Anda di halaman 1dari 161

Laporan Akhir

FEASIBILITY STUDY
KLASTER INDUSTRI BERBASIS PERTANIAN DAN
OLEOKIMIA DI KUALA ENOK

LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS ISLAM RIAU


Bekerjasama
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
PROVINSI RIAU
TAHUN 2010
Puji dan syukur dipersembahkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan
rahmatNya jualah maka laporan feasibility study klaster industri berasaskan
pertanian dan oleokimia di Kabupaten Indragiri Hilir di Kecamatan Tanah
Merah Kuala Enok kerjasama antara Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) Provinsi Riau dengan Lembaga Penelitian Universitas Islam Riau
Pekanbaru Tahun Anggaran 2010 telah dapat diselesaikan dengan baik. Semoga
hasil kajian ini dapat menjadi pedoman dan dasar Pengembangan Kawasan
Indusri Kuala Enok yang lebih baik untuk masa yang akan datang.
Laporan ini disusun dengan melibatkan berbagai pihak baik dari
Pemerintah Provinsi Riau, Pemerintah Daerah maupun masyarakat di sekitar
kawasan. Untuk itu kami mengucapakan terima kasih atas bantuan baik berupa
administrasi, data maupun informasi lainnya yang sangat membantu dalam
penyelesaian penulisan laporan ini. Secara khusus kami mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Pemerintah
Provinsi Riau yang telah memberikan kepercayaan kepada Lembaga Penelitian
Universitas Islam Riau untuk melaksanakan kegiatan ini .
Laporan ini telah disusun dengan sebaik mungkin dan apabila terdapat
kekurangan ataupun kesalahan itu diluar kemampuan kami. Untuk itu tim
penulis sangat mengharapkan kritikan dan sumbang saran untuk perbaikan dan
kesempurnaan kajian ini. Akhir kata kami ucapkan semoga data dan informasi
yang tertuang dalam laporan akhir ini dapat memberikan manfaat bagi pihak
yang berkepentingan.
Pekanbaru, Desember 2010

Tim Peneliti
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………. 1
1.2. Tujuan, Sasaran dan Manfaat ……………………………………. 2
1.2.1. Tujuan ………………………………………………………. 2
1.2.2. Sasaran ……………………………………………………… 2
1.2.3. Manfaat …………………………………………………….. 2
1.3. Luaran Kegiatan (output) ………………………………………… 3

II. RUANG LINGKUP


2.1. Lingkup Wilayah ………………………………………………… 4
2.2. Lingkup Materi ………………………………………………….. 4
2.3. Pemetaan Kawasan ……………………………………………….. 4
2.4. Analisis Pemanfaatan Produk Kelapa Sawit …………………… 4

III. TINJAUAN TEORITIS


3.1. Konsep Klaster Industri …………………………………………. 6
3.1.1. Definisi Klaster ……………………………………………. 6
3.1.2. Model Klaster Industri …………………………………… 11
3.2. Teknologi Pengolahan ……………………………………………. 22
3.3. Analisis Kawasan Industri ………………………………………. 30
3.3.1. Kawasan Industri …………………………………………. 30
3.3.2. Perubahan Penggunaan Lahan .......................................... 43
3.4. Kebijakan Kawasan Industri ……………………………………... 48
3.4.1. Kawasan Industri dalam Sistem Ruang Perkotaan ......... 48
3.4.2. Kebijakan Pengaturan Kawasan Industri .......................... 51

IV. METODE KAJIAN


4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………….. 63
4.2 Pengumpulan Data ……………………………………………….. 64
4.3. Analisis data ……………………………………………………….. 64
4.3.1. Analisis Kelayakan Bahan Baku ………………………… 65
4.3.2. Analisis Kelayakan Kawasan Industri …………………... 65
4.3.3. Analisis Kelayakan Finansial ………………………….…… 69
4.4. Faktor Pendukung ……………………………………………….. 69

________________________ ii
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
70
5.1 Profil Daerah Kawasan Industri ……………………………….
A. Profil Daerah Kecamatan Tanah Merah ………………… 70
5.1.1. Sejarah Kecamatan Tanah Merah ……………………. 70
5.1.2. Kondisi Wilayah ……………………………………… 71
5.1.3. Luas Wilayah .................................................................. 73
5.1.4. Keadaan Alam ................................................................ 73
5.1.5. Batas - Batas Wilayah …………………………………. 74
5.1.6. Sosial dan Budaya .......................................................... 74
5.1.7. Pemerintah Kecamatan dan Kependudukan ............. 75
5.1.8. Kesehatan ......................................................................... 75
5.1.9. Pendidikan ...................................................................... 76
5.1.10. Koperasi dan Usaha Menengah .................................. 77
5.1.11. Pengendalian Lingkungan Hidup ………………… 78
5.1.12. Pelayanan Administrasi Umum Kecamatan ……… 79
5.1.13. Penanaman Modal …………………………………… 79
5.1.14. Sarana dan Prasarana Umum ……………………… 81
5.1.15. Perindustrian ………………………………………… 81
B. Profil Daerah Kecamatan Sungai Batang …………………… 81
5.1.16 Geografis Kecamatan Sungai Batang ……………… 81
5.1.17 Kadaan Alam …………………………………………. 81
5.1.18 Iklim dan Curah Hujan ……………………………… 82
5.1.19 Luas Wilayah dan Sarana Prasarana ………………. 83
5.1.20 Pemerintahan …………………………………………. 83
5.1.21 Kependudukan ……………………………………….. 84
5.1.22 Pendidikan ……………………………………………. 86
5.1.23 Kesehatan ……………………………………………… 88
5.1.24 Agama …………………………………………………. 89
5.1.25 Pertanian ………………………………………………. 90
5.2 Analisis Kelayakan Bahan Baku ………………………………… 91
5.2.1 Permintaan Minyak Bati Indonesia dan Dunia ……… 91
5.2.2 Permintaan CPO Riau ………………………………….. 96
5.2.3 Penawaran Bahan Baku …… …………………………. 98
5.2.4 Industri Hilir Kelapa Sawit (IHKS) …………………… 102
5.3 Analisis Kelayakan Kawasan Industri ………………………… 106
5.3.1 Kawasan Lahan Fisik Lingkungan …………………….. 107
5.3.2 Penggunaan Lahan Kawasan Industri ....................... 110
5.3.3 Analisis Nilai Lahan ……………………………………. 112
5.3.4 Aksesibilitas dan Infrastruktur .………………………. 114
5.3.5 Rencana Pembangunan IHKS Kuala Enok .....………. 135
5.4 Analisis Kelayakan Finansial Pembangunan IHKS …………… 137

V PENUTUP

________________________ iii
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
6.1. Kesimpulan …………………………………………………. 144
6.2. Saran ………………………………………………………….. 144

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
3.1. Pola Penggunaan Lahan Pada Kawasan Industri ............................ 54
3.2. Alokasi Lahan Pada Kawasan Industri ............................................. 55
3.3. Standar Teknis Pelayanan Umum di Kawasan Industri ................ 56
4.1. Jenis Data dan Cara Pengumpulannya Dalam Studi Kelayakan
Penentuan Kawasan Calon Lokasi Industri Di Kuala Enok …........ 66
5.1. Camat yang pernah menjabat di Kecamatan Tanah Merah ……… 71
5.2. Luas Wilayah Kecamatan Tanah Merah …………………..………. 73
5.3. Jumlah Penduduk Kecamatan Tanah Merah 2010 ………………... 75
5.4. Jumlah Sarana dan Tenaga Kesehatan di Kecamatan Tanah Merah 76
5.5. Jumlah Sarana dan Prasarana Pendidikan di Kecamatan Tanah
Merah ............................................................................................... 77
5.6. Jumlah Koperasi di Kecamatan Tanah Merah ................................ 78
5.7. Pengendalian Lingkunan Hidup di Kecamatan Tanah Merah ...... 79
5.8. Pelayanan Administrasi Umum Kecamatan Tanah Merah ………. 79
5.9 Perkembangan Penanaman Modal Kecamatan Tanah Merah …… 80
5.10. Sarana dan Prasarana Umum di Kecamatan Tanah Merah …….. 80
5.11. Perindustrian di Kecamatan Tanah Merah ………………………… 81
5.12. Luas Wilayah Kecamatan Sungai Batang Tahun 2008 ………..….. 83
2.13. Panjang Jalan Kabupaten dan Jembatan Menurut Jenis Permukaan
di Kecamatan Sungai Batang Tahun 2008 …………………………. 83
5.14. Jarak antara Ibukota Kecamatan ke Desa/Kelurahan Kabupaten
tahun 2008 ……………………………………………………………... 84
5.15. Jumlah Rumah Tangga dan Jumlah Penduduk Menurut Desa di
Kecamatan Sungai Batang Tahun 2008 …………………………….. 85
5.16. Jumlah Sarana Pendidikan menurut Desa/Kelurahan di
Kecamatan Sungai Batang tahun 2008 ………………..…………… 87
5.17 Jumlah Guru Menurut Desa/Kelurahan dan Jenjang Pendidikan Di
Kecamatan Sungai Batang Tahun 2008 ……………………………. 87
5.18. Jumlah MDI, MTsN, MDA menurut Desa/Kelurahan di
Kecamatan Sungai Batang Tahun 2008 …………..………………... 87
________________________ iv
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
5.19. Jumlah Tenaga Medis Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan
Sungai Batang tahun 2008 …………………………………………… 89
5.20. Banyaknya Sarana dan Prasarana Kesehatan Kecamatan Sungai
Batang tahun 2008 ………………………………………….…………. 89
5.21. Banyaknya Sarana Ibadah di Kecamatan Sungai Batang tahun 2008 90
5.22. Penggunaan Lahan di Kecamatan Sungai Batang tahun 2008 ….. 91
5.23. Ekspor dan imporKelapa Sawit, Minyak Kacang Kedelai dan
Kelapa (Kopra) .......................................................................................... 92
5.24. Export CPO Provinsi Riau 2005-2009 ………………………………… 97
5.25. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit
Di Kabupaten Indragiri Hilir dan Provinsi Riau, 1975 – 2007 ……. 99
5.26. Jumlah Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PKS) Provinsi Riau, 2010 100
5.27. Export dan Import Produk Eleokimia Indonesia, 2005-2009 ............. 105
5.28. Penggunaan Lahan di Kawasan Klaster Industri Kuala Enok …….. 112
5.29. Perbandingan Perkiraan Biaya Pembangunan Jalan dengan
Perkerasan Lentur (Flexible) dan Perkerasan Kaku (Rigid) ……….. 119
5.30. Panjang dan Kondisi Jalan di Kuala Enok …………………………… 119
5.31. Jenis dan Kapasitas Instruktur di Pelabuhan Kuala Enok …………. 121
5.32. Nama Anak-anak Sungai yang Bermuaraa ke Sungai Enok dan
Sungai Patah Parang …………………………………………………… 129
5.33. Banyaknya Curah Hujan dan Hari Hujan Kecamatan Sungai
Batang dan Kecamatan Tanah Merah Pada Tahun 2008 ……………. 131
5.34. Palm Biomassa Generated in Year 2005 ……………………………… 135
5.35. Ultimate Analysis of Solid Oil Palm Residues ………………………. 136
5.36. Nilai Energy Thermal Limbah Sawit di Beberapa Daerah Riau …... 137
5.37. Energi yang Dihasilkan dari Limbah sawit ………………………….. 137
5.38. Evaluasi Lokasi Lahan Industri Di Kuala Enok Kabupaten
Indragiri Hilir ………………………………………………………….. 140
5.39. Kriteria Keyakan Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) 143
5.40. 143
Kriteria Kelayakan Pabrik Inti Kelapa Sawit
5.41. Kriteria Kelayakan Pabrik Biodiesel dari Olein .......................... 144

5.42. Kriteria Kelayakan Pabrik Biodiesel dari Stearin……………… 144


5.43. Kriteria Kelayakan Industri Olein (Minyak Goreng)-Stearin… 145
5.44. Kriteria Kelayakan Pabrik Fatty Acid………………………….. 145
5.45. Kriteria Kelayakan Industri Fatty Alcohol……………………. 146
5.46. Kriteria Kelayakan Industri Surfaktan MES (Metil Ester 146
Sulfonat) ............................................................................................ 146
________________________ v
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
5.47. Kriteria Kelayakan Industri Sabun……………………………... 147

________________________ vi
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
3.1. Kerangka Strategi Pengembangan IHKS di Indonesia ................... 9
3.2. Model Berlian Porter ………………………………………………… 12
3.3. Rangkuman Konsep Klaster Industri ………………………………. 15
3.4. Neraca Massa Pengolahan Kelapa Sawit …………………………… 22
3.5. Contoh Produk IHKS ………………………………………………… 23
3.6. Teknologi Proses Pengolahan Minyak Sawit Menjadi Produk 25
Pangan ………………………………………………………………….
3.7. Teknologi Proses Pengolahan Minyak Sawit Menjadi Biodisel …… 27
3.8. Teknologi Proses Pengolahan Minyak Kelapa Sawit Menjadi 29
Produk Oleokimia ……………………………………………………
3.9. Ilustrasi Kasus Penurunan Muatan ..................................................... 37
3.10. Keuntungan Lokasi Industri berdekatan dengan Pasar ................... 38
4.1. Kawasan Industri Kuala Enok .............................................................. 63
5.1. Pelabuhan Agro Industri Kelapa PT. Pulau Sambu Kuala Enok .... 70
5.2. Pelabuhan Agro Industri Kelapa PT. Pulau sambu Kuala Enok ….. 72
5.3. Pohon Nipah Sepanjang Sungai………………………………………. 82
5.4. Jumlah Ekspor Minyak Nabati Tahun 2009 ………………………..... 93
5.5. Jumlah Impor Minyak Nabati Tahun 2009 ………………………….. 94
5.6. Jumlah Ekspor Kelapa Sawit Indonesia tahun 2009 ………………. 95
5.7. Jumlah Ekspor Kelapa Sawit Malaysia tahun 2009 ………………… 96
5.8. Ekspor CPO Propinsi Riau tahun 2005-2009 ………………………... 97
5.9 Peata Pembangunan Kawasan Industri Kuala Enok ………………. 109
5.10. Peta Penggunaan Lahan di KAwasan Industri Kuala Enok ……… 111
5.11. Peta Aksesibilitas Lokasi Kawasan Kluster Industri ……………… 114
5.12. Pelabuhan Samudra Kuala Enok …………………………………… 120
5.13. Kapasitas dan Fasilitas Pelabuhan ………………………………… 125
5.14. Preserpoil PDAM Kuala Enok yang dibangun oleh PT. Pulau 127
Sambu …………………………………………………………………..
5.15. Instalasi Air Bersih dari Waduk PT. Pulau Sambu ………………… 128
5.16. Gambar Tandan Buah Segar (TBS) ………………………………….. 132

________________________ vii
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
5.17. Cangkang ………………………………………………………………… 133
5.18. Serabut …………………………………………………………………... 133
5.19. Block Plan Rencana Pembangunan Kawasan IHKS Kuala Enok…... 139

________________________ viii
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
1.1 Latar Belakang
Provinsi Riau memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup besar dan
beragam mencakup sumberdaya lahan, hutan, air dan mineral. Sumberdaya
alam ini merupakan modal utama dan fundamental untuk pelaksanaan
aktivitas pembangunan yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat. Sumberdaya alam yang
dieksploitasi secara terus menerus akan mengalami penyusutan dan akan
menimbulkan dampak terhadap lingkungannya. Penyusutan sumberdaya alam
tersebut secara kuantitatif akan mengurangi cadangan (stok), namun demikian
apabila sumberdaya alam tersebut dioptimal fungsikan dapat menciptakan
cadangan baru.
Sebagai wilayah yang memiliki potensi sumberdaya lahan yang cukup
luas, Provinsi Riau juga merupakan daerah yang mempunyai perkembangan
peratanian khususnya perkebunan kelapa sawit yang sangat pesat
peningkatannya dari aspek luas areal tanam, yakni hampir mencapai 40 (empat
puluh) persen dari luas total perkebunan kelapa sawit nasional. Peningkatan
luas areal perkebunan tersebut tidak terlepas dari adanya peningkatan
permintaan pasar ekspor minyak kelapa sawit disamping untuk pemenuhan
dan penggunaan industri dalam negeri. Kondisi ini mendorong semakin
luasnya upaya ekstensifikasi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau dan jika
tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan persoalan-persoalan
ketimpangan pasar serta masalah lingkungan lainnya.
Berdasarkan fakta dan kondisi di atas, maka dirasa perlu untuk
dilakukan pengkajian kelayakan pembangunan klaster industri berbasis
pertanian dan oleochemical di Provinsi Riau. Hal ini baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat meningkatkan kontrbusi terhadap pembangunan
ekonomi daerah serta nasional, penyerapan tenaga kerja, peningkatan
pendapatan dan peluang usaha sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan.
Hal tersebut sesuai dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional
Tahun 2010, termasuk didalamnya mengenai penetapan Kuala Enok sebagai
pusat klaster industri berbasis Pertanian dan Oleochemical di Provinsi Riau.

1.2. Tujuan, Sasaran dan Manfaat


1.2.1. Tujuan
Kegiatan ini bertujuan:
a. Melakukan kajian kelayakan klaster industri berbasis pertanian dan
olechemical di Kawasan Industri Kuala Enok.
b. Mengetahui kelayakan pengembangan klaster industri hilir kelapa sawit
baik industri inti, terkait maupun penunjang.

1.2.2. Sasaran
Tersusunnya detail rencana kawasan industri hilir kelapa sawit serta
kelayakan klasterisasi industri inti, terkait dan penunjang terutama dari
ketersediaan bahan baku.

1.2.3. Manfaat
a. Terwujudnya klaster industri hilir kelapa sawit di Kawasan Industri
Kuala Enok.
b. Diketahunya kelayakan industri hilir kelapa sawit dari aspek potensi
ketersediaan bahan baku, potensi pengembangan industri lanjutan, aspek
sarana dan prasarana pendukung, kesesuaian lokasi, ketersediaan
sumerdaya manusia/tenaga kerja, pendanaan, aspek ekonomi/pasar,
sosial dan budaya serta kelayakan lingkungan di Provinsi Riau.
c. Terwujudnya pemanfaatan sumberdaya alam berbasis industri hilir
kelapa sawit yang dapat diturunkan menjadi berbagai produk bernilai
tambah guna meningkatkan perekonomian masyarakat di Provinsi Riau.
________________________ 2
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
d. Meningkat penerimaan negara dan daerah, terserapnya tenaga kerja,
serta sebagai upaya pengendalian harga TBS dan CPO sehingga dapat
meningkatkan kemakmuran masyarakat di Provinsi Riau.

1.3. Luaran Kegiatan (output)


Luaran (output) dari Kegiatan ini berupa:
a. Dokumen kelayakan klaster industri hilir kelapa sawit pada kawasan
industri Kuala Enok Provinsi Riau dalam bentuk cetakan (Hard copy) dan
dalam bentuk Digital (Soft copy).
b. Album Peta (detail rencana) lokasi dalam bentuk cetakan ukuran A-3 dan
dalam bentuk soft copy.
c. Dokumen data-data lapangan dan hasil analisis pengolahan data berikut
image processing pemetaan.

________________________ 3
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
2.1. Lingkup Wilayah
Wilayah studi mencakup lokasi yang dicadangkan sebagai kawasan
industri di Kuala Enok.

2.2. Lingkup Materi


Lingkup materi Feasibility Study Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit
yaitu penilaian kelayakan kawasan untuk dijadikan sebagai klaster industri
berbasis industri hilir kelapa sawit dan ketersediaan bahan baku.

2.3. Pemetaan Kawasan


Identifikasi luasan kawasan untuk dijadikan sebagai klaster industri hilir
kelapa sawit serta melakukan penyusunan site plan.

2.4. Analisis Pemanfaatan Produk Kelapa Sawit.


Dilakukan untuk mengetahui besarnya cadangan/stok produk kelapa
sawit yang dapat dijadikan sebagai bahan baku yang dapat diturunkan, antara
lain:
a. Produk Turunan (CPO) (industri inti): produk turunan CPO selain
minyak goreng kelapa sawit dapat menghasilkan margarine, shortenings,
vanaspati (vegetable ghee), ice creams, bakery fats, instant noodle, sabun
dan detergen, cocoa butter extender, chocolate dan coatings, specialty
fats, dry soap mixes, sugar confectionary, biscuit cream fats, filled milk,
lubrication, textiles oil dan bio diesel. Khusus untuk biodiesel
permintaan akan produk ini pada beberapa tahun mendatang akan
semakin meningkat, terutama dengan diterapkannya kebijaksanaan di
beberapa negara Eropa dan Jepang untuk menggunakan renewable
energy.
b. Produk turunan minyak inti sawit (inustri terkait): Dari produk turunan
minyak inti sawit dapat dihasilkan shortenings, cocoa butter substitute,

________________________ 4
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
specialty fats, ice creams, coffee whitener/cream, sugar confectionary,
biscuit cream fats, filled milk, imitation cream, sabun, detergent,
shampoo dan kosmetik.
c. Produk Turunan Oleochemicals kelapa sawit (industri terkait): dari
produk turunan minyak kelapa sawit dalam bentuk oleochemical dapat
dihasilkan methyl esters, plastic, textile processing, metal processing,
lubricant, emulsifers, detergent, glicerine, cosmetic, explosives,
pharmaceutical products dan food protective coatings.

________________________ 5
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
3.1 Konsep Klaster Industri

3.1.1 Definisi Klaster

Dalam Undang–Undang RI No 25 tahun 2000 tentang Program


Pembangunan Nasional (PROPENAS), pemerintah secara eksplisit merumuskan
kebijakan pembangunan industri jangka panjang yang salah satunya diarahkan
pada pembentukan klaster industri nasional. Filosofi yang melatarbelakangi
pembentukan klaster industri tersebut adalah dalam rangka meningkatkan daya
saing, mewujudkan pembangunan yang berkesinambungan serta mendorong
pemanfaatan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Dengan
demikian, industri nasional diharapkan semakin efisien, mandiri, kuat dan
memiliki keunggulan bersaing dalam menghadapi era persaingan bebas.
Istilah ―klaster (cluster)‖ mempunyai pengertian harfiah sebagai
kumpulan, kelompok, himpunan, atau gabungan obyek tertentu yang memiliki
keserupaan atau atas dasar karakteristik tertentu. Dalam konteks
ekonomi/bisnis, ―klaster industri (industrial cluster)‖ merupakan terminologi
yang mempunyai pengertian khusus tertentu. Walaupun begitu, dalam
literatur, istilah ―klaster industri‖ diartikan dan digunakan secara beragam.
Berikut adalah beberapa contoh definisi klaster industri,yaitu :
1. Kumpulan/kelompok bisnis dan industri yang terkait melalui suatu rantai
produk umum, ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa,
atau penggunaan teknologi yang serupa atau saling komplementer (OECD,
2000);
2. Kelompok industri dengan focal/core industry yang saling berhubungan secara
intensif dan membentuk partnership, baik dengan supporting industry
maupun related industry (Deperindag, 2000);
3. Konsentrasi geografis dari perusahaan dan industri yang saling berkompetisi,
komplementer, atau saling terkait, yang melakukan bisnis satu dengan

________________________ 6
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
lainnya dan/atau memiliki kebutuhan serupa akan kemampuan, teknologi
dan infrastruktur (Munnich Jr., et al. 1999);
4. Aglomerasi dari industri yang bersaing dan berkolaborasi di suatu daerah,
yang berjaringan dalam hubungan vertikal maupun horizontal, melibatkan
keterkaitan pembeli-pemasok umum, dan mengandalkan landasan bersama
atas lembaga-lembaga ekonomi yang terspesialisasi (EDA, 1997);
5. Kelompok/kumpulan secara sektoral dan geografis dari perusahaan yang
meningkatkan eksternalitas ekonomi (seperti munculnya pemasok spesialis
bahan baku dan komponen, atau pertumbuhan kelompok keterampilan
spesifik sektor) dan mendorong peningkatan jasa-jasa yang terspesialisasi
dalam bidang teknis, administratif, dan keuangan (Ceglie dan Dini, 1999);
6. Hubungan erat yang mengikat perusahaan-perusahaan dan industri tertentu
secara bersama dalam beragam aspek perilaku umum, seperti misalnya
lokasi geografis, sumber-sumber inovasi, pemasok dan faktor produksi
bersama, dan lainnya (Bergman dan Feser, 1999);
7. Michael Porter mendefinisikan klaster sebagai sekumpulan perusahaan dan
lembaga-lembaga terkait di bidang tertentu yang berdekatan secara geografis
dan saling terkait karena ―kebersamaan (commonalities) dan
komplementaritas‖ (Porter, 1990);
8. Klaster merupakan jaringan produksi dari perusahaan-perusahaan yang
saling bergantungan secara erat (termasuk pemasok yang terspesialisasi),
agen penghasil pengetahuan (perguruan tinggi, lembaga riset, perusahaan
rekayasa), lembaga perantara/bridging institution (broker, konsultan) dan
pelanggan, yang terkait satu dengan lainnya dalam suatu rantai produksi
peningkatan nilai tambah (Roelandt dan den Hertog, 1998);
9. Klaster merupakan suatu sistem dari keterkaitan pasar dan non pasar antara
(a system of market and nonmarket links) perusahaan-perusahaan dan
lembaga yang terkonsentrasi secara geografis (Abramson, 1998);
10. Klaster merupakan konsentrasi perusahaan dan lembaga yang bersaing,
berkolaborasi dan saling bergantung yang dihubungkan dengan suatu
sistem keterkaitan pasar dan non pasar (UK DTI, 1998b, 2001).

________________________ 7
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Klaster industri bersifat macro level, less detail dan strategic level dimana
banyak terdapat kebijakan-kebijakan, serta faktor-faktor eksternal maupun
internal yang mempengaruhi klaster industri sehingga diperlukan sebuah
pendekatan yang mampu mengakomodasi perubahan-perubahan dalam sistem.
Pengembangan klaster industri seharusnya tidak dari nol, melainkan diawali
dengan upaya identifikasi sejauh mana kondisi calon klaster industri yang ada
saat ini, seperti bagaimana kelengkapan komponen klaster disepanjang rantai
nilai mulai industri hulu hingga industri hilir, serta sejauhmana stakeholder atau
pelaku yang telah ada telah menjalankan fungsi dan peranannya dalam
penciptaan nilai tambah secara keseluruhan.

Klaster industri dapat dikatakan sebagai suatu sistem yang terdiri dari
sekumpulan perusahaan dan institusi yang saling terkait dan bergantung satu
dengan lainnya dan benar-benar dapat melakukan interaksi sinergis dalam
suatu jaringan mata rantai proses penciptaan nilai tambah dengan faktor
kedekatan geografis. Porter (1980) juga mengembangkan definisi klaster
industri sebagai sekumpulan perusahaan dan institusi yang terkait pada bidang
tertentu yang secara geografis berdekatan, bekerjasama karena kesamaan dan
saling memerlukan. Klaster industri tidak hanya sekedar untuk tujuan lobby
atau sekumpulan perusahaan dan institusi yang bekerja sama karena kedekatan
lokasinya, akan tetapi yang penting adalah pembentukan klaster industri karena
memiliki tujuan yang sama yaitu meningkatkan daya saing produknya.
Klaster industri merupakan mekanisme yang dapat digunakan untuk
mengatasi keterbatasan industri terutama dalam hal ukuran usaha dan untuk
mencapai sukses dalam lingkungan pasar dengan persaingan yang senantiasa
meningkat. Langkah kolaboratif yang melibatkan industri kecil dan perusahaan
besar, lembaga pendukung publik dan swasta serta pemerintah lokal dan
regional, akan memberikan peluang untuk mengembangkan keunggulan lokal
yang spesifik dan daya saing perusahaan yang tergabung dalam klaster
industri. Kebijakan dari pemerintah yang efektif terhadap pengembangan
klaster industri di daerahnya akan mendukung keberhasilan suatu klaster
________________________ 8
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
industri pada suatu daerah, terutama terkait dengan pelaksanaan otonomi
daerah.

Sumber: Biosurfactant IPB, 2009


Gambar 3.1 Kerangka Strategi Pengembangan IHKS di Indonesia

Pemanfaatan hasil industri kelapa sawit tidak hanya berbentuk CPO dan
PKO yang sebagian besar masih diekspor saat ini. Untuk meningkatkan utilitas

________________________ 9
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
perlu dibangun Industri Hilir Kelapa Sawit (IHKS), ini bertujuan untuk
meningkatkan nilai tambah dan menekan jumlah ekspor CPO hingga 30 persen.
Tranformasi CPO dan PKO menjadi beberapa produk turunan lainnya
bertujuan untuk menambah devisa negara dan juga efek multiplier lainnya.

Antara efek yang dapat diperoleh dari pengembangan IHKS adalah:

a. Meningkatkan daya saing IHKS. Semakin banyaknya IHKS yang


dibangun di Indonesia dengan CPO/PKO 70 persen akan menambah
daya saing di pasaran internasional. Hal ini disebabkan oleh komoditas
yang diekspor berupa barang jadi seperti minyak goreng, kosmetik,
pupuk dan produk turunan lainnya.

b. Peningkatan tanaman pangan dan energi nasional. Ransangan terhadap


pengembangan perkebunan sangat dirasakan apabila sektor pemasaran
Tandan buah segar (TBS) maupun CPO domestik lebih menguntungkan
jika dibandingkan dengan pasaran dunia, disamping adanya dukungan
pemerintah terhadap sektor ini. Kemudahan ini dapat memacu
pertumbuhan tanaman pangan nasional baik secara kuantitas dan
kualitas. Disamping peningkatan ketahanan pangan asional juga pada
peningkatan ketersediaan energi nasional sejalan dengan peningkatan
ketersediaan energi yang terbarukan terutama yang dapat dihasilkan dari
kelapa sawit, seperti tandan kosong, cangkang sawit dan serat dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energy untuk pembangkit listrik.
Disamping energi yang dimanfaatkan untuk produksi IHKS juga menjadi
pasokan energi bagi masyarakat.

c. Peningkatan perolehan devisa. Keterlibatan sektor swasta dalam dan


luar negeri dalam industri ini dapat memberikan sumbangan pendapatan
negara. Diantaranya ialah pendapatan pajak pendapatan perusahaan
dan pajak ekspor – impor dan peningkatan penerimaan dari pajak

________________________ 10
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
penghasilan. Tentunya dengan dukungan pemerintah dalam
menfasilitasi berkembangnya investasi di Indonesia.

d. Peningkatan nilai tanbah (value added). Fatty acid, fatty alcohol,


margarine, mayonais, sabun, surfaktan, dan PLTBS merupakan output
dari IHKS yang mempunyai nilai tambah yang besar. Bentuk nilai
tambah tersebut telah meningkatkan utilitas dan harga jual lebih tinggi.
Hal ini merupakan indikator adanya kemampuan suatu negara dalam
memanfaatkan teknologi produksi.

e. Penciptaan lapangan kerja. Pertumbuhan IHKS akan berkorelasi positif


dengan penyerapan tenaga kerja. Untuk mengantisipasi peningkatan
permintaan tenaga kerja dalam IHKS maka perlu adanya kebijakan
untuk meningkatkan kemampuan (skill) mereka, ini bertujuan supaya
tenaga kerja yang terlibat dalam IHKS tidak lagi tenaga kerja dari luar
negeri. Maka lembaga pendidikan dan pelatihan mempunyai peranan
penting dan harus melakukan peningkatan kemampuan dalam rangka
memenuhi kebutuhan permintaan tenaga kerja di IHKS kedepan.

3.1.2 Model Klaster Industri

Berbagai model untuk mempelajari klaster industri telah dikembangkan


oleh berbagai peneliti dan pakar selama beberapa dekade terakhir ini. Salah satu
model yang sering dijadikan acuan dan rujukan dalam pengembangan klaster
industri adalah Model Berlian Porter (Porter’s Diamond Model). Konsep ―the four
diamond‖ Porter ini mengajukan empat faktor yang saling terkait dan
merupakan penentu keunggulan daya saing suatu industri, yaitu:
 Strategi perusahaan, struktur dan persaingan,
 Kondisi permintaan,
 Kondisi faktor,
 Industri terkait dan pendukung.

________________________ 11
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Porter juga menambahkan faktor chance dan government dalam model
berlian tersebut, dimana kedua faktor tambahan ini bukanlah determinan tetapi
berpengaruh terhadap keempat determinan di atas. Keenam faktor tersebut
secara bersamaan membentuk sebuah sistem yang berbeda dari suatu lokasi
dengan lokasi yang lain, dan hal ini menjelaskan mengapa beberapa perusahaan
(industri) hanya berhasil di suatu lokasi tertentu saja. Tidak semua faktor harus
optimal dalam menjamin keberhasilan sebuah perusahaan atau industri.

