Anda di halaman 1dari 21

BAB l

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan
sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (<
100 hari).
Penyebab anemia pada thalasemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah
kekurangan sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif yang disertai dengan
penghancuran sel- sel eritrosit intermedular. Sedangkan sekunder merupakan
penyakit karena adanya defisiensi asam float, bertambahnya volume plasma
intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh system
retikuloendotial dalam limpa dan hati.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Konsep Keperawatan Thalasemia Pada Anak?
1.3 Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
Setelah mengikuti proses pembelajaran system imun dan hematologi
diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan penyebab timbulnya penyakit
talasemia serta usaha pencegahan dan pengobatan
2. Tujuan khusus
a. Mampu menjelaskan tentang konsep dasar penyakit
b. Mampu mengkaji tanda dan gejala penyakit talasemia
c. Mampu menentukan masalah yang paling sering dialami
d. Mampu menentukan perencanaan tindakan
1.4 Manfaat penulisan
1. Bagi perawat
Agar dapat melakukan Asuhan Keperawatan, perawat mampu memberikan
asuhan keperawatan kepada klien secara baik dan benar.
2. Bagi pembaca
Agar pembaca dapat mengetahui tanda dan gejala penyakit talasemia, sehingga
mereka lebih menjaga kesehatan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Thalasemia


Thalassemia adalah suatu penyakit congenital herediter yang diturunkan
secara autosom berdasarkan kelainan hemoglobin, di mana satu atau lebih rantai
polipeptida hemoglobin kurang atau tidak terbentuk sehingga mengakibatkan
terjadinya anemia hemolitik (Broyles, 1997). Dengan kata lain, thalassemia
merupakan penyakit anemia hemolitik, dimana terjadi kerusakan sel darah di dalam
pembuluh darah sehingga umur eritosit menjadi pendek (kurang dari 120 hari).
Penyebab kerusakan tersebut adalah Hb yang tidak normal sebagai akibat dari
gangguan dalam pembentukan jumlah rantai globin atau struktur Hb.
Secara normal, Hb A dibentuk oleh rantai polipeptida yang terdiri dari 2 rantai
beta. Pada beta thalassemia, pembuatan rantai beta sangat terhambat. Kurangnya
rantai beta berakibat pada meningkatnya rantai alpha. Rantai alpha ini mengalami
denaturasi dan presitipasi dalm sel sehingga menimbulkan kerusakan pada membran
sel, yaitu membrane sel menjadi lebih permeable. Sebagai akibatnya, sel darah mudah
pecah sehingga terjadi anemia hemolitik. Kelebihan rantai alpha akan mengurangi
stabilitas ggugusan hem yang akan mengoksidasi hemoglobin dan membrane sel,
sehingga menimbulkan hemolisa. dibawah ini beberapa pengertian Thalasemia:
1. Thalasemia merupakan suatu sindrom yang ditemukan pada ras mediterania,
India, dan Cina. Suatu kelompok penyakit anemia kronis yang heterogen, dimana
sebagaian besar adalah anemia hemolitik, tetapi defeknya yang terutama adalah
karena menurunnya produksi rantai polipeptida Hb.
2. Thalasemia syndrome adalah sekelompok penyakit atau keadaan dimana produksi
satu atau lebih jenis rantai polipeptida terganggu (Kosasih, 2001).
3. Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan
secara resesif menurut hukum Mendel pada tahun 1925, diagnosa penyakit ini
pertama kali ini diumumkan oleh Thomas Cooleg yang didapat dari keluarga
keturunan Italia yang bermukim di USA. Kata “thalasemia” berasal dari bahasa
Yunani yang berarti “laut”.
4. Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari
kedua orang tua kepada anak-anaknya secara resesif. Menurut Hukum Mande.

2
5. Thalasemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter dimana produksi
satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu.
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh defesiensi
) pada haemoglobin. (Suryadi, 2001) atau (produksi rantai.
6. Thalasemia merupakan penyakit anemia hemofilia dimana terjadi kerusakan sel
darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit pendek (kurang
dari 100 hari). (Ngastiyah, 1997).
Jadi Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitik dimana terjadi
kerusakan sel darah merah (eritrosit) sehingga umur eritrosit pendek (kurang dari
100 hari), yang disebabkan  danoleh defesiensi produksi satu atau lebih dari satu
jenis rantai  , yang diturunkan dari kedua orang tua kepada anak-anaknya secara 
resesif.

