Anda di halaman 1dari 9

RESUME JURNAL KSP MACACA UNJ

Post-release adaptation of Javan gibbon (Hylobates moloch) in Mount Malabar Protected


Forest, West Java, Indonesia

Kelompok 10

1. Elrica Amaliah Putri (KSP XIX)


2. Khalisdhia Falah Baldimaron (KSP XIX)
3. Muhammad Ilyas (KSP XVII)
4. Gabriella Oktaviani Prabowo (KSP XVII)
5. Famira Ichsanty (KSP XVIII)
6. Rizka Malintan (KSP XVIII)

PENDAHULUAN

Owa jawa (Hylobates moloch) merupakan salah satu dari sembilan spesies primata
dalam famili Hylobatidae di Indonesia. Hanya terdapat di Pulau Jawa, khususnya di hutan
konservasi dan hutan lindung di Pulau Jawa bagian barat dan tengah. Selain hilangnya
habitat, perburuan hewan peliharaan merupakan ancaman serius bagi owa jawa. Kurang dari
100 owa jawa yang ditangkap dari alam liar berada di 8 pusat rehabilitasi dan 11 kebun
binatang di Pulau Jawa dan Bali. Rehabilitasi dan pelepasan owa jawa memang tidak mudah.
Selain monogami, owa jawa memiliki rasa teritorial yang kuat, yang mengakibatkan proses
rehabilitasi yang lama dan mahal. Program rehabilitasi dan reintroduksi telah banyak
digunakan sebagai elemen strategi konservasi untuk spesies yang terancam punah, yang
menjadi salah satu cara untuk membangun kembali populasi yang telah punah secara lokal.

Spesies utama yang akan dilepasliarkan adalah spesies populasinya terus menurun,
serta penyebarannya terbatas. Masalah yang mungkin muncul selama program reintroduksi
termasuk kematian sebelum reproduksi, menghilang tanpa pemulihan, tidak ada vokalisasi,
tidak ada sanggama, tidak ada perkembangan perilaku kawin, kekurangan nutrisi, dan
ketidakmampuan untuk brakiasi. Kematian dapat disebabkan oleh perburuan, penyakit, dan
kelaparan. Kemampuan owa jawa untuk beradaptasi setelah dilepasliarkan merupakan
indikator keberhasilan program rehabilitasi dan reintroduksi. Kemampuan adaptasi pada owa
jawa yang dilepas belum pernah diteliti sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan
dengan tujuan untuk menilai kemampuan adaptasi owa jawa yang dilepasliarkan.
WAKTU DAN LOKASI

Studi dilakukan selama 12 bulan dari April 2016 hingga Maret 2017 di Hutan
Lindung Gunung Malabar (MMPF), Jawa Barat, Indonesia. Memiliki luas sekitar 8.894,47
hektar yang terletak di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi penelitian terletak pada 07°
07'20.52 ”LS dan 107° 36'28.48” BT, pada ketinggian1.000 hingga 2.300 m dpl (Gambar 1).
Suhu rata-rata18-23 ° C dengan curah hujan tahunan antara 2.000 dan 2.500 mm.

Subjek Penelitian

Subyek dalam ini penelitian dilakukan terhadap sebelas individu owa jawa yang
dilepasliarkan. Mereka terdiri dari empat kelompok: Jowo-Bombom-Yani-Yudi, dirilis pada
27 Maret 2014; Robin-Moni dan Moli-Nancy, dua pasang owa-owa yang dirilis pada 24 April
2015; dan Mel-Pooh-Asri, dirilis pada 10 Agustus 2016. Mereka juga beranggotakan 8 orang
dewasa, Jowo, Bombom, Nancy, Moli, Moni, Robin, Mel, dan Pooh, dengan usia ± 13-21
tahun; 1 subadult, Yani umur ± 6 tahun; 1 remaja, yudi umur ± 3,5 tahun; dan 1 bayi, Asri
usia ± 1,5 tahun (Tabel 1).