Chance
Strategi Perusahaan,
Struktur dan Persaingan
(Firm Strategy, Structure,
and Rivalry)

Kondisi Faktor Kondisi Permintaan


(Factors Condistions) (Demand Factors)

Industri Terkait dan


Pendukung (R elated and Pemerintah
Supporting Industries)

Gambar 3.2 Model Berlian Porter

Lebih detail, masing-masing faktor dari model berlian Porter dapat


dijelaskan sebagai berikut.
 Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan (firm strategy, structure, and
rivalry) merupakan suatu kondisi yang menentukan bagaimana perusahaan

________________________ 12
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
muncul/tumbuh, terorganisasi dan dikelola, serta sifat persaingan usaha di
negara yang bersangkutan.
 Kondisi permintaan (demand conditions) merupakan sifat permintaan
domestik (home demand) untuk produk (barang dan/atau jasa) dari industri
yang bersangkutan. Porter mengemukakan bahwa inti penting dari faktor ini
adalah komposisi permintaan domestik merupakan ―akar‖ bagi keunggulan
daya saing, sementara ukuran dan pola pertumbuhannya dapat
memperkuat keunggulan tersebut dengan mempengaruhi perilaku investasi,
timing, dan motivasi. Hal lain yang juga turut berkontribusi adalah
mekanisme internasionalisasi ―penarikan‖ permintaan domestik ke luar
negeri.
 Kondisi faktor (factor conditions) kondisi yang menggambarkan posisi suatu
negara dalam ―faktor-faktor produksi‖ (input yang dibutuhkan untuk
bersaing), seperti tenaga kerja atau infrastruktur, yang diperlukan untuk
bersaing dalam suatu industri.
 Industri terkait dan pendukung (related and supporting industries), kehadiran
industri-industri pendukung dan yang terkait di negara yang bersangkutan
yang memiliki daya saing (kompetitif) secara internasional. Kunci paling
signifikan dalam hal ini adalah industri pendukung dan terkait yang dinilai
penting bagi inovasi suatu industri, atau yang memberikan
kesempatan/peluang untuk berbagi aktivitas kritis suatu industri.
Dalam model berlian tersebut, ―kejadian-kejadian yang bersifat
kebetulan‖ (chance events) dan pemerintah terkait dengan hal-hal di luar
kemampuan perusahaan, seperti adanya penemuan murni, diskontinuitas
teknologi yang besar, diskontinuitas dalam biaya input, perubahan yang
signifikan dalam pasar keuangan dunia atau nilai tukar, berkembangnya
permintaan regional atau dunia, keputusan politik pemerintah asing, dan
peperangan.

________________________ 13
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Lyon dan Atherton selanjutnya mengatakan bahwa terdapat tiga hal
mendasar yang dicirikan oleh klaster industri, terlepas dari perbedaan struktur,
ukuran ataupun sektornya, yaitu:
1. Komunalitas, Keserupaan, Kebersamaan, Kesatuan (Commonality)
Bisnis-bisnis beroperasi dalam bidang-bidang ―serupa‖ atau terkait satu
dengan lainnya dengan fokus pasar bersama atau suatu rentang aktivitas
bersama.
2. Konsentrasi (Concentration)
Terdapat pengelompokan bisnis-bisnis yang dapat dan benar-benar
melakukan interaksi.
3. Konektivitas (Connectivity)
Terdapat organisasi yang saling terkait/bergantung (interconnected/linked
/interdependent organizations) dengan beragam jenis hubungan yang
berbeda.
Esensi klaster industri terletak bukan hanya pada keberhasilan
mencapai ‖hasil akhir‖ tetapi juga proses penciptaan nilai (value creation) dan
kekuatan rantai nilai (value chain) dari ‖keseluruhan‖ rantai nilai relevannya.
Dengan pertimbangan dimensi rantai nilai, secara umum terdapat dua
pendekatan klaster industri, yaitu: Aglomerasi, merupakan pendekatan
berdasarkan pada aspek keserupaan (similarity) sehimpunan aktivitas bisnis.
Dalam hal ini misalnya, sentra industri/bisnis, industrial district, dan sejenisnya
yang mempunyai ―keserupaan‖ aktivitas bisnis dianggap sebagai suatu klaster
industri. Dan Michael Porter mengembangkan pola pendekatan yang lebih
menyoroti ―keterkaitan‖ (interdependency) atau rantai nilai sehimpunan aktivitas
bisnis. Dalam pandangan ini, sentra industri/bisnis dan/atau industrial district
pada dasarnya merupakan bagian integral dari jalinan rantai nilai sebagai suatu
klaster industri.
Pendekatan rantai nilai dinilai ―lebih sesuai‖ terutama dalam konteks
peningkatan daya saing, pengembangan sistem inovasi (nasional/daerah),

________________________ 14
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
prakarsa pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan/teknologi atau tema
sejenisnya, dan bukan ―sekedar‖ upaya memperoleh ―ekonomi aglomerasi‖
karena terkonsentrasinya aktivitas bisnis yang serupa.
Hal yang penting dari pendekatan kedua ini adalah asumsi bahwa untuk
berhasil, perusahaan tidak dapat bekerja sendiri secara terisolasi. Identik
dengan ini adalah bahwa inovasi seringkali muncul dari interaksi multi pihak.
Bergman dan Feser (1999) mengungkapkan setidaknya ada 5 (lima)
konsep utama yang mendukung literatur klaster industri daerah, yaitu: external
economies, lingkungan inovasi, persaingan atau kompetisi kooperatif (cooperative
competition), persaingan antar industri (interfirm rivalry), dan path dependence.
Selain itu, pendekatan yang keenam adalah yang dikenal dengan efisiensi
kolektif (collective efficiency). Hubungan keterkaitan antara keenam teori tersebut
akan dijelaskan sebagai berikut dan seperti ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar 3.3 Rangkuman Konsep Klaster Industri

________________________ 15
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
a) Eksternalitas Ekonomi

Secara umum ada dua pendekatan konseptual dalam literatur untuk


memahami manfaat terkonsentrasinya perusahaan dalam ruang geografis
tertentu, yaitu: Teori lokasi industri (yang bertumpu pada karya Weber dan
Hoover di tahun 1930-an), di mana manfaat yang diperoleh sering disebut
ekonomi aglomerasi, dan Teori Marshal yang diawali analisis eksternalitas
ekonomi dan kehadirannya dalam ―kawasan industri (industrial district)‖

Teori lokasi industri Weber mengidentifikasi ekonomi aglomerasi, yaitu


penghematan biaya yang dinikmati oleh perusahaan-perusahaan akibat dari
meningkatnya konsentrasi secara spasial, sebagai salah satu dari tiga sebab
utama pengelompokan spasial atau aglomerasi. Sebab-sebab tersebut
merupakan eksternalitas ekonomi yang bersifat internal. Hoover selanjutnya
memperkenalkan ekonomi lokalisasi dan urbanisasi. Belakangan penekanan
atas keuntungan dari jarak kedekatan (proximity) antar perusahaan,
ketersediaan dan penggunaan fasilitas perbaikan yang terspesialisasi,
infrastruktur bersama, berkurangnya resiko dan ketidakpastian bagi para
wirausahawan, dan informasi yang lebih baik, diidentifikasi sebagai faktor
penting dari aglomerasi.
Sementara itu, teori Marshall mendefinisikan eksternalitas ekonomi
sebagai penghematan biaya bagi perusahaan karena ukuran atau pertumbuhan
output dalam industri secara umum. Eksternalitas ekonomi yang bersifat
eksternal ini merupakan eksternalitas spasial, yaitu dampak samping ekonomi
dari kedekatan jarak antara para pelaku ekonomi. Bentuknya bisa bersifat
positif atau negatif, statik ataupun dinamik, keuangan ataupun teknologis.
Faktor statik bersifat dua arah (peningkatan atau pengurangan), sementara yang
dinamik adalah yang berkaitan dengan kemajuan teknologi, meningkatnya
spesialisasi, dan pembagian kerja yang menyertai atau mendorong
pertumbuhan dan pembangunan.
________________________ 16
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Krugman (1991) menelaah lokalisasi produksi industri dan
mengidentifikasi tiga alasan lokalisasi tersebut, yaitu:

 Penghimpunan pasar tenaga kerja (labour market pooling): konsentrasi


sektoral dan geografis menciptakan sehimpunan keterampilan yang
terspesialisasi yang menguntungkan baik bagi tenaga kerja maupun
perusahaan.
 Input antara (intermediate inputs): klaster perusahaan memungkinkan
adanya dukungan dari pemasok input dan jasa-jasa yang lebih
terspesialisasi.
 Spillover teknologi (technological spillovers): ―klasterisasi/pengklasteran‖
memfasilitasi difusi know how dan gagasan secara cepat.

b) Lingkungan Inovasi

Sebagaimana disampaikan oleh Roelandt dan den Hertog (1999), dalam


perkembangan teori inovasi, perilaku dan aliansi strategis antar perusahaan,
dan interaksi serta pertukaran pengetahuan antara perusahaan, lembaga-
lembaga riset, perguruan tinggi dan lembaga lainnya telah menjadi ―pusat‖ dari
analisis proses inovasi. Inovasi dan peningkatan (upgrading) kapasitas produktif
dipandang sebagai suatu proses sosial yang dinamis yang acapkali berhasil
berkembang dalam suatu jaringan di mana interaksi intensif terjadi antara
pelaku yang ―menghasilkan/menyediakan‖ pengetahuan dan pelaku yang
―membeli dan menggunakan‖ pengetahuan.
Sehubungan dengan itu, klaster industri sering dinilai sebagai alat kebijakan
yang penting yang terkait dengan sistem inovasi nasional. Pandangan Lundvall
(1992) tentang sistem inovasi nasional menekankan pentingnya kapabilitas
pembelajaran (learning capability) dari perusahaan, lembaga-lembaga dan
masyarakat pengetahuan.
Klaster dan jaringan industri akan berperan sebagai mekanisme bagi
pertukaran pengetahuan dan informasi, terutama bagi elemen terpentingnya
________________________ 17
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
yang justru (dipandang) sebagai bagian yang tak ―terkodifikasi (codified)‖ atau
bersifat tacit (lekat dengan orang dan/ atau kelembagaan). Pengetahuan yang
tacit semakin penting seiring dengan cepatnya perubahan lingkungan ekonomi
global. Pertukaran pengetahuan demikian terjadi antar multipihak, termasuk
lembaga non bisnis. Karakteristik lingkungan setempat (daerah) yang
mendukung terjadi interaksi multipihak untuk pertukaran pengetahuan dan
informasi demikin akan memiliki keunggulan bagi perkembangan inovasi
dibanding dengan daerah lainnya yang tidak. Seperti misalnya diungkapkan
Saxenian (1994), bahwa perbedaan yang terjadi antara Silicon Valley dan Route
128 adalah akibat faktor modal sosial.
Pandangan lain tentang ini adalah ―teori‖ tentang ―lingkungan inovatif
(innovative milieu)‖ Maillat (lihat misalnya Fromhold-Eisebith, 2002).
Lingkungan (milieu) lebih merupakan tatanan yang mampu memprakarsai
suatu proses sinergis. Pendekatan innovative/creative milieu mengasumsikan
suatu endowment (anugerah) kelembagaan daerah yang baik dalam bentuk
perguruan tinggi, laboratorium riset, lembaga-lembaga pendukung publik,
beberapa perusahaan dan faktor lainnya sebagai prasyarat perlu, berfokus pada
kekuatan-kekuatan utama yang mendorong lembaga-lembaga tersebut benar-
benar berinteraksi dan terkoordinasi sedemikian sehingga membawa kepada
hasil yang positif di daerah, utamanya perusahaan-perusahaan yang inovatif.
Seperti dikutip oleh Fromhold-Eisebith (2002) dari Camagni (1991),
GREMI (the Groupe de Recherche Europeen sur les Milieux Innovateurs)
mendefinisikan innovative milieu sebagai ―sehimpunan atau jaringan komplek
terutama dari hubungan-hubungan sosial informal pada suatu area geografis
terbatas, yang seringkali menentukan ―citra‖ khusus tertentu di luar (eksternal)
dan suatu ―perwakilan/representasi‖ khusus serta rasa kepemilikan (sense of
belonging) di dalam (internal), yang meningkatkan kapabilitas inovatif setempat
(lokal) melalui proses pembelajaran kolektif dan sinergis. Dalam konsep ini ada
tiga elemen utama yang menandai innovative milieu, yaitu: hubungan pelaku

________________________ 18
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
yang efektif dalam suatu kerangka daerah; kontak sosial yang meningkatkan
proses pembelajaran; dan citra dan rasa memiliki.

c) Kompetisi Kooperatif

Dalam pandangan ini, perusahaan yang bersaing satu dengan lainnya


akan berusaha mencarai cara untuk dapat bekerjasama dalam pengembangan
produk ataupun merebut pasar. Pola kerjasama biasanya didasarkan atas
kepercayaan, ikatan keluarga, dan tradisi, seperti dijumpai dalam industrial
district di Third Italy. Belakangan, keterikatan sosial (social embeddedness)
nampaknya banyak melandasi perkembangan konsep tersebut. Fenomena ini
nampaknya jarang dijumpai di luar literatur industrial district (Bergman dan
Feser, 1999). Di Indonesia pun, fenomena demikian nampaknya lebih mungkin
dijumpai di sentra-sentra industri kecil, yang secara historis telah berkembang
lama (turun-temurun dari suatu generasi ke generasi berikut) dan ―keterikatan‖
sosial dan kultural antar pelaku telah menjadi bagian sangat penting dari
komunitas sentra.

d) Persaingan/Rivalitas (Rivalry)

Serupa dengan tema dalam industrial district, konsep ini memandang


bahwa persaingan (karena struktur industri dan/ataupun semangat
berkompetisi dari perusahaan dalam industri) akan sangat mempengaruhi
pembelajaran, inovasi dan kewirausahaan, yang akan membentuk pola
perkembangan ekonomi daerah.

e) Path Dependence

Model-model polarisasi, core-periphery, dan kausalitas kumulatif


semuanya merujuk kepada kecenderungan yang akan lebih memperkuat bagi
daerah untuk terus maju atau mundur.
Jika teori neoklasik mengasumsikan constant returns, yang tidak memberi
ruang bagi eksternalitas (mendominasi pandangan atas pandangan mainstream
pertumbuhan daerah hingga tahun 1980-an), maka teori pertumbuhan baru
________________________ 19
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
(new growth theory) mengasumsikan kemungkinan peran increasing returns. Teori
pertumbuhan baru memandang bahwa suatu keunggulan komparatif yang
terbentuk di suatu daerah atau negara (apakah karena faktor ―kebetulan,‖
distribusi sumber daya alam, ataupun fenomena yang bersifat non perilaku)
akan sangat mungkin menguat sebagai akibat dari eksternalitas ekonomi.
Dalam ekonomi internasional yang ―baru‖ pun, faktor increasing returns
dalam perdagangan berimplikasi pada kemungkinan pola perkembangan yang
sangat terkonsentrasi secara geografis, termasuk perbedaan dalam pendapatan
dan penyerapan kerja antar daerah. Eksternalitas yang berkaitan dengan
pengetahuan sangat mungkin menjadi fenomena lock-in effect, yang membuat
suatu daerah mempunyai kelebihan dalam bidang tertentu (yang didukung
oleh pengetahuan terkait yang berkembang) dibanding dengan daerah lainnya.
Bagaimana kemungkinan hal ini terjadi ataupun berlanjut nampaknya lebih
merupakan persoalan empiris.
Istilah path dependence dalam hal ini mengacu kepada keadaan umum di
mana pilihan teknologi, walaupun nampaknya tidak efisien, inferior, ataupun
yang suboptimal, akan mendominasi alternatif/pilihan lainnya dan akan
―memperkuat‖ terus (self-reinforcing), walaupun ini tak berarti bahwa dengan
upaya intervensi yang cukup signifikan, hal tersebut tak dapat diubah.
Beberapa bukti empiris di Tanah Air juga mengindikasikan bahwa
daerah-daerah tertentu mempunyai kelebihan dari daerah lainnya dalam
bidang tertentu, yang dilandasi oleh pengetahuan/keterampilan spesifik terkait,
yang berkembang dari waktu ke waktu. Walaupun, karena proses inovasi yang
relatif lambat (misalnya karena relatif rendahnya tingkat pendidikan) dan/atau
faktor lainnya, hal ini tak selalu menjadi keunggulan daerah yang terus
terpelihara. Daerah lain seringkali dapat ―meniru‖ dan bahkan mengungguli
apa yang sebelumnya menjadi kelebihan suatu daerah (yang ditirunya).

________________________ 20
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
f) Efisiensi Kolektif (Collective Efficiency)

Selain kelima hal yang telah disampaikan, Schmitz (1997) adalah di


antara yang menelaah faktor/isu ―lain‖ sehubungan dengan klaster industri. Ia
menekankan adanya ―efisiensi kolektif‖ (collective efficiency) dari suatu klaster
industri yang berkontribusi pada keunggulan daya saing perusahaan. Artinya,
perusahaan-perusahan dan organisasi terkait lainnya dapat termotivasi oleh
ekspektasi adanya efisiensi kolektif yang dapat/akan diperolehnya jika
―bergabung‖ dalam suatu klaster industri tertentu.
Efisiensi kolektif ini teridiri atas dua aspek dan kombinasi dari keduanya
akan beragam antara suatu klaster dengan lainnya dan juga berkembang dari
waktu ke waktu, yaitu: Ekonomi eksternal lokal/setempat (local external
economies) : yang berkaitan dengan manfaat ekonomi yang muncul dari
terkonsentrasinya perusahaan di suatu tempat/wilayah geografis. Ini bersifat
insidental (tidak direncanakan), dan ―pasif.‖ Dan Tindakan/aktivitas bersama
(joint action) : yang berkaitan dengan manfaat yang diperoleh akibat upaya yang
dengan sadar direncanakan dan dilakukan bersama oleh anggota klaster.
Elemen ini merupakan elemen yang sengaja direncanakan dan adakalanya
disebut elemen ―aktif.‖

Kedua aspek tersebut dapat memberikan dampak, baik yang bersifat


statik maupun dinamik, yang akan mempengaruhi bagaimana perkembangan
suatu klaster dari waktu ke waktu.

________________________ 21
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
3.2 Teknologi Pengolahan

Komposisi hasil pengolahan tandan buah segar (TBS) ditampilkan pada


diagram berikut:

Gambar 3.4 Neraca Massa Pengolahan Kelapa Sawit

Tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dapat menghasilkan 65 persen


buah, 13.5 persen kondensat dan 21 persen tandan kosong. 65 persen buah
dapat dihasilkan biji (11,9%) dan mesocarp (53,4%). Cara pneumatis dan
mekanis dapat digunakan dalam pemisahan biji dengan serabut. Pemisahan biji
dengan menggunakan tarikan atau hisapan udara pada sebuah kolom pemisah
di sebut Pneumatis. Pemecahan ampas pengempaan dengan cake breaker
conveyor. Biji yang bersih dibawa ke kernel recovery station, sedangkan serabut
dibawa ke shell/fibre conveyor.
Biji yang telah terbebas ampas dibawa melalui nut grading drum untuk
dipisahkan dalam tiga ukuran. Biji yang masih basah dimasukkan ke dalam nut
________________________ 22
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
silo untuk dikeringkan, kemudian biji yang sudah dikeringkan tersebut dipecah
cangkangnya dengan ripple mill dan dibawa ke LTDS I, II. Selanjutnya inti
dibawa ke kernel silo untuk dikeringkan dan siap untuk dibawa ke pengolahan
PKO.
Seterusnya mesocarp dapat mengasilkan tiga pecahan yaitu CPO (24%),
fiber (14,4%), dan POME (53,5%). CPO dapat dikembangkan menjadi produk
Olein/Stearin, Palm mid fraction (PMF), PFAD, Biodiesel dan Asam lemak,
semntara PKO menghasilkan asam lemak.

Gambar 3.5 Contoh Produk IHKS

Salah satu turunan produk adalah minyak makan yang berkualitas baik
melalui proses refinery (Industri Olein, Stearin, PFAD). Ada dua rute pemurnian
CPO yaitu secara kimia (basic refining) dan fisik (physical refining). Perbedaan
kedua rute ini terletak pada cara asam lemak dipisahkan dari minyak. Cara
kimia dilakukan dengan memisahkan asam lemak bebas dengan pada minyak
dengan cara mereaksikannya dengan soda api sehingga terbentuk soap stock
sebagai hasil samping. Sedangkan cara fisik dapat dilakukan dengan
________________________ 23
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
memisahkan asam lemak bebas dari minyak dengan cara memproses minyak
pada distilasi uap pada suhu tinggi dan kondisi vakum.
Proses pemurnian CPO secara fisik terdiri dari beberapa komposisi yaitu:
bahan baku (CPO) dari storage tank masuk ke umpan dengan laju alir 35-60 ton
per jam. Suhu awal CPO  40 – 60 oC. CPO dipompakan melewati sistem
recovery panas untuk meningkatkan suhu hingga mencapai 60-90 oC.

Selanjutnya 20% CPO diumpan ke slurry tank dan dicampur dengan bleaching
earth (6-12 kg/ton CPO) membentuk slurry, slurry terbentuk dimasukkan ke
bagian bleacher. Pada saat yang sama sekitar 80% CPO dipompakan melalui
plat heat exchanger (PHE) dan steam heater untuk meningkatkan suhu CPO
hingga 90-130 oC, yaitu seuhu yang diperlukan agar terjadi reaksi antara CPO
dan asam fosfat. Kemudian CPO dipompakan ke static mixer dan ditambah
asam fosfat dengan dosis 0,35-0,45 kg/ton CPO.
Proses pengadukan dengan minyak kasar untuk presipitasi gum.
Kemudian hasil degumming proses dialirkan menuju bleacher section. Bagi
mendapatkan hasil maksimum pada saat bleacher 20% slurry dan 80%
degummed CPO dicampur dan proses bleaching terjadi pada suhu 100-130oC
selama 30 menit. Membantu mengatasi masalah yang akan timbul perlu
dibuang kotoran (pigman, trace metal, produk oksidasi) melalui proses
bleaching earth.
Niagara filter berfungsi untuk melewatkan slurry dan bleaching earth
untuk mendapatkan minyak yang bersih dengan stabilitas suhu 80 – 120 oC.
minyak hasil penyaringan tersebut dipompakan menuju buffer tank sebelum
proses selanjutnya. BPO (bleached palm oil) keluar di filter dan melewati
serangkaian pemanas (Schmidt plate heat exchanger and Spiral) untuk
memanaskan CPO dari suhu 80-12 oC.
Proses selanjutnya ialah deasidifikasi dan deodarisasi yang terjadi secara
bersamaan pada kolom pre-stripping dan deodarisasi. Pemanasan minyak
dalam kolom tersebut pada suhu 240-280 oC dibawah kondisi vakum kurang

________________________ 24
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
dari 10 torr. Steam dapat digunakan secara langsung untuk menghilangkan
residu asam lemak bebas, aldehid dan keton. Berat melekul asam lemak yang
lebih rendah dapat menguap lebuh mudah dan naik ke kolom dan dikeluarkan
oleh sistem vakum, dikondensasikan dan dikumpulkan dalam kondensor asam
lemak.
Seterusnya asam lemak didinginkan dan disebar ke tanki storage asam
lemak pada suhu 60-80 oC sebagai PFAD. Produk yang dihasilkan berupa
refined, Bleached, Deodorized Palm Oil (RBDPO) dipompakan melalui Schmidt
PHE pada suhu 250-280 oC untuk mentransfer panasnya ke BPO bersuhu
rendah, kemudian melewati filter lain pada suhu 120 – 140 oC. Kemudian
dipompakan menuju penyimpanan dengan suhu 50-80 oC. Proses fraksinasi
dilakukan untuk memisahkan RBDPO (stearin dan olein) berdasarkan titik cair.
Proses ini akan menghasilkan 73% olein, 21% stearin, dan 5% palm fatty acid
distillate (PFAD) dan 0,5% limbah.
Minyak sawit dapat juga menghasilkan beberapa produk pangan seperti
yang tertera pada diagram dibawah ini:

Gambar 3.6 Teknologi Proses Pengolahan Minyak Sawit Menjadi Produk


Pangan
________________________ 25
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Pengolahan minyak sawit menjadi produk pangan setelah proses refining
kemudian dilakukan lima proses berikutnya, yaitu esterifikasi, interesterifikasi,
hidrogenasi, blending, dan distilasi molekuler. Produk pangan dari minyak
sawit memalui proses esterifikasi dan distilasi molekuler menghasilkan vitamin
E dan vitamin A. Melalui proses interesterifikasi dan blending menghasilkan
vegetable ghee, dan proses hidrogenasi menghasilkan frying fat, margarine,
shorterning, coating fat, confectioneries fat, coffe whitener, dan biscuit creamer.
Selanjutnya proses hidrogenasi mengeluarkan CBE/CBS/CBX dan proses
interesterifikasi menghasilkan Food Emulsifier.
Beberapa produk pangan berasal daripada minyak sawit dapat dijelaskan
berikut ini:
a. Margarine
Bahan baku utama margarine adalah minyak dan lemak. Lemak yang
digunakan berdasarkan pada pertimbangan pengaruhnya terhadap
karakteristik kristalisasi selama produk margarine berlangsung dan juga
pemilihan peralatan yang digunakan dalam line produksi margarine. Bahan
tambahan lain yang diperlukan adalah bahan tambahan yang larut minyak
(fat solube) dan larut air (water solube) seperti pewarna, lesitin, garam,
emulsifier, potassium sorbet, asam sitrat, susu skim bubuk.
b. Mayonaise
Komponen utama Mayonaise adalah minyak nabati, air, kuning telur
(emulsifier lainnya), garam, gula, cuka dan asam sitrat, untuk jenis tertentu
ditambah bumbu. Kandungan lemak Mayonaise berbeda-beda, yaitu dari
15% (dressing) hingga 50-65% (salad mayonnaise), lebioh dari 80% (full fat
mayonnaise). Kadar lemak dibawah 50%, perlu ditambahkan stabilizer
seperti hidrokoloid pada komponen utama.
Komposisi mayonnaise terdiri dari :
- Minyak : 70 - 80%

________________________ 26
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
- Telur : 10 – 11%
- Air : 8 – 10%
- Garam : 1%
- Gula : 1%
- Lemon : 0,5%
- Spice (essential oil) : 0,5%
Produksi skala kecil hingga 1000 kg/jam dilakukan dengan proses batch,
sedangkan proses produksi skala besar proses produksi yang dilakukan
secara kontinyu. Proses mayonnaise dapat dilakukan secara dingin dan
panas.
c. Shortening
Proses ini meliputi proses fraksinasi dan hidrogenasi. Proses-proses ini
memiliki fleksibilitas tinggi dan dapat diterapkan pada industri pangan
dalam hal memilih jenis bahan baku minyak yang akan digunakan
tergantung pada harga, ketersediaan dan kebutuhan konsumen.

Gambar 3.7 Teknologi Proses Pengolahan Minyak Sawit Menjadi Biodisel


________________________ 27
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Pengolahan kelapa sawit menjadi bioenergi ditunjukkan secara rinci
pada diagram dibawah ini. Secara umum, hampir semua komponen IHKS
yang berasal dari kelapa sawit (minyak sawit, limbah padat, dan limbah cair)
dapat dimanfaatkan.
Minyak sawit dapat diolah menjadi lima produk bioenergi, yaitu
biodiesel, green gasoline, green olefin, green diesel, dan green jet. Seperti
biodiesel dproduksi menggunakan bahan baku minyak sawit mentah (CPO),
memerlukan pretreatment untuk memisahkan trigliserida dengan wax. Hal ini
bertujuan untuk memisahkan dalam proses pemisahan biodiesel dari gliserol.
biodiesel dapat dihasilkan melalui proses esterifikasi atau
transesterifikasi trigliserida. Transesterifikasi adalah penggantian gugus
alkohol dari suatu ester dengan alkohol lain dalam suatu proses yang
mempunyai hidrolis. Terdapat perbedaan antara proses transesterifikasi
dengan hidrolis, yaitu pada proses transesterifikasi yang digunakan adalah
alkohol bukan air. Adapun katalis yang digunakan adalah sodium metilat,
NaOH dan KOH.
Jenis alkohol yang sering digunakan adalah methanol, karena harga
yang relative murah. Faktor utama yang mempengaruhi rendemen ester yang
dihasilkan pada reaksi transesterifikasi adalah rasio molar antara trigliserida
dan alkohol, waktu reaksi, kandungan air, dan kandungan asam lemak bebas
pada bahan baku. Adapun factor lain yang mempengaruhi kandungan ester
pada biodiesel ialah jumlah kandungan gliserol pada bahan minyak minyak,
jenis alkohol, jumlah katalis sisa dan kandungan sabun.
Penanggulangan limbah cair dan limbah padat (tandan kosong,
cangkakng, pelepah dan batang) dapat menambah nilai produksi lainnya,
seperti bahan bakar pembangkit energy listrik, bio oil, etanol, dan gas metan.
Selanjutnya pengolahan minyak sawit dapat dikembangkan lagi menjadi
produk oleokimia. Terdapat 27 produk yang dapat dikembangkan melalui

________________________ 28
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
empat bahan baku yaitu gliserol, asam lemak (fatty acid), fatty alcohol dan metal
ester asam lemak. Pada diagram dibawah ini dijelaskan beberapa produk
oleokimia yang dapat dihasilkan dari minyak sawit.

Teknologi Proses Pengolahan Minyak Sawit


Menjadi Produk Oleokimia
Gliserolisis Monoasil gliserol
Gliserol
Hidrolisis Diasil gliserol
Esterifikasi Gliserida parsial
Esterifikasi Triasetin
Ester asam lemak
Epoksidasi
Alkil epoksi ester
Asam lemak Etoksilasi
Asam lemak etoksilat
(fatty acid)
Konjugasi
Conjugated fatty acid
Hardening
Asam lemak jenuh Propoxlation Fatty alkohol alkosilat
Reaksi Guerbet Alkohol Guerbet Sulfatasi
Fatty alkohol eter sulfat
Klorinasi
Alkil klorida Fosfatisasi
Minyak Fatty Fatty alkohol eter fosfat
Etoksilasi
Sawit alkohol Fatty alkohol etoksilat Sulfitasi
Fatty alkohol
Esterifikasi Hidrogenasi Sulfatasi sulfosuksinat
Fatty alkohol sulfat
Esterifikasi Sukrolisis
Ester Sukrosa ester
Transesterifikasi Metil ester Halogenasi
asam lemak
Saponifikasi Soap noodle
Sulfonasi
Metil Ester Sulfonat
Amidasi
Fatty acid alkanolamide
Epoksidasi
Epoxided trigliseride
Etoksilasi
Etoksilat trigliserida
Hidrogenasi
Hydrogenated oil
Sulfatasi
Turkey red oil

Sumber : Hui, 1996; Suryani et al., 2008

Gambar 3.8 Teknologi Proses Minyak Kelapa Sawit Menjadi Produk Oleokimia

Antara produk oliokimia adalah surfaktan. Jenis produk surfaktan yang


dapat diproduksi dengan menggunakan asam lemak dari minyak sawit
antaranya ialah gliserol monopolmitat (GMP), gliserol monooleat (GMO) dan
gliserol monostrearat (GMS) melalui proses esterifikasi. Sementara dengan

________________________ 29
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
proses etoksilasi dapat dihasilkan asam lemak etoksilat dan poliglikol eter, dan
melalui proses aminasi akan menghasilkan fatty amine dan fatty amine oxide.

3.3 Analisis Kawasan Industri

3.3.1 Teori Kawasan

Kawasan industri pertama kali dikembangkan pada tahun 1876 di


Inggris yaitu Trafford Park Estates, dengan luas sekitar 500 Ha yang merupakan
lokasi industri terluas sampai pada tahun 1950-an. Pada awal abad 20, lokasi
industri di Amerika Serikat dikembangkan di kota Chicago yaitu antara lain
Central Manufacturing District dibangun pada tahun 1902 dengan luas 105 Ha,
The Clearing Industrial District yang dibangun pada tahun 1909 seluas 215 Ha,
dan The Pershing Road District dibangun tahun 1910 dengan luas 40 Ha.
Selanjutnya pada tahun 1960-an di Amerika Serikat telah berkembang lokasi
industri yang dikenal dengan Science Park atau Technology Park yaitu lokasi
industri untuk tujuan penelitian dan pengembangan. Pada tahun 1970-an,
konsep Business Park dikembangkan dimana dalam suatu lokasi tertampung
berbagai kegiatan seperti perkantoran dan industri yang ditunjang oleh
kegiatan perdagangan dan rekreasi. Kemudian baru pada tahun 1980-an lokasi
perumahan juga dimasukan dalam kawasan Business Park.
Sementara di Indonesia lokasi industri baru dikembangkan pada awal
tahun 1970-an sebagai suatu usaha untuk memenuhi kegiatan penanaman
modal baik dari dalam maupun dari luar negeri. Pada awalnya Pemerintah
mengembangkan lokasi industri melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN).1
Pada tahun 1973 pemerintah memulai pembangunan lokasi industri yang
pertama yaitu Jakarta Industrial Estate Pulo Gadung (JIEP) dan kemudian
disusul oleh Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) pada tahun 1974. Lokasi
industri atau disebut pula sebagai kawasan industri (KI) yang dikembangkan
oleh pemerintah adalah KI Cilacap (1974), KI Medan (1975), KI Makasar (1978),
KI Cirebon (1984) dan KI Lampung (1986). Selain itu pada tahun 1986,
pemerintah melalui PT. Kawasan Berikat Nusantara mengembangkan kawasan

________________________ 30
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Berikat atau Bonded Zone dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor non
migas.
Kawasan Berikat merupakan suatu lokasi industri khusus dimana
untuk melancarkan arus barang ekspor semua kegiatan kepabean. Berdasarkan
Permendagri No. 5 Tahun 1974 diatur bahwa yang dapat diberikan lahan untuk
usaha lokasi industri adalah badan hukum yang seluruh modalnya berasal dari
Pemerintah. untuk barang ekspor dilakukan pada lokasi tersebut dan bahan
baku untuk ekspor mendapat fasilitas bebas Bea Masuk. Seiring dengan
perkembangan investasi yang terus meningkat, kemudian pihak swasta baru
dilibatkan dalam usaha lokasi industri melalui Keppres No. 53 tahun 1989
dimana diatur bahwa usaha lokasi industri dapat dilaksanakan oleh pihak
swasta domestik maupun asing dengan atau tanpa partisipasi BUMN. Sejak
pihak swasta diperbolehkan mengembangkan lokasi industri, maka
pertumbuhan lokasi industri bertumbuh dengan pesat sekali. Sampai pada
tahun 1994 misalnya, jumlah lokasi industri yang tercatat di Himpunan
Kawasan Industri (HKI) adalah sebanyak 146 lokasi dengan total luas lahan
sebesar 42.019 Ha yang sebagian besar tersebar di propinsi Jawa Barat (21.289
Ha) dan kota Jakarta (3.064 Ha).

