Anda di halaman 1dari 10

EMBOLI PARU

a. Definisi
Emboli paru adalah suatu keadaan dengan tingkat mortalitas tinggi, disebabkan oleh
lepasnya thrombus yang terbentuk dalam vena. Lepasnya thrombus kemudian
menyebabkan penyumbatan pada vaskularisasi pulmonal. [1,2] Trombus yang
menyebabkan emboli paru paling banyak berasal dari ekstremitas bawah, namun
terkadang juga bisa berasal dari pelvis, renal, ekstremitas atas, ataupun bilik jantung. [3]
b. Epidemiologi
Berdasarkan data epidemiologi emboli paru oleh Centers for Disease Control and
Prevention (CDC), sekitar  60.000 – 100.000 kematian per tahun disebabkan oleh emboli
paru.
Global
Insidensi emboli paru di Amerika Serikat dilaporkan sebesar 1 per 1000 penduduk. Pada
tahun 2015 di Australia dilaporkan sekitar 340 kematian yang dikarenakan emboli paru.
Trombosis vena dalam (DVT) merupakan faktor risiko dari PE, dimana 50 – 60% pasien
DVT berkembang menjadi PE.
Insiden PE di Asia sendiri ditemukan hanya sekitar 15 – 20% dari negara bagian barat.
[7,9,10]
c. Etiologi
Etiologi emboli paru adalah lepasnya thrombus pada vena dalam. Pembentukan thrombus
umumnya disebabkan dan dipengaruhi oleh gangguan dari triad Virchow, yaitu stasis
vena, kerusakan dinding pembuluh darah, dan hiperkoagulabilitas:
1. Stasis vena: Keadaan diamnya atau berkurangnya pergerakan aliran darah yang
menyebabkan terbentuknya thrombus. Keadaan ini dapat terjadi pada pasien dengan
paresis tungkai bawah, imobilisasi karena menempuh perjalanan jarak jauh, atrial
fibrilasi, disfungsi ventrikel kiri, obesitas, kehamilan, dan tirah baring yang lama.
2. Kerusakan dinding pembuluh darah: Kerusakan atau trauma dari sel endotel dapat
membantu pembentukan thrombus. Beberapa keadaan, seperti tindakan operasi,
kateter vena sentral, trauma, kemoterapi, vaskulitis, hiperhomosisteinemia, dan
sepsis merupakan penyebab dari kerusakan dinding pembuluh darah
3. Hiperkoagulabilitas: Keadaan gangguan dalam sistem koagulasi dan fibrinolitik yang
menyebabkan hiperkoagulabilitas. Keganasan, terapi estrogen, kehamilan, sindrom
nefrotik, dan sepsis merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan hiperkoagulabilitas
[7,8]
d. Faktor risiko
Berdasarkan British Thoracic Society, faktor risiko emboli paru dibagi menjadi faktor
risiko mayor dan faktor risiko minor. [7]
1. Faktor Risiko Mayor
 Keadaan post operatif : operasi mayor pada abdomen atau pelvis, hip/knee joint
replacement, perawatan intensif post operatif
 Obstetrik : kehamilan trimester lanjut, sectio caesarea, puerperium
 Gangguan pada ekstremitas bawah : fraktur, varises yang ekstensif
 Keganasan : keganasan pelvis atau abdomen, stadium lanjut, kanker yang metastasis
 Keterbatasan gerak : rawat inap jangka lama, pasien geriatri
 Riwayat thromboembolisme vena sebelumnya
2. Faktor Risiko Minor
 Kardiovaskular : penyakit jantung bawaan, gagal jantung, hipertensi, thrombosis
vena superfisial, kateter vena sentral
 Humoral : kontrasepsi oral, terapi sulih hormon
 Nefrologi : sindrom nefrotik, dialisis kronik, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
 Lainnya : penyakit paru obstruktif kronis, gangguan neurologi,
obesitas, inflammatory bowel disease, penyakit mieloproliferatif.

e. Patofisiologi
Patofisiologi emboli paru dimulai dari terlepasnya thrombus yang terbentuk dalam  vena
dalam dan tersangkut di pembuluh darah pulmoner. Derajat keparahan dan manifestasi
klinis emboli paru bergantung pada :

 Lokasi oklusi pada vascular tree  dan ukuran dari emboli


 Komorbiditas kardiopulmonal yang dimiliki pasien
 Vasokonstriksi kimia yang disebabkan pelepasan serotonin dan thromboksan dari
thrombosit yang melekat pada embolus, serta fibropeptida B yang merupakan produk
dari penguraian fibrinogen
 Refleks vasokonstriksi yang timbul karena dilatasi arteri pulmonal [1]
f. Penegakkan diagnosis

Anamnesis
Anamnesis mengenai keluhan dan faktor risiko pasien diperlukan dalam mendiagnosis pasien
emboli paru. Walaupun keluhan emboli paru biasanya tidak spesifik, namun terdapat beberapa
gejala yang umumnya dikeluhkan pasien dengan emboli paru, yaitu sesak napas, nyeri pleuritik,
hemoptisis, nyeri retrosternal, episode sinkop, dan batuk. [7,11]
Untuk mempermudah diagnosis, dapat pula digunakan sistem skor berdasarkan faktor risiko
pasien. Pencarian faktor risiko emboli paru menggunakan kriteria dapat memudahkan klinisi
untuk mendiagnosis. Terdapat banyak kriteria untuk membantu deteksi diagnosis namun yang
paling sering digunakan adalah skor Wells dan skor Geneva revisi.
Skor Wells
Melalui skor Wells klinisi dapat menentukan kemungkinan mengalami emboli paru. Skor ini
terdiri atas 6 pertanyaan, jumlah < 2 poin diartikan sebagai probabilitas emboli paru rendah, 2 –
6 poin diartikan sebagai probabilitas menengah, dan > 6 poin probabilitas tinggi. [5,6]
Tabel 1. Skor Wells

Fitur Klinis Skor Wells


Tanda dan gejala klinis DVT 3
Kemungkinan besar diagnosis emboli paru 3
Nadi > 100 kali per menit 1,5
Imobilisasi minimal 3 hari atau operasi dalam 4 minggu terakhir 1,5
Riwayat DVT atau emboli paru 1,5
Hemoptisis 1
Pengobatan keganasan dalam 6 bulan terakhir atau paliatif 1
Skor Geneva
Skor lainnya adalah skor Geneva yang terdiri atas 9 pertanyaan. Interpretasi dari skor ini adalah
total poin 0 – 3 pasien dianggap probabilitas emboli paru rendah, 4 – 10 poin probabilitas
sedang, dan > 11 poin probabilitas tinggi. [5,12,13]
Tabel 2. Skor Geneva

Variabel Poin

Umur > 65 tahun +1


Riwayat thromboemboli vena sebelumnya +3
Operasi yang membutuhkan anestesi atau fraktur tungkai bawah dalam satu bulan terakhir +2
Keganasan aktif +2
Nyeri tungkai bawah unilateral +3
Hemoptisis +2
Edema tungkai bawah unilateral +4
Denyut jantung 75 – 94 kali/menit +3
Denyut jantung > 95 kali/menit +5
Pulmonary Embolism Rule Out Criteria
Skor tambahan lainnya adalah skor pulmonary embolism rule-out criteria (PERC), yang
merupakan skor yang berisi variabel-variabel untuk mengeksklusi emboli paru. Skor ini
ditanyakan pada pasien apabila hasil skor Wells ditemukan rendah. Apabila pasien memiliki
tanda dan gejala pada variabel ini maka kemungkinan diagnosis emboli paru dapat disingkirkan.
[11,14]
Tabel 3. Pulmonary Embolism Rule-Out Criteria

Variabel

Usia < 50 tahun


Nadi < 100 kali per menit

SaO2 > 94%
Tidak ada pembengkakan tungkai bawah unilateral
Tidak ada hemoptysis
Tidak ada riwayat trauma atau operasi
Tidak ada tanda dan ge
Tidak ada penggunaan hormon

Pemeriksaan Fisik
Beberapa tanda dapat ditemukan pada pasien emboli paru, walaupun tidak spesifik. Berikut ini
tanda yang umum ditemukan pada pasien PE:
 Takipnea (>20 kali/menit)
 Takikardia (>100 kali/menit)
 Tanda DVT
 Demam (>38,5°C)
 Sianosis

