Anda di halaman 1dari 22

SEJARAH SOSIAL PENDIDIKAN ISLAM

LEMBAGA PENDIDIKAN SURAU DAN DAYAH


D
I
S
U
S
U
N
OLEH :

Wahyu Dewi Sahfitri

DOSEN PEMBIMBING:

Dr. Erawadi, M.Ag.

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


PADANGSIDIMPUAN
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat, taufik serta hidayahnya kepada kita, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah Sejarah Sosial Pendidikan Islam.
Shalawat beserta salam saya hadiahkan kepada nabi besar nabi Muhammad SAW
yang telah kita nantikan syafaatnya diyaumil akhir.
Saya ucapkan terima kasih kepada dosen yang membawa mata kuliah Sejarah Sosial
Pendidikan Islam ,oleh bapak Dr. Erawadi, M.Ag sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah kami ini yang berjudul Lembaga Pendidikan Surau (Padang) dan Dayah (Aceh).
Dan saya menyadari banyak kesalahan dalam pembuatan makalah ini, karena
kesempurnaan hanya milik Allah.

Padang Sidimpuan, 08 November 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI
Isi Halaman

Kata Pengantar................................................................................. i

Daftar Isi............................................................................................ ii

BAB I Pendahuluan.......................................................................... 1

BAB II Pembahasan......................................................................... 2

A. Lembaga Pendidikan Surau......................................................... 5


1. Pengertian Surau.................................................................... 5
2. Gambaran Awal Surau dan Perkembangannya..................... 5
3. Sistematika Pendidikan Surau............................................... 7
4. Kemunduran Surau................................................................ 8
B. Lembaga Pendidikan Dayah........................................................ 9
1. Gambaran Awal Dayah dan Perkembangannya.................... 9
2. Institusi Pendidikan di Aceh.................................................. 11
3. Pendidikan Dayah Priode Awal............................................. 15
4. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Dayah................................... 16
5. Pendidikan Dayah Priode Modren......................................... 18

BAB III Penutup............................................................................... 21

A. Kesimpulan.................................................................................. 21

Daftar Pustaka.................................................................................. 22

3
BAB I

PENDAHULUAN

Pada dasarnya pendidikan itu dapat berlangsung dimana dan kapan saja, adanya
interaksi yang terjadi antara seseorang dengan orang lain, baik antara orang dewasa dengan
anak-anak yang dapat merubah perilaku seseorang berarti teleh melaksanakan pendidikan.
Pendidikan bisa berlangsung di rumah, di sekolah ataupun di tempat-tempat tertentu, seperti
masjid dan surau.

Bila mengingat kepada sejarah pendidikan itu dimulai dari proses perdagan, ketika
berlangsungya jual beli proses pendidikan secara alamiah berlangsung antara penjual dan
pembeli. Mereka memberikan contoh jual beli dalam syari’at Islam. Keyataan ini ternyata
menambah nuansa baru bagi kehidupan masyarakat. Demikian juga dengan penyampaian
pendidikan di tempat-tempat khusus ataupun ditempat-tempatnumum yang tanpa terasa
pendidikan formal telah berlangsung.

Seiring dengan waktu yang ditelusuri para pedagang yang sekaligus sebagai ulama,
maka berkembang lah pola pemberian pendidikan kepada masyarakat. Pada awalnya mereka
menyampaikan pendidikan dengan pace to pace secara informal. Kemudian meningkat
menjadi non formal. Keantusiasaan masyarakat untuk menggali pendidikanIslam itu ditandai
dengan tingginga minta masyarakat untuk mendatangi masjid, surau ataupun dayah untuk
mendengarkan dan menggali pengetahuan yang sebelumnya mereka ketahui.

Proses pencarian ilmu pengetahuan semakin lama semakin terorganisir dan tertata
dengan baik. Sehingga muncullah lembaga pendidikan secara formal. Awal mula pendidikan
Islam di Indonesia ditandai dengan berdirinya pesantren yang diyakini sebagai lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia. Seiring dengan perkembangan waktu madrasah-
madrasah pun bermunculan, dan tidak ketinggalan juga peran surau dan dayah. Untuk
memahami lembaga-lembaga pendidikan islam di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, penulis akan membahas tentang Lembaga


Pendidikan Surau (Padang) dan Dayah ( Aceh), yang akan dibahas dalam makalah ini.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Lembaga Pendidikan Surau (Padang)


1. Pengertian Surau
Dalam kamu bahasa Indonesia, surau diartikan sebagai tempat (rumah) umat
Islam melakukan ibadah (bersembahyang, mengaji dan sebagainya). Surau juga
merupakan istilah yang banyak digunakan di Asia Tenggara, seperti Sumatra Selatan,
Semananjung Malaya, Patani (Thailand). Namun yang paling banyak dipergunakan di
Minangkabau. Secara bahasa kata Surau berarti tempat, menurut asal pengertian surau
adalah bagunan kecil yang dibangun untuk menyembah arwah nenek moyang.
Beberapa ahli mengatakan bahwa surau berasal dari India yang merupakan
tempat yang digunakan sebagai pusat pengajaran dan pendidikan Hindu dan Budha.
Di Minangkabau ketika aditiyawarman (1356) yang beragama Budha mendirikan biar
di Bukit Batusangkar. Disamping ini tempat peribadatan juga sebagai tempat
berkumpul para pemuda untuk mempelajari pengetahuan suci dan tempat pemecahan
masalah.
Seiring dengan kedatangan Islam di Minangkabau proses pendidikan Islam
dimulai oleh Syekh Burhanuddin sebagai pembawa Islam dengan menyampaikan
pengajarannya melalui lembaga pendidikan surau. Di surau ini anak laki-laki
umumnya tinggal, sehingga memudahkan Syekh menyampaikan pengajarannya.
2. Gambaran Awal Surau dan Perkembangannya
Kata surau bermula dari istilah Melayu dan penggunaannya meluas sampai
Asia Tenggara. Sebutan surau berasal dari Sumatera Barat tepatnya di Minangkabau.
Sebelum menjadi lembaga pendidikan Islam, istilah ini pernah digunakan (warisan)
sebagai tempat penyembahan agama Hindu dan Budha. Pada masa awalnya, surau
juga digunakan sebagai tempat penyembahan ruh nenek moyang. Keberadaan surau
cenderung mengambil tempat di puncak atau daratan yang tinggi untuk melakukan
kontemplasi (asketis) para warga yang sedang bermunajat kepada Yang Maha Agung.
Sehingga bangunan surau dikesankan sebagai bangunan yang mistis karena memiliki
keramat atau sacral yang dipercayai oleh segenap warga disekelilingnya1.