2.2 Etiologi Thalasemia


Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik, dimana terjadi kerusakan
pada sel darah merah di dalam pembuluh darah sehinga umur eritrosit pendek (kurang
dari 120 hari). Kerusakan tersebut disebabkan oleh HB yang tidak normal sebagai
akibat dari gangguan dalam pembentukan rantai globin atau struktur HB. (Asuhan
Keperawatan Bayi dan Anak). Defek genetik yang mendasari Thalasemia meliputi
delesi total atau parsial gen rantai globin dan substitusi, delesi atau insersi nukleotida
akibat dari perubahan ini adalah penurunan atau tidak adanya m-RNA bagi satu atau
lebih ranti globin atau pembentuka m-RNA yang cacat secara fungsional akibatnya
adalah penurunan atau supresi total sintesis rantai polipeptida HB (Ilmu Kesehatan
Anak).
Ketidakseimbangan dalam rantai globin alfa dan beta, yang diperlukan dalam
pembentukan HB disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan secara resesif
dari kedua orang tua. Thalasemia termasuk dalam anemia hemolitik, dimana umur
eritrosit menjadi lebih pendek. Umur eritrosit ada yang 6 minggu atau 8 minggu.
Bahkan dalam kasus berat umureritrosit ada yang hanya mampu bertahan selama 3
minggu saja. Jadi thalasemia letak rantai polipeptida berbeda urutannya atau ditukar
dengan jenis asam amino lain.
Faktor genetik yaitu perkawinan antara 2 heterozigot (carier) yang
menghasilkan keturunan Thalasemia (homozigot).

3
1. Sel darah merah
Sel darah merah (eritrosit) membawa hemoglobin ke dalam sirkulasi. Sel ini
berbentuk lempengan bikonkaf dan dibentuk di sum-sum tulang. Leukosit berada
di dalam sirkulasi selama kurang lebih 120 hari. Hitung rata-rata normal sel darah
merah adalah 5,4 juta /ml pada pria dan 4,8 juta/ml pada wanita. Setiap sel darah
merah manusia memiliki diameter m.m dan tebal 2 sekitar 7,5. Pembentukan
sel darah merah (eritro poresis) mengalami kendali umpan balik.
Pembentukan ini dihambat oleh meningkatnya kadar sel darah merah dalam
sirkulasi yang berada di atas nilai normal dan dirangsang oleh keadaan anemia.
Pembentukan sel darah merah juga dirangsang oleh hipoksia.
2. Haemoglobin
Haemoglobin adalah pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel
darah merah, suatu protein yang mempunyai berat molekul 64.450.
Sintesis haemoglobin dimulai dalam pro eritroblas dan kemudian dilanjutkan
sedikit dalam stadium retikulosit, karena ketika retikulosit meninggalkan sumsum
tulang dan masuk ke dalam aliran darah, maka retikulosit tetap membentuk sedikit
mungkin haemoglobin selama beberapa hari berikutnya.
Tahap dasar kimiawi pembentukan haemoglobin. Pertama, suksinil KoA,
yang dibentuk dalam siklus krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk
molekul pirol. Kemudian, empat pirol bergabung untuk membentuk protopor firin
IX yang kemudian bergabung dengan besi untuk membentuk molekul heme.
Akhirnya, setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida panjang yang
disebut globin, yang disintetis oleh ribosom, membentuk suatu sub unit
hemoglobulin yang disebut rantai hemoglobin.Terdapat beberapa variasi kecil
pada rantai sub unit hemoglobin yang berbeda, bergantung pada susunan asam
amino di bagian polipeptida.
Tipe-tipe rantai itu disebut rantai alfa, rantai beta, rantai gamma, dan rantai
delta. Bentuk hemoglobin yang paling umum pada orang dewasam, yaitu
hemoglobin A, merupakan kombinasi dari dua rantai alfa dan dua rantai beta.
a. 2 Suksinil-KoA + 2 glisin protoporfirin Ixo 4 pirol
 Hemeo protoporfirin IX + Fe++ ) atau  Rantai hemoglobin (o Heme
+ Polipeptida hemoglobin A  + 2 rantai o 2 rantai

4
3. Katabolisme hemoglobin
Hemoglobin yang dilepaskan dari sel sewaktu sel darah merah pecah, akan
segera difagosit oleh sel-sel makrofag di hampir seluruh tubuh, terutama di hati
(sel-sel kupffer), limpa dan sumsum tulang. Selama beberapa jam atau beberapa
hari sesudahnya, makrofag akan melepaskan besi yang didapat dari hemoglobin,
yang masuk kembali ke dalam darah dan diangkut oleh transferin menuju sumsum
tulang untuk membentu sel darah merah baru, atau menuju hati dari jaringan lain
untuk disimpan dalam bentuk faritin. Bagian porfirin dari molekul hemoglobin
diubah oleh sel-sel makrofag menjadi bilirubin yang disekresikan hati ke dalam
empedu. (Guyton & Hall, 1997).