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis emboli paru
adalah CT pulmonary angiography (CTPA).
Computed Tomography Pulmonary Angiography (CTPA)
CT pulmonary angiography (CTPA) merupakan pemeriksaan radiologi paling baik dalam
mendiagnosis emboli paru dengan cara melihat secara langsung thrombus pada arteri pulmonal.
Gambaran emboli paru pada CTPA adalah filling defects yang berwarna keabuan pada arteri
pulmonal yang sudah terisi kontras. Sensitivitas dan spesifisitas dari CTPA dilaporkan 90-95%.
Ventilation-perfusion (V/Q) scan
Ventilation-perfusion (V/Q) scan dapat dilakukan apabila pasien tidak dapat diperiksa
menggunakan CTPA. Pemeriksaan ini melihat perfusi dan ventilasi, dimana apabila hasil perfusi
normal maka emboli paru dapat dieksklusi. Namun apabila perfusi abnormal maka pemeriksaan
ventilasi dilakukan. Gambaran minimal dua defek bentuk wedge yang disertai dengan ventilasi
normal pada bagian yang sama mendukung diagnosis emboli paru.
Rontgen Dada
Pemeriksaan rontgen dada pada pasien emboli paru digunakan untuk mengeksklusi diagnosis
banding, seperti edema pulmoner, pneumothorax, dan pneumonia. Pada pasien emboli paru,
gambaran rontgen dada sangat tidak spesifik. Gambaran Knuckle sign (gambaran arteri yang
terputus mendadak), Hampton’s hump (kekeruhan pada pleura yang berbentuk seperti
kubah), Watermark sign (hiperlusensi sekunder di perifer yang fokal), dan Palla sign (arteri
pulmonal sentral yang menonjol) pada rontgen dada pasien emboli paru mungkin saja
ditemukan, namun umumnya sangat sulit.
Tes D-dimer
Kadar D-dimer biasanya ditemukan meningkat pada pasien emboli paru dan deep vein
thrombosis (DVT). Peningkatan D-dimer biasanya menunjukkan adanya aktivitas fibrinolisis
yang berlebihan. Namun, pemeriksaan ini memiliki spesifisitas yang rendah karena hasil
abnormal dapat ditemukan pada berbagai kondisi patologis lain. Pada emboli paru, sebaiknya
penilaian skor Wells digunakan terlebih dulu untuk meningkatkan keakuratan interpretasi hasil
D-dimer.
Elektrokardiografi
Pada pasien emboli paru biasanya dapat ditemukan disfungsi atau pembesaran ventrikel kanan
jantung. Elektrokardiografi juga dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding
seperti sindrom koroner akut. [4,5,7]
g. Diagnosis banding
 Sindrom Koroner Akut : Pasien emboli paru dapat datang ke dokter dengan
keluhan nyeri dada. Pada emboli paru, nyeri dada umumnya pleuritik, namun juga
bisa terasa mirip seperti nyeri dada kardiak. Membedakan keduanya dapat
menggunakan pemeriksaan EKG dan kadar enzim jantung.
 Pneumothorax : Pasien emboli paru yang datang dengan keluhan dyspnea dan
nyeri dada dapat didiagnosis banding dengan pneumothorax. Membedakan
keduanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan rontgen dada.
 Penyakit Paru Obstruksi Kronik : Pada penyakit paru obstruksi kronis yang
eksaserbasi, gejala yang timbul dapat mirip dengan emboli paru. Namun, pada
pasien PPOK akan terdapat riwayat penyakit obstruksi jalan napas sebelumnya,
misalnya asthma atau bronkitis. [3,7]
 Kanker Paru : Pasien emboli paru dan kanker paru dapat datang ke dokter dengan
keluhan hemoptisis. Keduanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan radiologi
seperti rontgen dada dan MRI. [1]
h. Tatalaksana