Beberapa teknik untuk menentukan pembangunan kawasan industri


dengan menggunakan teori asal ekonomi, kesan penggada yang berkaitan
dengan teori input-output dan penggunaan teori lokasi (Location Theory), teori
tempat pusat (Central Place Theory) dan penerapan teori kutub pertumbuhan
(Growth Pole Theory). Penjelasan setiap teori dapat disebutkan sebagai berikut
(Tarigan Robinson, 1998):
a) Teori Lokasi, ada tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam
menetapkan lokasi pembangunan iaitu (a) kos terendah (b) jangkaan
pasaran dan (c) untung paling tinggi (Tarigan Robinson, 1998).
b) Teori Tempat Pusat, membentuk Pola ideal, asumsi homogen dalam
bentuk lokasi, kualiti tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta
budayanya. Christaller juga menyajikan bentuk pola tempat

________________________ 31
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
perkhidmatan seperti jaring segi enam (heksagon). Bentuk pola tempat
perkhidmatan heksagon ini secara teori mampu menghasilkan secara
optimum penjimatan kos pengangkutan, pasaran dan pentadbiran
(Haggett, 2001).
c) Teori Kutub Pertumbuhan, berbeza dengan pernyataan Christaller yang
berlatar ahli geografi, teori Kutub Pertumbuhan digagaskan dan
dikembangkan oleh para ahli ekonomi. Teori ini melahirkan konsep
ekonomi seperti konsep industri penggerak (leading industry), konsep
polarisasi dan konsep memberi pengaruh (trickle atau spread effect)
(Tarigan Robinson, 1998).

Akan tetapi teori lokasi yang tradisional berpendapat bahawa kluster


(pengelompokan) industri muncul terutama akibat minimumkan kos
pengangkutan atau kos produksi (Isard, 1956, Weber, 1909). Teori lokasi
industri Weber menurut model Weber adalah bergantung kepada tiga faktor
iaitu pasaran, tenaga kerja dan bahan mentah. Penjelasan berasaskan kepada
mencari lokasi dengan kos pengeluaran yang paling rendah dan keuntungan
yang maksimal merupakan salah satu konsep geografi.
Keterbatasan Teori Weber telah memunculkan teknik lain, yang disebut
pendekatan interdependensi lokasi (locational interdependence). Perbezaan yang
utama kajian ini yang disebut dengan model Direct Location Area (DLA) ialah
menambah faktor kewujudan perundangan dan tanggapan penduduk dalam
penentuan lokasi. Penentuan lokasi yang akan dijadikan polisi harus mampu
menyesuaikan dengan keadaan lokasi yang dicadangkan untuk menghasilkan
pembangunan yang berterusan. Kesesuaian ini dalam model DLA ini
ditetapkan pertama faktor kewujudan perundangan yang dapat memberikan
jaminan secara undang-undang kepada pihak-pihak pengguna lokasi yang telah
ditentukan untuk beraktiviti secara berterusan.

________________________ 32
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Kedua, faktor tanggapan penduduk pada lokasi area yang telah
ditentukan, hal ini tentu sangat mempunyai peranan dalam pelaksanaan aktiviti
pada lokasi, kerana dengan mengetahui sikap penduduk pada rancangan
pembangunan yang dicadangkan akan memudahkan pelaksanaan dan
keberterusan aktiviti tersebut ke hadapan.
Kemajuan jaman dengan berbagai informasi yang diterima oleh pihak
penduduk akan mempengaruhi sikap dan tindakan dalam menerima suatu
aktiviti di daerahnya. Apakah sikap dan tindakan tersebut menguntungkan
atau tidak, dapat diperoleh dari tanggapan yang diminta dari penduduk. Oleh
itu kajian ini dengan disebut dalam istilah DLA menyesuaikan dengan teori
lokasi Weber.
Lokasi industri secara umum mempunyai pengertian sebagai lahan atau
tanah tempat pabrik dan sarananya melakukan proses produksi. Penentuan
lokasi industri (pabrik) akan berkaitan dengan unit-unit lain. Menurut
Budiharsono (2001) keputusan mengenai penentuan lokasi yang diambil oleh
unit-unit pengambil keputusan akan menentukan struktur ruang wilayah yang
terbentuk.
Ada tiga unit yang menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan penentuan lokasi industri (pabrik) yaitu: rumah tangga, perusahaan,
dan pemerintah. Setiap unit pengambil keputusan mempunyai kepentingan
tersendiri yang bersumber dari aktivitas ekonomi yang dilakukan. Aktivitas
ekonomi rumah tangga yang paling pokok adalah penjualan jasa tenaga kerja,
dan konsumsi.
Sedangkan kegiatan ekonomi dari suatu perusahaan meliputi,
pengumpulan input, proses produksi, dan proses pemasaran. Penentuan lokasi
industri oleh pengambil keputusan merupakan suatu usaha untuk
memaksimalkan keuntungan.

________________________ 33
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
3.3.1.1 Pendekatan Penentuan Lokasi Industri

Menurut Budiharsono (2001) pendekatan dalam penentuan lokasi


industri terbagi tiga, yaitu: pendekatan meminimumkan biaya atau biaya
terkecil, pendekatan wilayah pemasaran, dan pendekatan memaksimalkan
keuntungan. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan satu per satu
secara rinci.
1. Pendekatan Biaya Terkecil
Pendekatan biaya terkecil yang dikemukakan oleh Alfred Weber (dalam
Budiharsono 2001: 23). Pendekatan ini didasarkan atas biaya transportasi
terkecil. Setakat dengan pendekatan ini tiga faktor utama yang
mempengaruhi lokasi industri adalah biaya transportasi, biaya tenaga kerja,
dan kekuatan aglomerasi. Dalam hal ini Weber mengasumsikan bahwa biaya
transportasi berbanding lurus dengan jarak yang ditempuh dan berat barang,
sehingga titik yang membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan
pengumpulan berbagai input dan pendistribusian hasil industri.
2. Pendekatan Wilayah Pemasaran
Berbeda dengan pendekatan biaya terkecil yang hanya memperhatikan sisi
input, namun kurang memperhatikan sisi output (permintaan), Losch (dalam
Budiharsono 2001) melihat penetapan lokasi industri dari sisi permintaan.
Dengan kata lain, pendekatan ini mempertimbangkan ukuran optimal dari
pasar. Lokasi optimal adalah tempat di mana terjadi keuntungan maksimal
dengan asumsi penyebaran faktor input merata, faktor penyebaran
penduduk dan selera masyarakat sama, serta tidak ada ketergantungan
lokasi antarperusahaan.
3. Pendekatan Keuntungan Maksimum
Jika teori Weber hanya melihat sisi produksi yang memberikan ongkos
terkecil dan teori Losch hanya melihat sisi permintaan dari perimaan pasar
yang maksimal, maka Smith (dalam Tarigan 2005) menggabungkan dua teori
tersebut. Menurut Smith kedua pandangan tersebut perlu digabung, dengan
________________________ 34
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
cara mencari lokasi yang memberikan keuntungan yang maksimal setelah
memperhatikan lokasi yang menghasilkan ongkos terkecil dan lokasi yang
memberikan penerimaan terbesar, dengan mengintrodusir konsep average
cost (biaya rata-rata) dan average revenue (penerimaan rata-rata) yang terkait
dengan lokasi
Konsep di atas sangat sesuai di gunakan untuk melihat kesesuaian antara
lokasi optimum dengan daerah yang menyediakan tenaga murah untuk
menentukan biaya minimal angkutan, sehingga memudahkan pengusaha untuk
mengambil keputusan berkenaan dengan lokasi industrinya.
Menurut lokasi industri secara umum ada tiga macam lokasi industri
yang ada, yaitu:
1. Industri yang berhaluan bahan (dalam arti bahan mentah harus
diperhitungkan secara khusus), berlokasi di tempat bahan mentah, meliputi :
a. Pengolahan barang yang cepat rusak atau busuk, seperti daging, ikan,
bunga dan sebagainya.
b. Pengolahan barang dalam jumlah besar atau barang bagal atau curahan
(bulky goods) karena angkutan mahal, seperti kulit kina, kayu, beras,
batubara, dan sebagainya. Jika dalam pembuatan industri tertentu,
perbandingan kehilangan berat mencapai 90 % dalam keadaan semua
faktor yang sama, pabrik itu cenderung berlokasi di tempat bahan
mentah.
c. Pengolahan pelikan, kecuali aluminium yang memerlukan listrik yang
banyak dan murah.
2. Industri berhaluan pasar (market oriented), berlokasi ditempat pemasaran
a. Jika dalam pembuatan industri tertentu, perbandingan kehilangan berat
adalah nol persen, karena biaya angkutan untuk barang industri lebih
mahal daripada untuk barang mentah, dalam keadaan semua faktor yang
sama, pabrik itu cenderung berlokasi di daerah pemasaran. Misalnya :

________________________ 35
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
roti, rokok, karena setelah diolah beratnya tidak banyak berbeda dengan
barang mentahnya (the weight loss ratio is low);
b. Pembotolan minuman (limun), karena air bersih mudah didapat;
c. Barang yang memerlukan ongkos tinggi, karena besar ukurannya (peti,
mebel, dan sebagainya)
d. Industri pakaian karena mode yang cepat berubah
3. Industri yang berhaluan pekerja
Berlokasi ditempat tenaga kerja, ialah dalam pengerjaan barang industri
yang memerlukan keahlian khusus (dalam hal ini lain umumnya tenaga
buruh yang tertarik oleh industri), contoh : industri di Kudus mayoritas
berhaluan tenaga kerja, seperti industri rokok, jenang, dsb
(Jayadinata,1999:137).

3.3.1.2 Pertimbangan Penetapan Lokasi Industri


Pertimbangan penetapan lokasi sebagai kawasan industri adalah
keadaan geografis. Dilihat dari keadaan geografisnya perkembangan kawasan
dapat ditentukan dari bentuk fisik kawasan itu sendiri, penentuan lokasi, dan
hal – hal yang dapat mempengaruhi fungsi, misalnya: daerah pertukaran
barang dan jasa antar darat dengan laut, kedekatan dengan sumber bahan baku,
ketersediaan sumber energi dan faktor infrastruktur lainnya serta kemudahan
akses kepada pasar merupakan factor-faktor penting di dalam pemilihan suatu
lokasi.
Walter Christaller menyatakan sejumlah asumsi yang dapat dijadikan
sebagai dasar dan acuan penetapan suatu lokasi menjadi suatu kawasan
industry, yaitu:
1. Adanya suatu dataran yang seragam bentuknya (homogen).
2. Tingkat penyebaran penduduk yang merata di setiap wilayah lokasi
tersebut.

________________________ 36
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
3. Tempat – tempat (pemukiman) yang sentral terletak di dataran untuk
memberikan barang, pelayanan, dan administrasi pada daerah sekitarnya.
4. Konsumen secara mudah dapat mengunjungi tempat – tempat sentral yang
terdekat yang menyediakan (barang dan jasa) tersebut.
5. Pemasok secara leluasa dapat memberikan kontribusi di dalam penyediaan
bahan baku sehingga tercipta hubungan yang saling membutuhkan dengan
industri yang ada pada kawasan tersebut.
Gambar berikut akan mengilustrasikan kasus penurunan muatan,
dimana bobot produk akhir menjadi lebih rendah dibandingkan dengan bahan
baku yang akan diproses.

Gambar 3.9 Ilustrasi kasus penurunan muatan


Pada diagram 3.9 lokasi industri ditempatkan tepat di antara sumber
bahan baku dan pasar. Biaya yang akan ditimbulkan akan semakin meningkat
terutama pada penyampaian produk akhir kepada pasar.
Pada diagram 3.10, terlihat bahwa semakin dekatnya lokasi industry
dengan sumber bahan baku, maka akan semakin menurunkan biaya
transportasi. Posisi lokasi yang paling ideal jika lokasi industri bersamaan atau
berada satu kawasan dengan sumber bahan baku, sehingga biaya tranportasi
yang diperlukan lebih banyak kepada proses pengiriman produk akhir kepada
pasar sasaran.

________________________ 37
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Melalui ketiga diagram tersebut, Weber mengisyaratkan bahwa, bobot
bahan baku selalu lebih besar daripada bobot produk akhir, sehingga untuk
melakukan pengriman bahan baku ke lokasi industry akan lebh besar
dibandingkan pengriman produk jadi ke pasar sasaran. Jadi saran terbaik yang
diberikan oleh Weber bahwa, lokasi industri yang terbaik adalah lokasi yang
memiliki kedekatan dengan sumber bahan baku, sehingga akan menghemat
biaya pengangkutan (transportation cost).
Tiga diagram berikut mengilustasikan pula keuntungan yang dapat
diraih oleh industri jika lokasi industri berdekatan dengan pasar. Jika bobot
produk lebih besar dibandingkan dengan bobot bahan baku, maka sebaliknya
lokasi industri mesti lebih dekat dengan pasar.

Gambar 3.10 Keuntungan lokasi industri berdekatan dengan pasar


Jadi melalui ilustrasi yang digambarkan oleh beberapa diagram diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa keputusan penentuan lokasi terbaik untuk
pembangunan suatu kawasan industry bukan hanya ditentukan dari seberapa
dekat antara kawasan industry dengan sumber bahan baku, ataupun dengan
target pasar. Namun yang lebih penting lagi adalah factor bobot dan kapasitas
dari entitas yang akan dipindahkan.
Jadi menurut teori di atas bahwa tempat tertentu yang lokasinya sentral
(lokasi industri) merupakan tempat yang memungkinkan untuk
berpartisipasinya manusia dalam jumlah yang maksimal, baik bagi mereka
________________________ 38
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
yang terlibat dalam aktivitas industri maupun yang menjadi konsumen barang
– barang dan jasa yang dihasilkan.
Selanjutnya Menurut Alfred Weber, lokasi optimum untuk kawasan
industry yaitu lokasi industri yang biayanya paling minimal, untuk itu
dirumuskan enam prakondisi, yaitu:
a. Wilayahnya seragam secara topografis, klimatologis, dan demografis (yang
terakhir ini berkaitan dengan keterampilan manusia dan tingkat
pemerintahannya)
b. Sumberdaya atau bahan mentah. Jika menyangkut air dan pasir, itu ada di
mana – mana, tetapi tambang besi dan batubara, tempatnya terbatas.
c. Upah Buruh. Disamping ada upah baku, ada upah sebagai produk dari
persaingan antar penduduk.
d. Biaya transportasi yang tergantung dari bobot barang yang dipindahkan
serta jarak antara asal sumberdaya dan pabrik.
e. Adanya kompetisi antar industri
f. Manusia itu berfikir rasional (Daldjoeni,1987)

Maka dapat dismpulkan bahwa penentuan suatu lokasi industri harus


mempertimbangkan beberapa faktor – faktor pendukung, seperti wilayah yang
relatif seragam, dekat sumberdaya atau bahan mentah, upah buruh yang relatif
murah, jalur transportasi yang lancar yang mempermudah arus perpindahan
barang dan jasa, dan lain sebagainya. Oleh karena itu pendirian pabrik/
industri harus minimal memperhatikan faktor – faktor pendukungnya.
Faktor-faktor lain yang menentukan peruntukan suatu lokasi untuk
pengembangan industri, antara lain adalah:
a. Faktor Endowment
Faktor endowment merupakan faktor yang berkait erat dengan
kemudahan pelaksanaan produksi yang terdiri dari:
 Kondisi Lahan (tanah)

________________________ 39
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Aspek penting berkait dengan kondisi lahan antara lain adalah:
topografi lahan, struktur tanah, cuaca dan lingkungan disekitar
lahan serta nilai ekonomis lahan.
 Tenaga Kerja dan Manajemen
Ketersediaan tenaga kerja serta pegelolaannya pada dasarnya
merupakan faktor penting dan mendasar untuk berkembangnya
suatu kawasan industri. Kemudahan untuk memperoleh sumber
tenaga kerja baik dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas
merupakan faktor penting bagi upaya pengembangan serta
keberlanjutan industri yang akan dibangun.
 Modal
Modal juga menjadi faktor penting dan mendasar bagi upaya
pengembangan kawasan industri. Ketersediaan lahan yang
memadai serta pengembangan sumber daya manusia yang
berkualitas sangat bergantung kepada ketersediaan modal yang
dimiliki suatu organisasi ataupun kelompok organisasi.

b. Faktor Pasar (Market) dan Harga Pasar


Pasar merupakan wadah tempat bertemunya industri yang menyediakan
produk ataupun jasa dengan para pengguna yang akan
membutuhkannya. Luas suatu pasar sangat bergantung kepada jumlah
dan sebaran penduduk yang berada di sekitar pasar tersebut, pendapatan
serta tingkat kebutuhan konsumen yang ada, serta distribusi pendapatan.
Pasar dapat mempengaruhi lokasi kawasan industry melalui : ciri pasar
dilihat dari tingkat persaingan yang terbentuk, biaya distribusi serta
harga yang terdapat di pasar yang bersangkutan. Harga suatu produk
atau komoditas sangat bergantung kepada biaya produksi serta
permintaan yang ada terhadap suatu komoditas tersebut.
c. Faktor Kebijakan Pemerintah

________________________ 40
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Pada dasarnya penetapan kebijakan peruntukan suatu lokasi pada suatu
wilayah sangat bergantung kepada kondisi wilayah serta tingkat
kebutuhan yang ada pada eilayah tersebut. Setiap wilayah dibagi
kedalam berbagai peruntukan seperti kawasan pemukiman, kawasan
lindung, kawasan budidaya, kawasan pemerintahan dan perkantoran,
kawasan pendidikan, kawasan perdagangan serta kawasan industri.
Kebijakan yang ditetapkan di setiap wilayah menjadi acuan penting bagi
pemanfaatan suau kawasan sesuai dengan fungsi dan kebutuhan wilayah
tersebut. Kebijakan Pemerintah sebagai indikator penentuan lokasi usaha
untuk aktivitas industri adalah sebagai berikut (Disperindag Provinsi
Riau, 2002) adalah:
a. Kebijakana Rencana Tata Ruang Kota
Rencana tata ruang kota adalah salah satu alat pengendali arah
pembangunan suatu wilayah dan kebijakan tata ruang harus
dijadikan landasan dalam pengaturan lahan di wilayah yang
bersangkutan, sehingga kebijakan rencana tata ruang kota adalah
merupakan indikator pertama di dalam penentuan lokasi sentra
industri rotan.
b. Fungsi Jaringan Jalan
Fungsi jalan adalah sebagai salah satu penentu jenis dan skala
kegiatan apa saja yang boleh berada di kawasan tersebut. Fungsi
jalan meliputi arteri, kolektor, lokal dan masing-masing fungsi
mempunyai skala kegiatan yang berbeda.
c. Aksesibilitas
Aksesibilitas atau kemudahan perhubungan digunakan untuk
mengetahui sejauh mana tingkat kemudahan hubungan atau
kemudahan pencapaian menuju suatu lokasi.
d. Kondisi Penggunaan Lahan

________________________ 41
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Kondis penggunaan lahan adalah salah satu indikator yang
digunakan untuk mengetahui ketersediaan lahan serta karateristik
yang terdapat pada setiap lahan yang tersedia.
e. Kelengkapan Fasilitas dan Utilitas.
Kelengkapan fasilitas dan utilitas adalah salah satu indikator yang
digunakan untuk mengukur kesiapan suatu kawasan dalam
menerima suatu kegiatan, suatu kawasan akan tidak
menguntungkan apabila faktor kelengkapan fasilitas dan utilitas ini
kurang memadai atau tiak tersedia sama sekali. Jadi dapat
dikatakan bahwa kebutuhan fasilitas dan utilitas merupakan
kebutuhan yang sangat mendasar yang mesti tersedia pada suatu
lokasi.
f. Jarak dengan Pusat Kota
Berbagai aktivitas kebanyakan berada pada pusat kota, sehingga
daya jangkau sebuah lokasi terhadap pusat kota cukup menentukan
di dalam penentuan lokasi suatu usaha aktivitas industri.
g. Image Masyarakat
Beberapa lokasi memberikan penilaian yang berbeda dari setiap
masyarakat. Hal ini sangat bergantung kepada sejarah serta
peruntukan lokasi tersebut pada saat ini.

3.3.1.3 Pengambilan Keputusan Penetapan Lokasi Industri


Pengambilan keputusan berkenaan dengan penetapan lokasi industri
oleh suatu unit pengambil keputusan akan mempengaruhi efisiensi lokasi unit
pengambil keputusan lainnya, sehingga konfigurasi tata ruang selalu berubah.
Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Budiharsono (2001) ada faktor-faktor
yang menentukan pemilihan suatu lokasi untuk suatu kegiatan industri yang
dikelompokkan menjadi:

________________________ 42
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
 Input Lokal
Input lokal adalah semua barang dan jasa yang ada pada suatu lokasi dan
sangat sukar atau tidak mungkin dipindahkan ke tempat lain. Contoh input
lokal adalah: lahan, iklim, kualitas udara, kualitas air, keadaan lingkungan,
pelayanan umum yang ada pada suatu lokasi, dan sebagainya.
Salah satu sifat umum dari input lokal adalah ketersediaannya bergantung
pada keadaan lokasi itu sendiri dan ketersediaannya tidak dipengaruhi oleh
transfer input dari lokasi lain.
b) Permintaan Lokal
Permintaan lokal atau output yang adalah permintaan yang tidak dapat
ditransfer dari suatu lokasi. Contohnya: permintaan tenaga kerja oleh pabrik
lokal, permintaan pelayanan lokal seperti masjid, bioskop, dan sebagainya.
c) Input yang Dapat Ditransfer
Input yang dapat ditransfer adalah persediaan input yang dapat dikirim atau
diminta dari sumber-sumber di luar suatu lokasi, yang sampai batas tertentu
merupakan pencerminan biaya transportasi dari sumber-sumber input ke
lokasi tersebut
d) Permintaan dari Luar
Permintaan dari luar atau output yang dapat ditransfer adalah permintaan
bersih yang diperoleh dari penjualan output yang dapat ditransfer ke pasar
di luar lokasi, yang merupakan pencerminan dari biaya transfer atau biaya
transportasi dari lokasi tersebut ke pasar-pasar.

3.3.2 Perubahan Penggunaan Lahan

Lahan, menurut Suparmoko (2002: 4) merupakan sumberdaya alam di


mana sumberdaya manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan mengandalkan
kehidupannya. Dalam sumberdaya lahan terkandung banyak sumberdaya alam
lainnya, mulai dari kesuburan tanah itu sendiri, air, mineral dan sebagainya.
Oleh karena itu dalam menilai lahan harus diperhatikan fungsi sebagai sumber
________________________ 43
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
bahan mentah (hasil-hasil pertanian dan perkebunan) untuk diolah di sektor
industri.
Perubahan penggunaan lahan merupakan fenomena yang terjadi akibat
pertambahan penduduk (urbanisasi) merupakan bagian dari perkembangan
suatu wilayah atau kota. Perubahan tataguna lahan pada umumnya
berimplikasi pada perubahan konfigurasi dan saling ketergantungan setiap jenis
penggunaan lahan Alih fungsi lahan merupakan mekanisme yang
mempertemukan supply dan demand terhadap lahan dengan karakteristik sistem
produksi yang berbeda.
Menurut Nugroho et al (2004: 155) pertumbuhan ekonomi dan penduduk
yang memusat di wilayah perkotaan menuntut ruang yang lebih luas ke arah
luar kota bagi berbagai aktivitas ekonomi dan untuk pemukiman. Akibatnya
wilayah pinggiran yang sebagian besar berupa lahan pertanian beralih fungsi
menjadi lahan non-pertanian dengan tingkat peralihan yang beragam
antarperiode dan wilayah.

a. Penyebab Perubahan Alih Fungsi Lahan

Sesuai dengan dinamika pembangunan, baik di berbagai negara di dunia


maupun di negara kita penyebab perubahan penggunaan lahan dapat
diidentifikasi secara rinci. von Thunen (dalam Nugroho et al, 2004: 140)
memberikan gambaran tentang perubahan tataguna lahan dapat terjadi karena
faktor-faktor berikut ini.
- Pertumbuhan Ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan sebagai kenaikan nilai tambah
perusahaan (industri). Pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh besar dan
cepat terhadap perubahan alih fungsi lahan, karena faktor lain seperti inersia
dan perluasan lahan industri untuk membentuk suatu zona transisi
memerlukan waktu lama. Padahal tingkat permintaan lahan di luar zona
transisi makin meningkat sebagai akibat kecenderungan tumbuhnya sub-
perkotaan.
________________________ 44
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
- Biaya Transport
Pengaruh penurunan biaya transport sangat dirasakan oleh industri yang
berlokasi jauh dari pusat bisnis (Central Bisnis Distrik), sehingga kenaikan
land rent relatif tinggi dan dapat mendorong relokasi serta tumbuhnya sub-
perkotaan.
- Perubahan Teknologi
Terjadinya perubahan teknologi menuju lebih hemat, praktis dan canggih
secara umum mempengaruhi pengurangan peranan central bisnis distrik
(CBD), dan sebaliknya mendatangkan keuntungan bagi wilayah yang jauh
dari CBD. Akibatnya permintaan lahan di luar pusat kota meningkat,
sehingga meningkatkan land rent dan menurunkan kepadatan di CBD.
- Perubahan Citra dan Nilai
Permintaan lahan di luar CBD meningkat bukan karena kesan negatif
tentang pusat kota seperti kekumuhan dan kriminalitas, sedangkan di luar
CBD tersimpan nilai-nilai sosial, yaitu kualitas lingkungan yang baik dan
sumber tenaga kerja yang relatif lebih banyak dan murah.
- Faktor Pendapatan
Kenaikan pendapatan mempengaruhi individu dalam meningkatkan
pengeluaran untuk perumahan dan merealisasikan keluarga tunggal.
Keadaan ini dengan sendirinya dapat meningkatkan permintaan lahan di
luar pusat kota dan mengakibatkan turunnya kepadatan penduduk.
Banyaknya faktor yang mempengaruhi konversi lahan sesuai tuntutan
dinamika pembangunan seperti yang diuraikan di atas, menunjukkan bahwa
pembangunan selayaknya tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi belaka
namun perlu mempertimbangkan dampak yang diakibatkannya secara
komprehensif. Dengan pola pembangunan yang serasi dan selaras dengan
lingkungan alam sekitarnya, tentu saja akan meningkatkan potensi yang ada
dan meminimalkan dampak negatifnya.

________________________ 45
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
a) Nilai Lahan

Menurut Chapin (dalam Jayadinata, 1992: 157) nilai tanah atau lahan
digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu berdasarkan: a) nilai sosial yang
berhubungan dengan perilaku masyarakat, b) nilai keuntungan yang
berhubungan dengan nilai ekonomi, dan c) nilai kepentingan umum yang
berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum.
- Nilai Sosial (Perilaku Masyarakat)
Perilaku manusia menunjukkan cara bagaimana manusia bertindak dalam
hubungannya dengan nilai-nilai dan cita-cita. Perilaku dan tindakan
manusia dalam penggunaan lahan disebabkan oleh kebutuhan dan
keinginan manusia yang berlaku baik dalam kehidupan sosial maupun
ekonomi. Dalam kehidupan sosial, misalnya berhubungan dengan
kemudahan seperti lokasi tempat tinggal, tempat bekerja, dan tempat
rekreasi.
Nilai tanah atau lahan secara sosial dapat diterangkan dengan proses ekologi
yang berhubungan dengan sifat fisik tanah, dan dengan proses organisasi
yang berhubungan dengan masyarakat.
- Nilai Keuntungan (Ekonomi)
Penentu yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi, daya guna tanah
dan biaya adalah penting. Pola penggunaan tanah perkotaan yang
diterangkan dalam teori Von Thunen mengenai teori pusat dan teori sektor
merupakan teori yang dihubungkan dengan kehidupan ekonomi.
Teori Von Thunen merupakan teori lokasi yang berhubungan dengan
berbagai kegiatan ekonomi, dimana kegiatan produksi dan pemasaran
berhubungan erat dengan jarak (transportasi). Jarak dari kota ke tempat
penghasil tanaman menentukan harga pasaran, biaya produksi dan
pengangkutan.

________________________ 46
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
- Nilai Kepentingan Umum
Kepentingan umum sangat menentukan nilai lahan, kepentingan tersebut
menjadi penentu dalam penggunaan lahan yang meliputi sarana kesehatan,
keamanan, dan kesejahteraan umum (termasuk kemudahan, keindahan dan
kenikmatan), dan sebagainya.
Sebagai contoh, di kota terdapat pengaturan penyediaan berbagai sarana
dan prasarana seperti: air bersih, energi listrik, prasarana jalan serta
transportasi. Begitu juga fasilitas lain untuk pemenuhan kesehatan,
pendidikan dan lain-lain. Berkenaan dengan hal tersebut, maka nilai lahan
berkaitan erat dengan infrastruktur perkotaan, seperti lokasi tanah dan jarak
dari jalan besar dan sebagainya.

b) Pengaruh Perubahan Alih Fungsi Lahan

Alih fungsi lahan akan berpengaruh terhadap sistem perkotaan yang


meliputi berbagai aspek, di antaranya: aspek lingkungan (fisik), sosial, dan
ekonomi
1. Dampak Lingkungan (Fisik)
Dalam kegiatan konversi lahan menurut Randolph (2004: 45), pembangunan
lahan akan berdampak terhadap sistem hidrologis, polusi permukaan tanah
dan air bawah tanah. Dampak yang muncul adanya pembangunan
perkotaan antara lain akan mengurangi lahan terbuka, yang akan
mempengaruhi tingkat kecepatan aliran air (speed runoff from storm), dan
menurunnya tingkat infiltrasi air ke dalam tanah. Dampak lainnya adalah
meningkatnya polusi air dan udara.

2. Dampak Ekonomi
Secara ekonomi konversi lahan berpengaruh terhadap nilai lahan. Nilai
lahan merupakan aset-aset yang memberikan aliran produksi dan jasa
sepanjang lahan dipergunakan (Mills, dalam Nugroho et al. 2004: 127). Aset-

________________________ 47
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
aset yang dimaksud mungkin bersifat fisik yang mencirikan manfaat pada
lahan, sehingga memberi nilai ekonomi.

Randolph (2004: 45) mengemukakan bahwa dampak konversi lahan secara


ekonomi akan menurunkan produksi pertanian dan produksi lainnya.
Sependapat dengan Randolph, menurut Bachtiar (1998: 16) peranan tanah
dalam sistem pembangunan pertanian sangat vital. Baik secara kualitatif
maupun secara kuantitatif konversi lahan pertanian sangat menghambat
produksi pertanian.
3. Dampak Sosial
Selain dua hal di atas, konversi lahan pertanian menjadi lahan perkotaan dan
industri, menurut Randolph (2004: 47) juga akan menimbulkan perubahan
nilai sosial atau perubahan tatalaku (cultural) dan karakter masyarakat. Hal
ini sangat penting menjadi bahan pertimbangan dalam pembangunan desa
atau kota.

3.4. Kebijakan Kawasan Industri

3.4.1 Kawasan Industri dalam Sistem Ruang Perkotaan

Kawasan industri akan mempengaruhi sistem keruangan. Suatu pola


ruang dipengaruhi oleh sistem aktivitas dari penduduknya. Kegiatan industri
akan terjadi setelah terbentuk struktur wilayah berdasarkan kegiatan pelayanan,
yang pada akhirnya akan mengembangkan suatu kota. Lokasi industri menurut
Sinulingga (1999) sangat ditentukan oleh aksesnya terhadap sumber air,
jaringan transportasi, jalan bebas hambatan, dan jaringan distribusi pipa
pelayanan industri.
Secara teoretik, menurut Glasson (1977: 146) struktur keruangan dapat
dibagi menjadi tiga unsur pokok, yaitu:
1. Kelompok lokasi industri jasa atau tersier, termasuk pelayanan administrasi,
keuangan, perdagangan eceran dan besar, dan pelayanan jasa-jasa lainnya,
________________________ 48
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
yang cenderung mengelompok, yang menjadi sistem tempat sentral yang
tersebar secara seragam pada hamparan daerah yang mempunyai hubungan
yang mudah dengan pasar-pasar terbesar.
2. Lokasi-lokasi yang memencar dengan spesialisasi industri seperti
manufacturing, pertambangan dan rekreasi, yang cenderung untuk
mengelompok menjadi ―cluster” atau aglomerasi menurut lokalisasi
sumberdaya fisik seperti batubara, dan sifat-sifat fisik seperti lembah, sungai
dan pantai
3. Pola jaringan pengangkutan, umpamanya jalan raya dan kereta api, yang
dapat menimbulkan pola pemukiman yang linear Garner (dalam Glasson,
1977: 147) berpendapat bahwa yang menjadi landasan model mengenai
struktur ruang adalah:
a. Distribusi spasial dari kegiatan manusia bertumpu pada penyesuaian
yang berurut dengan faktor jarak, yang dapat diukur dengan
menggunakan kriteria linear atau non-linear
b. Keputusan mengenai lokasi pada umumnya diambil sedemikian rupa
sehingga meminimalkan efek friksional dari jarak
c. Semua lokasi, sampai tingkat tertentu, dapat dihubungi, tetapi beberapa
lokasi lebih mudah dihubungi daripada lokasi-lokasi lainnya
d. Kegiatan-kegiatan manusia cenderung untuk beraglomerasi guna
memanfaatkan keuntungan-keuntungan skala, yakni keuntungan-
keuntungan spesialisasi yang dimungkinkan oleh konsentrasi pada lokasi
bersama
e. Organisasi dari kegiatan manusia pada hakekatnya mempunyai watak
hirarkian. Hirarki timbul karena adanya saling hubungan antara
aglomerasi dan memudahkan hubungan dan pekerjaan manusia
mempunyai watak memfokus.
Morfologi bentuk fisikal lahan perkotaan menurut Herbert (dalam Yunus
2000) tercermin pada sistem jaringan jalan, blok-blok bangunan

________________________ 49
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
(perdagangan/industri) dan bangunan-bangunan individual. Dan morfologi
kota menurut Smiles (dalam Yunus 2000: 108) meliputi (1) unsur-unsur
penggunaan lahan (land use), (2) pola-pola jalan (street plan/lay out), dan (3) tipe-
tipe bangunan.
Dari beberapa teori zone yang ada salah satu teori dari Harris dan
Ullman yang menyebutkan, bahwa daerah urban (kota) terdiri dari beberapa
zone yang tersusun dari dalam ke luar, yaitu :
1. Central Bussiness District (C.B.D).
2. Daerah – daerah toko (Manifaktur).
3. Daerah – daerah kediaman tingkat rendah.
4. Daerah – daerah kediaman tingkat menengah.
5. Daerah – daerah kediaman tingkat tinggi.
6. Daerah kediaman/ tempat manufaktur.
7. C.B.D luar.
8. Daerah – daerah suburb.
9. Daerah – daerah suburb industri.
10. Daerah Communer (penglaju) (R.Bintarto,1975:53).
Menurut Bintarto, yang menjelaskan mengenai pengaruh – pengaruh
yang mendasari terhadap perkembangan kota adalah keadaan fisiografis dan
keadaan sosiografis disekitar daerah kota tersebut. Pengaruh – pengaruh utama
tersebut mempunyai empat unsur pengaruh, yaitu: keadaan fisiografis, keadaan
sosiografis, latar belakang sejarah, dan sumber – sumber alam dapat menjadi
faktor pendorong perkembangan kota yang kuat, apabila unsur tersebut
bersamaan, dalam sebuah daerah kota. Dengan kerjasama antar empat unsur ini
yang dikelola oleh manusia maka timbullah kepribadian kota.
Adapun pengaruh – pengaruh terhadap perkembangan kota, menurut
Bintarto (1975:32) ada delapan pengaruh, yaitu:
1. Unsur letak.
2. Unsur iklim dan relief.