1
Mas’ud Zein, Sistem Pendidikan Surau : Karakteristik, Isi, dan Literatur Keagamaan, Jurnal Sosial
Budaya, Vol. 8 No. 01 Januari – Juni 2011,hlm.26

5
Surau dalam sejarah Minangkabau diperkirakan berdiri pada 1356 M. yang
dibangun pada masa Raja Aditiyawarman di kawasan bukit Gonbak. Seperti kita
ketehui dalam lintasan sejarah Nusantara , bahwa pada masa ini adalah masa
keemasan bagi agama Hindu dan Budha. Maka secara tidak langsung dapat dipastikan
bahwa eksistensi dan esensi surau pada masa itu adalah sebagai tempat ritual bagi
pemeluk agama Hindu dan Budha.
Jika sebelum Islam Surau berfungsi sebagai tempat pertapaan, berlatih silat
dan lain sebagainya, pada masa Islam awal perubahannya dan diberi nuansa Islam
yang kaya namun tetap mempertahankan aspek kebudayaan dan tradisi. Misalnya
surau di daerah Minangkabau memiliki beberapa puncak dan gonjong selain
merefleksikan kekayaan mistis tertentu juga dipandang sebagai symbol adat.
Kemudian surau sebagai lembaga pendidikan Islam yang pertama kali dikembangkan
oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman setelah kembali dari Aceh, dimana ia
belajar dengan Syekh Abdul Singkil. Dikarenakan beliau dengan kedalaman ilmunya
dan kesalehannya.2
Surau mampu menarik banyak murid yang berbakat dari berbagai tempat di
Minangkabau. Termasuk diantara muridnya yang berperan besar dalam
mengembangkan Surau sebagai lembaga pendidikan adalah empat Tuanku yang
terkenal dengan sebutan Urang Ampek Angkek.
Pada masa Syekh Burhanuddin, pada awalnya surau dijadikan tempat
mengajarkan agama Islam diantaranya adalah sebagai tempat Suluk dan sebagai
penyiaran agama Islam. Lembaga ini memberikan andil bagi lahirnya sosok Ulama
Minangkabau, mereka kemudian menuntut ilmu di Mekkah dan mendirikan Surau di
daerah adal. Diantara ulama yang belajar di surau Ulakan adalah Tuanku Mansiang
nan Tua, yang mendirikan surau paninjauan dan Tuanku nan Kacik yang mendirikan
surau di Koto Gadang.3
Surau memainkan peranan yang penting dalam gelombang pertama
pembaharuan Islam di Minangkabau sejak akhir abad ke-18. Tumbuhnya surau
sebagai lembaga terikat dan terus berkembang pesat, bahkan fungsi surau lebih
dominan sebagai tempat tarekat ketimbang sebagai lembaga pendidikan. Dikalangan
surau Syatariyyah sendiri terdapat usaha-usaha membangkitkan kembali penekanan
khusus yang diberikan Abdul Rauf Singkil. Terhadap syariah, usaha itu diwujudkan
2
Ibid,hlm.28
3
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo, 2004),hlm. 48

6
antara lain dengan menekankan pentingnya pelajaran fiqih, Al-Qur’an dan Hadis
dalam pendidikan surau.
Usaha-usaha lebih signifikan untuk kembali kepada syariah di lakukan di
surau Koto Tuo di Agam. Pemimpin surau ini termasuk sebagai Tuanku nan Tua dan
dikenal sebagai Syekh Syattariyah. Tetapi belakangan ia mulai dipengaruhi oleh
ajaran Nagsyabandiyah yang lebih ketat memegang syariah. Tuanku nan Tua
memiliki pengetahuan mendalam tentang Al-Qur’an, hadis dan fiqih. Karena itu ia
juga mendapatkan sebagai sultan ‘Alim. Melalui murid-muridnyalah Tuanku na Tua
menyebarkan pandangan tentang pentingnya syariah bagi kebaikan kondisi social
masyarakat Minangkabau.4
Seiring dengan luasnya surau, kebutuhan akan pengetahuan keagamaan
dikalangan masyarakat Minangkabau semakin meningkat pula, lambat laun surau-
surau di Minangkabau mengalami proses seleksi. Semakin banyak orang yang belajar
di surau itu maka semakin popular surau tersebut. Surau pada umumnya di miliki oleh
Tuanku atau Syekh, yang apabila ia telah wafat maka digantikan oleh anak laik-
lakinya. Tuanku Syekh biasanya bermukim dibanguna khusus di komplek surau.
Sebuah surau besar bisa memiliki tidak kurang dari 20 bangunan masuk surau kecil
yang di diami oleh sekelompok murid yang sesuai dengan daerah asalnya. Contohnya
suray Batu Hampar Payakumbuh yang didirikan oleh Syekh Abdul Rahman (1777-
1888) yang memiliki hamper 30 bangunan, termasuk bangunan utama, bangunan
untuk tamu, surau-surau kecil untuk murid dan bangunan khusus untuk suluk.
3. Sistematika Pendidikan Surau
Sebagai lembaga pendidikan yang bercorak tradisional, sistem pendidikan
yang digunakan di surau adalah Halaqah. Yaitu anak-anak bersila tanpa
mempergunakan bangku dan meja. Demikian juga dengan guru, mereka belajar
dengan satu orang guru dan belum berkelas seperti pendidikan masa sekarang.
Materi yang diajarkan pada awalnya masih seputar belajar huruf Hijaiyyah dan
membaca Al-Qur’an. Mereka memperlajari hurif hijaiyyah dengan membaca
(menghafal dan mengenal huruf) satu persatu, setelah itu barulah dirangkaikan.
Mereka tidak belajar menuliskan huruf-huruf tersebut. Setelah pandai membaca surat-
surat pendek terutama yang ada pada juz’amma, baru diperkenalkan membaca Al-
Qur’an dari permulaan secara berutut-turut sampai khatam.5
4
Ibid,hlm.51
5
Maimunah, Sistem Pendidikan Surau, Karakteristik, Isi dan Literatur Keagamaan, Jurnal TA’DIB,
Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012, hlm. 259

