan aplikasi collector for Arcgis diharapkan


petugas pengumpul data dilapangan dapat memetakan lahan pertanaman padi dan jagung
serta lampiran foto berkoordinat dengan menggunakan aplikasi open camera, sehingga dapat
diperoleh data spasial lahan tanaman pangan.
Manfaat dengan diperolehnya data spasial lahan tanaman pangan antara lain ;
memperkuat akurasi data KSA BPS, mendorong pemetaan baku lahan yang lebih baik, dan
memperoleh realitas pertanaman secara massif (berbasis desa).

Pemanfaatan Citra Satelit dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian

Sektor pertanian telah dan terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui
pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku
industri,  pengentasan kemiskinan, penyedia lapangan kerja dan peningkatan pendapatan
masyarakat. Selain kontribusi langsung, sektor pertanian juga memiliki kontribusi yang tidak langsung
berupa efek pengganda (multiplier effect), yaitu keterkaitan input-output antar industri, konsumsi dan
investasi. Dampak pengganda tersebut relatif besar sehingga sektor pertanian layak dijadikan
sebagai sektor andalan dalam pembangunan ekonomi nasional.

Perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam yang baik mutlak diperlukan dalam pengembangan
pertanian. Tersedianya informasi potensi sumber daya lahan untuk pengembangan komoditas
pertanian akan sangat membantu upaya peningkatan produksi komoditas pertanian secara
berkelanjutan.  Salah satu informasi dasar yang dibutuhkan untuk pengembangan pertanian adalah
data spasial (peta) potensi sumberdaya lahan, yang memberikan informasi penting tentang distribusi,
luasan, tingkat kesesuaian lahan, faktor pembatas, dan alternatif teknologi yang dapat diterapkan
(Suryana et.al, 2005).   Penginderaan Jauh Citra Satelit dan Geographic Information System (GIS)
merupakan teknologi spasial yang sangat berguna dalam perencanaan pertanian.

Lillesand dan Kiefer (1990) mendefenisiskan penginderaan jauh sebagai ilmu dan seni untuk
memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan menganalisis data yang diperoleh
menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau gejala yang dikaji.

Gambar 1. Aplikasi Citra Satelit dalam klasifikasi Pengguna Lahan

Saat ini, teknologi penginderaan jauh citra satelit mampu menyediakan data dengan cakupan yang
luas, secara cepat dan tepat waktu. Dengan didukung sistem informasi geografis, maka perencanaan
spasial dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat (Jaya, 2003). Citra dapat dibedakan atas citra
foto (photographic image) atau foto udara dan citra non foto (non photographic image).
Dalam perencanaan bidang pertanian, citra satelit dapat dimanfaatkan antara lain untuk 
perencanaan pola tanam dan  perencanaan peremajaan tanaman.  Ketersediaan data citra dapat
membantu dalam menetukan kesesuaian lahan untuk pengembangan komoditi tertentu sesuai
dengan kelas kemampuan lahan. Melalui citra, dapat diketahui gejala atau kenampakan di
permukaan bumi.  Citra dapat dengan cepat menggambarkan objek yang sangat sulit dijangkau oleh
pengamatan langsung (lapangan) melalui intrepretasi citra. Intrepretasi citra untuk mengenali objek
dilakukan melalui tahapan deteksi, identifikasi dan analisis citra.

Salah satu keuntungan dari data citra satelit untuk deteksi dan inventarisasi sumberdaya lahan
pertanian adalah setiap lembar (scene) citra ini mencakup wilayah yang sangat luas yaitu sekitar 60–
180 km2 (360.000–3.240.000 ha). Dengan mengamati daerah yang sangat luas sekaligus,  beserta
keadaan lahan yang mencakup topografi/relief, pertumbuhan tanaman/ vegetasi dan fenomena alam
yang terekam dalam citra member peluang untuk mengamati, mempelajari pengaruh iklim, vegetasi,
litologi dan topografi terhadap penyebaran sumberdaya lahan dan lahan pertanian (Puslit. Tanah dan
Agroklimat, 2000).

Dengan teknologi Inderaja, penjelajahan lapangan dapat dikurangi, sehingga akan menghemat waktu
dan biaya bila dibanding dengan cara teristris di lapangan. Pemanfaatan teknologi Inderaja di
Indonesia perlu lebih dikembangan dan diaplikasikan untuk mendukung efisiensi pelaksanaan
inventarisasi sumberdaya lahan/tanah dan identifikasi penyebaran karakteristik lahan pertanian (lahan
sawah, lahan kering, lahan rawa, lahan tidur, lahan kritis, estimasi produksi) terutama pada wilayah
sentra produksi pangan.

Gambar 2. Perencanaan lahan-lahan pertanian yang akan ditanami jenis tanaman dengan varietas
tertentu dalam pilot projek penelitian diversifikasi dan ketahanan terhadap hama dan penyakit.

