Anda di halaman 1dari 15

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Proto-Deutro Melayu


Mulai dari tahun 2500 SM sampai tahun 300 SM, terjadi dua gelombang
kedatangan manusia yang disebut proto-Melayu dan deutro-Melayu. Baik proto
maupun deutro-Melayu masing-masing memiliki kelebihan dibandingkan
Weddoide. Proto-Melayu sudah memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi
dalam bercocok tanam. Kecenderungan proto-Melayu tidak berpindah pindah,
menyebabkan muncul pemukiman pemukiman baru. Hal ini dapat dikesani dalam
kehidupan Suku Talangmamak, Laut, dan Akit. Seperti Suku Sakai di atas,
mereka masih disebut sebagai orang asli.
Di sisi lain deutro-Melayu sudah mengembangkan dirinya pada tahap yang
tercapai oleh proto-Melayu. Kecenderungan otoMelayu yang mulai menetap
dalam suatu adalah juga kecenderungan utama deutro-Melayu, memungkinkan
terjadinya perkongsian hidup di antara mereka, meskipun tidak sedikit manusia
dari kalangan proto-Melayu, harus mengasingkan diri. Deutro-Melayu
berkomunikasi dengan luar, sehingga tatanan hidup mereka lebih bervariasi. Jejak
deutro-Melayu ini antara lain dapat ditemui di Bangkinang, Kuantanmudik, dan
Rokan melalui penemuan arca serta perhiasan dari bahan perunggu.
Kenyataan di atas memperlihatkan, deutroMelayu yang sudah berbaur dengan
penduduk sebelumnya dan melakukan kontak dengan kawasan di sekitarnya,
sudah pasti memunculkan pemukiman-pemukiman. Sekilas dapat dibayangkan,
perhiasan dan arca yang ditemukan di sejumlah tempat sebagaimana disebutkan di
atas, merupakan bagian dari sikap individu dalam berinteraksi sesamanya.