2.3 Patofisiologi Thalasemia


Pernikahan penderita thalasemia carier menyebabkan penurunan penyakit
thalasemia secara resesif, berupa gangguan sintesis rantai globin α dan β (kromosom
11 dan 16) yang dapat mengakibatkan :
1. Pembentukan rantai α dan β di eritrosit tidak seimbang.
2. Rantai β kurang dibanding rantai α.
3. Rantai β tidak terbentuk sama sekali
4. Rantai β yang terbentuk tidak cukup.
Keempat akibat tersebut dapat menyebabkan terjadinya thalasemia β.
Gangguan pada sintesis rantai globin α dan β juga dapat mengakibatkan rantai α yang
terbentuk sedikit dibanding rantai β sehingga terjadilah thalasemia α. Thalasemia α
dan β dapat mengakibatkan :
1. Pembentukan rantai α dan β
2. Pembentukan rantai α dan β kurang
3. Penimbunan dan pengendapan rantai α dan β yang berlebihan
Ketiga akibat tersebut dapat menyebabkan tidak terbentuknya HBA (2α dan
2β) sehingga terjadi akumulasi endapan rantai globin yang berlebihan (inclussion
bodies) yang dapat mengakibatkan rantai globin menempel pada dinding eritrosit
sehingga dindung eritrosit mudah rusak. Dinding eritrosit yang rusak tersebut
mengakibatkan terjadinya hemolisis, sehingga eritrosit tidak efektif dan penghancuran
prekursom eritrosit di intra medular (sumsum tulang). Selain itu juga terjadi
kurangnya sintesis HB sehingga eritrosit hipokrom dan mikro siher, maka terjadilah
hemolisis eritrosit yang imatur dan terjadilah falasemia.

5
Thalasemia dapat menyebabkan penurunan suplai darah ke jaringan sehingga
suplai O2 dan nutrisi ke jaringan menurun, mengakibatkan menurunnya metabolisme
dalam sel. Dan terjadilah perubahan pembentukan ATP, sehingga energi yang
dihasilkan menurun dan terjadilah kelemahan fisik, sehingga pasien mengalami defisit
perawatan diri dan intoleransi aktivitas.
Selain menyebabkan penurunan suplai O2 dan nutrisi, penurunan suplai darah
ke jaringan juga membuat tubuh merespin dengan pembentukan eritroporetin yang
dapat merangsang eritroporesis, sehingga eritrosit imatur dan mudah lisis, maka
terjadilah penurunan HB, maka memerlukan transfusi.
Transfusi jangka panjang dapat mengakibatkan penumpukan Fe di organ
(hemokromotosis), penumpukan Fe terjadi di limpa dan hati. Di limpa penumpukan
Fe ini dapat mengakibatkan spleno megali maka harus dilakukan splenoktomi
sehingga beresiko terjadi infeksi. Di hati penumpukan Fe mengakibatkan
hepatomegali / sirohepatis yang menyebabkan anoreksia sehingga pasien mengalami
gangguan pemenuan nutrisi kurang dari kebutuhan.
Selain akibat tersebut penumpukan Fe juga dapat mengakibatkan perubahan
sirkulasi sehingga kulit rusak dan mengalami resiko kerusakan intregritas kulit.
Thalasemia juga dapat mengakibatkan menurunnya pengikatan O2 oleh
eritrosit sehingga aliran darah ke organ vital dan seluruh jaringan menurun, sehingga
O2 dan nutrisi tidak ditransport secara adekuat yang mengakibatkan perfusi jaringan
terganggu maka terjadilah perubahan perfusi jaringan.

2.4 Manifestasi Klinis Thalasemia


Semua jenis talasemia memiliki gejala yang mirip tetapi beratnya bervariasi.
Sebagaian besar mengalami gangguan anemia ringan.
1. Thalasemia minor (talasemia heterogen) umumnya hanya memiliki gejala berupa
anemia ringan sampai sedang dan mungkin bersifat asimtomatik dan sering tidak
terdeteksi.
2. Thalasemia mayor, umumnya menampakkan manifestasi klinis pada usia 6 bulan,
setelah efek Hb 7 menghilang.
a. Tanda awal adalah awitan mendadak, anemia, demam yang tidak dapat
dijelaskan, cara makan yang buruk, peningkatan BB dan pembesaran limpa.
b. Tanda lanjut adalah hipoksia kronis; kerusakan hati, limpa, jantung, pankreas,
kelenjar limphe akibat hemokromotosis, ikterus ringan atau warna kulit

6
mengkilap, kranial tebal dengan pipi menonjol dan hidung datar; retardasi
pertumbuhan; dan keterlambatan perkembangan seksual.
3. Komplikasi jangka panjang sebagai akibat dari hemokromatosis dengan kerusakan
sel resultan yang mengakibatkan :
a. Splenomegall
b. Komplikasi skeletal, seperti menebalan tulang kranial, pembesaran kepala,
tulang wajah menonjol, maloklusi gigi, dan rentan terhadap fraktur spontan.
c. Komplikasi jantung, seperti aritmaia, perikarditis, CHF dan fibrosis serat otot
jantung.
d. Penyakit kandung empedu, termasuk batu empedu.
e. Pembesaran hepar dan berlanjut menjadi sirosis hepatis.
f. Perubahan kulit, seperti ikrerus dan pragmentasi coklat akibat defisit zat besi.
g. Retardasi pertumbuhan dan komplikasi endokrin.

2.5 Tanda Dan Gejala Thalasemia


Gejala lain pada penderita Thalasemia adalah jantung mudah berdebar-debar. Hal
ini karena oksigen yagn dibawah tersebut kurang, maka jantung juga akan beusaha
bekerja lebih keras sehingga jantung penderita akan mudah berdebar-debar, lama-
kelamaan jantung akan bekerja lebih keras sehingga lebih cepat lelah. Sehingga terjadi
lemah jantung, limfa penderita bisa menjadi besar karena penghancuran darah terjadi di
sana, selain itu sumsum tulang juga bekerja lebih keras karena berusaha
mengkompensasi kekurangan Hb, sehingga tulang menjadi tipis dan rapuh sehingga
mudah rapuh. Jika ini terjadi pada muka (tulang hidung maka wajah akan berubah
bentuk, batang hidung akan hilang/ melesak ke dalam (fasise cookey) ini merupakan
salah satu tanda khas penderita thalasemia.
Secara klinis Thalasemia dapat dibagi dalam beberapa tingkatan sesuai beratnya
gejala klinis :
1. mayor, intermedia dan minor atau troit (pembawa sifat). Batas diantara tingkatan
tersebut sering tidak jelas. Anemia berat menjadi nyata pada umur 3 – 6 bulan
setelah lahir dan tidak dapat hidup tanpa ditransfusi.
2. Pembesaran hati dan limpa terjadi karena penghancuran sel darah merah berlebihan,
haemopoesis ekstra modular dan kelebihan beban besi. Limpa yang membesar
meningkatkan kebutuhan darah dengan menambah penghancuran sel darah merah
dan pemusatan (pooling) dan dengan menyebabkan pertambahan volume plasma.

7
3. Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa deformitas dan
fraktur spontan, terutama kasus yang tidak atau kurang mendapat transfusi darah.
Deformitas tulang, disamping mengakibatkan muka mongoloid, dapat
menyebabkan pertumbuhan berlebihan tulang prontal dan zigomatin serta maksila.
Pertumbuhan gigi biasanya buruk.
4. Gejala lain yang tampak ialah anak lemah, pucat, perkembanga fisik tidak sesuai
umur, berat badan kurang, perut membuncit. Jika pasien tidak sering mendapat
transfusi darah kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat penimbunan besi
dalam jaringan kulit.
5. Keadaan klinisnya lebih baik dan gejala lebih ringan dari pada Thalasemia mayor,
anemia sedang (hemoglobin 7 – 10,0 g/dl) Gejala deformitas tulang, hepatomegali
dan splenomegali, eritropoesis ekstra medular dan gambaran kelebihan beban besi
nampak pada masa dewasa.
6. Umumnya tidak dijumpai gejala klinis yang khas, ditandai oleh anemia mikrositin,
bentuk heterozigot tetapi tanpa anemia atau anemia ringan.
a. Thalasemia mayor (Thalasemia homozigot)
b. Thalasemia intermedia
c. Thalasemia minor atau troit ( pembawa sifat)
7. Pada hapusan darah topi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik, anisositosis,
polklilositosis dan adanya sel target (fragmentasi dan banyak sel normoblas).
8. Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi (IBC)
menjadi rendah dan dapat mencapai nol
Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tingginya HbF lebih dari 30%, kadang
ditemukan juga hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45% pasien Thalasemia
juga mempunyai HbE maupun HbS.
9. Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan SGPT dapat meningkat karena
kerusakan parankim hati oleh hemosiderosis.
10. Penyelidikan sintesis alfa/beta terhadap refikulosit sirkulasi memperlihatkan
peningkatan nyata ratio alfa/beta yakni berkurangnya atau tidak adanya sintetis rantai
beta.

