Anda di halaman 1dari 15

perpustakaan.uns.ac.

id 8
digilib.uns.ac.id

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penyusunan Kerangka Teoritis

1. Pengertian Keuangan Negara

Pengertian Keuangan Negara sebagaimana dimuat dalam Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) tentang Keuangan Negara

adalah sebagai berikut:

“Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”
Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara menyatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam

merumuskan keuangan negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan

tujuan. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi

semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,

termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan

pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik

berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara

berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Pengertian Keuangan Negara dilihat dari sisi subjek adalah

meliputi seluruh subjek yang memiliki/menguasai objek, yaitu pemerintah

pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang


commit to user
ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara

8
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

mencangkup seuluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan

pengelolaan objek mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan

keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Sedangkan dari sisi

tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan

hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan

objek dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

2. Pengertian Keuangan Daerah

Pengertian Keuangan Daerah sebagaimana dimuat dalam

penjelasan pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut:

“Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat
dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang
dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut”.
Pengertian Keuangan Daerah sebagaimana dimuat dalam ketentuan

umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005

tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, adalah sebagai berikut:

“Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam


rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan
uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan
dengan hak dan kewajiban daerah tersebut”.
Pengertian Keuangan Daerah menurut Keputusan Menteri Dalam

Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,

Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara

Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), yang

commit to user

9
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

sekarang berubah menjadi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah adalah:

“Semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan


pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya
segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
daerah, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, pada prinsipnya

keuangan daerah memiliki beberapa unsur pokok, yaitu:

a. Hak Daerah

b. Kewajiban Daerah

c. Kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut

Pengertian dari keuangan daerah selalu berhubungan dengan

pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD

merupakan suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan

berdasarkan peraturan. Selain itu, APBD merupakan salah satu alat untuk

meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai

dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab.

3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

sebagaimana yang tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun

2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah adalah sebagai berikut:

“Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD


adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan
dengan Peraturan Daerah”.
commit to user

10
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

yang tercantum di dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah, adalah:

“Rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan


disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan
dengan peraturan daerah”.
Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga

tercantum pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, yaitu:

“Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat


APBD adalah rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan dengan
Perda”.
Pada intinya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah

rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui

oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan ditetapkan dengan

Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD adalah satu tahun, dimulai dari

tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Dalam Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 16 ayat (2) dan Peraturan

Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Pasal 20 ayat (1) APBD terdiri atas:

a. Pendapatan Daerah

Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui

sebagai penambahan nilai kekayaan bersih (Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (15)). Pendapatan Daerah adalah semua

hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih

commit to user

11
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan (Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014). Pendapatan Daerah terdiri atas:

1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh

daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang

dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang meliputi Pajak Daerah,

Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang

dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang Sah. (Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004)

2) Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang

dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah

dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang meliputi Dana Bagi

Hasil, Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum

(DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). (Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004)

3) Lain-lain Pendapatan yang Sah antara lain bersumber dari Dana

Hibah, Dana Darurat, dan penerimaan lainnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku

b. Belanja Daerah

Belanja Daerah adalah kewajiban Pemerintah Daerah yang diakui

sebagai pengurang nilai kekayaan bersih (Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2003 Pasal 1 ayat 16). Belanja Daerah adalah semua kewajiban

commit pengurang
daerah yang diakui sebagai to user nilai kekayaan bersih dalam

12
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

periode tahun anggaran yang bersangkutan (Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2014). Belanja Daerah digunakan untuk keperluan

penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah. Secara umum,

pengelolaan Belanja Daerah terdiri dari Belanja Langsung dan Belanja

Tidak Langsung.

c. Pembiayaan Daerah

Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali

dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun

anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya

(Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (17).

Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan

pengeluaran pembiayaan (Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005

Pasal 28 ayat (1))

1) Penerimaan pembiayaan secara umum digunakan untuk menutup

defisit anggaran, yang terdiri atas SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan

Anggaran), pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan

daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman, dan penerimaan

kembali pemberian pinjaman (Peraturan Pemerintah Nomor 58

Tahun 2005 Pasal 28 ayat (2))

2) Pengeluaran pembiayaan terjadi akibat surplus anggaran, yang

terdiri dari pembentukan dana cadangan, penyertaan modal

pemerintah daerah, pembayaran pokok utang, dan pemberian

pinjaman (Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Pasal 28

ayat (3))
commit to user

13
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

4. Pengertian Kinerja

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, pengertian

kinerja adalah keluaran / hasil dari kegiatan / program yang akan atau telah

dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan

kualitas yang terukur.Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai

tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan / program / kebijakan

dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi (Mahsun dkk,

dalam Brian Sagay, 2013). Kinerja suatu organisasi dinilai baik jika

mampu melaksanakan tujuan yang telah disepakati bersama. Tanpa ada

tujuan atau target, kinerja seseorang atau organisasi tidak dapat diketahui

karna tidak ada tolok ukurnya.

Pengukuran kinerja adalah suatu metode yang digunakan untuk

menilai pencapaian pelaksanaan kegiatan berdasarkan tujuan, sasaran, dan

strategis sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi serta meningkatkan

kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Menurut Mardiasmo

(2009: 121, dalam Brian Sagay, 2013) pengukuran kinerja sangat penting

untuk menilai akuntabilitas organisasi dan manajer dalam menghasilkan

pelayanan publik yang lebih baik.

5. Pengertian Kemampuan Keuangan Daerah

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 menyatakan

bahwa:

“Kemampuan Keuangan Daerah merupakan kekuatan yang berasal dari


daerah untuk menyelenggarakan semua hak dan kewajiban daerah yang
dapat dinilai dengan uang,commit to usersesuatu baik berupa uang maupun
serta segala

14
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

berupa barang yang dapat dijadikan milik daerah berhubungan dengan


pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
Salah satu aspek yang dapat menentukan keberhasilan otonomi

daerah adalah kemandirian pemerintah daerah. Implikasi dari

pengembangan otonomi daerah bukan semata-mata penambahan urusan

yang diserahkan, tetapi seberapa besar wewenang yang diserahkan

memberikan kemampuan mengambil kebijakan dalam pengelolaan

keuangan, sehingga daerah dapat mengurangi derajat ketergantungannya

kepada pusat dan dapat membiayai sendiri kegiatan pembangunan

daerahnya. (Eko, dkk, 2009: 20).

6. Pengertian Efisiensi dan Efektivitas

Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana

dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk

menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya.

(Sondang, 2001, dalam Sunandar). Menurut Abdurahmat (2003, dalam

Sunandar) Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan

prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya

untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya. Sunandar

mengambil kesimpulan bahwa efektivitas adalah pemanfaatan sumber

daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar

ditetapkan sebelumnya untuk mencapai sasaran yang telah disepakati atas

usaha bersama.

Efisiensi adalah hubungan antara barang dan jasa (output) yang

commitatau
dihasilkan dari sebuah kegiatan to user
aktifitas dengan sumber daya (input)

15
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

yang digunakan. Suatu kegiatan dikatakan efisiensi apabila mampu

menghasilkan output tertentu dengan input serendah-rendahnya, atau

dengan input tertentu mampu menghasilkan output sebesar-besarnya.

(Deddi dkk, 2010, dalam Sunandar).Sunandar menyimpulkan dari

beberapa pengertian di atas bahwa efisiensi adalah hubungan antara barang

dan jasa (output) yang dihasilkan sebuah kegiatan atau aktivitas dengan

sumber daya (input) yang digunakan dengan tidak membuang waktu,

tenaga, dan biaya dengan percuma.

7. Indikator Kinerja Keuangan Daerah

Menurut Hikmah (1999, dalam Mulyanto, 2007: 93) indikator

kinerja keuangan daerah adalah sebagai berikut:

1. Derajat Desentralisasi Fiskal

Derajat Desentralisasi Fiskal antara Pemerintah Pusat dan

Daerah pada umumnya ditunjukkan oleh variabel-variabel Pendapatan

Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), Rasio

Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk Daerah (BHPBP) terhadap

Total Penerimaan Daerah (TPD) dan Rasio Sumbangan Bantuan

Daerah (SBD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD).