2.2 Kerajaan-kerajaan Melayu Kuno


Pada gilirannya manusia sebagaimana disebutkan di atas membentuk
pemukiman-pemukiman tersendiri di pinggir-pinggir pantai maupun sungai.
Pengelompokan ini memerlukan pengaturan sebagaimana sifat fitrah manusia.
Sifat tersebutlah yang menjadi cikal bakal berdirinya kedaulatan sebagai berikut:
2.2.1 Kerajaan Kandis
Kerajaan Kandis merupakan kerajaan tua di Riau. Belum dapat diketahui
secara pasti tahun berapa kerajaan ini didirikan. Catatan tentang kerajaan Kandis
ditemukan dalam kitab Negara Kertagama yang menyebutkan bahwa Kandis
merupakan salah satu kerajaan yang berada dalam taklukan Majapahit.
Daerah kekuasaan kerajaan Kandis diperkirakan meliputi daerah Kuantan
sekarang ini yaitu mulai dari hulu Batang Kuantan Negeri Lubuk Ambacang
sampai ke Cerenti. Ibukota kerajaan Kandis adalah Padang Candi, yaitu suatu
tempat di pinggir Batang Kuantan. Dinamakan Padang Candi karena di situ
terdapat gugusan candi.Kandis pada waktu itu merupakan suatu kerajaan yang
telah sanggup berdiri sendiri dan makmur. Tanah Kandis yang subur
menghasilkan berbagai bentuk hasil bumi antara lain rempah-rempah.
2.2.2 Katangka
Dekat Muara Takus, Kabupaten Kampar sekarang, besar kemungkinan
pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Katangka. Tetapi sistem pemerintahannya
belum dapat diuraikan. Sebutan "katangka" itu sendiri dapat bermakna sebagai
bangunan yang berbentuk stupa, berasal dari kata "katanko" atau "kelangko". Dari
kata "kelangko".
2.2.3 Sriwijaya
Pusat Kerajaan Sriwijaya sebenarnya masih diperdebatkan banyak sarjana.
Ada yang menyebutkan di Thailand, Jawa, Palembang, dan Muara Takus yang
kini termasuk dalam administratif Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Salah
seorang pakar yakni J.L. Moens, menyebutkan semula Sriwijaya berada di pantai
timur Semenanjung Melayu (Malaysia sekarang), kemudian pindah ke Muara
Takus (ibid).
Dua faktor utama yang memperkuat Muara Takus sebagai pusat Sriwijaya.
Pertama, adalah posisinya yang terletak di pinggir sungai yakni Sungai Kampar
yang pada waktu dahulu dapat dilayari kapal sampai ke hulu, dengan muaranya di
Selat Melaka. Kedua adalah banyak ditemui bangunan besar dan peninggalan-
peninggalan lain. Hal terakhir ini sulit ditemui di kawasan yang juga disebut-
sebut sebagai pusat Sriwijaya semacam Palembang yang hanya ditemui stupa
kecil, meskipun daerah inilah yang paling gencar menyebutkan wilayahnya
sebagai pusat Sriwijaya.
2.2.4 Sintong dan Siarang-arang
Selain Muara Takus, penemuan-penemuan benda yang tergolong kuno di
Riau, sekaligus menunjukkan suatu kedaulatan, adalah di Sintong dan Siarang-
arang, sekarang maşuk ke dalam administratif Kabupaten Rokan Hilir.
Sayangnya, dua tempat ini belum “seberuntung” Muara Takus, karena kajian
terhadapnya masih amat terbatas—padahal penelitian di Muara Takus sendiri pun
amatlah kurang. Di sisi lain banyak benda-benda peninggalannya sudah beralih
fungsi bahkan dilaporkan sempat menjadi tiang panggung rumah penduduk.
Hanya saja, dari peninggalan yang sempat ditemui, memperlihatkan bahwa dua
wilayah ini pernah terdapat suatu sistem pengaturan masyarakat secara terpadu.
2.2.5 Kuantan
Kerajaan Kuantan pada dasarnya merupakan kelanjutan dari kerajaan Kandis
itü sendiri. Suatu ketika Kuantan tidak memiliki raja. Maka kebetulan pada waktu
itu datang rombongan raja dari Bintan yang bernama Sang Sapurba. Kedatangan
Sang Sapurba sangat dielu-elukan oleh rakyat Kuantan. Sang Sapurba kemudian
diangkat menjadi raja Kuantan, dengan gelar Tri Murti Buana.
2.2.6 Keritang
Kerajaan Keritang terpusat di pinggir Sungai Gangsal. Kata Keritang
diperkirakan berasal dari kata "itang". İtang adalah sejenis tumbuh-tumbuhan
yang banyak terdapat di sekitar sungai Gangsal.
Menurut petunjuk yang ada, berakhirnya kerajaan Keritang disebabkan oleh
karena rajanya yang bernama Raja Merlang, ditawan oleh Melaka. Raja Merlang
ini kemudian menikah dengan anak raja Melaka, Sultan Mansyur Syah, dan
memiliki seorang anak yang bernama Nara Singa. Nara Singa inilah yang
nantinya menjadi Raja di Indragiri.
2.2.7 Gasib
Kerajaan Gasib atau Siak Gasib, diperkirakan telah berdiri pada abad ke-14
atau 15 Masehi. Pusat kerajaan Gasib terletak di tepi sebuah anak sungai, yang
bernama Gasib. Tempat ini berada Hulu Kuala Mandau sekarang ini.Gasib
menguasai wilayah sepanjang sungai Siak, mulai dari paling Hulu, yaitu di Bukit
Seligi Tapung sampai Bukit Langga, Tapung Kanan.
Setelah ditaklukkan Melaka, Gasib memasuki era kepemimpinan yang
beragama Islam. Sułtan Mansyur Syah, kemudian mengangkat anak raja Gasib
yang ditaklukkan [Raja Permaisura] yang bernama Megat Kudu, untuk menjadi
Raja Gasib di bawah perlindungan Melaka. Megat Kudu kemudian memeluk
agama Islam dan menjadi menantu raja Melaka, bergelar Sułtan Ibrahim.
Saat Melaka diperintah oleh Riayat Syah [1477-1488], diangkat Raja
menggantikan ayahnya, Sułtan Ibrahi raja Gasib. Pada masa Sułtan Mahmud
menjadi Raja Melaka [1488-1511] diangkat pula Sułtan Husin menjadi raja Gasib,
menggantikan Sułtan Abdullah.
2.2.8 Segati
Kerajaan ini terletak di Hulu Sungai Segati, di tepi sungai Kampar. Kerajaan
Segati didirikan oleh Tuk Jayo Sati, keturunan Maharaja Olang. Pusat kerajaan
pertama kali terletak di Tanjung Bungo, tapi kemudian atas prakarsa putranya
yang bernama Tuk Jayo Tunggal, pusat kerajaan dipindahkan ke Ranah Gunung
Setawar, di hulu Sungai Segati. Setelah Tuk Jayo Tunggal meninggal dunia,
diangkatlah Tuk Jayo Alam, puteranya, sebagai raja.
