Anda di halaman 1dari 7

2.1.

PANGAN

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber
daya manusia yang berkualitas. Negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan,
keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi Pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi
seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan
memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal (UU No.18 Tahun 2012).
(Kementerian Pertanian 2020)

Untuk mewujudkan ketahanan pangan yang kuat dan berkesinambungan, berdasarkan


Undang-Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan, maka implementasi
pembangunan ketahanan pangan dilaksanakan dengan memperhatikan 3 (tiga) komponen
utama yang harus dipenuhi, yaitu:

1) Ketersediaan pangan yang cukup dan merata;


2) Keterjangkauan pangan yang efektif dan efisien; serta
3) Konsumsi pangan yang beragam dan bergizi seimbang.

Pangan dapat dibedakan antara pangan segar dan pangan olahan. Pangan segara
adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung atau
dijadikan bahan baku pengolahan pangan. Sedangkan pangan olahan adalah makanan atau
minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan.
(Kementerian Pertanian 2020)

2.2. Kecurangan (disengaja) oleh produsen pangan pada produk pangan yang dihasilkan

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan badan atau organisasi yang
bertugas untuk mengawasi obat-obatan, kosmetik dan makanan. Dalam bidang pangan,
BPOM bertugas untuk menguji keamanan bahan atau produk pangan di pasaran. BPOM
melakukan pengujian pada sampel-sampel yang dilaporkan mengandung bahan tambahan
tertentu, baik yang melampaui batas maupun yang dilarang. Selain itu, BPOM juga menguji
keamanan dan kelayakan konsumsi pada jajanan. Untuk produkproduk yang tidak memiliki
izin edar dan tidak aman untuk dikonsumsi maka akan ditarik dari pasar. (Putri et al. 2018)

Mutu pangan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan Pasal 1 angka (13) adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan,
kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman. Saat ini
makanan yang beredar di pasaran, tidak sedikit mengandung zat yang dapat membahayakan
tubuh manusia seperti zat pewarna tekstil, pemanis buatan, formalin, boraks dan bahan
berbahaya lainnya.(Rikli and Jones 1999)

Tanggung jawab pelaku usaha apabila terjadi kerugian terhadap produk makanan yang
dipasarkan bagi konsumen adalah bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang diderita
konsumen, baik berupa gangguan kesehatan atau kematian yang disebabkan karena
mengkonsumsi produk makanan maupun minuman yang beracun atau berbahaya.

Produsen atau pelaku usaha bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang diderita
konsumen, baik berupa gangguan kesehatan atau kematian yang disebabkan oleh mengkonsumsi
produk pangan yang beracun atau berbahaya. Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menegaskan bahwa harus ada pihak yang
bertanggung jawab atas keamanan pangan (produk), jika ternyata menimbulkan kerugian kepada
konsumen.

1. Daging Sapi
Daging sapi merupakan salah satu jenis pangan yang banyak digemari oleh
masyarakat di Indonesia, sudah tidak diragukan lagi bahwa untuk mendapatkan daging
sapi sangat mudah sekali ditemui di pasar-pasar tradisional, walaupun demikian
konsumen dituntut untuk lebih berhati-hati dalam memilih makanan yang akan
dikonsumsinya, sebab beberapa di antaranya banyak dicampur dengan bahan tambahan
pangan yang dilarang, seperti zat formalin maupun daging yang lainya yang dilarang oleh
agama, Seperti yang kita ketahui bahwa daging babi sangatlah tidak baik bagi kesehatan
dan juga dilarang oleh agama islam dalam mengkonsumsinya.
Tanpa disadari akibat mengkonsumsi daging sapi yang bercampur dengan daging
babi secara tidak langsung akan berdampak buruk bagi konsumennya, misalnya dalam
jangka pendek yang paling sering dirasakan oleh konsumen adalah diare, mual dan
muntah, bahkan dapat berdampak lebih buruk dalam jangka yang panjang apabila
dikonsumsi secara berkelanjutan yaitu merusak sistem kekebalan tubuh manusia, karena
adanya cacing pita dalam daging babi tersebut. Ketika cacing pita tersebut masuk ke
dalam tubuh manusia akan berkembang biak serta merusak dan mengambil semua sari
makanan dan nutrisi yang masuk dalam tubuh manusia itu sendiri, adapun penyakit yang
akan diderita akibat mengkonsumsi daging babi tersebut misalnya menyebabkan kanker,
gangguan pada mata, gangguan pada kulit, dan sebagainya yang diakibatkan karena
adanya cacing pita yang bersarang pada tubuh konsumen tersebut.

2. Biskuit
Kasus biskuit beracun yang terjadi di Tangerang beberapa tahun lalu dapat
dijadikan sebagai contoh konkrit. Dalam kasus tersebut, biskuit yang dijual mengandung
racun sehingga mengakibatkan empat orang anak meninggal dunia. Dalam kasus seperti
itu, faktanya sudah jelas, bahwa meninggalnya keempat anak tersebut disebabkan oleh
memakan biskuit yang dinyatakan mengandung racun oleh pemeriksaan laboratorium.
Perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara mula-mula terdakwa membeli bahan baku dan
campuran bahan baku untuk pembuatan biskuit jenis Marie Super, antara lain berupa
ammonium bicarbonate dan sodium bicarbonate. Selanjutnya, biskuit produksi CV
Gabisco tersebut dipasarkan oleh terdakwa di wilayah Kabupaten Tangerang, tempat
orang tua keempat korban tersebut membeli Marie Super. Akibatnya, sewaktu biskuit itu
dimakan, mengakibatkan meninggalnya para korban karena ternyata Marie Super itu
mengandung anion nitrit (N2) yang membahayakan jiwa manusia. Permasalahan di atas
berkaitan dengan pelanggaran terhadap salah satu hak konsumen, yaitu hak atas
keselamatan dan keamanan terhadap barang-barang yang dikonsumsi. (Amrani 2015)

3. Beras
Klorin merupakan bahan kimia yang biasanya digunakan sebagai pemutih
pakaian. Dalam praktik perdagangan klorin lazimnya dikemas dalam bentuk cairan.
Klorin dalam bentuk gas dan padat ternyata kontribusinya cukup signifikan. Dalam
bentuk gas, klorin umumnya dijumpai dalam bentuk klorin dioksida. disamping itu klorin
dapat juga ditemui dalam bentuk klorin oksida, klorin alsida, klorin peroksida,
kloroperoksil, dan sebagainya. Klorin dapat terbentuk dari beberapa reaksi di antaranya
reaksi potasium klorat dan asam sulfat atau klorin dan sodium klorit.
Pada perlakuan pati misalnya klorin dapat ditambahkan dalam bentuk sodium
hipoklorit yang berbentuk padat ClONa atau NaClO dikenal juga dengan nama klorozon,
garam hipoklorit, atau kloropool. Klorit juga bisa ditambahkan dalam bentuk kalsium
hipoklorit dengan rumus empiris Ca(Ocl)2. Molekul yang berbentuk padat ini, di
Indonesia lebih dikenal dengan nama kaporit. Klorin berubah fasa dari gas ke cair pada
suhu minus 34,05 derajat celcius (minus 29,29 derajat Fahrenheit).
Klorin merupakan bahan kimia yang sangat berbahaya bagi kesehatan, ditinjau
dalam segi manapun penggunaan zat pemutih ini apabila dicampurkan terhadap beras, hal
itu sangatlah tidak dibenarkan, karena dampaknya bagi kesehatan manusia sangat besar.
Bahaya yang ditimbulkan akibat dari mengkonsumsi beras yang mengandung klorin tidak
berdampak secara langsung bagi kesehatan, tetapi apabila dikonsumsi secara terus-
menerus akan berakibat fatal. Hasil penelitian dampak dari mengkonsumsi beras yang
mengandung klorin ini akan terasa atau timbul sekitar 20 tahun kedepan, tetapi tidak
menutup kemungkinan bahaya yang ditimbulkan akan lebih cepat.
Bahan klorin disamping menurunkan mutu nutrisi, tetapi klorin juga mampu
membunuh sebagian besar bakteri yang merugikan. Namun, penggunaannya harus benar-
benar mengacu pada kaidah yang berlaku. Hasil penelitian terkini menerangkan baha
produk yang dicampur dengan klorin berpotensi menimbulkan masalah kesehatan
seperti : penyakit jantung, penumpukan kolesterol dan keping darah di dinding pembuluh
darah, anemia, tekanan darah tinggi, kanker, dan stroke. (Sukmamulya 2010)

4. Mie Basah
Mie basah merupakan salah satu jenis pangan olahan yang terbuat dari tepung
kemudian dicampur dengan beberapa bahan lain seperti telur dan air, biasanya terlihat
mengkilat dengan warna kuning yang digunakan sebagai makanan pelengkap seperti
rujak mie atau mie tumis, kini sudah tidak diragukan lagi kelezatannya apalagi mudah
sekali ditemui di pasar – pasar tradisional, walaupun demikian konsumen dituntut untuk
lebih berhati – hati dalam memilih makanan yang akan dikonsumsinya, sebab beberapa
diantaranya banyak dicampur dengan bahan tambahan pangan yang dilarang, seperti zat
formalin. Seperti yang kita ketahui bahwa formalin adalah cairan yang sering dikenal
sebagai pengawet mayat, jika bahan tersebut terakumulasi dan bersifat karsinogenik yang
dalam jangka panjang menyebabkan berbagai macam penyakit tumor dan kanker pada
tubuh manusia.
Tanpa disadari akibat mengkonsumsi mie basah yang bercampur zat formalin
secara tidak langsung akan berdampak buruk bagi konsumennya, misalnya dalam jangka
pendek yang paling sering dirasakan oleh konsumen adalah diare, mual dan muntah,
bahkan dapat berdampak lebih buruk dalam jangka yang panjang apabila dikonsumsi
secara berkelanjutan yaitu merusak sistem kekebalan tubuh manusia, misalnya
menyebabkan kangker, gangguan pada mata, gangguan pada kulit, dan sebagainya.

2.2. Penemuan mutakhir kelalaian (tidak disengaja) oleh produsen pangan pada produk pangan
yang dihasilkan

Toko oleh-oleh harus memiliki Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) yang
dikeluarkan oleh Dinas Perdagangan kota Surabaya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan
iklim usaha yang kondusif dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada usaha yang
dijalankan, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan konsumen. Dengan adanya SIUP,
pelaku usaha harus mentaati peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, salah
satunya dengan mencantumkan tanggal kadaluarsa pada kemasan produk makanan
maupun minuman sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Pencantuman
tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa pada produk makanan dan minuman merupakan
salah satu bentuk informasi pangan dari produsen kepada konsumen yang wajib
disertakan pada setiap produk yang akan dipasarkan. Informasi tersebut merupakan
bentuk perlindungan kesehatan bagi konsumen.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28D secara
eksplisit telah mengatur mengenai tanggal kadaluarsa pada produk makanan, yang
menyatakan bahwa; “setiap orang berhak atas jaminan, perlindungan, serta kepastian
hukum. Pencantuman tanggal kadaluarsa pada suatu produk pangan merupakan salah satu
bentuk jaminan produsen atau pelaku usaha kepada konsumen”. Berdasarkan Pasal 1
angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
selanjutnya disebut UUPK, yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Salah satu bentuk kepastian hukum yang dimaksud dalam UUPK tersebut
adalah adanya pencantuman tanggal kadaluarsa pada makanan maupun minuman.
Sedangkan pada Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan yang selanjutnya disebut PP Label dan Iklan Pangan, Pasal 27 ayat (1)
menyebutkan bahwa: tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa pangan wajib dicantumkan
secara jelas pada label kemasan pangan. (Hermanto 2020)

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, atau makhluk hidup
lainnya dan untuk diperdagangkan. Konsumen memiliki hak-hak yang wajib dipenuhi
oleh pelaku usaha. Peredaran pangan yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa pada
kemasannya merupakan salah satu tindak pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha
yang berkaitan dengan keterbukaan informasi mengenai produk pangan yang aman untuk
dikonsumsi. Sehingga konsumen membutuhkan suatu perlindungan hokum dan transaksi
jual beli terutama produk pangan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan terkait. (Cahya 2016)

DAFTAR PUSTAKA

Amrani, Hanafi. 2015. “Perlindungan Konsumen Terhadap Praktik Bisnis Curang Dan Upaya
Penegakannya Melalui Sarana Hukum Pidana.” Negara Hukum 6(2): 188.

Cahya, Bayu Tri. 2016. 05 Carbon Emission Disclosure : Ditinjau Dari Media Exposure,
Kinerja Lingkungan Dan Karakteristik Perusahaan.

Hermanto, Stefanus Klinsi. 2020. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Makanan Tanpa
Tanggal Kadaluarsa.” Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum dan
Keadilan 10(2): 165.

Kementerian Pertanian. 2020. “Laporan Tahunan Badan Ketahanan Pangan Tahun 2019.” : 1–
277.
Konsumen, H. P. (2013) ‘Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen , Jakarta: Grasindo, 2000,
Hlm. 29. 1 1’, 1, pp. 1–9.
Putri, Selvi Wijaya et al. 2018. “Mi Basah Secara Kualitatif Menggunakan Test Kit Semarang.”

Rikli, Roberta E., and C. Jessie Jones. 1999. “No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者にお


ける 健康関連指標に関する共分散構造分析 Title.” : 1–6.

Sukmamulya, Liya. 2010. “Pertanggung Jawaban Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Akibat
Penggunaan Bahan Klorin Terhadap Produk Pangan (Beras).” Fakultas Hukum Unisba
12(2): 156–65.

Anda mungkin juga menyukai