Antikoagulan
Pemberian antikoagulan parenteral selama 5 – 10 hari direkomendasikan pada pasien dengan
emboli paru akut. Pemberian antikoagulan dilaporkan dapat mencegah kematian dan rekurensi.
Pengobatan fase akut emboli paru menggunakan antikoagulan parenteral, yaitu unfractionated
heparin (UFH) dan low molecular weight heparin (LMWH), atau fondaparinux. Pemberian
LMWH lebih direkomendasikan dibandingkan UFH dan fondaparinux dikarenakan rendahnya
risiko perdarahan dan heparin-induced thrombocytopenia (HIT) pada pasien. Akan tetapi, pada
pasien obesitas berat dan gangguan ginjal, pemberian UFH lebih disarankan.
Dosis UFH yang disarankan adalah bolus inisial 80 U/kgBB atau 5000 U, dilanjutkan dengan
infus 18 U/kgBB/jam atau 1300 U/jam. Dosis LMWH dan fondaparinux yang sudah
disetujui European Society of Cardiology (ESC) dapat dilihat pada Tabel 4. [11,15]
Tabel 4. Dosis LMWH dan Fondaparinux pada Pengobatan Emboli Paru

Dosis Interval

1,0 mg/kg
Atau Setiap 12 jam
Enoxaparin
1,5 mg/kg Sehari sekali
Tinzaparin 175 U/kg Sekali sehari

100 IU/kg
Atau Setiap 12 jam
Dalteparin
200 IU/kg Sehari sekali

86 IU/kg
Atau Setiap 12 jam
Nadroparin
171 IU/kg Sehari sekali
Fondaparinux 5 mg (berat badan<50 kg);
7,5 mg (berat badan 50 – 100 kg);
10 g (berat badan > 100 kg)
Pemberian antikoagulan oral sebaiknya dimulai sesegera mungkin, lebih disarankan pada hari
yang sama dengan antikoagulan intravena. Warfarin adalah antikoagulan oral yang
direkomendasikan. Warfarin digunakan dalam dosis inisial 10 mg pada pasien usia < 60 tahun
tanpa komorbiditas, dan 5 mg pada pasien usia lanjut. Dosis warfarin disesuaikan dengan kadar
INR setiap 5-7 hari. [11]

Trombolisis
Pada pasien dengan syok dan hemodinamik tidak stabil disarankan untuk dilakukan trombolisis
sistemik. Terapi trombolisis lebih cepat dalam mengembalikan perfusi dibandingkan
antikoagulan. Efikasi trombolisis ditemukan lebih baik pada emboli paru dengan durasi di bawah
48 jam, namun terapi ini juga dapat diberikan pada pasien dengan onset 6 – 14 hari.
Menurut American College of Chest Physician  (ACCP) trombolisis sistemik diindikasikan pada
pasien dengan tekanan sistolik < 90 mmHg. Panduan The American Heart Association (AHA)
juga merekomendasikan pemberian trombolisis pada pasien bradikardi < 40 kali/menit. Efek
samping trombolisis dapat berupa pendarahan hebat, termasuk perdarahan intrakranial. Oleh
karena itu pemantauan yang ketat saat pemberian terapi sangat diperlukan. [11,16,17]
Tabel 5. Regimen Trombolitik pada Emboli Paru

250.000 IU dosis loading selama 30 menit diikuti dengan 100.000 IU/jam selama 12


– 24 jam
Streptokinas
e Regimen percepatan: 1,5 juta IU selama 2 jam

4400 IU/kg dosis loading selama 10 menit diikuti dengan 4400 IU/kg per jam selama
12 – 24 jam
Urokinase Regimen percepatan: 3 juta IU selama 2 jam

100 mg selama 2 jam; atau

rtPA 0,6 mg/kg selama 15 menit (dosis maksimum 50 mg)

Embolektomi Operatif
Tindakan embolektomi operatif direkomendasikan pada pasien yang gagal terapi trombolitik
sistemik. Tindakan ini bersifat invasif dan memiliki tingkat mortalitas 4 – 27%. Akan tetapi,
pada pasien yang berhasil dilakukan tindakan, tingkat kelangsungan hidup cukup tinggi yaitu
84%. [11,18]
Filter Vena
Filter vena kava inferior merupakan filter vaskular yang dimasukkan ke dalam vena kava inferior
untuk terapi emergensi pasien emboli paru akut. Terapi ini lebih disarankan pada pasien dengan
emboli paru akut yang memiliki kontraindikasi absolut terhadap terapi antikoagulan dan
perdarahan hebat saat fase akut. [11,19]
i. Pencegahan dan edukasi
Beberapa edukasi pada pasien diperlukan untuk mencegah terjadinya emboli paru berulang
maupun efek samping obat.

