Anda di halaman 1dari 43

Nama : Wahyu Dwi Chandra

NBI : 1231900025
Prodi : Ekonomi Pembangunan
Mata Kuliah / Kelas : Ekonomi Sumber Daya Manusia / M
Dosen Kuliah : Dr. Arga Christian Sitohang, S.E., M.M.

Type : Tugas Individu


Artikel 1 :
Tanggapan Terhadap Artikel 1 :

Transportasi merupakan salah satu bagian penting dalam masyarakat tak


terkecuali bagi penduduk Indonesia, dengan perkembangannya sampai sekarang ini
transportasi menjadi akomodasi dalam pelaksanaan kegiatan masyarakat dalam
bekerja maupun kegiatan masyarakat lainnya selain bekerja. Pada masa modern ini
tidak seperti dahulu ketika kendaraan transportasi hanya dimiliki masyarakat dengan
ekonomi yang tinggi, sekarang transportasi bisa dimiliki oleh hampir semua kalangan
masyarakat, meskipun begitu masih ada masyarakat yang menggunakan transportasi
umum, tetapi mode transportasi umum itu memiliki kelebihan dan kekurangan salah
satunya adalah jalur transportasi umum yang sudah ditentukan sehingga ada beberapa
jalan yang tidak dilewati transportasi umum dan adanya faktor-faktor lain. Dari hal
itu munculah mode transportasi umum dengan metode online yang lebih fleksibel dan
efisien dan perkembangan mode transportasi online tersebut sedang ramai karena bisa
menjadi mata pencaharian yang bisa menjadi opsi bagi masyarakat sehingga
bermunculan para masyarakat yang menjadi pengemudi transportasi online atau lebih
dikenal dengan driver online yang dinaungi dan dijalankan suatu perusahaan dan
dalam pelaksanaannya sendiri terdapat hubungan kerja dan perlindungan hukum bagi
driver online tersebut.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313 menyebutkan bahwasanya
perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Para pengemudi driver
online sebagai individu tentu sudah melakukan perjanjian dengan perusahaan dalam
melakukan kerjasama. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat 5 asas
dalam suatu perjanjian, azas tersebut diantaranya azas personalia perjanjian, azas
kebebasan berkontrak, azas iktikad baik, azas konsensualisme, dan azas pacta sun
servandha. Bila dijabarkan satu per satu dan dikaitkan dengan driver online dimulai
dari azas personalia dilakukan perjanjian antara pihak pertama driver online dan
pihak kedua dari perusahaan tanpa adanya perantara, kemudian dari azas kebebasan
berkontrak ditunjukkan melalui perusahaan yang membuat isi kontrak dan bersifat
sah di dalam perjanjan tersebut, yang ketiga adalah azas iktikad baik yang dilakukan
antara drive online dan perusahaan yang melakukan perjanjian dengan tujuan baik
satu sama lain tanpa merugikan salah satu pihak, berikutnya azas konsensualisme
ditunjukkan dari kerjasama yang dilakukan kedua belah pihak menimbulkan akibat
hukum yang mebuat bila adanya ketidaksesuaian dengan kesepakatan maka bisa
dilakukan proses hukum, yang terakhir adalah azas pacta sun servandha
menunjukkan kedua belah pihak yaitu perusahaan dan driver online memiliki
keterikatan satu sama lain dalam pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing
pihak.
Berikutnya sebagaimana dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyebutkan bahwa syarat suatu perjanjian bisa dianggap sah terdapat 2
syarat yaitu subjektif dan objektif. Syarat subjektif pada perjanjian driver online dan
perusahaan bisa dilihat dari tidak adanya paksaan dari salah satu pihak pada hal ini
perjanjian diawali dengan para calon driver online melakukan pendafataran diri
melalui akun dan menyepakati mekanisme perjanjian yang disepakati dan calon
driver online yang mendaftar harus memiliki persyaratan tertentu yang dibutuhkan
dan dengan menunjukkan dokumen yang bersifat legal. Berikutnya syarat objektif
ditunjukkan dengan adanya hubungan timbal balik hak dan kewajiban dari
perusahaan maupun driver online dengan memperhatikan bahwa kesepakatann yang
berlaku tidak bertentangan dengan undang-undang atau hukum yang berlaku.
Bila ditelaah dengan seksama hubungan kerjasama yang dilakukan oleh driver
online dan perusahaan tidak bersifat seperti dengan perusahaan pada umumnya yang
awam seperti jabatan atasan bawahan jam kerja yang paten dan ketentuan upah atau
gaji yang dibayarkan setiap jangka waktu tertentu dengan nominal tertentu yang
ditentukan. Kerjasama ini lebih bersifat kemitraan yang bersifat kemitraan sehingga
driver online dan perusahaan memiliki posisi yang sama atau sejajar, dengan hal ini
para driver online tidak terikat dengan urusan atasan bawahan, bisa bekerja secara
fleksibel secara waktu dan tidak ada tuntutan dalam melakukan pekerjaan serta tidak
ada batasan. Kemudian dari segi upah, para driver online bisa mendapatkan upah
secara langsung dari konsumen yang menggunakan jasanya dan upah yang diterima
bisa didapat secara langsung dengan biaya sesuai dengan jumlah yang muncul di
aplikasi. Dengan mendapatkan upah yang didapat secara langsung membuat para
driver online bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya secara langsung tanpa harus
menunggu pada jangka waktu tertentu untuk mendapatkan upah sehingga pendapatan
yang didapat bisa didapat secara lebih cepat.
Pembahasan berikutnya adalah mengenai perlindungan hukum bagi para
driver online yang diberikan dari pihak perusahaan bisa dilihat dari adanya asuransi
yang diberikan dari perusahaan kepada para driver online yang sedang melakukan
pekerjaannya. Bilamana dalam melakukan pekerjaannya driver online mengalami hal
tak terduga seperti kecelakaan maka asuransi tersebut bisa dipakai sehingga dalam hal
ini kekhawatiran ketika terjadi hal yang tidak terduga tidak terlalu memberatkan bagi
pihak konsumen, driver online ataupun keluargnya, tetapi hal tersebut tidak bisa
dilakukan bila para driver online diluar pekerjaannya mengalami hal tak terduga
tersebut. Dengan hal ini setidaknya bisa memberikan rasa aman kepada para driver
online dalam pekerjaannya karena mendapat perlindungan. Perlindungan sejenis ini
merupakan langkah yang baik untuk diterpakan apalgi juga memiliki dasar hukum
yang kuat dari Permenhub PM 12 tahun 2019 BAB V pasal 16 yang menyebutkan
bahwa perlindungan masyarakat dalam pelayanan penggunaan kendaraan bermotor
untuk kepentingan masyarakat diberikan terhadap penumpang dan pengemudi. Selain
itu juga diatur dalam pasal 16 ayat 3 huruf h dan i yang menjelaskan bahwa kepastian
mendapatkan santunan jika terjadi kecelakaan dan kepastian mendapatkan
perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan dan jaminan sosial kesehatan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.

Kesimpulan :

Hubungan kerjasama yang dilakukan perusahaan dan driver online bersifat


kemitraan sehingga tidak ada batasan maupun tuntutan banyak sedikit pekerjaan yang
dilakuan, tidak ada keterikatan waktu, dan upah yang didapatkan sesuai dengan
tingkat kerja yang dilakukan para driver online dalam mencari konsumen. Hubungan
kerjasama dilakukan dengan menyepakati aturan-aturan yang telah dibuat berdsar
persyaratan dan ketentuan yang berlaku dalam pemenuhan masing-masing hak dan
kewajiban serta bersifat mengikat secara legal dan bila tak sesuai ketentuan bisa
dilakukan tindakan hukum serta berdasarkan pada undang-undang yang berlaku.
Kemudian perlindungan hukum bagi para driver online adalah melalui asuransi yang
bisa digunakan apabila terjadi hal yang terduga dengan syarat yang telah ditentukan
dan didasari dari Permenhub PM 12 tahun 2019 BAB V pasal 16.

Saran :

Hubungan kerja yang dilakukan sudah sangat baik karena sudah disepakati
oleh kedua belah pihak dan perlindungan hukum yang didapat juga suda baik untuk
berikutnya diharapakan ada kerjasama lain yang bisa dibahasa dan diterapkan
sehingga kerjasama kemitraan yang dilakukan bisa lebih saling menguntungkan satu
sama lain dan hubungan saling membutuhkan dan saling menguntungkan tersebut
bisa selalu terus menerus dilakukan.

