Anda di halaman 1dari 13

SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome)

a. Definisi
Severe acute respiratory syndrome (SARS) merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan yang
disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus  (SARS-CoV). Penyakit ini
pertama kali ditemukan di China Selatan pada November 2002. WHO kemudian mengumumkan
SARS sebagai ancaman global pada 15 Maret 2003. Saat itu SARS merupakan epidemi baru yang
menyebar dengan cepat ke seluruh dunia, terutama di negara-negara Asia.[1,2]
SARS-CoV dapat menyebar melalui droplet, kontak dengan material terkontaminasi, dan melalui
jalur fecal-oral. Umumnya SARS menunjukkan gambaran pneumonia atipikal dengan gejala
demam, batuk dan sesak yang dapat berkembang menjadi acute respiratory distress
syndrome (ARDS) pada 20% kasus. Apabila ARDS tidak ditangani, penyakit dapat berkembang
menjadi sepsis, syok sepsis, dan kematian. Penyakit ini memiliki laju mortalitas sekitar 10%.[1,3]
b. Etiologi
Etiologi severe acute respiratory syndrome (SARS) adalah infeksi oleh severe acute respiratory
syndrome coronavirus (SARS-CoV). Genom SARS-CoV telah diurutkan (sequenced) dan tidak
terkait dengan coronavirus manusia ataupun coronavirus hewan yang telah dikenal sebelumnya.
Kemungkinan SARS-CoV awalnya adalah virus pada hewan yang kemudian mengalami mutasi
menjadi patogen manusia.[10,11]
c. Faktor risiko
Beberapa pasien (terutama yang berusia tua) lebih mudah terpapar SARS-CoV oleh karena
komorbiditas sebelumnya, seperti:
 Penyakit endokrin: diabetes mellitus tipe 1 dan diabetes mellitus tipe 2
 Penyakit kardiovaskular: penyakit jantung kronis
 Penyakit ginjal: penyakit ginjal kronis
 Penyakit keganasan: kanker payudara
 Penyakit imunodefisiensi: pasien dengan infeksi HIV
 Penyakit saraf: parkinson[1,14]
d. Epidemiologi
Secara epidemiologi, severe acute respiratory syndrome (SARS) bermula di China Selatan pada
November 2002 kemudian menyebar ke Hongkong pada Februari 2003. Setelah itu SARS
menyebar dengan cepat ke seluruh dunia, terutama negara-negara di Asia. World Health
Organization (WHO) kemudian mengumumkan SARS sebagai ancaman global tanggal 15 Maret
2003.[1,5]
Data epidemiologi SARS di Indonesia periode 1 Maret sampai 9 Juli 2003 mencatat 2
kasus probable dan 7 kasus suspect SARS. Tidak ada lagi kasus SARS yang dilaporkan sejak saat
itu sampai saat ini.[15]
e. Patofisiologi
Patofisiologi severe acute respiratory syndrome (SARS) diawali dengan interaksi protein pada
severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS-CoV) dengan sel di paru dan di jantung
manusia melalui reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2). Setelah memasuki sel
manusia, encoding genome akan terjadi untuk memfasilitasi ekspresi gen yang membantu
adaptasi virus dalam tubuh inang dan mengaktivasi jalur inflamasi.

Perlekatan dan Fusi Coronavirus


Perlekatan dan fusi SARS-CoV diawali oleh interaksi protein virus dengan sel manusia melalui
reseptor ACE2 yang diekspresikan di paru dan jantung manusia. Protein spike yang terdapat
pada permukaan SARS-CoV memiliki afinitas ikatan yang kuat dengan ACE2 manusia. Ikatan ini
memungkinkan SARS-CoV masuk ke dalam membran sel inang dan memediasi infeksi SARS-CoV
pada paru.

Tubuh manusia juga memiliki DC-SIGN (dendritic cell–specific intercellular adhesion molecule–
grabbing nonintegrin) dan protein CD209L (L-SIGN) yang dapat membantu memfasilitasi
penyebaran SARS-CoV. Setelah memasuki sel, encoding genome akan terjadi untuk
memfasilitasi ekspresi gen yang membantu SARS-CoV beradaptasi pada tubuh inang. RNA virus
kemudian dikeluarkan dalam sitoplasma sel inang. Proses ini diikuti dengan respons imun seluler
dan adaptif yang memunculkan reaksi proinflamasi.[6,7]

Respon Imun Seluler dan Adaptif

Infeksi SARS-CoV akan meningkatkan sitokin proinflamasi seperti interleukin-10, IFN-gamma,


dan interleukin-1. Infeksi ini juga akan menurunkan limfosit T dan subsetnya seperti sel T CD4(+)
dan CD8(+). Antibodi IgG spesifik SARS dihasilkan pada minggu kedua dan dapat bertahan lama
sedangkan IgM hanya bertahan sementara. Protein spike dan protein nukleokapsid yang banyak
terdapat di SARS-CoV berkontribusi penting terhadap produksi antibodi selama perjalanan
penyakit.[8]

Distribusi Organ yang Terdampak SARS-CoV

Selain di paru, SARS-CoV juga dapat dijumpai pada trakea, bronkus, lambung, usus kecil, tubulus
ginjal, kelenjar keringat, paratiroid, hipofisis, pankreas, kelenjar adrenal, hati dan serebrum. Hal
ini menunjukkan bahwa selain pada sistem pernapasan, SARS-CoV juga dapat mempengaruhi
saluran pencernaan dan organ lain. Perubahan patologis pada organ-organ ini dapat disebabkan
secara langsung oleh efek sitopatik yang dimediasi replikasi lokal SARS-CoV atau secara tidak
langsung oleh respon sistemik terhadap gagal napas atau respons imun berlebihan akibat infeksi
virus.[1,3]

Rerata periode inkubasi adalah 6,4 hari (rentang 2-10 hari). Manifestasi klinis yang muncul
menyerupai gejala infeksi sistem pernapasan akut (ISPA) biasa yaitu demam, batuk, dan sesak
napas yang dapat diikuti dengan pneumonia berat. Apabila pneumonia tidak ditangani, gejala
ARDS akan muncul. Syok sepsis juga dapat terjadi dan ditandai dengan disfungsi organ,
hipoperfusi atau hipotensi dengan tekanan darah sistol <90 mmHg walaupun sudah diberikan
resusitasi cairan yang adekuat.[5,9]
f. Klasifikasi
Untuk memberikan gambaran epidemiologi SARS dan memantau penyebarannya, maka
definisi dari kasus SARS perlu ditetapkan. Menurut WHO, definisi kasus SARS terbagi
menjadi 2 yaitu kasus suspect  dan probable.
Kasus Suspect
Seseorang merupakan suspect case bila:
1. Setelah tanggal 1 November 2002 mengalami panas >38°C dan batuk-batuk atau
kesulitan bernapas dan mengalami satu atau lebih pajanan (exposure) berikut dalam 10
hari sebelum timbulnya gejala:

 Close contact dengan seseorang yang merupakan suspect atau probable case dari


SARS
 Riwayat pernah berkunjung ke daerah yang terjangkit SARS

 Tinggal di daerah yang terjangkit SARS

2. Menderita penyakit pernapasan akut yang tidak jelas (unexplained acute respiratory
illness) dan meninggal setelah tanggal 1 November 2002, tetapi tidak menjalani autopsi
dan mengalami satu atau lebih pajanan (exposure) berikut dalam 10 hari sebelum
timbulnya gejala:

 Close contact dengan seseorang yang merupakan suspect atau probable case dari


SARS
 Riwayat pernah berkunjung ke daerah yang terjangkit SARS

 Tinggal di daerah yang terjangkit SARS[24]

Kasus Probable

Seseorang merupakan probable case bila:

1. Suspect case dengan gambaran radiologi paru (chest X-ray) yang menunjukkan


infiltrat konsisten dengan pneumonia atau respiratory distress syndrome (RDS)
2. Suspect case yang positif ditemukan coronavirus SARS pada satu atau lebih
pemeriksaan
3. Suspect case dengan hasil pemeriksaan autopsi konsisten dengan kelainan patologi
RDS tanpa ada penyebab yang jelas. Penderita dikeluarkan dari surveilans SARS
bila diagnosis alternatif sudah terbukti [24]
Konfirmasi kasus berdasarkan pedoman CDC adalah sebagai berikut:
 Adanya antibodi SARS-CoV pada salah satu spesimen serum

