Anda di halaman 1dari 21

Dr.

Ardiyan Adhi W, ST, MT

Perkembangan
Arsitektur 1
Hindu-Budha di Indonesia ada pada abad 8-10 M, pada masa ini
kebudayaan yang muncul berbentuk Kerajaan. Ada dua Dinasti besar
pada zaman tersebut, yaitu:

Hadirnya kedua Dinasti tersebut memberikan dampak kebudayaan


di Nusantara dan pengaruh agama yang besar hingga melahirkan
bentuk arsitektur pada zaman tersebut.

Kedua Dinasti besar ini menduduki satu wilayah (Jawa) dengan


daerah kekuasaan yang berbeda, hingga akhirnya artefak yang ada
dapat meberikan penjelasan perbedaan letak antara Dinasti Sanjaya
dan Dinasti Syailendra.
Dinasti Sanjaya beragama Hindu dengan aliran Siwa. Kekuasaan
dinasti Sanjaya berada pada Jawa Tengah bagian utara, artefak
peninggalannya berupa Prasati dan Candi.

Dengan adanya pembagian daerah kekuasaan tersebut, sehingga candi-candi


yang berada di bagian utara Jawa Tengah pada abad 8-9M merupakan
peninggalan Hindu-Siwa, dan dikenal dengan Candi Hindu.

Dinasti Syailendra menduduki daerah kekuasaan di Jawa Tengah


bagian selatan. Dinasti Syailendra menganut kepercayaan Budha
Mahayana, atau disebut Vajrayana.

Sama dengan Dinasti Sanjaya, Syailendra mempunyai banyak artefak


bersejarah yang berbentuk Prasasti dan Candi pada abad 8-9M.

Berlainan dengan Sanjaya, Candi di Jawa Tengah bagian selatan adalah


Candi Budha yang merupakan Candi peninggalan keluarga Syailendra .
Keberadaan Kerajaan-kerajaan (Sanjaya-Syailendra) diketahui
berdasarkan adanya Prasasti-prasasti dan bukti perjalanan seorang
pendeta Tiongkok yang sempat berlabuh di Nusantara.

Prasasti bukti kerajaan tertua di Nusantara adalah Prasasti Kutei,


Kalimantan Timur. Prasasti tersebut memberikan sejarah tentang
Kerajaan Kutei (Kalimantan Timur), dengan pemimpinnya yaitu Raja
Mulawarman.

Prasasti Kutei berbentuk ’Yupa”, sebuah istilah pada masa


pembuatannya, yaitu tahun 400 Masehi yang berarti ”Tugu
untuk Kurban”.

Berbentuk menjulang tinggi yang terbuat dari batu, bertuliskan cerita


tentang Kerajaan Kutei-Kalimantan Timur.
Prasasti Kutei adalah prasasti tua yang merupakan bukti awal diketahuinya Kerajaan
Hindu-Budha di Nusantara, selain prasati Kutei masih ada ratusan prasasti yang lain.

Prasasti lain pada umumnya diketahui di abad 9M, prasasti tersebut


bercerita juga tentang kerajaan Hindu-Budha Nusantara.

Selain menceritakan tentang sejarah kerajaan, prasasti-prasasti


peninggalan Hindu-Budha berisikan pengetahuan adanya bangunan-
bangunan suci berupa Candi.
Bukti adanya kerajaan Hindu-Budha juga diketahui dari adanya berita ekspedisi
yang dilakukan I Tsing, seorang bhiksu Budha Tionghoa (635-713M).1

I-Tsing dalam ekspedisinya menerjemahkan Sutra


(teks agama Budha) dari bahasa Sanskerta ke bahasa
Tionghoa, pernah singgah di Kerajaan Sri Wijaya
Sumatra pada tahun 671M.

Berdasarkan berita I-Tsing tersebut diketahui bahwa


Sri Wijaya merupakan pusat perkembangan ilmiah
agama Budha.

I-Tsing menyebut bahwa masih banyak kerajaan lain selain Sri wijaya yang
menjadi pusat kebudayaan, antara lain: Kerajaan Tulang Bawang (Sumatera
Selatan) dan Kerajaan Melayu (Jambi).

Selain bukti ekspedisi I-Tsing ada beberapa kitab kuno yang menceritakan
sejarah kerajaan, seperti Pararaton & Nagarakertagama.2

1. Wikipedia Indonesia: http://.wikipedia.org/ensiklopedia (diunduh 30 Oktober, 2012)


2. Isnen Fitri, Kopendium Sejarah Arsitektur Indonesia dan Asia, USU, 2006, hlm.6
KERAJAAN/ ARCA/
DINASTI
PRASASTI MONUMEN CANDI AGAMA

Kutei, Kaltim 7 prasasti Mulawarman, 400M

Tarumanegara, 7 prasasti Purnawarman,


Batu Jaya, Karawang Budha
Jawa Barat 400-500M

Kaling, Jateng Tuk Mas, 650M Hindu-Budha

Sri Wijaya, Arca Budha, Muara Takus, Muara Jambi (1064M),


5 Prasasti, 683M Biara di Padang Lewas (1024M) Budha
Sumatera 600M

Mataram, Canggal, 732M Gunung Wukir,


Lingga & Yoni Hindu
Jawa Tengah Arjuna, 809M Kelompok Candi Dieng

Kanjuruhan, Dinoyo 760M Badut Hindu Siwa


Kanjuruhan, 3 Prasasti (a,b,c) 856M Lingga Wihara Ratu Boko Hindu-Budha
Jatim/Sanjaya Raja Balitung, 907M

Arca Tara Kalasan, Prambanan Budha


Kalasan, 778M
Dinasti Kelurak, 782M
Arca Manjucri Plaosan Hindu-Budha
Syailendra Sewu, Rorojonggrang Hindu-Budha
Karang Tengah, 824M
Borobudur, Sewu, Mendut Budha

Ngetos, Ngawi
Keluarga Isana, Sindok, sekitar 929M Arca Durga Hindu
Gunung Gangsir,
Jawa Timur Prasasti Calcuta, Pucangan
Gempol-Pasuruan

Keluarga Padas, Gunung Kawi, Tampak Siring


Sanur, 914M Hindu
Warmadewa
KERAJAAN/ ARCA/
DINASTI
PRASASTI MONUMEN CANDI AGAMA

Airlangga Arca Wisnu Belahan, Jawa Timur


Prasasti Calcuta,
& Garuda Hindu
Pucangan
(garuda mukha)

Kerajaan
Sri Jayawarsa, 1104M Hindu
Kadiri

Wur Are, 1289M Prajnaparamita Kidal, 1427M Hindu-Budha


Singhasari
Pamalayu, 1292M (Ken Dedes) Jago, 1268M Budha
Joko Dolok Jawi Siwa-Budha
Amoghapaca Singhasari Siwa-Budha

Majapahit Batu Tulis, Bogor, 1333M Harihara Candi Sumber Jati, Blitar Siwa
Adityawarman, Candi anta Antapura Budha
Batu Sangkar Candi Rimbi, Mojokerto Hindu
Candi Panataran Hindu
Candi Jabung, 1354M Hindu
Candi Surawana, dan Hindu
Candi Tigawangi, 1365m Hindu

Sumber: Modifikasi dari Fitri (2006), Kopendium Sejarah Arsitektur Indonesia dan Asia
Istilah candi diambil dari kata ”Candikagrha”, yaitu nama tempat tinggal
Candika, Dewi Kematian dan Permaisuri Siwa. Sehingga dapat diartikan
sebagai area yang digunakan untuk pemakaman.3

Berawal dari abu orang meninggal yang diletakkan di tengah candi, pada
sebuah peripih tertutup (bejana), sehingga candi dijadikan tempat untuk
memberikan kemuliaan bagi raja setelah wafat.

Lambat laun akhirnya candi digunakan sebagai tempat pemujaan bagi


para Dewa atas kepercayaan pada masa Hindu-Budha yang dilambangkan
dengan Arca (diletakkan di dalam ruang tengah candi).

Adanya pemujaan kepada Arca sebagai simbolis atas nama Dewa, kemudian
disempurnakan lagi bahwa candi identik dengan sebuah Kuil bagi
pemeluknya, dan artefak bagi ilmuwan maupun wisatawan.

3. Miksic John (1993), Indonesian Heritage, dalam Isnen Fitri, Kopendium Sejarah Arsitektur Indonesia dan Asia, USU, 2006, hlm.6
Secara struktural, candi
terbagi menjadi tiga
bagian penting: Kaki
Candi, Badan Candi,
dan Kepala Candi.

Dari segi Kosmologi,


isitilah struktur tersebut
dinamakan dengan
”TRI LOKA”.

1). BHURLOKA
Dunia Manusia/Kaki
2). BHUVARLOKA
Dunia yang Disucikan
3). SVARLOKA
Dunia Para Dewa

Dalam keyakinan Hindu-Budha, candi identik dengan pemaknaan lambang Gunung Meru. Yaitu gunung
sebagai pusat bumi untuk mencapai tingkat tertinggi Surga, gunung sebagai tempat Dewa (Fitri, 2006).
Selain struktur, bagian penting lain yang terdapat pada candi antara lain:
Ratna, Kala-Mekara, Lingga-Yoni, Peripih, dan Stupa.

Dalam budaya Hindu-Budha, Kala merupakan makhluk legenda ciptaan


Siwa yang bertugas membunuh raksasa. Wujudnya aneh, tanpa rahang,
terkadang hanya mempunyai satu mata.

Mekara adalah perlambangan air


dan birahi yang berbentuk
integrasi paruh burung nuri,
belalai gajah, dan ekor ikan.
Pada candi, Kala-Mekara biasanya dipasang di bagian pintu
sebagai lambang Gerbang Candi.

Sumber lain mengatakan bahwa Kalamekara merupakan bentuk wajah


raksasa yang diapit oleh dua wanita. Dipasang dengan tujuan sebagai
tolak balak (anti roh jahat).

Dalam keyakinan Hindu-Budha, Kalamekara adalah sosok Dewa tampan


yang mendapat kutukan dari Sang Hyang Widi menjadi makhluk buas
hingga memakan binatang-binatang.
Tidak cukup memangsa binatang, tubuh sendiri menjadi korban, dan
tinggal kepalanya yang tersisa. Kemudian dikenal dengan KALAMEKARA.
b
Lingga dan Yoni merupakan sepasang relief yang biasanya terdapat
pada candi Hindu Siwa.

Lingga-Yoni Lingga-Yoni
(ilustrasi) (penemuan Tasikmalaya-Jabar)

Perlambangan antara Laki-laki dan Wanita, atau sering disebut dengan


arca sepasang kekasih. Lingga merupakan silinder terpadu yang berdiri
di atas dasar (Yoni).

c
Pada mulanya, peripih merupakan tempat perletakan abu jenazah yang
terbuat dari batu. Namun pada akhirnya digunakan untuk meletakkan
perhiasan seperti emas, perak, perunggu, dll.
Di dalam agama Hindu, bagian peripih biasanya terbagi berdasarkan
Nawa Sanga (9 Mandala), maupun 25 titik.

Penemuan Peripih di Candi Sojiwan, Klaten, 12 oktober 2012


Candi Sojiwan merupakan Peninggalan Hindu di Desa Kebon Dalem,
Kec. Prambanan, Klaten

Pembagian tersebut satu titik di tengah paling tinggi (Siwa), dikelilingi


delapan titik persegi lainnya yang lebih rendah sebagai aspeknya.

Nawa Sanga (9 Dewa penguasa mata angin) tersebut:


1). Mata angin Timur Iswara 6). Mata angin Barat Laut Sangkara
2). Mata angin Tenggara Maheswara 7). Mata angin Utara Wisnu
3). Mata angin Selatan Brahma 8). Mata angin Timur Laut Sambhu
4). Mata angin Barat Daya Rudra 9). Tengah (Madhya) Siwa
5). Mata angin Barat Mahadewa
d

Stupa pada umumnya hanya terdapat di candi-candi Budha.


Merupakan bentuk ruang setengah bulat yang melambangkan
”Kubah Syurga” (Dome of Heaven).

Stupa pada Candi Borobudur,


Kabupaten Magelang, Jawa Tengah

Berarti juga melambangkan struktur kosmik yang menetap. Pada


candi, biasanya stupa terletak di bagian atas.
Teknik konstruksi candi dibuat tanpa adanya bahan pengikat,
melainkan dengan batu yang ditumpuk yang dikenal dengan istilah
”a joint vif ”.

Semula antara batu satu dengan lainnya disusun secara vertikal


maupun horisontal, di dalamnya dibuat pengunci (alur lidah-
tekukan).

Barulah pada abad 9M, ahli konstruksi Jawa menggunakan teknik


India dengan dinding batu berdaun ganda. Dinding batu berdaun
ganda dari Jawa merupakan satu-satunya konstruksi candi di Asia
Tenggara.

Dinding dibuat sejajar dengan rongga di dalamnya, kemudaian


dalam rongga tersebut diberi batu-batuan kecil maupun lumpur.

Apabila diperlukan, dapat ditambahkan dengan kapur. Konstruksi


semacam ini seperti yang dilakukan pada pembuatan candi Roro
Jonggrang.
Lapisan batu bagian luar dibiarkan keluar, sehingga terlihat tidak
rata, seperti pahatan, dan terkesan penuh. Hal tersebut yang
kemudian menghasilkan bentuk bangunan candi.

Bentuk-bentuk Teknik Konstruksi Candi Dinding Batu Berdaun Ganda


Sumber: Modifikasi dari Isnen Fitri (2006), Kopendium Sejarah Arsitektur Nusantara dan Asia

Teknik dinding batu berdaun ganda ini akhirnya berubah setelah


abad 9M, dikarenakan perpindahan pusat politik ke Jawa Timur.
Sebelum candi dibangun, diakan ritual terlebih dahulu. Biasanya
ritual yang dilaksanakan direkam dalam bentuk tulisan yang diukir
pada batu (piegem), perak, ataupun tembaga.4

a b
Ritual dan Tata Cara Pembangunan Candi (1)
Sumber: Modifikasi dari Isnen Fitri (2006), Kopendium Sejarah Arsitektur Nusantara dan Asia

Pelaksana ritual adalah kaum Bangsawan (kaum suci) yang akan


membangun candi, dan masyarakat sekitar sebagai pembantu.

Adanya budaya ritual sebelum diadakannya sebuah pembangunan,


akhirnya menjadi salah satu kebiasaan yang dilakukan (Islam:
Tasyakuran) oleh masyarakat pada umumnya.
4. Isnen Fitri, ibid, hlm.13
Candi dibangun oleh orang Bangsawan sebagai orang suci yang
mengajak masyarakatnya serta merta bergotong-royong. Adapun
tata caranya, antara lain:

1 Sekelompok masyarakat dikumpulkan, kemudian Bangsawan


yang akan membangun candi membagikan hadiah kepada
yang datang.

2 Setelah pemberian hadiah dari Bangsawan, peserta dari


masayarakat sekitar menghiasi dirinya dengan pewarna dan
bunga sebagai penghargaan atas Bangsawan.

c d e
Ritual dan Tata Cara Pembangunan Candi (2)
Sumber: Modifikasi dari Isnen Fitri (2006), Kopendium Sejarah Arsitektur Nusantara dan Asia
Penentuan dimensi candi dilakukan
3 dengan pengukuran proporsi rentang
tubuh sebelum diletakkannya batu suci.

Selanjutnya perletakan batu suci yang


4 dilakukan Bangsawan di tengah-tengah
pusat wilayah (rencana) bangunan
candi.

Setelah perletakan batu suci, maka


5 orientasi sudut luar ditentukan,
kemudian barulah candi mulai dibangun
secara bergotong-royong.

Candi Prambanan,
Candi yang dibangun secara gotong royong
pada masa jaya Hindu
Dr. Ardiyan Adhi W, ST, MT

Bersambung pada pertemuan berikutnya …

Anda mungkin juga menyukai