Pengumpulan data dan analisis

Perilaku owa jawa yang diamati dalam penelitian ini adalah makan, bergerak,
istirahat, sosial, seksual, dan vokalisasi. Pengumpulan data perilaku menggunakan metode
focal-animal sampling dengan interval 5 menit , pada masa aktif owa jawa, mulai dari bangun
pagi hingga tidur malam. Untuk menilai ikatan pasangan antara owa jawa yang dilepas, kami
mencatat kedekatan dan posisi antar individu dalam kelompok dengan jarak 0-10 m, 10-20 m,
20-30 m, dan > 30 m. Kami juga mendokumentasikan penggunaan strata hutannya, dengan
rentang 0-10m, 10-20 m, 20-30 m, dan > 30 m. Selain itu, kami juga membandingkan
perilaku owa jawa yang dilepasliarkan dengan owa jawa berdasarkan literatur. Koordinat owa
diperoleh dari Global Position System dan daerah jelajah dipetakan menggunakan pendekatan
Minimum Convex Polygon dengan ArcGIS 9.3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Anggaran kegiatan Owa Jawa

Berdasarkan analisis data perilaku, ditemukan bahwa sebelas owa jawa yang dilepasliarkan
mengalokasikan waktunya dengan hasil dibawah ini

Tabel 2. Behavioral time allocation for each Group of post-realese Javan gibbon
Behaviors The family of The pair of The pair of The family of
Jowo-Bombom- Moli-Nancy Robin-Moni Mel-Pooh-Asri
Yani-Yudi
Feeding 20.67±4.29 23.59±1.30 23.50±0.74 24.32±2.07
Moving 31.07±10.35 27.47±4.87 24.98±1.47 24.29±7.44
Resting 35.45±12.08 43.98±4.43 41.14±2.12 42.94±12.50
Socializing 11.46±7.26 3.02±0.07 8.82±0.00 6.94±5.92
Vocalizing 0.95±0.52 0.92±0.44 0.71±0.13 1.23±0.19
Sexual 0.18±0.22 0.59±0.19 0.28±0.00 0.00±0.00

Data kemudian dibandingkan dengan alokasi perilaku dari penelitian ini dan data dari owa
jawa liar yang ditemukan seperti pada table dibawah ini

Tabel 3. Similarity level dataon psot-release and wild Javan gibbon

Similarity level (%)


Behavior Wild Javan The The pair of The pai of The family
gibbons family of Moli-Nancy Robin-Moni of Mel-
(x±SD) Jowo- Pooh-Asri
Bombom-
Yani-
Yudi
Feeding 39.20±6.84 52.72 60.17 59.93 62.03
Moving 24.56±11.29 79.04 89.40 98.30 98.90
Resting 28.30±9.61 79.85 64.35 68.79 65.91
Socializin 3.46±1.91 30.19 87.28 39.23 49.87
g
Vocalizing 3.17±2.80 29.94 28.88 22.42 38.78
Sexual 1.30±0.24 13.85 44.62 21.54 0.00
Average 47.60 62.45 51.70 52.58
Beberapa studi perilaku owa jawa liar di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango
(MGPNP), Taman Nasional Gunung Halimun (MHNP), dan Leuweung Sancang Cagar Alam
(LSNR) menemukan alokasi waktu rata-rata: makan 39,20 ± 6,84%, bergerak 24,56 ±
11,29%, istirahat 28,30 ± 9,61%, bersosialisasi 3,46 ± 1,91%, bersuara 3,17 ± 2,80% dan
seksual 1,30 ± 0,24. Data kemudian dibandingkan dengan alokasi perilaku dari penelitian ini
dan data dari owa jawa liar yang ditemukan seperti pada Tabel diatas.

Owa paling banyak memakan buah 60,05 ± 3,42, diikuti daun 35,95 ± 4,48, bunga
3,55 ± 1,80 dan serangga 0,45 ± 0,58. Brachiation 50,80 ± 8,48 adalah penggerak utama,
diikuti dengan melompat 27 ± 5,52, mendaki 14,58 ± 7,33, dan bipedalisme 7,62 ± 3,37.
Mereka beristirahat dengan duduk 84,24 ± 9,03, berbaring 14,57 ± 8,04, dan tidur 1,19 ±
1,30. Interaksi sosial antar individu adalah dandan 66,98 ± 6,99, bermain 30,02 ± 6,51, dan
perilaku agonistik 4,12 ± 4,88. Perilaku seksual individu dewasa: pacaran 81,43 ± 12,13, pra-
sanggama 16,05 ± 9,47, dan perilaku sanggama 11,80 ± 3,00. Owa kebanyakan bersuara
dengan melakukan short call 59.11 ± 8.93, diikuti morning call 27.11 ± 14.14, dan alarm call
13.78 ± 8.27.