Beberapa jenis citra satelit yang biasa digunakan adalah citra satelit Landsat, SPOT, Ikonos (untuk
perencanaan penggunaan lahan dan hidrologi), NOAA, Meteor dan GMS (untuk klimatologi), dan lain
sebagainya.  Ketersediaan citra IKONOS dan SPOT 5 yang mempunyai resolusi spasial yang tinggi
telah membuka peluang untuk mendapatkan informasi tutupan lahan detail. Citra IKONOS telah
digunakan oleh banyak pemerintah daerah kabupaten dan atau perusahaan swasta nasional untuk
memetakan sumber daya alam yang ada di wilayahnya.

III.    Aplikasi GIS dalam Perencanaan Pertanian

Menurut  Puntodewo, et.al, (2003) secara harafiah, GIS (Geographic Information System) atau Sistem
Informasi Geografis (SIG)  dapat diartikan sebagai ”suatu komponen yang terdiri dari perangkat
keras,perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif
untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi,
mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis”.

Dilihat dari definisinya, GIS adalah suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang tidak dapat
berdiri sendiri-sendiri. Memiliki perangkat keras komputer beserta dengan perangkat lunaknya belum
berarti bahwa kita sudah memiliki GIS apabila data geografis dan sumberdaya manusia yang
mengoperasikannya belum ada.  Kemampuan sumberdaya manusia untuk memformulasikan
persoalan dan menganalisa hasil akhir sangat berperan dalam keberhasilan sistem GIS.

Sebagai suatu bentuk sistem informasi, GIS menyajikan informasi dalam bentuk grafis dengan
menggunakan peta sebagai antar muka, saat ini banyak digunakan untuk perencanaan, pelaksanaan,
dan pengendalian yang berkaitan dengan wilayah geografis.  Subaryono (2005) mengemukakan
bahwa GIS sering digunakan untuk pengambilan keputusan dalam suatu perencanaan. Para
pengambil keputusan akan lebih mudah untuk menganalisa data yang ada dengan menggunakan
GIS.

Gambar 3.  Pemanfaatan GIS dalam perencanaan bidang pertanian


Aplikasi GIS pada perencanaan bidang pertanian antara lain (1) Perencanaan Pengelola Produksi
Tanaman, GIS dapat digunakan untuk membantu perencanaan pengelolaan sumberdaya pertanian
dan perkebunan seperti luas kawasan untuk tanaman, pepohonan, atau saluran air. Selain itu GIS
digunakan untuk menetapkan masa panen, mengembangkan sistem rotasi tanam, dan melakukan
perhitungan secara tahunan terhadap kerusakan tanah yang terjadi karena perbedaan pembibitan,
penanaman, atau teknik yang digunakan dalam masa panen. Proses pengolahan tanah, proses
pembibitan, proses penanaman, proses perlindungan dari hama dan penyakit tananan dapat dikelola
oleh manager kebun, bahkan dapat dipantau dari direksi;   (2) Perencanaan Pengelola Sistem Irigasi,
GIS digunakan untuk membantu perencanaan irigasi dari tanah-tanah pertanian. GIS dapat
membantu perencanaan kapasitas sistem, katup-katup, efisiensi, serta perencanaan distribusi
menyeluruh dari air di dalam sistem.

Gambar 4.  Sistem Informasi Geografi (GIS) berbasis pemetaan

Walaupun saat ini penggunaan GIS dalam bidang pertanian belum umum dipakai, tapi bukanya tidak
mungkin penerapan GIS dalam dunia pertanian akan makin sering dipakai. Sistem GIS ini bukan
semata-mata software atau aplikasi komputer, namun merupakan keseluruhan dari pekerjaan
managemen pengelolaan lahan pertanian, pemetaan lahan, pencatatan kegiatan harian di kebun
menjadi database, perencanaan system dan lain-lain. Sehingga bisa dikatakan merupakan
perencanaan ulang pengelolaan pertanian menjadi sistem yang terintegrasi. Dalam jangka panjang,
bisa direduksi kemungkinan permasalahan lahan baik fisik maupun sosial. Bahkan dapat menjamin
keberlangsungan perkebunan sebagai contohnya, dengan syarat pihak managemen senantiasa
mempelajari berjalannya sistem ini dan mengambil keputusan managerial yang tepat.

IV. Tantangan Pemanfaatan Citra Satelit dan GIS

Penggunaan GIS belum lama dimulai, dan cukup bervariasi antar negara, yaitu dalam hal tujuan,
aplikasi, skala operasional, kesinambungan, dan pembiayaan. Proses dimulainya penggunaan GIS di
negara berkembang pada umumnya adalah dari proyek percontohan, dan bukan sistem yang berjalan
secara operasional. Oleh karena itu GIS sebagian besar dikembangkan tanpa sebuah obyektif jangka
panjang untuk mengintegrasikannya dengan GIS atau basisdata lain. GIS sebagian besar bukan
dimaksudkan untuk digunakan oleh banyak orang dan biasanya dirancang untuk keperluan khusus.

