Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Matahari memancarkan sinar yang mengandung radiasi ultra violet

(UV) yang tidak dapat dilihat dan dirasakan secara langsung oleh diri

manusia. Pada dasarnya, sinar ultra violet dari matahari memiliki manfaat

yang baik, salah satunya adalah untuk pembentukan kolekalsiferol

(Vitamin D3). Kolekalsiferol berperan dalam metabolisme pembentukan

tulang dan juga dalam pertahanan sistem imun tubuh (Prietl et al., 2013;

Cefali et al., 2016).

Sinar matahari dapat mengakibatkan masalah pada kulit, terutama

pada daerah tropis yang disinari matahari dengan intensitas yang lebih

lama, masalah tersebut ditimbulkan karena sinar matahari memiliki

radiasi. Radiasi sinar matahari yang mengenai permukaan bumi

merupakan energi dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Radiasi sinar

matahari yang sampai ke permukaan bumi ada hubungannya dengan reaksi

tubuh manusia yaitu sinar ultraviolet/UV (200 – 400 nm), sinar tampak

(400 -760 nm), dan sinar inframerah (lebih dari 760 nm). Dari beberapa

spektrum sinar yang sampai kepermukaan bumi, sinar UV merupakan

sebagian kecil dari spektrum sinar matahari dan sinar ini kurang dari 1%

dari keseluruhan spektrum sinar matahari. Namun sinar ini paling

berbahaya bagi kulit karena reaksi yang ditimbulkannya. Paparan radiasi

ultraviolet yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada kulit


seperti hiperpigmentasi, kulit terbakar, penuan dini, kulit hitam, bersisik,

dan kanker kulit (Purwanti et al t.,2005).

Kulit merupakan bagian yang menutupi permukaan tubuh dan

memiliki fungsi sebagai pelindung dari sinar ultraviolet yang dipancarkan

oleh matahari (Lan KL et al., 20160 Jika kulit terpapar sinar matahari,

maka akan timbul dua tipe reaksi melani seperti penambahan melani

secara cepat kepermukaan kulit dan pembentukan penambahan melani

baru. Akan tatapi, apabila kulit tarpapar sinar UV secara terus menerus

dapat mengakibatkan kerusakan pada kulit (Trenggono et al.,2007). Oleh

karena itu, untuk menjaga kulit dari efek buruk radiasi sinar UV, maka

diperlukan perlindungan menggunakan tabir surya. Tabir surya masih

sedikit yang menggunakan zat aktif dari senyawa aktif bahan alam karena

didominasi oleh bahan – bahan kimia sintetis. Penggunaan krim tabir

surya dari bahan – bahan kimia sintetis dapat menyebabkan iritasi dan

dapat menyebabkan alergi kontak (Purwaningsi et al.,2015). Jadi untuk

mengurangi bahaya dari penggunaan bahan-bahan sintetis tersebut, dapat

dilakukan dengan penggunaan bahan-bahan alami sebagai bahan baku

dalam pembuatan krim tabir surya. Oleh karena itu, pada penelitian ini

digunakan senyawa bahan alam dari ekstrak kulit bawang merah.

Tabir surya dapat menyerap sedikitnya 85% sinar matahari pada

panjang gelombang 290-320 nm untuk UV-B tetapi dapat meneruskan

sinar pada panjang gelombang lebih dari 320 nm untuk UV-A (Suryanto,

2012). Oleh karena itu dibutuhkan tabir surya yang dapat melindungi kulit

dari bahaya radiasi sinar matahari (Wang et al, 2008).


Berdasarkan sejumlah penelitian pada tanaman obat dilaporkan

bahwa banyak tanaman obat yang mengandung antioksidan dalam jumlah

besar. Efek-efek antioksidan terutama disebabkan karena adanya senyawa

fenol seperti flavonoid dan asam fenolat. Biasanya senyawa-senyawa yang

memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa fenol yang mempunyai

gugus hidroksil (Markham, 1988). Sejumlah tanaman obat yang

mengandung flavonoid telah dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan,

antibakteri, antivirus, antiradang, antialergi dan antikanker (Miller, 1996).

Sebagai antioksidan senyawa flavonoid akan bereaksi dengan radikal

bebas sehingga menghasilkan produk yang stabil (Candenas, 2002).

Kulit bawang merah (Allium cepa L.) dan kulit bawang putih

(Allium sativum L.) merupakan bagian terluar bawang yang merupakan

limbah yang terbuang dan tersedia cukup banyak. Kulit bawang merah

mengandung senyawa flavonoid, tanin, saponin, dan glikosida

(Manullang, 2010). Flavanoid mempunyai potensi sebagai tabir surya

karena adanya gugus kromofor yang mampu menyerap sinar UV A dan

UV B sehingga mengurangi intensitasnya pada kulit (Kusumarini, 2016).

Salah satu tumbuhan yang mengandung senyawa flavonoid dan

fenolik adalah kulit bawang merah (Allium cepa L.). Pemanfaatan limbah

kulit bawang merah masih jarang digunakan, sedangkan produksi bawang

merah mencapai 1.500.961 ton pertahun yang menghasilkan sekitar 4%

kulit bawang merah (Anonim, 2017). Bawang merah banyak dimanfaatkan

bagian umbinya saja sedangkan kulit bawang merah yang kaya serat dan

flavonoid dibuang begitu saja (Misna dan Diana, 2016).


Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik melakukan

penelitian untuk membuktikan potensi nilai sun protection factor (SPF)

dari ekstrak kulit bawang merah dan putih.

1.2 Perumusan Masalah Penelitian

a. Apakah ekstrak kulit bawang merah dan putih memiliki gugus

flavonoid?

b. Apakah ekstrak kulit bawang merah dan putih memiliki kemampuan

nilai sun protection factor (spf) ?

c. Manakah nilai sun protection factor (spf) yang tertinggi antara ekstrak

kulit bawang merah dan putih dengan menggunakan metode

spektrofotometer uv vis ?

1.3 Hipotesis penelitian

a. Ekstrak kulit bawang merah dan putih memiliki gugus flavonoid

b. Ekstrak kulit bawang merah dan putih memiliki kemampuan nilai

sun protection factor (spf)

c. nilai sun protection factor (spf) yang tertinggi antara ekstrak kulit

bawang merah dan putih dengan menggunakan metode

spektrofotometer uv vis

1.4 Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui Apakah ekstrak kulit bawang merah dan putih

memiliki gugus flavonoid

b. Untuk mengetahui Apakah ekstrak kulit bawang merah dan putih

memiliki kemampuan nilai sun protection factor (spf)


c. Untuk mengetahui Manakah nilai sun protection factor (spf) yang

tertinggi antara ekstrak kulit bawang merah dan putih dengan

menggunakan metode spektrofotometer uv vis

1.5 Manfat Penelitian

1.5.1 Peneliti

Untuk menambah wawasan bagi peneliti dalam

menentukan nilai sun protection factor (spf) dengan menggunakan

limbah kulit bawang merah dan potensinya sebagai antioksidan.

1.5.2 Institusi Pendidikan

Sebagai referensi dan bacaan tentang menentukan nilai sun

protection factor (spf) dengan menggunakan limbah kulit bawang

merah dan potensinya sebagai antioksidan.


1.6 Kerangka Fikir Penelitian

Penentuan kadar air


Penentuan kadar abu total
Penentuan kadar abu tidak
Simplisia Kulit Karakteristik larut asam
Bawang Merah Simplisia Penentuan kadar sari larut air
dan Putih Penentuan kadar sari larut
etanol

Alkoloid
Flavonoid
Skrining Taning
Saponin
Glikosida

Ekstrak Kulit Uji Spektrofotometer


Identifikasi
Bawang Merah
Flavonoid Inframerah
dan Putih

Kemampua Uji nilai SPF


n SPF
BAB II
TIMJAUAN PUSTAKA

2.1 Bawang Merah (Allium Cepa L.)

Bawang merah adalah tanaman tertua yang di budidaya oleh manusia dan

telah dikenal dan digunakan beberapa ribu tahun yang lalu. Tanaman bawang

merah diperkirakan berasal dari Asia Tengah yaitu daerah disekitar India,

Pakistan, sampai Palestina. Bangsa Mesir telah mengenal bawang merah sejak

3200-2700 SM dan bangsa Yunani Kuno sejak 2100 SM. Hal ini diketahui dari

bukti peninggalan sejarah seperti patung, tungu dan batu-batu pada jaman

tersebut.

Penyebaran bawang merah telah meluas. Oleh karena itu, bawang merah

memiliki sebutan yang berbeda pada tiap negara. Dikalangan nasional bawang

merah disebut dengan Shallot. Namun, untuk kepentingan ilmiah nama bawang

merah adalah Allium cepa atau Allium ascalonicum (Rahayu dan Berlian, 2004).
Gambar 2.1 Bawang merah (Allium cepa L.)

2.1.1 Klasifikasi Bawang Merah (Allium cepa L.)

Adapun tingkatan taksa (taksonomi) bawang merah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Class : Monocotyledoneae

Ordo : Liliales

Famili : Liliaceae

Genus : Allium

Spesies : Allium cepa L. (Bawang bombay)

Allium ascalonicum L. (bawang merah)

(Jaelani, 2007).

2.1.2 Morfologi Bawang Merah (Allium cepa L.)

Bawang merah merupakan tanaman perdu semusim dengan tinggi 15-

25 cm dan berbatang semu. Perakarannya berupa akar serabut yang pendek

dan berkembang disekitar permukaan tanah sehingga tanaman ini tidak tahan

terhadap kekeringan (Samadi dan Bambang, 2005). Bawang merah memiliki

umbi lapis yang berwarna keunguan dan berbau tajam dengan daun berwarna

hijau dan berbentuk tabung panjang dengan ujung yang lancip (Latief, 2012).
Gambar 2.2 Bawang merah (Allium cepa L.)

Dalam setiap umbi dapat dijumpai tunas lateral sebanyak 2-20 tunas.

Tunas-tunas tersebut kemudian tumbuh membesar membentuk rumpun

tanaman sehingga bila dipanen akan dihasilkan umbi sejumlah tersebut. Pada

daun yang baru bertunas belum terlihat adanya lubang di dalamnya, setelah

daun itu memanjang dan membesar, lubang tersebut terlihat sehingga daun

berbentuk seperti pipa (Rahayu dan Berlian, 2004)

Bawang merah memang berbeda dengan bawang putih. Daunnya hanya

mempunyai satu permukaan, berbentuk bulat kecil memanjang dan berlubang

seperti pipa. Bagian ujung daunnya meruncing dan bagian bawahnya melebar

seperti kelopak dan membengkak. Ada juga yang membentuk setengah

lingkaran pada penampang melintang daunnya. Warnanya hijau muda,

kelopak daun sebelah luar selalu melingkar dan menutup daun yang ada
didalamnya. Demikian seterusnya sehingga jika dipotong melintang dibagian

ini akan terlihat lapisan-lapisan yang berbentuk cincin (Wibowo, 2007).

2.1.3 Kandungan Kimia Bawang Merah (Allium cepa L.)

Menurut Wibowo (2007), bawang merah mengandung minyak atsiri

yang bersifat bakterisida dan fungisida terhadap bakteri dan cendawan, bahan

aktif minyak atsiri terdiri dari sikloaliin, metilallin, kaemferol dan floroglusin.

Bawang merah mengandung saponin, dan minyak atsiri yang mampu

menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Jaelani, 2007).

Berdasarkan analisa fitokimia yang dilakukan oleh Maidarnis, (2018)

ekstrak etanol kulit bawang merah mengandunng flavonoid, terpenoid dan

fenolik. Analisa fitokimia pada ekstrak bawang merah menunjukan adanya

kandungan flavonoid golongan flavonol seperti quercetin yang berkhasiat

antiinflamasi, antioksidan, antikanker dan antibakteri, ascalin yang berpotensi

sebagai antijamur, dan kandungan furostanol saponin juga berpotensi sebagai

antijamur (Fattorusso et al., 2002).

2.1.4 Manfaat dan Khasiat Bawang Merah (Allium cepa L.)

Bawang merah merupakan salah satu sayuran baik umbi maupun daunnya

digunakan sebagai pengharum serta penyedap rasa makanan. Selain itu, bawang

merah juga sering digunakan dalam berbagai ramuan tradisional. Bawang merah

dapat berkhasiat sebagai antiradang, antibakteri, ekspektoran (pengencer dahak),

antipiretik, karminatif (menghangatkan dan mengurangi perut kembung), diuretik,


mencegah pengumpalan darah, serta menurunkan kolestrol (Latief, 2012). Khasiat

bawang merah juga dapat mengobati batuk, haid tidak teratur, kencing manis, obat

cacing, demam pada anak dan perut kembung (Permana, 2007).

2.2 Bawang Putih (Alium Sativum L.)

Bawang putih atau garlic termasuk salah satu jenis sayuran umbi yang

sudah lama dikenal dan ditanam di berbagai negara di dunia. Berdasarkan

penelitian Nikolai Ivanovich Vavilov seorang ahli botani Soviet yang

melakukan penelitian mengenai asal tanaman, dipastikan bahwa bawang putih

berasal dari dataran Cina (Rukmana, 1995).

2.2.1 Klasifikasi Bawang Putih (Allium Sativum L.)

Adapun tingkatan taksa (taksonomi) bawang merah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Class : Monocotyledoneae

Ordo : Liliales

Famili : Liliaceae

Genus : Allium

Spesies : Allium sativum L. (Bawang Putih).

(Rukmana, 1995).
Gambar 2.3 Bawang putih (Allium sativum L.)

2.2.2 Klasifikasi Bawang Putih (Allium Sativum L.)

Bawang putih mempunyai nama latin Allium sativum L, sativum

berarti dibudidayakan, karena allium ini diduga merupakan keturunan bawang

liar (Allium longicurpis Regel). Keluarga atau genus Allium ada sekitar 500

jenis lebih dan 250 diantaranya termasuk bawang-bawangan. Tanaman

bawang putih bisa ditemukan dalam bentuk terna (bergerombol), tumbuh

tegak, dan bisa mencapai tinggi 30-60 cm (Purwaningsih, 2007).

Daun bawang putih berupa helai-helai (seperti pita) memanjang

keatas, jumlah daun bisa mencapai lebih dari 10 helai. Bentuk pipih rata, tidak

berlubang, berbentuk meruncing keatas, agak melipat ke dalam, serta

membentuk sudut di permukaan bawahnya. Pelepah daun kebanyakan panjang

sampai ke dalam tanah yang pada dasarnya adalah kelopak daun. Batang

bawang merupakan batang semu yang panjang bisa mencapai 30 cm dan


tersusun dari pelepah daun yang tipis tapi kuat. Batang pokok bawang putih

sebenarnya merupakan batang pokok tidak sempurna (rundimeter) dengan

pangkal atau bagian dasar berentuk cakram. Perakaran bawang putih berupa

akar serabut yang pendek-pendek (Purwaningsih, 2007).

Di dekat pusat batang terdapat tunas-tunas yang akan tumbuh menjadi

umbi-umbi kecil yang disebut siung. Daun-daun yang tidak berumbi akan

berfungsi sebagai pembungkus umbi kecil. Umbi bawang putih berbentuk

gasing dimana setiap umbi mempunyai sekitar 3-12 siung. Bunga bawang

putih berupa bunga majemuk, bertangkai, berbentuk bulat dan menghasilkan

biji untuk keperluan generatif. Tangkai bunga bawang putih tidak timbul

keluar sehingga bunga tidak terlihat (Purwaningsih, 2007).

2.2.3 Kandungan Kimia Bawang Putih (Allium Sativum L.)

Bawang Putih (Allium sativum L.) mengandung senyawa fitokimia

berupa minyak atsiri yang mudah menguap dan alisin yang mengandung

sulfur dengan struktur tidak jenuh dan dapat terurai menjadi dialil-disulfida.

Allisin merupakan zat aktif yang dapat digunakan sebagai antibiotik. Senyawa

lain yang terkandung dalam bawang putih adalah scordinin, fosfor, selenium,

saltivine dan sebagainya (Purwaningsih, 2007).

2.3 Tabir Surya

Senyawa tabir surya merupakan zat yang mengandung bahan pelindung

kulit terhadap sinar matahari sehingga sinar UV tidak dapat memasuki kulit

(mencegah gangguan kulit karena radiasi sinar). Tabir surya dapat melindungi
kulit dengan cara menyebarkan sinar matahari atau menyerap energi radiasi

matahari yang mengenai kulit, sehingga energi radiasi tersebut tidak langsung

mengenai kulit.

Menurut Soerati (1993), tabir surya didefenisikan sebagai senyawa yang

secara fisik atau kimia dapat digunakan untuk menyerap sinar matahari secara

efektif terutama daerah emisi gelombang UV sehingga dapat mencegah

gangguan pada kulit akibat pancaran langsung sinar UV.

Secara alami, kulit berusaha melindungi dirinya beserta organ dibawahnya

dari bahaya sinar UV, yaitu dengan membentuk butir-butir pigmen (melanin)

yang akan memantulkan kembali sinar matahari. Jika kulit terpapar sinar

matahari, maka akan timbul dua tipe reaksi melanin, seperti penambahan

melanin secara cepat kepermukaan kulit dan pembentukan tambahan melanin

baru. Namun, apabila terjadi pembentukan tanbahan melanin secara

berlebihan dan terus-menerus, maka akan terbentuk noda hitam pada kulit

(Tranggono et al., 2007).

Menurut Wilkinson dan Moore (1982), untuk mendapatkan sediaan tabir

surya yang sesuai terdapat beberapa syarat yang diperlukan, yaitu :

1. Efektif dalam menyerap sinar elektromagnetik pada rentang panjang

gelombang 290-320 nm tanpa menimbulkan gangguan yang akan

mengurangi efisiensinya atau yang akan menimbulkan toksik atau iritasi

2. Memberikan transmisi penuh pada rentang panjang gelombang 300-400

nm untuk memberikan efek terhadap tannin maksimun

3. Tidak mudah menguap dan resisten terhadap air dan keringat


4. Memiliki sifat-sifat mudah larut yang sesuai untuk memberikan formulasi

kosmetik yang sesuai

5. Tidak berbau dan memiliki sifat-sifat fisik yang memuaskan, misalnya

daya lengketnya dan lain-lain

6. Tidak menyebabkan toksik, tidak iritan, dan tidak menimbulkan sensitisasi

7. Dapat mempertahankan daya proteksinya selama beberapa jam

8. Stabil dalam penggunaan

9. Tidak memberikan noda pada pakaian

Tidak toksik dan dapat diterima secara dermatologis merupakan hal yang

penting. Sebagai kosmetik, tabir surya sering digunakan pada penggunaan harian

pada daerah permukaan tubuh yang luas. Selain itu, tabir surya juga dapat digunakan

pada bagian kulit yang telah rusak karena matahari. Tabir surya juga mungkin

digunakan pada semua kelompok umur dan kondisi kesehatan yang bervariasi

(Wilkinson dan Moore, 1982).

Menurut Lavi (2013), mekanisme proteksi tabir surya terhadap kulit

dijelaskan sebagai berikut molekul bahan kimia tabir surya yang menyerap energi

dari sinar UV, kemudian mengalami eksitasi dari ground state ketingkat energi yang

lebih tinggi. Sewaktu molekul yang tereksitasi kembali ke kedudukan yang lebih

rendah akan melepaskan energi yang lebih rendah dari energi semula yang diserap

untuk menyebabkan eksitasi, maka sinar UV dari energi yang lebih tinggi setelah

diserap energinya oleh bahan kimia maka akan mempunyai energi yang lebih rendah.

Sinar UV dengan energi yang lebih rendah akan kurang atau tidak menyebabkan efek

sunburn pada kulit.


2.3.1 Penentuan Aktivitas Tabir Surya

Penentuan Aktivitas tabir surya secara in vitro ditentukan dengan

menghitung nilai persen transmisi eritema, nilai persen transmisi pigmentasi,

serta nilai Sun Protection Factor (SPF) secara spektrofotometri.

1. Nilai Persentase Transmisi Eritema (% Te) dan Nilai Persentase Transmisi

pigmentasi (% Tp) .

a. Nilai % Te

Nilai % Te adalah nilai yang menggambarkan kemampuan suatu molekul

kimia untuk memproteksi kulit dari sinar UV yang dapat menyebabkan

eritema yaitu banyaknya jumlah energi sinar UV yang diteruskan pada radiasi

UV B (290-320 nm). Eritema adalah kemerahan pada kulit yang disebabkan

oleh proses inflamasi yang terjadi 2-3 jam setelah sengatan sinar matahari

(Hasanah et al, 2015).

b. Nilai % Tp

Nilai % Tp adalah nilai yang menggambarkan kemampuan suatu molekul

kimia untuk memproteksi kulit dari sinar UV yang dapat menyebabkan

pigmentasi yaitu banyaknya jumlah energi sinar UV yang diteruskan pada

radiasi UV A (320-375 nm). Pigmentasi adalah perubahan warna kulit yang

lebih gelap akibat pancaran sinar UV (Hasanah et al, 2015).

c. Profil Tabir Surya


Profil tabir surya adalah kategori aktivitas tabir surya yang menyatakan

potensi proteksi kulit terhadap sinar matahari pada radiasi sinar UV A (320-

400 nm) dan UV B (290-320 nm) yang dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik

terkait tabir surya, profil tabir surya dikelompokkan menjadi 4 kelompok,

yaitu :

a. Tabir Surya Sunblock

Sunblock merupakan aktivitas tabir surya yang paling terbaik,

sunblock merupakan kemampuan ekstrak untuk memproteksi secara total

kulit yang sangat sensitif terhadap sinar UV A dan sinar UV B. Aktivitas

tabir surya ekstrak sebagai Sunblock mampu menghalangi paparan sinar UV

kedalam kulit sehingga melindungi kulit dari terjadinya eritema dan

pigmentasi (Whenny et al, 2015). Profil tabir surya sebagai Sunblock apabila

memiliki persentase transmisi eritema 1 % dan persentase transmisi

pigmentasi 3-40 % (Amrillah et al, 2015).

b. Tabir Surya Proteksi Ekstra

Proteksi ekstra adalah kemampuan ekstrak sebagai bahan tabir surya

yang memberikan perlindungan terhadap eritema dengan mengabsorbsi

kurang dari 85 % radiasi sinar UV serta mencegah terjadinya pigmentasi.

Kemampuan bahan pada kategori proteksi ekstra akan menghasilkan sedikit

eritema tanpa rasa sakit. Kategori proteksi ekstra tabir surya digunakan

untuk melindungi jenis kulit sensitif (Whenny et al, 2015). Profil tabir surya
sebagai proteksi ekstra apabila memiliki persentase transmisi eritema 1-6 %

dan persentase transmisi pigmentasi 42-86 %.

c. Tabir Surya Suntan Standar

Suntan Standar adalah kategori penilaian aktivitas tabir surya dimana

suatu bahan mampu mencegah sengatan sinar matahari dengan

mengabsorbsi 95 % atau lebih radiasi UV B, sehingga menyebabkan

pigmentasi tanpa terjadinya eritema. Suntan Standar mampu mencegah

terjadinya eritema pada kulit normal (Whenny et al, 2015). Profil tabir surya

sebagai Suntan Standar apabila memiliki persentase transmisi eritema 16-12

% dan persentase transmisi pigmentasi 45-86 %

d. Tabir Surya Fast Tanning

Fast tanning adalah kemampuan suatu molekul kimia tabir surya yang

dapat menggelapkan kulit secara cepat tanpa menimbulkan eritema dengan

memberikan transmisi penuh pada radiasi UV A untuk memberikan efek

penggelapan yang maksimal. Profil tabir surya sebagai Fast tanning apabila

memiliki persentase transmisi eritema 16-12 % dan persentase transmisi

pigmentasi 45-86 %.