________________________ 50
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
3. Unsur sumber alam.
4. Unsur tanah.
5. Unsur demografi dan kesehatan.
6. Unsur kebudayaan dan pendidikan.
7. Unsur teknologi dan elektrifikasi, dan
8. Unsur transport dan lalu lintas.
Dari uraian di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa struktur
ruang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain berkaitan dengan
jenis aktivitas, pengelompokan lokasi (cluster) berdasarkan dekatnya dengan
sumber daya alam, dan faktor sistem transportasi (jaringan jalan dan
sistemnya).

3.4.2 Kebijakan Pengaturan Kawasan Industri

Kawasan peruntukan industri berdasarkan peraturan menteri pekerjaan


umum no.41/prt/m/2007. Sebagian atau seluruh bagian kawasan peruntukan
industri dapat dikelola oleh satu pengelola tertentu. Dalam hal ini, kawasan
yang dikelola oleh satu pengelola tertentu tersebut disebut kawasan industri.

1. Fungsi utama
Kawasan peruntukan industri memiliki fungsi antara lain:
1. Memfasilitasi kegiatan industri agar tercipta aglomerasi kegiatan
produksi di satu lokasi dengan biaya investasi prasarana yang efisien;
2. Mendukung upaya penyediaan lapangan kerja;
3. Meningkatkan nilai tambah komoditas yang pada gilirannya
meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di wilayah yang
bersangkutan;
4. Mempermudah koordinasi pengendalian dampak lingkungan yang
mungkin ditimbulkan.

________________________ 51
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
2. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
- Ketentuan pokok tentang pengaturan, pembinaan dan pengembangan
industri; serta izin usaha industri mengacu kepada Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
- Pemanfaatan kawasan peruntukan industri harus sebesar-besarnya
diperuntukan bagi upaya mensejahterakan masyarakat melalui
peningkatan nilai tambah dan peningkatan pendapatan yang tercipta
akibat efisiensi biaya investasi dan proses aglomerasi, dengan tetap
mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
- Jenis industri yang dikembangkan harus mampu menciptakan lapangan
kerja dan dapat meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat
setempat. Untuk itu jenis industri yang dikembangkan harus memiliki
hubungan keterkaitan yang kuat dengan karakteristik lokasi setempat,
seperti kemudahan akses ke bahan baku dan atau kemudahan akses ke
pasar;
- Kawasan peruntukan industri harus memiliki kajian Amdal, sehingga
dapat ditetapkan kriteria jenis industri yang diizinkan beroperasi di
kawasan tersebut;
- Untuk mempercepat pengembangan kawasan peruntukan, di dalam
kawasan peruntukan industri dapat dibentuk suatu perusahaan kawasan
industri yang mengelola kawasan industri;
- Ketentuan tentang kawasan industri diatur tersendiri melalui Keputusan
Presiden Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri dan Surat
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 50/M/SK/
1997 tentang Standar Teknis Kawasan Industri yang mengatur beberapa
aspek substansi serta hak dan kewajiban Perusahaan Kawasan Industri,
Perusahaan Pengelola Kawasan Industri, dan Perusahaan Industri dalam
pengelolaan Kawasan Industri;

________________________ 52
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
- Khusus untuk kawasan industri, pihak pengelola wajib menyiapkan
kajian studi Amdal sehingga pihak industri cukup menyiapkan RPL dan
RKL.
c) Ketentuan teknis
Karakteristik lokasi dan kesesuaian lahan kawasan peruntukan industri
yang berorientasi bahan mentah:
- kemiringan lereng: kemiringan lereng yang sesuai untuk kegiatan
industri berkisar 0% - 25%, pada kemiringan > 25% - 45% dapat
dikembangkan kegiatan industri dengan perbaikan kontur, serta
ketinggian tidak lebih dari 1000 meter dpl;
- hidrologi: bebas genangan, dekat dengan sumber air, drainase baik
sampai sedang;
- klimatologi: lokasi berada pada kecenderungan minimum arah angin
yang menuju permukiman penduduk;
- geologi: dapat menunjang konstruksi bangunan, tidak berada di
daerah rawan bencana longsor;
- lahan: area cukup luas minimal 20 ha; karakteristik tanah bertekstur
sedang sampai kasar, berada pada tanah marginal untuk pertanian.
- Kriteria teknis:
a. Harus memperhatikan kelestarian lingkungan;
b. Harus dilengkapi dengan unit pengolahan limbah;
c. Harus memperhatikan suplai air bersih;
d. Jenis industri yang dikembangkan adalah industri yang ramah
lingkungan dan memenuhi kriteria ambang limbah yang
ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup;
e. Pengelolaan limbah untuk industri yang berkumpul di lokasi
berdekatan sebaiknya dikelola secara terpadu;
f. Pembatasan pembangunan perumahan baru di kawasan
peruntukan industri;

________________________ 53
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
g. Harus memenuhi syarat AMDAL sesuai dengan ketentuan
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku;
h. Memperhatikan penataan kawasan perumahan di sekitar kawasan
industri;
i. Pembangunan kawasan industri minimal berjarak 2 Km dari
permukiman dan berjarak 15-20 Km dari pusat kota;
j. Kawasan industri minimal berjarak 5 Km dari sungai tipe C atau
D;
k. Penggunaan lahan pada kawasan industri terdiri dari penggunaan
kaveling industri, jalan dan saluran, ruang terbuka hijau, dan
fasilitas penunjang. Pola penggunaan lahan pada kawasan industri
secara teknis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.1. Pola Penggunaan Lahan Pada Kawasan Industri


Struktur
No Jenis Penggunaan Keterangan
Penggunaan (%)
1 Kavling Industri Maksimal 70 Setiap kavling harus mengikuti
KBD sesuai dengan Perda
setempat
2 Jalan dan Saluran 8 - 12 - Terdapat jalan primer dan
jalan sekunder
- Tekanan gandar primer
minimal 8 ton dan sekunder
minimal 5 ton
- Perkerasan jalan minimal 7
meter
3 Ruang terbuka hijau Minimal 10 Dapat berupa jalur hijau (green
belt) tanaman dan perimeter
4 Fasilitas Penunjang 6 – 12 Dapat berupa kantin, guest
house, tempat ibadah, fasilitas
olahraga, tempat pengolahan
air bersih, gardu induk dan
rumah telekomunikasi
Sumber: Pedoman Teknis Pengembangan Kawasan Industri Iindustrial
Estate) di Daerah Balitbang Indag-Puslitbang.

l. Setiap kawasan industri, sesuai dengan luas lahan yang dikelola,


harus mengalokasikan lahannya untuk kaveling industri, kaveling
perumahan, jalan dan sarana penunjang, dan ruang terbuka hijau.

________________________ 54
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Alokasi lahan pada Kawasan Industri dapat dilihat pada Tabel
berikut:
Tabel 3.2. Alokasi Lahan Pada Kawasan Industri

m. Kawasan Industri harus menyediakan fasilitas fisik dan pelayanan


umum. Standar teknis pelayanan umum dan fasilitas fisik di
kawasan industri dapat dilihat Tabel berikut.

________________________ 55
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Tabel 3.3. Standar Teknis Pelayanan Umum di Kawasan Industri

d. Kebutuhan Sarana dan Prasarana Pendukung


Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dibagi dua, yaitu untuk
keperluan internal kawasan dan eksternal kawasan. Dalam pembahasan
ini sarana prasarana yang dibutuhkan dilihat dari kesesuaian lahan
untku penempatannya, karena kesesuaian lahan prasarana akan
mempengaruhi keksesuaian lahan secara keseluruhan, sehingga tiap
prasarana harus ditempatkan sebagai berikut:

________________________ 56
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
a. Untuk keperluan internal kawasan industri:
Penyediaan prasarana tersebut ada yang bersifat wajib
dilengkapi, yaitu meliputi (Keputusan Menteri Perindustrian
No.291/M/SK/10/1989 Tentang Cara Perizinan dan Standar Teknis
Kawasan Industri:
a. Jaringan jalan lingkungan dalam kawasan industri.
Kegiatan industri pada umumnya memerlukan alat transportasi yang
mempunyai katergori sebagai angkutan berat, disamping angkutan
penumpang (tenaga kerja). Mengingat keadaan topografi kawasan
industri di Genuk yang relatif datar, maka tidak ada hambatan dalam
perencanaan pola jaringan jalan. Yang perlu diperhatikan adalah
kendala fisik lahan cenderung labil, sehingga memerlukan konstruksi
jalan yang kuat agar dapat menampung kapasitas muatan yang
melewati jalan. Tetapi apabila kapasitas melebihi kekuatan jalan akan
mengakibatkan kerusakan jalan.

b. Saluran pembuangan air hujan (drainase)


Air hujan yang jatuh di suatu daerah perlu dialirkan atau
dibuang. Caranya yaitu dengan pembuatan saluran yang dapat
menampung air hujan yang mengalir di permukaan tanah tersebut.
Sistem saluran diatas selanjutnya dialirkan ke sistem yang lebih besar.
Sistem yang paling kecil juga dihubungkan dengan saluran rumah
tangga dan sistem bangunan infrastruktur lainnya. Sehingga apabila
cukup banyak limbah cair berada dalam saluran tersebut perlu diolah
(treatment). Pengaturan jaringan drainase perlu diperhatikan, melihat
kondisi topografi kawasan studi yang datar dan landai, sehingga
mempunyai potensi untuk terjadi genangan akibat tidak ada
perbedaan ketinggian untuk pengaliran. Air cenderung mengalir
dengan lambat, bahkan timbul aliran balik akibat pengaruh pasang,
sehingga memungkinkan terjadinya sedimentasi. Hal-hal yang
________________________ 57
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
menyebabkan terjadinya genangan air di suatu lokasi antara lain
(Kodoatie, 2003):
- Dimensi saluran yang tidak sesuai
- Perubahan tata guna lahan yang menyebabkan peningkatan debit
banjir di suatu daerah aliran sistem drainase
- Elevasi saluran tidak memadai
- Lokasi merupakan daerah cekungan
- Lahan yang tadinya sebagai tampungan air hujan diubah menjadi
industri/permukiman.
- Tanggul kurang tinggi
- Kapasitas tampungan kurang besar
- Dimensi gorong-gorong terlalu kecil sehingga terjadi aliran balik
- Adanya penyempitan saluran
- Tersumbatnya saluran oleh endapan, sedimentasi atau timbunan
sampah
Untuk mengantisipasi hal ini dengan menggunakan pola
gravitasi yang mempertimbangkan faktor curah hujan, resapan air,
dan perkiraan volume pembuangan limbah cair industri. Keseluruhan
pola jaringan drainase industri terbagi dalam 3 kategori yaitu:
jaringan primer, sekunder, dan tersier sesuai dengan fungsinya.
Sebagai saluran primer industri dengan cara memanfaatkan sungai-
sungai periodik yang dekat dengan kawasan industri.

c. IPAL industri termasuk saluran pengumpulnya


Limbah merupakan bahan-bahan pencemaran yang dibuang
dan masuk ke lingkungan suatu masyarakat yang potensial
mengganggu atau mengancam kehidupan manusia sekitarnya.
Khusus limbah dari industri, disamping berasal dari buangan yang
memang pada awalnya adalah berbentuk padat, maka banyak pula
yan berasal dari lumpur hasil pengolahan limbah cairnya. Bila dalam
________________________ 58
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
limbah cair tersebut terkandung buangan berbahaya dan beracun
(B3), dan dalam proses unit pengolah limbah cair tersebut tidak
terdapat usaha untuk menjadikan komponen tersebut tidak
berbahaya dan beracun (misal reduksi/netralisasi), maka otomatis
limbah Lumpur yang harus dikelola itu akan menjadi limbah B3.
Limbah padat yang berbahaya (B3) dapat tercampur dengan mudah
ke dalam limbah yang kurang berbahaya (misalnya sampah kota)
seperti batere bekas (toksik), sisa amunis (eksplosif), limbah dari rumah
sakit (patogen) ataupun limbah yang bersifat korosif. Khusus instalasi
pengolahan air limbah industri, sifat penyediaannya tergantung pada
kebutuhan jenis-jenis industri yang ada di kawasan. Sedangkan
sistem penanganan limbah cair industri-industri yang ada di zona
tersebut dilakukan secara terpusat maupun secara individu, dengan
membangun instalasi pengolahan limbah cair dan jaringan
penyaluran limbah cair yang terolah diharuskan sudah dapat
memenuhi baku mutu air sebelum masuk pada badan air penerima.
Badan air penerima ini biasanya berupa sungai yang paling dekat
dengan kawasan industri.

d. Jaringan air bersih

Jaringan air bersih didistribusikan oleh PDAM dengan


menggunakan saluran bawah tanah. Sehingga polanya dapat
disesuaikan dengan pola jaringan jalan. Apabila dalam penyediaan
air bersih dari PDAM masih kurang, maka dapat dibuat sumur artesis
yang biasanya disediakan oleh pengeloa kawasan industria. Sehingga
sesuai dengan aturan yang berlaku apabila sumur artesis sudah
disediakan oleh pengelola, maka tidak boleh membuat sumur artesis
sendiri tanpa seijin pengelola dan pemerintah. Hal ini untuk
menghindari banyaknya pembuatan sumur aretesis ilegal yang akan
berpengaruh terhadap kondisi tanah yang ada. Untuk penempatan
________________________ 59
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
jaringannya dengan menggunakan sistem jaringan bawah tanah yang
menanam pipa pada tanah dengan kedalaman <100 cm agar tidak
menyatu dengan muka air dalam tanah dan pipa yang akan
digunakan bukan terbuat dari besi untuk menghindari korositas.

e. Jaringan listrik

Jaringan listrik yang didistribusikan untuk memenuhi


kebutuhan daya listrik bagi pabrik mempunyai tegangan tinggi,
sehingga dalam penempatannya harus memperhatikan persyaratan
untuk mengamankan jalur tersebut yang berbahaya bagi kehidupan
apapun, antara lain:
- Di kanan kiri jalur seluas masing-masing 20 m, tidak boleh
didirikan bangunan.
- Tanaman/tumbuh-tumbuhan harus memiliki ketinggian tertentu
apabila akan ditanam di jalur keamanan tersebut.
Sedangkan pola jaringan listrik untuk distribusi tegangan
menengah dan rendah mengikuti pola jaringan jalan dengan
ketentuan penenaman tiang yang disesuaian dengan kondisi lahan
berawa yaitu antara 1-2 m dpt. Hal ini dilakukan agar tiang yang
ditanam tidak mengalami pergerakan.

f. Jaringan telekomunikasi

Penempatan jaringan telepon dapat menyesuaikan dengan


pola jaringan jalan sehingga mempermudah dalam pemasangan dan
mengoptimalkan pemanfaatan ruang jalan, sesuai dengan pembagian
tapak yang tela hada. Selain itu pola penempatan jaringan dengan
menggunakan pola jaringan bawah tanah dengan kedalaman < dari
100cm, untuk mengantisipasi dekat dengan muka air dalam tanah
sebagai pengaruh dari kondisi lahan yang berawa.

g. Penerangan jalan
________________________ 60
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Untuk penerangan jalan dibuat mengikuti jaringan jalan yang
sudah ada.

h. Unit perkantoran kawasan industri

i. Unit pemadam kebakaran


j. Terminal pengangkutan bahan baku dan hasil
k. Sarana pergerakan dalam kompleks
l. Sarana pelayanan umum: tempat ibadah, klinik, kantin, sarana olah
raga, taman, wc umum, dan sebagainya.

b. Untuk keperluan eksternal kawasan industri

a. Sarana permukiman pekerja : perumahan karyawan, sekolah,


sarana olahraga, taman, toserba, tempat ibadah, klinik, tempat
parkir umum, dan sebagainya.
b. Sarana pergerakan luar kompleks : angkutan umum.

4. Nilai Manfaat Kawasan Industri

Penentuan kawasan industri yang baik adalah pada kawasan yang


memberikan keuntungan terhadap penghematan biaya transport, biaya
produksi dan pemasaran. Sebaliknya, pemilihan lokasi industri yang tidak tepat
akan mengakibatkan pemborosan dan tidak efisien. Lokasi industri secara
umum mempunyai pengertian sebagai lahan atau tanah tempat pabrik dan
sarananya melakukan proses produksi. Penentuan lokasi industri (pabrik) akan
berkaitan dengan unit-unit lain. Menurut Budiharsono keputusan mengenai
penentuan lokasi yang diambil oleh unit-unit pengambil keputusan akan
menentukan struktur ruang wilayah yang terbentuk.
Keberadaan lokasi industri di suatu daerah memiliki berbagai manfaat
bagi pemerintah daerah maupun masyarakat tempatan. Yang paling dominan
adalah lokasi industri dapat berperan sebagai penggerak ekonomi daerah.
Dengan berdirinya pabrik-pabrik di dalam lokasi industri akan memberikan
efek multiplier yang sangat besar dan dapat mendukung peningkatan ekonomi

________________________ 61
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
daerah. Sumbangan dari kawasan industri dalam memajukan ekonomi daerah
antara lain :
a. Meningkatnya pendapatan asli daerah (PAD)
b. Terserapnya tenaga kerja dalam jumlah yang besar sehingga mampu
mengurangi angka pengangguran
c. Timbulnya wirausaha-wirausaha baru guna mendukung perkembangan
lokasi industri
d. Naiknya daya beli masyarakat disebabkan ekonomi yang tumbuh
e. Berkembangnya pasar dan lembaga keuangan,
f. Dan lain-lain.
Manfaat pun dirasakan oleh perusahaan industri yang beroperasi di
dalam lokasi industri, Selain memperoleh kemudahan dalam hal kebutuhan
lahan untuk industri yang telah dilengkapi dengan prasarana dan sarana
tersebut, juga mendapatkan kemudahan dalam hal perizinan, seperti : bebas
dari izin AMDAL, bebas dari izin gangguan (HO), bebas dari kewajiban
memeroleh izin prinsip, serta kemudahan dalam pengurusan izin mendirikan
bangunan (IMB). Pendirian bangunan di dalam kawasan industri sudah bisa
dilaksanakan meskipun IMB belum selesai dan masih dalam proses
pengurusan. Kemudahan yang diberikan oleh lokasi industri tersebut diatas,
yang memberi keunggulan bagi lokasi industri dibanding dengan lokasi di luar
kawasan industri, sehingga lokasi industri dapat menjadi lokasi yang menarik
untuk melakukan investasi.

________________________ 62
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengkajian ini dilakukan di Kuala Enok sebagai kawasan yang
dicanangkan sebagai klaster industri hilir kelapa sawit di Propinsi Riau. Waktu
pekerjaan ini akan berlangsung selama 60 hari (enam puluh hari) kalender,
mulai dari persiapan pelaksanaan, pengumpulan dan pengolahan data,
penulisan draft laporan, presentase dan penyusunan laporan akhir.

Kawasan Industri
Kuala Enok

 13,50 Km
Das Kl Enok

Gambar 4.1 Kawasan Industri Kuala Enok

________________________ 63
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
4.2 Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder.
Data primer untuk penentuan kawasan industri terdiri dari remote sensing
(indraja) yang meliputi luas lahan dengan penentuan titik kordinat peta, kondisi
terkini penggunaan lahan data tersebbut akan digunakan untuk
menggambarkan kondisi sekitarnya dalam rangka penentuan kesesuaian lokasi
yang meliputi data: Biofisik antara lain tofografi dan kemerengan lereng, iklim,
tanah dan geomorfologi, hidrologi, keadaan penutupan lahan, penggunaan
lahan, kondisi liputan lahan dan data lainnya seperti banjir, kekeringan dan
lainnya yag berkaitannya dengan kajian ini. Disamping data tersebut juga
diperlukan data survey infrastruktur umum, survey transportasi, kondisi sosial
ekonomi masyarakat. Data sosial ekonomi dikawasan industri kluster kelapa
sawit meliputi jumlah penduduk, sarana dan prasarana, dan utilitas lainnya.
Sedangkan data sekunder yang diperlukan adalah data prediksi
kebutuhan bahan baku industri dan cakupannya antara lain: Keluasan
perkebunan tanaman kelapa sawit dan kelapa yang berlokasi di kawasan Kuala
Enok dan kawasan cakupan.
Data skunder remote sensing (indraja) dan lainnya berkaitan dengan
lingkup kajian ini diperoleh dari beberapa instansi terkait, seperti (1) Lapan dan
Bakosurtanal, (2) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kuala Enok, (3) Bappeda
Kuala Enok, (4) Badan Statistik Kuala Enok, (5) Kantor Kecamatan.

4.3 Analisis data


Terhadap data yang terkumpul dilakukan rekapitulasi data untuk
menentukan kelayakan pembangunan kawasan industri iluster berasaskan
pertanian dan oleokimia yang akan di lakukan analisis deskriptif kualitatif dan
kuantitatif yang terdiri dari analisis potensi ketersediaan bahan baku dan
analisis kesesuaian lahan kawasan kluster industri berasaskan pertanian dan
oleokimia.

________________________ 64
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
4.3.1 Analisis Kelayakan Potensi Bahan Baku

Analisis data kebutuhan bahan baku meliputi analisis keluasan lahan,


produksi TBS dan trend produksi pertahun, permintaan CPO dalam dan luar
negeri, konversi TBS ke CPO dan ke Oleokimia dan deriavatif lainnya.
Demikian juga perkiraan permintaan bahan hasil industri dalam dan luar negeri
dipasaran.

4.3.2 Analisis Kelayakan Kawasan Industri

Analisis data kelayakan kawasan adalah analisis keadaan dasar kawasan


pada saat ini. Selanjutnya analisis kawasan persyaratan kluster industry
pertanian yang meliputi, jaringan primer prasarana lingkungan, jalan, saluran
pembuangan air hujan dan limbah, potensi ketersediaan air bersih, potensi
ketersediaan energi, dan fasilitas umum lainnya.
Lokasi pengamatan difokuskan pada kemampuan daya dukung lahan
yang berada di kawasan calon lokasi kluster industri pertanian dan oleokimia
dengan:
a. Menganalisis kawasan lokasi dilihat dari kondisi topografi (kemiringan
lahan), jenis tanah, dan curah hujan. Analisis dilakukan dengan memberikan
skor/nilai terhadap masing-masing bentang lahan dengan
mempertimbangkan kemiringan lahan, curah hujan, dan kemampuan jenis
tanahnya. Kedua analisis kesesuaian lahan terhadappenggunaan lahan.
b. Analisis nilai lahan dilihat dari letak atau lokasi relatif lahan, kemudian
menilai lahan terhadap dekatnya jarak dengan prasarana jalan, dan dengan
mempertimbangkan lokasi lahan terhadap tersedianya fasilitas umum
c. Analisis aksesibilitas dapat ditinjau dari sistem transportasi dan penunjang
parasarana jalannya, analisis dilakukan secara deskriptif

________________________ 65
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
d. analisis kebijakan penggunaan lahan ditinjau dari peraturan penggunaan
lahan atau kesesuain lahan terhadap zoning yang ditetapkan dalam
peraturan.

Tabel 4.1: Jenis Data dan Cara Pengumpulannya Dalam Studi Kelayakan
Penentuan Kawasan Calon Lokasi Industri Di Kuala Enok.

Metode
Komponen Alat yang
Parameter Satuan Pengumpulan Data
Analisis Digunakan
Dan Metode Analisis
Citra satelit Remote Sensing
A Luas lokasi Ha Foto satelit
Landsat TM (indraja)
Lokasi Jarak /lokasi bahan
B (km) Analisis kuantitatif Komputer
Industri baku, lokasi pasar
C Tanah
Studi Pustaka Uji petik Clinometer dan
a Kemiringan %m
Fisiografi dan pengukuran meteran
1
Lahan Ketinggian Studi Pustaka Uji petik
b M Altimeter
Tempat dan pengukuran
A Fungsi hutan Ha % Pengukuran Peta Planimeter
Kondisi
B Penggunaan Ha % Studi Pustaka uji petik Planimeter
Penggunaan lahan
2
Lahan Penutupan
C Ha % Studi pustaka Uji petik Planimeter
lahan
Kesesuaian GPS dan Software
D Ha Overlay peta
lahan Arcview
Formasi geologi Studi pustaka Peta Geologi
A Ha %
& sebarannya pengukuran peta Planimeter
Peta satuan lahan
Jenis Tanah & Studi pustaka dan uji
Geologi dan B Ha % dan tanah
3 sebarannya petik
Tanah Planimeter
Sifat Fisik Analisis laboratorium
C Tanah (tekstur, dan pengamatan Alat laboratorium
%
struktur,
Mm/tahu Data iklim
a Curah hujan Data sekunder
n stasiun BMG
b Suhu 0C Pengukuran in-situ Psycometric sling
4 Iklim
Kelembaban
c % Pengukuran in-situ Hygrometer
Udara
d Hari Hujan Hari/bln Data Sekunder -

e. Evaluasi lokasi lahan industri, seberapa besar faktor yang mempengaruhi kelayakan
lokasi industri di Kuala Enok. Kelayakan lokasi industri tersebut menjadi bahan
pertimbangan dan masukan bagi pemerintah dan bagi pihak industri swasta
(investor). Beberapa pengamatan terhadap tanah meliputi; tofografi lahan, geologi

________________________ 66
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
dan tanah. Pengamatan lokasi tanah pada titik kordinat yang termasuk dalam
kawasan calon lokasi industri.
Analisis data dilakukan dengan cara yang berbeda pada bagian pokok
bahasan yang pertama analisis remote sensing dilakukan dengan dengan cara
menginterpretasikan Cira landsat. Pengolahan analisis data penginderaan jauh
dilakukan dengan cara:
a. Pemotongan Citra: bertujuan untuk membatasi citra sesuai dengan
daerah penelitian, karena perekaman data satelit melingkupi daerah
yang luas sesuai dengan resolusi spasial dari sensor yang digunakan oleh
wahana satelit tersebut.
b. Koreksi Radiometrik: dilakukan dalam proses pengolahan data awal
Koreksi ini bertujuan untuk mengembalikan sebaran nilai piksel pada
kondisi yang seharusnya dengan menghilangkan dampak atau distorsi
yang disebabkan oleh pengaruh atmosfer maupun kesalahan sensor.
c. Pembentukan Citra Komposit: dimaksudkan untuk mendapatkan
gambaran umum tentang data yang akan diproses lebih lanjut,
khususnya untuk mengetahui keberadaan objek kawasan calon lokasi
kluster industry berbasis pertanian dan oleokimia dan kondisi wilayah
guna mendukung analisis kesesuaian eksistensi calon lokasi pada daerah
yang bersangkutan Citra komposit yang dibuat terdiri atas dua
kombinasi, yaitu kombinasi band 452 untuk keperluan deteksi umum
eksistensi calon lokasi dan kombinasi band 421 untuk keperluan
penentuan titik kontrol dalam proses koreksi geometrik presisi dan
rektifikasi.
d. Transformasi Citra: Transformasi citra Landsat TM menjadi citra objek
calon lokasi dilakukan dengan menggunakan metode yang didasari pada
Model Pengurangan Eksponensial (Exponential Attenuation Model)
Persamaan ini telah diturunkan menjadi persamaan yang lebih
representatif sebagai berikut (Lyzenga, 1981):

________________________ 67
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Y  ln TM1   ln TM 2
Ki
Kj

Di mana: Y = Citra hasil ekstraksi dasar perairan


TM1 = Nilai digital band 1
TM2 = Nilai digital band 2
Ki/Kj = Nilai koefisien attenuasi
Klasifikasi citra: digunakan untuk mendapatkan citra yang telah
dikelompokkan dalam kelas-kelas tertentu berdasarkan nilai pantulan tiap-tiap
objek sehingga memudahkan dalam menganalisis dan pengecekan di lapangan.
Adapun tahapan untuk melakukan proses klasifikasi citra yang dilakukan
sebagai berikut:
a. Penentuan Training Area, pada tahap ini dilakukan beberapa langkah
kegiatan, yaitu kontras citra (Enhacement Signature) Hasil perhitungan
statistik ini selanjutnya akan mendapatkan nilai konstanta yang akan
dimasukkan dalam formula Lyzenga.
b. Analisis ketelitian training area, dilaksanakan untuk mengetahui
ketepatan training Area yang telah diambil untuk memastikan bahwa
proses klasifikasi selanjutnya akan menghasilkan kelas-kelas yang tepat.
Klasifikasi Unsupervised ISOClassification, merupakan tahap pengambilan
keputusan dalam proses digital dengan tujuan untuk mengelompokkan jenis-
jenis obyek ke dalam kelas tertentu.
a. Filtering dan Editing: proses filtering dilakukan untuk mendapatkan
gambaran calon lokasi yang baik, sehingga memudahkan dalam
menentukan batas-batas dan pembentukan poligon setiap kawasan.
Sedangkan proses editing dilakukan untuk memperbaiki akurasi hasil
perhitungan luas dan analisis calon lokasi dengan cara mengeliminir
objek-objek yang merupakan gangguan atau penyimpangan dalam
proses klasifikasi.

________________________ 68
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
b. Koreksi Geometrik: dilakukan adalah koreksi geometrik sistematik yang
dimaksudkan untuk menstransformasikan citra obyek bumi pada posisi
peta datar sehingga didapatkan akurasi data yang lebih tepat Koreksi ini
menggunakan empat titik acuan koordinat UTM (Universe Transversal
Mercantor), yaitu koordinat kiri atas, pojok kiri bawah, pojok kanan atas
dan pojok kanan bawah.

Penentuan luasan kawasan calon lokasi industri: penghitungan luasan


diambil berdasarkan citra hasil klasifikasi yang didapatkan merupakan luasan
kawasan calon lokasi industri.

Pengolahan Data Lapangan: data lapangan diperoleh dengan melakukan


observasi langsung ke daerah penelitian Data Visual diambil dengan cara
melakukan metode Manta Tow Daerah yang dipilih sebagai site pada setiap
stasiun ditentukan dengan koordinat GPS yang mengacu pada pengolahan citra
awal, selanjutnya hasil yang di dapat akan dijadikan salah satu panduan dalam
pengolahan citra lanjutan.

