Anda di halaman 1dari 10

3.

0 Gizi buruk

Gizi buruk merupakan kondisi malnutrisi berat yang didasarkan terhadap plotting status gizi Z-score
<-3 dari BB/TB, Lingkar Lengan Atas (LILA) <115 mm, atau terdapat edema nutrisional. Berdasarkan
Riskesdas 2018, tercatat 3.9% balita Indonesia mengalami buruk. Angka tersebut sudah lebih baik
dibandingkan 2007 (5,4%) dan 2013 (5,7%) namun ditargetkan untuk terus turun.

Kondisi gizi buruk sangat penting untuk dicegah dan ditangani dengan adekuat mengingat dampak
gizi buruk yang dapat menyebabkan konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang. Gizi buruk
mempengaruhi perkembangan otak, pertumbuhan otot dan tulang, komposisi BB dan TB, serta
metabolisme karbohidrat, lemak, protein, gen, hormone, dan reseptor. Dalam jangka panjang, gizi
buruk dapat menyebabkan penurunan kapasitas kognitif dan kemampuan edukasi anak,
menurunkan imunitas dan kapasitas kerja, serta menyebabkan munculnya penyakit seperti diabetes,
obesitas, penyakit kardiovaskular, stroke, hingga kanker.

Klasifikasi gizi buruk didasarkan terhadap ada atau tidaknya komplikasi medis yang menyertai. Pada
gizi buruk dengan komplikasi, terdapat manifestasi klinis seperti hipotermia, gangguan metabolic,
anemia berat, infeksi, hingga hilangnya nafsu makan. Pada gizi buruk tanpa komplikasi, secara klinis
anak terpantau stabil dengan nafsu makan baik, tanpa disertai tanda infeksi atau indikasi rawat inap.
Umumnya, kasus gizi buruk tanpa komplikasi dapat dilakukan rawat jalan sedangkan gizi buruk
dengan komplikasi diindikasikan untuk rawat inap. Kriteria lebih lanjut berdasarkan pada gambar 1.1

Gambar 1.1 Klasifikasi Severe Acute Malnutrition.

Dalam mendiagnosis gizi buruk, pendekatan klinis harus menggali etiologic gizi buruk dan factor
resiko gizi buruk. Selain itu, pendekatan harus secara holistic dan meliputi aspek biopsikososial agar
dapat ditata laksana sesuai dengan kondisi anak. Dalam anamnesis, hal yang perlu ditanyakan
meliputi Riwayat pertumbuhan dan perkembangan, diet umum sebelum sakit, Riwayat nutrisi,
Riwayat kehamilan dan persalinan, Riwayat imunisasi.

Dalam pemeriksaan fisik, status nutrisi termasuk berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, dan LILA
harus diukur dan diplotting. Pada anak <5 tahun, plotting menggunakan growth chart WHO 2006,
sedangkan anak usia 5-18 tahun menggunakan kurva CDC 2002. Pengukuran LILA menjadi pilihan
terbaik dalam menentukan status gizi pada anak-anak dengan kondisi medis yang mempengaruhi
berat badan, contohnya pasien dengan hepatosplenomegaly, asites, edema anasarca, atau tumor.
Selain pengukuran antropometri, pemeriksaan fisik harus mencari kemungkinan etiologic seperti
edema dan pembesaran abdomen pada pasien kwashiorkor, muscle wasting, simian face, dan
tulang iga prominen pada pasien marasmus. Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada gizi buruk
antara lain konjungtiva pucat, rambut tipis, baggy pants, dan global developmental delay. Tanda-
tanda syok dan infeksi juga harus diperiksa karena dapat menjadi tanda kegawatdaruratan pada
pasien dengan gizi buruk.

Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mencari tanda-tanda komplikasi dan penyakit penyerta
pada gizi buruk, namun bukan menjadi dasar diagnosis gizi buruk. Pemeriksaan meliputi kadar gula
darah untuk deteksi hipoglikemia, darah perifer lengkap (DPL), marker inflamasi untuk mencari
tanda infeksi, urinalisis, pemeriksaan feses, dan pemeriksaan yang diindikasikan berdasarkan kondisi
klinis pasien.

Setelah penegakan diagnosis, pasien harus segera ditata laksana menggunakan 10 Langkah
Penanganan Gizi Buruk sesuai Gambar 1.2

Gambar 1.2. Penanganan Gizi Buruk

Fase penanganan meliputi tiga tahap: stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi. Pada fase stabilisasi,
dilakukan penanganan kegawatdaruratan meliputi tata laksana dan pencegahan dari hipoglikemia,
hiptermia, dehidrasi, gangguan elektrolit, dan infeksi. Fase transisi pada hari ke 3-7 adalah fase
transisi kondisi stabilisasi menjadi siap untuk rehabilitasi dengan rawat jalan, pada fase ini harus
tercapai perbaikan klinis berupa tidak ada hipoglikemia, komplikasi medis teratasi, nafsu makan
pulih, dan perbaikan pada edema. Fase rehabilitasi akan menilai dari kemajuan terapi dan perbaikan
pertumbuhan berat badan pasca fase transisi.

1. Penanganan hipoglikemia
Klasifisikasi hipoglikemia adalah kadar gula darah <54 mg/dL atau <3 mmol/L. Hipoglikemia
ditangani dengan pemberian 50 ml larutan glukosa 10% (1 sdt gula pasir dalam 50 ml air)
dan pemberian makan tiap jam menggunakan F-75, dengan pemberian dosis awal setiap 2
jam sekali pada 24 jam pertama. ASI tetap dapat diberikan namun di luar jadwal pemberian
F-75.

2. Penanganan hipotermia
3. Penanganan dehidrasi
4. Perbaikan gangguan elektrolit
5. Pengobatan infeksi
6. Pemberian mikronutrien
7. Pemberian makan
8. Tumbuh kejar
9. Stimulasi sensoris
10. Persiapan tindak lanjut di rumah

Kebutuhan gizi pada pasien dengan gizi buruk dilakukan dengan pemberian F-100 atau Ready to Use
Therapeutic Food (RUTF). Kebutuhan gizi perlu diperhatikan berdasarkan tahapan penanganan gizi
buruk pasien yang tertera pada Tabel 1.1

Tabel 1.1 Kebutuhan gizi berdasarkan Fase Penanganan Gizi Buruk

Selain kekurangan nutrisi makro, pasien gizi buruk juga mengalami defisiensi nutrisi mikro. Oleh
karena itu, perlu diberikan suplementasi yang meliputi pemberian vitamin A dosis tinggi, B12,
multivitamin vit B dan C, asam folat, serta zat besi.

Monitoring Perkembangan Status Gizi

Penilaian kemajuan kondisi gizi buruk pada pasien dilakukan berdasarkan kenaikan berat badan pada
fase rehabilitasi. Pengukuran BB dilakukan setiap hari pada pagi hari sebelum makan. Kenaikan
badan dikatakan baik apabila >10 g/kgBB/hari, sedang apabila 5-10 g/kgBB/hari, dan kurang pada
kenaikan <5 g/kgBB/hari.

Kenaikan berat badan yang kurang mengindikasikan penilaian ulang lengkap, pada kenaikan sedang
harus diperiksa Kembali target asupan dan kemungkinan infeksi.

Kriteria Sembuh
Pasien dinyatakan sembuh apabila memenuhi LILA ≥ 12.5cm (hijau) dan/atau Skor-Z BB/PB (atau
BB/TB) ≥ -2 SD, dan tidak mengalami edema serta baik secara klinis. Pada pasien gizi buruk dengan
edema bilateral, harus memenuhi ketiga kriteria tersebut.

1.
11. Susanto JC, Mexitalia M, Nasar SS. Malnutrisi akut berat dan terapi nutrisi berbasis
komunitas. In: Buku ajar nutrisi dan penyakit metabolik anak. 1 st ed. Jakarta: Penerbit IDAI;
2011. P.128-45
12. Kementrian Kesehatan RI. Hasil utama riskesdas 2018 [internet]. JakartaL Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia; 2018 [cited 2021 Sep 22]. Available from:
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-
2018_1274.pdf
13. Grover Z. Protein energy malnutrition. Pediatrics Clinics of North America. 2009; 56(5):1055-
68

Protein Energy Malnutrition


 October 2009
 Pediatric Clinics of North America 56(5):1055-68
DOI:10.1016/j.pcl.2009.07.001

Buruk

Gizi buruk merupakan kondisi malnutrisi berat yang didasarkan terhadap plotting status gizi
Z-score  <-3 dari BB/TB, Lingkar Lengan Atas (LILA) <115 mm, atau terdapat edema
nutrisional. Berdasarkan Riskesdas 2018, tercatat 3.9% balita Indonesia mengalami buruk.
Angka tersebut sudah lebih baik dibandingkan 2007 (5,4%) dan 2013 (5,7%) namun 
ditargetkan untuk terus turun.

Kondisi gizi buruk sangat penting untuk dicegah dan ditangani dengan adekuat mengingat
dampak gizi buruk yang dapat menyebabkan konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang.
Gizi buruk mempengaruhi perkembangan otak, pertumbuhan otot dan tulang, komposisi BB
dan TB, serta metabolisme karbohidrat, lemak, protein, gen, hormone, dan reseptor. Dalam
jangka panjang, gizi buruk dapat menyebabkan penurunan kapasitas kognitif dan kemampuan
edukasi anak, menurunkan imunitas dan kapasitas kerja, serta menyebabkan munculnya
penyakit seperti diabetes, obesitas, penyakit kardiovaskular, stroke, hingga kanker.

Klasifikasi gizi buruk didasarkan terhadap ada atau tidaknya komplikasi medis yang
menyertai. Pada gizi buruk dengan komplikasi, terdapat manifestasi klinis seperti hipotermia,
gangguan metabolic, anemia berat, infeksi, hingga hilangnya nafsu makan. Pada gizi buruk
tanpa komplikasi, secara klinis anak terpantau stabil dengan nafsu makan baik, tanpa disertai
tanda infeksi atau indikasi rawat inap. Umumnya, kasus gizi buruk tanpa komplikasi dapat
dilakukan rawat jalan sedangkan gizi buruk dengan komplikasi diindikasikan untuk rawat
inap. Kriteria lebih lanjut berdasarkan pada gambar 1.1
Gambar 1.1 Klasifikasi Severe Acute Malnutrition.

Dalam mendiagnosis gizi buruk, pendekatan klinis harus menggali etiologic gizi buruk dan
faktor resiko gizi buruk. Selain itu, pendekatan harus secara holistic dan meliputi aspek
biopsikososial agar dapat ditata laksana sesuai dengan kondisi anak. Dalam anamnesis, hal
yang perlu ditanyakan meliputi Riwayat pertumbuhan dan perkembangan, diet umum
sebelum sakit, Riwayat nutrisi, Riwayat kehamilan dan persalinan, Riwayat imunisasi.

Dalam pemeriksaan fisik, status nutrisi termasuk berat badan, tinggi badan, lingkar kepala,
dan LILA harus diukur dan diplotting. Pada anak <5 tahun, plotting menggunakan growth
chart  WHO 2006, sedangkan anak usia 5-18 tahun menggunakan kurva CDC 2002.
Pengukuran LILA menjadi pilihan terbaik dalam menentukan status gizi pada anak-anak
dengan kondisi medis yang mempengaruhi berat badan, contohnya pasien dengan
hepatosplenomegaly, asites, edema anasarca, atau tumor. Selain pengukuran antropometri,
pemeriksaan fisik harus mencari kemungkinan etiologic seperti edema dan pembesaran
abdomen pada pasien kwashiorkor, muscle wasting,  simian face, dan tulang iga prominen
pada pasien marasmus. Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada gizi buruk antara lain
konjungtiva pucat, rambut tipis, baggy pants, dan global developmental delay. Tanda-tanda
syok dan infeksi juga harus diperiksa karena dapat menjadi tanda kegawatdaruratan pada
pasien dengan gizi buruk.

Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mencari tanda-tanda komplikasi dan penyakit


penyerta pada gizi buruk, namun bukan menjadi dasar diagnosis gizi buruk. Pemeriksaan
meliputi kadar gula darah untuk deteksi hipoglikemia, darah perifer lengkap (DPL), marker
inflamasi untuk mencari tanda infeksi, urinalisis, pemeriksaan feses, dan pemeriksaan yang
diindikasikan berdasarkan kondisi klinis pasien.

Setelah penegakan diagnosis, pasien harus segera ditata laksana menggunakan 10 Langkah
Penanganan Gizi Buruk sesuai Gambar 1.2

Gambar 1.2. Penanganan Gizi Buruk

Fase penanganan meliputi tiga tahap: stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi. Pada fase
stabilisasi, dilakukan penanganan kegawatdaruratan meliputi tata laksana dan pencegahan
dari hipoglikemia, hiptermia, dehidrasi, gangguan elektrolit, dan infeksi. Fase transisi pada
hari ke 3-7 adalah fase transisi kondisi stabilisasi menjadi siap untuk rehabilitasi dengan
rawat jalan, pada fase ini harus tercapai perbaikan klinis berupa tidak ada hipoglikemia,
komplikasi medis teratasi, nafsu makan pulih, dan perbaikan pada edema. Fase rehabilitasi
akan menilai dari kemajuan terapi dan perbaikan pertumbuhan berat badan pasca fase
transisi.

