Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KERAJAAN ISLAM DI JAWA

KELOMPOK 3
DISUSUN OLEH :
1. MEILANO CANDRA DWIPA (17)
2. ANGGUN MELANI (03)
3. NUR AL AMANAH (24)
4. ERNA WATI (09)
5. PUTRI ZAHROTUN AULIYA (27)

SMA NEGERI 1 TANJUNG TAHUN 2023/2024


Jalan Cemara No. 1 Tanjung – Brebes (0283)77721
Kata Pengaantar
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga Makalah Kerajaan Islam di Pulau Jawa ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW,
keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan Makalah sejarah indonesia yang berjudul Makalah Kerajaan Islam di Pulau Jawa ini.
Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah
membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta
bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Kerajaan Islam di Pulau
Jawa ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan,
karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti
milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Kerajaan Islam di Pulau Jawa ini dapat bermanfaat
bagi kita semuanya.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 latar belakang..........................................................................................................1
1.2 rumusan masalah.....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................2
1.2.1 Kesultanan Mataram....................................................................................2
1.2.2 Kerajaan Demak...........................................................................................2
1.2.3 Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat............................................................3
1.2.4 Kerajaan Mataram........................................................................................3
1.2.5 Kerajaan Banten...........................................................................................4
1.2.6 Kesultanan Cirebon......................................................................................6
1.2.7 Kerajaan Pajang...........................................................................................7
1.2.8 Kasunan Surakarta Hadiningrat...................................................................8
BAB III PENUTUP.........................................................................................................9
1.3.1 Kesimpulan..........................................................................................................9
1.3.2 Saran....................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................10

ii
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, di Jawa telah berdiri kerajaan hindu
budha yang cukup kokoh, kuat dan tangguh, bahkan sampai saat ini hasil peradabannya masih
dapat disaksikan. Misalnya, candi Borobudur yang merupakan peninggalan Budha Mahayana
dan candi Roro Jonggrang di desa Prambanan. Demikian juga halnya dari segi literatur, seperti
buku Pararaton dan Negara Kertagama. Wajarlah jika Vlekke menyebut kerajaan-kerajaan pra-
Islam, khususnya Singosari dan Majapahit, sebagai Empire Builders of Java.
Setelah agama Islam datang di Jawa dan Kerajaan Majapahit semakin merosot pengaruhnya
di Masyarakat, terjadilah pergeseran di bidang politik. Menurut Sartono Kartodirjo, islamisasi
menunjukkan suatu proses yang terjadi cepat, terutama sebagai hasil dakwah para wali sebagai
perintis dan penyebar agama Islam di Jawa. Di samping kewibawaan rohaniah, para wali juga
berpengaruh dalam bidang politik, bahkan ada yang memegang pemerintahan. Otoritas
karismatik mereka merupakan ancaman bagi raja-raja Hindu di pedalaman

1.2 Rumusan Masalah


masalahnya adalah bagaimana penjelasan tentang kerajaan-kerajaan Islam di pulau Jawa.

1
BAB II
PEMBAHASAN

KERAJAAN ISLAM DI JAWA

1.2.1 Kesultanan mataram


Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada
abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng
Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit.
Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di “Bumi
Mentaok” yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja
berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng
Pemanahan. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa
dan sekitarnya, termasuk Madura.
Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya
firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa
akhir menjelang keruntuhannya. Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris atau
pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang
dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem
persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda,
politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku
hingga sekarang.

1.2.2 KERAJAAN DEMAK

Para ahli memperkirakan Demak berdiri tahun 1500. Sementara Majapahit hancur
beberapa waktu sebelumnya. Menurut sumber sejarah lokal di Jawa, keruntuhan Majapahit
terjadi sekitar tahun 1478. Hal ini ditandai dengan candrasengkala, Sirna Hilang Kertaning
Bhumi yang berarti memiliki angka tahun 1400 Saka. Raja pertama kerajaan Demak adalah
Raden Fatah, yang bergelar Sultan Alam Akbar Al-Fatah. Raden Fatah memerintah Demak
dari tahun 1500- 1518 M. Menurut cerita rakyat Jawa Timur, Raden Fatah merupakan
keturunan raja terakhir dari Kerajaan Majapahit, yaitu Raja Brawijaya V.
Di bawah pemerintahan Raden Fatah, kerajaan Demak berkembang dengan pesat
karena memiliki daerah pertanian yang luas sebagai penghasil bahan makanan, terutama
beras. Selain itu, Demak juga tumbuh menjadi sebuah kerajaan maritim karena letaknya di
jalur perdagangan antara Malaka dan Maluku. Oleh karena itu Kerajaan Demak disebut
juga sebagai sebuah kerajaan yang agraris-maritim. Barang dagangan yang diekspor
Kerajaan Demak antara lain beras, lilin dan madu. Barang-barang itu diekspor ke Malaka,
Maluku dan Samudra Pasai. Pada masa pemerintahan Raden Fatah, wilayah kekuasaan
Kerajaan Demak cukup luas, meliputi Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi dan
beberapa daerah di Kalimantan.