2. Kebutuhan Fiskal (Fiscal Need)

Kebutuhan fiskal ini dapat diartikan pula sebagai biaya

pemeliharaan prasarana sosial ekonomi seperti angkutan dan

komunikasi, lembaga commit


pendidikan
to userdan kesehatan. Variabel-variabel

16
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

kebutuhan daerah dibagi atas variabel kependudukan dan variabel

kewilayahan. Variabel kependudukan meliputi jumlah penduduk dan

Indeks Kemiskinan Relatif. Sementara itu untuk variabel kewilayahan

meliputi Luas Wilayah dan Indeks Kemahalan Harga Bangunan.

3. Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity)

Kapasitas Fiskal adalah sejumlah pajak yang seharusnya

mampu dikumpulkan dari dasar pajak (tax base), yang biasanya berupa

pendapatan per kapita. Variabel-variabel potensi daerah atau kapasitas

fiskal terdiri dari potensi PAD yang dihitung dari PDRB sektor jasa

(PBB, BPHPB, PPh Perseorangan, dan SDA).

4. Usaha Fiskal (Tax Effort)

Usaha fiskal atau usaha pajak adalah jumlah pajak yang

sungguh-sungguh dikumpulkan oleh kantor pajak dan dilawankan

dengan potensi pajak (tax capacity potensial). Usaha pajak dapat

diartikan sebagai rasio antara penerimaan pajak dengan kapasitas atau

kemampuan bayar pajak di suatu daerah. Salah satu indikator yang

dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan membayar

masyarakatnya adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

8. Kemandirian Keuangan Daerah

Analisis Kemandirian Daerah menunjukkan kemampuan

pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,

pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar


commit to user
pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.

17
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

Kemandirian daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya Pendapatan Asli

Daerah (PAD) dibandingkan dengan total pendapatan daerah yang berasal

dari sumber yang lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari

pinjaman (Abdul Halim, 2004: 150).

Pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah

harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dalam

membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Ada empat

macam pola hubungan (Paul Hersey dan Kenneth Blanchard, dalam Abdul

Halim, 2004: 188) yang memperkenalkan “Hubungan Situasional” dan

dapat digunakan dalam pelaksanaan otonomi daerah, antara lain:

a. Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah pusat lebih dominan

daripada kemandirian pemerintah daerah. (Daerah yang tidak mampu

melaksanakan otonomi daerah)

b. Pola Hubungan Konsultatif, campur tangan pemerintah pusat sudah

mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu

melaksanakan otonomi daerah

c. Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin

berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat

kemandirinnya mendekati mampu melaksanakan otonomi

d. Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak

ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam

melaksanakan urusan otonomi daerah

commit to user

18
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

B. Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya dimaksudkan sebagai bahan kajian dan

memperkuat analisis yang merujuk dari beberapa studi, baik berkaitan secara

langsung maupun tidak langsung. Dalam penelitian ini terdapat beberapa

perbedaan dengan penelitian terdahulu, diantaranya lokasi tempat penelitian,

kondisi keuangan, serta rentang waktu. Berikut ringkasan beberapa penelitian

terdahulu sebagai bahan rujukan:

1. Analisis Rasio untuk Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan

Daerah Kota Manado, oleh Fidelius (2013)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio kemandirian Kota

Manado masih sangat rendah yang berarti bahwa kontribusi PAD masih

sangat kecil dalam APBD. Rasio efektifitas kinerja pengelolaan keuangan

Kota Manado sudah cukup efektif. Pada rasio aktivitas pemerintah Kota

Manado memprioritaskan dananya pada belanja operasi atau belanja rutin

untuk penyelenggaraan pemerintahan. Rasio pengelolaan belanja sudah

sangat baik karena melebihi 100% yang berarti mengalami surplus

anggaran. PAD dan Pendapatan mengalami pertumbuhan setiap tahunnya,

sedangkan untuk rasio pertumbuhan belanja operasi masih sangat tinggi

jika dibandingkan dengan rasio pertumbuhan belanja modal.

