Anda di halaman 1dari 3

NAMA : DWI NOVIANTI

NIM : 18040564029

1. a. Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan seakan-akan tak ada hentinya, baik
itu dilakukan oleh guru terhadap murid, murid terhadap guru ataupun murid terhadap
murid. Kekerasan sendiri ada dua bentuk yakni kekerasan simbol dan kekerasan fisik.
Kekerasan simbol diperoleh melalui simbol atau perlakuan yang tidak enak dalam
proses pendidikan seperti murid yang tidak menghargai dan mendengarkan proses
transformasi pendidikan yang sedang dilakukan oleh atau pun sebaliknya guru yang
ketika memberikan penugasan tidak setara antara yang diberikan untuk laki-laki dan
perempuan. Sedangkan kekerasan fisik merupakan kekerasan yang langsung
mengarah pada tubuh korban seperti pemukulan atau yang lainnya sehingga terdapat
luka pada fisik mereka. Penyebab masih sering terjadinya kekerasan anak didalam
pendidikan karena kekerasan tersebut sering kali dianggap hal yang wajar oleh guru
maupun muridnya, kurangnya rasa memiliki pada masalah antar pemangku negeri,
rasa hormat pada antar murid, guru dan orang tua sudah venderung hilang, kemudian
dalam menghadapi kekerasan yang ada seringkali guru dan wali siswa tidak berani
melaporkan kekerasan yang sedang terjadi disekolah karena mereka khawatir akan
menjadi pihak yang disalahkan. Selain itu penerapan perangkat hukum seperti
undang-undang tentang perlindungan anak masih terbentur oleh beragam kendala
seperti kurangnya komitmen pemerintah dearah serta kurangnya pengetahuan
masyarakat mengenai peraturan perundang-undangan yang ada sehingga hal ini
menyebabkan anak-anak di Indonesia mesih kurang terlindungi dan memicu berbagai
kekerasan pada anak khususnya dalam dunia pendidikan.
b. Solusi untuk meminimalisir terjadinya kekerasan pendidikan ini peran antara pihak
sekolah, pemerintah daerah, orang tua serta kementerian pendidikan sangat
diperlukan. Untuk pihak sekolah, guru diharapkan memiliki peran penting dalam
menghadapi kasus kekerasan yang terjadi disekolah, mereka harus berani untuk
memberi hukuman pada siswa yang melakukan timdak kekerasan, karena bila
kekerasan atau bullying tidak diberi sanksi atau hukuman akan memicu murid yang
lain meniru perlakuan temannya tersebut. Kemudian guru atau kepala sekolah juga
wajib melaporkan kejadian kekersan kepada orang tua wali siswa. Sekolah wajib
memasang papan informasi mengenai tindak kekerasan yang memuat informasi serta
pelaporan untuk permintaan bantuan, kemudian menyusun prosedur operasi standar
yang berisi langkah-langkah wajib warga sekolah untuk mencegah tindak kekerasan,
yang selanjutnya guru, siswa dan orang tua membentuk tim pencegahan tindak
kekerasan. Bekerjasama dengan pakar pendidikan, lembaga psikologi dan organisasi
keamanan untuk kegiatan yang bersifat edukatif.
Kemudian untuk pihak pemerintah daerah diharapkan untuk memebentuk gugus
pencegahan tindak kekerasan secara permanen yang terdiri dari tenaga pendidikan
atau guru, perwakilan komite sekkolah, organisasi profesi psikolog, perangkat daerah
pemda setempat dan tokoh masyarakat atau agama yang kemudian mengalokasikan
anggaran untuk pelaksanaan tugas gugus pencegahan. Bekerjasama dengan aparat
keagamaan dalam melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan, setiap enam bulan
sekali dilakukan pemantauan dan mengumumkan secara terbuka hasil pemantauan
tersebut terhadap upaya sekolah dalam mencegah dan menanggulangi tindak
kekerasan.
Selanjutnya untuk kementerian pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia atau
kemendikbud ialah membuat kanal informasi serta pengaduan melalui
sekolahaman.kemendikbud.go.id yang berisi informasi terkait dengan tindak
kekerasan yang ada disekolah dan juga layanan pengaduan, menetapkan panduan
untuk gugus tugas pencegahan, panduan penyusunan prosedur operasi standar untuk
sekoalh dan memastikan sekolah dan pemerintah daerah telah melakukan upaya
pencegahan tersebut.

