Anda di halaman 1dari 17

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM, KURIKULUM

2013 DAN PESANTREN


D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
Nurazmi Dalila Dalimunthe
Sri Mentari Lubis

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Hamdan Hasibuan, M. Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PASCA SARJANA PROGRAM MAGISTER


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
2020
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim.

Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penyusun, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Tujuan Pendidikan Islam, Kurikulum
2013 dan Pesantren”. Adapun maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Analisis Kurikulum PAI Pesantren, Madrasah dan
Sekolah yang dibimbing oleh Bapak Dr. Hamdan Hasibuan, M. Pd.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun telah banyak mendapat bantuan
dari berbagai pihak, sudah selayaknya penyusun mengucapkan terimankasih,
terutama kepada Bapak Dr. Hamdan Hasibuan, M. Pd. karena telah perhatian dan
sabar dalam membimbing penyusun dalam penyusunan makalah ini, dan tak lupa
terimakasih penyusun ucapkan kepada pihak lainnya yang tidak dapat dituliskan
satu per satu.

Penyusun berharap, semoga dengan disusunnya makalah ini, dapat


menambah pengetahuan para pembaca. Demi kesempurnaan makalah ini,
penyusun harapkan adanya kritik dan saran yang membangun agar makalah ini
lebih baik lagi nantinya.

Padangsidimpuan, Februari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
Isi Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
A. PENDAHULUAN......................................................................................1
B. TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM............................................................1
C. KURIKULUM 2013..................................................................................3
D. PESANTREN............................................................................................9
E. PENUTUP.................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................14

ii
A. PENDAHULUAN
Kurikulum merupakan suatu alat yang penting bagi pendidikan karena
pendidikan dan kurikulum saling berkaitan. Jika diibaratkan, kurikulum laiknya
jantung dalam tubuh manusia. Jika jantung masih berfungsi dengan baik, maka
tubuh akan tetap hidup dan berfungsi dengan baik. Begitu pula dengan
kurikulum dan pendidikan. Apabila kurikulum berjalan dengan baik dan
didukung dengan komponen-komponen yang berjalan baik pula, maka proses
pembelajaran akan berjalan dengan baik dan menghasilkan peserta didik yang
baik pula. Kurikulum akan berubah secara terus menerus dan berkelanjutan.
Perubahan kurikulum yang terus menerus dan berkelanjutan, semestinya juga
diikuti dengan kesiapan untuk berubah dari seluruh pihak yang bersangkutan
dengan pendidikan di Indonesia karenakurikulum bersifat dinamis, bukan
statis. Jika kurikulum bersifat statis, maka kurikulum tersebut merupakan
kurikulum yang tidak baik karena tidak menyesuaikan dengan perkembangan-
perkembangan yang ada di zamannya.
Pondok pesantren merupakan sistem pendidikan agama Islam yang tertua
sekaligus merupakan ciri khas yang mewakili Islam tradisional Indonesia yang
eksistensinya telah teruji oleh sejarah dan berlangsung hingga kini. Pada
mulanya merupakan sistem pendidikan Islam yang dimulai sejak munculnya
masyarakat Islam di Indonesia. Munculnya masyarakat Islam di Indonesia
berkaitan dengan proses Islamisasi, dimana proses Islamisasi terjadi melalui
pendekatan dan penyesuaian dengan unsur-unsur kepercayaan yang sudah ada
sebelumnya, sehingga terjadi percampuran atau akulturasi. Saluran Islamisasi
terdiri dari berbagai cara antara lain melalui perdagangan, perkawinan, pondok
pesantren dan kebudayaan atau kesenian.
B. TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah kegiatan selesai.
Setiap kegiatan apapun tentunya memiliki suatu tujuan, atau sesuatu yang ingin
dicapai. Karena dengan tujuan dapat ditentukan kemana arah suatu kegiatan.
Ibarat orang berjalan, maka ada sesuatu tempat yang akan dituju. Sehingga
orang itu tidak mengalami kebingungan dalam berjalan. Andaikata