Sumber Artikel 1 :

Jurnal Komunikasi Hukum Vol. 06 No. 01 tahun 2020 dengan judul “Penerapan
Perjanjian Dalam Hubungan Kerja dan Perlindungan Hukum Bagi Driver Online”
oleh Arikha Saputra, Muzayanah, Fitrika Andraini.
( https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh/article/view/23529 )
Nama : Wahyu Dwi Chandra

NBI : 1231900025
Prodi : Ekonomi Pembangunan
Mata Kuliah / Kelas : Ekonomi Sumber Daya Manusia / M
Dosen Kuliah : Dr. Arga Christian Sitohang, S.E., M.M.

Type : Tugas Individu


Artikel 2 :
Tanggapan Terhadap Artikel 2 :

Upah merupakan hak yang didapatkan seorang pekerja setelah melakukan


kewajibannya tak terkecuali pada para pekerja yang bekerja di suatu perusahaan.
Upah biasanya dibayarkan pada suatu waktu tertentu dengan yang paling sering
adalah dengan pemabayaran upah sebulan sekali. Namun pada kenyataannya muncul
permasalahan karena putusan Mahkamham Konstitusi yang mewajibkan suatu
perusahaan tetap menjawab karyawan yang diputus hubungan kerjanya selama 6
bulan hal ini jika dilihat justru akan merugikan dan bertentangan karena pekerja tidak
melakukan pekerjaan tetapi tetap mendapatkan haknya dilain sisi justru perusahaan
akan sangat berimbas karena laba akan berkurang dan mendapat kerugian.
Pemutusan hubungan kerja memili arti bahwa berhentinya hubungan hak
kewajiban yang terjadi diantara karyawan dengan perusahaannya, namun pada
kenyataannya hubungan tersebut tidak hanya dilakukan oleh dua pihak tetapi ada
peran serta pemerintah didalamnya yang turut mengatur dalam perlindungan
karyawan agar pihak perusahaan tidak sewenang-wenang. Dengan adanya peran serta
pemerintah memang diperlukan apalagi bila perusahaan tersebut adalah perusahaan
asing yang mana pada awal pendiriannya pasti melalui pemerintah dan pemerintah
pada khasus memang perlu mengawasi kegiatan yang dilakukan perusahaan asing
guna mengawasi SDM dan SDA yang dimiliki. Peran pemerintah disini bisa dilihat
dari adanya UU No. 13 Tahun 2003 yang menjelaskan pemutusan hubungan kerja
melibatkan perusahaan, pekerja, dan pemerintah.
Dalam pelaksanaannya pemutusan hubunga kerja meski sudah ada peran
pemerintah tidak serta merta berjalan dengan lancar tanpa adanya hambatan dan
dalam penyelesaiannya perlu adanya mekanisme dalam penyelesaian perselisihan
mengenai putusan hubungan kerja. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan
melakukan musyawarah antara pekerja dan pihak perusahaan dengan jangka waktu
selama 30 hari sesuai dengan pasal 3 UU nomor 2 tahun 2004. Musyawarah
meruapakan langkah yang tepat karena musyawarah yang dilakukan bisa saling
mengutarakan permasalahan yang dialami oleh pekerja dan perusahaan, selain itu
musyawarah merupakan cara yang paling demokrasi dalam menentukan langkah
berikutnya meskipun tak selalu permasalahan yang dirembug melalui musyawarah
akan selalu menemukan titik temu, pada hal ini bila musyawarah selama 30 hari tidak
menemukan kesepakatan atau ada pihak yang menolak putusan dan tidak mencapai
kesepakatan maka musyawarah yang dilakukan dainggap gagal. Langkah berikutnya
jika musyawarah gagal adalah membuat laporan tertulis mengenai hasil musyawarah
yang gagal dan tidak menemukan kesepakatan dengan dilampirkan bukti-bukti terkait
kepada pihak ketenagakerjaan apabila tidak ada bukti akan dilakukan perbaikan
setidaknya 7 hari. Bukti yang otentik bisa menjadi dasar dalam menilai benar
tidaknya atas kesepakatan yang gagal. Langkah berikutnya adalah penawaran
konsiliasi dari lemabaga ketenagakerjaan mendatangkan seorang mediator dalam
penyelesaiannya. Berikutnya adalah mediator melakukan penelitain mengenai
permasalahan perselisihan yang muncul, penelitian diperlukan sebagai wujud validasi
dan mencari kebenaran yang terjadi dari adanya perselisihan dan kemudian
mengadakan sidang. Dengan jangka waktu 30 hari sudah harus ada penyelesaian
dengan titik kesepakatan maka langkah berikutnya adalah dengan dibuatkannya
perjanjian bersama yang kemudian didaftarkan pada pengadilan hubungan industrial
yang ada di pengadilan negeri, apabila belum ada kesepakatan selama 30 hari maka
akan diberikan tambahan 10 hari dengan anjuran tertulis dan harus sudah menuliskan
kesepakatan di akhir 10 hari tersebut. Bila tetap tidak ada keputusan bisa dilakukan
sampai kasasi di tingkat Mahakamah Agung RI.
Apabila dihitung dari musyawarah sampai dengan tahap akhir sampai
menemukan titik temu bisa berlangsung dengan rata-rata selama 223 hari atau 11
bulan, waktu tersebut merupakan waktu yang lama dan belum termasuk jika ada
peninjauan ulang ataupun penundaan sidang dan faktor lain yang menghambat
persidangan. Hal ini menyebabkan pengusaha dan pekerja tidak bisa menemukan
putusan dengan cepat tentu hal ini dirasa akan mengganggu kedua belah pihak dari
kehidupan individu ataupun kegaitan perusahaan sendiri.
Berikutnya adalah pemberian upah yang tetap harus dilakukan perusahaan
kepada pekerjanya selama masa perselisihan diatur di UU No. 12 Tahun 1964 tentang
peutusan hubungan kerja di perusahaan swasta yang mengatakan bahwa selama masa
perselisihan baik perusahan ataupun pekerja tetap harus melakukan kewajibannya
pada hal ini perusahaant tetap berkewajiban membayar pekerjanya. Selanjutnya
dalam Permenaker No. 3 tahun 1996, Kepmenaker No. 150 tahun 2007, Kepmenaker
78 tahun 2001, dan SEMA No. 3 tahun 2015 menyebutkan bahwa pemberian upah
selama 6 bulan selama masa perselisihan tetap harus dilakukan dengan minimal 50%
dari upah awal.