Kerajaan Segati mengalami kemunduran dan bahkan hancur ketika tidak
mampu melawan serangan Aceh. Setelah kalah, Tuk Jayo Bedil melarikan diri ke
Petalangan Rapuh, dan kemudian Kuantan. Pada masa berikutnya, wilayah
kekuasaan Segati, menjadi bagian dari kerajaan Pelalawan.
2.2.9 Pekantua
Kerajaan ini berlokasi di hulu sungai Pekantua, Pelalawan. Kerajaan ini
didirikan Maharaja Indera dari Kerajaan Tumasik (Singapura). Di Pekantua,
Maharaja Indera membangun istananya di Pematang Tua.
Diperkirakan, kerajaan Pekantua didirikan pada penghujung abat ke-14 M,
lebih kurang sezaman dengan kerajaan Melaka. Setelah Maharaja Indera mangkat,
ia digantikan oleh puteranya Maharaja Pura. Setelah era Maharaja Pura,
pemerintahan dilanjutkan oleh Maharaja Laka, dan kemudian dilanjutkan lagi oleh
Maharaja Syisya. Pada masa Maharaja Syisya ini, dibangun sebuah bandar baru di
seberang Pekantua, yang dinamakan Bandar Nasi. Setelah memerintah beberapa
lama, Maharaja Syisya kemudian digantikan oleh putranya Maharaja Jaya.
2.3 Sejarah Melayu Islam dan Era Kolonial
Hasbullah menulis (2012; 50), kehadiran Islam di dunia Melayu merupakan
permulaan babak baru, karena disamping menjadi sumber bagi adat Melayu, juga
dijadikan sebagai pelurus berbagai segi kebudayaan Melayu yang dianggap salah
dengan ajaran Islam. Dari sini terlihat dengan jelas dominasi Islam dalam
kebudayaan Melayu, sehingga Islam mewarnai segala aspek kehidupan orang
Melayu, menggantikan berbagai sebutan untuk yang kuasa (dewa-dewa) menjadi
Allah dan menggantikan berbagai simbol keagamaan yang dipandang menyalahi
ajaran Islam.
Pengaruh Islam yang memuncak dengan kejayaan Melaka pada abad ke-14,
diiringi oleh mulai mencengkeramnya pengaruh kolonial asing. Kenyataan ini
dapat diuraikan sebagai berikut:
2.3.1 Kedaulatan Melayu Islam di Riau
1. Rantau Nan Oso Kurang Duapuluh
Pada suatu masa, pengaturan kehidupan masyarakat di Kuantan dan Sengingi
dikendalikan oleh konfederasi negeri (koto) yang dinamakan Rantau Nan Oso
Kurang Duapuluh (rantau kurang satu duapuluh). Meskipun masing-masing
negeri (koto) memiliki otonomi tersendiri, permasalahan antarkoto dilaksanakan
melalui musyawarah orang gedang di Teluk Kuantan yang dipimpin Datuk Bisai.
2. Andiko Nan 44
Pemerintahan Andiko Nan 44 meliputi negeri-negeri yang terdapat di Kampar
Kiri, Kampar Kanan, Tapung Kanan, serta Rokan, yang semuanya berjumlah 44
negeri. Pemerintahan Andiko Nan 44 diperkirakan berdiri pada tahun 1347. Pusat
pemerintahan Andiko Nan 44, berada di Muara Takus. Pucuk pemerintahan
pertama dipegang oleh Datuk Simarajo di Balai dari suku Domo. Dalam
melaksanakan pemerintahan, dibantu oleh satu lembaga kerapatan yang
merupakan utusan dari empat suku yaitu: l) Datuk Raja Ampuni dari suku
Peliangtahan, 2) Datuk Mojolelo dari suku Domo, 3) Datuk Malingtang dari suku
Caniago, 4) Datuk Paduko Rajo dari suku Melayu.
3. Gunung Sahilan
Kerajaan Gunung Sahilan diperkirakan berdiri pada abad ke-16. Secara garis
besar, Kerajaan Gunung Sahilan terbagi dalam dua wilayah besar, yaitu Rantau
Daulat dan Rantau Andiko. Rantau Daulat adalah daerah pusat kerajaan. Rantau
daulat berpusat di Kenegerian Gunung Sahilan. Sedangkan Rantau Andiko adalah
daerah kekuasaan Khalifah yang berempat di Mudik.
Kerajaan Gunung Sahilan berdiri selama lebih kurang 300 tahun. Selama itu
Kerajaan Gunung Sahilan diperintah oleh sembilan orang raja atau sultan dan satu
orang putra mahkota yang akan dinobatkan menjadi sultan apabila raja yang
terakhir wafat.
4. Kerajaan Tambusai
Kerajaan Tambusai merupakan salah satu kerajaan yang tua di tanah Rokan.
Ibu negerinya terletak di Dalu-Dalu. Tidak diketahui secara pasti tahun berdirinya,
namun diperkirakan setelah masuknya Islam di dari Datuk Srimaharajo, Datuk
Paduko Tuan, Datuk Temenggung dan Datuk Paduko Rajo, Setelah Sultan
Mahyuddin wafat, ia digantikan Oleh putranya yang bernama Jena, kemudian
bergelar Sultan Zainal, Selama pemerintahannya tidak terdapat perubahan yang
penting, kecuali perubahan gelar Datuk Seri Paduko, Datuk Setia Raja, Datuk
Mangkuto Majolelo dan Datuk Majo Indo.
5. Indragiri
Kerajaan Indragiri dapat dikatakan merupakan kelanjutan dari Kerajaan
Keritang. Raja pertama kerajaan Indragiri adalah Nara Singa. la adalah anak dari
raja Keritang terakhir yang ditawan Oleh Melaka, yaitu Raja Merlang. Sebagai ibu
kota, dipilih suatu tempat yang terletak di tepi sungai di wilayah Pekantua.
Menurut satu pendapat, nama Indragiri berasal dari nama anak sungai tempat
didirikannya kerajaan ini, yaitu sungai Pangandalandiri. Daerah kekuasaan
kerajaan Indragiri, adalah mulai dari Baturijal, sepanjang sungai Inderagiri, sungai
Gangsal dan Keritang.
6. Rambah
Kerajaan Rambah didirikan di Pengaraiyan, yaitu di negeri Rambah. Daerah
ini termasuk ke dalam daerah kekuasaan Kerajaan Tambusai, bahkan raja Rambah
pertama adalah saudara Sultan Tambusai sendiri. Nama raja itu Tengku Muda.
Untuk menjaga kemungkinan masa depan diadakan ikrar bersama antara raja
Tambusai dengan raja Rambah. Beberapa raja yang pernah memimpin kerajaan
Rambah, di antaranya yaitu Tengku Muda, Yang Dipertuan Djumadil Alam Sari,
Mohamad Syarif Yang Dipertuan Besar, Sultan Zainal Puan Kerajaan Rambah,
Sultan Mahmud Manjang, dan Tengku Saleh Yang Dipertuan Besar Rambah.
7. Kunto Darussalam
Kerajaan Kunto Darussalam berdiri setelah kerajaan Tambusai, yaitu ketika
Tambusai diperintah oleh Sultan Syaifuddin. Pusat kekuasaannya terletak di Kota
Lama. Kerajaan Kunto Darussalam merupakan pusat penyebaran Islam di daerah
Rokan.

8. Kepenuhan

Kerajaan Kepenuhan, didirikan setelah kerajaan Tambusai berkembang


dengan pesat. Ibu negerinya terletak di Kota Tengah. Tidak ada catatan pasti
tentang waktu berdirinya kerajaan Kepenuhan. Dalam catatan tentang kerajaan
Tambusai disebutkan, bahwa kerajaan Kepenuhan berdiri ketika Tambusai
dipimpin oleh Sultan yang ketujuh, Sultan Duli yang Dipertuan Tua. Jika
disanding dengan kerajaan Kunto Darussalam yang didirikan pada masa
Tambusai diperintah Oleh raja yang ke-5, maka diperkirakan kerajaan Kepenuhan
berdiri pada penghujung abad ke-19.
9. Rokan IV Koto
Pada sekitar abad Ke-14, terdapat kerajaan yang berpusat di Kota Lama, yaitu
Kerajaan Rokan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa perkataan Rokan berasal
dari kata "rokana" yang berarti rukun dan damai. Ini melambangkan bahwa
kerajaan Rokan adalah sebuah kerajaan Yang besar karena kerukunan warga
masyarakatnya. Kerajaan Rokan memiliki banyak sumber daya alam dan
karenanya kerajaan ini menjadi sebuah kerajaan yang makmur.
10. Siak Sri Indrapura
Siak Sri Indrapura merupakan sebutan bagi sebuah kerajaan yang terletak di
tepi Sungai Jantan (sekarang disebut Sungai Siak dan berada dalam Kabupaten
Siak). Kerajaan ini didirikan Oleh Raja Kecik pada tahun 1723. Raja Kecik adalah
anak dari sultan Johor, yaitu Sultan Mahmud Syah II, dan isterinya yang bernama
Encik Pong. Sebelum menjadi Sultan di Siak Sri Indrapura, Raja Kecik sempat
menjadi raja Johor tahun 1717-1722. terjadi huru-hara di Johor, kemudian Raja
kecik memutuskan untuk menyingkir ke Siak. la kemudian mendirikan kerajaan
Siak Sri Indrapura pada tahun 1723. Pada masa Kerajaan Siak inilah, Pekanbaru
mulai dikembangkan.
11. Pelalawan
Kerajaan Pelalawan merupakan kelanjutan dari kerajaan Pekantua. Penamaan
"pelalalawan diambil dari kata "lalau" yang berarti tempat. yang sudah
dicadangkan. Sekitar tahun 1725, Raja Pekantua Kampar Maharaja Din II
mengumumkan pemindahan pusat dari Tanjung Negri ke Sungai Rasau. Setelah
pemindahan itu secara resmi nama Pelalawan menggantikan nama Pekantua
Kampar.
Setelah berubah nama, Raja Pelalawan yang semula bergelar Maharaja Dinda
II berganti menjadi Maharaja Dinda Perkasa atau disebut Maharaja Lela Dipati.
Setelah mangkat, digantikan puteranya Maharaja Lela Bungsu (1750-1775M),
yang membuat kerajaan Pelalawan semakin berkembang pesat, karena ia
membuka hubungan perdagangan dengan Indragiri, Jambi melalui sungai
Kerumutan, Nilo, dan Panduk. Penguasa terakhirnya adalah Syarif Harun/
Tengku Said Harun (1941-1946).
12. Batu Hampar, Pekaitan, Kemuning, Cerenti
Selain kerajaan-kerajaan maupun kelompok masyarakat di atas, ada beberapa
kawasan yang disebut-sebut memiliki kedaulatan tersendiri yakni Batu Hampar,
Pekaitan, Kemuning, dan Cerenti. Tetapi kesemuanya belum teridentifikasi secara
memadai.
2.3.2 Riau Menentang Penjajah
a) Melawan Portugis
Masyarakat Melayu yang dipimpin Sultan Melaka terakhir, Sultan Mahmud,
bersatu padu melawan Portugis. Menyusun kekuatan dari Bintan yang sekarang
masuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Kepulauan Riau, tentara-tentara
Melayu tak pernah berhenti menyerang Portugis bersama panglima bernama Hang
Nadim.
Sultan Mahmud mengirim Hang Nadim ke Gasib, Bukit Batu, dan Bengkalis,
tahun 1512 atau setahun setelah kejatuhan Melaka ke tangan Portugis, untuk
mengatur serangan bersama-sama kepada penjajah. Gasib menyiapkan
pasukannya yang dipimpin Khoja Ahmad Syah, sedangkan pasukan Bukit Batu
dipimpin oleh Tun Megat. Kebatinan Senggoro, Bengkalis, dipimpin Laksemana
Batin Hitam. Mereka semua kemudian bergabung menjadi satu di Kuala Muar,
Johor.
Berbagai serangan yang dilakukan Melayu Riau terhadap Melaka, akhirnya
membuat Portugis mengambil tindakan khusus di wilayah Melayu Riau. Tahun
1537, mereka mengadakan pembersihan di Selat Rupat dan Bengkalis, yang
"disambut” penduduk setempat dengan perlawanan sengit. Bukit Batu dan
Senggoro dibumihanguskan Portugis yang menyebabkan perlawanan menjadi
lumpuh. Akan tapi ketika Portugis menyerang Aceh tahun 1547, Siak, Bukit dan
Bengkalis, bangkit kembali dengan menggabungkan diri kedalam pasukan Aceh
untuk mempertahankan hak sesama saudara mereka atas tanah marwah dan
tumpah darah.
b) Melawan Belanda
Di antara pertempuran yang dapat dicatat adalah dinamakan perang Guntung,
Reteh, Riau, Siak, Tambusai, Sintong, Siarang-arang Sedinginan, Limo Koto
Kampar, dan Kuantan. Malahan, suku asli yakni Suku Akit di Kecamatan Merbau,
sekarang maşuk dalam wilayah administratif Kabupaten Meranti, tahun 1930an,
menciutkan Belanda akibat serangan mereka secara gagah berani yang dipimpin
oleh Koyan.
Pada tahun 1759, Raja Mahmud di Siak yang didampingi panglimanya Said
Umar, menyerang Guntung. Mereka berhasil merampas benteng Belanda yang
kemudian mengusir bangsa asing tersebut dari situ. Tidak lama kemudian,
penguasa Siak, Sultan Alamuddin Syah bersama panglimanya, Muhammad Ali,
mengusir Belanda sampai ke Melaka. Tetapi sejak saat itu, Siak merasa harus
memindahkan ibu kota kerajaan dari Mempura ke Senapelan, karena terus saja
dibayang-bayangi ketamakan Belanda. ibu kota kerajaan yang baru ini
berkembang dan kemudian dikenal dengan nama Pekanbaru.
Pada waktu bersamaan, orang-orang Melayu Riau di kawasan Selat Melaka,
juga sibuk mengusir Belanda antara Iain di bawah pimpinan Raja Haji. Puncaknya
terjadi tahun 1782 dengan mengumpulkan orang-orang di Pesisir Timur sumatra
selain di Kepulauan Riau sendiri. Raja Haji tewas dalam pertempuran Belanda di
Melaka, 1784. Meskipun perang Riau sudah padam, perlawanan masyarakat
Melayu Riau masih panas.
Perlawanan yang mengerikan, diperlihatkan oleh Datuk Tabano dari
Bangkinang, Kampar, sebagai pemimpin perlawanan rakyat Limo Koto.
Meskipun dibayang- bayangi kedatangan orang pasukan Belanda tahun 1898,
Datuk Tabano tidak mau menyerah. Musuh yang mau menangkapnya, ia
persilakan masuk ke dalam rumahnya dengan senjata terhunus. Tetapi engan
takzim, ia melantunkan azan, dengan kalimat terakhir "Lailahaillallah..."
Setelah menguasai Limo Koto, Belanda menuju Teluk Kuantan, melewati
Gunung Sahilan, Lipat Kain, dan Kuntu. Tetapi dalam perjalanan ini, mereka
mendapat perlawanan masyarakat setempat, menewaskan ratusan pihak penjajah.
Berikutnya, tercatat beberapa pertempuran di Lubuk Ambacang, Lubuk
Tempurung, Lubuk Jambi, Padang Bonai, dan Manggis. Belanda baru dapat
menguasai Kuantan tahun 1905.
c) Melawan Inggris dan Jepang
Perlawanan masyarakat Melayu Riau, juga amat kelihatan ketika Inggris dan
Jepang berada di kawasan ini. Tercatat pertempuran di Rokan, Bengkalis, Bukit
Batu, dan Siak. Sedangkan perlawanan terhadap Jepang, terutama terjadi di Enok,
Indragiri Hilir, dan Labuhan Tangga (Rokan Hilir). Di Enok, pertempuan diawali
dengan ketidakmauan masyarakat menyerahkan hasil tanaman mereka kepada
Jepang. Sementara di Labuhan Tangga, dipicu oleh larangan Jepang terhadap
pelaksanaan takbir dan sholat Idul Fitri tahun 1944.
Perlawanan terhadap Jepang, dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya
dengan senjata. Di antara cara itu adalah mogok kerja dan pemboikotan. Mogok
kerja ini misalnya, diperlihatkan buruh-buruh kerja paksa yang membuat jalan
Pekanbaru — Bangkinang. Peristiwa ini berakhir tragis ketika Jepang justru
menyiksa buruh dan menewaskan ribuan orang. Orang Sakai, juga sempat
melawan Jepang dengan gagah berani, yang menyebabkan bangsa asing tersebut
kalang-kabut.
2.4 Perjuangan Rakyat Riau Masa Kemerdekaan