4.4 Faktor Pendukung


Analisis faktor pendukung SDM dan Infrastruktur terdiri dari
Ketesediaan dan Potensi ketersediaan
a. Sumber Daya Manusia (SDM)
b. Jalan dan Jembatan
c. Dermaga Pelabuhan
d. Power Plant (energi)
e. Hidorolgi (Water Treatment dan IPAL)

4.5 Analisis Kelayakan Finansial


Analisis finansial dengan menggunakan kriteria NPV, IRR, BCR, PB, ROI
dan ROE serta BEP.
________________________ 69
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
5.1 Profil Daerah Kawasan Industri
A. Profil Daerah Kecamatan Tanah Merah
Profil daerah yang dibahas dalam bagian ini adalah wilayah Kecamatan
Tanah Merah dan Wilayah Kecamatan Sungai Batang. Profil wilayah Kecamatan
Tanah Merah sebagai berikut:
5.1.1 Sejarah Kecamatan Tanah Merah
Kecamatan Tanah Merah merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten
Indragiri Hilir vang merupakan hasil Pemekaran dari Kecarnatan Enok
berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 14 Tahun 1981 tanggal 21 Mei tahun
1981 dengan Kuala Enok sebagai Ibu Kota Kecamatan. Hal inl tidak terlepas
dari pesatnya perkembangan desa Kuala Enok pada saat itu yang tumbuh
menjadi daerah industri dengan berdirinya beberapa pabrik yang mengelola
kelapa dengan berbagai produk turunannya

Gambar 5.1. Pelabuhan Argo Industri Kelapa PT. Pulau Sambu Kuala Enok
________________________ 70
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Kemudian sejak diberlakukan otonomi daerah maka Kecamatan adalah
wilayah kerja Camat sebagai perangkat Daerah Kabupaten Indragiri Hilir yang
diatur melalui peraturan Daerah Kabupaten Indragiri Hilir Nomor 38 Tahun
2000 tentang organisasi dan tata kerja Pemerintahan Kecamatan. Sejak berdiri
Tahun 1981, Kecamatan Tanah Merah telah dipimpin oleh beberapa orang
Camat, yaitu sebagai berikut:

Tabel 5.1: Camat yang Pernah Menjabat di Kecamatan Tanah Merah

No Nama Masa Tugas


1 Samsul Bahri, Ar 1981 - 1982
2 Zubir, Ba 1982 - 1985
3 Drs. H. Azhar Syam 1985 - 1991
4 Drs. Syamsul Hadi 1991 - 1998
5 Drs. H. Nuriman 1998 - 2005
6 M. Kosim S. Com 2005 - 2006
7 Junaidy, S. Sos. M.Si 2006 -2009
8 Sugiyanto, S.Sos 2009 - Sekarang
Sumber: Kantor Camat Tanah Merah, 2009

5.1.2. Kondisi Wilayah

Letak Kecamatan Tanah Merah yang berada di Pesisir timur Pulau


Sumatra merupakan Daerah Perairan yang bermuara ke Selat Berhala yang
merupakan akses Laut menuju ke Pelabuhan laut Nusantara dan Mancanegara.
Letak yang cukup strategis merupakan keunggulan Daerah yang telah
dirancang dan dipersiapkan akan menjadi Gerbang Selatan Propinsi Riau
dengan Kawasan andalan Pelabuhan Samudra Kuala Enok sebagai Pelabuhan
Ekspor bagi hasil lndustri Pertanian/Perkebunan kabupaten Indragiri Hilir dan
juga sebagai Daerah Propinsi Riau dan Propinsi Jambi. Selain itu dipersiapkan
dan dirancang untuk dijadikan kawasan industri Kuala Enok (KIKE) sebagai
Kawasan Agro Industri yang akan mengolah hasil pertanian dan perkebunan.
Pada saat ini Infrastruktur jalan raya menunjang pelabrihan samudra Kuala
________________________ 71
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Enok sedang dipacu pembangunannya, melalui proyek Multi Years oleh
Pemerintah Propinsi Riau. Ruas jalan raya Kuala Enok dengan jalan Lintas
Timur Sumatra sebagai akses menuju ke daerah Kabupaten dan Propinsi
tetangga yang sangat membutuhkan pelabuhan laut, untuk memasarkan dan
mengekspor hasil pertanian dan kekayaan alamnya. Sebagai pintu gerbang
Selatan Propinsi Riau, Kecamatan Tanah Merah juga akan menjadi halaman
pesisir Kabupaten Indragairi Hilir diharapkan salah satu titik pusat
pertumbuhan ekonomi yang dapat memberikan dampak positip bagi
kesejahteraan masyarakat tempatan dan masyarakat lndragiri Hilir. Sedangkan
pada saat ini di Kecamatan Tanah Merah telah menajadi daerah Industri
Pengolahan Kelapa yang dibangun oleh Perusahaan Swasta yaitu PT. Pulau
Sambu Kuala Enok dan PT. AEC. Brother.
Keadaan Perusahaan tersebut telah merubah wajah Kecamatan Tanah
Merah menjadi Daerah Industri disamping Daerah Perkebunan dan Daerah
Nelayan.

Gambar 5.2. Pelabuhan Argo Industri Kelapa PT. Pulau Sambu Kuala Enok

________________________ 72
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
5.1.3. Luas Wilayah

Kecamatan Tanah Merah mempunyai Luas Wilayah Administrasi ± 721, 56 Km²


atau 7215,6 Ha yang terbagi dalarn 10 wilayah administrasi Desa sebagai
berikut:

Tabel 5.2: Luas Wilayah Kecamatan Tanah Merah

No Desa Luas Wilayah (Km²)


1 Sungai Nyiur 37,95
2 Selat Nama 55,71
3 Kuala Enok 119,00
4 Sungai Laut 112,03
5 Tanjung Pasir 51,43
6 Tanah Merah 136,93
7 Tanjung Baru 83,63
8 Tekulai Hulu 22,30
9 Tekulai Hilir 55,75
10 Tekulai Bugis 46,83
Total 721,56
Sumber: Kantor Camat Tanah Merah, 2009

5.1.4. Keadaan Alam


Secara Geografis Kecamatan Tanah Merah terletak pada posisi titik
koordinat sebagai berikut: 103º 12' 46,85’’ - BT s/d 103º 31’ 57,39’’ BT dan 0º 21'
46,85’’- LS s/d 0º 36’ 2,64’’ LS
Keadaan tanahnya merupakan areal tanah gambut berawa - rawa pada
daerah endapan (DELTA) dari Daerah aliran Sungai Enok, sungai Nyiur, dan
Sungai Indragiri Giri yang dihubungkan oleh Sungai Sapat Dalam. Disepanjang
pinggir sungai dan pesisir pantai ditumbuhi Pegetase Mangrof antara lain;
Pohon Bakau, Api api, Nyirih, Teruntum, Nipah, Nibung dan lain sebagainya.
Sedangkan di Daerah daratan merupakan areal perkebunan Kelapa Rakyat dan
areal Pertanian yang setiap tahunnya tergenang akibat air pasang laut naik.
________________________ 73
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Hamparan Pesisir Pantai merupakan Daerah tangkapan hasil laut bagi para
nelayan.

5.1.5. Batas - Batas Wilayah

Adapun batas Wilayah Administrasi Kecamatan Tanah Merah adalah


sebagai berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kuala Indragiri
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Batang
- Sebelah Timur Berbatasan dengan Kabupaten Lingga Propinsi Kepri
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Enok

5.1.6. Sosial dan Budaya

Dengan letak yang berada dipesisir pantai Kecamatan Tanah Merah


merupakan daerah terbuka sebagai kawasan lintasan arus lalu lalang angkutan
barang dan manusia. Keadaan ini menjadikan daerah Kecamatan Tanah Merah
didiami oleh berbagai suku bangsa (Heterogen) yang hidup secara
berdampingan. Suku bangsa Melayu Riau dan Suku Laut (Duanu) merupakan
penduduk asal yang lebih awal mendiami daerah ini, disamping itu Suku Bugis,
Banjar, Minang Kabau, datang bermukim selain suku Bangsa lainnya.
Penduduk yang Heterogen menyebabkan terjadinya pertemuan budaya
yang saling berinteraksi dan menyesuaikan dengan kondisi social budaya
setempat. Keanekaragarnan tersebut terlihat pula pada macam-macam mata
pencaharian penduduk Kecamatan Tanah Merah antara lain yaitu Petani,
Nelayan, Pedagang, Pelaut, Pengrajin, Buruh, Karyawan Pabrik dan lain
sebagainya. Kesemuanya ini telah menjadi salah satu faktor pendukung utama
dalam Membangun Kecamatan Tanah Merah dimasa lalu maupun dimasa yang
akan datang.

________________________ 74
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
5.1.7. Pemerintah Kecamatan dan Kependudukan
Jumlah pegawai di Kantor Camat Tanah Merah sebanyak 14 orang 9
orang laki-laki dan 5 orang perempuan dengan tingkat pendidikan 9 orang
berijazah SMU, 2 orang D3 dan 3 orang S1. Perkembangan penduduk di
Kecamatan Tanah Merah termasuk yang sedang oleh karena laju
pertumbuhannya di bawah rata-rata laju pertumbuhan penduduk Provinsi
Riau, yakni sekitar 1,32 persen pada pada periode tahun 2005-2009. Laju
pertumbuhan penduduk juga dipengaruhi oleh dinamika pembangunan di
daerah berdasarkan potensi sumber daya alam yang cukup kaya dan letak
daerah yang strategis. Jumlah penduduk Kecamatan Tanah Merah
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.3:

Tabel 5.3: Jumlah Penduduk Kecamatan Tanah Merah 2010

Jumlah Jumlah Penduduk


No Desa
KK RW RT LK PR Jumlah
1 Kuala Enok 1.246 7 15 2.502 2.613 5.115
2 Selat Nama 112 4 18 246 248 494
3 Sungai Nyiur 348 7 20 759 667 1.426
4 Tanjung Baru 513 6 19 1.092 1.000 2.092
5 Tekulai Hilir 312 3 7 611 577 1.188
6 Tekulai Hulu 161 4 8 360 321 681
7 Tekulai Bugis 155 4 8 368 306 674
8 Tanjung Pasir 624 6 25 1.421 1,263 2.684
9 Tanah Merah 3.144 8 46 7.209 6.769 13.978
10 Sungai Laut 508 6 29 1.143 957 2.100
Jumlah 7.123 55 195 15.711 14.721 30.432
Sumber: Camat Tanah Merah, Juli 2010

5.1.8 Kesehatan

Pembangunan di Kecamatan Tanah Merah telah memberikan kontribusi


besar pada kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat.

________________________ 75
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Tabel 5.4: Jumlah Sarana dan Tenaga Kesehatan di Kecamatan Tanah Merah

Jumlah Tenaga
Jumlah Sarana Kesehatan
Kesehatan
No Desa
Puskesmas Postu Posyandu Medis Para
Polindes Medis
1 Kuala Enok 1 6 4 17
2 Selat Nama - - 1 - -
3 Sungai Nyiur - 1 postu 3 - 1
4 Tanjung Baru - 1 postu 1 - 2
5 Tekulai Hilir - 1 postu 1 - 1
6 Tekulai Hulu - 1 postu 1 - 1
7 Tekulai Bugis - - 1 - -
8 Tanjung Pasir - 1 postu 4 - 3
9 Tanah Merah 1 - 7 2 12
10 Sungai Laut - 1 postu 2 - 2
Jumlah 2 6 27 6 39
Sumber: Camat Tanah Merah, 2009

Hasil pembangunan yang sudah dilaksanakan telah dinikmati oleh


masyarakat, diantaranya pembangunan puskesmas yang terletak di Desa Kuala
Enok dan Tanah Merah. Pembangunan 2 unit Puskesmas, ruang rawat 27
posyandu serta poslindes 6 unit dengan tenaga medis 6 orang dengan
paramedis 39 orang.

5.1.9 Pendidikan

Pembangunan di bidang pendidikan telah menggambarkan pelaksanaan


pembangunan dibidang pendidikan tersebut. Pencapaian hasil pembangunan di
bidang pendidikan, juga merupakan gambaran komitmen pemerintah dan
masyarakat dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Kecamatan
Tanah Merah. Untuk kemajuan sumber daya manusia, maka selain pendidikan
SD, SLTP dan SLTA. Hasil pembangunan pendidikan tersebut sebagaimana
pada Tabel berikut:

________________________ 76
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Tabel 5.5: Jumlah Sarana dan Prasarana Pendidikan di Kecamatan Tanah Merah

Jumlah Sarana Jumlah Siswa Jumlah Guru


No Desa SD/ SMP/ SMU/ SD/ SMP/ SMU/ SD/ SMP/ SMA/
MI MTS MAN MI MTS MAN MI MTS MAN
1 Kuala Enok 3 2 1 691 333 89 26 26 11
2 Selat Nama 1 - - 55 - - 4 - -
3 Sungai Nyiur 3 - - 236 - - 18 - -
4 Tanjung Baru 2 2 1 302 103 59 26 14 8
5 Tekulai Hilir 1 - - 145 - - 15 - -
6 Tekulai Hulu 1 - - 78 - - 10 - -
7 Tekulai Bugis 1 - - 89 90 - 10 12 -
8 Tanj Pasir 4 1 1 426 26 - 23 6 -
9 Tanah Merah 7 1 1 1976 687 592 92 26 33
10 Sungai Laut 2 2 - 379 101 - 16 8 -
Jumlah 25 8 4 4.379 1.340 740 240 92 52
Sumber: Camat Tanah Merah, 2009

Hasil pembangunan dibidang pendidikan selama ini telah memberikan manfaat


yang besar bagi kemajuan Kecamatan Tanah Merah, secara nyata telah
meningkatnya Angka Partisipasi Kasar (APK) pada setiap jenjang pendidikan,
terwujudnya fasilitas belajar-mengajar yang representatif, meningkatnya daya
tampung sekolah dalam melaksanakan wajib belajar sembilan tahun,
bertambahnya wawasan guru dalam menguasai kurikulum dan materi ajar,
terserapnya lulusan sekolah menengah pada jenjang pendidikan tinggi, dan
sangat dirasakan terbantunya bagai keluarga yang kurang mampu terhadap
pendidikan anaknya dengan adanya pemberian beasiswa oleh perusahaan yang
ada diwilayah ini.

5.1.10 Koperasi dan Usaha Menengah

Pemberdayaan ekonomi kerakyatan dalam upaya pengentasan


kemiskinan. Pendekatan utama dilakukan melalui penguatan asset
ekonomi baik melalui perlindungan/jaminan sosial ekonomi masyarakat,
penguatan asset produktif serta kredit usaha rakyat yang diperlukan
dengan perluasan net working pasar, penguasaan teknologi dan
pemberdayaan koperasi serta UKM dalam menunjang pengembangan Agro
________________________ 77
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Bisnis dan Agro Industri. Jumlah Koperasi di Kecamatan Tanah Merah.

Tabel 5.6: Jumlah Koperasi di Kecamatan Tanah Merah

No Desa Nama Koperasi/UKM Jenis Usaha Jumlah


1 Kuala Enok - KSU Serantau Serba Usaha 8 unit
- Koperasi Gemilang Perkebunan
- Kopkar AEC Brother Simpan Pinjam
- Kopkar Sejahtera Simpan Pinjam
- Kopkar Harapan Makmur Simpan Pinjam
- KUD Batra Serba Usaha
- KPN Beringin Indah Simpan Pinjam
- Koperasi Mamiri Simpan Pinjam
2 Tanjung Baru - Koperasi Restu Bunda Perkebunan 2 unit
- Koperasi Mitra Sejati Perikanan
3 Selat Nama - Koperasi Purnama Indah Simpan Pinjam 1 unit
4 Sungai Nyiur - Koperasi Nyiur Subur Kehutanan 1 unit
5 Tanah Merah - Koperasi Bina Utama Perkebunan 4 unit
- Koperasi Inti Karya Indah Pertanian
- Koperasi Kembang Mekar Peranian,
- Kop. Andi Kharisma Mandiri Perkebunan
Simpan Pinjam
Sumber: Kantor Camat Tanah Merah, 2009

5.1.11 Pengendalian Lingkungan Hidup

Pelestarian lingkungan hidup dengan memantapkan sistem


koordinasi, sosialisasi dan penegakan hukum serta melaksanakan
pembangunan berkelanjutan. Kebijakan ini diarahkan pada aktivitas
taman, PDAM dan Air tanah disamping masalah penanganan banjir,
masalah kebakaran, pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup serta pelestarian lingkungan hidup balk melalui rehabilitasi maupun
konservasi lahan kritis, gambut, dan sebagainya.

________________________ 78
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Tabel 5.7: Pengendalian Lingkunan Hidup di Kecamatan Tanah Merah

Pemukiman Prasarana
Jumlah
No Desa Luas Wilayah Taman PDAM Air
(KK)
(KM²) Tanah
1 Sungai Nyiur 37,95 348 - - -
2 Selat Nama 55,71 112 - - -
3 Kuala Enok 119,00 1.246 - 1 -
4 Sungai Laut 112,03 508 - - -
5 Tanjung Pasir 51,43 624 - - -
6 Tanah Merah 136,93 3.144 - 1 -
7 Tanjung Baru 83,63 513 - - -
8 Tekulai Hulu 22,30 161 - - -
9 Tekulai Hilir 55,75 312 - - -
10 Tekulai Bugis 46,83 155 - - -
Jumlah 721.56 6.897 - 2 -
Sumber: Kantor Camat Tanah Merah, 2009

5.1.12 Pelayanan Administrasi Umum Kecamatan

Tabel 5.8: Pelayanan Administrasi Umum Kecamatan Tanah Merah

Pelayanan Administrasi
No Kecamatan
Jenis Dikeluarkan Peruntukan Banyak Proses/Hr
Tanah Pertanahan - Camat Masyarakat 341 1 hari
Merah Proses KTP - Dinas Masyarakat 6000 ±1 bulan
Kependkn
- Catatan Sipil
Perizinan Camat Masyarakat 1-2 hari
Lain-lain Camat Masyarakat 1-3 hari
dan PNS
Sumber: Kantor Camat Tanah Merah, 2009

5.1.13 Penanaman Modal


Peningkatan promosi dan kerjasama investasi, perbaikan iklim dan
realisasi investasi telah menunjukkan perkembangan dengan baik dimana
penanaman modal di Kecamatan Tanah Merah dapat dilihat pada Tabel berikut:

________________________ 79
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Tabel 5.9: Perkembangan Penanaman Modal Kecamatan Tanah Merah

Prasarana
No Desa Bidang Usaha
PMDN PMA Patungan
1 Sungai Nyiur
2 Selat Nama
3 Kuala Enok Industri 1
4 Sungai Laut
5 Tanjung Pasir
6 Tanah Merah Industri Perkebunan 2
7 Tanjung Baru
8 Tekulai Hulu
9 Tekulai Hilir
10 Tekulai Bugis
Jumlah 3
Sumber: Kantor Camat Tanah Merah, 2009

5.1.14 Sarana dan Prasarana Umum

Tabel 5.10: Sarana dan Prasarana UMUM di Kecamatan Tanah Merah

Prasarana
No Desa Pasar
Olah Raga Rekreasi Terminal
Tradisional
1 Sungai Nyiur 2 - 1 -
2 Selat Nama 1 - - -
3 Kuala Enok 1 - 1 1
4 Sungai Laut 1 - 1 -
5 Tanjung Pasir 2 - - -
6 Tanah Merah 2 - 1 -
7 Tanjung Baru 1 - 1 -
8 Tekulai Hulu 1 - 1 -
9 Tekulai Hilir 1 - 1 -
10 Tekulai Bugis 1 - - -
Jumlah 13 - 7 1
Sumber: Kantor Camat Tanah Merah, 2009

________________________ 80
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
5.1.15 Perindustrian

Tabel 5.11: Perindustrian di Kecamatan Tanah Merah

Produksi
Skala
No Desa Jenis Industri Volume Nilai (Jutaan
Industri
Satuan Rp)
1 Sungai Nyiur - - - -
2 Selat Nama - - - -
3 Kuala Enok Argo Industri Besar - -
4 Sungai Laut - - - -
5 Tanjung Pasir - - - -
6 Tanah Merah Argo Industri Besar - -
7 Tanjung Baru - - - -
8 Tekulai Hulu - - - -
9 Tekulai Hilir - - - -
10 Tekulai Bugis - - - -
Jumlah 2 2 3 -
Sumber: Kantor Camat Tanah Merah, 2009

B. Profil Daerah Kecamatan Sungai Batang


5.1.16 Geografis Kecamatan Sungai Batang
Kecamatan Sungai Batang adalah salah satu kecamatan terbaru dari 20
kecamatan yang ada dalam Kabupaten Indragiri Hilir hasil pemekaran dari
kecamatan Reteh dengan luas wilayah 145,99 km atau 14.599 ha. Kecamatan
Sungai Batang berbatasan dengan:

- Sebelah Utara dengan Kecamatan Enok


- Sebelah Selatan dengan Kecamatan Reteh
- Sebelah Barat dengan Keritang
- Sebelah Timur dengan Laut Selat Berhala

5.1.17 Kadaan Alam


Tinggi pusat pemerintah wilayah Kecamatan Sungai Batang dari
Permukaan laut adalah 1 sd 4 meter. Ditepi-tepi sungai dan muara parit-parit
________________________ 81
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
banyak terdapat tumbuh-tumbuhan seperti pohon nipah. Keadaan tanahnya
sebagian besar terdiri dari tanah gambut dan endapan sungai serta rawa-rawa.

Gambar 5.3. Pohon Nipah Sepanjang Sungai

5.1.18 Iklim dan Curah Hujan

Keadaan tanahnya yang sebagian besar terdiri dar tanah gambut maka
daerah ini digolongkan sebagai daerah beriklim tropis basah dengan udara agal
lembab. Curah hujan tertingi terjadi pada bulan Juni 2008 yaitu 200,5 mm dan
terendah pada bulan Juli 2008 yaitu 62,0 mm, sedangkan hari hujan tertinggi
terjadi pada bulan September dan November 2008 sebanyak 13 hari dan
terendah terjadi pada bulan Juli 2008 sebanyak 5 hari.

________________________ 82
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
5.1.19 Luas Wilayah dan Sarana Prasarana

Tabel 5.12 Luas Wilayah Kecamatan Sungai Batang Tahun 2008

No Desa/Kelurahan Luas Wilayah (Km²)


1 Kuala Patah Parang 15,71
2 Kuala Sungai Batang 11,14
3 Pasenggerahan 33,20
4 Benteng 32,97
5 Benteng Barat 32,28
6 Benteng Utara 20,69
Jumlah 145,99
Sumber: Sungai Batang Dalam Angka, 2008

Tabel 5.13: Panjang Jalan Kabupaten dan Jembatan Menurut Jenis Permukaan di
Kecamatan Sungai Batang Tahun 2008

No Uraian Panjang (km)


1 Jalan -
Aspal -
Semen 25,994
Kerikil -
Tanah 18.348
Kayu -
2 Jembatan (M)
Kayu 182.00 (16 buah)
Beton 36.10 (15 buah)
Sumber: Sungai Batang Dalam Angka, 2008

5.1.20 Pemerintahan

Dalam upaya meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan ,


pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat secara berdaya guna dan
berhasil guna, pemerintah mengadakan penataan kembali struktur organisasi
pemerintah kecamatan berdasarkan struktur organisasi pola minimal sesuai
dengan Keputusan Gubernur Propinsi Riau Nomor: 218 tahun 1997 dan
________________________ 83
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Keputusan Mendagri Nomor: 20 Tahun 1997 tentang Tata Kerja Pemerintahan
Kecamatan.
Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi, Camat Sungai BAtang
dibantu oleh Sekretaris Camat, 5 Kasi (Kasi Pemerintahan, Kasi Pelayanan
Umum, Kasi TranTib, Kasi Sosial dan Kasi Pemberdayaan Masyarakat
Desa/Kelurahan) dengan 6 Kasubsi dan 2 Kaur serta beberapa Instansi Vertikal
yang ada di wilayah Kecamatan Sungai Batang.
Kecamatan Sungai Batang terdiri dari 6 desa dengan jarak antara desa
dengan kecamatan serta jarak dengan ibukota Kabupaten adalah 85 Km.

Tabel 5.14: Jarak antara Ibukota Kecamatan ke Desa/Kelurahan Kabupaten


tahun 2008

No Desa Jarak (Km²)


1 Kuala Patah Parang 15.00
2 Kuala Sungai Batang 12.00
3 Pasenggerahan 6.00
4 Benteng Barat 6.50
5 Benteng Utara 2.50
6 Benteng Induk Sebagai Ibu Kota
Sumber: Sungai Batang dalam Angka 2008.

5.1.21 Kependudukan
Penduduk asli daerah Indragiri Hilir adalah suku Melayu dan sering
disebut Melayu Riau. Sebagaimana halnya suku-suku Melayu yang ada
didaerah riau Lainnya, suku Melayu di daerah ini juga mempunyai system
kekerabatan yang bersifat parental dan beragama Islam, hal tersebut terlihat
dengan datangnya dan menetapnya suku-suku lain dari daerah asalnya ke
daerah ini yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lain yang berlangsung terus menerus dan diikuti dengan pembauran atau
asimilasi antara suku Melayu dengan suku-suku pendatang tersebut.

________________________ 84
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Penduduk Kecamatan Sungai Batang pada tahun 2008 berjumlah 13,665
jiwa. Rata-rata jiwa per rumah tangga adalah 4 jiwa. Desa yang paling banyak
penduduknya adalah Desa Kuala Patah Parang yaitu: 3.284 jiwa dan yang
paling sedikit jumlah penduduknya adalah Desa Sungai Batang yaitu 827 jiwa.
Sex ratio Kecamatan Sungai Batang adalah 104.03 (diatas 100)
menunjukkan bahwa penduduk perempuan lebih banyak dari pada penduduk
laki-laki. Penduduk laki-laki berjumlah 7.280 jiwa dan penduduk perempuan
berjumlah 6.385 jiwa.
Kepadatan penduduk di Kecamatan Sungai Batang adalah 94 jiwa per
km², Desa/Kelurahan yang paling padat penduduknya adalah Desa Kuala
Patah Parang dengan tingkat kepadatan 209 jiwa per km², sedangkan Desa yang
paling jarang penduduknya adalah Desa Benteng Utara dengan tingkat
kepadatan 65 jiwa per km². Penduduk Sungai Batang pada umumnya
mempunyai mata pencaharian dibidang Pertanian Pangan, Perkebunan dan
sebagian lainnya bergerak dibidang Nelayan, Perdagangan dan Kerajinan
Industri. Penduduk Kecamatan Sungai Batang disamping suku Melayu (asli)
antara lin: Suku Banjar, Bugis, Jawa dan Suku Lau/Nelayan.

Tabel 5.15: Jumlah Rumah Tangga dan Jumlah Penduduk Menurut Desa di
Kecamatan Sungai Batang Tahun 2008

No Desa/Kelurahan Rumah Tangga Penduduk


1 Kuala Patah Parang 815 3.286
2 Kuala Sungai Batang 211 827
3 Pasenggerahan 638 2.394
4 Benteng 759 2.994
5 Benteng Barat 514 2.811
6 Benteng Utara 325 1.352
Jumlah 3.262 13.665
Sumber: Sungai Batang dalam Angka 2008.

________________________ 85
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
5.1.22 Pendidikan
Perkembangan dan kemajuan yang mungkin dicapai oleh umat manusia
berpusat pada persoalan pendidikan. Perkembangan dan kondisi pendidikan
sangat berdampak bagi perkembangan kehidupan ekonomi. Dengan Tingkat
dan kualitas pendidikan yang memadai, seseorang akan memiliki peluang dan
kemampuan usaha yang memadai pula dan pada gilirannya akan memperoleh
penghasilan ekonomi yang lebih baik.
Sejalan dengan isu strategis kebijakan pembangunan yang bertitik sentral
pada persoalan K2I, Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir akan tetap berupaya
maksimal untuk meningkatkan pengadaan dan pelayanan pendidikan yang
menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara merata dan berkualitas.
Kondisi objektif menunjukan bahwa perkembangan pendidikan di
Kecamatan Sungai Batang masih menghadapi berbagai persoalan yang perlu
dihadapi dan diatasi. Persoalan ekonomi masih dialami oleh masyarakat,
sehingga masih cukup banyak anak-anak usia sekolah belum dapat mengenyam
atau menduduki bangku sekolah sebagaimana mestinya. Sementara itu,
keterbatasan sarana dan prasarana menyebabkan penyebaran sekolah-sekolah
belum menjangkau seluruh daerah secara merata.
Selain dari pada itu, kuantitas dan kualitas serta pendistribusian tenaga
guru adalah persoalan lain yang juga harus diatasi. Baik secara kuantitas
maupun kualitas, keberadaan tenaga guru atau pengajar masih terasa sangat
kurang di Kecamatan Sungai Batang. Sementara penyebaran tenaga yang ada
masih belum merata secara proporsional diberbagai daerah, terjadi konsentrasi
atau penumpukan di kota kecamatan dan lebih dikota kabupaten.

________________________ 86
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Tabel 5.16: Jumlah Sarana Pendidikan menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan
Sungai Batang tahun 2008

No Desa/Kelurahan SD SLTP SMU/SMK Jumlah


1 Kuala Patah Parang 4 1 - 5
2 Kuala Sungai Batang 1 1 - 2
3 Pasenggerahan 1 2 - 3
4 Benteng 3 - 1 4
5 Benteng Barat - - - -
6 Benteng Utara 1 2 - 3
Jumlah 10 6 1 17
Sumber: Sungai Batang dalam angka 2008

Tabel 5.17: Jumlah Guru Menurut Desa/Kelurahan dan Jenjang Pendidikan Di


Kecamatan Sungai Batang Tahun 2008

No Desa/Kelurahan SD SLTP SMU/SMK Jumlah


1 Kuala Patah Parang 16 7 - 23
2 Kuala Sungai Batang 3 8 - 11
3 Pasenggerahan 10 - - 10
4 Benteng 37 - 18 55
5 Benteng Barat - - - 0
6 Benteng Utara 16 17 - 33
Jumlah 82 32 18 132
Sumber: Sungai Batang dalam angka 2008

Tabel 5.18: Jumlah MDI, MTsN, MDA menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan


Sungai Batang Tahun 2008

No Desa/Kelurahan MDI MTsN MDA Jumlah


1 Kuala Patah Parang 1 - - 1
2 Kuala Sungai Batang - - - -
3 Pasenggerahan 2 2 1 5
4 Benteng 2 3 2 7
5 Benteng Barat 3 - 1 4
6 Benteng Utara - - - -
Jumlah 8 5 4 17
Sumber: Sungai Batang dalam angka 2008

________________________ 87
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
5.1.23 Kesehatan
Pembangunan pelayanan kesehatan harus terus ditingkatkan dan
berkualitas ditujukan pada perbaikan gizi, upaya penurunan angka kematian
bayi dan ibu melahirkan serta upaya jangka waktu usia harapan hidup.
Permasalahan lain yang sangat perlu diperhatikan dan terus dibudayakan
adalah kebiasaan masyarakat untuk tetap hidup sehat, bersih serta peduli
terhadap lingkungan tempat tinggal, penyediaan air bersih, pembuangan
kotoran keluarga (jamban), pembuangan sampah maupun limbah dan
meningkatkan mutu lingkungan hidup masyarakat sehingga akan mencapai
kualitas hidup dan sumber daya manusia yang prima.
Untuk mencapai tujuan tersebut, berbagai upaya telah dilakukan
pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir, diantaranya dengan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia melalui berbagai program dan memperluas
berbagai jangkauan pelayanan kesehatan secara merata dan terjangkau oleh
masyarakat.
Status kesehatan penduduk dapat diukur dengan menggunakan angka
kesakitan (morbidity rate) yaitu keluhan atas suatu penyakit yang dirasakan
responden danbukan atas hasil pemeriksaan dokter atau petugas kesehatan
lainnya.
Pembangunan kesehatan terus berupaya meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat, hal ini terlihat semakin bertambahnya jumlah sarana
kesehatan, ketersediaan tenaga medis dan paramedic serta meningkatnya
tempat pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Rumah Sakit Pemerintah.
Keterbatasan sarana dan prasarana pembangunan kesehatan menciptakan
bagian yang harus diproritaskan khususnya kelompok yang paling rentan
terhadap gangguan kesehatan dan gizi ibu hamil dan sangat berpengaruh
terhadap kesehatan dari gizi bayi yang akan dilahirkan. Pola pemberian Air
Susu Ibu (ASI) untuk balita, tetap disosialisasikan karena merupakan alternative
yang paling baik.

________________________ 88
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Tabel 5.19: Jumlah Tenaga Medis Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan
Sungai Batang tahun 2008

No Desa/Kelurahan Jumlah
1 Kuala Patah Parang 2
2 Kuala Sungai Batang 1
3 Pasenggerahan 2
4 Benteng 1
5 Benteng Barat 2
6 Benteng Utara 18
Jumlah 51
Sumber: Sungai Batang dalam angka 2008

Tabel 5.20: Banyaknya Sarana dan Prasarana Kesehatan Kecamatan Sungai


Batang tahun 2008

No Desa/Kelurahan Jumlah
1 Rumah Sakit -
2 Puskesmas 1
3 Puskesmas Pembantu 3
4 Puskesmas Keliling (R-4 & Air) -
Jumlah 4
Sumber: Sungai Batang dalam angka 2008

5.1.24 Agama
Pembinaan sumber daya manusia Indonesia adalah berorientasi kepada
pembangunan manusia seutuhnya. Artinya, bangsa Indonesia yan dicita-citakan
adalah manusia yang berkeseimbangan, antara intensitas spiritual dan kualitas
intelektual. Dengan kata lain, bangsa Indonesia haruslah sebagai individu yang
beriman, berilmu, dan berketerampilan teknologi yang tinggi.
Secara demografis, masyarakat Kecamatan Sungai Batang adalah
masyarakat yang sangat intens dengan nuansa cultural religious Islami, bahkan
sampai pada tingkat fanatisme. Islam adalah agama mayoritas masyarakat
Kecamatan Sungai Batang. Heterogenitas etnis dan budaya secara social dapat

________________________ 89
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
dipersatukan oleh homogenitas agama, yaitu Islam. Semboyan Cultural Malay
identic with Islam masih sangat kentara di bumi Sri Gemilang Indragiri Hilir ini.

Tabel 5.21: Banyaknya Sarana Ibadah di Kecamatan Sungai Batang tahun 2008

No Desa/Kelurahan Jumlah
1 Masjid 13
2 Surau/Mushalla 8
3 Gereja -
4 Pura -
Jumlah 21
Sumber: Sungai Batang dalam angka. 2008

5.1.25 Pertanian
Penduduk yang berada di daerah Indragiri Hilir pada umumnya
mempunyai mata pencaharian dibidang Pertanian Pangan, Perkebunan dan
sebagian lainnya bergerak dibidang nelayan, Perdagangan dan kerajinan
industry. Kecamatan Sungai Batang memiliki potensi sebagai daerah pertanian,
ini diketahui dari penggunaan tanah yang dirinci menurut penggunaannya baik
luas lahan sawah maupun luas bukan lahan sawah, diantaranya:
1. Pertanian Tanaman Holtikultura: Pertanian tanaman holtikultura dirinci
dari luas tanam, luas panen serta produksinya meliputi komoditas
tanaman pangan, palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan.
2. Pertanian tanaman perkebunan: Pertanian tanaman perkebunan dirinci
dari luas areal perkebunan serta produksinya meliputi komoditas
tanaman kelapa, pinang dan kopi.
Selain pertanian, Kecamatan Sunai Batang juga berpotensi sebagai daerah
perikanan dan peternakan. Data dapat diperoleh dari Kantor Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Indragiri Hilir.

