Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN CRANIOTOMY

DI RUANG INSTALANSI BEDAH SENTRAL


RSUD ULIN BANJARMASIN

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Medikal Bedah


Program Profesi Ners

Disusun Oleh:
Eka Puspita
NIM: 11194692110098

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL KASUS : Craniotomy


NAMA MAHASISWA : Eka Puspita
NIM : 11194692110098

Banjarmasin, Oktober 2021

Menyetujui,
RSUD Ulin Banjarmasin Program Studi Profesi Ners
Preseptor Klinik (PK) Preseptor Akademik (PA)

Mahjudi, S.Kep., Ns M. Riduansyah, Ns., M.Kep


NIP.196707281988021001 NIDN.1121048702
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


1. Cranium
Tengkorak terdiri atas delapan tulang kalvaria dan empat
belas tulang wajah. Pada tengkorak juga terdapat tiga tulang kecil
di rongga telinga medial kanan dan kiri serta tulang hioid yang
menopang dasar lidah. Tulang kepala membentuk rangka otak
yang membungkus dan melindungi otak, mata dan telinga. Tulang
cranium di antaranya adalah:
a. Tulang Oksipital
Terletak dibelakang dan dibawah rongga cranium. Tulang ini
ditembusi foramen magnum atau tulang kepala belakang, yang
dilalui medulla oblongata untuk bertemu dengan medulla
spinalis. Foramen magnum berupa massa tulang yang
membentuk kondil-kondil (kondilus) tengkorak, yang dijadikan
permukaan persendian untuk atlas (tulang penjunjung).
b. Tulang Parietal
Membentuk bersama atap dan sisi tengkorak. Permukaan
luarnya halus, tetapi permukaan dalam ditandai kerutan-kerutan
dalam yang memuat arteri-arteri kranium.
c. Tulang frontal
Membentuk dahi dan bagian atas rongga mata. Tepi
supraorbital ditandai dengan takik ditengah sebelah dalam.
Melalui takik ini pembuluh supraorbital dan saraf supraorbital
lewat. Permukaan sebelah dalam tulang frontal ditandai dengan
lekukan-lekukan yang ditimbulkan lekukan-lekukan permukaan
otak.
d. Dua tulang temporal
Membentuk bagian sisi kanan dan kiri tengkorak. Setiap
tulang terdiri atas dua bagian yaitu skuama dan mastoid.
Bagian petrosum tulang temporal terjepit dalam dasar tengkorak
dan memuat alat-alat pendengaran.
e. Edmoid
adalah tulang yang ringan seperti spons, berbentuk kubus,
terletak pada atap hidung dan terjepit diantara dua mata.
Edmoid terdiri dari dua massa lateral atau labirin yang terdiri
atas rongga edmoid atau sinus. Sinus-sinus ini tertutup kecuali
ditempat-tempat perhubungan rongga hidug. Edmoid juga
memuat sebuah lempeng tegak lurus dan lempeng kribriformis
(bentuk tapis). Melalui lempeng ini berjalan serabut-serabut
saraf penghidu kebagian atas hidung.
2. Otak
Otak adalah organ pusat yang sangat penting atau organ vital
bagi manusia yang merupakan pusat berpikir, bergerak, mengatur
keseimbangan dan lain – lain, karena otak merupakan pusat dari tubuh
(Wróbel, 2018) . Otak juga merupakan bagian depan dari susunan
saraf yang mengalami perubahan dan pembesaran. Jaringan otak
dibungkus oleh selaput otak dan tulang tengkorak yang sangat kuat
(Srinayanti et al, 2021).

Didalam otak terdapat suatu cairan otak atau cairan


cerebrospinal atau CSS (Cerebri Spinal fluid), dimana cairan tersebut
menunjang otak yang lembek halus dan bekerja sebagai penyerap
goncangan akibat pukulan dari luar. Secara garis besar, otak dibagi
dua, yaitu otak besar (Cerebrum) dan otak kecil (Cerebellum) (Wróbel,
2018).

a. Otak Besar (Cerebrum)