2.4.1 Pengibaran Awal Merah Putih


Pertemuan besar menyikapi kemerdekaan Indonesia itu terlaksana di
Bengkalis, 14 Oktober 1945, dihadiri ribuan orang. Tokoh Bengkalis Datuk
Ahmad, memberi arahan agar pemuda berjuang mempertahankan kemerdekaan,
dengan hasil menempatkan M. Nurdin Yusuf sebagai ketua pengurus Badan
Perjuangan. la didampingi wakil, Ahmad Maulana. Sedangkan para anggotanya
adalah M, Syafrief Harun, Wan Abdurrahman, Syamsir Badrun, Mr. Syarief
Harahap, Yusman, Haruhaya, dan M. Tasrief.
Dinamika terus bergulir, juga diperlihatkan dengan bermunculan berbagai
organisasi baik formal maupun nonformal seperti pembentukan Republik
Indonesia, Palang Merah (PMI), bahkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR),
disusul pembentukan sejumlah partai. Selain Bengkalis, nama-nama kawasan
yang selalu disebut dalam hal ini adalah Baserah, Pasir Pengarayaian, Pelalawan,
Siak, Teluk Kuantan, tak ketinggalan juga Pekanbaru.
Dalam keadaan demikian, sudah terbayang bagaimana benturan fisik bila-bila
masa bisa terjadi. Sebab, di tengah antusias besar menyambut kemerdekaan,
masih ada unsur dalam masyarakat yang justru menolaknya. Belum Iagi upaya
Belanda yang tetap ingin berkuasa di negara yang baru menyatakan
kemerdekaannya. Mereka membonceng tentara Sekutu yang disebut memenangi
perang dunia kedua. Padahal, kedatangan Sekutu sebelumnya dikabarkan untuk
melucut keberadaan Jepang di berbagai kawasan dunia termasuk di Indonesia.
2.4.2 Agresi Belanda I
Pada agresi Belanda I di Riau yakni suatu usaha Belanda untuk tetap
menjajah Indonesia, terjadi tembak-menembak antara Indonesia dengan Belanda
di perairan Indragiri Hilir, Bengkalis, dan daerah pantai Iainnya. Di antara
pertempuran yang terkenal adalah penyerangan ke Tanjung Kilang Pulau Durai.
Penyerangan dilakukan pada 20 Juli 1946 dari lima regu. Dengan semangat
yang tinggi, pasukan yang dipimpin Kapten Muchtar tersebut, pada saat paginya
sudah dapat menguasai Tanjung Kilang. Tapi beberapa jam kemudian, musuh
mampu menyerang pasukan merah putih secara bertubu-tubi dengan kekuatan
tantara dua peleton. Kapten Muchtar dan empat prajuritnya gugur. Sekitar pukul
14.00, pasukan Letnan M. Boya dan Letnan Sunipahar mampu mengusir musuh.
Di Sisi Iain, dalam rentang waktu awal kemerdekaan dan agresi Belanda I,
berbagai kekuatan militer di Riau sudah terbentuk. Pada bulan November 1945,
berbagai elemen kekuatan sudah bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat
(BKR) sebagaimana terbentuk secara nasional. Untuk Riau, BKR dipimpin Oleh
Letnan II Hasan Basri, terdiri atas tiga batalyon. Di Pekanbaru, batalyon BKR
dipimpin Oleh D.I. Panjaitan, sedangkan batalyon Bengkalis dipimpin Arifin
Achmad dan Elhoha Hanafi memimpin batlalyon Indragiri.
2.4.3 Agresi Belanda II
1. PDRI Berpusat di Bangkinang
Secara nasional, agresi Belanda II ditandai dengan penyerangan kota
Yogyakarta 19 Desember 1948 yang menjadi salah satu dasar Panglima Besar
Sudirman mengeluarkan perintah harian. Persoalannya, Yogyakarta yang waktu
itu sebagai ibu kota Negara RI telah dikuasai Belanda, bahkan Presiden Sukarno
dan Wakil Presiden Mohd. Hatta ditangkap Oleh penjajah tersebut.
Seiringan dengan hal itu pula, Menteri Kemakmuran Syafruddin
Prawiranegara yang berada di Bukittinggi berinisiatif membentuk Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI). Setibanya di Bangkinang, ia mengirim
utusan Lukman Hakim Menemui Residen Riau R.M. Oetoyo untuk mencari lokasi
yang sesuai sebagai pusat PDRI. Berbagai upaya dilakukan hingga pusat PDRI
yang semula berada di Bangkinang dipindahkan ke Sumbar.
2. Menyelamatkan PDRI : Pekanbaru dan Bangkinang
Di luar dugaan karena semula yakin bahwa mereka tidak dapat menembusi
pertahanan RI di Sumatera Barat, pasukan penjajah ini telah masuk ke Riau
tanggal 26 Desember 1948, tepatnya di Bangkinang. Kota ini diserang dari darat
dan udara. Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, telah cukup memberi sinyal
bahwa PDRI dalam keadaan genting, sebab Mr Syafruddin Prawiranegara sebagai
ketuanya, masih berada di Bangkinang. PDRI akhirnya meninggalkan
Bangkinang, 30 Desember 1948, setelah memperoleh informasi bahwa Belanda
yang baru saja menguasai Payakumbuh, bergerak ke Riau, khususnya Bangkinang
pada 29 Desember 1948.
Benar saja, puncak serangan ke Bangkinang dilakukan hari Jumat, 31
Desember 1948, saat orang sedang melakukan sholat Jum'at, dengan kekuatan 21
truk ditambah dua pesawat tempur yang senantiasa mondar-mandir di udara, Pada
hari itu juga, mereka malah mulai menyerbu Pekanbaru. Penghadangan yang
dilakukan Residen Riau R.M. Oetoyo, tidak membuahkan hasil. Tak ada pilihan
Iain, pada malamnya, tentara Indonesia membumihanguskan markas, kantor-