Warfarin
Pada pasien yang akan menggunakan warfarin saat pulang, edukasi pasien mengenai efek
samping perdarahan. Sampaikan juga bahwa pemeriksaan INR setiap minggu perlu
dilakukan.
Warfarin adalah antagonist vitamin K, sehingga kerjanya akan dipengaruhi oleh makanan
yang tinggi kandungan vitamin K seperti brokoli dan bayam. Pasien disarankan untuk
mengkonsumsi makanan ini dalam jumlah yang konsisten setiap harinya, tidak terlalu
banyak tidak terlalu sedikit, agar kerja warfarin tidak fluktuatif.
Warfarin juga berinteraksi dengan banyak obat lain, sehingga pasien harus diedukasi
untuk selalu menyampaikan kepada dokter atau apoteker setiap kali akan mengonsumsi
obat baru.

Gaya Hidup
Untuk mencegah terjadinya emboli berulang maka pasien disarankan untuk
menggunakan kaus kaki kompresi. Pasien juga disarankan untuk melakukan peregangan
atau gerakan ringan setiap jam saat dalam perjalanan panjang di mobil maupun pesawat.
Perjalanan yang membutuhkan waktu lama dapat meningkatkan risiko terbentuknya
emboli, sehingga pasien harus disarankan untuk berkonsultasi terlebih dulu dengan
dokter sebelum melakukan perjalanan. [5,11]

Aktivitas dan Pre-Operasi


Pasien emboli paru yang mengkonsumsi antikoagulan jangka panjang sebaiknya berhati-
hati dalam beraktivitas yang dapat meningkatkan risiko perdarahan, misalnya olahraga
sepak bola dan tinju. Pasien juga harus berhati-hati jika akan melakukan tindakan medis
seperti ekstraksi gigi atau operasi lainnya.
j. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat emboli paru adalah gagal napas, emboli rekuren,
hipertensi pulmonal sekunder, hingga cardiac arrest. Tindakan thrombolisis juga
memiliki risiko komplikasi berupa perdarahan mayor (intrakranial, peritoneal, ataupun
gastrointestinal). [20,21]
k. Prognosis
Pada pasien PE yang tidak ditangani cepat, risiko mortalitas akan meningkat sebanyak
30% dibandingkan dengan yang diterapi dengan antikoagulan, yaitu 2-11 %.
Skor Pulmonary Embolism Severity Index  (PESI) pada tahun 2005 dibuat untuk
mempermudah klinisi dalam menentukan stratifikasi risiko pasien. Skor PESI yang
disimplifikasi (sPESI) lebih mudah digunakan, dimana hanya memiliki 6 kriteria. [22,23]