8
2.6 Komplikasi Thalasemia
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi
darah yang berulang-ulang dari proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam
darah tinggi, sehingga tertimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa,
kulit, jantung dan lain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat
tersebut (hemokromotosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma yang
ringan, kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.
Infeksi sering terjadi dan dapat berlangsung fatal pada masa anak-anak. Pada
orang dewasa menurunnya faal paru dan ginjal dapat berlangsung progresif
kolelikiasis sering dijumpai, komplikasi lain :
1. Infark tulang
2. Nekrosis
3. Aseptic kapur femoralis
4. Asteomilitis (terutama salmonella)
5. Hematuria sering berulang-ulang

2.7 Pemeriksaan Diagnostik Dan Laboraturium Thalasemia


1. HPl akan menyatakan mikrositosis, hipokromia, amsositosis, polikhositosis, sel
target, dan bercak basofil, nilai HB dan hematokrit menurun.
2. Hitung retikulosif akan menurun
3. Elektroforesis Hb akan menyatakan peningkatan nilai HB F dan HBA.
4. CVS atau analisa darah atau sel janin akan menyaring thalasemia saat pranatal
a. Thalasemia Mayor
Darah tepi didapatkan gambaran hipokrom mikrosifik, anisositosis,
polikilo sitosis dan adanya sel target, jumlah retikulosit meningkat serta
adanya sel seri eritrosit, muda (normoblast) HB rendah, resistensi osmotik
patologis, nilai MC, MCV, MCFI, dan MCHC menurun, jumlah leukosit
normal/menignkat, kadar Fe dalam serum meningkat, bilirubin, SGOT dan
SGPT meningkat karena kerusakan parenkim hati oleh hemolisis.
b. Thalasemia Minor
Kadar HB bifarrasi. Gambaran darah tepi dapat menyerupai thalasemia
mayor / hanya sekedar nilai MC dan MCH biasanya menurun, sedangkan
MCHC biasanya normal, resistensi osmotik meningkat.

9
c. Pemeriksaan lebih maju adalah analisa DNA,
DNA drobing, geneblotting, dan pemeriksaan PCR (Poly merase
Chain Reaction).
d. Gambaran radiologis,
Tulang akan memperlihatkan medulanya. Tipsi dan trabekula kasar.
Tulang tengkorak memperlihatkan diploe dan pada anak usia bermain kadang-
kadang terlihat bruch apperance (menyerupai rambut berdiri potongan
pendek). Fraktur kompresi vertebra dapat terjadi. Tulang iga melebar,
terutama pada bagian artikulasi dengan prosesis transversus.
Pemeriksaan Diagnostik yang lain:
 Darah tepi : kadar Hb rendah, retikulosit tinggi, jumlah trombosit dalam
batas normal
 Hapusan darah tepi : hipokrom mikrositer,anisofolkilositosis,
polikromasia sel target, normoblas.pregmentosit
 Fungsi sum sum tulang : hyperplasia normoblastik
 Kadar besi serum meningkat
 Bilirubin indirect meningkat
 Kadar Hb Fe meningkat pada thalassemia mayor
 Kadar Hb A2 meningkat pada thalassemia minor.
 Gambaran radiologis tulang akan memperlihatkan medula yang labor,
korteks tipis dan trabekula kasar.
 Tulang tengkorak memperlihatkan “hair-on-end” yang disebabkan
perluasan sumsum tulang ke dalam tulang korteks.
 Transfusi darah berupa sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb 11 g/dl.
Jumlah SDM yang diberikan sebaiknya 10 – 20 ml/kg BB.
 Asam folat teratur (misalnya 5 mg perhari), jika diit buruk
 Pemberian cheleting agents (desferal) secara teratur membentuk
mengurangi hemosiderosis. Obat diberikan secara intravena atau subkutan,
dengan bantuan pompa kecil, 2 g dengan setiap unit darah transfusi.
 Vitamin C, 200 mg setiap, meningkatan ekskresi besi dihasilkan oleh
Desferioksamin.
 Splenektomi mungkin dibutuhkan untuk menurunkan kebutuhan darah. Ini
ditunda sampai pasien berumur di atas 6 tahun karena resiko infeksi.