kantor, dan bangunan penting Iainnya agar tidak dapat dimanfaatkan musuh.
Pasukan-pasukan Indonesia tetap melakukan perlawanan walaupun
menyerang secara merata, sedangkan Belanda senantiasa berpatroli dengan
melakukan pembersihan-pembersihan di sekitar kota. Pasukan-pasukan Indonesia
mengepung Pekanbaru dari pinggir kota, sehingga hubungan tentara Belanda
dengan induknya di Sumbar terputus. Jalan menuju Sumbar dari Pekanbaru
dikuasai oleh pasukan Indonesia.
3. Serangan Balas Ke Bengkalis
Dua hari sebelum menyerbu Pekanbaru, tepatnya 29 Desember 1948,
Angkatan Laut Belanda, telah menyerang Riau pesisir terutama Bengkalis dan
Selatpanjang. Tak hanya sekali, serbuan penjajah juga dilakukan tanggal 30
Desember 1948. Bengkalis dipertahankan satu pasukan militer di bawah pimpinan
Letnan Masnur, satu satuan militer yang berisi 100 orang di bawah pimpinan
Endut Gani, serta satu detasemen polisi. Gempuran berjamjam dari Belanda
dengan kekuatan dua kapal perang Fregat, tiga kapal pendarat dan satu kapal
barang dibantu pesawat udara, menyebabkan pasukan Indonesia terpaksa
menghindar. Mereka bertahan di kampung-kampung, sedangkan kota telah di
kuasai musuh. Belanda makin memperkatat patroli mereka atas Bengkalis yang
menyebabkan TNI harus bergerilya dari kampung ke kampung.
4. Diawali Serangan Udara di Tembilahan
Serangan Belanda ke Tembilahan digambarkan sebagai hal yang tiba-tiba.
Sebabnya, pada tanggal 30 Desember 1948, persis pada saat Pekanbaru diserang
dari Bangkinang, langit kota ini dibelah oleh sebuah pesawat udara musuh, malah
menjatuhkan dua bom, setelah memutari kota berkali-kali. Setelah berhasil
menguasai Tembilahan melalui pertepuran sengit, musuh melakukan penyerbuan
ke Perigi Raja, Kuala Enok, dan ulau Kijang. Kedua nama tempat yang disebut
terakhir ini dipertahankan habis-habisan oleh tentara Indonesia di bawah pimpinan
Letnan II M. Boya. Malahan sosok pimpinan ini gugur sebagai bunga bangsa
sewaktu mempertahankan Kuala Enok.
5. Sekitar 2.000 Korban di Rengat
Penyerbuan besar-besaran Belanda terhadap Riau terjadi di Rengat dengan
kekuatan lebih dari satu kompi, dibantu 2-7 pesawat udara. Hal ini disebabkan
asumsi musuh yang senantiasa dilayani pertempuran terbuka sejak 1946 dan
ditemuinya beberapa kapal pribumi yang membawa senjata di Sungai Inderagiri.
Selama tiga hari, langit Rengat sampai Air Molek dan Telukkuantan, seolah-olah
dikoyak oleh pesawat musuh. Puncaknya tanggal 5 Januari 1949, ketika pagi
sekitar pukul 07.00, dua pesawat mustang Belanda muncul dari tenggara kota.
Pesawat-pesawat tersebut menembak dan melempar granat ke kota. Selain Rengat,
Air Molek, dan Telukkuantan, juga diperlukan serupa oleh Belanda. Penyerangan
udara diiringi dengan penerjunan pasukan melalui tujuh pesawat Dakota.
Meskipun menggunakan senjata seadanya, tentara, polisi, dan rakyat terlihat
tidak gentar menghadapi serbuan Belanda itu. Pasukan TNI yang
mempertahankan kota antara Iain kompi di bawah pimpinan Letnan Darmawel
Achmad, bahu-membahu dengan semua elemen bangsa mempertahankan Rengat.
Tak sedikit korban jiwa dari pihak musuh, tetapi dari pihak Indonesia sekitar
2.000 orang termasuk Bupati Inderagiri, Tulus. Banyaknya korban terutama
disebabkan, Belanda memang menembak secara membabi-buta tanpa memandang
sasaran kawasan militer atau sipil.
6. Sungai Apit dan Siak
sehari setelah Yogyakarta sebagai ibu kota negara RI diserang, 19 Desember
1949, berbagai peningkatan aktivitas Belanda di kuala Sungai kelihatan. Biasanya
hanya satu kapal yang menjaga kawasan tersebut, tetapi sejak saat itu, kapal
patroli ditambah dengan dua kapal patroli sungai. Pos di Tanjung Layang
diserang, malah mengalami puncaknya pada 29 Desember 1949.
Serangan Belanda diringi dengan pendaratan dan pendudukan di Sungai Apit,
terjadi pada Maret 1949. Berkekuatan satu kompi, mereka mendarat yang
didahului tembakan senapan mesin dan mortir dari kapal. Mampu menimbulkan
kapanikan masyarakat, mereka tidak mengejar tentara Indonesia yang berusaha
bertahan di pinggir kota setelah bertempur sebelumnya, Sebaliknya, Belanda
membuka pospos di dalam kota untuk berjaga-jaga dari serangan balasan TNI.
2.4.4 Provinsi Sendiri
Pada awal merdeka, Riau dimasukkan ke dalam Provinsi Sumatra yang
berpusat di Medan. Ketika terjadi pemekaran provinsi, Riau dimasukkan ke dalam
Provinsi Sumatra Tengah yang berpusat di Bukittinggi. Dalam provinsi ini
terdapat tiga keresidenan yakni Riau, Jambi, dan Sumatra Barat.
Dapat disebutkan bahwa ide pembentukan Provinsi Riau berangkat dari
kesadaran bahwa keresidenan ini memiliki kemampuan tersendiri dipandang dari
berbagai sudut baik ekonomi, apalagi sejarah. Hal ini seiringan dengan
kecenderungan nasional untuk membangun setelah persoalan eksternal berakhir,