Sun Protecting Factor (SPF) merupakan ukuran kemampuan tabir

surya untuk mencegah kerusakan kulit. Tabir surya dengan SPF menyatakan

lamanya kulit seseorang berada dibawah sinar matahari tanpa mengalami luka

bakar, sedangkan angka SPF menyatakan berapa kali daya tahan alami kulit

seseorang dilipat gandakan sehingga aman dibawah matahari tanpa terkena

luka bakar (Wala et al, 2015). Food Drug Administration (FDA)


mensyaratkan produk tabir surya harus mencantumkan nilai SPF untuk

memberikan arahan pada konsumen mengenai kekuatan relatif dari produk

tersebut (FDA, 2003).

Penentuan nilai SPF suatu sediaan tabir surya dapat dilakukan secara

in vitro. Metoda pengukuran nilai SPF secara in vitro secara umum terbagi

dalam dua tipe. Tipe pertama adalah dengan cara mengukur serapan atau

transmisi radiasi UV melalui lapisan produk tabir surya pada plat kuarsa atau

biomembran. Tipe kedua adalah dengan menentukan karakteristik serapan

tabir surya menggunakan analisis secara spektrofotometri larutan hasil

pengenceran dari tabir surya yang akan diuji. Nilai EE x I adalah suatu

konstanta (Dutra et al, 2004).

2.4 Spektrofotometri

Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorban

suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Sedangkan pengukuran

menggunakan spektrofotometer ini, metode yang digunakan sering disebut

dengan spektrofotometri (Basset et al, 1994). Spektrofotometri adalah suatu

metode analisis yang berdasarkan pada pengukuran serapan sinar

monokromatis oleh suatu laju larutan berwarna pada panjang gelombang yang

spesifik dengan menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi dan

detektor vakum phototube atau tabung foton hampa. Spektrofotometer

menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan

fotometer adalah alat pengukur cahaya yang ditransmisikan atau diabsorbsi


(Harjadi, 1986). Secara garis besar spektrofotometri terdiri dari empat bagian

penting yaitu:

1. Sumber cahaya

Sebagai sumber cahaya pada spektrofotometer, haruslah memiliki pancaran

radiasi yang stabil dan intensitasnya tinggi. Sumber energi cahaya yang biasa untuk

daerah tampak, ultraviolet dekat, dan inframerah dekat adalah sebuah lampu pijar

dengan kawat rambut terbuat dari (tungsten). Lampu ini mirip dengan bola lampu

pijar biasa, daerah panjang gelombang yaitu 350-2200 nm.

2. Monokromator

Monokromator adalah alat yang berfungsi untuk menguraikan cahaya

polikromatis menjadi berupa komponen panjang gelombang tertentu (monokromatis)

yang berbeda.

3. Kuvet

Kuvet adalah suatu alat yang digunakan sebagai tempat contoh atau cuplikan

yang akan dianalisis. Kuvet biasanya terbuat dari kwars, plexiglass, kaca, plastik

dengan bentuk tabung empat persegi panjang 1 x 1 cm dan tinggi 5 cm. semua

macam kuvet dapat dipakai untuk pengukuran di daerah sinar tampak (visible).

4. Detektor

Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada

berbagai panjang gelombang. Detektor akan mengubah cahaya menjadi sinyal listrik

yang selanjutnya akan ditampilkan oleh penampil data dalam bentuk jarum penunjuk

atau angka digital.

5. Visual Display/Recorder
Merupakan sistem baca yang memperagakan besarnya isyarat listrik,

menyatakan dalam bentuk % transmitan maupun absorbansi (Underwood,

2002).

Bagian-bagian alat spektrofotometer UV-Vis dapat dilihat pada

gambar 2.4

Gambar 2.4. Bagian-Bagian Alat Spektrofotometer UV-Vis

2.4.1 Spektofotometer UV-Visible


Spektrofotometri sinar tampak (UV-Vis) adalah pengukuran energi

cahaya oleh suatu sistem kimia pada panjang gelombang tertentu

(Underwood, 2002). Sinar ultraviolet (UV) mempunyai panjang gelombang

antara 200-400 nm dan dinar tampak (visible) mempunyai panjang gelombang

400-750 nm. Spektrofotometri digunakan untuk mengukur besarnya energi

yang diabsorbsi atau diteruskan. Sinar radiasi monokromatik akan melewati

larutan yang mengandung zat yang dapat menyerap sinar radiasi tersebut

(Harnita, 2006).

Pengukuran spektrofotometri menggunakan alat spektrofotometer

yang melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang

dianalisis, sehingga spektrofotometer UV-Vis lebih banyak dipakai untuk


analisis kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan

dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan

menggunakan hukum Lambert-Beer (Rohman, 2007).

Hukum Lambert-Beer menyatakan hubungan linieritas antara absorban

dengan konsentrasi larutan analit dan berbanding terbalik dengan transmitan.

Dalam hukum Lambert-Beer tersebut ada beberapa pembatasan (Rohman,

2007), yaitu:

a. Sinar yang digunakan dianggap monokromatis

b. Penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai penampang yang

sama

c. Senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap

yang lain dalam larutan tersebut

d. Tidak terjadi fluorensensi atau fosforisensi

e. Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan.

Hukum Lambert-Beer dinyatakan dalam persamaan:

A=axbxc

Keterangan :

A = absorban

a = absorpsivitas molar

b = tebal kuvet (cm)

c = konsentrasi (Rohman, 2007).


Menurut Holme dan Peck (1983) perhitungan konsentrasi untuk

analisis kuantitatif secara spektroskopi dapat dilakukan antara lain dengan

metode regresi dan pendekatan.

1. Metode regresi

Analisis kuantitatif dengan metode regresi yaitu dengan menggunakan

persamaan regresi yang didasarkan pada harga serapan dan konsentrasi

standart yang konsentrasinya diketahui dengan serapan sampel. Konsentrasi

sampel dapat dihitung dengan rumus:

Y = ax + b

2. Metode Pendekatan

Konsentrasi sampel dapat dihitung melalui rumus perbandingan:

As . Cb
C=
Ab

Keterangan:

C = konsentrasi sampel

As = serapan sampel

Ab = serapan baku

Cb = konsentrasi baku

2.4.2 Spektrofotometer Inframerah

Spektrofotometer inframerah adalah sangat penting dalam kimia modern,

terutama meskipun tidak semata-mata dalam bidang organik. Ia merupakan alat

ritin dalam penemuan gugus fungsional, pengenalan senyawa, dan Analisa


campuran. Alat yang mencat spektrum inframerah diperdagangkan dan mudah

digunakan pada dasar rutin (Underwood,1981).

Cahaya tampak terdiri dari beberapa range frekuensi elektromagnetik yang

berbeda dimana setiap frekuensi bisa dilihat sebagai warna yang berbeda. Radiasi

inframerah juga mengandung beberapa range frekuensi tetapi tidak dapat dilihat

oleh mata. Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya

inframerah tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2.5 - 50 µm atau

bilangan gelombang 4000 - 200 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini

akan menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorbsi inframerah

sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi. Metoda

ini sangat berguna untuk mengidentifikasi senyawa organik dan organometalik.

Sebagai sumber cahaya yang umum digunakan adalah lampu tungsten, Narnst

glowers, atau glowbars. Dispersi spektrofotometer inframerah menggunakan

monokromator, yang berfungsi untuk menyeleksi panjang gelombang

(Dachriyanu, 2004).

Gambar 2.5 Skema alat spektrofotometer inframerah


Spektrofotometer inframerah pada umumnya digunakan untuk :

1. Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik

2. Mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan

daerah sidik jarinya

2.5 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia merupakan cara untuk mengidentifikasi bioaktif yang

belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan. Skrining fitokimia

merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang

bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang

terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti. Metode skrining fitokimia

dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu

pereaksi warna. Hal penting yang berperan penting dalam skrining fitokimia

adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi (Kristianti et al, 2008).