7
Tujuan pendidikan dan pengajaran di surau adalah agar anak didik dapat
membaca Al-Qur’an dengan berirama secara baik, dan belum disarankan unutk
memahami isi kandungannya. Model pendidikan surau seperti ini tidak memungut
biaya sedikit pun dari anak didik, namun jika ada kerelaan dari oaring tua murid untuk
memberikan sesuatu untuk pengembangan surau. Meskipun sekedar cendera mata,
baik berupa benda atau uang sesuai dengan kemampuang orang tua masing-masin.
Keberadaan surau pada waktu itu tidak tergantung kepada pemerintah atau kekuasaan
politik, dan tidak pula bergantung pada yayasan keagamaan lain.
Selain belajar Al-Qur’an, material yang juga diajarkan adalah ibadah yang
dimulai dari berwudhu’ dan shalat. Pelajaran ini diberikan secara langsung melalui
praktek. Belajar di surau tidak ditentukan berapa lama tergantung kepada
kemampuan, kerajinan bahkan situasi dan kondisi setempat. Anak-anak yang rajin
bisa menamatkan al-Qur’an dengan baik dalam jangka waktu dua sampai tiga tahun.
Sebagian surau tertentu memberikan tingkat pendidikan lanjutan yang disebut
pengajian kitab oleh guru-guru yang berkeahlian. Kitab-kitab yang digunakan masih
sederhana, seperti kitab Nahwu, Sharaf, Fiqih, dan Tafsir. Cara mengajar adalah
dengan membaca sebuah kitab Arab dan kemudian diterjemahkan kedalam bahasa
melayu dan setelah itu baru diterangkan maksud dari kitab tersebut.6
4. Kemunduran Surau
Dalam melancarkan gerakan pembaharuan, Tuanku nan Tuo melakukan cara-
cara persuasive dan damai tetapi cara tidak memuaskan hati sebagian muridnya
seperti Haji Miskin, Tuanku nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol. Sikap radikal
kedua mendapatkan momentum dengan kembalinya Haji Sumanik, Haji Miskin dan
Haji Piobang dari tanah suci. Ketiga Haji ini dianggap terpengaruh oleh paham
Wahabi dalam melakukan pembaharuan di Arabiah. Sekelompok radikal ini kemudian
menyerang surau-surau yang di Padang penuh praktek khurafat dan tahayul. Pecahlah
perang antara kelompok moderat dengan kelompok radikal yang selanjutnya menjadi
perang Priode (1821-1837) ketika Belanda ikut campur tangan.
Selama perang Padri banyak surau yang hancur. Surau dengan sistem
pendidikannya yang khas kembali mencapai puncak kejayaannya hingga dasawarsa
ke-2 abad 20, bukti-bukti menunjukkan bahwa pendidikan surau tetap memainka

6
Ibid,hlm.260

8
peran penting bagi masyarakat Islam. Minangkabau sepanjang abad 19 menurut
laporan Belanda tahun 1869 hampir tidak mempunyai surau.7
Pada awal 1900-an, gelombang pembaharuan Islam kembali melanda
Minangkabau. Kali ini dibawah oleh murid-murid Syekh Ahmad Khatib. Mereka
yang biasanya disebut kaum muda ini menyerang kaum tua yang pada umumnya
adalah pemimpin dang pengajar di surau.8 Hal ini berdasarkan tuduhan kaum muda
kepada kaum tua karena mereka menyebarkan bid’ah dan khurafat dengan praktek
tarekatnya, sehingga kaum muda menidirikan madrasah modern sebagai alternative
pendidikan baru. Sehingga jumlah murid di surau merosot hebat.
Faktor lain yang menyebabkan mundurnya institusi surau adalah terputusnya
mata rantai literatur berupa karya-karya nyata Syekh- syekh di Minangkabau. Unutk
materi keagamaan termasuk dalam hal ini Tarekat, sejauh ini tidak ditemukan karya
tertulis syekh-syekh tersebut. Kitab-kitab yang dipelajari pada umumnya karya
penulis legendaris diluar Minangkabau. Contohnya literatur tentang pelajaran Tarekat
memakai kitab al-Thufan al-Mursalah ila ruh al-Nabiy karya seorang guru asal
Ghujarat. Tafsir Jalalain dalam bidang tafsir.9
Demikian perkembangan surau sebagai lembaga pendidikan dan sangat
disayangkan kemandekan intelektual masyarakatMiang disebabkan tidak adanya
pendidikan agama yang dilahirkan cendikiawan, seperti halnya surau-surau zaman
dahulu dan pada saat ini kita hanya melihat prospek buram kehadiran surau-surau di
Minangkabu. Sedangkan pada sisi lain, dengan fungsi yang sama, pesantren di jawa
berhasil melestarikan peranannya dalam menjaga kontinutas tradisi keilmuan Islam,
padahal keduanya memiliki garis haluan yang sama.
B. Lembaga Pendidikan Dayah (Aceh)
1. Gambaran Awal Dayah dan Perkembangannya
Dayah dalam bahasa Arab zawiyah. Artinya harfiah adalah sudut, karena
pengajian pada masa Rasulullah dilakukan di sudut-sudut masjid. Dibeberapa Negara
muslim lain dayah atau zawiyah juga lazim disebut sebagai sekolah agama Islam
(madrasah). Di Indonesia penyebutan dayah untuk sebuah lembaga pendidikan agama
Islam adalah di Aceh.

7
Elposito, John, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid III, (Bandung: Mizan, 2001). Hlm.73
8
Ibid,hlm. 78
9
Samsunizar, Sejarah dan pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat : Quantum Teaching,
2005), hlm. 76