Aktivitas harian tertinggi sebelas owa jawa adalah 12,84% pada pukul 08: 00-09: 00
dan 12,95% pada pukul 02: 00-03: 00. Sebaliknya, aktivitas terendah adalah 4,65% pada
pukul 06: 00-07: 00 dan 7,23% pada pukul 03: 00-04: 00. (Gambar 3). Berdasarkan jenis
kelamin dan kelompok umur, perilaku kunci untuk menilai keberhasilan adaptasi owa jawa
dipertimbangkan terdiri dari konsumsi buah, brachiation, komunikasi, dan interaksi afiliatif.
Persentase rata-rata brakiasi pada subadult, juvenile, dan infant lebih tinggi dibanding jantan
dan betina dewasa. ‘Morning call’ diproduksi oleh betina dewasa, alarm call oleh jantan dan
betina, dan hanya Adult yang melakukan ‘Alarm call’. Interaksi afiliasi ditemukan pada
adult, subadult, juvenile, infant

Table 4. The average proportions for each key behaviors of Javan gibbon

Key gender Age group


Adult Adult Adult Subadult Juvenile Infant
behaviors
male female
Consuming 59.81±5.37 56.32±4.45 58.06±4.45 75.83 69.58 54.37
natural
fruits
Brachiation 48.15±8.45 48.69±7.75 48.69±7.75 70.30 74.88 35.53
Morning 0.00±0.00 15.43±3.64 15.43±3.64 0.00 0.00 0.00
call
Alarm call 26.26±13.5 19.65±19.0 22.96±15.7 0.00 0.00 0.00
6 7 2
Affiliative 39.52±3.30 45.37±10.8 42.44±8.06 49.02 48.97 48.91
interactions 5

Aktivitas harian tertinggi sebelas owa jawa terjadi pada pukul 08: 00-09: 00 dan pada
pukul 02: 00-03: 00. Hal ini disebabkan meningkatnya aktivitas pagi hari untuk mencari dan
mengonsumsi makanan, serta vokalisasi ‘morning call’. Sebaliknya, aktivitas terendah terjadi
pada pukul 06: 00-07: 00 dan pada pukul 03: 00-04: 00, akibat kondisi cuaca di lokasi
observasi yang biasanya dingin, berkabut, dan sesekali hujan sehingga menyebabkan aktivitas
terhambat. Owa liar menunjukkan pola bimodal (dua puncak) dalam aktivitas kesehariannya.
Pertama setelah kelompok owa meninggalkan pohon tidurnya dan puncak kedua terjadi satu
jam sebelum kelompok tersebut beristirahat lama

Mengkonsumsi buah-buah alami

Kemampuan mengkonsumsi buah owa yang dilepas lebih rendah dibandingkan owa
jawa liar di MGPNP dan PLTMH, hal ini disebabkan oleh semakin tingginya Kebebasan
berekspresi dalam mendapatkan pilihan makanan selain ketersediaan buah yang lebih tinggi
di luar kandang dengan waktu yang tidak terbatas di alam liar dibandingkan dengan pada fase
rehabilitasi dan aklimatisasi. Konsumsi buah lebih tinggi pada remaja dan sub dewasa
dibandingkan pada orang dewasa. Ini karena remaja dan anak dewasa cenderung lebih sering
bepergian dan sangat aktif. Selain itu, juvenile dan adult cenderung mencoba semua jenis
makanan di hutan. Frekuensi perilaku makan owa jawa juvenil lebih tinggi dibandingkan owa
jawa dewasa, karena juvenil dalam fase tumbuh sehingga membutuhkan asupan nutrisi yang
banyak. Jenis buah, daun, dan bunga yang dikonsumsi mencapai 50 jenis di MMPF.

Komunikasi

Kemampuan morning call hanya ditemukan pada betina dewasa, dan tidak ditemukan
pada jantan dewasa, sub-dewasa, juvenile, atau infant. Perilaku ini merupakan upaya untuk
berkomunikasi dengan kelompok lain dan mengekspresikan kewilayahan. Vokalisasi owa
jawa memiliki keunikan yakni betina memiliki peran lebih besar dalam menjaga wilayah.
Owa betina yang dilepasliarkan biasanya melakukan aktivitas morning call antara pukul
07.00-08.00. Jika seorang betina dewasa melakukan morning call, kelompok lain biasanya
akan mengikutinya. Vokalisasi yang ditampilkan owa jawa jantan di lokasi penelitian adalah
panggilan singkat sebagai komunikasi antar individu, alarm call baik jantan maupun betina
dilakukan setiap kali ada objek atau ancaman yang berpotensi membahayakan yang diamati
oleh kelompok. Juga, kadang-kadang mereka mulai bernyanyi sebelum betina menyanyikan
panggilan pagi, tetapi berhenti ketika betina memulai panggilan besar.