________________________ 90
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Tabel 5.22: Penggunaan Lahan di Kecamatan Sungai Batang tahun 2008
Dalam satu Tahun Sementara Jumla
Ditanami padi (ha) Tidak di tidak di h (Ha)
No Penggunaan Lahan
Dua Satu Tanami Usahakan
Kali Kali Padi
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Lahan Pertanian
1 Lahan Sawah
Irigasi Teknis
Irigasi setengah Teknis
Irigasi Sederhana
Irigasi Desa/Non PU
Tadah Hujan
Pasang Surut 25 2.160 565 600 3.350
Lebak
Polder dan Lainnya
Jumlah Lahan Sawah 25 2.160 565 600 3.350
2 Lahan Bukan Sawah
Tegal/Kebun 35
Ladang/Huma -
Perkebunan 10.655
Pohon/Hutan Rakyat -
Tambak 15
Kolam/Tebat/Empang 25
Penggembalaan/Rumput -
Sementara Tidak di Usahakan -
(Pekarangan ditanami tapan) 185
Jumlah Lahan Bukan Sawah 10.915
3 Lahan Bukan Pertanian
Rumah, Bangunan, 300
Hutan Negara -
Rawa-rawa -
(Jalan, sungai, danau, lahan 34
tandus, dll)
Lahan Bukan Pertanian 334
Luas Wilayah 14.599
Sumber: Sungai Batang dalam angka 2008

5.3 Analisis Kelayakan Bahan Baku


5.3.1 Permintaan Minyak Nabati Indonesia dan Dunia
Beberapa komoditas ekspor dan impor yang bersumber dari lemak
nabati di antaranya ialah kelapa sawit (Palm Oil), Minyak Kacang Kedelai

________________________ 91
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
(Soybean Oil), Minyak Zaitun (Olive Oil and its Fraction), Biji bunga matahari
(Sunflower-seed), Kelapa (Coconut-copra), Minyak buah sawi dan kol (Rape &
Colza), lemak sayuran (Fixed Vegetable fats), Gliserol (Glycerol), dan Minyak Buah
Anggur, Oren dan Lemon (Veg Oil Waxes). Dari Sembilan komoditas di atas tiga
komoditas (Kelapa Sawit, Kelapa – kopra, Minyak Kacang Kedelai) paling
banyak diekspor dan diimpor oleh negara-negara industri. Namun yang paling
dominan diperdagangkan di pasaran internasional saat ini adalah minyak
kelapa sawit.

Tabel. 5.23: Ekspor dan Impor Kelapa Sawit, Minyak Kacang Kedelai dan
Kelapa (Kopra)

Jenis Komoditas
Tahun Kelapa Sawit Minyak Kacang Kedelai Kelapa (kopra)
Ekspor Impor Ekspor Impor Ekspor Impor
1996 2,688,907 6,036,638 3,652,461 2,811,351 863,817 2,167,984
1997 10,635,033 6,908,332 6,751,589 4,648,265 1,662,872 2,724,994
1998 9,165,837 7,743,417 7,740,699 5,063,536 1,359,064 2,788,025
1999 12,250,433 9,314,071 8,283,435 5,281,248 2,924,314 2,510,782
2000 13,100,735 10,190,913 6,962,412 4,779,003 3,056,532 2,879,817
2001 15,653,567 12,784,067 8,740,278 6,259,346 3,342,516 3,419,427
2002 17,117,404 14,940,680 9,156,332 8,506,266 3,204,641 3,644,489
2003 18,876,316 19,426,132 9,978,643 9,249,718 3,523,810 3,969,629
2004 21,006,582 21,552,073 9,576,684 9,030,136 3,570,461 3,970,400
2005 23,534,212 23,016,888 10,353,505 9,490,170 4,225,202 4,189,424
2006 27,746,476 25,572,346 11,742,764 9,719,999 4,145,581 4,814,525
2007 27,115,292 25,438,112 12,081,035 10,961,443 4,245,309 4,639,404
2008 44,826,064 41,250,807 12,061,331 9,959,211 16,832,703 117,328,846
2009 33,773,775 26,582,782 9,322,587 7,934,366 4,488,557 4,510,640
Total 277,490,632 250,757,258 126,403,755 103,694,058 57,445,379 163,558,387

Sumber: UN Comtrade (UN Statistic Devition), 2010

Terhitung mulai tahun 1996 sampai tahun 2009 volume export minyak
sawit sebanyak 277,490,632 ton dengan rata-rata peningkatan setiap tahunnya
________________________ 92
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
sebesar 34 persen, diikuti ekspor minyak kacang kedelai sebanyak 126,403,755
ton dengan peningkatan per tahun 10 persen dan kelapa (kopra) diekspor
sebanyak 57,445,379 ton dengan peningkatan 35 persen setiap tahun.
Selanjutnya kelapa sawit menempati urutan terbesar dalam jumlah impor
selama (1996 – 2009), yaitu 250,757,258 ton dengan kadar pertumbuhan 14
persen per tahun. Soya-Bean Oil sebanyak 103,694,058 ton (tingkat
pertumbuhan 10%) dan pertumbuhan permintaan kelapa (Coconut-copra)
sebesar 186 persen dengan jumlah 163,558,387 ton.
Data di atas menjelaskan bahwa pertambahan permintaan dunia

terhadap minyak kelapa sawit sangat signifikan. Hal ini terbukti melalui jumlah

impor terbesar jika dibandingkan dengan jumlah impor komoditas yang lain.

Secara keseluruhan (tahun 1996 – tahun 2009) impor kelapa sawit sebanyak

250,757,258 ton atau rata-rata 16,717,151 per tahun.

Jumlah ekspor dan impor untuk masing-masing komoditas pada tahun

2009 ditampilkan pada diagram berikut ini:

Gambar 5.4 Jumlah Ekspor Minyak Nabati Tahun 2009

________________________ 93
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Gambar 5.5 Jumlah Impor Minyak Nabati Tahun 2009

Berdasarkan Grafik 5.4 dan 5.5 di atas pada tahun 2009 ekspor minyak

kelapa sawit sebanyak 33,733,775 ton dan impor sebanyak 26,582,782 ton.

Terdapat 76 negara yang mengimpor komoditas minyak kelapa sawit dari

Indonesia. Lima negara pengimpor terbesar diantaranya ialah India (4,712,231

ton), China (2,505,441 ton), dan Malaysia (1,055,446 ton) seperti yang

ditampilkan pada Gambar 5.6.

________________________ 94
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Gambar 5.6 Jumlah Ekspor Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2009

Jika dibandingkan perdagangan komoditas ini dengan negara Malaysia,

maka Malaysia memiliki mitra perdagangan lebih banyak. Malaysia

mengekspor kelapa sawit kepada 92 negara meliputi negara-negara di Asia dan

Eropa. Negara pengimpor terbesar ialah negara China (3,923,674 ton), diikuti

oleh negara Pakistan (1,612,846 ton) dan India (1,220,619 ton) seperti pada

Gambar 5.7.

________________________ 95
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Gambar 5.7 Jumlah Ekspor Kelapa Sawit Malaysia Tahun 2009

Pada tahun 2009 jumlah ekspor kelapa sawit Indonesia lebih besar
daripada Malaysia, bahkan sebanyak 1,055,446 ton Malaysia mengimpor dari
Indonesia. Pasar utama Indonesia adalah negara India, China dan Malaysia.
Sampai tahun 2009 masih banyak negara pengimpor kelapa sawit belum
menjadi mitra dagang Indonesia, antara negara potensial lainnya ialah USA,
Turky, United Arab Emirates, dan Ukraine.

5.3.2. Permintan CPO Riau


Permintaan CPO Provinsi Riau dipasaran international dalam periode
lima tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan,
misalnya, pada tahun 2005 ekspor CPO mencapai 1,81 juta ton dan pada tahun
2009 export CPO Riau mengalami peningkatan yang cukup signifikan menjadi
3,94 juta ton dengan pertumbuhan sebesar 117.2 persen. Hal tersebut terjadi
karena terjadinya peningkatan permintaan CPO dunia, peningkatan produksi
CPO akibat perkembangan luas areal produksi kelapa sawit dan peningkatan

________________________ 96
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
umur tanaman yang berpengaruh pada peningkatan produktivitas TBS. Data
export CPO selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.24 dan Grafik berikut.

Tabel 5.24: Export CPO Provinsi Riau 2005-2009

Export
Tahun
Volume (Ton) Nilai (USD) Harga (USD)
2005 1,810,038.54 624,117,355.00 344.81
2006 2,025,079.85 774,853,974.00 382.63
2007 2,343,170.07 1,513,208,146.00 645.80
2008 2,956,661.11 2,422,799,416.00 819.44
2009 3,942,676.16 2,322,411,569.00 589.04
Sumber: Dinas Perkebunan Propinsi Riau, 2010.

Export Volume (Ton) Export Harga (USD)


4,500.00

3,942.68
4,000.00

3,500.00
2,956.66
3,000.00
2,343.17

2,500.00
2,025.08
1,810.04

2,000.00

1,500.00
819.44

1,000.00
645.80

589.04
382.63
344.81

500.00

-
2005 2006 2007 2008 2009

Sumber: Dinas Perkebunan Propinsi Riau, 2010.


Gambar 5.8: Export CPO Provinsi Riau 2005-2009

Perkembangan export CPO terus mengalami peningkatan, walaupun


harga CPO dunia menunjukkan penurunan harga yang cukup signifikan pada
________________________ 97
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
tahun 2009. Tingginya permintaan CPO dunia mengakibatkan orientasi
perusahaan produsen CPO lebih cenderung mengekspor CPO atau
mengolahnya menjadi minyak goreng ketimbang mengembangkan industri
hilirnya. Padahal permintaan internasional maupun dalam negeri terhadap
hasil industri hilir seperti oleochemical, oleofood dan biodisiel memiliki
peluang yang cukup besar.
Oleh karena itu perlu upaya mengembangkan industri hilir kelapa sawit
dengan memanfaatkan CPO dan PKO sebagai bahan baku. Industri hilir melalui
beberapa derivative seperti oleo pangan (minyak goreng, margarin, shortening,
cocoa butter substitutes, vegetable ghee) dan industri non pangan seperti oleokimia
(fatty acid, fatty alcohol, gliserin dan methyl ester) dan biodiesel. Pemanfaatan
CPO sebagai bahan baku industri dapat memberikan efek berganda meliputi: a)
pertumbuhan sub sektor ekonomi lainnya, b) pengembangan wilayah industri,
c) proses alih teknologi, d) perluasan lapangan kerja, e) perolehan devisa, f)
peningkatan penerimaan pajak. Untuk mengembangkan IHKS tersebut salah
pertimbangan yang hasrus menjadi perhatian adalah volume, kualitas dan
kontinuitas penawaran bahan baku.

5.3.3 Penawaran Bahan Baku


5.3.3.1 Perkebangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit
Peningkatan luas areal perkebunan tanaman kelapa sawit telah memacu
perkembangan produksi Tandan Buah Segar (TBS) serta mendorong
peningkatan produksi CPO (Cruid Palm Oil) dan PKO (Palm Karnel Oil).
Peningkatan produksi CPO dan PKO tersebut perlu diimbangi dengan upaya
peningkatan permintaan dan penawaran intermediate product maupun final
product untuk ketiga kelompok pengolahan (oleofood, oleochemical dan biodisiel).
Tanpa adanya upaya tersebut maka tujuan akhir IHKS tidak dapat dicapai.
Tabel 5.25 menggambarkan penawaran bahan baku IHKS dari aspek
perkembangan luas areal perkebunan dan produksi kelapa sawit di Provinsi

________________________ 98
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Riau dari tahun 2007 – 2009. Misalnya pada tahun 2007 luas areal perkebunan
kelapa sawit Riau hanya 1,612,381.60 ha meningkat menjadi 2,056,006.00 ha
pada tahun 2009 atau terjadi pertumbuhan 27.51 persen.

Tabel 5.25: Perkembangan Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit
Di Kabupaten Indragiri Hilir dan Provinsi Riau, 2007 – 2009

No Kabupaten Luas (ha) Produksi (Ton)

1 Kampar 291,475.50 311,137.00 315,303.00 1,092,757.39 1,310,106.79 1,456,374.10

2 Rokan Hulu 275,609.10 262,673.60 271,017.00 907,424.65 883,845.71 1,025,405.56

3 Pelalawan 177,906.01 182,926.19 130,081.00 611,278.73 620,125.19 622,366.79

4 Inhu 114,582.00 118,076.78 167,856.00 361,519,79 382,803.36 419,737.80

5 Kuansing 121,854.36 116,527.32 139,797.00 412,980.12 429,452.03 449,266.84

6 Bengkalis 127,259.00 147,643.50 134,096.00 223,624.89 399,639.42 491,868.32

7 Rokan Hilir 148,879.00 166,311.00 293,869.00 456,620.22 588,923.36 868,709.29

8 Dumai 24,930.00 27,954.00 60,508.00 50,443.00 588,923.36 868,709.29

9 Siak 183,598.13 184,219.48 165,236.00 621,138.97 611,644.44 602,566.32

10 Inhil 143,431.50 148,729.50 356,697.00 372,977.12 448,877.46 473,251.24

11 Pekanbaru 2,857.00 7,353.00 21,546.00 8,505.16 29,993.66 39,039.10

Riau 1,612,381.60 1,673,551.37 2,056,006.00 5,119,270.04 6,294,334.78 7,317,294.65

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Republik Indonesia, 2009; Dinas


Perkebunan Propinsi Riau dan Kabupaten Indragiri Hilir, 2010.

Penawaran bahan baku IHKS di beberapa kabupaten termasuk


Kabupaten Indragiri Hilir menunjukkan perkembangan sangat signifikan.
Misalnya pada 2007 luas areal perkebunan kelapa sawit daerah ini hanya
berkisar 143,431.50 hektar kemudian meningkat menjadi 356,697.00 hektar pada
tahun 2009. Peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit di Kabupaten
Indragiri Hilir tidak terlepas daripada peningkatan permintaan eksport minyak
kelapa sawit.

________________________ 99
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
5.3.3.2 Produksi Tandan Buah Segar (TBS)
Peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit Provinsi Riau telah
memacu peningkatan produksi TBS. Jumlah produksi TBS Provinsi Riau tahun
2007 sebanyak 4,757,750.25 ton meningkat menjadi 7,317,294.65 ton pada tahun
2009. Demikian juga halnya dengan Kabupaten Indragiri Hilir, jumlah produksi
TBS telah meningkat dari 372,977.12 ton pada tahun 2007 menjadi 473,251.24
ton pada tahun 2009. Peningkatan produksi tersebut selain dari akibat
penambahan luas areal tanaman tetapi juga disebabkan oleh adanya
peningkatan produktivitas akibat peningkatan umur tanaman kelapa sawit.
Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.25 di atas.

5.3.3.3 Pabrik Crude Palm Oil (CPO)


Laju perkembangan luas lahan perkebunan kelapa sawit dan produksi
TBS di Provinsi Riau yang cukup signifikan telah memacu perkembangan
pembangunan pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS). Hingga tahun 2010
jumlah pabrik PKS sebanyak 187 yang tersebar di 9 kabupaten dengan kapasitas
produksi keseluruhan 7.819 ton per jam. Sebaran pabrik PKS di 9 kabupaten
tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 5.26: Jumlah Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PKS) Provinsi Riau, 2010

Jumlah PKS
No Kabupaten Kapasitas (Ton/Jam)
(Unit)
1 Rokan Hulu 25 1,149
2 Kampar 48 1,845
3 Pelalawan 20 820
4 Kuantan Singingi 11 510
5 Indragiri Hulu 11 390
6 Indragiri Hilir 8 400
7 Siak 19 835
8 Bengkalis 13 520
9 Rokan Hilir 32 1,350
Jumlah 187 7,819
Sumber: Dinas Perkebunan Propinsi Riau. 2010.
________________________ 100
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Berdasarkan sebaran lokasi pabrik PKS tersebut maka cakupan
penyediaan bahan baku IHKS untuk daerah kawasan industri Kuala Enok
sebanyak 30 unit. Sedangkan yang menjadi cakupan kawasan industri Dumai
sebanyak 114 unit. Bila dilihat dari aspek jumlah produksi CPO dengan
kapasitas terpasang pabrik PKS pada cakupan Kawasan Industri Kuala Enok
sebanyak 1300 ton TBS/jam. Sedangkan cakupan wilayah Kawasan Industri
Dumai sebanyak 6,519 ton TBS/jam. Melihat besarnya volume produksi CPO
yang diarahkan pada penyediaan bahan baku kedua kawasan industri tersebut,
maka pemenuhan kebutuhan bahan baku IHKS sebanyak 70% dari jumlah
produksi CPO tersebut dapa terpenenuhi, jika dibangun beberapa pabrik
dengan beberapa kapasitas produksi dan jenis industri IHKS.

5.3.3.4 Produksi Crude Palm Oil (CPO)


Kapasitas produksi TBS Propinsi Riau pada tahun 2009 dilhat dari aspek
penawaran produksi dari jumlah PKS terpasang maka produksi TBS Riau
sebanyak 43,911,504 ton untuk 187 PKS dan mampu menghasilkan produksi
CPO sebanyak 8,782,301 ton, dengan asumsi bahwa kapasitas terpakai setiap
unit PKS sebesar 90 persen dengan 20 jam/hari serta 26 hari kerja per bulan.
Sedangkan dari 30 unit PKS yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan bahan
baku industri Kuala Enok mampu menghasilkan CPO sebanyak 1,460,160.03
sedangkan untuk kawasan industri Dumai sebanyak 7,322,140.97 ton. Jika
produksi CPO tersebut hanya digunakan sebanyak 70% sebagai bahan bahan
baku IHKS kawasan industri Kuala Enok dan Dumai maka bahan baku yang
tersedia untuk masing-masing kawasan tersebut sebanyak 1,022,112.02 ton dan
5,125,498.68 CPO.
Sedangkan jika potensi produksi CPO Riau dihitung berdasarkan
produksi TBS yang mengacu pada luas areal perkebunan maka produksi TBS
mampu menghasilkan produksi CPO 1,463,458.93 ton. Dari jumlah potensi

________________________ 101
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
bahan baku tersebut maka rencana penggunaannya diarahkan pada oleofood
dan oleokimia sebanyak 40% dan 30% biodisel serta 30% export CPO.

5.3.4 Industri Hilir Kelapa Sawit (IHKS)


5.3.4.1 Industri Oleokimia
Indonesia cukup jauh tertinggal dalam pengembangan industri
oleochemical, padahal Indonesia adalah penghasil minyak nabati terkemuka di
dunia, khususnya dalam industry CPO. Selama ini, Negara-negara pengimpor
CPO Indonesia justru jauh lebih maju dalam pengembangan industry
olechemical dan mereka bahkan telah berhasil mengembangkan industry
oleochemical yang lebih hilir yang siap digunakan sebagai bahan baku bagi
banyak industry. Selain itu, Malaysia, yang menjadi saingan berat sebagai
produsen CPO, juga telah jauh meninggalkan Indonesia dalam industri
oleochemical.
Bila mengacu kepada industry oleochemical yang ada saat ini, memang
sulit dibantah, bahwa industri oleokimia pada umumnya mengalami
permasalahan yang tidak ringan, terutama sejak krisis ekonomi berlangsung.
Oleh sebab itu, contoh yang kurang menarik itu, bisa saja menjadi pelajaran
berharga bagi para calon investor, tetapi perlu juga secara obyektif mengkaji
lebih dalam. Feasibilitas dari pada pendirian industry oleochemical di Indonesia
dilihat dari berbagai aspek.
Selama ini para produsen CPO masih terlalu berorientasi pada ekspor
CPO atau hanya mengolahnya menjadi minyak goreng. Mereka masih belum
berani melangkah lebih jauh untuk mendirikan industri atau bekerjasama
dengan investor untuk membangun pabrik yang dianggap belum pasti.
Keadaan ini terbukti dengan tidak mudahnya calon investor untuk
menggandeng pemilik perkebunan atau producen CPO untuk mendirikan
pabrik oleochemical.

________________________ 102
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
a. Bahan Baku
Bahan baku penghasilan oleokimia adalah minyak sawit dan air. Minyak
sawit dapat diperoleh dari produksi CPO. Produksi CPO Provinsi Riau tahun
2009 berdasarkan data produksi TBS adalah ± 1,463,458.93 ton. Sedangkan bila
dilihat produksi CPO dari jumlah kapasitas terpasang PKS sebanyak 187
dengan 20 jam kerja perhari selama 26 hari kali 12 bulan, maka produksi CPO
Provinsi Riau adalah sebanyak 8,78 juta ton pertahun. Sedangkan kabupaten
Indragiri Hilir dengan cakupannya sebanyak 30 PKS mampu menghasilkan 1,46
juta ton CPO pertahun. Besarnya volume produksi CPO tersebut menjadi
potensi bahan baku pengembangan industry oleokimia kedepan. Sebagai
contoh jika dibangun pabrik glycerine (10,10%) atau fatty acids dengan:
- kapasitas produksi pabrik 90.000 ton per tahun
- Kebutuhan Bahan Baku 891.089 ton CPO/Th
- Jika seluruh produksi CPO diolah menjadi Glycerine, maka dapat
memenuhi kebutuhan bahan baku 1 pabrik Glicerine dan 4 Pabrik Fatty
Alkohol dengan kapasitas 300 ton/hari

Maka dari sisi ketersediaan bahan baku sangat mencukupi untuk


pengembangan industri hilir kelapa sawit di daerah ini.
Disamping bahan baku CPO juga diperlukan bahan penunjang berupa
air. Kebutuhan bahan penunjang berupa dapat diperoleh dari air tanah, air
sungai yang dioleh terlebih dahulu sehingga layak digunakan sebagai air
proses, atau dapat diperoleh dari PDAM. Mengingat kondisi Kuala Enok yang
berada didaerah perairan samudra maka kebutuhan air bersih sulit didapatkan.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka yang pengadaan air bersih yang dilakukan
oleh perusahaan yang ada di lokasi Kuala Enok dengan membuat waduk
dengan memasang tanggul pada sungai Pinang Besar. Jika kawasan industry
Kuala Enok akan dibangun maka perlu dilakukan pembuatan bendungan baru

________________________ 103
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
dengan membendung sungai Teruk di areal lokasi kawasan industri yang
cadangkan.

b. Pasar dan Pemasaran


Apabila dilihat dari aspek pasar seperti diuraikan dimuka, penyerapan
produk oleochemical di dalam negeri, seperti fatty acid, fatty alcohol dan
glycerol, masih tergolong kecil. Justru pasar ekspor yang jumlahnya sangat
besar dan inilah sebenarnya yang cukup menarik investasi dalam industri ini.
Pada tahun 2008, konsumsi produk hulu eleochemical mencapai 743,728 ton,
yang terdiri dari fatty acid 442,980 ton, fatty alcohol 241,500 ton dan glicerol
59,248 ton. Dari jumlah konsumsi tersebut dimana fatty acid 332,280 ton
diexport dan 110,700 kegunaan domestik. Sedangkan fatty alcohol konsumsi
pasar luar negeri sebanyak 152,452 ton dan domestik sebanyak 89,043.
Glycerine, konsumsi pasar luar negeri sebanyak 42,680 ton dan konsumsi
domestik
Tetapi volume konsumsi ini masih jauh lebih rendah dari kapasitas
pabrik yang ada, apalagi bila dibanding dengan permintaan dunia, maka
konsumsi lokal itu hampir tidak ada artinya. Pada tahun 2008, tingkat
permintaan fatty acid di pasar Internasional diperkirakan mencapai 3.618.445
ton sementara total kapasitas industri tersebut di Indonesia hanya 442,980 ton,
sehingga jika seluruh produksi di dalam negeri dijual ke pasar ekspor, pangsa
pasarnya hanya sebesar 15,67 % dan terdapat peluang sebesar 3.128.145 ton
yang harus diperebutkan oleh beberapa produsen dunia. Kemudian pada tahun
2012. Permintaaan fatty acid di pasar internasional diperkirakan sebesar
4,475,305.00. Sedangkan produksi Indonesia 5442,980 ton dan jika seluruh
produksi di dalam negeri dijual ke pasar ekspor, pangsa pasarnya hanya
sebesar 9,87% dan terdapat peluang pasar sebesar 3.910.005 ton.
Dalam pada itu permintaan Glycerol di pasar Internasional pada tahun-
tahun mendatang diperkirakan juga akan terus meningkat. Pada tahun 2008

________________________ 104
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
mencapai 668.224 ton, sementara kapasitas industri bahan kimia tersebut di
Indonesia diperkirakan 59,248 ton per tahun, sehingga jika seluruh hasil
produksi Indonesia dijual ke pasar ekspor pangsa pasarnya hanya 7.06%, dan
terdapat peluang pasar sebesar 624.184 ton. Pada tahun 2012 permintaan
glicerol di pasar internasional diperkirakan mencapai 1.060.387 ton sedangkan
kapasitas industria tersebut di Indonesia diperkirakan sebesar 59.040 ton dan
jika seluruh produksi di dalam negeri dijual ke pasar ekspor, pangsa pasarnya
hanya sebesar 5,9% dan terdapat peluang pasar sebesar 1.001.347 ton.
Sedangkan permintaan fatty alcohol di pasar internasional pada tahun
2008 mencapai 2.896.441 ton, sementara kapasitas industri bahan kimia tersebut
di Indonesia diperkirakan sebesar 241,500 ton per tahun, sehingga jika seluruh
hasil produksi Indonesia dijual ke pasar ekspor pangsa pasar 5.08%, dan
terdapat peluang pasar sebesar 2.756.441 ton. Berikut disajikan data
perkembangan export import produk oleokimia Indonesia selama 5 tahun
terakhir.

Tabel 5.27: Export dan Import Produk Eleokimia Indonesia, 2005-2009

Tahun
Produk
2005 2006 2007 2008 2009
Export (ton)
Fatty Acids 11,921.66 10,644.73 10,592.13 18,442.41 20,889.70
Fatty Alcohols 77,761.57 87,316.50 105,338.21 134,240.38 156,422.23
Glycerin’s 27,451.53 35,697.18 47,793.43 85,839.27 49,290.88
Methyl Esters - - - 0.04 0.20
Import (ton)
Fatty Acids 569.10 771.20 439.83 560.04 490.79
Fatty Alcohols 11,841.54 27,218.47 14,136.40 10,307.04 12,829.79
Glycerin’s 535.09 549.07 657.18 3,861.05 487.43
Methyl Esters 6.71 3.09 7.69 6.41 131.97
Sumber: UN Contrade (Data Devision), 2010

________________________ 105
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Melihat perkembangan yang terjadi di pasar internasional tersebut maka dilihat
dari aspek pasar, pendirian industri oleochemical di Indonesia, masih sangat
memungkinkan. Hanya saja, tentunya masih banyak faktor yang perlu dikaji
dan dipertimbangkan, seperti faktor teknologi dan biaya investasi, kemudian
sumber bahan baku pendukung yang continue dan kepastian pasar, seperti
kontrak penjualan yang sudah pasti dan sebagainya.

5.4 Analisis Kawasan Industri


Analisis kawasan industri ditinjau dari dua aspek, yaitu: pertama dari
aspek kesesuaian lahan dengan fisik lingkungan atau bentang lahan.
Berdasarkan aspek ini secara garis besar bentang lahan terbagi dalam kawasan
lindung dan kawasan budidaya atau permukiman. Aspek yang kedua yaitu
kesesuaian lahan industri dengan peraturan penggunaan lahan (zoning) dalam
rencana detail tata ruang kota.
Analisis lokasi lahan industri adalah analisis terhadap aspek yang
mempengaruhi lokasi penggunaan lahan industri, yang terdiri dari beberapa
variabel. Variabel-variabel yang mempengaruhi penetapan sebuah lahan
sebagai lokasi industri meliputi: kesesuaian lahan, nilai lahan, aksesibilitas,
tenaga kerja, dan kebijakan penggunaan lahan. Variabel-variabel tersebut di
atas itulah yang kemudian menjadi kriteria dalam penentuan lahan industri.
Kriteria yang mempengaruhi lokasi lahan industri dikelompokkan
berdasarkan variabel-variabel yang mempengaruhinya, yaitu:
1. Variabel kesesuaian lahan untuk penggunaan area industri ditetapkan
berdasarkan: (1) Kesesuaian lahan dengan fisik lahan atau bentang lahan,
dan (2) kesesuaian lahan eksisting dengan peraturan penggunaan lahan
yang tertuang dalam rencana tata ruang. Kawasan industri dengan fisik
atau bentang lahan dapat dilihat berdasarkan kriteria: kemiringan lahan,
jenis tanah/batuan, dan curah hujan, yaitu dilihat dari kondisi eksisting
kelerengan (kelas lereng), curah hujan rata-rata tahunan, dan jenis tanah

________________________ 106
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
wilayah studi. Kriteria tersebut digunakan untuk mengetahui apakah
suatu wilayah termasuk kategori kawasan lindung atau sebagai kawasan
budidaya termasuk permukiman, dengan memberikan skor pada masing-
masing bentang lahan.
2. Variabel nilai lahan, yaitu jarak lokasi lahan dengan tempat aktivitas
komersial, sarana perkotaan dan prasarana jalan. Semakin jauh lokasi
lahan dari aktivitas komersial perkotaan, maka harga lahan relatif semakin
murah.
3. Variabel aksesibilitas (transportasi dan prasarana jalan), yaitu tingkat
kemudahan transportasi dan ketersediaaan prasarana yang mendukung
aksesibilitas aktivitas industri dengan lokasi bahan baku atau menuju
wilayah pemasaran, serta kemudahan aktivitas masyarakat dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Analisis terhadap variabel ini dilakukan
secara deskriptif
4. Variabel tenaga kerja, yaitu berkaitan dengan ketersediaan tenaga kerja
dan upah tenaga kerja yang relatif murah, serta seberapa banyak tenaga
kerja lokal yang terserap oleh industri yang ada, juga pada level apa tenaga
kerja lokal terserap oleh industri tersebut.
5. Variabel kebijakan, yaitu kesesuaian penggunaan lahan (zoning) dengan
peraturan penggunaan lahan yang tertuang dalam rencana tata ruang kota
(RDTR Kuala Enok). Penggunaan lahan sangat mempengaruhi struktur
ruang kota. Penggunaan lahan yang efektif diharapkan akan mendukung
berbagai aktivitas atau kegiatan masyarakat.
6. Evaluasi lokasi penggunaan lahan industri, yaitu seberapa besar faktor
atau elemen-elemen yang mempengaruhi kelayakan lokasi industri di
Kuala Enok, dilihat dari kondisi eksisting bila dibandingkan dengan
kondisi ideal.

5.4.1. Kawasan Fisik Lahan Industri

________________________ 107
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Kawasan fisik lahan ditinjau berdasarkan kondisi eksisting dengan tiga
kriteria, yaitu: kemiringan lahan, jenis tanah, dan curah hujan. Kemiringan
lahan dilihat dari peta dasar atau topografi, yaitu perbandingan tinggi dengan
jarak horizontal yang dinyatakan dalam nilai persen.
Menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/KPTS/Um/11/1980,
klasifikasi kemiringan dibagi menjadi lima kelas, untuk kemiringan 0%-8% yang
merupakan wilayah landai ditetapkan sebagai kawasan budidaya dan
permukiman, termasuk industri. Berdasarkan topografi, kawasan studi
merupakan kawasan rawa dengan ketinggian rata-rata 1–3 m dpl dan
kemiringan lahan rata-rata 0-8%. Skor untuk kondisi ini adalah 20. Berdasarkan
skor tersebut dapat disimpulkan bahwa lahan di daearah perencanaan sangat
sesuai untuk kawasan tidak merupakan kawasan lindung (kawasan budidaya).
Berkenaan dengan jenis tanah, di kawasan perencanaan sebagian besar terdiri
dari jenis tanah glei dan tanah gambut Jenis tanah tersebut mempunyai tingkat
kepekaan terhadap erosi yaitu tidak peka.
Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Perindusterian dan
perdagangan Republik Indonesia salah satu kawasan yang dikembangkan
menjadi kawasan Klaster Industri kelapa sawit di provinsi Riau adalah Kuala
Enok, sebuah kawasan yang terletak dalam kawasan Kecamatan Tanah Merah
dan Kecamatan Sungai Batang Kabupaten Indragiri Hilir. Kecamatan Tanah
Merah yang terdiri dari 10 desa miliki luas 721.56 km². sedangkan Kecamatan
Sungai Batang terdiri dari 6 dengan luas wilayah 145. 99 km²
Setelah dilakukan survei ternyata lokasi kawasan klaster Industri kuala
Enok ini terletak pada posisi : 103 º 20' 46,96" – 103 º 25' 25,18 " BT dan 0 º 31'
8,80" - 0º 37' 11,53" LS dengan luas kawasan 5.203.95 Ha. Hal ini berarti luas
lahan yang ditemukan dalam penelitian ini lebih luas dari luas lahan yang
tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
seperti disebutkan di atas. Berikut adalah peta calon lokasi pengembangan
kawasan Industri Kuala Enok.

________________________ 108
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Gambar 5.9: Peta Pembangunan Kawasan Industri Kuala Enok.

Adapun batas dari kawasan klaster industri Kelapa sawit adalah:


- Sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Enok dan Sungai Sapat Dalam
- Sebelah Selatan Berbatasan dengan Sungai Kuala Patah Parang dan Pulau
Pucung
- Sebelah Barat berbatasan dengan Parit baru dan Parit Sarah Kanan dan
Sungai Sarah
- Sebelah Timur berbatasan dengan Hutan Bakau dan Laut
Dilihat dari letak geografis kawasan ini sangat strategis untuk
dikembangkan sebagai salah satu kawasan klaster industri karena kawasan ini
berada berada di Pesisir Pulau Sumatera yang berhadapan Langsung dengan
Selat Melaka, Sebuah Selat yang telah lama dikenal sebagai pusat Perdagangan
dunia. Di Samping itu, calon lokasi klaster industri Kuala Enok merupakan
sebuah kawasan pertemuan antara beberapa kawasan perkebunan yang berada

________________________ 109
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
di Riau daratan (Kabupaten Indragiri Hulu, Pelalawan dan Kuantan Singingi)
yang merupakan kabupaten penghasil produk pertanian dengan Kabupaten
Tanjung Jabung Timur, provinsi Jambi yang juga merupakan kabupaten
penghasil produk yang sama. Hal ini berarti kawasan klaster industri kuala
Enok merupakan salah satu gerbang lintas regional dari atau ke provinsi Jambi
dengan memanfaatkan jaringan jalan lintas Sumatera timur yang melintasi
wilayah Kabupaten Indragiri Hilir serta beberapa jaringan sungai dan laut yang
melintasi wilayah Kabupaten Indragiri Hilir pada beberapa wilayah kecamatan
untuk menuju ke Provinsi Kepulauan Riau.

5.4.2 Penggunaan Lahan Kawasan Industri


Penggunaan lahan kawasan industri berdasarkan penggunaan lahan
eksisting dengan peraturan penggunaan lahan. Kebijakan penggunaan lahan
lokasi industri secara spasial dituangkan dalam rencana tataruang sebagai
acuan rencana pembangunan, yang dalam implementasinya melalui mekanisme
izin lokasi dan kesesuaian lahan dengan tata ruang yang telah ditetapkan. Dan
ini di pertegas dengan dikeluarkannya SK Bupati Indragiri Hilir
No.278/VII/HK-2010 tentang Penetapan Kawasan Pengembangan Klaster
Industri Berbasis Pertanian dan Oleochemichal Industri Hilir Kelapa Sawit Di
Kabupaten Indragiri Hilir.

________________________ 110
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Gambar 5.10: Peta Pengunaan Lahan di Kawasan Industri Kuala Enok

Berdasarakan peta penggunaan lahan RTRW (Rencana Tata Ruang


Wilayah) kabupaten Indragiri Hilir diperoleh data tentang penggunaan (fungsi)
lahan dalam kawasan Klaster Industri Sawit Kuala Enok seperti telihat pada
Gambar di atas dan Tabel 5.28:

Tabel 5.28: Penggunaan Lahan di kawasan Klaster Industri Kuala Enok


________________________ 111
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
No Penggunaan lahan Luas (Ha)

1 Kebun Campuran (Warna Hijau Muda) 1.794,29

2 Lahan kosong (Warna Kuning Muda) 1.284,73

3 Pemukiman (Warna Merah Jambu) 218,59

4 Rawa (Warna Biru Muda) 1374,76

5 Tambak (Warna Biru Tua) 35,75

6 Mangrove (Warna Hijau Tua) 495,81

Total Area 5.203.95

Berdasarkan hasil kajian terhadap kesesuaian lahan, ditinjau dari


kebijakan tata ruang, penetapan Kabupaten Indragiri Hilir sebagai area industri
sudah sesuai, karena area yang lain di wilayah ini tidak diperuntukan untuk
pengembangan industri. Area industri yang ada lokasinya berdampingan
dengan area permukiman, perdagangan dan jasa, sehingga keberadaannya
berdampak terhadap aktivitas perkotaan dan berpengaruh terhadap masyarakat
sekitarnya.

5.4.3 Analisis Nilai Lahan


Nilai lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya: faktor lokasi
relatif, dan jarak, nilai kepentingan umum pelayanan sarana dan prasarana kota
seperti listrik, ketersediaan air baku, prasarana jalan, dan harga lahan. Dengan
kata lain nilai lahan berkaitan langsung dengan guna lahan, jaringan jalan,
status lahan dan perkembangan kota. Faktor lokasi relatif berkaitan dengan
posisi lahan itu sendiri. Secara geografis Kuala Enok sangat menarik bagi
investor karena letak atau lokasi lahannya sangat strategis, didukung dengan
adanya jalan ke pelabuhan samudra yang menghubungkan wilayah antara

________________________ 112
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
kabupaten Indragiri Hulu, Kuansing dan Kabupaten Tamjung Jabung Timur
Provinasi Jambi.
Jarak atau kedekatan lokasi terhadap pelayanan kota relatif dekat, baik
skala pelayanan kota maupun skala pelayanan tingkat regional dan nasional.
Fasilitas pelayanan kota tingkat kabupaten dapat ditempuh dalam waktu 1 jam
dengan menggunakan speed boad dan dengan jalan Darat selama 2 jam.
Tinggi rendahnya harga lahan di wilayah ini lebih banyak dipengaruhi
oleh tingginya kegiatan komersial. Semakin dekat dengan fasilitas kota, maka
harga lahan semakin tinggi. Begitu juga ketersediaan pelayanan umum seperti
prasarana jalan, ketersediaan air, listrik sangat mempengaruhi nilai lahan.
Secara geografis Kuala Enok sangat potensial untuk pengembangan non-
permukiman (lahan industri), karena selain dekat dengan pusat industry PT.
Pulau Sambu juga adanya potensi ketersediaan tenaga listrik dan sumber air.
Sumber air baku di Kuala Enok adalah Sungai Kuala Enok yang dimuarai
oleh sungai kecil lainnya yang mempunyai debit air tahunan rata-rata sebesar
63 m3/det.
Harga lahan tertinggi di Kuala Enok terdapat di pusat kota, sepanjang
jalan utama (arteri sekunder), yaitu desa selat nama Kecamatan Tanah Merah
dengan harga Rp. 20.000 per M2. Kemudian nilainya menurun ke arah
belakang, yaitu wilayah yang dilalui jalan pelabuhan samudra.
. Dalam pemilihan lokasi industri, nilai lahan menjadi salah satu
pertimbangan. Adapun faktor-faktor lain sebagaimana tersebut di atas, seperti
faktor jarak terhadap aktivitas komersial dan lain-lainnya, keterkaitannya
dengan harga lahan saat ini ditentukan mekanisme pasar. Dengan demikian,
nilai lahan dan harga lahan sangat bervariasi dan berfluktuasi mengikuti
perkembangan pasar dan waktu.

________________________ 113
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
5.4.4 Aksesbilitas dan Infrastruktur
Analisis aksesibilitas dan prasarana jalan adalah tinjauan mengenai
tingkat kemudahan dan kelancaran dalam melakukan kegiatan aktivitas serta
dukungan prasarana jalan yang menghubungkan wilayah pemasaran (output)
dan wilayah bahan baku (input). Ditinjau dari sisi aksesibilitas, Kuala Enok
dilalui dengan angkutan darat dan prasarana jalan secara eksternal kota sangat
mendukung. Kuala Enok dilalui jalan pelabuhan samudra sepanjang 298,6 km,
yang menghubungkan kota pekanbaru tersebut dengan Pelabuhan Samudra,
yang merupakan pintu gerbang ke arah Inhil Selatan menuju Sumatra, dan yang
menghubungkan Kuala Enok dengan Pekanbaru sebagai pusat aktivitas
perekonomian Provinsi. Kondisi ini tentu saja memudahkan dalam kegiatan
pemasaran maupun dalam penyediaan bahan baku, melalui Pelabuhan
Samudra.

Gambar 5.11: Peta Aksessibilitas Lokasi Kawasan Klaster Industri

________________________ 114
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Adapun aksesibilitas transportasi darat secara internal dalam kota, yaitu
prasarana jalan yang menghubungkan setiap wilayah Kuala Enok dapat
ditempuh melalui angkutan darat. Namun, belum semua wilayah dapat
terlayani angkutan umum. Angkutan umum baru terlayani pada jalur jalan
pelabuhan samudra ke Provinsi Riau dan Jambi. Di wilayah ini juga belum ada
fasilitas terminal angkutan umum skala kota yang mendukung lancarnya
aktivitas perkotaan. Hal tersebut membawa pengaruh terhadap kelancaran
aktivitas masyarakat menuju Kuala Enok, sehingga menghambat kelancaran
arus barang dan orang.
Aktivitas industri yang ada di Kuala Enok, yaitu input bahan baku dan
output ke wilayah pemasaran seperti alat transportasi dan fasilitas terminal peti
kemas belum tersedia kecuali pada PT. Pulau Sambu yang berseberangan calon
lokasi kawasan industri dan dilakukan secara mandiri oleh pihak perusahaan,
sehingga aktivitas industri cukup lancar. Aktivitas industri yang ada sekarang,
terutama pemasaran produksi (output) berskala regional dan nasional berupa
hasil olahan kopra dan kelapa lainnya. Input bahan baku berupa CPO dan
kelapa (kopra) dari berbagai daerah di Indragiri Hilir terutama dari bahagian
selatan dan tengah. Aktivitas industri dalam input barang dan pemasaran
barang, selain menggunakan angkutan darat dan laut, juga melalui transportasi
laut yang membutuhkan fasilitas dermaga dan pelabuhan laut.
Transportasi darat untuk kepentingan input bahan baku maupun output
barang menuju wilayah pemasaran, dari dan menuju Kuala Enok cukup lancar,
karena dukungan prasarana jalan pelabuhan samudra yang menghubungkan
Kuala Enok dengan pelabuhan lainnya.
Pola pergerakan angkutan barang dan penumpang yang sudah terbentuk
saat ini belum mampu meningkatkan dan mengembangkan kegiatan
perekonomian di wilayah Kabupaten Indargiri Hilir dikarenakan masalah
aksesibilitas, kondisi jalan dan belum terpadunya sistem transportasi yang ada.
Orientasi dari hasil komoditas tanaman pangan dari kawasan sentra produksi

________________________ 115
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Kecamatan Tanah Merah saat ini mayoritas diarahkan menuju Kuala Tungkal
(Propinsi Jambi) dan Tanjung Balai Karimun (Propinsi Jambi) menggunakan
angkutan laut dengan waktu tempuh rata-rata 6 jam perjalanan. Hasil
perkebunan dari Kecamatan Tanah Merah sebagian besar diorientasikan
menuju Rengat, sedangkan CPO dan karet diorientasikan menuju Pelabuhan
Dumai.
Dalam paparan tersebut terlihat bahwa antara transportasi darat, laut
dan sungai belum terpadu. Pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di Kabupaten
Indargiri Hilir belum sepenuhnya menjalankan fungsi distribusi barang dan
pergerakan penumpang dari dalam wilayah Kabupaten Indargiri Hilir sendiri.
Sementara itu, jalur jalan yang ada masih banyak yang rusak yang
mengakibatkan beberapa bagian wilayah di Kabupaten Indragiri Hilir terisolasi.
Dan sementara itu keberadaan dermaga sungai juga belum dimanfaatkan
seoptimal mungkin, sedangkan pergerakan penumpang sendiri berupa
pergerakan lokal, intra regional dan antar regional, di dalam wilayah
Kabupaten Indragiri Hilir sendiri, maupun menuju daerah lain.
Dimasa mendatang, terminal angkutan barang dan penumpang yang
diperlukan guna medukung pengembangan wilayah dan perekonomian di
Kabupaten Indragiri Hilir adalah memprioritaskan pembangunan dengan jenis
terminal pelabuhan yang juga sekaligus memiliki pergudangan yang
dipergunakan untuk menampung barang-barang produksi dari pertanian,
perkebunan, kehutanan, dan perikanan, yang dialokasikan di semua pelabuhan
yang ada. Pada tahapan selanjutnya, yang menjadi prioritas pembangunan
adalah pengembangan dermaga-dermaga sungai sebagai tempat pengumpul
dan akses menuju pelabuhan.

a. Ketersediaan Jaringan Jalan


Permasalahan infrastruktur jalan di Provinsi Riau secara umum bukanlah
terletak pada kurangnya ruas jalan yang ada, tetapi terletak pada kualitas
jalannya. Jalan-jalan yang melintasi daerah-daerah di Provinsi Riau sudah
________________________ 116
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
berhasil menghubungkan berbagai titik di daerah ini. Rasio panjang jalan
dibandingkan dengan luas wilayah sudah lebih dari cukup. Tetapi, jika ditinjau
dari kualitas jalannya, maka keadaan yang sebaliknya terjadi. Jalan-jalan yang
ada, baik jalan nasional, jalan provinsi, maupun jalan kabupaten/kota yang
dalam kondisi baik rata-rata tidak sampai 50%. Hal ini menyebabkan berbagai
hal diantaranya:

- Waktu tempuh lebih lama


- Kerusakan kendaraan lebih cepat
- Biaya produksi (dari transportasi) menjadi lebih mahal
- Mempercepat kerusakan jalan pada tahap selanjutnya
Jika seandainya jalan-jalan yang ada di Provinsi Riau dalam kondisi baik,
dan bisa dilalui dengan kecepatan antara 50 sampai 60 km/jam oleh truk-truk
yang ada, maka titik-titik terjauh di dalam Provinsi Riau (termasuk dengan
daerah-daerah produksi kelapa sawit di perbatasan dengan Sumatera Utara dan
Jambi) ini bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 12 jam. Ini berarti, dari segi
ketersediaan jalan tidak menjadi masalah.
Kondisi geografis Provinsi Riau, khususnya bagian yang berada di pesisir
timur Pulau Sumatera—yakni tempat dimana Kuala Enok berada—didominasi
oleh tanah rawa gambut dengan ketebalan bervariasi antara 1 sampai 15 meter.
Sifat tanah gambut yang labil, tidak padat, dan mengalami penurunan
(konsolidasi) yang besar menyebabkan pembangunan infrastruktur jalan di
daerah ini menjadi lebih sulit dan mahal.

b. Struktur Perkerasan Jalan


Pembangunan jalan di daerah ini biasanya dilakukan dengan
stabilisasi/perkuatan tanah dasar, dengan membuang bagian tanah yang lunak,
melapisi bagian dasar dengan struktur geotekstil, lalu mengisinya dengan tanah
timbunan yang dipadatkan, lalu finishing dengan struktur perkerasan pada

________________________ 117
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
bagian paling atas. Pilihan struktur perkerasan yang selama ini dipakai adalah
perkerasan lentur (flexible pavement) dengan lapisan aspal seperti jalan pada
umumnya. Pengalaman menunjukkan bahwa perkerasan dengan aspal ini
tidak bisa bertahan lama di daerah tanah gambut karena struktur tanahnya
yang labil. Kerusakan jalan diperparah lagi dengan beratnya beban kendaraan
truk pengangkut yang bisa mencapai 40 ton.
Karena itu, perkerasan lapisan atas yang diusulkan untuk infrastruktur
jalan di wilayah pesisir ini adalah perkerasan kaku (rigid pavement) dari beton
bertulang. Tebal perkerasan dari beton bertulang ini bisa bervariasi mulai dari
30 cm sampai 50 cm, tergantung kepada keadaan tanah dasarnya.
Tabel 5.29 memperlihatkan perbandingan biaya pembangunan jalan
antara perkerasan lentur yang menggunakan aspal sebagai penutupnya dengan
perkerasan kaku yang menggunakan beton bertulang sebagai penutup
perkerasannya. Spesifikasi jalannya adalah lebar perkerasan 7,0 m (dua lajur
dengan lebar masing-masing 3,5 m), dan lebar bahu jalan yang diperkeras 2,0 m
(kiri dan kanan jalan).
Untuk kedua sistem perkerasan ini, stabilisasi perkuatan tanah dasar
dianggap sama, dengan asumsi pembangunan dimulai dari keadaan alami
tanah seperti aslinya. Biaya stabilisasi/perkuatan tanah dasar berkisar Rp 2
milyar untuk setiap km. Perbedaan terletak pada perkerasannya, dimana untuk
perkerasan lentur, biayanya sekitar Rp 1 milyar per km, sedangkan untuk
perkerasan kaku biayanya adalah Rp 2,1 milyar (untuk tebal beton bertulang 30
cm) sampai Rp 3,5 milyar (untuk tebal beton bertulang 50 cm).

________________________ 118
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Tabel 5.29: Perbandingan Perkiraan Biaya Pembangunan Jalan Dengan
Perkerasan Lentur (Flexible) Dan Perkerasan Kaku (Rigid)

Biaya per km (dalam Rp milyar)


Pekerjaan
Flexible Pavement Rigid Pavement
Stabilisasi/perkuatan tanah dasar 2,0 2,0
Lapis permukaan 1,0 2,1 sampai 3,5
Biaya total 3,0 4,1 sampai 5,5

Kondisi jalan-jalan yang ada saat ini di Riau adalah sudah memiliki
stabilisasi/perkuatan tanah dasar dan sebagian besar sudah diberi lapis
permukaan dengan perkerasan lentur (aspal) dengan kualitas yang buruk
karena kerusakan jalan. Strategi perbaikan jalan kedepan adalah dengan
mengganti seluruh sistem perkerasan lentur ini dengan membangun di atasnya
perkerasan rigid dari beton bertulang dengan ketebalan antara 30 cm sampai 50
cm tergantung keadaan tanah pada masing-masing tempat. Biayanya berkisar
antara Rp 2,1 milyar sampai Rp 3,5 milyar.
Biaya perkerasan kaku ini memang tampaknya cukup besar, tetapi sekali
dibangun, tidak membutuhkan biaya pemeliharaan yang besar, sehingga dalam
jangka panjang (di atas 10 tahun), perkerasan kaku ini akan menguntungkan.
Tabel 5.30 memperlihatkan panjang dan kondisi jalan menuju Kuala Enok.
Untuk Jalan Rumbai Jaya – Kuala Enok yang belum diaspal sepanjang 45 km
diperlukan biaya sebesar Rp. 94,5 milyar hingga Rp.157,5.

Tabel 5.30: Panjang dan kondisi jalan menuju Kuala Enok

No Ruas Jalan Panjang Keterangan


jalan (km)
1 Rengat – Rumbai Jaya 66,30 Aspal
2 Belilas – Rumbai Jaya 50,00 Aspal
3 Tembilahan - Rumbai Jaya 45,50 Aspal
4 Rumbai Jaya – Kula Enok 66,50 45 km perkerasan

________________________ 119
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Pembangunan jalan segera diupayakan mengingat lokasi kawasan industri kuala
enok dengan sumber bahan baku jaraknya cukup jauh dan bervariasi, berikut
ditampilkan peta lokasi PKS dan jarak antara PKS dengan kawasan industri Kuala Enok.

Gambar 5.12: Peta Lokasi PKS se Riau dengan Jarak Tempuh ke Kawasan Industri
Kuala Enok.

Berikut disajikan jarak lokasi PKS dengan kawasan industri Kuala Enok pada
Tabel 5.31. Dari data tersebut menunjukkan bahwa jarak lokasi PKS terdekat dengan
kawasan industri Kuala Enok adalah 66,47 km, sedangkan lokasi PKS yang paling jauh
adalah 315,60 km dengan rata-rata jarak lokasi PKS ke kawasan industri Kuala Enok
adalah 204,88 km.

________________________ 120
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Tabel 5.31: Jarak Lokasi PKS dengan Kawasan Industri Kuala Enok

No Kabupaten Kecamatan Desa Perusahaan Kapasitas Olahan Jarak. Tempuh


20 Rokan Hulu Kunto Darussalam Teluk Sono PT. Hutahaean II 30 CPO/Kernel 283,490.00
21 Pelalawan Bunut PT. Serikat Putra I 45 CPO/Kernel 255,900.00
22 Pelalawan Bunut PT. Serikat Putra II 30 CPO/Kernel 255,900.00
23 Pelalawan Bunut Kebun Kuala Terusan PT. Adei Plantation 45 CPO/Kernel 255,900.00
24 Kuantan Singingi Cerenti PT. Cerenti Subur 45 CPO/Kernel 240,700.00
41 Indragiri Hilir Tempuling Sungai Gantang PT. Agro Sarimas Indonesia 45 CPO/Kernel 66,470.00
49 Pelalawan Kuala Kampar PT. Multi Gambut Industri 30 CPO/Kernel 201,900.00
50 Kuantan Singingi Kuantan Hilir PT. Wanajingga Timur 45 CPO/Kernel 244,200.00
51 Kuantan Singingi Kuantan Mudik Pangkalan PT. Tri Bakti Sarimas 60 CPO/Kernel 315,600.00
52 Kuantan Singingi Kuantan Tengah Benai PT. Duta Palma Nusantara 60 CPO/Kernel 246,000.00
53 Kuantan Singingi Kuantan Tengah PT. Asia Sawit Makmur Jaya 30 CPO/Kernel 246,000.00
59 Kuantan Singingi Logas Tanah Darat Petai PT. Wanasari Nusantara 45 CPO/Kernel 291,400.00
60 Kuantan Singingi Logas Tanah Darat PT. Citra Riau Sarana 1 30 CPO/Kernel 291,400.00
61 Kuantan Singingi Logas Tanah Darat PT. Citra Riau Sarana 2 30 CPO/Kernel 291,400.00
62 Indragiri Hulu Lubuk Batu Jaya Air Putih PT. Inti Indo Sawit Ukui II 30 CPO/Kernel 192,600.00
73 Pelalawan Pangkalan Kuras PT. Surya Bratasena Plantation 30 CPO/Kernel 250,400.00
74 Pelalawan Pangkalan Kuras Pangkalan Kuras PT. Musim Mas 90 CPO/Kernel 250,400.00
75 Pelalawan Pangkalan Lesung Genduang PT. Sari Lembah Subur I 60 CPO/Kernel 220,900.00
76 Indragiri Hulu Pasir Penyu Balilas PT. Tunggal Perkasa Plantation 60 CPO/Kernel 173,000.00
77 Indragiri Hilir Pelangiran PT. Bumi Reksa Nusa Sejati 60 CPO/Kernel 163,000.00
78 Indragiri Hilir Pelangiran POM I Pulai PT. Multi Gambut Industri 120 CPO/Kernel 163,000.00
79 Indragiri Hilir Pelangiran POM II Suntai PT. Multi Gambut Industri 10 CPO/Kernel 163,000.00
80 Indragiri Hilir Pelangiran PKS Nyato PT. Multi Gambut Industri 45 CPO/Kernel 163,000.00
81 Indragiri Hilir Pelangiran PT. Multi Gambut Industri 45 CPO/Kernel 163,000.00
82 Indragiri Hilir Pelangiran PT. Multi Gambut Industri 45 CPO/Kernel 163,000.00
83 Indragiri Hulu Peranap Air Molek PT. Indri Plant 30 CPO/Kernel 187,300.00
________________________ 121
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
84 Indragiri Hulu Peranap PT. Rigunas Agri Utama 60 CPO/Kernel 187,300.00
92 Indragiri Hulu Rengat Barat Talang Jerinjing PT. Talang Jerinjing Palm Oil Mill 158,100.00
93 Indragiri Hilir Reteh PT. Bumi Palma Lestari Psd 30 CPO/Kernel 110,400.00
97 Indragiri Hulu Siberida PT. Mega Nusa Inti Sawit 30 CPO/Kernel 128,600.00
98 Indragiri Hulu Siberida PT. Kencana Amal Tani 45 CPO/Kernel 128,600.00
99 Indragiri Hulu Siberida PT. Inecda Plantations 30 CPO/Kernel 128,600.00
100 Indragiri Hulu Siberida PT. Nirmala Abdi Damai 30 CPO/Kernel 128,600.00
101 Indragiri Hulu Siberida PT. Nikmat Halona Reksa 45 CPO/Kernel 128,600.00
103 Kuantan Singingi Singingi PT. Manunggal Muara Palma 60 CPO/Kernel 310,300.00
144 Pelalawan Ukui Silikuan Hulu PT. Inti Indo Sawit Subur Ukui I 60 CPO/Kernel 216,300.00
145 Pelalawan Ukui PT. Gandahera Hendana 30 CPO/Kernel 216,300.00

________________________ 122
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
c. Jembatan

Pembangunan Jembatan menuju kawasan industri Kuala Enok pada


umumnya sudah terealisasi dengan konstruksi rangka baja, namun
kapasitasnya masih rendah yaitu 8 hingga 10 ton. Jadi untuk kegunaan
angkutan kawasan industri perlu adanya peningkatan kapsitas jembatan
menjadi 30 ton hingga 40 ton dengan lebar minimum 7 m. Perkiraan biaya
pembangunan jembatan adalah Rp 40 juta hingga 50 juta per m2 atau Rp 280
juta hingga Rp.350 juta untuk setiap meter panjang jembatan, ini tergantung
pada kondisi tanah dasar dan tipe pondasi untuk setiap jembatan yang akan
dibangun. Untuk ruas jalan Rumbai Jaya- Kuala Enok terdapat sebanyak 46
buah jembatan dengan bentangan berfariasi antara 30 sampai 50 meter.

d. Pelabuhan
Kawasan Klaster Industri kelapa Sawit yang terletak disebelah Barat
Kuala Sungai Enok memiliki pelabuhan Samudera. Pelabuhan yang dibangun
pada tahun.1990 terdiri dari dua bagian yaitu bentangan berukuran 160 m x 7m
dan abutmen berukuran 80 m x 8 m (Gambar 5.12).

Gambar 5.12: Pelabuhan Samudra Kuala Enok


________________________ 123
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Infrastruktur yang ada di pelabuhan Samudra tersebut dapat dilihat pada
tabel. 5.27 Dari tabel tersebut diketahui bahwa pelabuhan yang terbuat dari
beton berada pada sebuah sungai dengan kedalaman rata-rata 10 m. Sedangkan
ukuran alur pelayaran di pelabuhan tersebut adalah 10,8 mile, kedalaman 5,5-
11 meter, lebar 600 meter. Dengan kondisi seperti ini pelabuhan tersebut dapat
disinggahi kapal dengan bobot sampai 35.000 DWT.
Pelabuhan Samudra kuala Terlindung dari gelombang langsung yang
berasal dari Selat Berhala oleh Tanjung Patah Parang yang berada disebelah
timur Pelabuhan tersebut. Dengan kondisi seperti ini pelabuhan tersebut
terhindar dari abrasi dan aman untuk melakukan proses bongkar muat.
Pelabuhan yang berada dipesisir timur Pulau Sumatera ini memiliki
askes ke Selat Malaka melalui alur pelayaran Selat Berhala, di samping itu
pelabuhan ini terhubung oleh jalan Provinsi dengan Kabupaten lain seperti
Indragiri Hulu, Pelalawan dan Kuansing, dengan demikian pelabuhan ini
memili akses untuk mendatangkan bahan baku dari berbagai sentra produksi
perkebunan.

Tabel 5.31: Jenis dan kapasitas infrastruktur di Pelabuhan Samudra.

Jenis Infrastuktur Kapasitas

Jalan dalam kawasan Industri


Dermaga 35,000 DWT
Pembangkit Energi Listrik Belum Tersedia
Instalasi Air Bersih Belum Tersedia
Terminal Belum Tersedia
Instalasi Pengolahan Limbah Belum Tersedia
Dermaga Beton 80 Meter Kedalaman rata-rata 10 m
Alur Pelayaran 10,8 mile, kedalaman 5,5-11 meter lebar 600 meter
Jalan dan Jembatan Lebar aspal 7 m, 45 KM belum Aspal
Tanah pelabuhan 105 ha

________________________ 124
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Namun demikian dilihat dari aspek kelayakan pelabuhan untuk menjadi
pelabuhan export dan import industri hilir kelapa sawit belum memadai, oleh
karena itu diperlukan pengembangan pelabuhan tersebut yang dilengkapi
dengan fasilitas misalnya adanya kargo padat, liquid dan container. Sebuah
pelabuhan yang layak untuk dijadikan pelabuhan sesuai dengan kebutuhan
tersebut sangat ditentkan oleh kedalaman laut, misalnya jika sebuah kapal yang
belabuh di pelabuhan tersebut dengan kapasitas 50.000 DWT maka alur laut
pelayaran harus lebih luas 1,5 kali dari panjang kapal yang berlabuh tersebut,
sebagaimana terlihat pada Gambar berikut.

Gambar 5.13: Kapasitas dan Fasilitas Pelabuhan

Gambar pelabuhan dengan panjang 600 meter dan panjang lintang 420
meter dengan lebar 12 meter serta kedalaman 14 meter. Fasilitas pelabuhan
tersebut sudah dilengkapi dengan pelabuhan kargo padat dan cair, namun
belum tersedia pelabuhan kontainer.

e. Water Treatment
Penyediaan air bersih sangat diperlukan, karena air merupakan salah
satu variabel penting dalam pemenuhan kebutuhan air sebuah kawasan

________________________ 125
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
industri. Sehubungan dengan itu maka diperlukan sumber air baku yang cukup
untuk menopang kebutuhan air di kawasan industri kelapa sawit Kuala Enok.
Untuk melihat sejauh mana ketersediaan bahan baku air di kawasan industri
Kuala Enok ini, akan kemukakan potensi dan ketersediaan air baku yang dapat
digunakan untuk mensupply kebutuhan air di kawasan tersebut.
Dilihat dari sumber bahan baku, dikenal dua jenis utama bahan baku air
yang ada di kuala Enok yaitu air permukaan dan air tanah. Dari kedua sumber
ini, air permukaan lebih memungkinkan untuk digunakan sebagai air baku
untuk industri di Kawasan industri Kuala Enok, karena di kawasan ini terdapat
banyak sungai dan rawa yang dapat digunakan sebagai sumber air baku.
Kondisi ini di dukung oleh keadaan kawasan ini yang terletak pada ketinggian
1-4 dpl dengan kemiringan lahan 0-2% dan terdiri dari tanah endapan dan
gambut. Dengan kata lain, beberapa bagian dari kawasan Klaster Industri
kelapa sawit kuala Enok merupakan daerah rawa yang selalu tergenang air.
Keluasan rawa dikawasan ini diperkirakan sebanyak 1374,76 Ha.
Selain rawa, sumber air baku lainnya adalah sungai. Sungai merupakan
suatu bentuk ekosistem aquatik yang mempunyai peran dalam daur hidrologi
dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah
sekitarnya. Di Kawasan Kuala Enok terdapat beberapa sungai yang sangat
potensial untuk dijadikan sebagai sumber air baku untuk air bersih dalam
pengembangan industri hilir kelapa sawit.
Berdasarakan hasil pengamatan lapangan di Kecamatan Tanah Merah
terdapat sebuah sungai yang sudah difungsikan sebagai sumber air baku untuk
industri dan masyarakat yaitu sungai Pinang Besar. Sungai Pinang Besar ini
telah dijadikan waduk atau reservoir untuk menampung air tawar, dengan cara
membendung bahagian hulu dan hilir sungai tersebut, serta membuat tanggul
kiri dan kanan sungai. Dengan cara ini telah terbentuk sebuah waduk
berukuran 120 meter lebar, 1000 meter panjang dengan kedalaman 9 meter
sedangkan untuk penggunaan masyarakat dengan panjang 2.500 meter. Tujuan

________________________ 126
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
pembendungan sungi ini adalah untuk menghalangi masuknya air asin/payau
ke dalam waduk. Tinggi air dalam waduk hampir mencapai 8 meter. Di
sekeliling waduk terdapat daerah tangkapan air seluas lebih kurang 2000 Ha.
Kawasan tanggapan air ini merupakan sebuah kawasan rawa yang terletak di
zona antara peralihan daratan kering secara permanen dan perairan yang berair
secara permanen. Waduk PT. Pulau Sambu dapat dilihat sebagai berikut.

Gambar 5.14: Reservoir Air Bersih PDAM Kuala Enok yang di Bangun Oleh PT.
Pulau Sambu.

Bendungan Sungai Pinang Besar ini (Gambar atas) terletak di sebelah


Barat Kawasan klaster industri. Jarak antara bendungan dengan Kawasan
klaster adalah 5 km. Dipinggir waduk tersebut banyak di tumbuhi oleh pohon
nipah. Sebagian air baku yang berasal dari bendungan ini telah digunakan oleh
Industri pengolahan kelapa PT. Pulau Sambu, sedangkan sebagian digunakan
untuk masyarakat dan telah dilengkapi dengan instalasi pengolahan air bersih.
Jumlah air yang dihasilkan dari waduk tersebut sebanyak 960.000 m 3 dan telah
dilengkapi oleh instalasi air bersih (lihat Gambar 5.7). Jika waduk dapat dibuat
________________________ 127
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
dilokasi kawasan industri kuala enok dengan kapasitas yang sama maka
kebutuhan air industri dapat terpenuhi. Kebutuhan air bersih sebuah pabrik
oleokimia (fatty acids) dengan kapasitas produksi 6.000 ton per tahun adalah
127,010 m3 per tahun. Dengan demikian ketersediaan air di waduk tersebut
dapat memenuhi 8 pabrik oleokimia

Gambar 5.15: Instalasi Air Bersih dari Waduk PT. Pulau Sambu.
Pembangunan waduk atau servoir seperti di atas dapat dijadikan model
untuk membangun sumber air baku di kawasan industri Kuala Enok, karena
selain sungai Pinang Besar masih ada beberapa buah sungai dan anak sungai
yang bisa difungsikan sebagai waduk penampung air baku untuk industri dan
air minum di kawasan ini.
Hasil pemetaan luas kawasan klaster industri kelapa sawit Kuala Enok
lebih kurang 5.203 Ha yang terletak di dua Kemacatan dan diantara dua sungai
besar yaitu sungai Enok dan sungai Patah Parang. Ke dalam sungai ini
bermuara banyak anak-anak sungai. Diantara anak sungai tersebut memiliki
potensi untuk dijadikan waduk atau reservoir sebagai sumber bahan baku air
tawar untuk memenuhi kebutuhan industri yang akan dibangun. Adapun anak-

________________________ 128
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
anak sungai yang bermuara ke sungai kuala enok dan sungai Patah Parang
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.32: Nama Anak-Anak Sungai Yang Bermuara Ke Sungai Enok Dan
Sungai Patah Parang.

A Nama anak sungai yang bermuara ke sungai Enok Panjang (m)


1 Sungai Parit Melu 2.537
2 Sungai Parit Baru 1.798
3 Sungai Parit Merah 1.430
4 Sungai Tanpa Nama 2.394
5 Sungai Tanpa Nama 1.479
6 Sungai Tanpa Nama 1.952
7 Sungai Teruk 5.658

B Nama anak sungai yang bermuara ke sungai Patah Parang


1 Sungai Sarah 4.629
2 Sungai Menit 4.282
3 Sungai Tanpa Nama 1.406
4 Sungai Buntu 1.668
5 Sungai Temimang 2.573
6 Sungai Tinggal 2.943
7 Sungai Perigi 2.766
8 Sungai Tungku 2.779
9 Sungai Terus 3.82

Dari tabel tersebut terlihat ada 16 buah anak sungai yang membentang di
kawasan klaster industri Kelapa Sawit Kuala Enok tersebut. 7 buah diantara
anak sungai tersebut mengalir ke Sungai Enok dan 9 buah anak sungai yang
lain mengalir ke sungai Patah Parang. Hulu dari anak sungai tersebut ada yang
bercabang dan ada yang tidak, tetapi hampir semua anak-anak sungai tersebut
terhubung dengan rawa yang merupakan daerah genangan air.
________________________ 129
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Dilihat dari panjang anak sungai di kawasan ini ada yang melebihi
panjang sungai Pinang Besar yang sudah dijadikan waduk penghasil air baku di
Kecamatan Tanah Merah. Hal ini berarti banyak anak sungai yang bisa di alih
fungsikan untuk dijadikan waduk seperti pembuatan waduk yang berasal dari
sungai Pinang Besar.
Sebagian besar pinggir sungai Enok, Patah Parang, dan anak-anak sungai
yang bermuara ke dua sungai tersebut ditumbuhi oleh hutan mangrove,
terutama nipah. Keberadaan rawa beserta tanaman nipah disekitar waduk
sangat penting bukan saja sebagai daerah tangkapan air, tetapi juga karena
keberadaan tumbuh-tumbuhan tersebut secara tidak langsung berfungsi dalam
proses pembersihan air (Khiatuddin, 2003).
Kondisi badan air yang ada di dalam sungai dan rawa yang terdapat di
kawasan ini, dipengaruhi oleh tiga kompenen utama yaitu hidrologi
(hydrology), Keadan fisika kimia (physico-chemistry) dan biologi (biology) di
dikawasn tersebut. Berdasarkan siklus hidrologi, air yang berasal dari air hujan
yang sampaikan ke permukaan bumi akan mengalir dari hulu ke hilir, dari
daerah yang lebih tinggi ke daerah yang lebih rendah. Apabila di daerah
rendah ini dibuat waduk penampung air, maka untuk memprediksi jumlah air
yang dapat bisa mengisi waduk tersebut perlu diketahui Keadaan klimatologi
kawasan tersebut dan luas tangkapan air di sepanjang sungai.
Kondisi klimatologi wilayah kecamatan Sungai Batang dan Tanah Merah
pada tahun 2008 menurut Data BPS dapat dilihat pada Tabel 5.28. Jumlah
curah hujan di Kecamatan Sungai Batang adalah berkisar antara 5 – 13 mm,
sedangkan jumlah curah hujan di Kecamatan Tanah Merah berkisar antara 4-13
mm. Jumlah hujan tertinggi di Kecamatan Sungai Batang terjadi pada bulan
September dan November yakni 13 mm, sedangkan jumlah hujan tertinggi di
Kecamatan Tanah Merah terjadi pada bulan Februari yakni 13 mm.

________________________ 130
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Jika dilihat dari jumlah hujan di kedua kecamatan ternyata jumlah hujan
tertinggi relatif sama yakni 13 mm, namun demikian waktu terjadinya jumlah
hujan tertinggi berbeda seperti dikemuakan di atas.
Pada tabel yang sama juga terlihat banyaknya hari hujan di masing-
masing kecamatan. Di Kecamatan Sungai Batang banyak hari hujan berkisar
antara 62 – 200 hari, di mana banyak hari hujan tertinggi terjadi pada bulan
April dan Juni, Sedangkan di Kecamatan Tanah Merah banyaknya hari hujan
berkisar antara 50-210 hari hujan, dimana banyak hari hujan tertinggi terjadi
pada bulan Desember.

Tabel 5.33: Banyaknya Curah Hujan dan hari hujan Kecamatan Sungai Batang
dan Kecamatan Tanah Merah pada tahun, 2008

Curah Hujan Hari Hujan


Bulan Kec Sungai Kec. Tanah Kec Sungai Kec. Tanah
batang Merah batang Merah
Januari - 12 - 150
Februari - 13 - 170
Maret 18 180
April 10 8 200 126
Mei 6 5 96 50
Juni 7 9 200 105
Juli 5 8 62 165
Agustus 9 4 107 75
September 13 7 167 175
Oktober 11 4 137 51
November 13 6 191 120
Desember 7 7 120 210
Jumlah 18 86 1280 1.577
Sumber data BPS: Kec. Sungai Batang dan Kec. Tanah Merah 2008.

Dari data di atas juga terlihat tidak ada batasan yang jelas tentang musim
kemarau dan musim hujan, yang jelas hampir setiap bulan terjadi hujan di
kedua Kecamatan tersebut meskipun jumlah hari hujannya relatif sedikit.
Berdasarkan data klimatologi di kedua kecamatan ini, maka kawasan
Klaster Sawit Kuala Enok tergolong pada daerah beriklim tropis basah dengan
________________________ 131
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
udara yang agak lembab. Disamping indikator penentu jenis tanah,
keberadaaan pohon nipah ini bisa dijadikan indikasi bahwa sebagaian lahan
yang ada di kawasan ini terendam oleh air pasang dengan kadar salinitas relatif
rendah. Menurut Supriharyono (2000) nipah tumbuh pada salinitas 0-10 ‰.
Hal itu berarti meskipun kawasan ini terletak di kawasan pesisir pulau
Sumatera, tapi kandungan salinitas airnya relatif rendah. Dengan kadar salinitas
yang rendah ini, maka air yang ada di kawasan ini dengan teknologi tertentu
bisa dijadikan sumber air tawar.

f. Power Plant
Limbah sawit dapat digunakan sebagai alternatif bahan bakar power plant
sekaligus sebagai sumber energy yang dapat dimanfaatkan oleh industri di
Kawasan Kuala Enok tersebut. Selain merupakan energy ramah lingkungan,
emisi gas buang dari power plant itu sendiri memiliki kandungan sulphur yang
kecil sehingga cukup aman untuk lingkungan.
Dari neraca massa pengolahan sawit, 100% tandan buah segar,
mengandung limbah sawit berupa tandan buah kosong (empty fruit bunch) 21%,
Cangkang (shell) 6,4% dan serabut (fibre) 14,4%.

Gambar 5.16 Tandan Buah Segar (Empty Fruit Bunch)

________________________ 132
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Gambar 5.17 Cangkang (shell)

Gambar 4. Serabut (Fibre)

Gambar 5.18 Serabut (Fibre)

a. Analisa Nilai Kalor Bahan Bakar Serabut dan Cangkang Sawit

Biomassa dari produk samping sawit dapat berupa serabut sawit (fibre),
cangkang (shell), dan tandan kosong sawit (Empty fruit bunch) yang cukup
________________________ 133
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
banyak terdapat pada pabrik pengolahan Crude Palm Oil (CPO) yang belum
dimanfaatkan secara optimal. Oleh sebab itu biomassa ini mempunyai potensi
yang cukup besar untuk diolah menjadi energi alternatif. Berbagai cara untuk
mengolah biomassa ini menjadi energi alternatif diantaranya adalah dengan
proses gasifikasi dan pirolisis. Cangkang dan serat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan energi dalam Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Selain itu
digunakan sebagai bahan bakar boiler untuk memenuhi kebutuhan steam (uap
panas) dan listrik.
Tandan kosong sawit juga memiliki potensi energi yang besar sebagai
bahan bakar generator listrik. Oleh karena nilai kalor (calorific value) dari tandan
kosong sawit sebagai bahan bakar power plant dapat mencapai 18.795 kJ/kg,
maka energi yang dihasilkan dapat dikonversikan menjadi listrik dengan
jumlah yang cukup signifikan. Sebagai ilustrasi, sebuah Pabrik Kelapa Sawit
(PKS) dengan kapasitas 200 ribu ton TBS/tahun menghasilkan 46 ribu ton (lebih
kurang seperlima tandan buah segar) Tandan Kosong Sawit memiliki kadar air
65% yang mampu membangkitkan energi ekuivalen dengan 2,3 MWe (megawatt
– electric) pada tingkat efisiensi konversi 25 persen.
Alternatif lain yang dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah padat
kelapa sawit yang paling sederhana adalah menjadikannya briket arang.
Caranya dengan pemadatan melalui pembriketan, pengeringan dan
pengarangan. Pengembangan produk samping sawit sebagai sumber energi
alternatif memiliki beberapa kelebihan. Pertama , sumber energi tersebut
merupakan sumber energi yang bersifat renewable sehingga bisa menjamin
kesinambungan produksi. Kedua , Indonesia secara umum dan Propinsi Riau
secara khusus merupakan produsen utama minyak sawit sehingga ketersediaan
bahan baku akan terjamin dan industri ini berbasis produksi dalam negeri.
Ketiga, pengembangan alternatif tersebut merupakan proses produksi yang
ramah lingkungan. Keempat, upaya tersebut juga merupakan salah satu bentuk
optimasi pemanfaatan sumberdaya untuk meningkatkan nilai tambah..

________________________ 134
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Tandan buah kosong (Empty fruit bunch), cangkang (shell) dan serabut
(fibre) digunakan untuk bahan bakar power plant. Karakteristik dari material
tersebut dapat dilihat pada Table 5.29. Potensi energi yang dapat dihasilkan dari
produk samping sawit dapat dilihat dari nilai energi (calorific value).

Tabel 5.34: Palm biomass generated in year 2005

Dari tabel di atas dapat kita taksir energy dari masing-masing komponen buah
sawit. Untuk serabut (fibre), energy yang di peroleh tiap ton sebesar 19,068 MJ
sedangkan untuk cangkang (shell), energy yang diperoleh sebesar 20,108 MJ tiap
ton, serta untuk tandan buah kosong (Empty Fruit Bunch) menghasilkan energy
sebesar 18,838 MJ tiap ton.

Pada Tabel 5.35 dapat diketahui persentase komposisi kimia dari serabut,
cangkang dan tandan kosong yang digunakan untuk melihat nilai pembakaran
suatu bahan bakar. Dilihat dari kandungan sulphur yang ada, maka sisa
pembakaran bahan bakar limbah sawit tidak berbahaya (ramah lingkungan).
Sehingga sangat baik untuk bahan bakar dari power plant.

________________________ 135
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Tabel 5.35: Ultimate Analysis of Solid Oil Palm Residues

a.1 Menghitung nilai berat cangkang, tandan buah kosong (TBK) dan serabut
mengacu pada berat Tandan Buah Segar (TBS) yaitu:

a.2 Menentukan Energy Thermal tiap masing-masing material yaitu:

a.3 Menentukan Energy Listrik yang dihasilkan dengan mengkonversikan satuan


thermal menjadi kWh

________________________ 136
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Tabel 5.36: Nilai Energy Thermal Limbah Sawit di Beberapa Daerah Riau

Lokasi TBS Cangkang Tandan Kosong Fiber /Serabut Nilai Energy Thermal Nilai Energy Thermal Tandan Buah Nilai Energy Thermal
Area
(Ton/year) (Ton/year) (Ton/year) (Ton/year) Cangkang (MJ/Year) Kosong(MJ/Year) Serabut(MJ/Year)

I Dumai 1,429,049 91,459.14 300,100.29 205,783.06 1,839,060.31 5,653,289.26 3,923,871.31

Rohul 1,585,745 101,487.68 333,006.45 228,347.28 2,040,714.27 6,273,175.51 4,354,125.94

Siak 491,868 31,479.55 103,292.28 70,828.99 632,990.83 1,945,819.97 1,350,567.22

Jumlah 3,506,662 224,426,37 736,399.02 504,959.33 4,512,765.41 13,872,284.74 9,628,564.47

II Kampar 1,905,640 121,960.96 400,184.40 274,412.16 2,452,390.98 7,538,673.73 5,232,491.07

Muaro 449,266 28,753.02 94,345.86 64,694.30 578,165.81 1,777,287.31 1,233,590.99

Kuala Enok 1,342,255 85,904.32 281,873.55 193,284.72 1,727,364.07 5,309,933.93 3,685,553.04

Jumlah 3,697,161 236,618.30 776,403.81 532,391.18 4,757,920.86 14,625,894.97 10,151,635.10

________________________ 132
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Pada Tabel 5.37 menunjukkan jumlah total nilai kalori dari komponen-
komponen limbah sawit dari cangkang, tandan buah kosong dan serabut dari
area I (Dumai, Rohul dan siak) berturut-turut sebesar 4,512,765.41, 13,872,284.74
dan 9,628,564.47 MJ/year. Sedangkan untuk area II (Kampar, Muaro dan Kuala
Enok) berturut-turut sebesar 4757920.86, 14625894.97 dan 10151635.10 MJ/year.

Tabel 5.37: Energi yang dihasilkan dari Limbah Sawit

Energi Energi Energi Total


Cangkang Tandan Serabut Energi
Area Lokasi Kosong Limbah Sawit
(kWh) (kWh)
(kWh) (kWh)
I Dumai 510.89 1,570.48 1,090.05 3,171.43
Rohul 566.91 1,742.69 1,209.58 3,519.17
Siak 175.84 540.55 375.19 1,091.58
Jumlah 1,253.65 3,853.72 2,674.82 7,782.18
II Kampar 681.27 2,094.24 1,453.59 4,229.10
Muaro 160.61 493.73 342.69 997.04
Kuala Enok 479.86 1,475.10 1,023.85 2,978.81
Jumlah 1,321.75 4,063.07 2,820.12 8,204.95

Pada Tabel 5.37 dapat diketahui energy total dari limbah sawit dari
masing-masing area. Untuk Area I total energy sebesar 7,78 MWh sedangkan
untuk area II total energy yang diperoleh sebesar 8,20 MWh. Untuk pembuatan
power plant tahap awal yang bahan bakarnya sepenuhnya dari limbah sawit
dapat didirikan power plant dengan kapasitas daya sebesar 7 MWh dan 8 MWh
berturut-turut untuk area I dan II. Daya listrik sebesar 7.78 dan 8 MWh ini bisa
memasok lebih kurang untuk empat pabrik di klaster Dumai dan Kuala Enok.
Kebutuhan energi listrik sebuah pabrik fatty acids dengan kapasitas
produksi 6.000 ton per tahun sebanyak 31,753 kWh. Jika ditinjau dari aspek
ketersediaan energi dari limbah sawit dengan data tahun 2009 yang diarahkan
penggunaannya ke kawasan industri Kuala Enok, maka diperlukan
penambahan sumber energi baru terutama dari energi batu bara sebesar 23
MWh. Untuk menambah energi dari sumber energy dari batu bara (coal), sangat
________________________ 134
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
memungkinkan karena sumber energi batu bara cukup banyak di daerah Riau,
khususnya di daerah Kabupaten Kuantan singingi dan Indragiri Hilir. Energy
ini sebagai energy pendamping dari energy limbah sawit. Sebagai mana kita
ketahui energy batu bara ini memiliki nilai kalori yang lebih besar dari limbah
sawit.

5.4.5 Rencana Pembangunan Kawasan IHKS Kuala Enok

Gambar 5.19: Block Plan Rencana Pembangunan Kawasan IHKS Kuala Enok

Dari peta penggunaan lahan yang telah dijelaskan di pada Gambar 5.10
dan Tabel 5.28 dapat disusun blok plan rencana pembangunan kawasan IHKS
Kuala Enok pada lahan 5.203 ha. Dari Block Plan tahap I luas lahan yang
________________________ 135
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
diplotkan untuk kawasan industri seluas 454.58 ha. Peruntukan terluas dalam
block plan tahap I adalah industri besar dan lahan pelabuhan masing-masing
seluas 103.14 dan 105 ha. Sedangkan luas lahan tersempit adalah ruko 2.64 ha
yang diperuntukan bagi usaha dagang kebutuhan karyawan industri.

Tabel 5.38: Peruntukan Lahan Block Plan Tahap I Klaster Kuala Enok
No Peruntukan Lahan Luasan (ha)
1 Industri Kecil 10.91
2 Industri Sedang 52.20
3 Industri Besar 97.10
4 Power Plant 6.04
4 Gudang Kecil 7.68
5 Gudang Sedang 24.67
6 Gudang Besar 61.99
7 Perkantoran 12.25
8 Kantor Pengelola 6.15
9 Perumahan 15.96
10 Ruko 2.64
11 Water Treatment 4.56
12 IPAL 5.81
13 Tempat Rekreasi 13.97
14 Fasilitas Umum 3.92
15 Permukiman Eksisting 23.73
16 Pelabuhan 105.00
Total Area Tahap I 454.58

Peruntukan lahan yang menjadi industri inti adalah oleofood, oleokimia


dan biodisiel. Namun demikian industri UMKM juga akan menjadi prioritas
dalam block plan tahap I terutama untuk industri yang dapat diusahakan dalam
skala kecil dengan teknologi sederhana seperti industri minyak goreng, sabun
colek dan lainnya.
Adapun tahapan rencana pembangunan kawasan industri Kuala Enok
yang mengacu pada block plan tahap I adalah: 2011: Pembebasan Lahan; 2012:
Pengembangan Pembangunan Pelabuhan; 2013: Pembangunan Jalan Kawasan

________________________ 136
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Industri; 2014: Pembangunan Instalasi Air Bersih; 2015: Pembangunan Energi
Listrik, Pengolahan Limbah.
Hal tersebut dapat saja bersamaan waktu pembangunannya jika angaran
yang diperuntukan mencukupi, karena untuk memasukkan barang, peralatan
sudah tersedia pelabuhan yang befungsi untuk bongkar muat barang.
Sedangkan milestone industri (pabrik) yang akan dikembangkan antara lain:
2012 adalah Palm Kernel Crushing, P O Refinery I; 2013 adalah Palm Oil Mill;
oleokimia (fatty acids, fatty alcohols); 2014 adalah Methanol bulking tank; Fuel
Oil Bulking tank; 2015 adalah PFAD Bio Diesel, Glycerine Ref., ME Distillation.
Snario prioritas industri akan mengacu pada permintaan barang tersebut, bahan
pendukung yang dapat ditunjang oleh industri lokal.
Prioitas pengembangan IHKS tersebut sesuai snario umum penggunaan
bahan baku CPO Indonesia, dimana komposisi export CPO hingga tahun 2015
adalah 30%, biodisel 30% dan oleofood 40%. Komposisi ini dapat saja berubah
jika ditunjang oleh kebijakan pemerintah, misalnnya dalam penggantian import
bahan pangan yang berasal dari minyak nabati untuk menghasilkan makanan
(oleofood) dalam negeri dalam rangka menghemat devisa. Demikian juga
halnya dengan biodisel, jika pemerintah ingin mendukung industri biodisel
maka biaya produksi biodisiel harus ditekan seminimal mungkin dengan
mengurangkan biaya tetap terutama yang menyangkut dengan infrastruktur
umum dan menurun overhead operasinal perusahaan terutama biaya
pemeliharaan kenderaan serta kawasan industri. Jika hal tersebut dapat
dilakukan maka, alternatif berikut adalah mengurangi subsidi minyak yang
berasal dari minyak bumi.

5.4.6 Analisis Finansial Pembangunan IHKS

Analisis finansial bertujuan untuk menilai apakah suatu kegiatan tertentu


dilaksanakan layak secara finansial, atau dapat memberikan keuntungan
finansial bagi perusahaan yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan.
________________________ 137
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Dalam mengambil keputusan berdasarkan penilaian kelayakan suatu kegiatan,
sangat penting untuk turut memperhitungkan semua biaya dan manfaat yang
relevan dan/atau benar terjadi sebagai akibat pelaksanaan kegiatan.

Kelayakan finansial suatu kegiatan ditunjukan oleh nilai NPV (net present
value), B/C ratio (Benefit-Cost Ratio), dan IRR (Internal Rate of Return) serta PB
(Payback Period). Nilai NPV, B/C ratio dan IRR serta ROI dan ROE
sesungguhnya saling berhubungan satu sama lainnya. Suatu kegiatan dikatakan
layak secara finansial (menguntungkan bagi perusahaan) bila nilai NPV-nya
positif. Bila NPV positif artinya nilai B/C ratio-nya lebih besar dari satu, dan
nilai IRR-nya lebih besar dari tingkat suku bunga diskonto (discount rate) yang
dipergunakan dalam perhitungan nilai NPV dan payback period biaya investasi
lebih pendek dari umur proyek. Jadi, salah satu dari keempat nilai tersebut
dapat dipergunakan untuk mengambil keputusan apakah suatu kegiatan akan
menguntungkan (layak) atau tidak secara finansial. Walaupun dari keempat
metode tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Misalnya
kelemahan indikator BCR tidak dapat digunakan untuk membandingkan skala
usaha, sedangkan NPV dapat digunakan untuk membandingkan skala usaha
karena menghasilkan nilai nominal. Demikian juga PB period, jika tidak
menggunakan faktor diskonto maka ia mengabaikan nilai waktu uang
sementara NPV mengadopsi faktor diskonto tersebut dan IRR justru berfungsi
mencari faktor diskonto tersebut. Kelemahan lain dari PB period adalah setelah
proyek dapat melunasi pinjamannya maka cash flow tidak lagi menjadi
pertimbangan perhitungan.

Dalam studi ini, kelayakan finansial ditunjukkan oleh nilai NPV. Bila
keseluruhan manfaat yang dihasilkan selama jangka waktu umur kegiatan lebih
besar daripada keseluruhan biaya investasi, maka nilai NPV positif. Artinya,
kegiatan secara finansial layak untuk dilaksanakan karena dapat memberikan
keuntungan finansial bagi perusahaan.

________________________ 138
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Berdasarkan hasil perhitungan analisis financial oleh SBRC, 2009 dengan
menggunakan tingkat suku bunga diskonto (discount rate) sebesar 15%, proyek
Pabrik Kelapa Sawit (PKS) memberikan nilai NPV sebesar Rp. 89.616.880 nilai
IRR 24,50 persen.

a . Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS)

Tabel 5.39. Kriteria Keyakan Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS)


URAIAN Nilai Satuan
Kapasitas Industri 45 Ton TBS/jam
Biaya Investasi 86.192.158 1000
IRR 24,50 %
NPV 89.616.880 IDR x 1000
PBP 5,45 Year (inc 1 year IDC)
Net B/C 2,49
ROI 26,36 %
ROE 82,94 %
BEP 149.188.997 IDR x 1000

b. Pabrik Inti Kelapa Sawit

Tabel 5.40. Kriteria Kelayakan Pabrik Inti Kelapa Sawit

URAIAN Nilai Satuan


Kapasitas Industri 400 Ton per hari
Biaya Investasi 41.184.926 1000
IRR 19,03 %
NPV 30.224.217 IDR x 1000
PBP 6,1 Year
Net B/C 1,68
ROI 34,95 %
ROE 70,37 %

________________________ 139
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
c. Pabrik Biodiesel dari Olein
Tabel 5.41 Kriteria Kelayakan Pabrik Biodiesel dari Olein
URAIAN Nilai Satuan
Kapasitas Industri 100.000 Ton/tahun
Project Cost 466.120.000 1000
IRR 21,29 %
NPV 478.132.680 IDR x 1000
PBP 5,94 Year (inc 1 year IDC)
Net B/C 1,93
ROI 21,28 %
ROE 68,96 %

d. Pabrik Biodiesel dari Stearin

Tabel 5.42. Kriteria Kelayakan Pabrik Biodiesel dari Stearin

URAIAN Nilai Satuan


Kapasitas Industri 100.000 Ton/tahun
Project Cost 466.120.000 1000
IRR 25,52 %
NPV 656.619.059 IDR x 1000
PBP 5,23 Year (inc 1 year IDC)
Net B/C 2,41
ROI 28,56 %
ROE 93,38 %

________________________ 140
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
e. Industri Olein (Minyak Goreng)-Stearin

Tabel 5.43. Kriteria Kelayakan Industri Olein (Minyak Goreng)-Stearin

URAIAN Nilai Satuan


Kapasitas Industri 180.000 Ton/tahun
Project Cost 123.139.148 IDR x 1000
IRR 25,19 %
NPV 209.872.437 IDR x 1000
PBP 5,66 Year
Net B/C 2,34
ROI 32,12 %
ROE 76,58 %

f. Pabrik Fatty Acid


Tabel 5.44. Kriteria Kelayakan Pabrik Fatty Acid

URAIAN Nilai Satuan


Kapasitas Industri 400 Ton PKO per hari
Project Cost 552.478.542 1000
IRR 20,21 %
NPV 452.498.776 IDR x 1000
PBP 6,89 Year (inc 1 year IDC)
Net B/C 1,73
ROI 25,34 %
ROE 78,31 %
BEP 569.617.367 IDR x 1000

________________________ 141
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
g. Industri Fatty Alcohol
Tabel 5.45. Kriteria Kelayakan Industri Fatty Alcohol

URAIAN Nilai Satuan


Kapasitas Industri 300 Ton fatty alcohol per hari
Project Cost 1,57 Triliun
IRR 21,94 %
NPV 1.436.256.574 IDR x 1000
PBP 6,65 Year (inc 1 year IDC)
Net B/C 1,92
ROI 26,42 %
ROE 86,55 %

h. Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat)

Tabel 5.46. Kriteria Kelayakan Industri Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat)

URAIAN Nilai Satuan

Kapasitas Produksi 7.700 Ton MES per tahun


Biaya Investasi 657.321.525 x 1000 IDR
IRR 18,79 %
NPV 449.742.803 IDR x 1000
PBP 6,89 Year (inc 1 year IDC)
Net B/C 1,57
ROI 34,18 %
ROE 110,84 %
Average BEP 345.203.352 IDR x 1000
20.631 Ton MES

________________________ 142
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
i. Industri Sabun
Tabel 5.47. Kriteria Kelayakan Industri Sabun

URAIAN Nilai Satuan


Kapasitas Industri 3.375 buah/hari
Project Cost 170.500.000 Rupiah
IRR 24,91 %
NPV 138.906.141 IDR x 1000
PBP 3,15 Tahun
Net B/C 1,25

________________________ 143
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
6.1 Kesimpulan
Peningkatan produksi CPO setiap tahun yang cukup signifikan, namum
belum memberikan nilai tambah yang tinggi, hal ini disebabkan karena
orientasi pengusaha kelapa sawit lebih cenderung melakukan export langsung
tanpa melakukan pengolahan menjadi produk hilir. Oleh karena itu kajian
kelayakan pengembangan IHKS dapat membantu dan memberikan gambaran
tentang potensi pengembangan IHKS baik menyangkut kelayakan bahan baku,
kawasan maupun financial. Pendirian klaster Industri Hilir Kelapa Sawit (IHKS)
di daerah Indragiri Hilir (Kuala Enok) sangat layak bila dilihat dari aspek
potensi kawasan industri, ketersediaan bahan baku, prospek pasar domestik
dan internasional serta potensi keuntungan finansial. Disamping itu
pengembangan IHKS dapat menekan jumlah ekspor hingga 30% dan diolah di
dalam negeri sebanyak 70%. Tentnya ini akan terwujud jika adanya dukungan
dari pemerintah, baik pemerintah pusat dan daerah. Pengembangan IHKS
akan memberikan efek multiplaier, diantaranya bertambahnya devisa,
mengurangi tingkat pengangguran, dan dapat meningkatkan nilai tambah.

6.2 Saran
1. Pemerintah proaktif menawarkan peluang investasi kepada pengusaha
baik luar maupun lokal, dan perlu dukungan kebijakan pemerintah yang
kondusif serta tidak kontra produktif untuk meningkatkan peran sektor
industri.
2. Prioritas pembangunan infrastruktur luar kawasan seperti jalan utama
dan jembatan. Sedangkan dalam kawasan industri, dalam terutama jalan

________________________ 144
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
kawasan, pelabuhan, energy listrik, water treatment dan industri
pengolahan air limbah secepat mungkin sesuai dengan milestone.
3. Skenario pengembangan IHKS mengacu pada pengembangan
supporting industri, emerging market dan import substitution. Khusus
import substitution lebih diarahkan pada oleofood, dan oleofood tersebut
lebih diarahkan pada produksi dengan skala kecil da menengah.
Sedangkan industri yang besar lebih diarahkan pada produk yang tidak
dapat diproduksi dalam skala kecil menengah.
4. Pemerintah mendorong penggunaan dana daerah dalam pengembangan
IHKS dan tidak diletakan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI), karena
mengurangi kesempatan bagi pengusaha daerah untuk akses kredit
perbankan.
5. Mengupayakan kebijakan yang konsisten di semua level pemerintah dan
dari daerah hingga pusat. Perlu terwujudnya PERDA bagi menjaga
konsistensi operasional industri.
6. Mengupayakan kepastian hukum bagi para pemegang hak atas tanah
baik dalam penggunaan secara fisik maupun untuk urusan penjaminan.
Kemudian Peningkatan penegakan hukum, dan bekerjasama dengan
penegak hukum lainnya, baik penegak hukum nasional maupun
internasional.
7. Pembentukan Lembaga Pengelola Kawasan Industri yang mandiri,
disertakan adanya sumber daya pengawas dan perencana dengan
kualitas yang memenuhi standard internasional.
8. Penyertaan saham masyarakat dalam kepemilikan industri, sebagai
upaya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
9. Meningkatkan peran Secondary Mortgage Fund (SMF) dalam
mengupayakan sumber pembiayaan jangka panjang atau membuat
pendanaan alternatif seperti Real Estate Investment Trust yang
disesuaikan dengan standar internasional.

________________________ 145
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
10. Insentif pajak menurut jangka waktu investasi. Investasi yang lebih
panjang diberikan pengurangan pajak lebih banyak. begitu juga
kebijakan pajak ekspor CPO kebijakan pajak impor barang modal.
11. Perlu adanya revisi undang-undang pertanahan yang hanya
membolehkan kawasan industri 400 ha. Jika hal tersebut tidak dilakukan
revisi maka dengan peruntukan lahan 5000 ha kawasan industri di
perlukan 12 pengengola kawasan industri.

________________________ 146
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Bachtiar, Sony. 1988. Jurnal Pertanahan nomor 14. Dampak Alih Guna Tanah
Pertanian Terhadap Pergeseran Kerja dan Menurunnya Produksi Pangan
Nasional. Jakarta: BPN.

Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).


2009. Dumai Dalam Angka Tahun 2009. Dumai.

Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).


2009. Pendapatan Regional Dumai Menurut lapangan Usaha 2000 - 2009.
Dumai.

Bintarto, R.1975. Pengantar Geografi Pembangunan.Yogyakarta: Fakultas


Geografi UGM.

Bintarto, R.1977. Geografi Kota. Yogyakarta : U.P‖SPRING‖ Yogyakarta

Bintarto, R.1983. Interaksi Desa Kota dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia


Indonesia.

Budiharsono, Sugeng. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan


Lautan. Jakarta: Pradnya Paramita.

Daldjoeni, N.1987. Geografi Kota dan Desa. Bandung: Alumni.

Dinas Perkebunan Propinsi Riau, 2008. Laporan Tahunan, Pekanbaru.


Glasson, John, 1977. Pengantar Perencanaan Regional (Terjemahan Paul
Sihotang). Jakarta: LPPE Universitas Indonesia.

Husain, Z., Zainac, Z., Abdullah, Z. (2002). Briquetting of Palm Fibre and Shell
from the Processing of Palm Nuts to Palm Oil. Biomass and Bioenergy. 22,
505-509. Pergamon.

Koestoer R. H. et. al. 2001. Dimensi Keruangan Kota: Teori dan Kasus. Jakarta:
Universitas Indonesia.

Nugroho, I et al. 2004. Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi, Sosial dan


Lingkungan. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum NO.41/PRT/M/2007 Tentang Kawasan


Budi Daya.

Randolph, J. 2004. Environmental Land Use Planning and Management.


Washington: Island Press.

________________________ 147
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok
Suparmoko et al,. 2000. Ekonomi Lingkungan. Yogyakarta: BPPE.

Suparmoko. 2002. Penilaian Ekonomi: Sumberdaya Alam dan Lingkungan,


Yogyakarta: BPPE.

Surfactant and Bioenergy Researce Center (SBRC). 2009. Studi Pengembangan


Industri Hilir Kelapa Sawit di Propinsi Riau.

Tarigan, R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.

Vijaya, S., Chow, M. C. and Ma, A. N. (2004). Energy Database of the Oil Palm.
MPOB Palm Oil Engineering Buletin (70th Edition). (pp. 15-22).

Wilmar, 2010. Dumai Industrial Park; The First Palm Oil Industrial Cluster.
Dumai.

Yunus, Hadi Sabari. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Yunus, Hadi Sabari. 2005. Manajemen Kota: Perspektif Spasial. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

________________________ 148
Laporan Akhir
Feasibility Study Klaster Industri Berbasis Pertanian Dan Oleokimia Di Kuala Enok

Anda mungkin juga menyukai