2
Daerah-daerah pesisir di Jawa bagian Tengah dan Timur kemudian ikut mengakui
kedaulatan Demak dan mengibarkan panji-panjinya. Kemajuan yang dialami Demak ini
dipengaruhi oleh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Karena Malaka sudah dikuasai oleh
Portugis, maka para pedagang yang tidak simpatik dengan kehadiran Portugis di Malaka
beralih haluan menuju pelabuhan-pelabuhan Demak seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan
dan Gresik. Pelabuhan-pelabuhan tersebut kemudian berkembang menjadi pelabuhan
transit.
Selain tumbuh sebagai pusat perdagangan, Demak juga tumbuh menjadi pusat
penyebaran agama Islam. Para wali yang merupakan tokoh penting pada perkembangan
Kerajaan Demak ini, memanfaatkan posisinya untuk lebih menyebarkan Islam kepada
penduduk Jawa. Para wali juga berusaha menyebarkan Islam di luar Pulau Jawa.
Penyebaran agama Islam di Maluku dilakukan oleh Sunan Giri sedangkan di daerah
Kalimantan Timur dilakukan oleh seorang penghulu dari Kerajaan Demak yang bernama
Tunggang Parangan. Setelah Kerajaan Demak lemah maka muncul Kerajaan Pajang

1.2.3 KESULTANAN NGAYOGYAKARTA NINGRAT

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara dependen yang berbentuk


kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut
perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama
negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk
dengan kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940. Sebagai konsekuensi dari bentuk negara
kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun
1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama
dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi
dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta pada mulanya dibagi
menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibukota), Nagara Agung
(wilayah utama), dan Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari
Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar
309,864500 km persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950
karya (sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan wilayah dari
Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km persegi)

1.2.4 Kerajaan Mataram

Setelah Kerajaan Demak berakhir, berkembanglah Kerajaan Pajang di bawah


pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Di bawah kekuasaannya, Pajang berkembang baik.
Bahkan berhasil mengalahkan Arya Penangsang yang berusaha merebut kekuasaannya.
Tokoh yang membantunya mengalahkan Arya Penangsang di antaranya Ki Ageng
Pemanahan (Ki Gede Pemanahan). Ia diangkat sebagai bupati (adipati) di Mataram.
Kemudian putranya, Raden Bagus (Danang) Sutawijaya diangkat anak oleh Sultan
Hadiwijaya dan dibesarkan di istana. Sutawijaya dipersaudarakan dengan putra mahkota,
bernama Pangeran Benowo.