10
 Terapi endokrin diberikan baik sebagai pengganti ataupun untuk
merangsang hipofise jika pubertas terlambat.
 Pada sedikit kasus transplantsi sumsum tulang telah dilaksanakan pada
umur 1 atau 2 tahun dari saudara kandung dengan HlA cocok (HlA –
Matched Sibling). Pada saat ini keberhasilan hanya mencapai 30% kasus.
(Soeparman, dkk 1996 dan Hoffbrand, 1996)

2.8 Penatalaksanaan Thalasemia


1. Penatalaksanaan Medis
a. Terapi diberikan secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10
gr/dl. Rugimen hipertransfusi ini mempunyai keuntungan klinis yang nyata,
memugkinkan aktivitas normal yang nyaman, mencegah auto imunisasi dan
mencegah ekspansi sumsum tulang dan masalah kosmetik progresif yang
terkait dengan perubahan tulang-tulan muka, dan meminimalkan dilatasi
jantung dan esteoporosis. Transfusi dengan dosis 15-20 ml/kg sel darah mrah
terpampat (PRC) biasanya diperlukan setiap 4-5 minggu.
b. Uji silang harus dikerjakan untuk mencegah auto imonusasi dan mencegah
reaksi transfusi.
c. Meminimalkan reaksi demam akibat transfusi dengan menggunakan eritrosit
yang direkonstruksi dari darah beku atau penggunaan filter leukosit, dengan
pembeian antipiretik sebelum transfusi.
d. Menurunkan atau mencegah hemosiderosis dengan pemberian parenteral obat
penghelasi besi (iro chelating drugs), de feroksamin diberikan subkutan dalam
jangka 8-12 jam dengan menggunakan pompa portabel kecil (selamat tidur),
5-6 malam/minggu.
e. Splenoktomi akhirnya diperlukan karena ukuran organ tersebut atau akrena
hipersplenisme sekunder.
f. Cangkok sumsum tulang (cst) adalah kuratif pada penderita inr dan telah
terbukti keberhasilan yang meningkat.
2. Penatalaksanaan Perawatan
a. Perawatan umum : makanan dengan gizi seimbang
b. Perawatan khusus :

11
 Transpusi darah diberikan bila kadar Hb rendah sekali (kurang dari 6 gr%)
atau anak terlihat lemah dan tidak ada nafsu makan.
 Splenektomi. Dilakukan pada anak yang berumur lebih dari 2 tahun dan
bila limpa terlalu besar sehingga risiko terjadinya trauma yang berakibat
perdarahan cukup besar.
 Pemberian Roborantia, hindari preparat yang mengandung zat besi.
 Pemberian Desferioxamin untuk menghambat proses hemosiderosis yaitu
membantu ekskresi Fe. Untuk mengurangi absorbsi Fe melalui usus
dianjurkan minum teh.
 Transplantasi sumsum tulang (bone marrow) untuk anak yang sudah
berumur diatas 16 tahun. Di Indonesia, hal ini masih sulit dilaksanakan
karena biayanya sangat mahal dan sarananya belum memadai.
3. Penatalaksanaan Pengobatan
a. Penderita thalassemia akan mengalami anemia sehingga selalu membutuhkan
transfusi darah seumur hidupnya. Jika tidak, maka akan terjadi kompensasi
tubuh untuk membentuk sel darah merah. Organ tubuh bekerja lebih keras
sehingga terjadilah pembesaran jantung, pembesaran limpa, pembesaran hati,
penipisian tulang-tulang panjang, yang akirnya dapat mengakibakan gagal
jantung, perut membuncit, dan bentuk tulang wajah berubah dan sering
disertai patah tulang disertai trauma ringan.
b. Akibat transfusi yang berulang mengakibatkan penumpukan besi pada organ-
organ tubuh. Yang terlihat dari luar kulit menjadi kehitaman , sementara
penumpukan besi di dalam tubuh umumnya terjadi pada jantung, kelenjar
endokrin, sehingga dapat megakibatkan gagal jantung, pubertas terlambat,
tidak menstruasi, pertumbuhan pendek, bahkan tidak dapat mempunyai
keturunan.
c. Akibat transfusi yang berulang, kemungkinan tertular penyakit hepatitis B,
hepatitis C, dan HIV cenderung besar. Ini yang terkadang membuat anak
thalassemia menjadi rendah diri.
d. Karena thalassemia merupakan penyakit genetik, maka jika dua orang
pembawa sifat thalassemia menikah, mereka mempunyai kemungkinan 25%
anak normal/ sehat, 50% anak pembawa sifat/ thalassemia minor, dan 25%
anak sakit thalassemia mayor.