2. Pierre Bourdieu memberi penjelasan mengenai dinamika yang ada di sekolah yang di
produksi oleh sebuah kurikulum. Kurikulum dalam ranah ppendidikan menjadi sangat
penting unttik keberadaan sekolah tersebut. Kemudian di dalamnya terjadi pertarungan
kekuasaan agen-agen. Selanjutnya Bourdieu menyimpulkan bahwa kurikulum
merupakan ranah untuk memperoleh kekuasaan. Dengan ini perubahan kurikulum yang
terjadi di Indonesia dilakukan karena terdapat susatu kepentingan yaitu untuk
memproduksi agen-agen yanng diinginkan oleh pemerintah negara.

Michael Apple menggambarkan mengenai kekuasaan serta ketidak adilan yang tercermin
di dalam sebuah kurikulum. Kurikulum merupakan sebuah arena pertarungan ideologi
dalam konteks pendidikan. Sekolah memiliki peran untuk mengontrol perilaku individu
dan mengontrol makna dari produksi pengetahuan yang terdapat di dalam kurikulum.
Peran tersebut dilakukan oleh kelompok dan ideologi dominan di sekolah. Proses
reproduksi tersebut akan memunculkan legistimasi budaya, ekonomi dan politik pada
pengetahuan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Bentuk dari salah satu
legistimasi budaya pengetahuan dalam masyarakat adalah munculnya praktik rasisme
pada sekolah. Bentuk rasisme yang di jumpai di sekolah ialah dengan menindas
kelompok minoritas dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Praktik tersebut
tertuanmg dalam kurikulum formal sekolah. Kemudian Apple mengemukakkan bahwa
sekolah tidak menunjukkan kekuasasan yang progresif tapi malah menggunakan sistem
ekonomi dan sistem budaya. Dengan ini ideologi pihak dominan benar-benar
dipertahankan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kurikulum nukanlah pemberian sebuah
garis yang tidak perlu di kritisi melainkan dapat konsekuensi kekuasaan yang ada di
dalamnnya. Sehingga pendidikan merupakan sarana pelanggeng status bagi kelas
dominan.

3. a. Pendidikan insklusif berfokus pada kelebihan yang dibawah anak ke sekolah dari
pada kekurangan yang terlihat pada diri mereka. penyelenggaraan pendidikan inklusif
didasarkan pada kemungkinan untuk semua anak belajar bersama tanpa memandang
adanya perbedaan dalam diri mereka. Dalam praktiknya, penyelenggaraan pendidikan
insklusif sebagai suatu marginalisasi. Terkait hal tersebut dapat di lihat bahwa dalam
kehidupan masyarakat, anak penyandang difabel dianggap rendah karena keterbatasan
yang di milikinya. Keterbatasan tersebut menjadikan anak difabel atau berkebutuhan
khusus dianggap sulit untuk menyesuaikan aktivitas belajarnya dibanding dengan anak
nondifabel atau normal. Dengan ini dalam melakukan kegiatan di sekolah anak mendapat
perlakuan yang berbeda dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.

b. Melihat tujuan penyelenggaraan pendidikan insklusif adalah untuk memungkinkan


anak belajar bersama tanpa memandang adanya suatu perbedaan. Penyelenggaraan
pendidikan insklusif sebagai humanisasi ini didasarkan atas rasa kemanusiaan.
Penyelenggaraan ini dibuat untuk meminimalisir adanya diskriminasi antara anak normal
terhadap penyandang difabel. Setiap manusia berhak untuk mendapatkan pendidikan
yang layak termasuk anak difabel. Sehinggga kesadaran akan hal tersebut dapat
menjadikan anak difabel dan anak normal memiliki kesamaan dalam proses
mendapatkan pendidiikan yang layak. Dengan ini kesetaraan dalam pendidikan dapat
tercapai.

Anda mungkin juga menyukai