2.5.1 Metabolit Primer

Senyawa metabolit primer merupakan senyawa yang dihasilkan oleh

makhluk hidup dan bersifat essensial bagi proses metabolisme sel tersebut.

Senyawa ini dikelompokkan menjadi 4 kelompok makro molekul yaitu

karbohidrat, protein, lipid dan asam nukleat (Saifudin, 2014).

2.5.2 Metabolit Sekunder

Metabolit sekunder yang terdapat pada bahan alam merupakan hasil

metabolit primer yang mengalami reaksi yang spesifik sehingga menghasilkan


senyawa-senyawa tertentu. Metabolit sekunder merupakan produk

metabolisme yang khas pada suatu tanaman yang dihasilkan oleh suatu organ

tapi tidak dimanfaatkan secara langsung sebagai sumber energi bagi tanaman

tersebut (Taiz dan Zeiger, 1998).

2.5.3 Alkaloid

Alkaloid adalah golongan senyawa basa yang mengandung nitrogen

dan terdapat dalam banyak tanaman. Alkaloid merupakan senyawa tanpa

warna, sering kali bersifat optik aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi

hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotin) pada suhu kamar (Sabirin

et al., 1994). Untuk mengetahui senyawa alkaloid yang terkandung dalam

tumbuhan dilakukan pengujian sebanyak tiga kali yaitu uji mayer, uji wagner

dan uji dragendorf. Hasil positif alkaloid pada uji mayer ditandai dengan

terbentuknya endapan putih. Pada uji wagner menunjukkan hasil yang positif

pada alkaloid dengan terbentuknya endapan coklat. Pada uji dragendorf

ditandai dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai kuning. (Svehla,

1990).

2.5.4 Flavonoid

Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbanyak

terdapat di alam. Senyawa-senyawa ini bertanggung jawab terhadap zat

merah, ungu, biru dan sebagian zat warna kuning dalam tumbuhan. Semua

flavonoid menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk “falavon”

yakni nama sejenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dan juga lazim

ditemukan. Sebagian besar flavonoid yang terdapat pada tumbuhan terikat


pada molekul gula sebagai glikosida, dan dalam bentuk campuran, jarang

sekali dijumpai berupa senyawa tunggal (Harborne, 1987).

Gambar 2.6 Stuktur Flavonoid

2.5.5 Tanin

Tanin merupakan salah satu senyawa yang termasuk ke dalam

golongan polifenol yang terdapat dalam tumbuhan, berasa pahit dan kelat

(Harborne, 1987). Tanin dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu tanin terhidrolisa

dan tanin terkondensasi. Pada identifikasi tanin, perubahan warna disebabkan

oleh reaksi penambahan FeCl3 dengan salah satu gugus hidroksil yang ada

pada senyawa tanin. Penambahan FeCl3 menghasilkan warna hijau kehitaman

yang menunjukkan adanya tanin terkondensasi (Sangi et al, 2008). Reaksi

dapat dilihat pada Gambar 2.7.


Gambar 2.7 Reaksi Terbentuknya Senyawa Komplek dengan FeCl3

2.5.6 Saponin

Pembentukan busa yang mantap waktu mengekstrasi tumbuhan

merupakan bukti terpecaya akan adanya saponin. Sifat yang dimiliki saponin

antara lain mempunyai rasa pahit, membentuk busa yang stabil dalam larutan

air. Identifikasi adanya saponin menggunakan uji Forth dengan terbentuknya

busa dan dapat bertahan tidak kurang dari 10 menit serta tidak hilang setelah

penambahan HCl 2M. Timbulnya busa pada uji Forth menunjukkan adanya

glikosida yang mempunyai kemampuan membentuk buih dalam air yang

terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lainnya (Harborne, 1987).

2.5.7 Steroid dan Terpenoid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari

enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30

asiklis, yaitu skualena. Uji yang banyak digunakan reaksi Lieberman-

Burchard (anhidrat asetat- H2SO4 pekat) yang kebanyakan triterpenoid dan

sterol memberikan warna hijau – biru. Steroid merupakan turunan dari


senyawa triterpenoid. Steroid alami berasal dari berbagai macam transformasi

kimia dari triterpen yaitu lanosterol dan sikloartenol (Harborne, 1987).

2.6 Simplisia

Menurut Farmakope Indonesia (1995), simplisia adalah bahan alamiah

yang dipergunakan sebagai bahan obat yang belum mengalami pengolahan

apapun juga, kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan.

Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman

atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan

keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau

zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya

dan belum berupa zat kimia murni. Pengeringan simplisia nabati dilakukan

diudara, terlindung dari sinar matahari langsung.

2.6.1 Proses Pembuatan Simplisia

Cara pembuatan simplisia ada beberapa tahapan yaitu sortasi basah, perajangan,

pengeringan, sortasi kering, pengepakan dan penyimpanan serta pemeriksaan mutu.

a. Sortasi Basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan

asing lainnya dari bahan simplisia, seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar

yang telah rusak, serta kotoran lain yang dibuang. Tanah mengandung bermacam-

macam mikroba dalam jumlah yang tinggi. Oleh karena itu pembersihan simplisia

dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal (Prasetio dan Inoriah,

2013).

b. Perajangan
Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses

pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Semakin tipis bahan yang dikeringkan,

semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat waktu pengeringan (Prasetio

dan Inoriah, 2013).

c. Pengeringan

Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah

rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi

kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penutunan mutu atau

perusakan simplisia. Proses pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik

dalam sel bila kadar air dalam simplisia kurang dari 10%. (Prasetio dan Inoriah,

2013).

Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau

menggunakan suatu alat pengering. Hal-hal yang harus diperhatikan selama

pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu

pengeringan dan luas permukanaan bahan. Daun dan bunga tidak dikeringkan

langsung dibawah sinar matahari melainkan secara dikeringanginkan atau di tutup

dengan kain hitam (Prasetio dan Inoriah, 2013).

d. Sortasi kering

Simplisia yang sudah kering disortasi kembali untuk memisahkan kotoran,

bahan organik asing dan simplisia rusak akibat proses sebelumnya (Depkes, 1985).

e. Pengepakan dan penyimpanan

Pengepakan simplisia harus dibungkus rapat untuk mencegah terjadinya

kelembapan dibungkus dengan goni atau kantung plastik. Pada penyimpanan


simplisia di simpan dalam tempat khusus atau dalam gudang simplisia, terpisah

dengan tempat penyimpanan bahan lainnya, atau alat-alat (Depkes, 1985).

2.7 Ekstraksi

2.7.1 Pengertian Ekstraksi

Ekstraksi merupakan salah satu metode pemisahan berdasarkan perbedaan

kelarutan. Ekstraksi secara umum didefinisikan sebagai proses pemisahan dan

isolasi zat dari suatu zat dengan penambahan pelarut tertentu untuk

mengeluarkan komponen campuran dari zat padat atau zat cair. Dalam hal ini

fraksi padat yang diinginkan bersifat larut dalam pelarut (solvent), sedangkan

fraksi padat lainnnya tidak dapat larut. Ekstraksi atau penyarian merupakan

peristiwa perpindahan masa zat aktif yang semula berada didalam sel tanaman

ditarik oleh cairan hayati. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa

faktor, seperti sifat dari bahan mentah tanaman dan daya penyesuaian dengan

tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak dari

tanaman. Sifat dari bahan mentah tanaman merupakan faktor utama yang

harus dipertimbangkan dalam memperoleh metode ekstraksi (Harbone, 1987).