misalnya melalui pengakuan Belanda terhadap kedaulatan RI yang tercatat dua
kali melakukan agresi ke wilayah kawasan yang menyatakan kemerdekaan 17
Agustus 1945.
Melalui diskusi-diskusi tersebut yang terutama berkaitan dengan kebudayaan
kerap dilaksanakan di Tanjung pinang. Sampai kemudian tanggal 16 Maret 1953,
terbentuk Panitia Kongres Rakyat Kepulauan Riau. Hanya saja, kongres yang
dimaksud tidak sampai terjadi. Pasalnya, berbagai kabupaten Iain di Keresidenan
Riau seperti Inderagiri, Bengkalis, dan Kampar, juga ingin ikut serta dalam
kongres tersebut, karena meski menyebut hanya Kepulauan Riau, kongres tentu
saja membicarakan rakyat se-Keresidenan Riau. Belum lagi tempat pelaksanaan
yang seharusnya melibatkan semua elemen Keresidenan Riau dengan memakai
mata uang yang dipakai sebagian besar masyarakat Riau yakni rupiah, tidak hanya
dollar sebagaimana hanya dipakai masyarakat Kepulauan Riau.
Sebaliknya patut diakui, ide dan gumpalan pemikiran dari Kepulauan Riau
itulah yang membesarkan nama Provinsi Riau yang terlepas dari Sumatera
Tengah. Hal ini mulai mengeristal melalui sidang pleno DPRDS Bengkalis 25
Februari 1955 yang menyatakan perlunya Keresidenan Riau menjadi provinsi
tersendiri. Hal ini disambut baik oleh semua DPRDS Kabupaten se-Kresidenan
Riau yakni Kepulauan Riau, Kampar, dan Inderagiri. Mereka pula secara
bersama-sama menyuarakan hal tersebut melalui Konferensi DPRDS se-Indonesia
di Bandung, 10-14 Maret 1955.
Berbagai rapat dan pertemuan dilaksanakan setelah itu di Riau maupun di luar
Riau, baik oleh pelaku politik praktis sampai mahasiswa. Di antaranya yang
paling fenomenal adalah Kongres Rakyat Riau yang diprakarsai Panitia Persiapan
Provinsi Riau di bawah pimpinan Abdul Hamid Yahya (ketua), H. Muhamad
Amin (wakil ketua), dan T. Kamarulzaman (sekretaris), Kongres Rakyat Riau
dilaksanakan di Pekannbaru, 31 Januari sampai 2 Februari 1956, diikuti berbagai
kalangan dari seluruh kabupaten Keresidenan Riau, dengan satu-satunya
keputusan yakni menuntut berdirinya Provinsi Riau.
Provinsi Riau sebagaimana proses yang mendahuluinya tentu tidak mudah.
Salah satu tantangan muncul dari petinggi pemerintah Provinsi Sumtera Tengah
yang tidak ingin melepaskan Riau. Pada gilirannya, menyadari berbagai hambatan
misalnya, Panitia Persiapan Provinsi Riau (P3R), mempersilakan Badan
Penghubung di Jakarta mengambil tindakan-tindakan untuk memperlancar jalan
bagi berdirinya Provinsi Riau. Di sisi lain, perjuangan di parlemen pusat
diperkuatkan seperti melalui pandangan satu-satunya putra Riau di lembaga tinggi
negara itü yakni Ma'rifat Mardjani. Tak ketinggalan pula perjuangan melalui pers.
Akhirnya, melalui Undang-undang Darurat No.19 tahun 1957 tanggal 9
Agustus tahun 1957 yang ditandatangani Presiden Soekarno di Bali, Provinsi Riau
didirikan. Tetapi karena berbagai pertimbangan keamanan dan pembangunan saat
itu, seiringan dengan pembrontakan Perlawanan Revolusionir Rakyat Indonesia
(PRRI) yang digerakkan dari Padang, Tanjungpinang ditetapkan sebagai ibu kota
Provinsi Riau. Gubernur pertama adalah Mr S.M. Amin, dilantik tanggal 5 Maret
1958 di Tanjungpinang. Provinsi ini pertama meliputi empat kabupaten yakni
Kepulauan Riau, Kampar, Indragiri, dan Bengkalis, dengan wilayah yang luas
sampai sampai ke Laut Cina Selatan, memiliki sekltar 3.000 pulau. Ibu kota
Provinsi Riau, baru dipindahkan ke Pekanbaru pada tahun 1960.
Provinsi Riau terus berkembang. Hanya saja, Riau awal sudah tidak utuh lagi,
menyusul dikembangkannya Kabupaten Kepulauan Riau menjadi provinsi
tersendiri tahun 2004. Kini Riau memiliki 15 kabupaten/kota.
Provinsi ini memiliki sumber daya alam, baik kekayaan yang terkandung di
perut bumi, berupa minyak bumi dan gas, serta emas, maupun hasil hutan dan
perkebunannya. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, secara bertahap
mulai diterapkan sistem bagi hasil atau perimbangan keuangan antara pusat
dengan daerah. Aturan baru ini memberi batasan tegas mengenai kewajiban
penanam modal, pemanfaatan sumber daya, dan bagi hasil dengan lingkungan
sekitar.
Ketika Gubernur Riau dijabat Saleh Djasit (1998-2003), semua komponen
Riau bersatu untuk menjadikan Riau sebagai pusat ekonomi dan kebudayaan
Melayu dalam masyarakat yang agamis di Asia Tenggara tahun 2020, dituangkan
dalam Peraturan daerah (Perda) No. 36 tahun 1999. Semangat ini pada hakikatnya
mengaktualkan landasan awal berdirinya Provinsi Riau, bahkan merupakan
jawaban atas tantangan perkembangan kesejagatan. Menurut pakar futuristik,
manusia kini memang berusaha mencari jati dirinya yang hanya bisa diperlihatkan
oleh agama dan tradisi. Melayu sendiri mengidentikkan dirinya sebagai islam,
terkenal melalui ungkapan adat. "adat bersendikan syarak, syarak bersendikan
kitabullah.”

