Pelindung Diri (APD) Pada Petugas Laundry Dalam Melakukan Proses Pengelolaan
Linen
The Relationship between Knowledge Levels and Attitudes Against the Behavior of Using Personal Protective
Equipment (PPE) on Laundry Officers in Performing the Linen Management Process at PHC Hospital Surabaya
Penulis :
Sutrisno Sudirjo*, Siti Nurjanah**
Institusi Penulis:
Rumah Sakit PHC Surabaya
Fakultas Keperawatan dan Kebidanan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya
Email Korespondensi : sutrisnosudirjo002.ns19@student.unusa.ac.id
ABSTRAK
Salah satu tempat kerja di rumah sakit yang berpotensi memiliki risiko bahaya
tinggi yaitu pekerja pada Instalasi Laundry. Tingginya angka kejadian sakit akibat
kecelakaan kerja pada petugas laundry dalam pengelolaan linen dikarenakan tidak
menggunakan APD yang baik dan benar. Berdasarkan hasil observasi bulan september
tahun 2020 di RS PHC SURABAYA terdapat 70% dari 17 pekerja yang ada di
instalasi laundry tidak patuh dalam menggunakan APD sewaktu melakukan proses
pengetahuan dan sikap terhadap perilaku penggunaan alat pelindung diri (APD) pada
petugas laundry dalam melakukan proses pengelolaan linen di Rumah Sakit PHC
Surabaya.
total sampling dan sampel yaitu 17 orang dengan variable tingkat pengetahuan, sikap, dan
perilaku penggunaan alat pelindung diri (APD). Analisis data menggunakan uji Chi
perilaku positif dalam penggunaan APD. Terdapat hubungan yang signifikan antara
pengetahuan dan perilaku penggunaan alat pelindung diri (APD) (ρ=0.000), dan terdapat
hubungan yang signifkan antara sikap dan perilaku penggunaan alat pelindung diri (APD)
(ρ=0.005).
Simpulan penelitian ini adalah adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dan
sikap terhadap perilaku penggunaan alat pelindung diri (APD) pada petugas laundry
pelatihan setiap 6 bulan sekali dalam menggunakan APD khusus pengelolaan linen.
One of the workplaces in the hospital that has the potential to have a high risk of
danger, namely workers at the Laundry Installation. The high incidence of illness due to
work accidents in laundry officers in linen management is due to not using proper and
correct PPE. Based on the results of observations in September 2020 at the PHC
SURABAYA Hospital, 70% of the 17 workers in the laundry installation did not comply
with using PPE when carrying out the linen management process. The purpose of this
study was to determine the relationship between the level of knowledge and attitudes
towards the behavior of using personal protective equipment (PPE) on laundry officers in
carrying out the linen management process at PHC Hospital Surabaya.
The research method used cross sectional, the sampling technique used total
sampling and a sample of 17 people with variable levels of knowledge, attitudes, and
behavior of using personal protective equipment (PPE). Data analysis used the Chi
Square test with a significance degree of α <0.05.
The results of the study were 14 respondents (82.3%) had a good level of
knowledge, 15 respondents (88.2%) had a positive attitude, 16 respondents (94.1%) had
positive behavior in using PPE. There is a significant relationship between knowledge
and behavior of using personal protective equipment (PPE) (ρ = 0.000), and there is a
significant relationship between attitudes and behavior of using personal protective
equipment (PPE) (ρ = 0.005).
The conclusion of this study is that there is a relationship between the level of
knowledge and attitudes towards the behavior of using personal protective equipment
(PPE) on laundry officers in carrying out the linen management process at PHC Hospital
Surabaya. This study recommends health and educational institutions to routinely
conduct training every 6 months in using PPE specifically for linen management.
Keywords: Knowledge Level, Attitude, PPE Use Behavior, Linen Management, Laundry
in PHC Hospital surabaya.
i
iii
Pendahuluan Dr. Soedarso Pontianak sudah melaksanakan
komunikasi terapeutik dan kepuasan klien tentang
Kualitas rumah sakit sebagai institusi yang pelayanan keperawatan adalah puas, ada hubungan
menghasilkan produk teknologi jasa kesehatan sudah yang bermakna antara pelaksanaan komunikasi
tentu tergantung juga pada kualitas pelayanan medis terapeutik dengan tingkat kepuasan klien tentang
dan pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pelayanan keperawatan. Hasil wawancara dilakukan
pasien sehingga tumbuhnya persaingan antar rumah pada 10 orang pasien di RS Islam A. Yani Surabaya,
sakit yang semakin ketat dan tajam, maka setiap 3 orang pasien mengatakan puas, 7 pasien
rumah sakit dituntut untuk mempertinggi daya saing mengatakan kurang puas dengan komunikasi
dengan berusaha memberikan kepuasan kepada terapeutik perawat. Pasien mengatakan mereka
pasiennya (Lestari, 2017). Pasien akan selalu merasa lebih dekat pada perawat-perawat yang
mencari pelayanan kesehatan yang sesuai dengan menggunakan komunikasi dengan baik dan bersikap
harapannya namun jika tidak sesuai harapan pasien ramah. Ada beberapa pasien yang kurang puas
akan mencari fasilitas layanan kesehatan yang lebih dengan pelayanan karena perawat tidak
baik atau tidak mengecewakan. Sejak memperkenalkan diri terlebih dahulu.
diberlakukannya ruang rawat inap dewasa di gedung Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
lama Rumah Sakit Islam Surabaya sebagai ruang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
isolasi yang diperuntukkan bagi pasien Covid-19, kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien
pelayanan keperawatan pada pasien Covid-19 di (Mundakir, 2016). Perawat penting menggunakan
ruang isolasi ditemukan keluhan dari pasien dan komunikasi terapeutik berguna dalam pelaksanaan
keluarga, terutama mengenai penjelasan perawat keperawatan, sehingga dapat mengetahui apa yang
yang membingungkan, bila pasien memanggil, sedang dirasakan dan yang dibutuhkan oleh pasien.
perawat tidak langsung datang, dan perawat hanya Dan dengan komunikasi terapeutik yang ditunjukkan
berbicara sepatah dua kata, sehingga menimbulkan dengan sikap yang hangat, tulus, dan penuh
kekecewaan dan ketidakpuasan. Berdasar hasil perhatian dapat menimbulkan saling percaya, saling
rekapitulasi Humas RSI Surabaya, (2020) angka menghargai dan saling menghormati sehingga pasien
kepuasan pasien di Ruang Isolasi pada bulan dapat menerima tingkat mutu pelayanan kesehatan
September 77, 63 %, Oktober 75, 85 %, November dengan penuh pengertian dan kekecewaan pasien
82, 45 %. Hal ini masih dibawah angka standart tidak timbul atau dapat dihindarkan. Komunikasi
yang ditargetkan oleh rumah sakit yakni minimal 85 yang buruk adalah salah satu yang mendorong
%. banyaknya keluhan tentang asuhan professional.
Menurut Kemenkes RI (2017), masih ditemukan Perawat harus belajar untuk berkomunikasi secara
adanya keluhan tentang ketidakpuasan pasien lebih efektif dengan cara meningkatkan sikap yang
terhadap komunikasi perawat. Rata-rata hasil data baik, senyum yang ramah, empati yang tinggi dan
yang didapatkan dari beberapa Rumah sakit di penuh perhatian. Komunikasi merupakan proses
Indonesia menunjukan 67% pasien yang mengeluh pertukaran informasi atau proses yang menimbulkan
adanya ketidakpuasan dalam penerimaan pelayanan dan meneruskan makna atau arti (Taylor, 2013).
kesehatan. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan Namun sebaliknya pasienjarang untuk mencoba
peneliti pada bulan Agustus 2018 di RSI Sultan mempertimbangkan apakah pelayanan yang
Agung Semarang, melalui wawancara dan kuesioner diberikanitu merupakan upaya yang efektif dan
pada pasien rawat inap ruang Baitussalam 1, efisien dilihat dari segi waktu, tenagadan sumber
Baitussalam 2, Baitul Izzah 1, Baitul Izzah 2 di RSI daya yang digunakan (Mundakir, 2016).
Sultan Agung Semarang adalah pasien rawat inap Solusi untuk mengatasi ketidakpuasan pasien
mengeluhkan ada yang belum puas terhadap Covid-19 yang berada di ruang isolasi dan keluarga
pelayanan yang ada di RSI Sultan Agung Semarang, pasien yaitu perawat harus mampu memberikan
sebanyak 3 dari 20 (15%) pasien mengatakan edukasi secara efektif dengan komunikasi
bangunan RS terlihat indah dan bersih, sebanyak 5 teraupeutik selain itu di setiap kamar isolasi harus
dari 20 (25%) pasien mengatakan perawat tersedia cctv guna mengontrol kondisi pasien serta
memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan lebih mudah dalam berkomunikasi dalam
memahami kebutuhan pasien, sebanyak 7 dari 20 memberikan edukasi terhadap pasien yang dapat
(35%) pasien mengatakan puas terhadap komunikasi mempengaruhi tingkat kepuasan pasien dalam
terapeutik perawat, sebanyak 3 dari 20 (15%) pasien pelayanan yang di berikan.
mengatakan kurang puas dengan komunikasi
terapeutik perawat, sebanyak 2 dari 20 (10%) pasien Metode
mengatakan tidak puas dengan komunikasi
terapeutik perawat. Hasil penelitian (Darmawan, penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik
2009) menyatakan bahwa sebagian besar perawat di korelasi yang bertujuan untuk menganalisis antar
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah variabel yaitu ‘’Hubungan Komunikasi Terapeutik
Perawat Dengan Kepuasan Pasien Covid -19 Di
Ruang Isolasi Rumah Sakit Islam Surabaya’’. Jenis Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 44 responden
penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan didapatkan hamper setengah (45,45%)
pendekatan cross sectional, yaitu variabel berpendidikan Perguruan tinggi (PT).
independen dan variabel dependen yang menjadi
objek penelitian, diukur atau dikumpulkan secara d. Karakteristik Responden Berdasarkan
simultan atau dalam waktu yang bersamaan. Besar Pekerjaan
sampel dalam penelitian ini sebanyak 50 pasien
dengan teknik teknik sampling non probability Tabel 4. Distribusi frekuensi responden berdasarkan
sampling dengan proportionate stratified pekerjaan
Pekerjaan Frekuensi Persentase (%)
random sampling. Alat ukur menggunakan
Tidak Bekerja 4 09,10
kuesioner.
Swasta 36 81,80
PNS 4 09,10
Hasil Penelitian
Jumlah 44 100,00
Data Umum Sumber: Data Primer 2021