Anda di halaman 1dari 9

Pneumothorax

a. Definisi
Pneumothorax merupakan penyakit kegawatdaruratan medis yang didefinisikan sebagai kondisi
abnormal terdapat udara pada rongga pleura yang secara fisiologis hanya berisi sedikit cairan.[1]
Pneumothorax yang berukuran besar mengakibatkan penurunan kapasitas vital paru dan PaO2
sehingga timbul hipoksia hingga distress pernapasan.[2]
b. Epidemiologi
Data epidemiologi pneumothorax bervariasi tergantung tipe pneumothorax. Pneumothorax
traumatik merupakan trauma toraks yang sering terjadi. Pneumothorax spontan sering terjadi
pada 2 kelompok usia, usia muda (15-34 tahun) untuk pneumothorax spontan primer, dan usia tua
(>55 tahun) untuk pneumothorax spontan sekunder. Di Indonesia, pneumothorax spontan
sekunder sering terjadi terutama pada laki-laki. Mortalitas akibat penyakit ini masih tinggi
terutama akibat gagal napas.[13]
c. Etiologi
- Pneumothorax Spontan Primer
Etiologi pneumothorax spontan primer adalah bleb dan bulla pleura. Bleb (kantong
udara) atau bulla merupakan kantong kecil berisi udara yang terbentuk antara jaringan
paru dan pleura. Pembentukan bleb diawali oleh pembesaran alveoli (diameter 1-2
cm).[8]
Regio apeks paru sering kali terdapat bleb. Hal ini diduga akibat gradien tekanan.
Tekanan pleura pada apek lebih negatif dibanding bagian basal. Akibatnya tekanan
alveolar pun meningkat.[9]
- Pneumothorax Spontan Sekunder
Etiologi pneumothorax spontan sekunder dapat disebabkan oleh berbagai penyakit
paru, misalnya penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), tuberkulosis paru, cystic
fibrosis, pneumosistis pneumonia, fibrosis pulmoner idiopatik, dan emboli paru.[10]
- Pneumothorax Traumatik
Etiologi pneumothorax traumatik, di antaranya:

 Trauma penetrasi pada regio thorax

 Trauma tumpul pada regio thorax

 Barotrauma (pemakaian ventilator terutama dengan positive end-expiratory


pressure tinggi)
 Fraktur iga[10]
- Pneumothorax Iatrogenik
Etiologi pneumothorax iatrogenik, di antaranya:
 Biopsi aspirasi jarum transthorakal nodul pulmoner

 Biopsi pleura atau transbronkial

 Thorakosentesis

 Pemasangan vena kateter sentral pada vena subklavia atau jugular interna
 Blok saraf interkostal[10]

d. Faktor risiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan pneumothorax adalah sebagai berikut:

 Merokok: merokok berhubungan dengan pneumothorax. Diduga dinding bleb dapat


menjadi tipis akibat paparan asap rokok[8]

 Postur tubuh tinggi dan kurus: tekanan pleura pada lobus pulmoner atas individu yang
tinggi diduga semakin negatif dan tekanan alveolar juga meningkat. Akibatnya risiko
pembentukan bulla dan pneumothorax pun meningkat[9]

 Laki-laki

e. Patofisiologi
Patofisiologi pneumothorax berupa gangguan recoil paru yang terjadi melalui mekanisme
peningkatan tekanan pleura akibat terbentuknya komunikasi abnormal. Komunikasi abnormal ini
dapat terjadi antara alveolus dan rongga pleura, atau antara udara ruang dan rongga pleura.
a) Kondisi Normal
Pada kondisi normal, tekanan dalam rongga paru lebih besar dibanding tekanan di dalam
rongga pleura. Tekanan rongga pleura negatif jika dibandingkan dengan tekanan atmosfer
selama seluruh siklus respirasi. Tekanan pleura selalu lebih rendah dari tekanan alveolar
dan tekanan atmosfer sehingga memungkinkan paru mengalami elastic recoil.[2]
b) Peningkatan Tekanan Pleura
Komunikasi abnormal dapat terjadi antara alveolus dan rongga pleura, atau antara udara
ruang dan rongga pleura. Saat terjadinya komunikasi abnormal, misalnya akibat trauma,
akan terjadi perpindahan udara dari rongga alveolus ke rongga pleura. Hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan dalam rongga pleura yang menyebabkan
gangguan recoil paru dan gangguan ekspansi lobus paru.[2,6]
c) Efek Pneumothorax
Peningkatan tekanan pleura akan terus terjadi secara perlahan hingga tekanan pleura
menjadi nol atau komunikasi abnormal terputus.  Hal ini akan menyebabkan efek-efek
sebagai berikut:
1. Penurunan Kapasitas Vital dan PaO2
Pneumothorax mengakibatkan penurunan kapasitas vital dan penurunan PaO2.
Penurunan kapasitas vital mengakibatkan insufisiensi respirasi dengan
hipoventilasi alveolar dan asidosis respiratorik. PaO2 berkurang akibat terjadi
penurunan ventilasi tetapi perfusi O2 terus berlanjut.[2]
2. Gangguan Hemodinamik
Terkait sistem kardiovaskular, studi menunjukkan tension pneumothorax dapat
mengganggu hemodinamik yakni menurunkan curah jantung serta tekanan rerata
arterial. Peningkatan tekanan pleura dapat menggeser mediastinum, paru
kontralateral tertekan serta penurunan aliran balik vena sehingga curah jantung
pun berkurang.[2,7]
f. Penegakkan diagnosis
Diagnosis pneumothorax ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis terutama untuk mencari etiologi apakah pneumothorax termasuk spontan
atau traumatik, pemeriksaan fisik terutama pemeriksaan toraks, dan pemeriksaan penunjang
berupa radiografi konvensional sampai CT scan.
a) Anamnesis
Pada penumothorax spontan primer, gejala yang ditemukan adalah nyeri dada tipe
pleuritik (nyeri seperti ditusuk yang terlokalisir) onset mendadak, dengan atau tanpa
sesak napas. Beberapa pasien juga mengeluhkan nyeri pada ujung bahu. Biasanya gejala
minimal atau bahkan tidak ada gejala, berbeda dengan pneumothorax sekunder di mana
gejala sesak napas sangat dominan. Perburukan gejala pada pneumothorax spontan jarang
terjadi kecuali terjadi hematopneumothorax atau terdapat etiologi lain.[3]
Pada pneumothorax traumatik gejala awal dapat muncul nyeri dada, sesak napas,
ansietas. Pada pneumothorax traumatik tahap lanjut, dapat terjadi penurunan kesadaran.
[4]
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh. Beberapa tanda yang mungkin
ditemukan pada kasus pneumothorax pada pemeriksaan fisik generalis, yaitu:

 Takipnea

 Takikardia

 Nadi lemah dan cepat, akral dingin

 Hipotensi

 Distensi vena jugular (mungkin tidak terlihat jika hipotensi berat)

 Deviasi trakea menjauhi sisi cedera

 Sianosis

 Diaforesis (berkeringat dingin)

Pemeriksaan Fisik Toraks


Pemeriksaan fisik toraks yang mungkin ditemukan pada pneumothorax:

 Inspeksi: Pergerakan dinding dada menurun atau tertinggal di salah satu sisi

 Palpasi : Penurunan atau tidak ada fremitus


 Perkusi : Hipersonor[3]
 Auskultasi: Penurunan bunyi nafas atau tidak ada sama sekali pada sisi dada yang
mengalami pneumothorax
 Pada pneumothorax tension: hemitoraks dengan pneumothorax lebih besar
dibandingkan sisi kontralateral, trakea terdorong ke sisi kontralateral, sela iga
melebar[18]
c) Pemeriksaan penunjang
Untuk mempertajam diagnosis pneumothorax, posisi foto rontgen lateral decubitus
dengan sisi paru yang sakit berada di atas. Secara teori, udara minimal pun akan terlihat
pada gambaran foto.[18]

g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pneumothorax meliputi penanganan kegawatdaruratan. Selanjutnya
penatalaksanaan dapat terbagi menjadi penatalaksanaan konservatif dan invasif. Tujuan
penatalaksanaan adalah untuk evakuasi udara jika diperlukan dan mencegah kekambuhan.
Penatalaksanaan ini berbeda berdasarkan jenis pneumothoraxnya.
a) Penatalaksanaan Pneumothorax Traumatik
Penatalaksanaan pneumothorax traumatik meliputi pertolongan pertama dengan
penilaian Airway, Breathing and Circulation, terapi  dan pemasangan kateter intercostal.
Pertolongan Awal
Patensi jalan napas harus adekuat dengan penilaian integritas dinding dada dan status
sirkulasi karena tamponade jantung dapat memiliki gejala mirip pneumothorax tension.
Posisi duduk tegak bermanfaat kecuali jika terdapat kontraindikasi seperti cedera spinal.
Luka tusuk membutuhkan penutupan luka segera yang tertutup atau perban kedap udara.
Pasang perban oklusif steril untuk menutupi luka terbuka, (misalnya menggunakan
plastik wrap atau petrolatum gauze) dengan menempelkan perekat pada ketiga sisi.
Tindakan ini dapat mencegah udara ruang memasuki rongga pleura tetapi udara dapat
keluar dari rongga pleura ke ruangan saat proses ekspirasi melalui tepi yang tidak
ditempel perekat.[5]
Observasi ketat seluruh pasien pneumothorax apalagi pneumothorax terbuka
karena tension pneumothorax atau keadaan emergensi pernapasan yang mengancam jiwa
dapat terjadi. Hemothorax dapat terjadi pada pneumothorax traumatik sehingga perlu
dipasang akses intravena dengan kanul yang besar untuk resusitasi cairan jika pasien
mengalami perburukan menjadi syok. Selain akibat perdarahan, syok obstruktif dapat
timbul akibat pergeseran mediastinum ke sisi kontralateral, menekan paru kontralateral
dan menurunkan aliran balik vena.[4,5]
Airway:
Saat memeriksa jalan napas, perhatikan apakah terdapat sumbatan jalan napas seperti
adanya bunyi napas tambahan seperti gargling yang mengindikasikan adanya perdarahan
di saluran napas, atau stridor yang mengindikasikan adanya obstruksi saluran napas atas.
Breathing:
Saat menilai usaha bernapas (breathing) yang diperhatikan adalah ekspansi dada, laju
pernapasan, saturasi oksigen perifer. Ekspansi dada yang tidak simetris dengan laju
pernapasan cepat dapat ditemukan pada pneumothorax. Pada pneumothorax traumatik,
lakukan juga penilaian terhadap tanda trauma pada dada, seperti memar, luka, atau
emfisema subkutan.
Circulation:
Kegagalan sirkulasi dengan ditemukannya tanda syok seperti hipotensi, takikardia, akral
dingin atau sianosis menunjukan kemungkinan terjadinya pneumothorax tension ataupun
tamponade jantung.
Terapi Oksigen
Segera berikan oksigen 100% dan pertahankan pemberian oksigen selama masa
perawatan. Pemberian suplementasi oksigen aliran tinggi mempercepat absorpsi udara
pleural secara klinis. Dengan menghirup oksigen 100% dibandingkan udara bebas,
tekanan alveolar nitrogen akan menurun dan nitrogen secara bertahap akan bersih dari
jaringan dan oksigen akan masuk ke sistem vaskular. Dengan suplementasi oksigen
konsentrasi tinggi, normalnya 1,2% volume akan terserap dalam 24 jam, 10% akan
diabsorpsi dalam 8 hari dan 20% dalam 16 hari berikutnya. Perbedaan gradien nitrogen
yang terjadi antara jaringan kapiler dan ruang pneumothorax akan meningkatkan absorpsi
rongga pleural 4 kali lipat.[1,4]
Aspirasi Sederhana
Titik untuk aspirasi adalah pada sela iga 2 di linea midklavikula. Dapat juga dilakukan di
sela iga 5 linea aksilaris anterior untuk mencegah perdarahan yang mengancam
nyawa. American College of Chest Physician (ACP) dan British Thoracic Society (BTC)
mengatakan aspirasi jarum dan/atau insersi kanul intravena efektif, nyaman, aman, dan
ekonomis pada beberapa pasien.[4]
Selang Torakostomi/Kateter Interkostal
Prosedur ini dianjurkan jika aspirasi sederhana tidak efektif dan torakoskopi tidak
tersedia. Titik pemasangan kateter/selang sama dengan titik pemasangan jarum aspirasi
sederhana. Prosedur ini menyebabkan ekspansi paru yang cepat sehingga lama perawatan
akan berkurang. Risiko dari reekspansi paru yaitu edema paru akan lebih besar jika
reekspansi terjadi terlalu cepat sehingga pemasangan water-seal dianjurkan pada 24 jam
pertama. Saat ini pemasangan kateter lebih banyak diganti dengan selang plastik (18-24
Fr) dibandingkan dengan trokar metal karena risiko cedera. Letak selang yang tepat dapat
terlihat dari adanya gelembung saat ekspirasi dan saat batuk serta kenaikan level air
pada water seal pada saat inspirasi.[4]
b) Penatalaksanaan Pneumothorax Spontan
Penatalaksanaan pneumothorax spontan meliputi terapi konservatif, terapi oksigen,
aspirasi sederhana sampai pemasangan kateter intercostal. Pemilihan penatalaksanaan
pneumothorax spontan berdasarkan pada ukuran pneumothorax dan kondisi klinis pasien.
Terapi Konservatif
Pneumothorax spontan kecil tidak selalu membutuhkan tindakan, karena jarang
menyebabkan kegagalan pernapasan dan secara umum dapat pulih spontan. Pendekatan
ini dilakukan jika ukuran pneumothorax kecil (kurang dari 50% volume hemitoraks),
tidak ada sesak napas, dan tidak ada penyakit paru yang menyadari. Observasi 24 jam
dapat dilakukan dan pilihan terapi dapat berubah jika pasien mengalami perburukan.
Rontgen toraks serial diperlukan untuk membuktikan perbaikan. Pneumothorax sekunder
hanya boleh ditatalaksana konservatif jika ukuran sangat kecil (kurang dari 1 cm) dan
gejala minimal. Pada pneumotoraks spontan kecil (<15%) dapat diobservasi dan
diberikan terapi oksigen 100% untuk mempercepat reabsorpsi sampai 4 kali lipat.[3,6]
Aspirasi Sederhana
Aspirasi dapat dilakukan pada pneumothorax spontan yang besar (>15%) atau dengan
gejala sesak napas menggunakan kanul intravena dibandingkan menggunakan jarum
manual yang berkaitan dengan risiko laserasi paru. Evaluasi efektivitas aspirasi dapat
dilihat pada foto rontgen 6 jam setelah prosedur aspirasi dilakukan, rekurenitas terjadi
pada sekitar 20%-50% kasus, sehingga aspirasi sederhana lebih efektif pada
pneumothorax spontan kecil dan sedang.[3,6]
Selang Torakostomi / Kateter Interkostal
Pemasangan kateter interkostal diperlukan pada pneumothorax spontan primer yang tidak
respon dengan aspirasi, pneumothorax spontan sekunder besar (>50%), dan
pneumothorax tension. Titik insersi sama seperti aspirasi. Prosedur ini menghasilkan
reekspansi yang cepat sehingga tidak perlu perawatan yang lama. Risiko edema paru
lebih tinggi ketika paru reekspansi dengan cepat, sehingga lebih baik
menggunakan water-seal drainage. Saat ini selang torakostomi menggunakan plastik
disposable dengan trokar logam di bagian tengahnya. Tanda posisi selang sudah benar
adalah adanya gelembung udara pada air saat ekspirasi dan batuk dan kenaikan tinggi
cairan pada water-seal saat inspirasi. Jika paru tetap tidak mengembang atau terdapat
kebocoran udara persisten selama 72 jam setelah pemasangan selang torakostomi,
pertimbangkan untuk melakukan melakukan penatalaksanaan lain seperti torakoskopi
atau torakotomi.[3,6]
c) Penatalaksanaan Pneumothorax Rekuren
d) Pilihan tatalaksana pneumothorax rekuren yaitu pleurodesis atau pembedahan.
Pleurodesis dan Pembedahan
Pleurodesis adalah pilihan terakhir yaitu prosedur yang secara permanen menghilangkan
ruang pleural dan merekatkan paru ke dinding dada. Prosedur ini berupa pembedahan
torakotomi diikuti dengan pleurektomi lapisan pleura luar dan abrasi pleura dalam.
Selama proses penyembuhan, paru menempel pada dinding dada dan efektif merekatkan
ruang pleura. Tingkat rekurensi 1%.
Tindakan yang lebih kurang invasif adalah torakoskopi dengan Video-assisted
thoracoscopic surgery (VATS). VATS lebih efektif, mengurangi waktu rawat inap, lebih
tidak nyeri, skar yang lebih kecil, dan risiko masalah paru pasca operasi yang lebih
rendah. Jika selang toraks sudah terpasang, beberapa agen kimiawi pleurodesis dapat
digunakan seperti tetrasiklin, talk, minosiklin atau doksisiklin.[3,6]
e) Perawatan Lanjutan
Jika pneumothorax terjadi pada perokok, dianjurkan untuk tidak bekerja selama 10 hari
setelah terkena pneumothorax spontan. Pasien yang menjalani pleurodesis membutuhkan
dua sampai tiga minggu untuk dapat beraktivitas kembali. Menyelam tidak dianjurkan
pada pasien yang pernah mengalami pneumothora