9
Adapun yang dimaksud dengan dayah adalah lembaga pendidikan yang
eksistensinya dianggap sebagai kesinambungan dari tradisi Aceh masa lalu.
Setidaknya hal ini bisa dilacak dari kata zawiyah yang telah digunakan sejak masa
Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dalam undang-undang Kesultanan Aceh.
Dalam hal ini, peran ulama sebagai pribadi dan dayah secara kelembagaan tidak bisa
dipisahkan. Maka data yang meriwayatkan peran seorang ulama juga dapat dianggap
sebagai peran dayah itu sendiri.10
Pada masa Sultan Iskandar muda memerintah Aceh dalam rentetan sejarah
sebagai masa sadar beragama dan mengamalkan ajarannya. Pada masa ini pula, dalam
sejarah perkembangan kerajaan Aceh Darussalam dikatakan bahwa ilmu pengetahuan
berkembang dengan cukup pesat, sultan berusaha memajukan berbagai sektor
pendidikan, antara lain pendidikan agama, pendidikan bahasa, pendidikan ilmu
hukum, seni budaya, militer dan
olah raga. Di saat sultan Iskandar muda memegang tampuk kekuasaan Aceh
merupakan pusat pendidikan, sehingga Aceh dapat mencapai puncak kejayaan.
Agama Islam benar-benar meresap ke dalam jiwa pemeluknya, sehingga tidak
berlebihan kiranya Aceh mendapat julukan serambi Mekkah.11
Para ahli sejarah lokal maupun internasional telah menulis dalam karya
mereka tentang sejarah Aceh, bahwa pada masa Sultan Iskandar Muda memegang
kekuasaan, Aceh adalah pusat Ilmu pendidikan dan kerajaan Aceh merupakan
kerajaan yang masyhur di antara kerajaan-kerajaan lain. Kemajuan bidang
pendidikan, ekonomi, dan agama di raih melalui lembaga pendidikan meunasah.
Lembaga ini bukan hanya tempat ibadah semata melainkan juga sebagai pusat yang
multi-fungsi, baik untuk pendidikan, musyawarah, kenduri, mengadili pelanggar
hukum, menerapkan hukuman, pos keamanan, dan tempat istirahat masyarakat.
Aceh yang terletak diujung pulau Sumatra merupakan bagian yang paling
Utara dan paling Barat dari kepulauan Indonesia. Posisi geografisnya yang sangat
strategis sebagai pintu gerbang sebelah barat untuk masuk ke Nusantara. Karena itu
Aceh sarat dengan kontak dan pengaruh luar. Salah satunya ialah pengaruh agama
Islam. 12

10
Badruzzaman Ismail,dkk, Perkembangan Pendiidkan di Nanggroe Aceh Darussalami, (Banda
Aceh:Majlis Pendidikan Daerah Aceh, 2002), hal. 61.
11
Ibid,hlm 64
12
Asnil Aidah, Pertumbuhan dan Perkembangan Institusi Pendidikan Awal Indonesia: Pesantren,
Surau, dan Dayah, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.VI, No.1, Januari-Juni 2017,hlm, 10

10
Berbagai keahlian khususnya para ulama pemimpin dayah dapat dibuktikan
dari artefak dan manuskrip yang masih tersisa. Dari itu banyak penulis beramsumsi,
bahwa lembaga pendidikan di Aceh juga mengajarkan berbagai keterampilan, seperti
kerajinan pandai besi dan lain-lainnya yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun dari berbagai manuskrip yang masih bisa dirujuk sampai sekarang,
diyakini dayah juga mengajarkan bidang ilmu pengetahuan tertentu sesuai dengan
keahlian teungku chik. Diantara mereka ada yang ahli dalam falak, yang lainnya
menonjol dalam ilmu hisab, ada juga yang pintar dalam ilmu tibb (kedokteran). Di
samping itu, ada juga teungku chik yang cakap dalam ilmu bangunan, pertanian,
irigasi dan lain-lainnya. Dan para teungku chik, pada umumnya,memperoleh
keahlian itu di luar negeri seperti mekah, mesir, Turki, India dan Negara-negara
lainnya. Hal ini perlu diperdetil dengan membandingkannya berdasrkan priode yang
dikemukakan.13
2. Intitusi Pendidikan di Dayah (Aceh)
Sejak pecahnya perang melawan Belanda pada tahun 1873, dayah memegang
peran penting dalam pengerahan tenaga pejuang, terutama murid dan masyarakat di
sekitar dayah ke medan peperangan. Dalam menumbuhkan semangat juang rakyat
melalui motivasi keagamaan, seperti ajakan perang sabil, dayah berperan sangat
besar, karena itu tidak mengherankan jika pada akhir abad ke 19 banyak dayah yang
terbengkalai akibat serangan Belanda yang menganggap dayah sebagai konsentrasi
para pejuang, baru setelah perang mereda, para Teungku Chik yang tersisih berusaha
membangun kembali dayah yang terlantar selama ini.14
Pada saat itu semua dayah mengalihkan aktivitasnya ke arah perjuangan
politik melawan Belanda di samping mengajarkan ilmu agama. Ketika Belanda
menaklukkan Aceh, selain mengajarkan ilmu pengetahuan agama juga menjadi
tempat mendidik sikap patriotisme bagi para pemuda, sekaligus menjadi tempat
latihan militer untuk menghadapi penjajah Hindia Belanda. Ketika Belanda berhasil
menguasai sebagian wilayah di Aceh, mereka menetapkan peraturan untuk pendirian
dayah.
Dengan demikian, lembaga pendidikan dayah tetap terpelihara dengan
sistemnya yang khas. Ketika Belanda masuk ke Aceh mereka mendirikan lembaga
pendidikan sekolah dengan mengajarkan ilmu umum dan menerapkan sistem yang
13
Ibid.hlm.12
14
Abdul Hadi, Dinamika Sistem Institusi Pendidikan di Aceh,Jurnal Ilmiah PEUREDIUN, Vol. 2, No.
3, September 2014.hlm.183