1.  Penanganan hipoglikemia

Klasifisikasi hipoglikemia adalah kadar gula darah <54 mg/dL atau <3 mmol/L.
Hipoglikemia ditangani dengan pemberian 50 ml larutan glukosa 10% (1 sdt gula pasir dalam
50 ml air) dan pemberian makan tiap jam menggunakan F-75, dengan pemberian dosis awal
setiap 2 jam sekali pada 24 jam pertama. ASI tetap dapat diberikan namun di luar jadwal
pemberian F-75.Apabila anak tidak sadar, pemberian glukosa 10% secara IV (5mg/ml)
dilanjutkan dengan 50 ml glukosa 10% melalui pipa NGT, dilanjutkan dengan pemberian F-
75 (sesuai langkah 7).

Apabila kadar glukosa tidak dapat diukur, semua anak dengan malnutrisi berat dianggap
mengalami hipoglikemia sehingga tata laksana harus dilakukan.

2.  Penanganan hipotermia

Hipotermia adalah kondisi penurunan suhu aksila <35°C atau suhu rektal <35,5°C.
Hipotermia dan hipoglikemia seringkali terjadi bersamaan dan menjadi pertanda adanya
infeksi. Monitoring dilakukan setiap 30 menit dengan target suhu >36,5°C. Apabila saat
monitoring suhu rektal menjadi hipotermia kembali, maka perlu dilakukan pengukuran ulang
gula darah. Tata laksana hipotermia meliputi pemberian makanan, menghangatkan anak
(diselimuti, lampu penghangat, skin to skin), pemberian antibiotik spektrum luas.

3.  Penanganan dehidrasi

Dehidrasi sulit diidentifikasi pada pasien gizi buruk karena tanda dan gejala dehidrasi seperti
turgor kulit dan mata cekung dapat dijumpai pada pasien gizi buruk tanpa dehidrasi. Pasien
dengan riwayat muntah dan diare dianggap beresiko mengalami dehidrasi sehingga dilakukan
tindakan pencegahan. Diagnosis definitif dehidrasi melalui pengukuran berat jenis urin
(>1.030) dan gejala khas seperti rasa haus dan mukosa mulut kering. Tata laksana berupa
pemberian larutan ReSoMal (rehydration solution for malnutrition) sebanyak 5 ml/kg tiap 30
menit dalam dua jam pertama, 5-10 ml/kg.jam 4-10 jam berikutnya. Penyesuaian dosis
ReSoMal disesuaikan dengan berapa banyak anak mau minum dan jumlah diare dan muntah.
Pemberian ReSoMal tidak boleh digunakan melalui jalur intravena kecuali pada kasus syok,
agar mencegah beban pada sirkulasi dan jantung. Monitoring denyut jantung, frekuensi
napas, frekuensi miksi, frekuensi muntah diukur setiap 30 menit dalam 2 jam pertama dan
setiap 1 jam pada 6-12 jam. Pencegahan dehidrasi dilakukan dengan pemberian jumlah cairan
hilang pada diare cair dengan ReSoMal.

4.  Perbaikan gangguan elektrolit

Anak dengan gizi buruk mengalami kelebihan natrium sehingga pemberian cairan tinggi Na
tidak boleh dilakukan. Defisiensi kalium dan magnesium pada pasien harus ditangani. Edema
pada pasien dapat disebabkan oleh gangguan elektrolit, sehingga tidak boleh diberikan
diuretik sebagi terapi. Tata laksana gangguan elektrolit meliputi ekstra kalium 3-4
mmol/kg/hari, ekstra magnesium 0,4-9,6 mmol/kg/hari, pemberian ReSoMal, dan makanan
tanpa garam.