h. Pencegahan
a) Edukasi Pasien
Edukasi yang dapat diberikan untuk mencegah pneumothorax antara lain gunakan sabuk
pengaman dan perangkat pengendali pasif saat berkendara serta berhenti merokok untuk
menghindari penyakit paru yang dapat memicu pneumothorax spontan sekunder.[3,6]
b) Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Upaya pencegahan penyakit meliputi kontrol faktor risiko pneumothorax. Penanganan
penyakit paru yang tepat  terutama penyakit yang meningkatkan risiko pneumothorax
sekunder harus ditangani dengan tepat demi mencegah pneumothorax sekunder.
Upaya pengendalian penyakit meliputi edukasi pasien mengenai adanya risiko rekurensi,
gejala serta pencegahan rekurensi. Gejala rekurensi serupa dengan gejala pneumothorax
umumnya.
Upaya pencegahan rekurensi pneumothoraks berupa penundaan olahraga dengan gerakan
ekstrim hingga tercapai resolusi total, larangan merokok serta larangan menyelam seumur
hidup kecuali telah menjalani prosedur pleurectomy. Selain itu penerbangan berisiko
dapat menimbulkan hipoksia akibat perubahan tekanan atmosfer pada ketinggian tertentu.
Beberapa sumber menyarankan pasien diperbolehkan untuk melakukan perjalanan udara
paling cepat 6 bulan pasca resolusi penuh pneumothorax yang dibuktikan dengan
gambaran radiologi. Bahkan sebaiknya 1 tahun pascapneumothorax. Akan tetapi jika
telah menjalani pleurodesis, tidak ada larangan terbang karena risiko rekurensi yang
rendah.[1,22,23] Kehamilan juga berisiko menimbulkan rekurensi. Pemantauan dan
perencanaan persalinan oleh tim multidisiplin diperlukan.[1]

DAPUS
1. MacDuff A, Arnold A, Harvey J. Management of spontaneous pneumothorax: British
Thoracic Society pleural disease guideline 2010. Thorax. 2010;65:ii18-ii31
2. Light RW. Physiological effects of pneumothorax and pleural effusion. In : Pleural
disease, 6th ed. 2013:19-30
3. Tschoop JM, Bintcliffe O, Astoul P, Canalis E, Driese P, Janssen J, et al. ERS task
force statement: diagnosis and treatment of primary spontaneous pneumothorax. Eur
Respir J 2015; 46: p. 323-330
4. Sharma A dan Jindal P. Principles of diagnosis and management of traumatic
pneumothorax. Journal of Emergencies, Trauma and Shock 2008; 1: p. 35-39
5. American College of Surgeon. Thoracic trauma. In : Advanced Trauma Life Support,
10th ed. 2018: 65-8.
6. Zarogoulidis P, Kioumis I, Pitsiou G, Porpodis K, Lampaki S, Papaiwannou A, et al.
Pneumothorax: from definition to diagnosis and treatment. J Thoracic Dis 2014;6(24):
p.5372-5376
7. Beards SC, Lipman J. Decreased cardiac index as an indicator of tension
pneumothorax in the ventilated patient. Anaesthesia. 1994;49:137-141
8. Hobbs BD, Foreman MG, Bowler R, Jacobson F, Make BJ, Castaldi PJ, et al.
Pneumothorax risk factors in smokers with and without chronic obstructive pulmonary
disease. Ann Am Thorac Soc. 2014;11(9): 1387–94.
9. Freixinet JL, Caminero JA, Marchena J, Rodriguez PM, Casimiro JA, Hussein M.
Spontaneous pneumothorax and tuberculosis: long term follow-up. Eur Respir J 2011;
38: 126–131 DOI: 10.1183/09031936.00128910
10. Kim HY, Song KS, Goo JM, Lee JS, Lee KS, Lim TH. Thoracic Sequelae and
Complication of Tuberculosis. RadioGraphics 2001; 21:839–860.
11. Daley BJ. Pneumothorax. 2018 (https://emedicine.medscape.com/article/424547-
overview#a4)
12. Choi WI. Pneumothorax. Tuber Respir Dis (Seoul). 2014;76(3):99-104.
13. Widjaya DP, Amin Z, Suprayitno, Afifi R, Shatri H. Karakteristik dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Kesintasan Pasien Pneumothorax di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta. Ina J Chest Crit and Emerg Med. 2014;1(3): 113-18.
14. Bobbio A, Dechartres A, Bouam S, Darnotte D, Rabbat A, Regnard JF, et al.
Epidemiology of spontaneous pneumothorax: gender related differences. Thorax.
2015;70(7): 653-8.
15. Dennis BM, Bellister SA, Guillamondegui OD. Thoracic Trauma. Surg Clin North
Am. 2017;97(5):1047-64.
16. Kulshrestha P, Munshi I, Wait R. Profile of chest trauma in a level I trauma center. J
Trauma 2004;57:576-81.
17. Yoon JS, Choi SY, Suh JH, Jeong JY, Lee BY, Park YG, et al. Tension
pneumothorax, is it a really life threatening condition?. Journal of Cardiothoracic Surgery
2013, 8:197.
18. Jain DG, Gosavi SN, Jain DD. Understanding and managing tension pneumothorax.
JIACM 2008;9(1): p.42-50
22. Managing passengers with respiratory disease planning air travel: British Thoracic
Society recommendations. Thorax 2002;57:289-304.
23. Nicholson TT, Sznajder JI. Fitness to fly in patient with lung disease. Annals ATS.
2014:11(10):1614-22.

Anda mungkin juga menyukai