11
berbeda, hal ini dilakukan sebagai penyeimbang terhadap lembaga pendidikan dayah
yang berorientasi kepada pendidikan agama. Sejak perang itu berkecamuk, banyak
tenaga ulama yang gugur, karena syahid di medan perang, seperti Teungku Chik Di
Tiro, Tgk di Keumala, Hal itu berlangsung sampai tahun 1912. Sejak tahun 1913,
sisa ulama yang tidak Syahid, mulai menghidupkan kembali Dayah-dayah di seluruh
Aceh. Tentu saja hal ini tidak leluasa seperti dulu, karena sejak tahun 1913,
pemerintah Hindia Belanda sudah mulai berjalan di Aceh. Pemerintah Hindia
Belanda sudah mengeluarkan Ordinasi Guru pada tahun 1905 yang dimuat dalam
Staatsbad yang mengawasi tiap-tiap guru yang mengajar agama.
Untuk mendirikan sebuah sekolah atau madrasah, harus mendapat izin terlebih
dahulu dari Gubernur militer/sipil Belanda. Sebagai contoh ketika pendirian
Madrasah oleh Tuanku Raja Keumala. Beliau harus memenuhi beberapa ketentuan
yang dikeluarkan oleh Gubernur Militer/sipil pemerintahan Belanda yang pada
waktu itu adalah Swaart. Ketentuanketentuan tersebut antara lain:15
a. Kepada Tuanku Raja Keumala yang bertempat tinggal di Kampong Keudah
diizinkan mendirikan satu madrasah tempat belajar orangorang dewasa dan
pemuda-pemuda.
b. Mata pelajaran yang boleh diajarkan hanya menulis dan membaca bahasa Arab,
sehingga dapat memahami kitab-kitab agama Islam dengan baik, ilmu tauhid dan
ilmu fikih.
c. Diwajibkan kepada Tuanku Raja Keumala membuat daftar namanama murid dan
diserahkan kepada pihak Belanda.
Di lain pihak Belanda mendirikan sekolah yang dikhususkan bagi putra putri
mereka, sekolah ini pertama sekali didirikan pada tahun 1817 di Jakarta. Setelah
didirikan sekolah ini nampaklah kesenjangan antara anak-anak Belanda dengan anak-
anak bumi putra. Melihat kondisi semacam ini timbullah inisiatif dari tokoh-tokoh
liberal untuk memberi kesempatan kepada anak bumi putra agar dapat mengenyam
pendidikan seperti halnya anak-anak Belanda, maka dibuatlah statuta pada tahun
1818, isi statuta itu antara lain: pemerintah hendaknya membuat peraturan yang
diperlukan mengenai sekolah-sekolah bagi anak bumi putra. Pemerintah memberi
kesempatan bagi anak bumi putra untuk mendapatkan pendidikan pada sekolah
Belanda.16
15
Ibid.hlm.184
16
Abdul Fadli, Transformasi Pendidikan Islam Di Minangkabau, Jurnal Sejarah Lontar Vol. 4 No. 2
Juli-Desember 2007.hlm.47

12
Setelah Belanda berhasil diusir dari Aceh, maka lahirlah era baru di bawah
kedudukan Jepang. Negara yang terakhir ini juga tidak kalah ganasnya dibandingkan
dengan penjajahan Belanda. Namun dalam bidang pendidikan dampaknya tidak
begitu terasa, hal ini dikarenakan kehadiran Jepang di Aceh tidak berlangsung lama
hanya sekitar tiga tahun setengah. Di antara usaha pembaharuan yang dilakukan
Jepang adalah sekolah yang dibangun Belanda dijadikan sekolah rakyat dan bahasa
Belanda di hapus sebagai bahasa pengantar di Sekolah dan memasukkan bahasa
Jepang menjadi pelajaran wajib di sekolah.
Setelah Indonesia merdeka, pendidikan menjadi hak setiap rakyat, pemerintah
berusaha menyelenggarakan pendidikan yang dapat diakses oleh setiap rakyat.
Dengan demikian pendidikan agama belum mendapat tempat yang layak di dalam
sistem pendidikan nasional, dengan perjuangan yang gigih oleh para cendekiawan
muslim maka pendidikan agama mendapat tempat dalam sistem pendidikan
nasional.17
Pendidikan yang ada di Aceh sekarang ini merupakan produk sejarah yang
penuh dengan pergolakan. pada masa kerajaan Aceh sebagaimana yang telah
dijelaskan pendidikan dilaksanakan di meunasah-meunasah dan dayah mulai dari
tingkat rendah sampai tingkat tinggi. Peperangan telah membuat lembaga-lembaga
ini hancur serta kehilangan guru dan murid-muridnya. setelah Belanda menguasai
Aceh mereka menerapkan pendidikan sistem barat. Jepang mengalahkan Belanda
pada awal perang dunia kedua juga membawa sistem yang berbeda dengan
pendidikan yang diterapkan oleh Belanda dan disesuaikan baik dengan kebudayaan
Jepang. Di atas sistem yang ditinggalkan Belanda dan Jepang, Indonesia mulai
membangun sistem pendidikan baru yang bersifat Nasional. Inilah rentetan sejarah
yang mempengaruhi pendidikan di Aceh. Di atas segalanya. Sistem pendidikan
tradisional yang ada tetap bertahan dan juga beradaptasi dengan sistem yang baru.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan dalam bentuk pendidikan formal sudah
dikenal sejak awal abad ke-11-12 M atau abad ke 5-6 H, yaitu sejak dikenal adanya
madrasah Nizamiyah yang didirikan di Bagdad oleh Nizam Al-Mulk, seorang wazir
pada masa dinasti Saljuk. Di Indonesia, Madrasah merupakan fenomena modern
yang muncul pada awal abad ke 20 berbeda dengan di timur tengah di mana
madrasah sebagai lembaga pendidikan yang memberikan pelajaran ilmu agama

17
Ibid,hlm. 49

13
tingkat lanjut, sebutan madrasah di Indonesia mengacu pada lembaga pendidikan
yang memberikan pelajaran agama Islam tingkat rendah dan menengah.
Perkembangannya diperkirakan lebih merupakan reaksi terhadap faktor-faktor
yang berkembang dari luar lembaga pendidikan yang secara tradisional sudah ada,
terutama munculnya pendidikan modern Barat. Dengan perkataan lain, tumbuhnya
madrasah di Indonesia adalah hasil tarik menarik antara pesantren sebagai lembaga
pendidikan asli (indengius Calture/tradisional) yang sudah ada di satu sisi, dengan
pendidikan barat di sisi lain. Dalam dinamika seperti ini maka didirikanlah
madrasah.18
Dalam perkembangan selanjutnya sejak diakuinya madrasah sebagai lembaga
pendidikan resmi yang diakui oleh pemerintah dan masuk dalam sub pendidikan
nasional, maka madrasah terus mengalami perubahan, sehingga seperti yang terlihat
sekarang ini dalam sistem belajar madrasah sama seperti yang diterapkan di sekolah
umum, kurikulum di madrasah 30% agama dan 70% umum, dengan kata lain
madrasah adalah sekolah yang berciri khas Islam. Dalam hubungan interaksi dengan
guru, keadaannya juga tidak berbeda seperti pada sekolah umum. Siswa di madrasah
tidak diasramakan sehingga hubungan dengan guru hanya terlihat selama proses
belajar mengajar berlangsung.19
Selain lembaga pendidikan sekolah juga berdiri lembaga pendidikan pesantren
terpadu. Lembaga pendidikan ini termasuk lembaga pendidikan yang baru di Aceh,
pesantren terpadu yang ada di Aceh merupakan adopsi dari pendidikan pesantren
modern yang ada di pulau Jawa. Pesantren di Jawa sudah lebih dahulu mengalami
pembaharuan kurikulum yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pesantren
modern merupakan gabungan antara pendidikan pesantren salafi dengan madrasah,
pada pagi hari mereka menerapkan pendidikan madrasah yang tunduk kepada
kurikulum yang telah ditentukan oleh kementrian agama dan pada malam hari
menerapkan sistem pendidikan pondok pesantren yaitu mengkaji kitab kuning.
Hubungan guru murid terlihat akrab karena umumnya siswa tinggal di asrama yang
telah disediakan oleh pihak yayasan. Setelah mereka mendapat bimbingan dari guru
pada siang hari, pada malam hari mereka juga mendapat bimbingan dari para ustad
ataupun ustadzah.
3. Pendidikan Dayah Priode Awal
18
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo,
2012).hlm. 112
19
Ibid,hlm.114

14
Pertumbuhan dan perkembangan dayah di Aceh tidak terlepas
hubungannya dengan sejarah masuknya Islam di Aceh. Pendidikan Islam pertama
di Indonesia bermula ketika orang-orang yang masuk Islam ingin mengetahui lebih
banyak tentang ajaran agama yang dipeluknya, baik mengenai tata cara beribadah,
membaca al-Qur’an dan mengetahui Islam lebih luas dan mendalaminya. Pada
awalnya, tempat belajar berlangsung di rumah-rumah, surau, langgar atau masjid.
Ditempat inilah mereka belajar membaca al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya,
secara individu dan langsung.20
Pada zaman Rasul, masjid digunakan sebagai tempat belajar/tempat
melaksanakan pendidikan, disamping sebagai tempat ibadah. Banyak putra/putri
Islam yang dididik di masjid, dan beraneka ragam pengetahua dipelajarinya. Hal
ini mendorong terbentuknya banyak kelompok belajar (halaqah) di masjid-masjid.
Kelompok-kelompok ini mengambil tempat di sudut-sudut masjid atau zawiyah.
Kata zawiyah ini digunakan oleh masyarakat Aceh untuk lembaga pendidikan
Islam dengan ucapan disesuaikan dengan pelafalan etnis Aceh. Dari kata zawiyah
berubah menjadi Dayah.
Dayah adalah lembaga pendidikan Isalm tertua di Aceh dan Nusantara. Ia
telah lahir dan berkembang seiring dengan lahir dan berkembangnya ajaran Islam
di Aceh. Dayah juga telah banyak memberikan andil dalam perkembangan dan
kemajuan Aceh. Melalui Dayah, nilai-nilai keacehan dan keislaman diwariskan
dari generasi ke generasi. Sebelum Belanda datang ke Indonesia dayah merupakan
pusat pengembangan dan pembinaan masyarakat, dilaksanakan melalui kegiatan-
kegiatan penyebaran agama dan mempunyai peranan tertentu. Setelah Belanda
berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Nusantara, Dayah menjadi pusat
perlawanan pertahanan terhadap kekuasaan Belanda. Dayah berfungsi sebagai
pusat penyebaran agama Islam di kalangan masyarakat dan sebagai pusat untuk
melawan para penjajah.
Kualitas pendidikan dayah mula menurun yaitu ketika berkecamuknya
perang Belanda di Aceh, sebab banyak ulama dan para santri ikut terlibat dalam
peperangan dan mareka banyak syahid di medan perang. Pondok pasantren sebagai
lembaga pendidikan terutama di Indonesia telah menunjukkan kemampuannya
dalam mencetak kaderkader ulama yang berkualiti, sehingga tidak mengherankan

20
Marhamah: Pendidikan Dayah Dan Perkembangannya Di Aceh , At-Ta’dib: Jurnal Ilmiah
Pendidikan Agama Islam Volume 10, No. 1, Juni 2018.hlm.85

15
apabila pada masa penjajahan Belanda dan Jepang sering timbul pemberontakan-
pemberontakan yang di pimpin oleh pimpinan dayah dan para pelajarnya, demikian
pula dengan sejarah perjuangan merebut kemerdekaan, kalangan pondok
pasantren/dayah selalu ikut aktif mengambil bagian dalam melawan penjajah.21
Selain itu, aksi Belanda membumihanguskan sejumlah dayah dan
perpustakaannya. Hal ini telah membuat masyarakat Aceh kehilangan sejumlah
Ulama Besar, dan kehilangan sumbersumber pengetahuan berharga berupa hasil
karya ulama besar dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, baik karya ulama
Aceh maupun ulama Timur Tengah. Pendidikan di Aceh berada dalam pengawasan
Belanda ketika itu. Ketika Belanda mulai megawasi pendidikan Aceh, maka materi
pelajaran yang boleh diajarkan di dayah hanyalah ilmu-ilmu berhubungan dengan
ibadah murni saja, yaitu ilmu Fiqh, Tauhid dan Tasawuf. Bahasa Arab dan ilmu
Mantiq dipelajari hanya untuk mempertajam memahami ilmu Fiqh.22
Keberadaan dayah sebagai lembaga pendidikan, baik yang masih
mempertahankan sistem pendidikan tradisional maupun yang sudah mengalami
perubahan, memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dari
waktu ke waktu dayah semakin tumbuh dan berkembang baik kualiti maupun
kuantitinya. Tidak sedikit dari masyarakat yang masih menaruh perhatian besar
terhadap dayah sebagai pendidikan alternatif. Karena pendidikan dayah
berkembang sampai sekarang, modelnya senantiasa selaras dengan jiwa, semangat,
dan kepribadian bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.23
4. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Dayah
Berbicara tentang fungsi dayah, berhubungan erat dengan tujuan
pendidikan dayah/pondok pesantren, yaitu menyiapkan santri mendalami dan
menguasai ilmu agama Islam (bertafaqquh fi al-din) bidang akhlak yang
diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama, mendakwahkan dan menyebarkan
agama Islam, menjadi benteng pertahanan umat dalam bidang akhlak,
meningkatkan pengembangan masyarakat di berbagai sector, menjadi sentral
pemberdayaan potensi ekonomi masyarakat. Pendidikan menurut Islam merupakan
usaha-usaha membaiki diri supaya membentuk sifat-sifat kesempurnaan sebagai
manusia beriman, berilmu pengetahuan, berakhlak mulia dan beramal ikhlas.
21
Ibid,hlm.88
22
Tri Qurnati, Budaya Belajar dan Ketrampilan Berbahasa Arab di Dayah Aceh Besar, (Banda Aceh:
Ar-Raniry Pres, 2007).hlm.65
23
Ibid,hlm. 73

16
Berdasarkan pernyataan di atas, maka fungsi dayah adalah sebagai berikut:
sebagai tempat mendalami ajaran Islam, sebagai tempat menyebarkan dan
mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat, sebagai pencetak manusia
berakhlak mulia dan sebagai tempat pengkaderan pengembangan masyarakat di
berbagai sector. Adapun tujuan khusus dari pendidikan dayah adalah sebagai
berikut:24
a. Mendidik santri/pelajar menjadi seorang muslim yang bertaqwa kepada Allah
SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan dan lahir batin
sebagai warga negara pancasila.
b. Mendidik santri/pelajar menjadikan manusia muslim selaku kader-kader ulama
dan muballigh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam
mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan dinamis.
c. Mendidik santri/pelajar untuk memperoleh kepribadian yang baik dan
mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-
manusia pembangunan yang mampu untuk membangun dirinya dan
bertanggungjawab kepada pembangunan bangsa dan negara.
d. Mendidik santri/pelajar sebagai tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro
(keluarga) dan regional (pedesaan/ masyarakat/ lingkungannya).
e. Mendidik santri/pelajar agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam
berbagai sektor pembangunan khususnya pembangunan mental spritual.
f. Mendidik santri/ pelajar untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial
masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat dan
bangsa.
Memperhatikan tujuan yang hendak dicapai pendidikan dayah, maka
dayah yang ada sekarang perlu diperbaharui fungsinya, eksistensinya tidak saja
untuk mempersiapkan santri-santrinya untuk menjadi ulama-ulama ukhrawi yang
mampu memberikan ajaran agama sahaja. Akan tetapi mampu meningkatkan dan
memajukan sosial ekonomi masyarakat. Dengan demikian, ulama bukan saja
menjadi perawat dan pembina mental spiritual, melainkan sebagai tenaga
penggerak dalam pembangunan kebudayaan bangsa Indonesia.
5. Pendidikan Dayah Priode Modren
Dayah dalam perkembangannnya mengalami perubahan dan pembaharuan.
Pada awalnya dayah di Aceh berbentuk tradisional, sebagaimana yang telah
24
Mukhlisuddin Ilyas, Pendidikan Dayah di Aceh Mulai Hilang Identitas, (Yogyakarta: 2012.).hlm.89

17
disampaikan di atas. Diera sekarang, dayah mulai dipengaruhi oleh gagasan
pembaharuan, khususnya berkaitan dengan sistem pendidikan. Ide ini berawal dari
perkembangan pemikiran Islam di Timur Tengah yang sedang mempengaruhi
pemikiran umat Islam kala itu. Sejumlah ulama Aceh sempat mondok di Makkah
mendapat pengaruh pemikiran ini, lalu mereka menyampaikan pemikirannya
kerekan-rekan yang ada di Aceh. Aceh menyambut baik ide pembaharuan itu.
Mereka berkeyakinan salah satu sarana untuk melawan penjajah yang telah lama
mendiami negeri muslim adalah dengan memperkuat ilmu pengetahuan, yaitu
melalui lembaga-lembaga pendidikan yang berkualitas.25
Pada awal kemerdekaan Indonesia (1945-1948), para pemimpin dan ulama
Aceh telah sepakat dalam mobilisasi massa untuk mempertahankan tanah air
seluruh madrasah diserahkan dibawah control negara, sedangkan dayah tetap
dibawah control para ulama. Kedua lembaga ini berjalan masing-masing atau
secara terpisah. Pada tahun 1953, terjadinya perselisihan antara Aceh dengan
pemerintah pusat, yang menyebabkan terjadinya pemberontakan. Hal ini berakibat
pada madrasah yang sebagai tempat mendalami ajaran Islam, sebagai tempat
menyebarkan dan mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat, sebagai
pencetak manusia berakhlak mulia dan sebagai tempat pengkaderan pengembangan
masyarakat di berbagai sector. Sudah didirikan, namun tidak dapat dijalankan
dengan baik. Sedangkan dayah di Aceh berjalan sebagaimana yang telah ada
sebelumnya dan masih eksis sampai sekarang dengan memfokuskan diri pada
materi-materi Islam tradisional saja.
Sejak tahun 1980-an, ada beberapa hal yang dilakukan oleh para
intelektual baik yang berasal dari dayah atau sekolah, untuk mengubah sistem dan
kurikulum dayah, untuk menjadikan lembaga ini sesuai dengan kebutuhan dunia
modern. Dengan begitu, dayah-dayah tersebut dijadikan sebagai dayah terpadu
(integrated dayah). Dari segi kurikulum dan sistem mengajar, mereka mengikuti
sistem madrasah. Kurikulum madrasah diajarkan pada pagi hari, sedangkan di sore
hari, ditetapkan kurikulum dan sistem dayah. Para murid diharuskan untuk tinggal
di asrama, sebagaimana yang ditetapkan pada dayah-dayah tradisional.26
Terkait dengan problema pendidikan pesantren dalam interaksinya dengan
perubahan sosial akibat modernisasi atau globalisasi, kalangan internal pesantren
25
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana,2007).hlm.56
26
Ibid,hlm.58.