DAPUS

1. Kostadima E, Zakynthinos E. Pulmonary Embolism: Pathophysiology, Diagnosis, Treatment. Hell J


Cardiol. 2007;48:94–107.
2. Sanchez O, Planquette B, Meyer G. Update on acute pulmonary embolism. Eur Respir Rev.
2009;18(113):137–47
3. Ouellette, DR. Pulmonary Embolism. Medscape, 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/300901-overview
4. Konstantinides S V., Barco S, Lankeit M, Meyer G. Management of Pulmonary Embolism: An Update.
J Am Coll Cardiol. 2016;67(8):976–90.
5. Corrigan D, Prucnal C, Kabrhel C. Pulmonary embolism: the diagnosis, risk-stratification, treatment
and disposition of emergency department patients. Clin Exp Emerg Med. 2016;3(3):117–25.
6. Wells PS, Anderson DR, Rodger M, Ginsberg JS, Kearon C, Gent M, et al. Derivation of a simple
clinical model to categorize patients probability of pulmonary embolism: Increasing the models utility
with the SimpliRED D-dimer. Thromb Haemost. 2000;83(3):416-20.
7. Bělohlávek J, Dytrych V, Linhart A. Pulmonary embolism, part I: Epidemiology, risk factors and risk
stratification, pathophysiology, clinical presentation, diagnosis and nonthrombotic pulmonary embolism.
Exp Clin Cardiol. 2013;18(2):129–38.
8. Byrnes JR, Wolberg AS. New findings on venous thrombogenesis. Hamostaseologie. 2017;37(1):25-
35.
9. Hussain Y. Venous thromboembolism in adult hospitalizations - United States, 2007-2009. MMWR
Morb Mortal Wkly Rep. 2012;61(22):401-4.
10. Centers for Disease Control and Prevention. Venous thromboembolism (blood clots). Atlanta: CDC,
2015. Available at www.cdc.gov/ncbddd/dvt/data.html.
11. Task Force, Konstantinides S, Germany C, France ND, Uk DF, et al. 2014 ESC Guidelines on the
diagnosis and management of acute pulmonary embolism. Eur Heart J. 2014;35(43):3033-69.
12. Le Gal G, Righini M, Roy PM, Sanchez O, Aujesky D, Bounameaux H, et al. Prediction of
pulmonary embolism in the emergency department: The revised geneva score. Ann Intern Med.
2006;144(3):165-71.
13. Penaloza A, Verschuren F, Meyer G, Quentin-Georget S, Soulie C, Thys F, et al. Comparison of the
unstructured clinician gestalt, the wells score, and the revised Geneva score to estimate pretest probability
for suspected pulmonary embolism. Ann Emerg Med. 2013;62(2):117-124.
14. Kline JA, Mitchell AM, Kabrhel C, Richman PB, Courtney DM. Clinical criteria to prevent
unnecessary diagnostic testing in emergency department patients with suspected pulmonary embolism. J
Thromb Haemost. 2004;2(8):1247-55.
15. Meyer G. Effective diagnosis and treatment of pulmonary embolism: Improving patient outcomes.
Arch Cardiovasc Dis.2014;107(6–7):406–14.
16. Kearon C, Akl EA, Ornelas J, Blaivas A, Jimenez D, Bounameaux H, et al. Antithrombotic therapy
for VTE disease: CHEST guideline and expert panel report. Chest. 2016;149(2):315-52
17. Jaff MR, McMurtry MS, Archer SL, Cushman M, Goldenberg N, Goldhaber SZ, et al. Management
of massive and submassive pulmonary embolism, iliofemoral deep vein thrombosis, and chronic
thromboembolic pulmonary hypertension: A scientific statement from the american heart association.
Circulation. 2011;123(16):1788-830
18. Azari A, Bigdelu L, Moravvej Z. Surgical embolectomy in the management of massive and sub-
massive pulmonary embolism: The results of 30 consecutive ill patients. ARYA Atheroscler.
2015;11(3):208-13.
19. Cook AD, Gross BW, Osler TM, Rittenhouse KJ, Bradburn EH, Shackford SR, et al. Vena cava filter
use in trauma and rates of pulmonary embolism, 2003-2015. In: JAMA Surgery. 2017. hal. 724–32.
20. Tapson VF. Acute pulmonary embolism. NEJM, 2008. 358: 1037-52. 10.1056/NEJMra072753
21. Aujesky D, Obrosky DS, Stone RA, et al. Derivation and validation of a prognostic model for
pulmonary embolism. Am J Respir Crit Care Med, 2005. 172: 1041-46. 10.1164/rccm.200506-862OC
22. Jiménez D, Aujesky D, Moores L, Gómez V, Lobo JL, Uresandi F, et al. Simplification of the
pulmonary embolism severity index for prognostication in patients with acute symptomatic pulmonary
embolism. Arch Intern Med. 2010;170(15):1383–9.
23. Den Exter PL, Van Es J, Klok FA, Kroft LJ, Kruip MJHA, Kamphuisen PW, et al. Risk profile and
clinical outcome of symptomatic subsegmental acute pulmonary embolism. Blood. 2013;122(7):1144–9

Anda mungkin juga menyukai