2. Analisis APBD Propinsi Bengkulu Tahun 2002-2006, oleh Puthut Eko

Pramono, Hery Sunaryanto, dan Benardin (2009)

Hasil penelitian menyatakan bahwa Derajat Otonomi Fiskal Daerah


commit to user
Propinsi Bengkulu mulai dari tahun 2002 sampai tahun 2006 rata-rata

19
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

relatif rendah hanya berkisar 25,91%, hal ini berarti bahwa dukungan

keuangan dari Pemerintah Pusat masih sangat tinggi, yaitu sebesar

74,09%. Kemampuan dalam membiayai pengeluaran rutin daerah yang

tercermin dalam Indeks Kemampuan Rutin (IKR) Propinsi Bengkulu dari

tahun 2002 sampai tahun 2006 perkembangannya bagus dari tahun ke

tahun selalu mengalami peningkatan.Tingkat efisiensi anggaran rutin rata-

rata dengan kriteria efisiensi, dengan tingkat efisiensi sebesar 61,55%.

Sedangkan untuk PAD Propinsi Bengkulu dengan perbandingan target dan

realisasi rata-rata sebesar 111,79% menunjukkan tingkat sangat efektif.

Demikian pula dengan target dan realisasi APBD rata-rata sebesar

102,75% yang menunjukkan bahwa administrasi pengelolaan APBD

Propinsi Bengkulu sangat sangat efektif.

3. Kinerja Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Kabupaten Minahasa Selatan, oleh Brian

Sagay (2013)

Hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa kinerja pendapatan

pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan tahun anggaran 2007-2011

apabila dilihat dari analisis varians secara umum dapat dikatakan cukup

baik. Namun, pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan belum mampu

mengelola dan mengoptimalkan PAD. Hal ini dapat dilihat dari rasio

derajat desentralisasi dan rasio kemandirian keuangan yang masih sangat

rendah. Kinerja pendapatan pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan

dilihat dari analisis pertumbuhan pendapatan tahun 2008-2011 juga belum


commit to user

20
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

baik, hal ini ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan yang negatif pada

tahun 2008 dan tahun 2010.

Kinerja pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan dalam mengelola

anggaran belanjanya sudah baik, hal ini dapat dilihat dari realisasi belanja

dari tahun 2007 hingga 2011 tidak ada yang melebihi dari yang

dianggarkan. Kinerja pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan apabila

dilihat dari analisis kinerja belanjanya dapat dikatakan belum optimal

dalam mengelola anggaran belanjanya. Hal ini dikarenakan pemerintah

lebih memprioritaskan anggaran belanjanya digunakan untuk belanja

operasi.

4. Analisis Kinerja Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja

Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara, oleh Marchelino Daling

(2013)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja pendapatan dari

pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara belum cukup baik, dilihat dari

pendapatan pada periode 2009-2011 yang belum mencapai target yang

telah ditetapkan. PAD yang tidak signifikan menjadi salah satu faktor

pendorong pendapatan yang kurang terealisasi dari yang telah

dianggarkan.Sedangkan untuk kinerja belanja dari Pemerintah Kabupaten

Minahasa Tenggara ini sudah cukup baik, hal ini dikarenakan belanja yang

relatif kecil ditambah dengan penghematan belanja yang dilakukan oleh

Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara, sehingga mendapatkan SILPA

commit to user

21
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

surplus yang nantinya dapat digunakan untuk pembangunan daerah dan

lain sebagainya.

5. Analisis Kemampuan Pendapatan Asli Daerah dalam Membiayai

Belanja Daerah Kota Bitung, oleh Gebriany Pirade Wenur (2013)

Hasil penelitian menyatakan bahwa kontribusi PAD terhadap

pembiayaan APBD Kota Bitung masih di bawah 10%, hal ini

menunjukkan bahwa keuangan Pemerintah Daerah Kota Bitung belum

cukup mandiri dalam pembiayaan pembangunan. Dengan menggunakan

analisis trend dapat dilihat pencapaian penerimaan PAD pada tahun 2013-

2017 meningkat dari tahun ke tahun.

commit to user

22

Anda mungkin juga menyukai