Kesimpulan
yang dapat disimpulkan dari makalah ini adalahh sejauh mana pengetahuan terhadap
sejarah alam melayu dan diaspora masyarakat deutro melayu dalam beberapa jenis
masyarakat adat dan masa yang berbeda dalam masyarakat kerajaan. Mengenali budaya
sendiri khususnya melayu merupakan sebuah keharusan agar budaya tersebut tetap
terjaga dan juga makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang sejarah
alam melayu dan diaspora masyarakat deutro melayu dan Hukum kewarisan Islam telah
dilaksanakan oleh masyarakat Melayu Riau. Dalam pelaksanaan hukum kewarisan Islam
tersebut, faktor tempat dan waktu senantiasa mempengaruhi,sejauh tidak menyimpang
dari prinsip- prinsip ajaran Islam.
Saran:
Saran dari makalah ini adalah Diharapkan semua masyarakat riau bisa
mewariskan dan mempelajari kenangan sejarah yang ada riau karna di dalam
itu terdapat banyak faktor faktor dan unsur unsur yang jelas,baik dan terkandung
nilai nilai positif bisa diterapkan untuk kehidupan kita sehari hari.

Daftar pustaka

KERAJAAN MELAYU ~ Pusat Ilmu Pengetahuan (unkris.ac.id)

Data Izin Per Provinsi (bapeten.go.id)

Provinsi Riau – Laman Resmi Kantor Regional XII Badan Kepegawaian Negara (bkn.go.id)

Budaya Melayu Riau - Bab 5 - LAM Riau

Kerajaan Melayu Kuno | UNKRIS | Pusat Ilmu Pengetahuan

Anda mungkin juga menyukai