Selain itu GIS lebih banyak dikembangkan pada level regional daripada level nasional dan urban.
Dataset kebanyakan terdiri dari data biofisik, sedangkan data sosial-ekonomi jarang tercakup. Karena
pendanaan dari pengembangan GIS kebanyakan dari bantuan internasional, proyek GIS cenderung
dikelola oleh ahli yang biasanya masa kerjanya pendek, dan bukan oleh staf lokal.

Kendala yang dihadapi, sekaligus juga merupakan tantangan dalam pembangunan sebuah sistem
informasi, khususnya sistem informasi yang juga memasukkan aspek spasial (keruangan) antara lain
di pasaran dewasa ini, banyak sekali ditawarkan perangkat lunak yang khusus untuk menyeiakan
data spasial tersebut dengan harga yang bervariasi. Faktor yang menjadi kendala terutama bagi
pengguna yang sangat awam terhadap disiplin ilmu ”Sistem Informasi Geografis” dan hanya ingin
mendapatkan informasi yang diinginkan saja tanpa perlu mengetahui lebih dalam tentang proses
bisnisnya.

Faktor pengoperasian perangkat lunak juga menjadi kendala karena kurangnya kapasitas sumber
daya manusia yang dalam bisang ini.  Faktor data penunjang, utamanya data spasial, yang relatif
lebih mahal dan mempunyai rentang waktu pembaruan data yang relatif lebih lama dibandingkan
dengan data tabular.  Hal ini mengakibatkan ketersediaan data yang diinginkan oleh penggunakan
sangat terbatas karena untuk mendapakan diperlukan biaya yang cukup tinggi.  Secara umum untuk
saat ini teknologi ini masih sangat terbatas dan aplikasinya masih sangat terbatas dalam bidang
pertanian.
Selain kendala yang berkaitan dengan proses dimulainya pengembangan GIS di atas, beberapa
faktor lain yang menghambat pemakaian dan pengembangan GIS di Negara berkembang adalah
kurangnya sumber dana, kurangnya pendidikan di bidang ini, kurangnya komunikasi antara para
birokrat dengan teknokrat, rendahnya alur informasi, faktor politis yang berubah dengan cepat,
kurangnya keleluasaan untuk memilih dan mengembangkan GIS karena bantuan asing yang
biasanya cukup mengikat.

Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, pelatihan merupakan langkah penting untuk


mengembangkan kapasitas sumber daya manusia. Selain itu komitmen dari lembaga pemerintah
untuk pemakaian GIS, terutama dalam hal perencanaan, akan sangat berguna.  Juga dengan
melibatkan instansi lain seperti industri dan lembaga internasional, kemungkinan keberhasilan
pengembangan GIS akan meningkat.

V.  Kesimpulan

Pemanfaatan citra satelit dan GIS dalam perencanaan pengembangan pertanian sangat dibutuhkan
utamanya dalam perencanaan pengelolaan produksi tanaman, perencanaan sistem irigasi, dan
perencanaan peremajaan tanaman.  Namun demikian terdapat kendala yang juga merupakan
tantangan dan hambatan dalam aplikasinya antara lain mengenai ketersediaan data yang masih
terbatas, harga yang cukup mahal, serta sumber daya manuasia dalam bidang ini yang masih
terbatas.  Untuk itu diperlukan pelatihan secara intensif untuk mengembangkan kapasitas sumber
daya manusia serta komitmen pemerintah untuk pemakaian teknologi GIS terutama dalam hal
perencanaan.

Daftar Pustaka

Jaya, I N S, 2003. Prospek Pemanfaatan Citra Resolusi Tinggi dalam rangka Identifikasi Jenis Pohon:
Studi kasus menggunakan Citra CASI (Compact Airborne Spectographic Imager) dan IKONOS di
Kebun Raya Bogor. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XII dan Kongres III Mapin. Bandung.

Lillesand and Kiefer, 1993. Remote Sensing And Image Interpretation, Jhon Villey and Sons, New
York.
Puntodewo.A, S.Dewi, J.Tarigan, 2003.  Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Sumberdaya
Alam.  Center for International Forestry Research (CIFOR).

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000.  Sumberdaya Lahan Indonesia dan  Pengelolaannya.
Puslit. Tanah dan  Agroklimat. Bogor.

Subaryono, 2005, Pengantar Sistem Informasi Geografis. Jurusan Teknik. Geodesi, FT UGM.
Yogyakarta.

Suryana, A., A. Adimihardja, A. Mulyani, Hikmatullah, dan A.B. Siswanto. 2005.  Prospek dan Arah
Pengembangan Agribisnis: Tinjauan aspek kesesuaian lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai