Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN CHRONIC RENAL

FAILURE (CKD) DENGAN KELEBIHAN VOLUME CAIRAN DI


RUANGAN LONTARA 1 RUMAH SAKIT WAHIDIN
SUDIROHUSODO

Oleh :
MUH. FADLI RAJAB MINHADJ,S.Kep
NIM 70900121010

PEMBIMBING

CI LAHAN CI INTITUSI

(.......................................) (........................................)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2021
KONSEP DASAR MEDIS CKD
A. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal
yang irreversibel dan progresif dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga menyebabkan uremia (Black & Hawk dalam Dwy Retno
Sulystianingsih, 2018).
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu kondisi gagalnya ginjal
dalam menjalankan fungsinya mempertahankan metabolisme serta
keseimbangan cairan dan elektrolit karena rusaknya struktur ginjal yang
progresif ditandai dengan penumpukan sisa metabolik (toksik uremik)
dalam darah (Muttaqin & Sari, 2014).
B. Etiologi
CKD bisa terjadi karena berbagai kondisi klinis seperti penyakit
komplikasi yang bisa menyebabkan penurunan fungsi pada ginjal
(Muttaqin & Sari 2011).
Menurut Robinson (2013) dalam Prabowo dan Pranata (2014) penyebab
CKD, yaitu:
a. Penyakit glomerular kronis (glomerulonephritis)
b. Infeksi kronis (pyelonephritis kronis, tuberculosis)
c. Kelainan vaskuler (renal nephrosclerosis)
d. Obstruksi saluran kemih (nephrolithiasis)
e. Penyakit kolagen (Systemic Lupus Erythematosus)
f. Obat-obatan nefrotoksik (aminoglikosida)
Sedangkan menurut Muttaqqin & Sari (2011) kondisi klinis yang bisa
memicu munculnya CKD, yaitu :
a. Penyakit dari ginjal
1) Penyakit pada saringan (glomerulus): glomerulonephritis
2) Infeksi kuman: pyelonephritis, ureteritis
3) Batu ginjal: nefrolitiasis
4) Kista di ginjal: polycitis kidney
5) Trauma langsung pada ginjal
6) Keganasan pada ginjal
7) Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/striktur
b. Penyakit umum di luar ginjal
1) Penyakit sistemik : diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi
sangat berkaitan erat untuk terjadinya kerusakan pada ginjal. Saat
kadar insulin dalam darah berlebih akan menyebabkan resistensi
insulin yang dapat meningkatkan lipolisis pada jaringan adiposa
yang membuat lemak dalam darah meningkat termasuk kolesterol
dan trigliserida. Hiperkolesterolemia akan meningkatkan LDL-kol
dan penurunan HDL-kol yang akan memicu aterosklerosis karena
ada akumulasi LDL-kol yang akan membentuk plak pada
pembuluh darah. Terbentuknya plak akan membuat retensi natrium
sehingga tekanan darah naik. Retensi ini yang nantinya akan
merusak struktur tubulus ginjal (Noviyanti dkk, 2015).
2) Dyslipidemia karena dapat memicu aterosklerosis akibat akumulasi
LDL-kol sehingga memunculkan plak pada pembuluh darah yang
akan meningkatkan tekanan darah karena ada retensi natrium bisa
membuat ginjal rusak (Noviyanti dkk, 2015).
3) SLE (Systemic Lupus Erythematosus) adalah penyakit autoimun
yang dapat menyebabkan peradangan pada jaringan dan pembuluh
darah di semua bagian tubuh, terutama menyerang pembuluh darah
di ginjal. Pembuluh darah dan membran pada ginjal akan
menyimpan bahan kimia yang seharusnya ginjal keluarkan dari
tubuh karena hal ini ginjal tidak berfungsi sebagaimana mestinya
(Roviati, 2012).
4) Infeksi di badan: TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis karena apabila
tidak segera diobati maka bakteri, virus dan parasit akan
menggerogoti organ yang ditempati hingga nanti akan menyebar ke
seluruh tubuh melalui aliran darah dan menyerang organ lain
seperti ginjal (Mohamad dkk, 2016).
5) Preeklamsi menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi
penurunan aliran darah ke ginjal yang berakibat GFR menurun dan
laju ekskresi kreatinin dan urea juga menurun (Fadhila dkk, 2018).
6) Obat-obatan seperti antihipertensi memiliki efek samping yaitu
meningkatkan serum kreatinin jika digunakan dalam jangka
panjang (Irawan, 2014)
7) Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar, diare) akan
membuat seseorang mengalami dehidrasi sehingga akan membuat
urine menjadi lebih pekat (Arifa dkk, 2017).
C. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus
dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron
utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume
filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal
untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang
harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat
diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah
nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk
sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas
dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal
telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai
kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. Fungsi
renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah, akan semakin berat.
a. Gangguan Klirens Ginjal Banyak masalah muncul pada gagal ginjal
sebagai akibat dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang
menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang sebenarnya
dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin.
Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli)
klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar kreatinin akan
meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya
meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitif
dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.
BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh
masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan
medikasi seperti steroid.
b. Retensi Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan
urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang
sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari,
tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan
resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiotensin
dan kerja sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain
mempunyai kecenderungan untuk kwehilangan garam, mencetuskan
resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare
menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik
c. Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis
metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama
akibat ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia
(NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3) .penurunan
ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi
d. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik
pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal,
produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai
keletihan, angina dan sesak napas.
e. Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan
metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh
memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat,
maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui
glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan
sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium
serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid.
Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon dan mengakibatkan perubahan pada
tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D
(1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal
menurun.
f. Penyakit Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium,
fosfat dan keseimbangan parathormon.
D. Manifestasi Klinis
Menurut Haryono (2013) & Robinson (2013) CKD memiliki tanda dan
gejala sebagai berikut:

a. Ginjal dan gastrointestinal biasanya muncul hiponatremi


maka akan muncul hipotensi karena ginjal tidak bisa
mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dan gangguan
reabsorpsi menyebabkan sebagian zat ikut terbuang bersama
urine sehingga tidak bias
b. menyimpan garam dan air dengan baik. Saat terjadi uremia maka akan
merangsang reflek muntah pada otak.
c. Kardiovaskuler biasanya terjadi aritmia, hipertensi, kardiomiopati,
pitting edema, pembesaran vena leher
d. Respiratory system akan terjadi edema pleura, sesak napas, nyeri
pleura, nafas dangkal, kusmaull, sputum kental dan liat
e. Integumen maka pada kulit akan tampak pucat, kekuning-kuningan
kecoklatan,biasanya juga terdapat purpura, petechie, timbunan urea
pada kulit, warna kulit abu-abu mengilat, pruritus, kulit kering bersisik,
ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
f. Neurologis biasanya ada neuropathy perifer, nyeri, gatal pada lengan
dan kaki, daya memori menurun, apatis, rasa kantuk meningkat.
g. Endokrin maka terjadi infertilitas dan penurunan libido, gangguan
siklus menstruasi pada wanita, impoten, kerusakan metabolisme
karbohidrat.
h. Sistem muskulosekeletal: kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur
tulang.
i. Sistem reproduksi: amenore, atrofi testis
E. Klasifikasi
Pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure
(CRF), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk
membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD
dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/ merasa masih dalam stage –
stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat
(stage) menggunakan terminology CCT (clearance creatinin test) dengan
rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF (cronic renal failure) hanya
3 stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau
datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF.
a. Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium :
1) Stadium I : Penurunan cadangan ginjal
a) Kreatinin serum dan kadar BUN normal
b) Asimptomatik
c) Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR
2) Stadium II : Insufisiensi ginjal
a) Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam
diet)
b) Kadar kreatinin serum meningkat
c) Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:

a) Ringan :40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal


b) Sedang :15% - 40% fungsi ginjal normal
c) Kondisi berat :2% - 20% fungsi ginjal normal
3) Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia
a) kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat
b) ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan
elektrolit
c) air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010
b. KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative)
merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat
penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus) :
1) Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria
persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
2)
2) Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG
antara 60 -89 mL/menit/1,73 m2)
3) Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59
mL/menit/1,73m2)
4) Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-
29mL/menit/1,73m2)
5) Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2
atau gagal ginjal terminal.
F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada klien CKD, yaitu:
a. Pemeriksaan pada urine yang meliputi:
1) Volume urine pada orang normal yaitu 500-3000 ml/24 jam atau
1.200 ml selama siang hari sedangkan pada orang CKD produksi
urine kurang dari 400 ml/24 jam atau sama sekali tidak ada
produksi urine (anuria) (Debora, 2017).
2) Warna urine pada temuan normal transparan atau jernih dan
temuan pada orang CKD didapatkan warna urine keruh karena
disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor,
kecoklatan karena ada darah, Hb, myoglobin, porfirin (Nuari &
Widayati, 2017).
3) Berat jenis untuk urine normal yaitu 1.010-1.025 dan jika < 1.010
menunjukan kerusakan ginjal berat (Nuari & Widayati, 2017)
4) Klirens kreatinin kemungkinan menurun dan untuk nilai normalnya
menurut Verdiansah (2016), yaitu:
a) Laki-laki : 97 mL/menit – 137 mL/menit per 1,73 m2
b) Perempuan : 88 mL/menit – 128 mL/menit per 1,73 m2
5) Protein: derajat tinggi proteinuria (3-4+) menunjukkan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen ada. Normalnnya pada urine
tidak ditemukan kandungan protein.
b. Pemeriksaan darah pada penderita CKD menurut Nuari & Widayati
(2017)
1) BUN meningkat dari keadaan normal 10.0-20.0 mg/dL, kreatinin
meningkat dari nilai normal < 0,95 mg/dL, ureum lebih dari nilai
normal 21-43 mg/dL.
2) Hemoglobin biasanya < 7-8 gr/dl
3) SDM menurun dari nilai normal 4.00-5.00, defisiensi eritopoetin
4) BGA menunjukkan asidosis metabolik, pH < 7,2
5) Natrium serum rendah dari nilai normal 136-145 mmol/L
6) Kalium meningkat dari nilai normal 3,5-5 mEq/L atau 3,5-5
mmol/L
7) Magnesium meningkat dari nilai normal 1,8-2,2 mg/dL
8) Kalsium menurun dari nilai normal 8,8-10,4 mg/dL
9) Protein (albumin) menurun dari nilai normal 3,5-4,5 mg/dL.
c. Pielografi intravena bisa menunjukkan adanya abnormalitas pelvis
ginjal dan ureter. Pielografi retrograde dilakukan bila muncul
kecurigaan adanya obstruksi yang reversibel. Arteriogram ginjal
digunakan untuk mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular massa (Haryono, 2013).
d. Ultrasono ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal serta ada
atau tidaknya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian
atas (Nuari & Widayati, 2017)
e. Biopsi ginjal dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis (Haryono, 2013).
G. Penatalaksanaan
a. Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic
renal Desease (CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan
sampai tahun (Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin, Observasi
balance cairan, Observasi adanya odema dan Batasi cairan yang
masuk).
b. Asidosis metabolic
Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan serum
K+ (hiperkalemia )
1) Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari.
2) Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama
dengan 7,35 atau serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L.
c. Anemia
1) Anemia Normokrom normositer
Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi
hormon eritropoetin (ESF: Eritroportic Stimulating Faktor).
Anemia ini diterapi dengan pemberian Recombinant Human
Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian 30-530 U per kg BB.
2) Anemia hemolisis
Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan
adalah membuang toksin asotemia dengan hemodialisis atau
peritoneal dialisis.
3) Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan saluran
cerna dan kehilangan besi pada dialiser ( terapi pengganti
hemodialisis ).
H. Komplikasi
a. Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic,
katabolisme dan masukan diet berlebih.
b. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
rennin-angiotensin aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna
kehilangan drah selama hemodialisa
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
f. Asidosis metabolic
g. Osteodistropi ginjal
h. Sepsis
i. Neuropati perifer
j. Hiperuremia
A. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Terdiri dari nama, nomor rekam medis, umur (lebih banyak terjadi
pada usia 30-60 tahun), agama, jenis kelamin (pria lebih beresiko
daripada wanita), pekerjaan, status perkawinan, alamat, tanggal masuk,
pihak yang mengirim, cara masuk RS, diagnosa medis, dan identitas
penanggung jawab meliputi : Nama, umur, hubungan denga pasien,
pekerjaan dan alamat.
b. Riwayat Keseatahan
1) Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan hal-hal yang dirasakan oleh pasien
sebelum masuk ke Rumah sakit. Pada pasien gagal ginjal kronik
biasanya didapatkan keluhan utama bervariasi, mulai dari urin
keluar sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan
kesadaran, tidak selera makan (anoreksia), mual, muntah, mulut
terasa kering, rasa lelah, nafas bau (ureum) dan gatal pada kulit
(Muttaqin, 2011).
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien mengalami penurunan frekuensi urin, penurunan
kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya
perubahan kulit, adanya nafas berbau amoniak, rasa sakit kepala,
nyeri panggul, penglihatan kabur, perasaan tidak berdaya dan
perubahan pemenuhan nutrisi (Muttaqin, 2011).
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya pasien berkemungkinan mempunyai riwayat penyakit
gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
penggunaan obat-obat nefrotoksik, penyakit batu saluran kemih,
infeksi sistem perkemihan berulang, penyakit diabetes melitus,
hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi prdisposisi
penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-
obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat
kemudian dokumentasikan (Muttaqin, 2011).
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya pasien mempunyai anggota keluarga yang pernah
menderita penyakit yang sama dengan pasien yaitu gagal ginjal
kronik, maupun penyakit diabetes melitus dan hipertensi yang bisa
menjadi faktor pencetus terjadinya penyakit gagal ginjal kronik.
c. Pengakajian Pola Persepsi dan Penanganan Kesehatan
1) Persepsi Terhadap Penyakit Biasanya persepsi pasien dengan
penyakit ginjal kronik mengalami kecemasan yang tinggi. Biasanya
pasien mempunyai kebiasaan merokok, alkohol, dan obat-obatan
dalam kesehari-hariannya.
2) Pola Nutrisi/Metabolisme
a) Pola Makan Biasanya terjadi peningkatan berat badan cepat
(edema), penurunan berat badan (malnutrisi), anoreksia, nyeri
ulu hati, mual dan muntah.
b) Pola Minum Biasnya pasien minum kurang dari kebutuhan
tubuh akibat rasa metalik tak sedap pada mulut (pernafasan
ammonia).
c) Pola Eliminasi
1) BAB Biasanya abdomen kembung, diare atau konstipasi
2) BAK Biasanya terjadi penurunan frekuensi urin < 400
ml/hari sampai anuria, warna urin keruh atau berwarna
coklat, merah dan kuning pekat.
d) Pola Aktivitas/Latihan
Biasanya kemampuan perawatan diri dan kebersihan diri
terganggu dan biasanya membutuhkan pertolongan atau
bantuan orang lain. Biasnya pasien kesulitan menentukan
kondisi, contohnya tidak mampu bekerja dan mempertahankan
fungsi, peran dalam keluarga.
e) Pola Istirahat Tidur
Biasanya pasien mengalami gangguan tidur, gelisah adanya
nyeri panggul, sakit kepala, dan kram otot/kaki (memburuk
pada malam hari).
f) Pola Kognitif-Persepsi
Biasanya tingkat ansietas pasien mengalami penyakit ginjal
kronik ini pada tingkat ansietas sedang sampai berat.
g) Pola Peran Hubungan
Biasanya pasien tidak bisa menjalankan peran atau tugasnya
seharihari karena perawatan yang lama.
h) Pola Seksualitas/reproduksi
Biasanya terdapat masalah seksual berhubugan dengan
penyakit yang diderita pasien.
i) Pola Persepsi Diri/Konsep Diri
1) Bdody Image/Gambaran Diri
Biasanya mengalami perubahan ukuruan fisik, fungsi alat
terganggu, keluhan karena kondisi tubuh, pernah operasi,
kegagalan fungsi tubuh, prosedur pengobatan yang
mengubah fungsi alat tubuh.
2) Role/peran
Biasanya mengalami perubahan peran karena penyakit yang
diderita
3) Identity/identitas diri
Biasanya mengalami kurang percaya diri, merasa
terkekang, tidak mampu menerima perubahan, merasa
kurang mampu memiliki potensi.
4) Self Esteem/Harga Diri
Biasanya mengalami rasa bersalah, menyangkal kepuasan
diri, mengecilkan diri, keluhan fisik.
5) Self Ideal/Ideal
Biasanya mengalami masa depan suram, terserah pada
nasib, merasa tidak memiliki kemampuan, tidak memiliki
harapan, merasa tidak berdaya.
j) Pola Koping-Toleransi Stres
Biasanya pasien mengalami faktor stres, contoh finansial,
perasaan tidak berdaya, tidak ada harapan, tidak ada kekuatan,
menolak, ansietas, takut, marah, mudah tersinggung, perubahan
kepribadian dan perilaku serta perubahan proses kognitif.
k) Pola Keyakinan Nilai
Biasanya tidak terjadi gangguan pola tata nilai dan
kepercayaan.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum dan tanda-tanda vital
a) Keadaan umum pasien lemah, letih dan terlihat sakit berat
b) Tingkat kesadaran pasien menurun sesuai dengan tingkat
uremia dimana dapat mempengaruhi sistem syaraf pusat.
c) TTV : RR meningkat, TD meningkat
2) Kepala
a) Rambut : biasanya pasien bermbut tipis dan kasar, pasien sering
sakit kepala, kuku rapuh dan tipis.
b) Wajah : biasanya pasien berwajah pucat
c) Mata : biasanya mata pasien memerah, penglihatan kabur,
konjungtiva anemis dan sklera ikterik.
d) Hidung : biasanya tidak ada pembengkakan polip dan pasien
bernafas pendek
e) Bibir : biasanya terdapat peradangan mukosa mulut, ulserasi
gusi, perdarahan gusi dan nafas berbau.
f) Gigi : biasanya tidak terdapat karies pada gigi
g) Lidah : biasanya tidak terjadi perdarahan
3) Leher : biasanya tidak terjadi pembesaran kelenjar tiroid atau
kelenjar getah bening.
4) Dada/Thorak
a) Inspeksi : biasanya pasien dengan nafas pendek, kusmaul
(cepat/dalam)
b) Palpasi : biasanya fremitus kiri dan kanan
c) Perkusi : biasanya sonor
d) Auskultasi : biasanya vesikuler
5) Jantung
a) Inspeksi : biasanya ictus cordis tidak terlihat
b) Palpasi : biasanya ictus cordis teraba di ruang intercostal 2 linea
dekstra sinistra
c) Perkusi : biasanya ada nyeri
d) Auskultasi : biasanya terdapat irama jantung yang cepat
6) Perut/Abdomen
a) Inspeksi : biasanya terjadi distensi abdomen, acites atau
penumpukan cairan, pasien tampak mual dan muntah
b) Palpasi : biasanya acites, nyeri tekan pada bagian pinggang,
dan adanya pembesaran hepar pada stadium akhir.
c) Perkusi : biasanya terdengar pekak karena terjadinya acites
d) Auskultasi : biasanya bising usus normal, antara 5-35
kali/menit
7) Genitourinaria
Biasanya terjadi penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria, distensi
abdomen, diare atau konstipasi, perubahan warna urin menjadi
kuning pekat.
8) Ekstremitas
Biasanya didapatkan nyeri panggul, edema pada ekstremitas, kram
otot, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki dan
keterbatasan gerak sendi.
9) Sistem Integumen
Biasanya warna kulit abu-abu, kulit gatal, kering dan bersisik,
adanya area ekimosis pada kulit.
10) Sistem Neurologi
Biasanya terjadi gangguan status mental seperti penurunan lapang
perhatian, ketidakmampuan konsentrasi, kehilangan memori,
penurunan tingkat kesadaran,disfungsi serebral, seperti perubahan
proses fikir dan disorientasi. Pasien sering didapati kejang, dan
adanya neuropati perifer.
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan dalam standar diagnosis kperawatan indonesia
(SDKI, 2017) Diagnosis Keperawatan Pada Klien CKD, Meliputi :
a. Pola nafas tidak efektif b/d sindrom hipoventilasi (SDKI D. 0005)
b. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan suplai darah dan O² (SDKI
D. 0056)
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b/d penurunan konsentrasi Hb
dan darah, suplai oksigen berkurang (SDKI 1.02079)
d. Nyeri akut b/d agen pencedera fisiologis (SDKI D.0077)
3. Intervensi Keperawatan
N Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
o Keperawatan Hasil
1 Pola nafas tidak Setealah dilakukan SIKI I.01002
efektif b/d sindrom tindakan keperawatan Observasi

hipoventilasi (SDKI selama 3 X 24 jam 1. Identifikasi efek

D. 0005) diharapkan Pola nafas perubahan posisi

kembali efektif terahadap status

dengan kriteria hasil : pernapasan

1. Menunjukkan jalan 2. Monitor status respirasi

nafas yang paten dan oksigenasi (mis.

(klien tidak merasa Frekuensi dan kedalaman

tercekik, irama napas, penggunaan otot

nafas, frekuensi bantu napas, bunyi napas

pernafasan dalam tambahan, saturasi

rentang normal, oksigen

tidak ada suara Terapeutik

nafas abnormal) 3. Pertahankan kepatenan

2. Tanda Tanda vital jalan napas

dalam rentang 4. Berikan Posisi semi-

normal (tekanan fowler atau fowler

darah, nadi, 5. Berikan minum hangat

pernafasan) 6. Berikan oksigenasi sesuai


kebutuhan
Edukasi
7. Ajarkan melakukan
teknik relaksasi napas
dalam
8. Ajarkan mengubah posisi
secara mandiri
9. Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, jika perlu
2 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan SIKI I.05178
b/d tindakan keperawatan Observasi

ketidakseimbangan selama 3 X 24 jam 1. Identifikasi gangguan

suplai darah dan O² diharapkan intoleransi fungsi tubuh yang

(SDKI D. 0056) aktivitas teratasi mengakibatkan kelelahan

dengan kriteria hasil : 2. Monitor kelelahan fisik

1. Berpartisipasi dan emosional

dalam aktivitas 3. Monitor pola dan jam

fisik tanpa disertai tidur

peningkatan Terapeutik

tekanan darah, nadi 4. Sediakan lingkungan

dan RR nyaman dan rendah

2. Mampu melakukan stimulus (mis. Cahaya,

aktivitas sehari hari suara,kunjungan)

(ADLs) secara 5. Lakukan latihan rentang

mandiri gerak pasif dan atau aktif

3. Keseimbangan 6. Fasilitasi duduk disisi

aktivitas dan tempat tidur, jika tidak

istirahat dapat berpindah atau


berjalan
Edukasi
7. Anjurkan tirah baring
8. Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
9. Ajarkan strategi koping
untuk mengurangi
kelelahan
Kolaborasi
10. Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan
3 Ketidakefektifan Setelah dilakukan SIKI 1.02079
perfusi jaringan tindakan keperawatan Observasi
perifer b/d selama 3 X 24 jam 1. periksa sikulasi perifer,
penurunan diharapkan
tanda vital, kaji pengisian
konsentrasi Hb dan perfusi jaringan perifer
darah, suplai dapat teratasi kapiler, warna kulit dan
oksigen berkurang dengan kriteria hasil:
membrane mukosa.
(SDKI 1.02079)  Membrane mukosa
merah - Monitor panas,
 Konjungtiva tidak kemerahan, nyeri atau
pucat
 Akral teraba hangat bengkak pada
 pasien tidak lemas ekstremitas perubahan
tubuh seperti bertambah
lemas, apatis, dan
bertambah pucat.
Terapeutik
3. Hindari pemasangan
infus atau pengambilan
darah di area
keterbatasan perfusi
4. Hindari pengukuran
tekanan darah pada
keterbatasan perfusi
5. Hindari penekanan pada
daerah cedera
6. Lakukan pencegaan
infeksi
Edukasi
7. Anjurkan minum obat
pengontrol tekanan darah
menghindari
8. Informasikan tanda dan
gejala darurat yang harus
di laporkan ( mis. Rasa
sakit yang tidak hilang
saat istirahat, luka tidak
sembuh , hilangnya rasa)
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, jika perlu
10.Kolaborasi dalam
memantau hasil. HB
11.Kolaborasi pemberian
obat dan produk
darah sesuai indikas.
4 Nyeri akut Setelah  Observasi
b/d agen
dilakukan - Identifikasi skala nyeri
pencedera
fisiologis tindakan
(SDKI - Identifikasi respon nyeri
keperawatan
D.0077) non ferbal
kepada Ny. A 3
- Identifikasi faktor yang
X 24 jam
memperberat dan
tingkat nyeri
memperringan nyeri
menurun,  Terapeutik
ditandai - Berikan tehnik non
farmakologis untuk
dengan: mengurangi rasa nyeri
(kompres hangat atau
 Keluhan nyeri
dingin, terapi pijat)
menurun
- Kontrol lingkungan yang
 Meringis menurun
memperberat rasa nyeri
(mis, suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi istrahat dan
tidur
 Edukasi

- Jelaskan strategi

meredakan nyeri

- Anjurkan memonitor

nyeri secara mandiri

- Ajarkan tehnik non

farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
 Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian

analgetik, jika perlu

DAFTAR PUSTAKA

Arifa dkk.2017. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Ginjal


Kronik Pada Penderita Hipertensi Di Indonesia. Jurnal MKMI, Vol. 3
No. 14
Haryono. 2013. Keperawatan medical bedah: system perkemihan. Yogyakarta:
Rapha Publishing
Irawan, Anita. 2014. Peningkatan Serum Kreatinin Akibat Penggunaan ACEi
atau ARB pada Pasien Hipertensi. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Vol.
3 No. 3, hlm 82-87

Noviyanti dkk, 2015.Perbedaan Kadar LDL-Kolesterol Pada Pasien Diabetes


Melitus Tipe 2 Dengan Dan Tanpa Hipertensi di RS Dr. M. Djamil
Padang Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Andalas.2015; 4 (2)

Nuari & Widayati.2017. Gangguan Pada Sistem Perkemihan & Penatalaksanaan


Keperawatan. Yogyakarta: Deepublish

PPNI (2017). Standar Diagnosa Keperwatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnotik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperwatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnotik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

Roviati, Evi. 2012. Systemic Lupus Erithematosus (SLE): Kelainan Autoimun


Bawaan Yang Langka Dan Mekanisme Biokimiawinya. Jurnal Scientiae
Educatia Vol. 1 Ed. 2

Verdiansah. 2016. Pemeriksaan Fungsi Ginjal.Program Pendidikan Dokter


Spesialis Patologi Klinik Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung,
Indonesia. CKD-237 Vol. 43 N

Anda mungkin juga menyukai