Interaksi sosial

Tingginya proporsi interaksi afiliatif baik berdasarkan jenis kelamin maupun


kelompok umur menunjukkan interaksi positif dalam menjaga silaturahmi antar individu pada
semua kelompok owa jawa yang dilepasliarkan. Penelitian ini membuktikannya dengan
menunjukkan bahwa rata-rata kedekatan antar individu pada setiap kelompok sebagian besar
berada pada kisaran 0-10 m, menunjukkan kecilnya peluang bagi individu untuk dipisahkan
dari kelompoknya. Interaksi dalam kelompok terdiri dari perilaku afiliatif dan agonistik.
Interaksi afiliasi merupakan interaksi yang memperkuat ikatan dan mempertemukan individu-
individu dalam suatu kelompok. Perilaku afiliatif pada primata bertujuan untuk menjaga
ikatan pasangan dan mempengaruhi individu lain, termasuk untuk melakukan persetubuhan.
Perbedaan proporsi tingkah laku sosial tergantung pada komposisi dalam satu kelompok owa
jawa. Jika terdapat infant atau juvenile dalam suatu kelompok, maka perilaku bermain akan
memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan perilaku sosial lainnya. Perilaku
bermain ini juga terjadi antara remaja dan dewasa.

Teritorial

Luas wilayah keluarga Jowo-Bombom-Yani-Yudi, pasangan Robin-Moni, pasangan


Moli-Nancy, dan keluarga Mel-Pooh-Asri masing-masing adalah 4,53 ha, 1,39 ha, 3,52 ha,
dan 7,84 ha Menurut Supriatna dan Wahyono (2000) owa jawa memiliki luas wilayah 16-17
ha dengan jarak tempuh harian mencapai 1,5 km. Kappeler (1981) dan Rinaldi (1991)
masing-masing menyatakan bahwa rata-rata luas perjalanan owa jawa di Taman Nasional
Ujung Kulon (UKNP) adalah 13,4 ha dan 8,53-8,82 ha. Landjar (1996) mencatat bahwa luas
perjalanan owa jawa di PLTMH seluas 26,25 ha. Hal di buktikan dari rata-rata kedekatan
antar individu dalam setiap kelompok sebagai berikut: 51,63% pada 0-10m, 35,63% pada 10-
20m, 12,36% pada 20-30m, 0,76% pada> 30m. Rata-rata strata pohon yang digunakan pada
setiap kelompok sebagai berikut: 8,89% pada 0-10m, 30,61% pada 10-20m, 57,77% pada 20-
30m, 2,72% pada> 30m. Owa jawa yang dilepasliarkan menjelajahi daerah tidak hanya untuk
mencari makan, tetapi juga untuk menyelidiki suara yang dihasilkan oleh hewan atau
manusia lain. Ketersediaan pakan yang tinggi menyebabkan suatu daerah dipelihara secara
aktif. Teritorial tidak hanya membela pasangan, tetapi juga menjaga daerah perbatasan yang
dekat dengan pohon sumber makanan. Laki-laki membantu perempuan untuk melindungi
wilayah mereka dari penyusup dan predator, dan juga untuk melindungi perempuan dari laki-
laki lain. Owa betina menampilkan lagu solo betina di pagi hari untuk menegaskan batas
wilayah. Di wilayah jelajahnya, kesebelas owa jawa yang dilepasliarkan kebanyakan
menggunakan strata pohon setinggi 20-30 m. Hal ini menunjukkan kemampuan mereka untuk
mencari makanan, tetap aman dari predator, dan melakukan brachiasi pada dahan pohon pada
ketinggian tersebut. Owa jawa menghabiskan sebagian besar aktivitasnya sehari-hari di
lapisan kanopi tertinggi, pada jarak 20-25m.

Adaptasi terhadap lingkungan

Empat kelompok owa jawa yang dilepasliarkan di MMPF mengalami tiga fase yaitu
rehabilitasi, translokasi, dan aklimatisasi. Pada tahap aklimatisasi, keempat kelompok
ditempatkan dalam kandang yang berbeda. Selama proses eksplorasi, semua kelompok owa
jawa yang dilepasliarkan masih berkeliaran di sekitar kandang aklimatisasi, terkadang di atas
kandang, bahkan masuk kembali ke dalam kandang yang sudah dibuka. Pasalnya, kandang
aklimatisasi dinilai sebagai lokasi teraman untuk menghindari predator atau ancaman
manusia. Membiarkan mereka berkeliaran di sekitar kandang adalah pelajaran bertahap
sebelum mereka benar-benar meninggalkan kandang. Kandang aklimatisasi disimpan di
tempatnya, sehingga owa masih dapat mengenali titik tengah amannya, mengingat lebih dari
separuh masa hidupnya dihabiskan di kandang pembesaran dan rehabilitasi. Ketergantungan
pada kandang akan berkurang secara perlahan, sedangkan owa masih berkeliaran di dekat
kandangnya rata-rata dalam waktu 5-6 bulan