2.7.2 Ekstrasi Secara Dingin

Proses ekstraksi secara dingin pada prinsipnya tidak memerlukan

pemanasan. Hal ini di peruntukkan untuk bahan alam yang mengandung

komponen kimia yang tidak tahan pemanasan dan bahan-bahan alam yang

mempunyai tekstur yang lunak (Ditjen POM, 1986). Yang termaksuk

ekstraksi secara dingin adalah sebagai berikut :

1. Metode maserasi
Metode maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana yang

dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia, tidak mengandung zat

yang mudah mengembang seperti benzoin, stiraks dan lilin (Ditjen POM,

1986). Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang dilakukan dengan cara

merendam serbuk dalam pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada

temperatur kamar terlindung dari cahaya, pelarut akan masuk kedalam sel

melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi

antara larutan didalam sel dengan diluar sel. Larutan yang konsentrasinya

tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah

(proses difusi). Peristiwa tersebut akan berulang sampai terjadi keseimbangan

antara larutan didalam sel dan larutan diluar sel (Ansel, 1989).

Adapun beberapa kelebihan dan kekurangan dari ekstraksi dengan metode

maserasi adalah sebagai berikut :

Kelebihan dari ekstraksi dengan metode maserasi yaitu :

a. Unit alat yang dipakai sederhana, hanya dibutuhkan bejana perendam.

b. Biaya operasionalnya relatif rendah dan prosesnya relatif hemat penyari.

Kekurangan dari ekstraksi dengan metode maserasi yaitu :

a. Proses penyariannya tidak sempurna, karena zat aktif hanya mampu

terekstraksi sebesar 50%.

b. Prosesnya lama, butuh waktu beberapa hari.

2. Metode perkolasi

Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari melalui serbuk

simplisia yang telah dibasahi. Prinsip ekstraksi dengan perkolasi adalah serbuk
simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi

sekat berpori, cairan penyari dialirkan dari atas kebawah melalui serbuk tersebut,

cairan penyari akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui sampel

dalam keadaan jenuh. Gerakkan kebawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya

sendiri dan tekanan penyari dari cairan atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang

cenderung untuk menahan gerakkan kebawah (Ditjen POM, 1986).

Kelebihan dari metode perkolasi adalah :

a. Tidak terjadi kejenuhan

b. Pengaliran meningkatkan difusi (dengan dialirin cairan penyari sehingga zat

seperti terdorong untuk keluar dari sel)

Kekurangan dari metode perkolasi :

a. Cairan penyari lebih banyak

b. Resiko cemaran mikroba untuk penyari air karena dilakukan secara terbuka

(Sulaiman, 2007).

2.7.3 Ekstrasi Secara Panas

Ekstraksi secara panas dilakukan untuk mengekstraksi komponen

kimia yang tahan terhadap pemanasan seperti glikosida, saponin dan minyak-

minyak menguap yang mempunyai titik didih yang tinggi, selain itu

pemanasan juga diperuntukkan untuk membuka pori-pori sel simplisia

sehingga pelarut organik mudah masuk kedalam sel untuk melarutkan

komponen kimia. Metode ekstraksi yang termasuk cara panas yaitu:

1. Metode sokletasi
Sokletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan,

cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap terkondensasi menjadi

molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam

klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah

melewati pipa sifon. Proses ini berlangsung hingga penyarian zat aktif

sempurna yang ditandai dengan beningnya cairan penyari yang melalui pipa

sifon atau jika diidentifikasi kromatografi lapis tipis tidak memberikan noda

lagi (Ditjen POM, 1986). Adapun kelebihan dan kekurangan dari metode

sokletasi adalah :

Kelebihan dari metode sokletasi adalah :

a. Dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan.

terhadap pemanasan secara langsung. Digunakan pelarut yang lebih sedikit.

b. Pemanasan dapat diatur.

Kekurangan dari metode sokletasi adalah :

a. Karena pelarut diatur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah disebelah

bawah terus-menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan reaksi

peruraian oleh panas.

b. Jumlah total senyawa-senyawa yang diekstraksi akan melampaui kelarutannya

dalam pelarut tertentu sehingga dapat mengendap dalam wadah dan

membutuhkan volume pelarut yang lebih banyak untuk melarutkannya.

c. Bila dilarutkan dengan skala besar, mungkin tidak cocok untuk menggunakan

pelarut dengan titik didih yang terlalu tinggi.

2. Metode Refluks
Metode refluks adalah termasuk metode berkesinambungan dimana

cairan penyari secara kontinyu menyari komponen kimia dalam simplisia

cairan penyari dipanaskan sehingga menguap dan uap tersebut

dikondensasikan oleh pendingin balik, sehingga mengalami kondensasi

menjadi molekul-molekul cairan dan jatuh kembali kelabu alas bulat sambil

menyari simplisia. Proses ini berlangsung secara berkesinambungan dan

biasanya dilakukan 3 kali dalam waktu 4 jam (Ditjen POM, 1986).

3. Metode destilasi uap air

Metode destilasi uap air diperuntukkan untuk menyari simplisia yang

mengandung minyak menguap atau mengandung komponen kimia yang

mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal, misalnya pada

penyarian minyak atsiri yang terkandung dalam tanaman daun raja (Ditjen

POM, 1986).

Pada metode ini uap air digunakan untuk menyari simplisia dengan

adanya pemanasan kecil uap air tersebut menguap kembali bersama minyak

menguap dan dikondensasikan oleh kondensor sehingga terbentuk molekul-

molekul air yang menetes kedalam corong pisah penampung yang telah diisi

air. Penyulingan dilakukan hingga sempurna (Ditjen POM, 1986).

4. Metode infundasi

Infundasi merupakan metode penyarian dengan cara menyari simplisia dalam

air pada suhu 90oC selama 15 menit, yang mana ekstraksinya dilakukan secara

infundasi. Infundasi penyarian adalah peristiwa memindahkan zat aktif yang semula

didalam sel ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam cairan penyari.
Secara umum penyari akan bertambah baik apabila permukaan simplisia yang

bersentuhan semakin luas (Ansel, 1989)

2.8 Pelarut

Pelarut merupakan cairan yang mampu melarutkan zat lain yang

umumnya berbentuk padatan tanpa mengalami perubahan kimia. Dalam

bentuk cairan dan padatan, tiap molekul saling terikat akibat adanya gaya tarik

menarik antar molekul, gaya tarik menarik tersebut akan mempengaruhi

pembentukan larutan. Apabila terdapat zat terlarut dalam suatu pelarut, maka

partikel zat terlarut tersebut akan menyebar ke seluruh pelarut. Hal ini

menyebabkan bentuk zat terlarut menyesuaikan dengan bentuk pelarutnya

(Pudjaatmaka, 2004). Pelarut dibedakan menjadi tiga yaitu :

a. Pelarut Polar

Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk mengekstrak senyawa-

senyawa yang polar dari tanaman. Pelarut polar cenderung universal digunakan

karena biasanya walaupun polar, tetap dapat menyari senyawa-senyawa dengan

tingkat kepolaran lebih rendah. Salah satu contoh pelarut polar adalah: air, metanol,

etanol dan asam asetat.

Polar dibagi menjadi dua yaitu polar protik dan aprotik. Pengertian dari polar

protik dan aprotik adalah protik menunjukkan atom hidrogen yang menyerang atom

elektronegatif yang dalam hal ini adalah oksigen. Dengan kata lain pelarut protik

polar adalah senyawa yang memiliki rumus umum ROH. Contoh dari pelarut

protik  polar ini adalah air (H2O), metanol (CH3OH), dan asam asetat (CH3COOH).
Aprotik menunjukkan molekul yang tidak mengandung ikatan O-H. Pelarut dalam

kategori ini, semuanya memiliki ikatan yang memilki ikatan dipol besar. Biasanya

ikatannya merupakan ikatan ganda antara karbon dengan oksigen atau nitrogen.

Contoh dari pelarut yang termasuk kategori ini adalah aseton [(CH 3)2C=O] dan etil

asetat (CH3CO2CH2CH3).

b. Pelarut semi polar

Pelarut semi polar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dibandingkan

dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan senyawa-senyawa

semipolar dari tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah: aseton, dan etil asetat.

c. Pelarut non polar

Pelarut nonpolar, hampir sama sekali tidak polar. Pelarut ini baik untuk

mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut polar.