18
sebenarnya telah melakukan pembenahan. Salah satu bentuknya adalah
pengembangan model pendidikan formal (sekolah), mulai tingkat SD sampai
perguruan tinggi, di lingkungan pesantren dengan menawarkan perpaduan
kurikulum keagamaan dan umum serta perangkat ketrampilan teknologis yang
direncanakan secara sistematik-integralistik. Tawaran berbagai model pendidikan
mulai dari Sekolah Dasar unggulan,Sekolah Lanjutan Menengah Pertama,
Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK).
Situasi yang ada, sangat sesuai dengan ajakan umat Islam dunia saat itu,
mendukung membuat pembaharuan yaitu dengan mengadopsi pemikiran Timur
Tengah. Ada yang mengalami perpecahan dari bentuk aslinya menjadi beberapa
lembaga pendidikan Islam terpadu dan Modern. Dayah-dayah ini resmi membuka
madrasah dan sekolah Islam. Tetapi dayah tradisional (salafiah) mempunyai tempat
tersendiri di masyarakat Aceh. Sehingga dayah di Aceh masih sangat identik
dengan lembaga pendidikan tradisional. Walaupun demikian, dayah memiliki
komitmen yang tinggi dalam memajukan pendidikan Aceh, ini dibuktikan oleh
dayah MUDI Mesra Samalanga. Pada tahun 2004, Dayah ini resmi membuka
Perguruan Tinggi, yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam Aziziyah (STAI). STAIA ini
menerima mahasiswa dari para santri yang telah menamatkan belajar di dayah
tersebut, atau alumni dayah lainnya.
Sekarang ini sudah banyak alumni dayah yang menempuh pendidikan
tingkat perguruan tinggi di IAIN dan STAIN/STAI. Para alumni kebanyakan
bekerja sebagai guru, dosen/pensyarah, pengacara, penghulu dan penyuluh. Pada
tingkat mahasiswa para alumni dayah telah membentuk orgadanisasi alumni dayah,
IMADA (katan Mahasiswa Alumni Dayah). Pada tingkat ulama dibentuk HUDA
(Himpunan Ulama Dayah Aceh). Kedua organisasi ini memiliki peranan yang
sangat penting bagi alumni dayah.
Perubahan-perubahan yang terjadi di dayah disebabkan oleh dua factor
utama, yaitu pertama, tuntutan masyarakat atau dunia kerja, sebagai negara sedang
berkembang tentunya masyarakat Indonesia sedang mengalami perkembangan ke
arah masyarakat modern. Dayah dituntut untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman, dengan tetap mempertahankan ciri khas pendidikan dayah
sendiri. Para alumni dayah diharapkan dapat bekiprah dan bersaing dalam dunia
kerja serta ikut berpartisipasi dalam membangun masyarakat.

19
Kedua, modernisasi dan globalisasi. Arus modernisasi dan globalisasi
sangat mempengaruhi para pimpinan dayah dalam mengorganisasikan dayah.
Keterbukaan dan kebebasan informasi menjadikan para pimpinan dayah lebih
elastis dalam mengelola lembaga pendidikan Islam tersebut. Para pimpinan dayah
biasanya adalah alumni dari beberapa dayah lain di Aceh yang kemudian telah
memiliki kecakapan, telah menamatkan belajar dan juga telah mengabdi sebagai
guru di tempat ia belajar. Oleh karena itu para pimpinan dayah ini mendirikan
dayah sesuai dengan dayah almamaternya. Dalam beberapa dekade terakhir,
dikarenakan banyak para alumni dayah yang melanjutkan pendidikannya di
Perguruan Tinggi di IAIN, STAIN dan STAI, setelah lulus dan menjadi sarjana
mereka mendidrikan dayah yang lebih modern dengan perubahanperuahan yang
telah disebutkan, dan kemudian diikuti sedikit demi sedikit oleh dayah-dayah
lain.27

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian tentang sistem pendidikan surau di atas dapat disimpulkan
bebarapa hal, yaitu, surau merupakan lembaga sosial budaya yang dikenal oleh
masyarakat Minangkabau sebelum datangnya Islam. Para penyebar Islam, khususnya
dari kalangan sufistik, menyebarkan Islam dengan cara fleksibel dengan melakukan
adaptasi terhadap budaya lokal. Maka surau diadaptasi dan diislamisasikan untuk

27
M. Hasbi Amiruddin, Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Aceh Darussalam Abad Ke 16-17
Masehi. (Bandung: Pustaka Hidayah, 2013).hlm. 87

20
dijadikan sebagai lembaga pendidikan Islam, baik dalam mengajarkan al-Qur'an
sebagai pedoman kehidupan umat, mempelajari ilmu-ilmu dasar Islam, termasuk
sebagai lembaga pendidikan tarekat.
Dengan demikian pendidikan dayah merupakan institusi pendidikan tertua di
Aceh dan Nusantara. Ia telah ada sejak Islam masuk kesana dan terus berkembang.
Pada masa kesulatanan, ia mengalami kemajuan pesat, yang dibuktikan dengan
jumlah dayah terus tumbuh, jumlah ulama yang bertambah. Serta mampu melahirkan
karya dalam berbagai bidang pengetahuan. Namun ketika Aceh di jajah Belanda
pendidikan dayah mengalami kemunduran. Hal ini berlangsung dalam waktu yang
lama.
Ada pun pendidikan dayah memiliki karakteristik, penekanan pencarian ilmu
pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah,
memiliki pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang pelajar untuk
berkembang dalam suatu kepribadian, pengetahuan bukan hanya untuk diketahui dan
dikembangkan, melainkan sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fadli, Transformasi Pendidikan Islam Di Minangkabau, Jurnal Sejarah Lontar


Vol. 4 No. 2 Juli-Desember 2007.
Abdul Hadi, Dinamika Sistem Institusi Pendidikan di Aceh,Jurnal Ilmiah PEUREDIUN,
Vol. 2, No. 3, September 2014.
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta : PT.
Raja

21
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikan, Jakarta: Raja
Grafindo, 2012.
Asnil Aidah, Pertumbuhan dan Perkembangan Institusi Pendidikan Awal Indonesia:
Pesantren, Surau, dan Dayah, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.VI, No.1, Januari-
Juni 2017.
Badruzzaman Ismail,dkk, Perkembangan Pendiidkan di Nanggroe Aceh Darussalami,
(Banda Aceh:Majlis Pendidikan Daerah Aceh, 2002.
Elposito, John, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid III, Bandung: Mizan,
2001.
Grafindo, 2004.
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana,2007.
M. Hasbi Amiruddin, Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Aceh Darussalam Abad
Ke 16-17 Masehi. Bandung: Pustaka Hidayah, 2013.
Maimunah, Sistem Pendidikan Surau, Karakteristik, Isi dan Literatur Keagamaan, Jurnal
TA’DIB, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012.
Marhamah: Pendidikan Dayah Dan Perkembangannya Di Aceh , At-Ta’dib: Jurnal
Ilmiah Pendidikan Agama Islam Volume 10, No. 1, Juni 2018.
Mas’ud Zein, Sistem Pendidikan Surau : Karakteristik, Isi, dan Literatur Keagamaan,
Jurnal Sosial Budaya, Vol. 8 No. 01 Januari – Juni 2011.
Mukhlisuddin Ilyas, Pendidikan Dayah di Aceh Mulai Hilang Identitas, Yogyakarta:
2012.
Samsunizar, Sejarah dan pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, Ciputat : Quantum
Teaching, 2005
Tri Qurnati, Budaya Belajar dan Ketrampilan Berbahasa Arab di Dayah Aceh Besar,
Banda Aceh: Ar-Raniry Pres, 2007.

22

Anda mungkin juga menyukai