3
Pada tahun 1582, Sultan Hadiwijaya meninggal dunia. Penggantinya, Pangeran Benowo
merupakan raja yang lemah. Sementara Sutawijaya yang menggantikan Ki Gede
Pemanahan justru semakin menguatkan kekuasaannya sehingga akhirnya Istana Pajang pun
jatuh ke tangannya. Sutawijaya segera memindahkan pusaka Kerajaan Pajang ke Mataram.
Sutawijaya sebagai raja pertama dengan gelar: Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin
Panatagama. Pusat kerajaan ada di Kota Gede, sebelah tenggara Kota Yogyakarta
sekarang. Panembahan Senapati digantikan oleh puteranya yang bernama Mas Jolang
(1601-1613). Mas Jolang kemudian digantikan oleh puteranya bernama Mas Rangsang
atau lebih dikenal dengan nama Sultan Agung (1613-1645).
Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah Mataram mencapai zaman keemasan.
Dalam bidang politik pemerintahan, Sultan Agung berhasil memperluas wilayah Mataram
ke berbagai daerah yaitu, Surabaya (1615), Lasem, Pasuruhan (1617), dan Tuban (1620).
Di samping berusaha menguasai dan mempersatukan berbagai daerah di Jawa, Sultan
Agung juga ingin mengusir VOC dari Kepulauan Indonesia. Kemudian diadakan dua kali
serangan tentara Mataram ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Mataram
mengembangkan birokrasi dan struktur pemerintahan yang teratur. Seluruh wilayah
kekuasaan Mataram diatur dan dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut:
1. Kutagara
Kutagara atau Kutanegara, yaitu daerah keraton dan sekitarnya.
2. Negara Agung
Negara agung atau negari agung, yaitu daerah-daerah yang ada di sekitar
Kutagara. Misalnya, daerah Kedu, Magelang, Pajang, dan Sukawati.
3. Mancanegara
Mancanegara yaitu daerah di luar negara agung. Daerah ini meliputi
mancanegara wetan (timur), misalnya daerah Ponorogo dan sekitarnya, serta
mancanegara won (barat), misalnya daerah Banyumas dan sekitarnya.
4. Pesisiran
Pesisiran yaitu daerah yang ada di pesisir. Daerah ini juga terdapat daerah
pesisir kulon (barat), yakni Demak terus ke barat, dan pesisir wetan (timur), yakni
Jepara terus ke timur.
Mataram berkembang menjadi kerajaan agraris. Dalam bidang pertanian, Mataram
mengembangkan daerah-daerah persawahan yang luas. Seperti yang dilaporkan oleh Dr. de
Han, Jan Vos dan Pieter Franssen bahwa Jawa bagian tengah adalah daerah pertanian yang
subur dengan hasil utamanya adalah beras. Pada abad ke-17, Jawa benar-benar menjadi
lumbung padi. Hasil-hasil yang lain adalah kayu, gula, kelapa, kapas, dan hasil palawija.

1.2.5 KERAJAAN BANTEN

Kerajaan Banten berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas
pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukkan beberapa kawasan
pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut.
Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin atau lebih sohor dengan sebutan

4
Fatahillah, mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian
hari menjadi pusat pemerintahan, yakni Kesultanan Banten. Pada awalnya kawasan Banten
dikenal dengan nama Banten Girang yang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda.
Kedatangan pasukan Kerajaan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan
tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam.
Kemudian dipicu oleh adanya kerja sama Sunda-Portugis dalam bidang ekonomi dan
politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas
kekalahan mereka mengusir Portugis dari Malaka tahun 1513. Atas perintah Sultan
Trenggono, Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Sunda Kelapa
sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan
Sunda. Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Fatahillah juga
melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung.
Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah
melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura),
Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut. Seiring dengan
kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Sultan Trenggono, maka Banten
melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Pada 1570 Fatahillah wafat. Ia
meninggalkan dua orang putra laki-laki, yakni Pangeran Yusuf dan Pangeran Arya
(Pangeran Jepara). Dinamakan Pangeran Jepara, karena sejak kecil ia sudah diikutkan
kepada bibinya (Ratu Kalinyamat) di Jepara. Ia kemudian berkuasa di Jepara
menggantikan Ratu Kalinyamat, sedangkan Pangeran Yusuf menggantikan Fatahillah di
Banten.
Pangeran Yusuf melanjutkan usaha-usaha perluasan daerah yang sudah dilakukan
ayahandanya. Tahun 1579, daerah-daerah yang masih setia pada Pajajaran ditaklukkan.
Untuk kepentingan ini Pangeran Yusuf memerintahkan membangun kubu-kubu
pertahanan. Tahun 1580, Pangeran Yusuf meninggal dan digantikan oleh putranya, yang
bernama Maulana Muhammad. Pada 1596, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke
Palembang. Pada waktu itu Palembang diperintah oleh Ki Gede ing Suro (1572 – 1627). Ki
Gede ing Suro adalah seorang penyiar agama Islam dari Surabaya dan perintis
perkembangan pemerintahan kerajaan Islam di Palembang.
Kala itu Kerajaan Palembang lebih setia kepada Mataram dan sekaligus merupakan
saingan Kerajaan Banten. Itulah sebabnya, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke
Palembang. Kerajaan Palembang dapat dikepung dan hampir saja dapat ditaklukkan. Akan
tetapi, Sultan Maulana Muhammad tiba-tiba terkena tembakan musuh dan meninggal. Oleh
karena itu, ia dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang. Serangan tentara Banten
terpaksa dihentikan, bahkan akhirnya ditarik mundur kembali ke Banten.
Pada tahun 1596 orang-orang Belanda datang di pelabuhan Banten untuk yang
pertama kali.Terjadilah perkenalan dan pembicaraan dagang yang pertama antara orang-
orang Belanda dengan para pedagang Banten. Tetapi dalam perkembangannya, orang-
orang Belanda bersikap angkuh dan sombong, bahkan mulai menimbulkan kekacauan di
Banten. Oleh karena itu, orang-orang Banten menolak dan mengusir orang-orang Belanda.
Akhirnya, orang-orang Belanda kembali ke negerinya. Dua tahun kemudian, orang-orang
Belanda datang lagi. Mereka menunjukkan sikap yang baik, sehingga dapat berdagang di
Banten dan di Jayakarta.