Kesimpulan :

Penyelesaian perselisihan dalam pemutusan hubungan kerja dimulai dengan


musyawarah kedu belah pihak, kemudian menulis laporan yang melampirkan bukti
bila tidak ditemukan kesepakatan kepada lembaga ketenagakerjaan, kemudian
lemabaga ketenagakerjaan menawarkan konsiliasi dengan mendatangkan mediator,
berikutnya mediator melakukan penelitian, setelah penelitian maka diadakan sidang,
hasil sidang adalah kesepakatan bersama, langkah berikutnya adalah mendafatakan
hasil kesepakatan bersama ke pengadilan hubungan industrial di pengadilan negeri.
Proses tersebut bisa jauh lebih panjang sampai kasasi ke Mahakamah Agung. Dan
selama masa perselisihan tersebut perusahaan dan karyawan tetap menjalankan
kewajibannya sesuai dengan UU no. 12 tahun 1964 dan pembayaran dilakukan
minimal 50% dari pengajuan perselisihan selama 6 bulan didasari Permenaker No. 3
tahun 1996, Kepemenaker No. 150 tahun 2007, Kepmenaker 78 tahun 2001, dan
SEMA No. 3 Tahun 2015.

Saran :

Seharusnya penyelesaian dapat dilakukakn dengan cepat bila tidak adanya perbedaan
persepsi dan musyawarah yang terjadi menemukan kesepakatan yang saling tidak
merugikan dan perlu adanya pengawasan pemerintah yang lebih jauh lagi terutama
mengenai upah proses dalam perselisihan yang bisa membuat regulasi yang tidak
merugikan kedua belah pihak. Tetapi alangkah lebih baik jika perselisihan antara
karyawan dan perusahaan seperti ini tidak pernah terjadi, hal ini bisa saja terjadi bila
adanya ikatan dan sinergisitas dan saling mengerti dari karyawan, perusahaan,
maupun pemerintah.

Sumber Artikel 2 :

Jurnal Hukum dan Pembangunan Vol. 50 No. 4 Tahun 2019 dengan judul “Upah
Proses Dalam Pemutusan Hubungan Kerja” oleh Fitriana Gunadi.
( http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/2856/1630 )

Anda mungkin juga menyukai