12
2.9 Pencegahan Thalasemia
1. Pencegahan primar
penyuluhan sebelum perkawinan (marriage counselling) untuk mencegah
perkawinan diantara pasien Thalasemia agar tidak mendapatkan keturunan yang
homozigot. Perkawinan antara 2 hetarozigot (carrier) menghasilkan keturunan : 25
% Thalasemia (homozigot), 50 % carrier (heterozigot) dan 25 normal.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami istri dengan
Thalasemia heterozigot salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan dengan
sperma berasal dari donor yang bebas dan Thalasemia troit. Kelahiran kasus
homozigot terhindari, tetapi 50 % dari anak yang lahir adalah carrier, sedangkan
50% lainnya normal.
Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion merupakan
suatu kemajuan dan digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot intra-uterin
sehingga dapat dipertimbangkan tindakan abortus provokotus (Soeparman dkk,
1996).

13
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN THALASEMIA PADA ANAK

3.1 Pengkajian
1. Asal Keturunan / Kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di sekitar laut Tengah
(Mediteranial) seperti Turki, Yunani, dll. Di Indonesia sendiri, thalasemia cukup
banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling
banyak diderita.
2. Umur
Pada penderita thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala telah
terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun, sedangkan pada thalasemia
minor biasanya anak akan dibawa ke RS setelah usia 4 tahun.
3. Riwayat Kesehatan Anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran pernapasan atas atau
infeksi lainnya. Ini dikarenakan rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat
transport.
4. Pertumbuhan dan Perkembangan
Seirng didapatkan data adanya kecenderungan gangguan terhadap
tumbang sejak masih bayi. Terutama untuk thalasemia mayor, pertumbuhan fisik
anak, adalah kecil untuk umurnya dan adanya keterlambatan dalam kematangan
seksual, seperti tidak ada pertumbuhan ramput pupis dan ketiak, kecerdasan anak
juga mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor, sering terlihat
pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
5. Pola Makan
Terjadi anoreksia sehingga anak sering susah makan, sehingga BB rendah
dan tidak sesuai usia.
6. Pola Aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak seusianya. Anak lebih banyak
tidur/istirahat karena anak mudah lelah.
7. Riwayat Kesehatan Keluarga
Thalasemia merupakan penyakit kongenital, jadi perlu diperiksa apakah
orang tua juga mempunyai gen thalasemia. Jika iya, maka anak beresiko terkena
talasemia mayor.

14
8. Riwayat Ibu Saat Hamil (Ante natal Core – ANC)
Selama masa kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya
faktor resiko talasemia. Apabila diduga ada faktor resiko, maka ibu perlu
diberitahukan resiko yang mungkin sering dialami oleh anak setelah lahir.
9. Data Keadaan Fisik Anak Thalasemia
a. KU = lemah dan kurang bergairah, tidak selincah anak lain yang seusia.
b. Kepala dan bentuk muka
Anak yang belum mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk khas,
yaitu kepala membesar dan muka mongoloid (hidung pesek tanpa pangkal
hidung), jarak mata lebar, tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan konjungtiva pucat dan kekuningan
d. Mulut dan bibir terlihat kehitaman
e. Dada : Pada inspeksi terlihat dada kiri menonjol karena adanya pembesaran
jantung dan disebabkan oleh anemia kronik.
f. Perut : Terlihat pucat, dipalpasi ada pembesaran limpa dan hati (hepatospek
nomegali).
g. Pertumbuhan fisiknya lebih kecil daripada normal sesuai usia, BB di bawah
normal
h. Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas tidak
tercapai dengan baik. Misal tidak tumbuh rambut ketiak, pubis ataupun kumis
bahkan mungkin anak tidak dapat mencapai tapa odolense karena adanya
anemia kronik.
i. Kulit : Warna kulit pucat kekuningan, jika anak telah sering mendapat
transfusi warna kulit akan menjadi kelabu seperti besi. Hal ini terjadi karena
adanya penumpukan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler
yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O 2 dan
kebutuhan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan
untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi nutrien yang
diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal.

15
4. Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi dan
neurologis.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat,
penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
6. Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber informasi.

3.3 Intervensi Keperawatan


1. Diagnosan 1 : Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan
komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
Kriteria hasil :
1. Tidak terjadi palpitasi
2. Kulit tidak pucat
3. Membran mukosa lembab
4. Keluaran urine adekuat
5. Tidak terjadi mual/muntah dan distensil abdomen
6. Tidak terjadi perubahan tekanan darah
7. Orientasi klien baik.
Rencana keperawatan / intervensi :
1. Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/ membran mukosa,
dasar kuku.
2. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada pasien
dengan hipotensi).
3. Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi.
4. Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan memori,
bingung.
5. Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan, dan tubuh hangat
sesuai indikasi.
6. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium, Hb, Hmt, AGD, dll.
7. Kolaborasi dalam pemberian transfusi.
8. Awasi ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi.