Senyawa ini baik untuk mengekstrak berbagai jenis minyak. Contoh: heksana dan

eter (Handojo, 1995).

2.8.1 Pelarut Etanol

Etanol adalah cairan tak berwarna yang mudah menguap dengan aroma

yang khas. Sifat -sifat fisika etanol utamanya dipengaruhi oleh keberadaan

gugus hidroksil dan pendeknya rantai karbon etanol. Gugus hidroksil dapat

berpartisipasi ke dalam ikatan hidrogen, sehingga membuatnya cair dan lebih

sulit menguap dari pada senyawa organik lainnya dengan massa molekul yang

sama. Etanol merupakan pelarut yang serbaguna, larut dalam air dan pelarut

organik lainnya, meliputi asam asetat, aseton, benzena, karbon tetraklorida,

kloroform, dietil eter, etilen glikol, gliserol, nitrometana, piridina, dan toluena.
Ia juga larut dalam hidrokarbon alifatik yang ringan, seperti pentana dan

heksana, dan juga larut dalam senyawa klorida alifatik seperti trikloroetana

dan tetrakloroetilena..Dalam pemilihan jenis pelarut faktor yang perlu

diperhatikan antara lain adalah daya melarutkan bahan (berdasarkan

kepolaritasan), titik didih, sifat racun, mudah tidaknya terbakar dan pengaruh

terhadap peralatan ekstraksi (Gamse, 2002).

Secara umum pelarut yang sering digunakan adalah etanol karena etanol

mempunyai polaritas yang tinggi sehingga dapat mengekstraksi bahan lebih

banyak dibandingkan jenis pelarut organik yang lain. Etanol mempunyai titik

didih yang rendah dan cenderung aman. Etanol juga tidak beracun dan

berbahaya. Kelemahan penggunaan pelarut etanol adalah etanol larut dalam

air, dan juga melarutkan komponen lain seperti karbohidrat, resin dan gum.

Larutnya komponen ini mengakibatkan berkurangnya tingkat kemurniannya.

Keuntungan menggunakan pelarut etanol dibandingkan dengan aseton yaitu

etanol mempunyai kepolaran lebih tinggi sehingga mudah untuk melarutkan

senyawa resin, lemak, minyak, asam lemak, karbohidrat, dan senyawa organik

lainnya. Penggolongan mutu etanol dibagi menjadi 4 golongan yaitu: (1)

etanol industri, (2) spiritus, (3) etanol murni, dan (4) etanol absolut (Paturau,

1982).

2.8.2 Pelarut Air

Air sering disebut sebagai pelarut universal karena air melarutkan banyak zat

kimia. Air berada dalam kesetimbangan dinamis antara fase cair dan padat di bawah
tekanan dan temperatur standar. Dalam bentuk ion, air dapat dideskripsikan sebagai

sebuah ion hidrogen (H+) yang berasosiasi (berikatan) dengan sebuah ion hidroksida

(OH-). Air adalah pelarut yang kuat, melarutkan banyak jenis zat kimia. Zat–zat yang

bercampur dan larut dengan baik dalam air (misalnya garam-garam) disebut sebagai

zat-zat hidrofilik (pecinta air) dan zat-zat yang tidak mudah tercampur dengan air

(misalnya lemak dan minyak) disebut sebagai zat-zat hidrofobik (takut air). Kelarutan

suatu zat dalam air ditentukan oleh dapat tidaknya zat tersebut menandingi kekuatan

gaya tarik-menarik listrik (gaya intermolekul dipol-dipol) antara molekul-molekul zat

tersebut tidak larut dan akan mengendap dalam air (Wikipedia, 2018).

BAB III

METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental. Sampel yang digunakan adalah kulit bawang

merah dan putih . Perlakuan yang dilakukan meliputi pengumpulan bahan, pembuatan

simplisia sehingga menjadi serbuk sehingga menghasilkan ukuran partikel dari mesh

80, partikel serbuk simplisia kulit bawang merah dan putih masing-masing di

ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol dengan metode maserasi. Skrinning

fitokimia dilakukan untuk menentukan kandungan metabolit sekunder yang

terkandung pada masing-masing ekstrak dan anlisis gugus fungsi menggunakan

spektrofotomerti IR kemudian di uji nilai sun protection factor (SPF) dengan

menggunakan alat spektrofotometri UV-VIS.

3.1.1 Variabel Penelitian

Variabel bebas pada penelitian ini adalah variasi konsentrasi ekstrak

etanol kulit bawang merah dan kulit bawang putih yang digunakan dalam

penentuan nilai sun protectin factor (SPF) 0,03 gr; 0,04 gr; dan 0,05gr.

3.1.2 Parameter Penelitian

Parameter penelitian meliputi uji karakterisasi simplisia meliputi

penentuan kadar air, penentuan kadar abu total, penentuan kadar abu tidak

larut asam, penentuan kadar sari larut air, penentuan kadar sari larut etanol.

Uji skrining mengidentifikasi senyawa alkaloid, flavanoid, tanin saponin dan

terpenoid/steroid. Menentukan gugus fungsi dengan metode spektrofotometri

IR dan penentuan nilai sun pprotection factor (SPF) menggunakan

spektrofotometri UV-VIS

3.2 Jadwal Penelitian

3.2.1 Jadwal Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2019 sampai dengan bulan

Maret 2020.

3.2.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmasi Terpadu Universitas

Muslim Nusantara Al- Washliyah Medan.

3.3 Bahan

Bahan yang digunakan adalah kulit bawang merah (Allium cepa L.), kulit

bawang putih kulit bawang putih (Allium sativum L.), etanol pa, kloroform,

kloroform amoniak, logam magnesium (Mg), larutan besi (III) klorida (FeCl3),

asam sulfat (H2SO4) 2N, asam sulfat pekat, asetat anhidrida, pereaksi

Lieberman-Burchard, dan pereaksi Mayer.

3.4 Peralatan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik

(Shimadzu Auw 220), 96 well clear polystyrene microplate, microplate

reader (Berthold LB 941), pipet mikro (Socorex), plat tetes, pipet tetes, beker

glass, labu ukur, kaca arloji, dan corong.

3.5 Pembuatan Larutan Pereaksi

3.5.1 Larutan Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam 20 mL air suling, kemudian

ditambahkan sedikit demi sedikit 2 g iodium dan dicukupkan dengan air suling

hingga 100 mL (Ditjen POM, 1979).

3.5.2 Larutan Pereaksi Mayer


Sebanyak 1,36 g raksa (II) klorida, dilarutkan dalam 60 ml air suling, kemudian

pada wadah yang lain ditimbang sebanyak 5 g kaliu iodida lalu dilarutkan dalam 10

mL air suling. Kedua larutan dicampurkan dan ditambahkan air suling hingga

diperoleh larutan 100 mL (Ditjen POM, 1979).

3.5.3 Larutan Pereaksi Dragendrof

Sebanyak 8 g bismut (II) nitrat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam 20

mL asam nitrat pekat. Pada wadah lain ditimbang sebanyak 27,2 g kalium

iodida lalu dilarutkan dalam 50 mL air suling. Kemudian kedua larutan

dicamurkan dan didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan yang jernih

diambil dan diencerkan dengan air suling hingga 100 mL (Ditjen POM,

1979).

3.5.4 Larutan Pereaksi Molish

Sebanyak 3 g alfa-naftol ditambahkan beberapa tetes etanol kemudian

dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.5.5 Larutan Pereaksi Asam Klorida 2 N

Sebanyak 17 mL asam klorida pekat diencerkan dalam air suling hingga 100 ml

(Ditjen POM, 1979).

3.5.6 Larutan Pereaksi Besi (Iii) Klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dengan air suling hingga 100 mL

(Ditjen POM, 1979).


3.5.7 Larutan Pereaksi Liberman- Burchard

Sebanyak 20 bagian asam asetat anhidrat dicampurkan dengan 1 bagian asam

sulfat pekat dan 50 bagian kloroform. Larutan pereaksi harus dibuat baru. (Harborne,

1987).