Otak Besar atau cerebrum merupakan bagian yang paling


berkembang pada manusia dan memiliki fungsi luhur yang paling
utama, yang meliputi 80% be rat total otak. Otak besar terdiri atas
dua hemisfer kanan dan hemisfer kiri. Setiap hemisfer terdiri dari
dua lapisan luar yang tipis yaitu substansia grisera (gray meter)
atau korteks cerebrum setebal kurang lebih 2 cm menutupi bagian
tengah yang lebih tebal yaitu substansia alba (white matter) berisi
“network” serabut – serabut saraf yang memungkinkan antar
bagian otak saling berkomunikasi dan jaringan penyangga saraf
yang berfungsi memberi bentuk otak. Otak besar berfungsi sebagai
pusat intelektual, pusat bicara, emosi, integrasi sensorik dan
motorik, kontrol gerak dan lain – lain. Korteks cerebrum berperan
penting dalam sebagaian besar fungsi tercanggih saraf, misalnya
inisiasi volunter gerakan, persepsi sensorok akhir, berfikir sadar,
bahasa, sifat kepribadian dan faktor – faktor lain yang kita
hubungkan dengan intelektual atau pikiran. Berdasarkan lobus,
maka cerebrum terdiri atas empat lobus, antara lain lobus
Parietalis, frontalis, temporalis, dan oksipital (Wróbel, 2018).

b. Otak Kecil (Cerebellum)


Melekat pada bagian atas – belakang dari batang otak, yang
berkenaan dengan pemeliharaan posisi tubuh dalam ruang yang
sesuai dengan kondisi bawah-sadar aktivitas motorik (gerakan).
Cerebellum (otak kecil) merupakan bagian otak terbesar kedua
yang bertanggung jawab dalam mengatur keseimbangan,
koordinasi dan kontrol motorik. Cerebellum mengontrol gerakan –
gerakan cepat berulang untuk aktivitas – aktivitas misalnya
mengetik, bermain piano dan mengendarai sepeda (Wróbel, 2018).
Secara anatomis, hemisfer dan vermis cerebellum dibagi atas
beberapa kelompok dan diklasifikasikan menjadi 3 sub divisi,
yaitu : Arkhi cerebellum, Paleocerebellum dan Neocerebellum
(Patel et al., 2020).

c. Batang Otak (Brainstem)


Batang otak (Brainstem) berada pada daerah paling tua dan
paling kecil diotak dan merupakan jalur terakhir dari otak yang
menghubungkannya dengan medulla spinalis. Batang otak ini
bertanggung jawab pada berbagai fungsi otonom seperti kontrol
pernapasan, denyut jantung, tekanan darah, bangun, rangsangan
dan perhatian. Batang otak dibagi menjadi 4: Mesencephalon, Pons
Vorali, Medulla Oblongata, Diensephalon (Wróbel, 2018).

d. Peredaran Darah Otak


Daerah yang membawa zat asam, makanan dan substansia
lainnya yang diperlukan oleh jaringan hidup. Kebutuhan dasar
dijaringan otak sangat mendesak dan vital, sehingga aliran darah
yang konstan harus terus dipertahankan. Dalam keadaan apapun
otak orang dewasa membutuhkan 500 – 600 ml oksigen dan 75 –
100 mg glucose tiap menit. Untuk mencukupi kebutuhan otak ini,
kitra – kira 1000 ml darah yang mengandung oksigen dan glukose
bersikulasi melalui jaringan otak tiap menit. Aliran darah normal
adalah 45 – 50 ml/100 gram/menit. Otak mendapat suplay darah
dari: arteri carotis interna dan arteri vertebralis (Abessa et al.,
2016).

e. Sel Otak Manusia


Otak manusia mengandung bermilyar – milyar sel otak (sel
neuron) yang tumbuh terus menerus sampai usia 2 tahun. Setelah
usia tersebut jumlah sel neuron menetap. Namun bukan berarti
pertumbuhan sel berhenti, tetapi diganti oleh perkembangan “nerve
cell connections”.Sel otak terdiri dari badan sel dan cabang –
cabangnya (dendrit sebagai penerima impuls dan neurit sebagai
penyalur impils dari badan sel). Dendrit – dendrit ini saling
berhubungan satu dengan yang lain yang disebut sinaps. Dengan
adanya sinaps ini seluruh sel neuron dapat saling berkomunikasi.
Komunikasi antar sel terjadi lewat mekanisme pelepasan zat
penghubung yang disebut neurotransmitter (Wróbel, 2018).

f. Plastisitas Otak
Otak bukan organ yag statis, tetapi dinamis yang senantiasa
tumbuh dan berkembang membentuk nerve cell connections
( jaringan antar sel ) yang baru. Pertumbuhan jaringan antar sel ini
dipengaruhi oleh rangsangan atau stimulasi dari dunia luar
(environment) Otak beradaptasi terhadap stimulasi lingkungan
untuk menimbulkan “dendritic sprouting”. Makin banyak dan sering
anak diberikan stimulasi lingkungan, makin banyak terjadi
pertumbuhan jaringan antar sel (dendritic sprouting). Atau dengan
kata lain “makin cerdas” anak itu (Wróbel, 2018).

B. Pengertian
Kraniotomi (craniotomy) berasal dari kata cranium yang artinya
tulang kepala / tengkorak, dan -tomia yang artinya memotong.
Kraniotomi adalah suatu prosedur pembedahan yang dilakukan
dengan membuka sebagian tulang kepala, untuk mendapatkan akses
ke rongga kepala. Kraniotomi dilakukan oleh seorang dokter spesialis
bedah saraf, sebagai prosedur penanganan penyakit atau gangguan
yang berada di dalam kepala / otak (RSUD Tugurejo, 2019).
Kraniotomi adalah sebuah prosedur operasi umum divisi bedah
saraf yang melibatkan pembuatan lubang yang cukup pada tempurung
kepala atau tengkorak (cranium) untuk akses optimal ke intrakranial.
Kraniotomi dinamakan sesuai dengan area tempurung kepala
(cranium) yang dibuka, dapat dilakukan secara intratentorial maupun
supratentorial, atau kombinasi dari keduanya. Tindakan ini dilakukan
sebagai terapi pada tumor otak, hematoma, aneurisma, maupun
infeksi otak. Ukuran lebar kraniotomi bervariasi dari beberapa
milimeter (burr holes) sampai beberapa sentimeter (keyhole),
bergantung pada masalah dan terapi yang dibutuhkan. Kraniotomi
dilakukan menggunakan pisau khusus, bagian cranium yang telah
dipotong (bone flap) dibuka agar pelindung otak (dura) terlihat, dura
kemudian juga dibuka untuk mengekspos bagian otak. Di akhir
prosedur, bone flap diletakkan kembali dan ‘direkatkan’ pada cranium
menggunakan alat khusus (Pratama., dkk. 2020).
Gambar 2. Kraniotomi
C. Etiologi

Kraniotomi dapat dilakukan apabila mengalami beberapa


kondisi berikut ini (Alodokter, 2018):
1. Cedera kepala
Cedera kepala berat, tergolong kondisi mengancam nyawa
yang harus segera ditangani di rumah sakit. Dokter akan
memeriksa gejala yang timbul untuk menentukan tingkat
keparahan. Kondisi ini dapat diiringi dengan cedera pada jaringan
otak, atau perdarahan di otak, sehingga membutuhkan kraniotomi.
2. Perdarahan otak
Pada kondisi perdarahan otak, kraniotomi dapat dilakukan untuk
mengatasi perdarahan dan mengangkat gumpalan darah.
3. Stroke
Pada penyakit stroke dengan perdarahan di dalam rongga
kepala, operasi kraniotomi bisa dilakukan untuk menghentikan dan
menangani perdarahan.
4. Aneurisma otak
Proses kraniotomi pada aneurisma otak, dapat membantu
mencegah pecahnya pembuluh darah di otak, dan sebagai
penanganan bila sudah terjadi perdarahan akibat pecahnya
aneurisma.
5. Tumor otak
Pada tumor otak, operasi ini dibutuhkan sebagai langkah untuk
mengangkat tumor yang menyebabkan gangguan fungsi otak.
6. Abses otak
Kraniotomi dibutuhkan pada abses otak, ketika cara pengobatan
lain telah dilakukan namun tidak memberikan hasil yang baik, untuk
membantu mengeluarkan nanah dari abses atau sumber infeksi.
7. Hidrosefalus
Hidrosefalus terjadi karena adanya penumpukan cairan di
rongga (ventrikel) dalam otak. Kelebihan cairan ini meningkatkan
ukuran ventrikel dan memberi tekanan pada otak. Kraniotomi
dilakukan untuk membantu mengurangi tekanan tersebut.
8. Parkinson
Pada penyakit Parkinson, kraniotomi diperlukan untuk
menanamkan alat perangsang demi membantu perbaikan gerakan
tubuh penderita Parkinson.
9. Epilepsi
Lebih dari 50 persen epilepsi belum diketahui penyebabnya,
sedangkan sisanya disebabkan oleh penyakit yang menyebabkan
gangguan pada otak dan memerlukan operasi kraniotomi.

D. Klasifikasi
Klasifikasi kraniotomi antara lain (Setiawan, 2018):
1. Kraniektomi Dekompresi, yaitu operasi mengangkat sebagian
tulang kepala.
2. Kranioplasti, yaitu operasi untuk memperbaiki defek pada tulang
kranium dengan menginduksi jaringan granulasi seperti bone graft,
xenograft dan sebagainya. Kranioplasti dilakukan pada pasien yang
telah dilakukan kraniektomi.
3. Bedah kraniofasial adalah bedah plastik yang berfokus pada tulang
kepala dan tulang wajah. Bedah ini biasanya dilakukan untuk
memperbaiki cacat bawaan.
E. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala dari post op Kraniotomi adalah (A'la., dkk. 2019):

1. Muntah dan terjadi peningkatan tanda-tanda vital jika setelah


pembedahan terjadi peningkatan TIK
2. Mengalami nyeri kepala hebat bahkan bisa terjadi penurunan
kesadaran
3. Bisa menimbulkan gejala deserebrasi dan gangguan pada tanda
vital dan pernafasan jika hematomanya semakin meluas
F. Patofisiologi
G. Komplikasi
Menurut Smeltzer dan Bare, 2002 dalam (Dewi, D. P. 2019),
komplikasi dari kraniotomi antara lain:
1. Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
2. Infeksi
3. Defisit neurologik merupakan komplikasi bedah intrakranial
4. Peningkatan tekanan intrakranial terjadi karena akibat dari edema
serebral
5. Faktor risiko terjadinya infeksi karena insisi terbuka
6. Defisit neurologik post kraniotomi dapat diakibatkan oleh
pembedahan.

H. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pada kraniotomi antara lain (Lalenoh., dkk.
2012):
1. Anastesi
2. Terapi Steroid untuk pengurangan edema disekitar otak
3. Obat opioid untuk penghilang rasa sakit
4. Terapi cairan
5. Oksigen
6. Obat diuretik digunakan untuk membuang kelebihan garam dan air
dari dalam tubuh melalui urine.

I. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat keperawatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang: biasanya pasien dengan post
op craniotomy mengalami penurunan kesadaran atau masih
d bawah pengaruh obat (GCS <15), lemah, terdapat luka di
daerah kepala, terdapat secret pada saluran pernafasan
kadang juga kejang.
2) Riwayat kesehatan dahulu harus diketahui baik
berhubungan dengan sistem persarafan maupun riwayat
penyakit sistemik lainnya. Biasanya pasien mempunyai
riwayat penyakit seperti kepala terbentur atau jatuh, riwayat
hipertensi, riwayat stroke.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga: pasien dengan post op
craniotomy mempunyai riwayat keturunan seperti penyakit
hipertensi dan stroke.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala, pasien dengan post op craniotomy tampak luka
bekas operasi pada kepala klien dan terpasang drain, tidak
terdapat pembengkakan pada kepala
2) Mata, pasien dengan post op craniotomy akan terjadi
pengeluaran darah yang berlebih jadi conjuntiva pucat,
ukuran pupil (2 mm). Reaksi terhadap cahaya ada, tidak ada
edema pada palpebra, palpebra tertutup, sklera tidak ikterik.
3) Hidung, pasien akan terpasang NGT untuk pemenuhan
nutrisi, hidung bersih, tidak ada perdahan pada hidung.
Tidak ada pembengkakan pada daerah hidung
4) Mulut, Mukosa bibir tampak kering, pasien akan terpasang
ETT dan OPA, mulut. Tidak ada pembengkakan di sekitar
mulut
5) Leher Pasien dengan post op craniotomy tidak mengalami
kelainan pada leher.
6) Dada, I : Dada tampak simetris, gerkan sama kiri dan kanan,
tidak ada tampak luka atau lesi, tampak terpasang elektroda
kardiogram. P : Tidak ada pembengkakan P : Sonor
diseluruh lapang paru Auskultasi : Suara nafas ronchi karena
penumpukan secret pada jalan nafas, irama tidak teratur
7) Kardiovaskuler, I : Arteri carotis normal , tidak terdapat
ditensi vena jungularis, ictus cordis tidak terlihat P : Ictus
cordis teraba di SIC V 2 cm medial lateral mid clavicula
sinistra P : Letak jantung normal yaitu batas atas jantung :
ICS II parasternal sinistra, batas kanan jantung: linea
parasternal dextra, batas kiri jantung : midclavicula sinistra A
: tidak mengalami kelainan pada suara jantung: S1 dan S2
normal reguler, tidak ada suara jantung tambahan seperti
gallop kecuali pasien mengalami riwayat penyakit jantung.
8) Abdomen Inspeksi : Perut datar, tidak ada lesi pada
abdomen Auskultasi: Bising usus normal 12 x/I Palpasi:
Tidak ada pembengkakan pada abdomen Perkusi : Timpani
9) Genitalia: terdapat penggunaan kateter karena telah
dilakukan operasi dan klien harus bedrest total.
10)Ekstremitas: Tidak terdapat edema pada ekstremitas. Klien
bedrest total. Akral dingin.
11)Kulit: Kulit kering, temperatur dingin, tidak terdapat cyanosis.