 Peningkatan titer antibodi SARS-CoV 4 kali lipat ke atas antara fase akut dan fase
konvalesen

 Hasil negatif pada pemeriksaan antibodi SARS-CoV pada serum fase akut dan hasil
yang positif pada pemeriksaan antibodi SARS-CoV pada serum fase konvalesen

 Isolasi SARS-CoV pada kultur sel dari spesimen klinis yang dikonfirmasi dengan
tes yang divalidasi oleh CDC
 Deteksi RNA SARS-CoV melalui uji RT-PCR yang telah divalidasi oleh CDC,
dengan konfirmasi di laboratorium rujukan menggunakan dua spesimen klinis dari
sumber spesimen yang berbeda atau dua spesimen klinis yang dikumpulkan dari
sumber yang sama pada 2 hari yang berbeda[32]

g. Penegakkan diagnosis
Anamnesis
Perjalanan penyakit SARS terdiri atas dua fase, yaitu fase 1 dan fase 2. Fase 1 ditandai
dengan gejala prodromal flu-like yang muncul dalam 2-7 hari pasca inkubasi. Fase 2
adalah fase saluran pernapasan bawah yang muncul 3 hari pasca inkubasi atau lebih.
Pada pasien SARS fase 1 biasanya ditemukan keluhan:

 Demam

 Fatigue
 Sakit kepala

 Myalgia

 Malaise

 Anoreksia
 Diare

Sementara itu, pada pasien SARS fase 2 biasanya akan muncul keluhan seperti:

 Batuk kering

 Sesak napas, di mana terkadang gagal napas dapat terjadi[17]

Selain anamnesis gejala, biasanya anamnesis lebih dalam menemukan riwayat pasien
bepergian ke China ataupun negara endemis lain dalam 14 hari sebelum onset, riwayat
bekerja di pelayanan kesehatan, riwayat kontak dengan hewan reservoir (musang bulan
atau kelelawar), atau riwayat kontak dengan orang yang bepergian ke China ataupun
negara endemis lain.[1,5]

Pemeriksaan Fisik

Temuan pada pemeriksaan pasien SARS adalah gejala infeksi saluran pernapasan derajat
ringan hingga berat yang mirip dengan pasien pneumonia. Namun, terdapat pula pasien
SARS yang tidak bergejala sama sekali meskipun insidensinya kecil. Oleh karena itu,
dokter perlu mengembangkan clinical judgment bila menemukan kasus yang dicurigai.
[1,17]
Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital

Keadaan umum dan tanda-tanda vital yang dapat ditemukan pada pasien SARS antara
lain berupa:

 Perubahan atau penurunan kesadaran umum

 Peningkatan atau penurunan suhu tubuh (<360C atau ≥380C)


 Tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg (terutama saat pasien mengalami
syok sepsis)
 Peningkatan nadi di atas 90 kali per menit

 Peningkatan laju pernapasan per menit menjadi ≥ 20 kali per menit

 Penurunan saturasi oksigen di bawah 90%[1,18]

Pemeriksaan Toraks

Pada pemeriksaan toraks pasien SARS mungkin dijumpai:

 Stridor dan retraksi dada

 Pada pemeriksaan auskultasi sering kali tidak ada suara yang khas, namun suara paru
abnormal cenderung dijumpai pada saluran pernapasan atas dari pada saluran
pernapasan bawah[18]

Pemeriksaan Umum

Pada pemeriksaan umum pasien SARS mungkin ditemukan:

 Tanda sianosis sentral akibat penurunan saturasi oksigen


 Ekstremitas dingin pada kasus syok sepsis[11]

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan real time reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) merupakan


pemeriksaan penunjang utama untuk SARS. Dengan melakukan RT-PCR, dokter dapat
mendiagnosa SARS secara definitif. [22,23]

h. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan severe acute respiratory syndrome (SARS) berfokus pada pemberian
terapi suportif untuk mencegah morbiditas dan mortalitas. Hal ini dikarenakan terapi
definitif untuk SARS belum tersedia sebab belum ada antiviral yang terbukti efektif
menangani SARS. Terapi suportif mencakup pemberian oksigen, ventilasi, hidrasi,
antipiretik, analgesik, serta antibiotik untuk kasus infeksi sekunder oleh bakteri.[1,33]
Untuk mencegah transmisi terutama transmisi nosokomial, pasien yang dicurigai SARS
harus dirawat di ruang isolasi dengan ventilasi negatif agar tidak menginfeksi pasien lain.
Pasien perlu dipantau sampai hasil tes reverse-transcriptase polymerase chain reaction
(RT-PCR) terkonfirmasi negatif dan pasien sudah menunjukkan perbaikan klinis. Selain
itu, tenaga kesehatan yang merawat pasien probable atau terkonfirmasi SARS harus
menggunakan alat pelindung diri dan lebih dianjurkan untuk menggunakan respirator
N95 dari pada masker bedah.[32,34]

Terapi Suportif

Terapi suportif berfokus pada pemberian oksigen, ventilasi, hidrasi, dan obat-obatan
pendukung. Obat-obatan yang digunakan dapat berupa antipiretik, analgesik, dan
antibiotik pada kasus dengan infeksi sekunder oleh bakteri.

Oksigen dan Ventilasi

Pasien dengan SARS umumnya akan mengalami pneumonia sehingga sangat mungkin
merasa sesak. Pemberian oksigen dimulai dari 5 L/menit lalu dititrasi hingga SpO2 ≥90%
pada orang dewasa yang tidak hamil dan SpO2 ≥92-95% pada ibu hamil. Pemberian
oksigen 10-15 L/menit dengan nonrebreathing oxygen face mask dan konsentrasi oksigen
tinggi dapat dilakukan apabila SpO2 tetap turun walaupun telah diberikan oksigen 5
L/menit. Apabila tetap tidak membaik, dapat dilakukan intubasi dan ventilasi mekanis.

Terdapat dua teknik pemberian ventilasi mekanik yaitu ventilasi noninvasif melalui
masker dengan support dan ventilasi invasif melalui endotracheal tube atau trakeostomi.
[34] Penggunaan ventilasi noninvasif dapat dilakukan bila terdapat petugas medis yang
terlatih dan harus dilakukan secara dini serta dipantau ketat di ICU. Apabila ventilasi
noninvasif tidak berhasil, segera lakukan intubasi.[35]

Terapi Cairan

Terapi cairan pada pasien SARS, terutama pada pasien dengan syok sepsis, harus
dilakukan secara berhati-hati. Syok sepsis umumnya ditandai dengan hipotensi yang
menetap setelah fluid challenge atau adanya tanda hipoperfusi jaringan (konsentrasi laktat
dalam darah >4 mmol/Liter). Terapi cairan yang berlebihan dapat menyebabkan
hemodilusi serta meningkatkan cardiac filling pressure dan overload cairan yang ditandai
dengan crackles pada auskultasi dan gambaran edema paru pada rontgen toraks.

Pemberian cairan pada pasien hipoksemia juga harus berhati-hati karena pemberian
volume yang berlebihan dapat memperburuk shunt sehingga pasien semakin sesak.
Sebaiknya lakukan fluid challenge sebelum diberikan terapi agar dokter mengetahui
apakah pasien memang membutuhkan cairan dan responsif terhadap cairan atau tidak.
Pemantauan SpO2 juga diperlukan pada pasien yang menerima terapi cairan.[36]

Terapi Lainnya

Saat epidemi SARS pertama kali muncul, berbagai regimen kortikosteroid diberikan
sebagai terapi inisial dan biasanya dikombinasikan dengan ribavirin. Namun, pemberian
kortikosteroid kini tidak disarankan karena efek samping seperti infeksi oportunistik,
nekrosis avaskular, dan replikasi virus yang berkepanjangan. Suatu analisis retrospektif
terkait penggunaan steroid melaporkan peningkatan risiko mortalitas dalam 30 hari.[37]
Sebagai terapi suportif, antipiretik dapat diberikan pada pasien demam dan antibiotik
dapat diberikan pada pasien dengan infeksi sekunder oleh bakteri.

Medikamentosa

Hingga saat ini belum terdapat terapi medikamentosa definitif untuk SARS. Namun,
beberapa obat antiviral, interferon, antibodi monoklonal, dan imunoglobulin intravena
dapat diberikan untuk terapi SARS.

Antiviral

Antiviral sebagai terapi SARS sebenarnya masih kontroversial. Masih sedikit penelitian
yang menunjukkan efektivitas penggunaan antiviral untuk manajemen SARS. Antiviral
yang digunakan saat epidemi SARS adalah ribavirin yang biasanya dikombinasikan
dengan steroid dan oksigen. Hingga kini, ribavirin tidak memiliki aktivitas yang terbukti
melawan coronavirus penyebab SARS.[38]

Antiviral golongan protease inhibitor seperti lopinavir dan ritonavir terbukti memiliki
efek in vitro terhadap SARS-CoV. Namun, hasil dari pasien yang menerima lopinavir
atau ritonavir sebagai terapi penyelamatan pada perburukan gejala pernapasan setelah
terapi metilprednisolon tergolong buruk.[39,40]
Interferon

Interferon tipe 1 dapat menghambat virus RNA dan DNA termasuk SARS-CoV, di mana
efek ini telah didemonstrasikan secara in vitro baik pada sel manusia maupun sel hewan.
Pada eksperimen kera cynomolgus yang diinfeksi SARS-CoV, pengobatan profilaksis
dengan pegylated IFN-alfa secara signifikan dapat mengurangi replikasi virus,
mengurangi ekspresi antigen virus berdasarkan pneumosit tipe 1, dan mengurangi
kerusakan paru-paru. Namun, hasil pasca terapi dengan pegylated IFN-alfa tidak begitu
memuaskan.[41]

Pada pasien SARS, penggunaan IFN-alfacon1 dengan kortikosteroid dikaitkan dengan


peningkatan oksigenasi, resolusi dari opasitas rontgen toraks yang lebih cepat, dan
penurunan kadar kreatin fosfokinase (CPK). Temuan ini, meskipun menggembirakan,
masih perlu didukung oleh studi lebih lanjut.[42]

Antibodi monoklonal

Antibodi monoklonal manusia dengan afinitas tinggi (huMab) terhadap protein SARS-
CoV S yang dikenal sebagai 80 R, memiliki aktivitas netralisasi yang kuat secara in vitro
dan in vivo. Antibodi ini terbukti dapat menetralkan SARS-CoV dan menghambat
pembentukan syncytia antara sel-sel yang mengekspresikan protein S dan yang
mengekspresikan reseptor SARS-CoV ACE2. Hal ini mengurangi replikasi SARS-CoV
di paru-paru yang terinfeksi, menurunkan sekresi virus, dan mencegah kerusakan paru
secara makroskopis. Obat ini mungkin merupakan salah satu inhibitor masuknya virus
yang berguna untuk profilaksis darurat dan terapi SARS.[43]

Imunoglobulin intravena

Imunoglobulin intravena (IVIG) digunakan khususnya di Singapura selama epidemi


SARS. Namun, penggunaannya dikaitkan dengan hiperkoagulabilitas. Sepertiga pasien
yang menerima IVIG didiagnosis dengan tromboemboli vena dan beberapa kasus emboli
paru. Pentaglobulin (IgM diperkaya imunoglobulin) juga digunakan dalam penelitian
kecil dan menunjukkan efektivitas yang baik. Namun, penggunaannya juga berisiko
menimbulkan emboli.[44]

Nitric oxide (NO)


Penggunaan inhaled nitric oxide dikaitkan dengan peningkatan oksigenasi dan pelepasan
ventilator dini dalam sebuah studi. Namun, studi lebih lanjut masih dibutuhkan.[44]

Glycyrrhizin

Penetrasi dan replikasi in vitro virus terbukti dapat dihambat oleh glycyrrhizin. Namun,
mekanisme yang berkontribusi terhadap efek ini masih belum jelas. Studi lebih lanjut
masih dibutuhkan.[45]

i. Pencegahan
Edukasi serta promosi kesehatan saat severe acute respiratory syndrome (SARS) terjadi bertujuan
untuk mencegah penyebaran virus. Pencegahan berfokus pada penggunaan alat pelindung diri
serta menghindari faktor risiko. Peran pemerintah dalam screening pendatang dari China dan
negara endemis serta screening masyarakat yang  bepergian ke negara-negara tersebut juga
membantu pencegahan SARS.[24,29,32]

Edukasi Kesehatan
Edukasi kesehatan merupakan salah satu upaya untuk mencegah penyebaran SARS. Berikut ini
merupakan beberapa edukasi yang dapat diberikan pada komunitas:

 Sering mencuci tangan dengan menggunakan sabun dan air. Penggunaan hand


sanitizeryang mengandung alkohol minimal 60% dapat menjadi alternatif bila tidak terdapat air
dan sabun
 Etika batuk dan bersin yang benar adalah dengan menutupi hidung dan mulut dengan
bagian dalam siku atau tisu lalu membuang tisu ke tempat sampah

 Jangan menyentuh wajah, terutama mata, hidung, dan mulut

 Melakukan disinfeksi pada barang atau permukaan yang sering disentuh

 Melakukan physical distancing, pembatasan perjalanan, menjaga jarak antar orang


minimal 1 meter dan menjauhi orang yang batuk atau bersin
 Orang dengan gejala infeksi pernapasan akut diminta menjaga jarak dan menutup hidung
dan mulut saat batuk atau bersin

 Berobat ke fasilitas kesehatan hanya jika diperlukan[24,29]

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi


Beberapa tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi SARS-CoV terutama untuk petugas
kesehatan, antara lain:
 Mencuci tangan dan menggunakan alat pelindung diri (APD) untuk mencegah
infeksi saat menangani cairan tubuh pasien dan kulit yang lecet atau luka, atau setelah kontak
dengan pasien dan hal di sekitar pasien
 Mencegah luka karena jarum suntik atau cedera oleh benda tajam

 Melakukan pengelolaan limbah yang aman serta disinfeksi peralatan setelah


penggunaan[29]

Untuk mencegah transmisi melalui droplet, tenaga kesehatan dapat melakukan beberapa hal
berikut:

 Menggunakan masker apabila bekerja dalam radius 1 meter dari pasien

 Pasien SARS ditempatkan di ruang isolasi atau ditempatkan bersama pasien yang sama-
sama terkena SARS

 Jika penyebab pasti tidak ditemukan, kelompokkan pasien berdasarkan diagnosis klinis
dan faktor risiko dengan pemisahan minimal 1 meter

 Apabila pasien tinggal sekamar dengan orang lain saat dirawat di rumah, pasien harus
dipisahkan 1 meter dari orang lain

 Pastikan pasien memakai masker apabila keluar kamar serta batasi gerakan pasien[29]

Untuk mencegah transmisi airborne, beberapa hal berikut dapat dilakukan:


 Petugas menggunakan alat pelindung diri sebagai universal precautionseperti sarung
tangan, baju lengan panjang, pelindung mata, celemek kedap air, dan respirator partikulat saat
melakukan prosedur tindakan yang menimbulkan aerosol
 Gunakan ruangan yang memiliki ventilasi adekuat saat melakukan prosedur yang
menimbulkan aerosol

 Membatasi jumlah orang di ruang pasien untuk mengurangi penyebaran infeksi yang
lebih luas[29]

Kewaspadaan juga harus diperhatikan pada petugas laboratorium. Petugas yang mengambil
spesimen harus memakai APD yang sesuai. Pengiriman harus dilakukan oleh petugas terlatih
agar tidak terjadi kontaminasi. Selain itu, selalu tuliskan nama secara jelas untuk setiap tersangka
infeksi.[24,49]

Vaksin
Vaksin untuk SARS masih dalam tahap pengembangan sejak 2004. Saat ini, vaksin DNA SARS
yang mengkode protein spike masih memasuki uji klinis fase I. Meskipun terbukti dapat
ditoleransi dengan baik dalam penelitian tersebut, studi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum
vaksin yang optimal dan aman dapat diimplementasikan secara klinis.[50]

DAPUS

1. Chan-Yeung M, Xu RH. SARS: epidemiology. Respirology. 2003;8(1):S9‐S14.


2. WHO. Consensus document on the epidemiology of severe acute respiratory syndrome (SARS).2003.
https://www.who.int/csr/sars/en/WHOconsensus.pdf
3. Chen J, Subbarao K. The Immunobiology of SARS*. Annu Rev Immunol. 2007;25:443‐472.
4. Ksiazek TG, Erdman D, Goldsmith C, et al. A novel coronavirus associated with severe acute
respiratory syndrome. N Engl J Med 2003; 348.
5. Wang LF, Eaton BT. Bats, civets and the emergence of SARS. Curr Top Microbiol Immunol.
2007;315:325‐344.

6. Oudit GY, Kassiri Z, Jiang C, et al. SARS-coronavirus modulation of myocardial ACE2 expression
and inflammation in patients with SARS. Eur J Clin Invest. 2009;39(7):618‐625.
7. Li W, Moore MJ, Vasilieva N, et al. Angiotensin-converting enzyme 2 is a functional receptor for the
SARS coronavirus. Nature. 2003;426(6965):450-4.
8. Zhu M. SARS Immunity and Vaccination. Cell Mol Immunol. 2004;1(3):193‐198.
9. Ding Y, He L, Zhang Q, et al. Organ distribution of severe acute respiratory syndrome (SARS)
associated coronavirus (SARS-CoV) in SARS patients: implications for pathogenesis and virus
transmission pathways. J Pathol. 2004;203(2):622‐630.

10. Nicholls J, Dong XP, Jiang G, Peiris M. SARS: clinical virology and pathogenesis. Respirology.
2003;8 Suppl(Suppl 1):S6‐S8.
11. Poutanen SM, Low DE, Henry B, et al. Identification of severe acute respiratory syndrome in Canada.
N Engl J Med. 2003:348.
12. Stertz S, Reichelt M, Spiegel M, et al. The intercellular sites of early replication and budding of
SARS-coronavirus. Virology. 2007;361(2):304-15.
13. Rabenau HF, Cinatl J, Morgenstern B, et al. Stability and inactivation of SARS coronavirus. Med
Microbiol Immunol. 2005;194(1-2):1‐6.
14. Moni MA, Liò P. Network-based analysis of comorbidities risk during an infection: SARS and HIV
case studies. BMC Bioinformatics. 2014;15:333.

15. Aditama TY. SARS-infectious disease of 21st century. Med J Indones. 2005;14(1):59-63.
16. Tansey CM, Louie M, Loeb M, et al. One-year outcome and healthcare utilization in survivors of
severe acute respiratory syndrome. Arch Intern Med. 2007;167(12):1312-20.
17. Hui DS, Sung JJ. Severe acute respiratory syndrome. Chest. 2003;124(1):12-5.
18. Peiris JS, Lai ST, Poon LL, et al. Coronavirus as a possible cause of severe acute respiratory
syndrome. Lancet. 2003;361:1319-25.
19. Goldsmith CS, Tatti KM, Ksiazek TG, et al. Ultrastructural characterization of SARS coronavirus.
Emerg Infect Dis. 2004;10(2):320‐326.
20. Freeman AM, Leigh, Jr TR. Viral Pneumonia. [Updated 2019 Dec 25]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513286/
21. Sattar SBA, Sharma S. Bacterial Pneumonia. [Updated 2020 Mar 6]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513321/
22. Booth TF, Kournikakis B, Bastien N, et al. Detection of airborne severe acute respiratory syndrome
(SARS) coronavirus and environmental contamination in SARS outbreak units. J Infect Dis.
2005;191(9):1472‐1477.
23. Chui L, Drebot M, Andonov A, et al. Comparison of 9 different PCR primers for the rapid detection
of severe acute respiratory syndrome coronavirus using 2 RNA extraction methods. Diagn Microbiol
Infect Dis. 2005;53(1):47‐55.
24. WHO. Summary of the Discussions and Recommendations of the SARS Laboratory Workshop; 22
October 2003; 2003. http://www.who.int/csr/sars/guidelines/en/SARSLabmeeting.pdf.
25. Yam WC, Chan KH, Poon LL, et al. Evaluation of reverse transcription-PCR assays for rapid
diagnosis of severe acute respiratory syndrome associated with a novel coronavirus. J Clin Microbiol.
2003;41(10):4521‐4524.
26. Ng LF, Wong M, Koh S, et al. Detection of severe acute syndrome coronavirus in blood of infected
patients. J Clin Microbiol. 2004;42(1):347-50.
27. Chen X, Zhou B, Li M, et al. Serology of severe acute respiratory syndrome: Implications for
surveillance and outcome. J Infect Dis. 2004;189(7):1158-63.
28. Lee N, Hui D, Wu A, et al. A major outbreak of severe acute respiratory syndrome in Hongkong. N
Engl J Med. 2003;348(20):1986-94.
29. Centers for Disease Control and Prevention. 2003. Severe Acute Respiratory Syndrome.
http://www.cdc.gov/ncidod/sars/
30. Wong KT, Antonio GE, Hui DS, et al. Severe acute respiratory syndrome: radiographic appearances
and pattern of progression in 138 patients. Radiology. 2003; 228:401–406.
31. Paul NS, Roberts H, Butany J, et al. Radiologic pattern of disease in patients with severe acute
respiratory syndrome: the Toronto experience. RadioGraphics. 2004; 24:553–563.
32. Centers for Disease Control and Prevention. Clinical Guidance on the Identification and Evaluation of
Possible SARS-CoV Disease among Persons Presenting with Community-Acquired Illness, Version 2.
Centers for Disease Control and Prevention. http://www.cdc.gov/ncidod/sars/clinicalguidance.htm.
33. Ho W. Guideline on management of severe acute respiratory syndrome (SARS). Lancet. 2003 Apr 19.
361(9366):1313-5. [Medline]. Lapinsky SE, Hawryluck L. ICU management of severe acute respiratory
syndrome. Intensive Care Med. 2003 Jun. 29(6):870-5.
34. Offeddu V, Yung CF, Low MSF, Tam CC. Effectiveness of Masks and Respirators Against
Respiratory Infections in Healthcare Workers: A Systematic Review and Meta-Analysis. Clin Infect Dis.
2017;65 (11):1934-1942.
35. Lau AC, Yam LY, So LK. Management of Critically Ill Patients with Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS). Int J Med Sci. 2004;1(1):1‐10. doi:10.7150/ijms.1.1
36. Li D, Li X, Cui W, et al. Liberal versus conservative fluid therapy in adults and children with sepsis
or septic shock. Cochrane Database Syst Rev. 2018;12(12):CD010593.
37. Lee N, Allen Chan KC, Hui DS, et al. Effects of early corticosteroid treatment on plasma SARS-
associated Coronavirus RNA concentrations in adult patients. J Clin Virol. 2004;31(4):304-9. [Medline].
38. Tsang K, Zhong NS. SARS: pharmacotherapy. Respirology. 2003;8 Suppl:S25‐S30.
39. Chu CM, Cheng VC, Hung IF, et al. Role of lopinavir/ritonavir in the treatment of SARS: initial
virological and clinical findings. Thorax. 2004; 59(3):252-6.
40. Chan KS, Lai ST, Chu CM, et al. Treatment of severe acute respiratory syndrome with
lopinavir/ritonavir: a multicentre retrospective matched cohort study. Hong Kong Med J. 2003; 9(6):399-
406.
41. Haagmans BL, Kuiken T, Martina BE, et al. Pegylated interferon-alpha protects type 1 pneumocytes
against SARS coronavirus infection in macaques. Nat Med. 2004;10(3):290-3.
42. Loutfy MR, Blatt LM, Siminovitch KA, et al. Interferon alfacon-1 plus corticosteroids in severe acute
respiratory syndrome: a preliminary study. JAMA. 2003;290(24):3222-8.
43. Das D, Kammila S, Suresh MR. Development, characterization, and application of monoclonal
antibodies against severe acute respiratory syndrome coronavirus nucleocapsid protein. Clin Vaccine
Immunol. 2010;17(12):2033-6.
44. Cheng Y, Wong R, Soo YO, et al. Use of convalescent plasma therapy in SARS patients in Hong
Kong. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2005;24(1):44-6.
45. Cinatl J, Morgenstern B, Bauer G, et al. Glycyrrhizin, an active component of liquorice roots, and
replication of SARS-associated coronavirus. Lancet. 2003;361(9374):2045-6.

49. Yang W. Severe acute respiratory syndrome (SARS): infection control. Lancet. 2003;361
(9366):1386-7.
50. Martin JE, Louder MK, Holman LA, et al. A SARS DNA vaccine induces neutralizing antibody and
cellular immune responses in healthy adults in a Phase I clinical trial. Vaccine. 2008;26 (50):6338-43.

Anda mungkin juga menyukai