1
kebingunganpun sudah jelas kemana ia akan sampai. Serupa dengan hal itu, tak
ubahnya dalam dunia pendidikan, baik pendidikan Islam maupun non-Islam.
Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam, Ahamd Tafsir,
menyatakan bahwa suatu tujuan harus diambilkan dari pandangan hidup. Jika
pandangan hidupnya adalah Islam, maka tujuan pendidikan menurutnya
haruslah diambil dari ajaran Islam. Azra (dalam Salminawati), menyatakan
bahwa pendidikan Islam merupakan salah satu aspek saja dari ajaran Islam
secara keseluruhan. Karenanya tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari
tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi
hamba Allah Swt. yang selalu bertaqwa kepada-Nya dan dapat mencapai
kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat.1
Tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim
seutuhnya. Suatu kepribadian utama yang memiliki nilai-nilai agama Islam,
memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam dan
bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.2 Munzir Hitami (dalam
Salminawati), berpendapat bahwa tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan
hidup manusia, biarpun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan hidup,
atau keinginan-keinginan lainnya. Ghozali (dalam Salminawati), melukiskan
tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi
petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk
individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa.
Beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat
diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi ini
dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan
dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.

1
Salminawati, Filsafat Pendidikan Islam Membangun Konsep Pendidikan yang
Islami (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), h. 115.
2
Syafaruddin, dkk. Ilmu Pendidikan Islam Melejitkan Potensi Budaya Umat
(Medan: Perdana Publishing, 2010), h. 41.

2
2. Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya
di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah,
sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
3. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia tidak
menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga
ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat
digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.
5. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat.3
C. KURIKULUM 2013
Secara etimologis, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, curir yang
berarti pelari dan curer berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Dengan
demikian, dalam konteks pendidikan dimaknai sebagai circle of instruction
yaitu suatu lingkaran pengajaran di mana pendidik terlibat didalamnya.4
Kurikulum bermuara pada serangkaian materi pembelajaran yang harus
dicantumkan dalam suatu lingkaran pengajaran di mana pendidik dan peserta
didik terlibat di dalamnya, maka cakupan tersebut sangat luas.5
Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi. Kurkulum
berbasis kompetensi merupakan outcomes based curriculum dan oleh karena
itu pengembangan kurikulum diarahkan pada pencapaian kompetensi yang
dirumuskan dari SKL.6 Berikut akan dibahas seputar kurikulum 2013
mencakup filosofi kurikulum 2013, penyempunaan pola pikir dan komponen-
komponen kurikulum 2013, sebagai berikut:
1. Filosofi Kurikulum 2013
Filosofi merupakan suatu upaya manusia unuk mengetahui segala
sesuatu secara mendalam dengan menggunakan kekuatan akal. Kekuatan
akan manusia dalam memahami realitas yang ada dan yang mungkin ada

3
Salminawati, Op. Cit, h. 117.
4
Neliwati, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Medan: CV. Widya
Puspita, 2018), h. 6.
5
Ibid., h. 13.
6
Cd. Dirman Pengembangan Kurikulum dalam Rangka Implementasi Standar Proses Pendidikan
Siswa (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), h. 18.