Kondisi cuaca

Cuaca yang ditemui selama penelitian ini relatif dingin dan berkabut, dengan sesekali
turun hujan pada pagi atau sore hari. Adaptasi terhadap kondisi cuaca sangat dibutuhkan.
Owa jawa memiliki bulu yang relatif tebal sehingga membantu adaptasinya untuk hidup di
tempat yang dingin. Owa tidur berdekatan satu sama lain agar tetap hangat. Adaptasi mereka
dalam menghadapi cuaca dingin di lokasi penelitian bergerak menuju sinar matahari pagi dan
menghangatkan badan sebelum melakukan aktivitas lainnya.

Kehadiran manusia

Perilaku yang diarahkan oleh manusia menjadi perhatian yang cukup besar. Mengingat
sejarah mereka yang dikurung sebagai hewan peliharaan, kami berharap, mereka mungkin
tertarik untuk mendekati manusia setelah dilepaskan di alam liar. Selama pengamatan, owa
jawa yang dilepas masih menunjukkan perilaku diarahkan manusia meskipun dalam
persentase yang lebih kecil dibandingkan dengan perilaku mereka secara keseluruhan. Pada
pria dan wanita dewasa, nilainya adalah 0,43% -0,52%. Pada bayi, remaja, dan dewasa tidak
diamati perilaku tersebut, karena pada kelompok usia tersebut mereka tidak pernah
berinteraksi secara intensif dengan manusia. Rendahnya tingkat respon terhadap keberadaan
manusia ini menunjukkan dampak positif dari program rehabilitasi pada kesebelas individu
owa jawa tersebut setelah pelepasan

Pengaruh Pemeliharaan dan rehabilitas terhadap kemampuan adaptasi

Sebelum dilepasliarkan, owa jawa mengalami dua syarat: dipegang sebagai hewan
peliharaan, kemudian menjalani rehabilitasi di JGC. Kedua kondisi tersebut melibatkan
interaksi manusia yang erat. Rata-rata umur owa-owa saat memulai proses rehabilitasi adalah
9 tahun, berkisar antara 2 hingga 11 tahun, pada owa jantan dan 5 tahun, berkisar antara 6-11
tahun pada owa betina. Selama rehabilitasi, mereka diberi buah-buahan alami yang
ditemukan di hutan, menggunakan kaki depan untuk melakukan brachiate melalui perilaku
pengayaan serta bersuara dengan mendengarkan suara owa liar di alam liar. Upaya intensif
untuk memulihkan kemampuan mereka selama rehabilitasi sangat penting untuk
mempersiapkan mereka untuk dilepasliarkan ke habitat aslinya. Tantangan besar lainnya
adalah pembentukan ikatan pasangan dewasa. Owa jawa yang dilepas memiliki kemampuan
adaptasi yang relatif baik.

KESIMPUALAN

adaptasi perilaku pasca pelepasan owa jawa dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal meliputi kemampuan setiap individu untuk mengembangkan perilaku liar
sesuai dengan jenis kelamin dan kelompok umurnya. Faktor eksternal meliputi kemampuan
owa jawa dalam beradaptasi dengan lingkungan yaitu kondisi cuaca dan keberadaan manusia.
Perlakuan melalui interaksi dengan manusia selama penangkaran akan sangat menentukan
kemampuan adaptasi owa jawa yang dilepasliarkan. Semakin lama ditahan di penangkaran,
semakin lama pula proses rehabilitasi dan adaptasi setelah dilepaskan. Melepas bayi, remaja,
dan dewasa meningkatkan kemungkinan keberhasilan program rehabilitasi dan reintroduksi
owa jawa. Kelahiran alami di alam liar semakin meningkatkan kemungkinannya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami berterima kasih kepada Konservasi Internasional Indonesia, Yayasan Owa Jawa,
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kehutanan
Jawa Barat-Banten, dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada Clare Campbell dan Holly Thompson dari Wildlife Asia
and Silvery Gibbon Project, Arcus Foundation, Full Circle Foundation dan PT. Pertamina EP
Asset 3 Subang Field yang telah mendukung program rehabilitasi dan reintroduksi owa jawa.
Kami berterima kasih kepada Valentine Kheng atas penyuntingan naskah dan tim pemantau
owa jawa di Gunung Puntang: Mulya Hermansyah, Eryan Hidayat, Uwas, Yanto, Asep
Sunarya, Agus Setiawan, Jenal, Nandang, dan Ade Candra.

Anda mungkin juga menyukai