2. Diagnosa Keperawatan
a) Diagnosa 1
D.0077. Nyeri Akut
Definisi:
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat
yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
Batasan karakteristik:

Gejala dan tanda mayor


Subjektif: Objektif:
 Mengeluh nyeri*  Tampak meringis
 Bersikap protektif (mis.
Waspada, posisi
menghindari nyeri
 Gelisah
 Frekuensi nadi meningkat
 Sulit tidur
Gejala dan tanda mayor
Subjektif: Objektif:
(tidak tersedia)  Tekanan darah meningkat
 Pola nafas berubah
 Nafsu makan berubah
 Proses berpikir terganggu
 Menarik diri
 Berfokus pada diri sendiri
 Diaphoresis

Faktor yang berhubungan:


7. Agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia,
neoplasma)
8. Agen pencedera kimiawi (mis. Terbakar, bahan kimia iritan)
9. Agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi, terbakar,
terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma,
latihan fisik berlebihan)

b. Diagnosa 2
D. 0142. Resiko Infeksi
Definisi:
Berisiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik

Batasan karakteristik:

Faktor Risiko
1. Penyakit Kronis
2. Efek prosedur Infasif
3. Malnutrisi
4. Peningkatan paparan organisme patogen
lingkungn
5. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh perifer :
a. Gangguan peristltik
b. Kerusakan integritas kulit
c. Perubahan sekresi PH
d. Penurunan kerja siliaris
e. Ketuban pecah lama
f. Ketuban pecah sebelum waktunya
g. Merokok
h. Statis cairan tubuh
6. Ketidakadekuatan pertahan tubuh sekunder
a. Penuruna Hemoglobin
b. Imunosupresi
c. Leukopenia
d. Supresi Respon Inflamasi
e. Vaksinasi tidak adekuat
3. Perencanaan

NO Diagnosa Tujuan Intervensi keperawatan


. Keperawata keperawatan (SIKI)
n (SLKI)
(SDKI)
1. Nyeri Akut Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri (I.08238)
(L.08066) Observasi
Setelah - Lokasi, karakteristik, durasi,
dilakukan frekuensi, kualitas, intensitas
tindakan nyeri
keperawatan - Identifikasi skala nyeri
diharapkan nyeri - Identifikasi respon nyeri non
akut menurun verbal
dengan kriteria - Identifikasi faktor yang
hasil: memperberat dan
 Keluhan nyeri memperingan nyeri
skala 5 - Identifikasi pengetahuan dan
(menurun) keyakinan tentang nyeri
 Meringis - Identifikasi pengaruh budaya
skala 5 terhadap respon nyeri
(menurun) - Identifikasi pengaruh nyeri
 Sikap pada kualitas hidup
protektif skala - Monitor keberhasilan terapi
5 (menurun) komplementer yang sudah
 Gelisah skala diberikan
5 (menurun) - Monitor efek samping
 Kesulitan penggunaan analgetik
tidur skala 5
(menurun) Terapeutik
- Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur,
terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
- Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri

Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan
nyeri
- Anjurkan memonitor nyri
secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2. Risiko Tingkat Infeksi Pencegahan Infeksi (I.14539)
Insfeksi (l. 14137) Observasi
Setelah - Identifikasi riwayat kesehatan
dilakukan dan riwayat alergi
tindakan - Identifikasi kontraindikasi
keperawatan pemberian imunisasi
diharapkan - Identifikasi status imunisasi
resiko insfeksi setiap kunjungan ke
tidak terjadi pelayanan kesehatan
dengan kriteria
hasil: Terapeutik
 Demam skala - Berikan suntikan pada pada
5 (menurun) bayi dibagian paha
 Nyeri skala 5 anterolateral
(menurun) - Dokumentasikan informasi
 Bengkak vaksinasi
skala 5 - Jadwalkan imunisasi pada
(menurun) interval waktu yang tepat
 Kadar sel
darah putih Edukasi
skala 5 - Jelaskan tujuan, manfaat,
(menbaik) resiko yang terjadi, jadwal dan
 Kedalaman efek samping
napas skala 5 - Informasikan imunisasi yang
(membaik) diwajibkan pemerintah
- Informasikan imunisasi yang
melindungiterhadap penyakit
namun saat ini tidak
diwajibkan pemerintah
- Informasikan vaksinasi untuk
kejadian khusus
- Informasikan penundaan
pemberian imunisasi tidak
berarti mengulang jadwal
imunisasi kembali
- Informasikan penyedia
layanan pekan imunisasi
nasional yang menyediakan
vaksin gratis
DAFTAR PUSTAKA

Abessa, T. G., Worku, B. N., Kibebew, M. W., Valy, J., Lemmens, J., Thijs,
H., … Granitzer, M. (2016). Adaptation and standardization of a
Western tool for assessing child development in non-Western low-
income context. BMC Public Health, 1–13. doi.org/10.1186/s12889-
016-3288-2

A'la, M. Z., Dewi, D. P., & Siswoyo, S. (2019). Analisis Masalah


Keperawatan pada Pasien Post Kraniotomi di RSD Dr. Soebandi
Jember (Studi Retrospektif Januari 2016–Desember 2017). Jurnal
Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), 677-683.
doi.org/10.35842/jkry.v6i3.371

Alodokter. (2018). Menjelaskan Seputar Prosedur Kraniotomi. Diakses


dari https://www.alodokter.com/menjelaskan-seputar-prosedur-
kraniotomi. (5 Oktober 2021)

Dewi, D. P. (2019). Gambaran Masalah Keperawatan Pada Pasien Post


Kraniotomi Di Rsd Dr. Soebandi Kabupaten Jember (Studi
Retrospektif Januari 2016-Desember 2017). (Doctoral Dissertation).
Jember: Fakultas Keperawatan Universitas Jember.

Lalenoh, D. C., Lalenoh, H. J., & Rehatta, N. M. (2012). Anestesia Untuk


Kraniotomi Tumor Supratentorial. Jurnal Neuroanestesia Indonesia,
1(1).

Pearce, E. C. (2016). Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Patel, D. R., Neelakantan, M., Pandher, K., & Merrick, J. (2020). Cerebral
palsy in children: A clinical overview. Translational Pediatrics, 9(1),
S125–S135. doi.org/10.21037/tp.2020.01.01

PPNI (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan


indicator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi Dan
Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesiaa: Definisi Dan


Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Setiawan, H. (2018). Hubungan Waktu Kranioplasti dengan Komplikasi


Pasca Kraniektomi Dekompresi pada Pasien Trauma Kepala di
RSUP. H. Adam Malik Medan. (tesis). Medan: Universitas Sumatera
Utara

Srinayanti, Y., Widianti, W., Andriani, D., & Firdaus, F. A. (2021).


International Journal of Nursing and Health Services ( IJNHS ) Range
of Motion Exercise to Improve Muscle Strength among Stroke
Patients : A Literature Review. 3(2), 332–343.

RSUD Tugurejo. (2019). Apa itu Kraniotomi ???. diakses dari


https://rstugurejo.jatengprov.go.id/berita-terkini/apa-itu-kraniotomi/ (5
Oktober 2021)

Wróbel, G. (2018). The structure of the brain and human behaviour.


Pedagogy and Psychology of Sport, 4(1), 37.
https://doi.org/10.12775/pps.2018.004

Anda mungkin juga menyukai