3
dalam perenungan yang mendalam terhadap tuhan, dunia dan dirinya
sendiri. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa orientasi hidup, cara
berpikir dan bertindak manusia termasuk pendidikan dapat dilacak dari
filosofi yang dianutnya. Dalam konteks pendidikan, filosofi pendidikan
merupakan faktor dominan dalam merumuskan secara konsepsional tentang
tujuan pendidikan yang akan dijadikan sebagai dasar dan pedoman dalam
menetapkan serta menentukan arah, struktur dan isi kurikulum.
Arah, struktur dan isi kurikulum akan menentukan sumber kurikulum,
proses pembelajaran, metode dan pendekatan pembelajaran, kedudukan
pendidik dan peserta didik, penilaian hasil belajar dan hubungan peserta
didik dengan masyarakat serta lingkungan alam sekitarnya yang semuanya
itu diharapkan dapat menghasilkan peserta didik yang berkualitas.
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kurikulum 2013 dikembangkan
dengan landasan filosofis yang memberikan kesempatan dan peluang bagi
pengembangan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik.7
Kurikulum 2013 bermaksud untuk mengembangkan potensi peserta
didik untuk mampu berpikir reflektif dalam menyelesaikan masalah sosial di
masyarakat dan unuk membangun kehidupan masyarakat demokratis yang
lebih baik. Dalam pandangan ini, pendidikan harus diarahkan kepada
pembentukan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Kurikulum 2013
berupaya mengembangkan kehidupan individu peserta didik dalam
beragama, seni, kreativias, berkomunikasi, nilai dan berbagai dimensi
intelegensi yang sesuai dengan diri seorang peserta didik dan diperlukan
masyarakat, bangsa dan umat manusia.8
2. Penyempurnaan Pola Pikir
Untuk memenuhi pengemangan kerangka berpikir yang sesuai dengan
kebutuhan, maka kurikuum 2013 dikembangkan dengan penyempurnaan
pola pikir sebagai berikut:
a. Pola pembelajaran yang berpusat pada pendidik menjadi berpusat kepada
peserta didik.

7
Aisyah M. Ali, Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasinya (Jakarta: Kencana, 2018), h.
119-120.
8
Ibid., h. 125.

4
b. Pola pembelajaran satu arah menjadi pembelajaran interaktif.
c. Pola pembelajaran terisolasi menjadi pembelajaran secara jejaring.
d. Pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif.
e. Pola belajar sendiri menjadi belajar kelompok.
f. Pola pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran berbasis
multimedia.
g. Pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebuuhan pengguna dengan
memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta
didik.
h. Pola pembelajaran ilmu pengetahun tunggal menjadi pola pembelajaran
ilmu pengetahuan jamak.
i. Pola pembelajaran pasid menjadi pembelajaran kritis.
j. Dari penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan.9
3. Komponen-komponen Kurikulum
Kurikulum memiliki komponen-komponen sebagai berikut:
a. Tujuan
Tujuan dalam komponen kurikulum memilliki peranan penting
unuk mengarahan semua kegiatan pembelajaran dan mewarnai
komponen-komponen kurikulum lainnya. Tujuan kurikulum dirumuskan
bedasarkan dual hal. Pertama, perkembangan tuntutan, kebutuhan dan
kondisi masyarakat. Faktor tersebut merupakan hal yang harus
diperhatikan oleh satuan pendidikan. Kedua, didasarkan oleh pemikiran-
pemikiran yang terarah pada pencapaian nilai-nilai filosofis, teruama
falsafah negara dan nilai-nilai yang dianut oleh satuan pendidikan, serta
dimana lembaga tersebut berada. Tujuan itulah yang dijadikan arah dan
acuan segala kegiatan pendidikan yang dijalankan.10
b. Bahan Ajar
Peserta didik belajar dengan berinteraksi dengan lingkungannya,
lingkungan orang-orang, alat dan ide-ide. Seorang pendidik memiliki
tugas yang paling utama, yaitu menciptakan lingkungan tersebut, untuk
9
Trianto Ibnu Badar at-Taubany dan Hadi Suseno, Desain Pengembangan Kurikulum
2013 di Madrasah (Jakarta: Kencana, 2013), h. 110.
10
Alhamuddin, Poltik Kebjakan Pengembangan Kurikulum di Indonesia Sejak Zaman
Kemerdekaan Hingga Reformasi (1947-2013) (Jakarta: Kencana, 2019), h. 5-6.

5
mendorong peserta didik melakukan interaksi yang produktif dan
memberikan pengalaman belajar yang dibutuhkan peserta didik. Kegiatan
dan lingkungan demikian didesain dalam suatu rencana mengajar.
Maka untuk mencapai semua tujuan pembelajaran yng telah
ditentukan diperlukanlah bahan ajar. Bahan ajar tersusun atas topik-topik
dan sub-sub topik tertentu. topik atau sub topik mengandung ide-ide
pokok yang relevan dengan tujuan yang telah ditentukan. Topik dan sub
topik tersebut disusun sehingga menjadi bahan ajar.11
Ada beberapa cara untuk menyusun bahan ajar, yaitu:
1) Sekuens Kronologi
Sekuens kronologi yaitu peristiwa-perisiwa sejarah ,
perkembangan historis suatu institui, penemuan-penemuan ilmiah
dan lain sebagainya. Sekuens kronologi ini dapat digunakan
ketika pendidik ingin membuat bahan ajar yang memuat urutan
waktu.
2) Sekuens Kausal
Sekuens kausal dapat digunakan pendidik untuk membuat
bahan ajar dalam bidang meteorologi dan geomorfologi. Dalam
sekuens kausal ini bahan ajar dirancang dengan mengahadapkan
siswa pada peristiwa-perisiwa atau situasi-situasi yang menjadi
sebab atau pendahulu dari situasi lain atau sesuatu peristiwa.
3) Sekuens Struktural
Bagian-bagian bahan ajar suatu bidang studi telah
mempunyai struktur tertentu. penyusunan sekuens bahan ajar
bidang studi tersebut perlu disesuaikan dengan strukturnya.
Misalnya dalam pelajaran fisika, tidak mungkin mengajarkan alat-
alat optik tanpa terlebih dahulu mengajarkan pemantulan dan
pembiasaan cahaya.
4) Sekuens Logis dan Psikologis
Pendidik dapat menyusun bahan ajar berdasarkan uruan
logis. Bahan ajar disusun dari yang nyata kepada yang abstrak,

11
Neliwati, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, h. 57.

6
dari benda-benda kepada teori, dari fungsi kepada struktur dan
dari masalah bagaimana kepada masalah mengapa.12
5) Sekuens Spira
Bahan ajar disusun dengan memusatkan pada topik atau
pokok bahan ajar tertentu, kemudian diperluas dan diperdalam.
Topik atau pokok bahan ajar tersebut adalah sesuatu yang populer
dan sederhana, tetapi kemudian diperluas dan diperdalam dengan
bahan yang lebih konfleks.
6) Rangkaian Kebelakang
Bahan ajar disusun dan diajarkan dengan langkah mundur
kebelakang. Misalnya, pendidik memberikan masalah dan peserta
didik memberikan tanggapannya terhadap masalah tersebut
setelah itu barulah pendidik menjelaskannya secara menyeluruh.
7) Sekuens Berdasarkan Hierarki Belajar
Bahan ajar disusun setelah mengetahui gambaran-gambaran
peserta didik dan mengeahui apa yang seharusnya diketahui
terlebih dahulu oleh peserta didik.13
c. Strategi Mengajar
Penyusunan sekuens bahan ajar sangat berhubungan dengan
strategi atau metode mengajar. Pada waktu pendidik menyusun bahan
ajar, ia juga harus memikirkan strategi mengajar mana yang sesuai untuk
menyajikan bahan ajar.14
d. Media Mengajar
Media merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara
harfiah berarti perantara dan pengantar.15 Media mengajar adalah segalah
macam bentuk perangsang dan alat yang disediakan pendidik untuk
memotovasi peserta didik untuk belajar.16
e. Evaluasi Pengajaran

12
Ibid., h. 65.
13
Ibid., h. 66.
14
Ibid., h. 67.
15
Arief S. Sadiman, dkk., Media Pendidikan; Pengertian, Pengembangan dan
Pemanfaatannya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 6.
16
Neliwati, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, h. 68.

7
Komponen utama selanjutnya adalah evaluasi pembelajaran.
Evaluasi ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah
ditentukan serta menilai proses pelaksanaan mengajar. 17 Evaluasi
merupakan kegiatan mengukur dan menilai, maka penilaian tidak dapat
dilakukan tanpa didahului dengan kegiatan pengukuran. Semua kegiatan
yang dilakukan harus dievaluasi untuk mengetahui sejauh mana
keberhasilan ataupun kegagalan kegiatan tersebut.18
Dalam kurikulum 2013 aspek yang harus dinilai, sebagai berikut:
1) Ranah Kognitif
Ranah ini memiliki enam tingkatan, yaitu; pengetahuan dasar,
pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.
2) Ranah Afektif
Hasil belajar afektif tidak dapat dilihat bahkan diukur sama
halnya dalam bidang kognif. Pendidik tidak bisa langsung apa yang
sedang ada di dalam hati peserta didik, apa yang dirasakan ataupun
apa yang dipercayai. Pendidik hanya dapat mengetahui ucapan
verbal dan kelakuan non-verbal seperti ekspresi pada wajah, gerak
gerik tubuh sebagai indikator apa yang terkandung dalam hati
siswa.
Ranah afektif secara garis besar sebagaimana yang
dikembangkan oleh Krathwohl, Bloom dan Masia, sebagai berikut:
a) Menerima, menaruh perhatian, ada kepekaan terhadap suatu
kondisi, gejala, keadaan atau masalah tertentu.
b) Merespon yaitu memberi reaksi terhadap segala sesuatu secara
terbuka, melakukan sesuatu sebagai stimulus terhadap gejala
itu.
c) Menghargai yaitu memberi penilaian dan percaya kepada suatu
keadaan.
d) Organisasi yaitu mengembangkan nilai-nilai sebagai satu
sistem, termasuk hubungan antar-nilai dan tingkat prioritas
nilai itu.
17
Ibid., h. 70.
18
Nurmawati, Evaluasi Pendidikan Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2016), h. 37.

8
e) Karakteristik suatu nilai atau perangkat nilai.
3) Ranah Psikomotorik
Secara garis besar ranah psikomotorik ini yaitu; gerak refleks,
gerak dasar yang fundamentasl, keterampilan perseptual,
keterampilan fisik gerakan terampil dan komunikasi non-
diskursif.19

D. PESANTREN
Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang telah tua sekali
usianya, telah tumbuh sejak ratusan tahun lalu. 20 Pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam di Indonesia.Jenis lembaga pendidikan ini dapat dijumpai
diberbagai wilayah Indonesia. Tidak heran jika lembaga pendidikan ini
memiliki beberapa sebutan lain. Di Sumatra disebut ‘surau’ sementara di Aceh
disebut ‘dayah’ atau ‘menuasah’.Sebutan pesantren atau pondok pesantren
pada mulanya berlaku di Jawa.21
1. Unsur-Unsur Dasar Pengelolaan Pesentren
Pondok, masjid, santri, pengajaran kitab Islam klasik dan kyai adalah
lima unsur dasar tradisi pesantren. Berikut akan dijelaskan satu per satu:
a. Pondok
Pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti hotel, tempat
bermalam.Istilah pondok diartikan juga dengan asrama. Dengan
demikian, pondok mengandung makna sebagai tempat tinggal. Sebuah
pesantren mestilah memiliki asrama tempat tinggal santri dan kiai. Di
tempat tersebut selalu terjadi komunikasi antara kiai dan santri. Di
pondok ada peraturan-peraturan yang diadakan seperti, waktu belajar,
shalat, makan, tidur, istirahat, dan sebagainya yang harus dipatuhi oleh
setiap santri.22

19
S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2017), h. 65-72.
20
Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam (Bandung: Citapustaka Media,
2004), h. 113.
21
Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20 (Jakarta: Kencana,
2012), h. 75.
22
Haidar Putra Daulay,Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam
Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014, h. 62.

9
Menurut Zamakhsyari Dhofier ada tiga alasan mengapa pesantren
harus menyiapkan pondok/asrama bagi santri: Pertama, kemasyhuran
seorang kiai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam menarik
santri-santri dari tempat yang jauh untuk berdatangan. Untuk dapat
menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang
lama, para santri harus meninggalkan kampung halaman dan menetap di
dekat kediaman kyai dalam waktu yang lama.Kedua, hampir semua
pesantren berada di desa-desa. Di desa tidak ada model kos-kosan seperti
di kota-kota Indonesia pada umumnya dan juga tidak tersedia perumahan
(akomodasi) yang cukup untuk dapat menampung santri-santri.Ketiga,
ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, di mana para santri
menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan
kyai menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa
dilindungi.23
b. Masjid
Masjid diartikan secara harfiah adalah sebagai tempat sujud karena
ditempat ini setidak-tidaknya seorang muslim lima kali sehari semalam
melaksanakan shalat. Fungsi mesjid tidak saja untuk shalat, tetapi juga
mempunyai fungsi lain seperti pendidikan dan lain sebagainya. Di zaman
Rasulullah juga berfungsi sebagai tempat ibadah dan urusan-urusan
sosial kemasyarakatan dan pendidikan.
Suatu pesantren mestilah memiliki masjid, sebab digunakan untuk
berlangsungnya proses pendidikan dalam bentuk komunikasi belajar
mengajar antara kiai dan santri. Mesjid sebagai pusat pendidikan sudah
berlangsung pada zaman Rasulullah, kemudian dilanjutkan Khulafa al-
Rasyidin, Dinasty Bani Umayyah, Abbasiyah Fatimiyah, dan dinasti-
dinasti lain. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh para kiai-kiai sebagai
pusat pendidikan, akan tetapi pada masa sekarang pesantren telah
memiliki lokal belajar yang banyak yang dijadikan sebagai proses belajar
mengajar, dan mesjid juga difungsikan tempat belajar.24

23
Zamahsyari Dhofier,Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 2001), h. 82-83.
24
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam
Indonesia, h. 63.

10
c. Santri
Santri adalah siswa yang belajar di pesantren, santri ini dapat
digolongkan kepada dua kelompok:
1) Santri mukim, yaitu santri yang telah berdatangan dari tempat-tempat
jauh yang tidak memungkinkan untuk pulang ketempatnya maka dia
diperbolehkan mondok (tinggal) di pesantren. Santri yang tinggal di
pesantren memiliki peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban
yang harus di laksanakan oleh setiap santri.
2) Santri kalong, yaitu santri yang berasal dari sekitar tempat pesantren
yang dapat pulang pergi antara pesantren ketempat tinggalnya, santri
seperti ini hanya dapat mengikuti pelajaran dengan cara pulang pergi
antara rumahnya dengan pesantren.25
d. Kiai
Kiai adalah tokoh sentral dalam suatu pesantren, maju mundurnya
suatu pesantren ditentukan oleh wibawa dan karisma sang kiai. Menurut
asal usulnya, perkataan kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis
gelar yang saling berbeda:
1) Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat
umpamanya “kiai garuda kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas
yang ada di keraton Yogyakarta.
2) Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3) Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama
Islam yang memiliki pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam
klasik kepada santrinya. Selain gelar kyai, ia juga sering disebut
seorang alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).26
Kiai yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah mengacu kepada
pengertian yang ketiga. Kiai adalah orang yag sangat dihormati di
pesantren, dan orang yang selalu ditaati santri, ilmu agama yang telah
mashur yang ada padanya yang berlomba-lomba para santri
mempelajarinya, kepemimpinannya seorang kiai dapat bertahan selama

25
Ibid., h. 64.
26
Zamahsyari Dhofier,Tradisi Pesantren, h. 93.

11
masih terpelihara dan kekuasaan kharismatik dari pribadi kiai tersebut
memancar pesona.
e. Pengajian Kitab-kitab Islam Klasik
Kitab-kitab Islam klasik yang lebih popular dengan sebutan “kitab
kuning”.Kitab-kitab ini di tulis oleh ulama-ulama Islam pada zaman
pertengahan.Kepintaran dan kemahiran seorang santri diukur dari
kemampuaannya membaca, serta mensyarahkan (menjelaskan) isi kitab-
kitab tersebut. Untuk tahu membaca sebuah kitab dengan benar, seorang
santri dituntut untuk mahir dalam ilmu-ilmu bantu, seperti nahu, syaraf,
balaghah, dan ma’ani, bayan.27
Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan menjadi
delapan kelompok yaitu: Nahu/syaraf, fikih, ushul fikih, hadis, tafsir,
tauhid, tasawwuf dan etika, serta ilmu cabang-cabang ilmu lainnya
seperti tarikh dan balaghah. Pada umumnya kitab itu digolongkan
berdasarkan tingkatannya mulai dari tingkatan dasar, menengah, dan
tingkat tinggi.28
2. Sistem Pendidikan Pesantren
Sebagai lembaga pendidika Islam yang termasuk tertua, sejarah
perkembagan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang
bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan metode
pengajaran wetonan dan sorogan.
a. Metode Wetonan (Halaqah)
Metode yang didalamnya terdapat seorang kiai yang membaca
suatu kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan
kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara
kolektif.
b. Metode Sorogan
Metode yang santrinya cukup pandai men “sorog” kan
(mengajukan) sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca dihadapannya,

27
Haidar Putra Daulay,Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam
Indonesia, h. 65.
28
Zamahsyari Dhofier,Tradisi Pesantren, h. 87.

12
kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenarkan kiai. Metode ini
dapat sebagai proses belajar mengajar individual.
Dapat disimpulan bahwa pesantren adalah suatu lembaga
pendidikan tradisional yang ada sejak adanya Islam di Indonesia. Pesantren
memiliki ciri khas yang berbeda dengan pesantren lainnya yang merupakan
perbedaan bagi sistem pendidikannya. Pesantren memiliki unsure-unsur
dalam mengelola pesantren.

E. PENUTUP
Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi. Kurkulum
berbasis kompetensi merupakan outcomes based curriculum dan oleh karena
itu pengembangan kurikulum diarahkan pada pencapaian kompetensi yang
dirumuskan dari SKL.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Jenis
lembaga pendidikan ini dapat dijumpai diberbagai wilayah Indonesia.
Pesantren merupakan sistem pendidikan tradisional .

DAFTAR PUSTAKA

Alhamuddin. Poltik Kebjakan Pengembangan Kurikulum di Indonesia


Sejak Zaman Kemerdekaan Hingga Reformasi (1947-2013). Jakarta:
Kencana. 2019.
Cd. Dirman Pengembangan Kurikulum dalam Rangka Implementasi
Standar Proses Pendidikan Siswa. Jakarta: Rineka Cipta. 2014.

13
Daulay, Haidar Putra. Dinamika Pendidikan Islam. Bandung: Citapustaka
Media. 2004.

Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan


Pendidikan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. 2014.
Dhofier, Zamahsyari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 2001.
M. Ali, Aisyah. Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasinya.
Jakarta: Kencana, 2018.
Neliwati. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Medan: CV.
Widya Puspita. 2018.
Nurmawati. Evaluasi Pendidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media.
2016.
S. Nasution. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara. 2017.
S. Sadiman, Arief. dkk., Media Pendidikan; Pengertian, Pengembangan
dan Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2011.

Salminawati, Filsafat Pendidikan Islam Membangun Konsep Pendidikan


yang Islami . Bandung: Citapustaka Media Perintis. 2011.

Subhan, Arief. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20. Jakarta:


Kencana. 2012.

Syafaruddin, dkk. Ilmu Pendidikan Islam Melejitkan Potensi Budaya Umat.


Medan: Perdana Publishing. 2010.

Trianto Ibnu Badar at-Taubany dan Hadi Suseno. Desain Pengembangan


Kurikulum 2013 di Madrasah. Jakarta: Kencana. 2013.

14

Anda mungkin juga menyukai