5
Menginjak abad ke-17 Banten mencapai zaman keemasan. Daerahnya cukup luas.
Setelah Sultan Abumufakir meninggal, ia digantikan oleh puteranya bernama Abumaali
Achmad. Setelah Abumaali Achmad, tampillah sultan yang terkenal, yakni Sultan
Abdulfattah atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah
pada tahun 1651-1682. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten terus
mengalami kemajuan. Letak Banten yang strategis mempercepat perkembangan dan
kemajuan ekonomi Banten. Kehidupan sosial budaya juga mengalami kemajuan.
Masyarakat umum hidup dengan rambu-rambu budaya Islam. Secara politik pemerintahan
Banten juga semakin kuat.
Perluasan wilayah kekuasaan terus dilakukan bahkan sampai ke daerah yang pernah
dikuasai Kerajaan Pajajaran. Namun ada sebagian masyarakat yang menyingkir di
pedalaman Banten Selatan karena tidak mau memeluk agama Islam. Mereka tetap
mempertahankan agama dan adat istiadat nenek moyang. Mereka dikenal dengan
masyarakat Badui. Mereka hidup mengisolir diri di tanah yang disebut tanah Kenekes.
Mereka menyebut dirinya orang-orang Kejeroan. Dalam bidang kebudayaan, seni
bangunan mengalami perkembangan. Beberapa jenis bangunan yang masih tersisa, antara
lain, Masjid Agung Banten, bangunan keraton dan gapura-gapura.
Pada masa akhir pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa timbul konflik di dalam istana.
Sultan Ageng Tirtayasa yang berusaha menentang VOC, kurang disetujui oleh Sultan Haji
sebagai raja muda. Keretakan di dalam istana ini dimanfaatkan VOC dengan politik devide
et impera. VOC membantu Sultan Haji untuk mengakhiri kekuasaan Sultan Ageng
Tirtayasa. Berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa membuat semakin kuatnya
kekuasaan VOC di Banten. Raja-raja yang berkuasa berikutnya, bukanlah raja-raja yang
kuat. Hal ini membawa kemunduran Kerajaan Banten.

1.2.6 Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad
ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan
pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan
antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan “jembatan”
antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu
kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Kesultanan Cirebon didirikan di dalem agung pakungwati sebagai pusat pemerintahan
negara Islam kesultanan Cirebon. letak dalem agung pakungwati sekarang menjadi keraton
Kasepuhan Cirebon.
Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat
Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati,
kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah diselamatkan
oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada
tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon
menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan
keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat di kalangan keluarga besar
mengenai penerus kesultanan Cirebon.

6
Pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya,
Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa
menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten di tahun yang sama setelah
mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi
sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan
Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa
wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan kraton.
Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana kesultanan
terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para penguasa
berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi dinobatkan:

1. Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi

Muhammad Samsudin (1679-1697).

2. Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi

Muhammad Badrudin (1679-1723).

3. Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul Kamil

Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713).


Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran
Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi
Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan
penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi
sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton
sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para
intelektual keraton.