5.  Pengobatan infeksi

Pemberian antibiotik spektrum luas diberikan secara rutin pada rawat inap meskipun tanda
infeksi seperti demam seringkali tidak dijumpai. Pada pasien tanpa komplikasi atau infeksi
tidak nyata, antibiotik pilihan adalah kotrimkosasol 5 ml larutan pediatrik peroral 2x/hari
selama 5 hari (dosis anak <6 kg menjadi 2,5 ml). Pada anak dengan klinis sakit dan
komplikasi, antibiotik pilihan adalah ampilisilin 50 mg/kg secara IM/IV per 6 jam untuk 2
hari, dilanjutkan amoksisilin oral 15 mg/kg/8 jam selama 5 hari. Selain itu, ditambahkan
gentamisin 7,5 mg/kg IM/IV 1x1 selama 7 hari. Monitoring berdasarkan perbaikan klinis.

6.  Pemberian mikronutrien

Semua anak dengan malnutrisi berat mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Pemberian
preparat besi harus ditunggu hingga fase rehabilitasi karena dapat merusak membran sel
akibat reaksi oksidatif dari besi bebas. Pemberian suplemen meliputi pemberian vitamin A
dosis tinggi, B12, multivitamin vit B dan C, asam folat, serta zat besi.

7.  Pemberian makan


8.   Mencapai kejar-tumbuh

Pemberian makanan awal diganti ke makanan kejar-tumbuh setelah nafsu makan anak
kembali, umumnya seminggu setelah perawatan. Transisi bertahap dilakukan untuk
mencegah resiko gagal jantung. Perubahan makanan kejar tumbuh meliputi penggantian F-75
menjadi F-100 sejumlah sama selama 48 jam, kemudian dinaikkan bertahap 10-15 ml/kali
hingga mencapai 150 kkal/kgBB/hari. Target energi 100-150 kkal/kgBB/hari, protein 2-3
g/kgBB/hari, pemberian ASI di sela pemberian formula. Monitoring melihat frekuensi napas
dan nadi untuk tanda gagal jantung.

Setelah fase transisi dilewati, fase rehabilitasi dilanjutkan dengan penambahan volume F-100
hingga tidak mampu dihabiskan oleh anaknya, umumnya pemberian 200 ml/kgBB/hari,
pemberian makan setiap 4 jam, dengan energi 150-220 kkal/kgBB/hari, protein 4-6
g/kgBB/hari. MOnitoring kemajuan dengan penimbangan BB setiap pagi.

Kebutuhan gizi pada pasien dengan gizi buruk dilakukan dengan pemberian F-100 atau
Ready to Use Therapeutic Food (RUTF). Kebutuhan gizi perlu diperhatikan berdasarkan
tahapan penanganan gizi buruk pasien yang tertera pada Tabel 1.1

Tabel 1.1 Kebutuhan gizi berdasarkan Fase Penanganan Gizi Buruk

Monitoring Perkembangan Status Gizi

Penilaian kemajuan kondisi gizi buruk pada pasien dilakukan berdasarkan kenaikan berat
badan pada fase rehabilitasi. Pengukuran BB dilakukan setiap hari pada pagi hari sebelum
makan. Kenaikan badan dikatakan baik apabila >10 g/kgBB/hari, sedang apabila 5-10
g/kgBB/hari, dan kurang pada kenaikan <5 g/kgBB/hari.

Kenaikan berat badan yang kurang mengindikasikan penilaian ulang lengkap, pada kenaikan
sedang harus diperiksa Kembali target asupan dan kemungkinan infeksi

9.  Stimulasi fisik, sensorik, dan dukungan emosional


Malnutrisi berat menyebabkan perkembangan mental dan perilaku yang terlambat, sehingga
harus dibantu dengan pemberian perawatan penuh kasih sayang, lingkungan nyaman, terapi
bermain 15-30 menit/hari, dan keterlibatan ibu.

10.   Persiapan tindak lanjut di rumah

Persiapan meliputi edukasi pemberian makanan yang memadai dan terapi bermain terstruktur
kepada orang tua atau pengasuh. Orang tua harus diedukasi pula untuk kontrol rutin,
pemberian imunisasi booster, dan vitamin A tiap 6 bulan.

Kriteria Sembuh

Pasien dinyatakan sembuh apabila memenuhi LILA ≥ 12.5cm (hijau) dan/atau Skor-Z BB/PB
(atau BB/TB) ≥ -2 SD, dan tidak mengalami edema serta baik secara klinis. Pada pasien gizi
buruk dengan edema bilateral, harus memenuhi ketiga kriteria tersebut.1234

5 pilar nutrisi

Asuhan nutrisi pediatrik meliputi 5 langkah, yaitu:

1. Nutritional assessment

2. Nutritional requirements
3. Route of delivery
4. Regimen diet
5. Monitoring

Anda mungkin juga menyukai