3.5.8 Larutan Pereaksi Natrium Hidroksida 2 N

Sebanyak 8,002 gram pellet natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling

hingga 100 ml (ditjen pom, 1979).

3.6 Prosedur Penelitiaan Dan Pengumpulan Data

3.6.1 Pungumpulan Sampel

Pengumpulan sampel dilakukan secara purposif, yaitu tanpa

membandingkan dengan daerah lain. Sampel yang digunakan dalam penelitian

ini adalah kulit bawang merah (Allium cepa L.) dan kulit bawang putih

(Allium sativum L.)

3.6.2 Uji Determinasi

Determinasi tanaman bawang merah (Allium cepa L.) dan bawang putih

(Allium sativum L.) di Herbarium Medanesse MEDA Universitas Sumatera

Utara Medan.

3.6.3 Pembuatan Sampel

Kulit bawang merah (Allium cepa L.) dan kulit bawang putih (Allium

sativum L.) masing-masing dicuci dan ditiriskan, ditimbang sebagai berat

basah. Kemudian dikeringkan di dalam lemari pengering. Kemudian

dilakukan sortasi untuk memisahkan kotoran dan benda asing. Kulit bawang
merah yang telah kering ditimbang dan dimasukkan ke dalam wadah yang

tertutup (Depkes, 1989).

3.6.4 Karakterisasi Simplisia

a. Penetapan Kadar Air

Satu gram simplisia ditimbang seksama dan dimasukkan ke dalam krus

porselen bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105°C selama

30 menit dan telah ditara. Simplisia diratakan dalam krus porselen dengan

menggoyangkan krus hingga merata.Masukkan ke dalam oven, buka tutup

krus, panaskan pada temperatur 100ºC sampai dengan 105°C, timbang dan

ulangi pemanasan sampai didapat berat yang kostan (Depkes, 1989).

b. Penetapan Kadar Abu Total

Sebanyak 3 g serbuk simplisia yang telah digerus dan ditimbang seksama

dimasukkan dalam krus porselen yang telah dipijarkan dan ditara, diratakan.

Krus dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, pijaran dilakukan pada

suhu 600ºC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai

diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang dikeringkan di

udara. Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas,

saring melalui kertas saring bebas abu. Dipijarkan sisa kertas dan kertas saring

dalam krus yang sama. Dimasukkan filtrat ke dalam krus,


diuapkan.Dipijarkan hingga bobot tetap, ditimbang dan dihitung (Depkes,

1989).

c. Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml

asam klorida encer selama 5 menit, kumpulkan bagian yang tidak larut dalam

asam, saring melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu yang telah

diketahui beratnya, lalu sisa dipanaskan, kemudian didinginkan dan ditimbang

sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap

bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes, 1989).

d. Penetapan Kadar Sari Larut Air

Lima gram serbuk simplisia dimaserasi dengan 100 ml kloroforom P (2,5

mL kloroforom dalam 1000 mL aquadest) selama 24 jam menggunakan labu

bersumbat sambil sekali-sekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian

didiamkan. Disaring cepat, 20 ml filtrat diuapkan dalam cawan dangkal

berdasar rata (yang telah ditara) di atas penangas air hingga kering, sisa

dipanaskan pada suhu 105°C hingga bobot tetap. Kadar dihitung dalam persen

terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes,1989).

e. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol

Lima g serbuk simplisa dimaserasi dengan 100 ml etanol selama 24 jam

seperti tertera pada monografi, menggunakan labu bersumbat sambil sekali-

sekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian didiamkan. Disaring cepat,

20 ml filtrat diuapkan dalam cawan dangkal (Depkes, 1989).


3.6.5 Pembuatan Ekstrak

Ekstraksi kulit bawang merah dan kulit bawang putih, masing-masing

dilakukan dengan cara maserasi, penyari yang digunakan adalah etanol 70%.

Satu gram bagian simplisia dimasukkan ke dalam bejana maserasi,

ditambahkan 750 ml etanol 70% dan direndam selama 5 hari sambil sekali-

sekali diaduk. Disaring, maseratnya dicukupkan menjadi 100 bagian dengan

melewatkan cairan penyari melalui ampas maseratnya.Kemudian didiamkan 2

hari. Cairan jernih dienaptuangkan dan kemudian maserat diuapkan dengan

rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak kental (BPOM RI, 2013).

3.6.6 Skrining Fitokimia

a. Pemeriksaan Alkaloid

Sampel uji ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam

klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2

menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk uji

alkaloida, diambil 3 tabung reaksi, lalu kedalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat.

Masingmasing tabung reaksi ditambahkan pereaksi yang berbeda.

1. Tabung reaksi 1: ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer

2. Tabung reaksi 2: ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat

3. Tabung reaksi 3: ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada paling sedikit

dua dari tiga percobaan diatas (Depkes RI, 1995).

b. Pemeriksaan Flavanoid
Sebanyak 10 g sampel uji ditambahkan 10 ml air panas, dididihkan selama

5 menit dan disaring dalam keadaan panas, kedalam 5 ml filtrat ditambahkan

0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol,

dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika terjadi warna merah

atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Depkes RI, 1995).

c. Pemeriksaan Tanin

Sampel uji ditimbang sebanyak 1 g, dididihkan selama 3 menit dalam 100

ml air suling lalu didinginkan dan disaring. Larutan diambil 2 ml ditambahkan

1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru kehitaman atau

hijau kehitaman menunjukkan adanya tannin (Depkes RI, 1995).

a. Pemeriksaan Tanin

Sampel uji ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan kedalam tabung

reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, dinginkan kemudian dikocok kuat-

kuat selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil dan

tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam

klorida 2N menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).

b. Pemeriksaan Steroid/Triterpenoid

Sebanyak 1 g sampel uji dimaserasi selama 2 jam dengan 20 ml n-heksan,

lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan

beberapa tetes pereaksi Liebermann-Burchad. Timbulnya warna biru atau biru

hijau menunjukkan adanya steroida, sedangkan warna merah, merah muda

atau ungu menunjukkan adanya triterpenoida (Harborne, 1987).


3.7 Uji Penentuan SPF Menggunakan Spektofotometri UV-VIS

Penentuan nilai SPF dari ekstrak kulit bawang merah dan putih

dilakukan dengan cara mengukur serapan ekstrak kental pada panjang

gelombang antara 290–320 nm dengan interval 5 nm menggunakan

spektrofotometer UV-Vis, dengan etanol sebagai blanko. Sebanyak 0,03 gr;

0,04 gr; dan 0,05gr. sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu

tentukur 250 ml lalu ditambahkan etanol 96%. Sampai tanda batas. Kemudian

diambil secukupnya untuk diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-

Vis pada panjang gelombang 290, 295, 300, 305, 310, 315, dan 320 nm. ).

Serapan yang diperoleh kemudian dihitung berdasarkan pengembangan

penelitian Mansur dalam Dutra et al (2004).

3.8 Uji Flavonoid Menggunakan Spektofotometri Infra-Red

Sampel ekstrak etanol kulit bawang merah dan putih yang telah murni

terbebas dari ari kemudian digerus bersama-sama dengan halida

organik.,KBr.Gerusan kristal murni dengan KBr dibentuk menjadi lempeng

tipis atau pellet dengan bantuan alat penekan brekekuatan 8-19 ton persatuan

luas. Kemudian pelet tersebut diukur puncak serapannya (Indarto,2015).

3.9 Analisa Data

Perhitungan nilai SPF mengikuti persamaan Mansur (1986). Persamaannya

adalah sebagai berikut :

320
SPF ¿ CF x ∑ EE ( λ ) x I ( λ ) x A( λ)
290

Keterangan :
CF : Faktor koreksi bernilai 10

EE : Efek eritmogenik radiasi pada panjang gelombang ( λ ¿

I : Spektrum simulasi sinar surya ( λ ¿

A : Nilai absorbansi pada panjang gelombang ( λ)

Anda mungkin juga menyukai