1.2.7 Kerajaan Pajang

Kerajaan Pajang adalah satu kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai
kelanjutan Kerajaan Demak. Kompleks keratonnya pada zaman ini tinggal tersisa berupa
batas-batas fondasinya saja yang berada di perbatasan Kelurahan Pajang – Kota Surakarta
dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo. Nama negeri Pajang telah dikenal sejak
zaman Kerajaan Majapahit. Menurut Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365,
bahwasanya pada zaman tersebut adik perempuan Hayam Wuruk (raja Majapahit saat itu)
bernama asli Dyah Nertaja menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang,
atau disingkat Bhre Pajang. Dyah Nertaja merupakan ibu dari Wikramawardhana (raja
Majapahit selanjutnya).
Berdasar naskah-naskah babad, bahwa negeri Pengging disebut sebagai cikal bakal
Pajang. Cerita Rakyat yang melegenda menyebut bahwa Pengging sebagai kerajaan kuno
yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan.
Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng berdirinya Candi Prambanan. Ketika Majapahit
dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir versi naskah babad), bahwa nama Pengging muncul

7
kembali. Dikisahkan bahwa putri Brawijaya yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik
Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Muncul seorang pahlawan
bernama Jaka Sengara yang berhasil merebut sang putri dan membunuh penculiknya.
Atas jasanya itu, kemudian Jaka Sengara diangkat oleh Brawijaya sebagai bupati
Pengging dan dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara kemudian bergelar
Andayaningrat. Pajang terlihat sebagai kerajaan pertama yang muncul di pedalaman Jawa
setelah runtuhnya kerajaan Muslim di daerah Pasisir. Menurut naskah babad,
Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung saat terjadinya perang antara Majapahit
dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga,
bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kerajaan
Demak.
Beberapa tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak
memberontak terhadap Demak. Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru
mengabdi ke Demak. Prestasi Jaka Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia
diangkat sebagai menantu Trenggana, dan menjadi bupati Pajang bergelar Hadiwijaya.
Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali
dan Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.
Sepeninggal Trenggana tahun 1546, selanjutnya Sunan Prawoto naik takhta. Namun
Sultan Prawoto kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang
tahun 1549. Setelah itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya namun
gagal. Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (Bupati Jepara dan Putri Trenggana),
Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Hadiwijaya
selanjutnya menjadi pewaris takhta Demak. Pada masa kepemimpinan Hadiwijaya ini, ibu
kota Demak dipindahkan ke Pajang.
Pada awal berdirinya atau pada tahun 1549, bahwa wilayah Pajang yang terkait
eksistensi Demak pada masa sebelumnya, hanya meliputi sebagian Jawa Tengah. Hal ini
disebabkan karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian
Sultan Trenggana. Pada tahun 1568 Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur dipertemukan
di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui
kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji
Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan dengan
Putri Hadiwijaya.

1.2.8 Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri
tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian antara VOC
dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III
dan Pangeran Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua
wilayah kekuasaan yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Kasunanan Surakarta umumnya tidak

8
dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri,
walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta yang
bergelar Sunan (demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan) selalu
menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.

BAB III

PENUTUP

1.3.1 SIMPULAN

Jawa adalah wilayah yang dahulunya banyak terdapat kerajaan-kerajaan. Kehadiran


Islam di pesisir utara pulau Jawa dapat dibuktikan berdasarkan arkeologi, hikayat, legenda,
serta berita-berita asing. Islamisasi yang terjadi di daerah pesisir utara Jawa dari bagian
timur-barat lambat laun menghasilkan munculnya kerajaan Islam, mulai dari kerajaan
Demak ke barat Cirebon dan Banten, dari Demak ke pedalaman muncul kerajaan Pajang
dan Mataram dll.

1.3.2 SARAN

Setelah beberapa paparan dan kesimpulan yang dijabarkan, saran yang dapat penulis
sampaikan yaitu semoga dengan mengetahui sejarah perkembangan Islam di Jawa kita
dapat menghormati dan menghargai hasil jerih payah mereka dalam menegakkan Islam di
daerah Jawa walaupun harus berkorban nyawa dalam memerangi Belanda yang pernah
menguasai daerah-daerah di Kalimantan.

9
TINJAUAN PUSTAKA

Ahmad al-Usairy, 2003,Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana

H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, 2003, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta: PT. Pustaka
Utama Grafiti

I Wayan Badrika, 2006, Sejarah untuk SMA kelas XI, Jakarta:Erlangga

Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di


Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS. 2005

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II.
Edisi ke-4. Jakarta: Balai Pustaka . 1993.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kasunanan_Surakarta

https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Mataram

https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Ngayogyakarta_Hadiningrat

https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_pada_era_kerajaan_Islam

10

Anda mungkin juga menyukai