16
2. Diagnosa 2 : Intoleransi aktivitas berhubungan degnan ketidakseimbangan antara
suplai O2 dan kebutuhan.
Kriteria hasil :
1. Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi, misalnya nadi,
pernapasan dan Tb masih dalam rentang normal pasien.
Intervensi :
1. Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan
kesulitan dalam beraktivitas.
2. Awasi tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
3. Catat respin terhadap tingkat aktivitas.
4. Berikan lingkungan yang tenang.
5. Pertahankan tirah baring jika diindikasikan.
6. Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
7. Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.
8. Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
9. Beri bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.
10. Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai
toleransi.
11. Gerakan teknik penghematan energi, misalnya mandi dengan duduk.

3. Diagnosa 3 : perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kegagalan untuk mencerna / ketidakmampuan mencerna makanan / absorbsi
nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal.
Kriteria hasil :
1. Menunjukkan peningkatan berat badan/ BB stabil.
2. Tidak ada malnutrisi.
Intervensi :
1. Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai.
2. Observasi dan catat masukan makanan pasien.
3. Timbang BB tiap hari.
4. Beri makanan sedikit tapi sering.
5. Observasi dan catat kejadian mual, muntah, platus, dan gejala lain yang
berhubungan.
6. Pertahankan higiene mulut yang baik.

17
7. Kolaborasi dengan ahli gizi.
8. Kolaborasi Dx. Laboratorium Hb, Hmt, BUN, Albumin, Transferin, Protein,
dll.
9. Berikan obat sesuai indikasi yaitu vitamin dan suplai mineral, pemberian Fe
tidak dianjurkan.

4. Diagnosa 4 : Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan


perubahan sirkulasi dan novrologis.
Kriteria hasil : kulit utuh.
Intervensi :
1. Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, aritema
dan ekskoriasi.
2. Ubah posisi secara periodik.
3. Pertahankan kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun.

5. Diagnosa 5 : resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak


adekuat: penurunan Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
Kriteria hasil :
1. Tidak ada demam
2. Tidak ada drainage purulen atau eritema
3. Ada peningkatan penyembuhan luka
Intervensi :
1. Pertahankan teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan.
2. Dorong perubahan ambulasi yang sering.
3. Tingkatkan masukan cairan yang adekuat.
4. Pantau dan batasi pengunjung.
5. Pantau tanda-tanda vital.
6. Kolaboran dalam pemberian antiseptik dan antipiretik.

6. Diagnosa 6 : Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan


berhubungan dengan salah interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber
informasi.
Kriteria hasil :

18
1. Menyatakan pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostika rencana
pengobatan.
2. Mengidentifikasi faktor penyebab.
3. Melakukan tindakan yang perlu/ perubahan pola hidup.
Intervensi :
1. Berikan informasi tentang thalasemia secara spesifik.
2. Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya
thalasemia.
3. Rujuk ke sumber komunitas, untuk mendapat dukungan secara psikologis.
4. Konseling keluarga tentang pembatasan punya anak/ deteksi dini keadaan
janin melalui air ketuban dan konseling perinahan: mengajurkan untuk tidak
menikah dengan sesama penderita thalasemia, baik mayor maupun minor.

19
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Prevalensi pembawa sifat thalassemia di Indonesia sekitar 3 – 8%. Artinya 3
sampai 8 dari 100 orang Indonesia membawa sifat thalassemia. Di RSCM saja pada
tahun 2006 tercatat 1300 pasien thalassemia, dengan kisaran usia 6 bulan hingga 40
tahun.
Thalassemia adalah suatu penyakit kelainan darah bawaan yang menyebabkan
sel darah merah pecah (hemolisis). Kelainan gen ini akan mengakibatkan berkurang/
tidak terbentuknya rantai globin pembentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak
terbentuk sempurna. Akibatnya, tubuh tidak bisa membentuk sel darah yang normal,
sehingga sel darah merah mudah pecah dan terjadilah anemia.
Secara klinis, terdapat tiga jenis thalassemia, yakni :
1. thalassemia mayor
2. thalassemia intermedia
3. thalassemia minor/ pembawa sifat

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Doenges, Marilynn E, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC, Jakarta.


2. Ngastiyah, (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
3. Suriadi, Rita Yuliani, (2001), Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi I, CV. Sagung
Solo, Jakarta.
4. Guyton, Arthur C, (2000), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9, EGC, Jakarta.
5. Soeparman, Sarwono, W, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, FKUI, Jakarta.
6. Hoffbrand. A.V & Petit, J.E, (1996), Kapita Selekta Haematologi, edisi ke 2, EGC,
Jakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai