Anda di halaman 1dari 86

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemberantasan tindak pidana korupsi seharusnya diikuti dengan

upaya maksimal pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak

pidana korupsi dalam bentuk penjatuhan pidana tambahan berupa

pengembalian uang pengganti kepada negara oleh pelakunya. Keharusan

pembayaran uang pengganti akibat tindak pidana korupsi bukan saja

dimaksudkan sebagai bentuk penghukuman dan pemulihan kerugian negara

akibat suatu tindak pidana korupsi akan tetapi juga dimaksudkan sebagai

upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat

Indonesia.

Penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum baik oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi, Kejaksaan, maupun Kepolisian melalui penindakan hukum

penyidikan, penuntutan dan persidangan tindak pidana korupsi dengan

menjerat para pelaku tindak pidana korupsi ke pengadilan tindak pidana

korupsi telah dilakukan sedemikian rupa dan secara intensif, terpadu

diseluruh wilayah Indonesia. Akan tetapi, apabila ditinjau dari sisi

pengembalian kerugian keuangan negara sebagai salah satu tujuan

pemberantasan tindak pidana korups akibat perilaku korupsi disinyalir sangat

rendah.

Merujuk pada data riset Indonesia Corupption Watch pada

tahun 2017 menelusuri 1.249 perkara korupsi dengan sejumlah 1.381

terdakwa korupsi ditemukan kerugian keuangan negara senilai Rp. 29,41


2

trilyun rupiah, belum lagi jika ditambah dengan nilai suap sebesar Rp. 715

milyar rupiah, SGD 814.000.- US$1,36 juta, MYR 63.500, dan EUR. 30.000.

serta nilai pungli senilai Rp. 155.000.000.- sementara uang pengganti yang

berhasil dimasukkan sebagai hukuman tambahan bagi para koruptor

sepanjang tahun 2017 menurut ICW hanya senilai Rp. 1,44 trilyun rupiah

ditambah dengan hukuman denda senilai Rp. 110 milyar rupiah. Dengan

melihat data tersebut sangat disayangkan jumlah vonis uang pengganti

hanya sekitar 4,91% (empat koma sembilan puluh satu prosen) dari total

kerugian keuangan yang diderita negara 1

Rendahnya eksekusi uang pengganti tindak pidana korupsi

seperti tersebut di atas dapat dipahami menurut para pakar disebabkan oleh

beberapa faktor antara lain diduga karena adanya hambatan yuridis uang

pengganti dan ketidak optimalan upaya-upaya yang dilakukan oleh

penegakan hukum baik berupa penelusuran hasil-hasil tindak pidana korupsi,

penyitaan, pembekuan dan perampasan asset baik berupa uang maupun

harta benda terkait korupsi serta pelaksanaan eksekusi dan pelelangan

untuk pelaksanaan uang pengganti yang dilakukan oleh Penyidik maupun

Jaksa Penuntut Umum baik sebelum maupun sesudah perkara dilimpahkan

dan diputus oleh Hakim di Pengadilan.

Korupsi telah menjadi fenomena keseharian di Indonesia,

berbagai upaya telah dilakukan oleh semua elemen negara terutama oleh

para penegak hukum yang diberikan kewenangan untuk memberantasnya

termasuk juga oleh semua elemen masyarakat penggiat anti korupsi dengan

1
Http://Nasional.kontan.co.id/news : Pidana Uang Pengganti Koruptor Tak
Sebanding Dengan Kerugian Negara, 03 Mei 2018 diakses 30 Januari 2018.
3

berbagai cara dan upaya baik dengan cara pencegahan persuasif maupun

dengan cara represif penindakan pelaku tindak pidana korupsi.

Pengertian korupsi sebenarnya ada tiga hal, pertama

menguasai atau mendapatkan uang dari negara dengan berbagai cara

secara tidak sah dan dipakai untuk kepentingan diri sendiri, kedua

menyalahgunakan wewenang, (abuse of power). Wewenang itu

disalahgunakan untuk memberikan fasilitas dan keuntungan yang lain. Yang

ketiga adalah pungutan liar. Pungli ini interaksi antara dua orang, biasanya

pejabat dengan warga masyarakat, yang maksudnya oknum pejabat

memberikan fasilitas dan sebagainya dan oknum warga masyarakat tertentu

memberikan imbalan atas apa yang dilakukan oleh oknum pejabat yang

bersangkutan.2

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi secara

harfiah berarti : buruk, rusak, suka memakai uang (barang) yang

dipercayakan padanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk

kepantingan pribadi). Adapun arti terminologinya korupsi adalah

penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk

kepentingan pribadi atau orang lain. 3

Apabila dilihat dari jenis tindakannya perbuatan korupsi dapat

dikatagorikan sebagai beriku :4

1. Perbuatan yang merugikan negara, jenis tindakan yang dimaksudkan

untuk mencari keuntungan dengan cara melawan hukum dan atau

2
Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat Pendidikan dan
Pengawasan BPKP, Jakarta, 1999.
3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995.
4
Andi Syamsurizal Nurhadi, Tinjauan Yurudis Tindak Pidana Korupsi
Penyalahgunaan Wewenang dalam Jabatan, Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Makasar. 2013. Hlm 13-18.
4

menyalahgunakan jabatan sehingga merugikan keuangan negara.

Perbuatan korupsi jenis pertama ini sebagaimana ditentukan dalam

rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Perbuatan Suap menyuap. jenis perbuatan korupsi berupa tindakan

pemberian sejumlah uang atau menerima uang atau menerima hadiah

yang dilakukan oleh pejabat pememrintahan dimaksudkan untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajibannya. Perbuatan korupsi jenis ini sebagaimana dirumuskan

dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang Undang Nomor

31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3. Perbuatan penyalahgunaan jabatan, perbuatan oleh seorang pejabat

pemerintah yang dengan kekuasaan yang dimilikinya melakukan

penggelapan atau manipulasi laporan keuangan, menghilangkan barang

bukti atau membiarkan orang lain menghancurkan barang bukti yang

bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dengan jalan merugikan

negara. Perbuatan korupsi jenis ini sebagaimana dimaksudkan dalam

rumusan Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang Undang Nomor 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Perbuatan Pemerasan adalah jenis perbuatan pemerasan yang

dialakukan oleh pejabat pemerintah kepada orang lain atau masyarakat

baik karena mempunyai kekuasaan dan dengan kekuasaannya itu dia

memaksa orang lain untuk memberikan atau melakukan sesuatu yang

menguntungkan bagi dirinya, maupun pungutan ilegal dengan alasan

bagian dari peraturan atau haknya padahal kenyataannya tidaklah


5

demikian. Jenis perbuatan korupsi ini sebagaimana dimaksud dalam

rumusan Pasal 12 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5. Perbuatan korupsi yang berhubungan dengan kecurangan. Perbuatan

korupsi jenis ini adalah berupa kecurangan-kecurangan yang dilakukan

oleh pemborong, pengawas proyek, dan rekanan, maupun pengawas

rekanan yang melakukan manipulasi dan atau kecurangan dalam

pengadaan dan pemberian barang yang mengakibatkan kerugian bagi

orang lain atau tehdap negara. Perbuatan korupsi jenis ini sebagaimana

dalam rumusan Pasal 7 dan Pasal 12 Undang Undang Nomor 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

6. Perbuatan korupsi yang berhubungan dengan pengadaan, perbuatan

korupsi yang berhubungan dengan larangan bagi pegawai negeri secara

langsung atau tidak langsung turut serta dalam pemborongan,

pengadaan atau persewaan pada saat seluruh atau sebagaian

ditugaskan untuk mengurus dan mengawasinya. Perbuatan korupsi jenis

ini sebagaimana dimaksudkan dalam rumusan Pasal 12 huruf i Undang

Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

7. Perbuatan korupsi berupa gratifikasi. Perbuatan korupsi jenis ini berupa

pemberian hadiah yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara

negara yang tidak dilaporkan sebagai akibat disebabkan karena

melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan jabatannya, perbuatan korupsi jenis ini

sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 12 huruf b dan huruf c


6

Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Sudah menjadi hal yang umum saat ini penindakan pelaku

korupsi dewasa ini bisa disaksikan dengan ditindaknya semua pelaku korupsi

baik yang sifatnya kelas kakap bigfish maupun pelaku yang melakukan

korupsi secara kecil- kecilan dari semua lapisan dan strata masyarakat dari

kelas pejabat tinggi sampai kepada pejabat desa sekalipun. Dengan marak

dan masifnya penindakan pelaku korupsi disamping diharapkan akan

memberikan efek jera kepada para pelaku maupun masyarakat pada

umumnya juga diharapkan untuk dapat menekan dan mengembalikan

kerugian keuangan negara yang disinyalir sangat besar akibat perbuatan

korupsi dimaksud.

Akan tetapi, dengan melakukan tindakan besar-besaran dalam

penindakan korupsi sebagaimana disaksikan dewasa ini sangat disayangkan

hal dimaksud ternyata juga tidak menjadikan korupsi menjadi hilang atau

berkurang bahkan justru disinyalir semakin masif dan bahkan semakin

banyak dan meningkat baik dari sisi jumlah dan nominal besaran nilai

kerugian negara yang dikorupsi oleh para pelakunya.

Sebagai salah satu instrumen hukum upaya memulihkan

keuangan negara akibat para pelaku korupsi penindakan tindak pidana

korupsi dewasa ini diikuti dengan upaya penuntutan pengembalian uang

pengganti kepada pelakunya terpidana korupsi disamping melakukan

perampasan-perampasan dan penyitaan aset terpidana korupsi dan termasuk

terhadap harta benda yang terkait korupsi.

Melihat kecilnya prosentase pengembalian kerugian keuangan

negara akibat tindak pidana korupsi apabila dibandingkan dengan jumlah


7

kerugian yang diderita oleh negara tersebut, maka dipandang perlu untuk

dilakukan penelitian apakah ketentuan terkait uang pengganti dan sistem

pertanggungjawaban pidana yang saat ini berlaku dan dianut telah responsif

dan secara optimal dapat diterapkan menghadapi masalah dan

perkembangannya serta telah memberikan kemanfaatan dalam

penegakannya, berikut apakah konsep hukum rerstorative justice

memungkinkan untuk diterapkan dalam rangka pendekatan terkait

optimalisasi pelaksanaan upaya-upaya penegakan hukum untuk mengejar

maupun mengeksekusi uang pengganti kerugian keuangan negara sebagai

akibat dari suatu tindak pidana korupsi tersebut.

Pendekatan hukum restorative dipandang sebagai sebuah

pendekatan baru dalam penegakan di Indonesia, sebagai alternatif

penyelesaian sengketa termasuk dalam ranah hukum pidana, jenis

pendekatan restoratif adalah sebagai sistem penyelesaian perkara pidana di

luar pengadilan yang dalam bahasa Inggrisnya disebut Out of Court

Settlement dan dalam bahasa Belandanya dikenal dengan sebutan

Afdoening Buiten Process yang mengedepankan penyelesaian secara

musyawarah bersama dengan melibatkan semua pihak dalam kaitan ini baik

Penyidik, maupun Penuntut Umum serta pihak pihak lain yang

berkepentingan dan terlibat dalam suatu perkara tindak pidana korupsi

tersebut dirasakan akan lebih efektif, cepat, tepat sasaran dan berbiaya

murah dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara akibat sebuah

perkara tindak pidana korupsi.

Penelitian hukum yang membicarakan tentang restorative

justice sudah banyak dilakukan, antara lain oleh Bambang Waluyo Guru

Besar pada UPN Veteran Jakarta pada penelitian disertasi program


8

doktornya pada Universitas Hasanuddin pernah meneliti fungsi Kejaksaan

mewujudkan hakikat restorative justice pada penyelesaian perkara diluar

pengadilan, lebih menjelaskan dan mengupas tentang kewenangan dan

peran Jaksa terhadap penerapan restorative justice secara umum yang

dipandang penulis sebagai alternatif dan pola pendekatan baru yang tepat

dan berdasar hukum dalam penegakan hukum, akan tetapi penulisan dalam

disertasi ini meskipun sama-sama membahas masalah restorative justice

tetapi menggunakan cakupan dan areal penelitian serta pendekatan yang

sangat berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya oleh karena lebih

difokuskan terhadap pembahasan penerapan pendekatan restorative justice

dalam perkara tindak pidana korupsi dan terbatas dalam upaya penerapan

dan pelembagaan keadilan restoratif restorative justice pengejaran dan

eksekusi uang pengganti ditinjau dari tujuan kemanfaatan hukum dan sistem

pemidanaan dan diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

pedoman dan alternatif baru upaya mengatasi hambatan-hambatan hukum

dan upaya optimalisasi pengembalian kerugian negara sebagai akibat tindak

pidana korupsi.

Dampak korupsi yang lain menurut Ibnu Santoso dapat berupa 5 :

1. Runtuhnya akhlak, moral, integritas, dan religiusitas bangsa;

2. Adanya efek buruk bagi perekonomian negara;

3. Korupsi memberi kontribusi bagi matinya etos kerja masyarakat;

4. Terjadinya eksploitas sumberdaya alam oleh segelintir orang;

5. Memiliki dampak sosial dengan merosotnya human capital.

5
Andi Syamsurizal Nurhadi, Tinjauan Yurudis Tindak Pidana Korupsi
Penyalahgunaan Wewenang dalam Jabatan, Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Makasar. 2013. Hlm, 20.
9

Korupsi selalu membawa konsekuensi negatif terhadap proses

demokratisasi dan pembangunan, sebab korupsi telah mendelegetimasi dan

mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui money-politik.

Korupsi juga telah mendistorasi pengambilan keputusan pada kebijakan

publik, tiadanya akuntabilitas publik serta menafikan the rule of law.

Di sisi lain, korupsi menyebabkan berbagai proyek pembangunan dan

fasilitas umum bermutu rendah serta tidak sesuai dengan kebutuhan yang

semestinya, sehingga mengambat pembangunan jangka panjang yang

berkelanjutan.

Mengomentari pendapat tersebut JE. Sahetapy yang

menyarankan agar penegak hukum, khusunya Komisi Pemberantasan

Korupsi segera memperlakukan model pembuktian terbalik agar dapat

menjalankan tugasnya sekaligus menyita harta kekayaan (aset) orang-orang

yaang dikenai tuduhan korupsi sehingga korupsi dapat diberatas dan

sekaligus untuk pencegahan lagi pula asas tersebut sudah banyak digunakan

negara lain.

Sejalan itu dengan ini terkait pentingnya pengembalian kerugian

keuangan negara akibat tindak pidana korupsi Muhammad Yusuf

menyatakan tentu dalam hal ini harus kembalikan kepada akibat korupsi bagi

bangsa dan negara. Indonesia terpuruk secara secara multi dimensi akibat

korupsi, itu sebabnya kesepahaman itu harus berpijak pada tujuan

pemberantasan dan pencegahan korupsi itu sendiri, pijakannya tidak lain

adalah tujuan hukum dalam memberantas dan mencegah korupsi bukan

sekedar memenjarakan koruptor, namun yang paling penting adalah

mengembalikan uang rakyat ke pundi-pundi negara, agar uang yang sempat

dicuri koruptor itu dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat seperti


10

memperbaiki jalan-jalan yang rusak, membiayai pendidikan agar tunas-tunas

bangsa tidak putus sekolah, membeli obat-obatan bagi rakyat miskin

sekaligus menurunkan harga-harga pangan dan papan bagi rakyat. 6

Tindak pidana korupsi menurut Indriyanto Seno Adji, sangat sulit

pemberantasannya karena memiliki kualitas pembuktian yang juga sangat

sulit, selain itu tindak pidana ini biasanya dilakukan oleh para profesional

yang memiliki pendidikan yang tinggi karenanya diperlukan pembalikan

beban pembuktian untuk menjerat para koruptor selain itu integritas,

kemampuan dan aktivitas para pelaku umumnya sangat rentan dengan

lingkungan terjadinya tindak pidana korupsi, pelaku biasanya sangat

memahami lingkungan kerja dan format untuk menghindari terjadinya

pelacakan terhadap kejahatan korupsi7.

Apabila diperhatikan pertumbuhan korupsi di Indonesia dari

waktu ke waktu dan dikaitkan dengan ketidakmampuan hukum pidana yang

ada, maka pembaharuan paradigma masyarakat dan undang-undang korupsi

adalah suatu keharusan mengingat korupsi tidak lagi dirasakan sebagai

sesuatu yang hanya merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

saja, tetapi sudah sepatutnya dilihat sebagai sesuatu yang melanggar hak-

hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia,

oleh karena itu beralasan pula bila korupsi yang dikatagorikan sebagai

kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) penganggulangan dan

pemberantasannya perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa

6
Muhammad Yusuf. Miskinkan Koruptor. Pembuktian Terbalik Solusi Yang
Terabaikan. Pustaka Juanda Tigalima. Jakarta. 2013.hlm. 3.
7
Indriyanto Seno Adji. Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Tak Pernah
Absolut. Harian Pelita Jakarta. 2010.
11

(extraordinary measure) dan dengan menggunakan instrumen-instrumen

hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrument)8

Pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam perkara

tindak pidana korupsi pertama kali diatur dalam Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor : 24 Tahun 1960 Tentang

Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi,

selanjutnya diatur kembali dalam Pasal 34 huruf c Undang- Undang Nomor :

3 Tahun 1971 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor :

20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor : 31 tahun

1999, yang menentukan bahwa pidana pembayaran uang pengganti

merupakan salah satu pidana tambahan dalam perkara korupsi selain pidana

tambahan lain sesuai dengan jenis-jenis pidana tambahan lain sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, jounto Pasal 18 ayat (2) dan ayat

(3) Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Selanjutnya Muladi menyatakan, ide dasar pidana tambahan

pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan guna pengembalian

kerugian negara yang hilang akibat tindak pidana korupsi berangkat dari

scientific study of victimus yang memperjuangkan hak-hak korban kejahatan

yang kemudian dalam perkembangannya, korban tidak lagi berupa individu

api juga seluruh organisasi, yaitu negara yang telah menjadi korban

kejahatan korupsi9

8
H. Elwi Danil. Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya. Raja
Grapika. Jakarta 2011. Hlm. 76.
9
Muladi,Substansi Hukum Tambahan berupa Uang Pengganti dalam Tindak
Pidana Korupsi. Makalah pada Penataran Hukum Pidana Nasional IV. Purwokerto.
1990.
12

Kerugian keuangan negara sebagai akibat dari suatu tindak

pidana korupsi tidak dapat dipisahkan pengertian kerugian negara adalah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, pengertian keuangan

negara diartikan semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan

uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang

dapat dijadikan hak milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan

kewajiban tersebut. Pengertian tersebut memiliki substansi yang dapat

ditinjau dalam arti luas meliputi hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai

dengan uang, termasuk barang milik negara yang tidak tercakup dalam

anggaran negara. Sementara itu, keuangan negara dalam arti sempit hanya

terbatas dengan uang, termasuk barang milik negara yang tercantum dalam

anggaran negara untuk tahun yang bersangkutan.

Bertitik tolak dari pemikiran keadaan rendahnya pengembalian

dan penyelamatan kerugian keuangan negara sebagai akibat dari tindak

pidana korupsi oleh karena tidak memadainya pengaturan serta

ketidakjelasan pengaturan penyitaan dan perampasan asset terhadap harta

benda tersangka atau terpidana terkait tindak pidana korupsi termasuk

kejelasan tentang upaya yang dapat dilakukan oleh penegak hukum baik dari

tahapan penyidikan, penuntutan maupun sampai pada tahapan eksekusi

uang pengganti sebagai sebagai pidana tambahan guna penarikan kembali

hilangnya harta kekayaan dan uang negara yang sangat besar akibat tindak

pidana korupsi tersebut penulis bermaksud mengajukan proposal penelitian

disertasi dengan memilih judul PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE


13

PENUNTUTAN PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI DALAM

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana yang diuraikan

diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan terkait dengan

penuntutan dan penerapan restorative justice dalam rangka pemulihan

kerugian keuangan negara sebagai akibat tindak pidana korupsi sebagai

berikut :

1. Apakah landasan filosofis pendekatan restorative justice dalam

penuntutan pidana tambahan uang pengganti oleh negara dalam

perkara tindak pidana korupsi?

2. Bagaimanakah Implementasi pendekatan keadilan restoratif restorative

justice dikaitkan dengan wewenang Penyidik, Penuntut Umum

menyangkut uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi

dikaitkan dengan prinsip kepastian dan kemanfaatan hukum?

3. Apakah pendekatan restorative justice berupa pola penyelesaian di

luar pengadilan melalui Negosiasi, Mediasi, dan atau Konsiliasi dapat

dilakukan oleh Penyidik / Jaksa Penuntut Umum sebagai alternatif baru

dalam rangka optimalisasi dan penyelesaian pengembalian kerugian

keuangan negara akibat tindak pidana korupsi?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


14

1.3.1 Tujuan Penelitian

1.3.1.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menjelaskan landasan

filosofis diperlukannya pendekatan keadilan restoratif restorative justice

dalam penuntutan negara terhadap pidana tambahan berupa uang

pengganti akibat tindak pidana korupsi sekaligus mengkaji apakah

implementasi pola pendekatan keadilan restoratif ini berdasarkan

kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik dan Penuntut Umum tindak

pidana korupsi dapat lebih memberikan kepastian hukum dalam hal

pengembalian uang pengganti kerugian keuangan negara akibat tindak

pidana korupsi serta meningkatkan kemanfaatan hukum pemberantasan

tindak pidana korupsi bagi masyarakat bangsa dan negara.

Penelitian ini juga diharapkan dapat mengkaji serta menjelaskan apakah

konstruksi penyelesaian hukum di luar pengadilan restorative justice

berupa Negosiasi, Mediasi dan atau Konsiliasi sebagai upaya

penyelesaian di luar pengadilan sebagaimana pola penyelesaian bsnis

dapat diterapkan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi

khususnya terhadap upaya mengejar sebanyak-banyaknya pemulihan

kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi

1.3.1.2. Tujuan Khusus

Secara khusus dengan mengkaji landasan filosofis dan implementasi

keadilan restoratif restorative justice berdasarkan kewenangan Penyidik,

Penuntut Umum serta Hakim dalam sistem peradilan tindak pidana

korupsi. Analisa dan kesimpulan penelitian ini diharapkan dapat

menemukan dan menjelaskan bahwa upaya penyelesaian di luar

pengadilan restorative justice berupa Negosiasi, Mediasi dan atau


15

Konsiliasi terbatas pada penunutan negara terhadap uang pengganti

dapat juga diterima sebagai salah satu pendekatan dan konstruksi

hukum pemidanaan baru dalam pemidanaan tindak pidana korupsi

sehingga dapat dijadikan pedoman sekaligus terobosan penegakan

hukum baru baik oleh Penyidik maupun Penuntut Umum dalam rangka

optimalisasi penyelamatan dan pengembalian kerugian keuangan

negara akibat tindak pidana korupsi.

1.3.2 Manfaat Penelitian

1.3.2.1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai

sebagai telaahan kemanfaatan hukum dalam pemberantasan tindak

pidana korupsi disamping sebagai penjelasan upaya pendekatan

keadailan restoratif restorative justice baik secara teoritis maupun

kehadirannya dalam sistem hukum penegajan tindak pidana korupsi

tidaklah bertentangan untuk diterapkan dalam pemberantasan tindak

pidana korupsi, diharapkan akan menjadi khasanah dan kajian bagi

para pakar / ahli dan penegakan hukum pidana khususnya

pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Bagi masyarakat,

akademisi serta pemerhati korupsi dapat dijadikan pengetahuan kajian

pembangunan hukum dan sebagai alternatif optimalisasi penyelesaian

pengembalian kerugian keuangan negara sebagai akibat tindak pidana

korupsi
16

1.3.2.2. Manfaat Praktis

Manfaat penelitian secara praktis diharapkan dapat memberikan

pemahaman, pedoman, masukan dan panduan bagi para penegak

hukum baik Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim tinak pidana

korupsi dalam upaya optimalisasi pemulihan kerugian keuangan negara

sebagai akibat dari tindak pidana korupsi, Dengan memjelaskan upaya

penyelesaian melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan

pendekatan keadilan restoratif restorative justice berupa berupa

Negosiasi, Mediasi dan atau Konsiliasi yang memungkinkan untuk

dilakukan oleh para penegak hukum baik pada tahapan penyidikan, pra-

penuntutan dan penuntutan maka kerugian keuangan negara yang

disinyalir saat ini sangat besar akibat tindak pidana korupsi dapat

semaksimal mungkin bisa ditarik kembali oleh negara atau minimal

dapat diminimalisir di masa yang akan datang.


17

BAB II
KERANGKA TEORI DAN KONSEP

1.3.3 Kerangka Teori

1. Teori Utilitis / Kemanfaatan Hukum Jeremy Bentham.

Menurut aliran teori utilitis tujuan hukum semata-mata

untuk memberikan kemanfaat atau kebahagiaan yang sebesar-

besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat, dalam

kaitan ini hukum terlebih dahulu harus dipahami sebagai salah

satu alat untuk mencapai tujuannya dalam hidup bermasyarakat

berbangsa dan bernegara, secara umum tujuan hukum bisa

terlihat dalam fungsinya sebagai fungsi perlindungan kepentingan

manusia, hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai .

Secara teoritis kemanfaatan hukum menurut teori utilitas, yakni

dimaksudkan untuk menjamin kebahagiaan yang terkesan bagi

manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya, hakekatnya

menurut teori ini hukum bertujuan untuk memberikan manfaat

dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang

tersebesar bagi jumlah orang yang banyak.

Terkait dengan prinsip utilitas ini, Bentrand Russel

menjelaskan tentang dua prinsip yang mendasarinya, menurut

Bentam mendasarkan keseluruhan filsafatnya pada dua prinsif,

yaitu prinsip asosiasi association principle dan prinsip kebahagiaan


10
terbesar greates happinesss principle.

10
Bentrand Russel. Sejarah Filsafat Barat Kaitannya dengan Kondisi Sosial
Politik Zaman Kuno hingga Sekarang . Terjemahan Sigit Jatmiko. Pustaka Pelajar
Yogyakarta 2004, hlm. 1008.
18

Prinsip utility dikemukakan oleh Bentham dalam karya

monumentalnya Introduction to Principles of Moral and Legislation

di dalam karyanya itu Bentham mendefinisikan itu sebagai sifat

dalam sembarang benda, yang dengannya benda tersebut

cenderung menghasilkan kesenangan, kebaikan atau

kebahagiaan, atau untuk mencegah terjadinya kerusakan,

penderitaan atau kejahatan serta ketidakbahagiaan pada pihak

yang kepentingannya dipertimbangkan. Bentham kemudian

terkenal dengan mottonya, bahwa tujuan hukum adalah untuk

mewujudkan the greatest happiness of the greatest number

(kebahagiaan yang terbesar, untuk terbanyak orang) dan adanya

negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yakni

kebahagiaan mayoritas rakyat.

Gambaran tentang teori utilitis Acmad Ali, menegaskan

bahwa menurut teori ini, masyarakat yang ideal adalah masyarakat

yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil

ketidakbahagiaan, atau masyarakat yang mencoba memberi

kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat pada

umumnya, agar ketidakbahagiaan diusahakan sesedikit mungkin

dirasakan oleh rakyat pada umumnya, kebahagiaan berarti

kesenangan atau ketidak sengsaraan, ketidakbahagiaan berarti

kesengsaraan dan ketiadaan kesenangan11

Mengomentari penerapan teori utilitis Shidarta

menyatakan seandainya seorang Hakim dari kubu Utilitarian

11
Acmad Ali. : Menguak Teori Hukum (Legal Theori) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence). Kencana Jakarta 2009 hlm. 220.
19

menghadapi sebuah kasus, maka langkah pertama yang

dilakukannya adalah menetapkan fakta dari kasus yang

dihadapinya, fakta inilah yang lalu dihubungkan dengan sumber

hukum yang tersedia, norma hukum yang tersedia ini dicarikan

strukturnya untuk kemudian diterapkan secara deduktif terhadap

fakta, oleh karena tujuan hukum primair adalah menjaga

terpenuhinya kepastian hukum, maka hakim wajib untuk

menerapkan norma hukum td sepenuhnya sampai pada tahap ini

Hakim utilitarian berada dalam posisi yang sama dengan Hakim

positivisme hukum, sebenarnya Hakim dapat begitu saja

melepaskan tanggung jawabnya untuk memikirkan apakah

putusannya itu benar-benar bermanfaat bagi para pihak atau bagi

masyarakat luas, Nilai kemanfaatan inilah yang akan diserahkan

kepada para pihak atau masyarakat dan akan diuji kemudian

seiring dengan perjalanan waktu12

Kenyataan sosial penegakan hukum atas peristiwa

hukum konkrit berupa penegakan hukum pemberantasan tindak

pidana korupsi khususnya berupa pengembalian uang pengganti

kepada negera inilah yang akan merupakan aktivator bagi

ketentuan hukum positif yang mengaturnya, dengan menganalisa

peristiwa konkrit terkait uang pengganti dimaksud diharapkan

dapat diketahui sejauhmana ketentuan norma hukum uang

pengganti tersebut evektif dan responsif terhadap peristiwa hukum

12
Shidarta, : Utilitarianisme, UPT. Penerbitan Universitas Tarumanegara,
Jakarta, 2007. Hlm. 41
20

dan perkembangan tindak pidana korupsi itu sendiri sehingga

relevan untuk dipertahankan.

Dengan menyadari sistem hukum ditengah masyarakat

kita senantiasa bergerak non momentary legal system terutama

oleh oleh karena tidak adanya lagi sekat pembatas perkembangan

ilmu dan pengetahuan ditengah masyarakat maka evaluasi

terhadap hukum positif mutlak diperlukan begitupun halnya bila

kita lihat pergerakan dan penganutan negara-negara serta saling

mempengaruhi antara penganutan sistem hukum Anglo Saxon

dengan sistem hukum Erofa Continental atau sebaliknya

menjadikan sistem dan tujuan pemidanaan juga senatiasa

bergerak dari yang dulu berifat pembalasan menuju kepada

keadilan dan kemanfaatan dengan pola-pola restorasi untuk

kebaikan hukum dan masyarakat itu sendiri.

Penggunaan teori utilitas yang melihat hukum sebagai

salah satu alat untuk mendatangkan kepastian dan kemanfaatan

yang sebesar-besarnya kepada kebahagiaan pada masyarakat

untuk menganalisa dan mengukur keberhasilan pelaksanaan

penegakan hukum tindak pidana korupsi yang secara jelas menitik

beratkan adanya unsur pengembalian kerugian keuangan negara

selain unsur kesalahan dan perbuatan melawan hukum sebagai

akibat dari suatu tindak pidana korupsi menurut penulis adalah

sesuatu yang tepat dalam aksiologi hukum pemberantasan tindak

pidana korupsi dewasa ini.


21

Aspek epistimologi penegakan hukum terkait kewajiban

hukum pengembalian uang pengganti tindak pidana korupsi tidak

bisa dilepaskan dari membicarakan tentang rasionalisme dan

empirisme keberlakukan aturan hukum posistif itu ditengah

masyarakat, penjatuhan hukuman pidana uang pengganti yang

saat ini dilakukan bersifat koheren dengan undang-undang yang

mengaturnya yakni dalam Pasal 18 huruf b Undang Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, oleh karena teks undang-undang yang mengaturnya

tersebut duasumsikan benar (self evident), maka semua

pernyataan hakim dalam putusannya dimaksud harus juga

dianggap benar.

Berbeda halnya dengan empirisme yang dianut oleh teori

kebenaran korespondensi yang menyatakan bahwa sesuatu

paradigma hukum dianggap benar sepanjang pernyataan itu

sesuai dengan kenyataan, artinya ketentuan tentang pengaturan

uang pengganti diatas yang telah ditetapkan dan berlaku serta

mengikat bagi seluruh masyarakat, selayaknya bisa digunakan

untuk memotret kondisi yang berlaku dimasyarakat saat ini,

apabila realitanya tidak sejalan dengan bunyi ketentuan Pasal 18

huruf b Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut maka dalam

tingkatan epistimologi ada sesuatu yang harus dipertanyakan

terhadap eksistensi dan responsibilitas dari ketentuan Pasal 18

huruf b Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimaksud.


22

Aliran Utilitarianisme sebagai aliran yang meletakkan dua

tingkatan kebaikan hukum sebagai norma positif buatan penguasa

yang self-evident, yang tercermin dari dan titetapkan pada saat

keputusan hukum diberikan, kedua kebaikan hukum dalam praktek

yakni berupa tanggapan masyarakat yang terkena dampak

keputusan tadi dianggap paling tepat guna mendapatkan analisa-

analisa hukum yang dipandang tepat untuk menjawab pertanyaan-

pertanyaan idealisme dan materialisme yang selalu bergerak dari

waktu ke waktu dalam hal ini tujuan-tujuan idealisme dan

matrialisme penegakan hukum tindak pidana korupsi itu sendiri.

2. Teori Tujuan Pemidanaan

Pembangunan hukum pidana yang mengikuti

perkembangan masyarakat yang memunyai tujuan untuk

melindungi negara, masyarakat, dan individu jangan sampai

berbalik arah menjadi tirani terhadap kebebasan individu dengan

alasan kesadaran hukum dalam masyarakat menjadi dasar

pemidanaan dalam hukum pidana baru, akan tetapi pembaharuan

hukum pidana diharapkan dapat dijadikan sebagai pelindung

kepentingan hukum individu, masyarakat dan kepentingan negara

tetapi tidak mengakibatkan perbedaan perlakukan hukum terhadap

individu maupun masyarakat, menginat masyarakat Indonesia

yang sangat heterogen dan terdapatnya hukum-hukum adat yang

bermacam-macam perbedaannya.

Pembangunan hukum dalam hukum pidana dengan

dasar kepentingan dan tujuan hukum yang hendak dilindungi


23

dengan tetap berpegang teguh pada asas asas hukum pidana

sepanjang masih relevan, serta dengan pengembangan teori-teori

hukum pidana yang aplikatif dan responsif dengan

perkembangannya diharapkan dapat berlaku bagi seluruh

masyarakat Indonesia yang heterogen tanpa meninggalkan

harmonisasi hukum-hukum pidana yang berlaku secara

internasional.13

Pembangunan dan pembaharuan hukum pidana tidak

bisa dilepaskan dengan pembahasan tentang tujuan pemidanaan

itu sendiri, filsafat pemidanaan dan teori-teori tujuan pemidanaan

menurut sistem peradilan pidana yang kita anut dalam perspektif

teoritis dan penerapannya, kajian mengenai filsafat pemidanaan

diperlukan juga diperlukan untuk melihat arti dan korelasi serta

orientasi pemidanaan, sistem pemidanaan dan teori pemidanaan

itu sendiri.

M. Sholehudin menyebutkan hakikat filsafat pemidanaan

dalam hukum pidana mempunyai dua fungsi, yakni :

Pertama, fungsi fundamental yaitu sebagai landasan dan asas

normatif atau kaedah yang memberikan pedoman, kriteria atau

paradigma terhadap masalah pidana dan pemidanaan. Fungsi ini

secara formal dan intrinsik bersifat primer dan terkandung di dalam

setiap ajaran sistem filsafat, Maksudnya setiap asas yang

ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui

13
Agus Rusianto. Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Tinjauan
Kritis Melalui Konsistensi antara Asas, Teori dan Penerapannya. Prenamedia Group.
Jakarta. 2016, hlm. 11.
24

sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan,

dikembangkan dan diaplikasikan.

Kedua, filsafat pemidanaan dlam fungsi teori, dalam hal ini

sebagai meta-teori, maksudnya filsafat pemidanaan berfungsi

sebagai teori yang mendasari dan melatarbelakangi setiap teori-

teori pemidanaan14.

Berdasarkan dimensi demikian menurut Muladi dan

Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa pidana mengandung

unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :

1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan

penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak

menyenangkan.

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan

yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan

tindak pidana menurut undang-undang 15

Secara lebih gelobal dan representatif pada pokoknya

sistem pemidanaan sentencing system mempunyai dua dimensi

yang hakiki, yaitu 16:

14
Sholehudin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Doble Track
System dan Implementasinya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2003 hlm. 81-82.
15
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
PT. Alumni Bandung. 1998 hlm. 4.
16
Ted Honderich. Punishment: The Supposed Justification, rev. Ed, Penguin
Books, Harmondsworth, 1976, hlm 14-18, dalam Lililk Mulyadi. Bunga Rampai
Hukum Pidana Umum dan Khusus. PT. Alumni Bandung 2012. Hlm. 59
25

Pertama, dapat dikaji dari perspektif pemidanaan itu sendiri, Ted

Honderich meyebutkan bahwa pemidanaan mempunyai tiga

anasir, yaitu :

1. Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan

(deprivation) dan kesengsaraan (distress) yang biasanya

secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan

pemidanaan. Unsur pertama ini pada dasarnya merupakan

kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subjek yang

menjadi korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek lain.

Secara aktual tindakan subjek lain itu dianggap salah bukan

saja karena mengakibatkan penderitaan bagi orang lain, tetapi

karena juga melawan hukum yang berlaku secara sah.

2. Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang

berwenang secara hukum pula. Jadi, pemidaan tidak

merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan

sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu

lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan

merupakan tindakan balas dendam dari korban terhadap

pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.

3. Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan

pemidanaan hanya kepada subjek yang telah terbukti secara

sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam

masyarakatnya. Unsur ketiga ini memang mengundang

pertanyaan tentang “hukuman kolektif”, misalnya embargo

ekonomi yang dirasakan juga oleh orang-orang yang tidak

bersalah. Meskipun demikian, secara umum pemidanaan


26

dapat dirumuskan terbuka sebagai denda (penalty) yang

diberikan oleh instansi yang berwenang kepada pelanggar

hukum atau peraturan.

Kedua, sistem pemidanaan juga melahirkan eksistensi ide

individualisasi pidana. Pada pokoknya, ide individualisasi memiliki

beberapa karakteristik tentang aspek-aspek sebagai berikut :

a. Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas

personal);

b. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas

culpabilitas; ‘tiada pidana tanpa kesalahan’);

c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si

pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim

dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya

sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana

(perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.

Teori tujuan pemidanaan sebagai Theological Theory

dan Teori Gabungan sebagai pandangan interogatif dalam tujuan

pemidanaan beranggapan pemidanaan mempunyai tujuan plural,

kedua teori tersebut menggabungkan pandangan ulitarian dengan

pandangan ributivist. Pandangan ulitarianisme yang menyatakan

tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat

yang dapat dibuktikan dan pandangan retributivist yang

menyatakan keadilan dapat dicapai apabila tujuan yang

theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran

prinsip-prinsip keadilan.17

17
Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. PT. Alumni Bandung. 2002. Hlm 12.
27

Beberapa teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan adalah

sebagai berikut :

1. Teori Absolut / Retribusi

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang

telah melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan,

Imamanuel Kant memandang pidana sebagai “Kategorische

Imperatif” yakni seseorang harus dipidana oleh hakim karena

ia telah melakukan kejahatan sehingga pidana menunjukkan

suatu tuntutan keadilan. Tuntutan keadilan yang sifatnya

absolute ini terlihat pada pendapat Imamanuel Kant dalam

bukunya “Philosophy of Law” sebagai berikut :

Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana


untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku
itu sendiri maupun bagi masyarakat. Tapi dalam semua hal
harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah
melakukan kejahatan.18

Mengenai teori pembalasan tersebut, Andi Hamzah juga

memberikan pendapat sebagai berikut :

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah


bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat.
Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur
dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak, karena dilakukan
suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat
penjatuhan pidana.19

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut diatas, dapat diartikan

bahwa teori pembalasan tidak memikirkan bagaimana membina si

pelaku kejahatan, padahal si pelaku kejahatan mempunyai hak

18
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori Teori dan Kebijakan Pidana. PT.
Alumni Bandung 2005.
19
Djisman Samosir. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di
Indonesia. Bina Cifta Bandung 1992.
28

untuk dibina dan atau menjadi manusia yang berguna sesuai

dengan harkat dan martabatnya.

2.Teori Tujuan / Relatif

Para penganut teori tujuan / relatif ini memandang bahwa

pemidanaan sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk

mencapai kemanfaatan, baik yang berkaitan dengan orang yang

bersalah maupun yang berkaitan dengan dunia luar, misalnya

dengan mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau mencegah

penjahat potensial, akan menjadikan dunia tempat yang lebih

baik.20

Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak

pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est

(karena orang membuat kesalahan) melakukan ne peccetur

(supaya orang jangan melakukan kejahatan), maka cukup jelas

teori tujuan ini berusaha mewujudkan ketertiban dalam

masyarakat.21

Mengenai tujuan pemidanaan untuk pencegahan kejahatan, bisa

dibedakan menjadi dua istilah, yaitu:

a. Prevensi spesial (speciale preventie) atau pencegahan

khusus. Prevensi ini melihat pengaruh pidana ditujukan

kepada terpidana, prevensi khusus ini menekankan tujuan

pidana atau pemidanaan agar terpidana tidak mengulangi lagi

perbuatannya. Fungsi pidana untuk mendidik dan memperbaiki

20
Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. PT. Alumni Bandung. 2002. Hlm 18.
21
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori Teori dan Kebijakan Pidana. PT.
Alumni Bandung 2005, hlm. 46
29

terpidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan

berguna sesuai dengan harkat dan martabatnya.

b. Prevensi general (generale preventie) atau pencegahan

umum. Prevensi general menekankan bahwa tujuan

pemidanaan adalah untuk mempertahankan ketertiban

masyarakat dari gangguan penjahat. Pengaruh pidana

ditujukan terhadap masyarakat pada umumnya dengan

maksud untuk menakut-nakuti, artinya pencegahan kejahatan

yang ingin dicapai oleh pemidanaan adalah dengan

mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada

umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana.

3. Teori Gabungan

Teori Gabungan adalah kombinasi antara Teori Retribusi/Absolut

dengan Teori Tujuan/Relatif. Menurut teori gabungan tujuan

pemidanaan selalu membalas kesalahan penjahat tetapi juga

dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan

ketertiban dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh

melampaui batas pembalasan yang adil. 22

Menurut Pellegrino Rossi dalam bukunya “Traite de Droid Penal”

menyatakan :

Bahwa sekalipun pembalasan sebagai asas dari pidana bahwa


beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang
adil, namun pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain

22
Djidman Samosir. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di
Indonesia. Bina Cifta Bandung 1992.
30

perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi


general.23

Dalam teori gabungan terdapat tiga aliran yang mempengaruhi

lahirnya teori gabungan itu sendiri yaitu :

a. Teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan,

tetapi sifatnya yang berguna bagi masyarakat. Pompe

menyebutkan dalam bukunya “Hand boek van het

Ned.Strafrecht” bahwa pidana adalah suatu sanksi yang

memiliki ciri-ciri tersendiri dari sanksi lain yang terikat dengan

tujuan dengan sanksi-sanksi tersebut karenanya akan

diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah

yang berguna bagi kepentingan umum.

b. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pertahanan tata

tertib masyarakat. Pembalasan adalah suatu pidana tetapi

tujuannya adalah melindungi kesejahteraan masyarakat.

c. Teori gabungan yang memandang sama antara pembalasan

dan pertahanan tata tertib masyarakat. 24

Terkait dengan prevensi pemidanaan Roeslan Saleh

mengemukakan bahwa pidana pada hakikatnya terdapat dua

poros yang menentukan garis-garis hukum pidana yaitu :

a. Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum

sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahakan kelestarian

hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.

23
Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. PT. Alumni Bandung. 2002. Hlm 40.
24
Andi Hamzah. Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia dari Retribusi
ke Reformasi. Pradya Paramita. Jakarta. 1986, hlm. 52
31

b. Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus

merupakan pula penentu hukum, merupakan koreksi dan

reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum. 25

3. Teori Dualistis Pertanggungjawaban Pidana.

Berbeda dengan teori Monistis, yang memandang

kesalahan yang bersifat psykologis dan menempatkan kesalahan

sebagai unsur tindak pidana sekaligus membahas kesalahan

sebagai unsur pertanguungjawaban pidana, Teori Dualistis

memandang kesalahan bukan sebagai unsur tindak pidana tetapi

merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, kesalahan dalam

arti luas atau kesalahan sebagai unsur pertangungjawaban pidana

inilah yang merupakan perwujudan dari asas “tiada pidana tanpa

kesalahan” (geen straf zonder schuld).26

Perbedaan pandangan tentang kesalahan merupakan ciri

esensial antara teori Monistis dan teori Dualistis, unsur kesalahan

yang menilai keadaan batin pelaku merupakan unsur yang

berhubungan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan

hukum perbuatan si pelaku, hanya saja dengan adanya hubungan

antara ketiga unsur tadi dengan keadaan batin pembuatnya inilah

pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada orang itu.

Akibatnya, terhadap pelaku tadi dijatuhi pidana. 27

25
Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. PT. Alumni Bandung. 2002. Hlm 32.
26
Agus Rusianto. : Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.
Kencana. Jakarta 2016. Hlm. 127.
27
Wiryono Projodikoro dalam Adami Chazawi : Pelajaran Hukum Pidana
Bagian I, Stelsel, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya
Hukum Pidana, Raja Grafindo, Jakarta hlm. 90-91.
32

Kesalahan baik dari sisi moralitas dan dari sisi hukum

dapat berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana,

kesalahan yang didasarkan oleh kesalahan atas dasar moralitas

akan berimplikasi kepada pertanggungjawaban moral, sedangkan

kesalahan yang didasarkan atas kesalahan berdasarkan norma

hukum mempunyai implikasi pertanggung jawaban hukum.

Pertanggungjawaban pidana dalam common law system selalu

dikaitkan dengan mens rea dan pemidanaan (punisment),

pertenggungjawaban pidana mempunyai hubungan dengan

kemasyarakatan.

Pertanggungjawbaan pidana juga berfungsi sebagai

kontrol sosial agar didalam masyarakat tidak terjadi lagi tindak

pidana, fungsi pertanggungjawaban pidana ini adalah sebagai

pencegahan yang tidak hanya berwujud terhadap individu tetapi

juga sebagai pencegahan terhadap masyarakat yang bersifat

umum (general deterrence) pertanggungjawaban pidana juga

merupakan suatu mode preventif dari hukum pidana.

Pandangan inilah yang menjadi dasar dari teori Jeremy

Bentham mengembangkan teori pemidanaan yang diikuti oleh

kaum ulitarian (the ulitarian theori of punishment)28 yang

menitikberatkan pertanggung jawaban pidana dalam hubungannya

dengan fungsi pemidanaan pertanggung jawaban piana selain

dipandang sebagai dasar penjatuhan pidana juga di sisi lain

merupakan pertanggungjawaban pidana sebagai fungsi dari

28
Jeremy Bentham dalam Francis G. Jacobs : Criminal Responsibility,
London, Redwood Press Limited. 1997 hlm. 9.
33

pemidanaan, sehingga orang bersalah harus dipidana, tetapi dari

sisi pemidanaan, pidana yang dijatuhkan harus setimpal dengan

perbuatannya.

Penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi

sebagai bagian dari sistem pemidanaan di Indonesia juga

diharapkan disamping bertujuan untuk menghukum pelaku juga

dimaksudkan sebagai upaya pemulihan kerugian negara sebagai

akibat tindak pidana korupsi itu sendiri, secara tegas pengaturan

ketentuan pemberantasan korupsi menentukan salah satu tujuan

pemberantasan korupsi adalah untuk menarik kembali kerugian

keuangan negara dari tangan para koruptor sebagai uang

pengganti sebesar yang dikorupsinya untuk digunakan sebesar-

besarnya membiayai pembangunan dan penyelenggaraan negara.

Apabila diperhatikan secara seksama kejahatan korupsi

yang melibatkan adanya kerugian keuangan negara sebenarnya

juga merupakan lingkup tindak pidana dibidang ekonomi, artinya

bukan hanya tindak pidana yang murni dalam lingkup hukum

pidana belaka sehingga beralasan apabila kita sering juga

menyebutnya sebagai tindak pidana khusus atau tindak pidana

yang berkaitan dengan ekonomi. Oleh karena tindak pidana

korupsi juga mengandung unsur dan melibatkan adanya kerugian

keuangan negara di dalamnya menurut penulis semestinya juga

dapat didekati dengan pendekatan ekonomis guna penyelesaian

masalah hukum terutama terkait uang pengganti tersebut.

Pertimbangan secara ekonomis dalam menyelesaikan

masalah hukum di sini sudah barang tentu tidak dalam arti yang
34

negatif, semacam jual beli putusan pengadilan agar memenangkan

suatu perkara, atau memberi uang kepada aparat penegak hukum

agar perkaranya tidak diajukan ke pengadilan, yang dimaksud di

sini, adalah bagaimana mengupayakan agar suatu perkara dapat

diselesaikan secara cepat, sehingga nilai ekonomis perkara

tersebut tidak hilang29 . Pendekatan ini pertama kali diperkenalkan

kurang lebih 40 tahun yang lalu oleh ahli hukum dari Amerika

Serikat, melalui pendekatan secara ekonomis ini, maka prinsip

dalam ilmu ekonomi dapat diterapkan dalam berbagai segi

kehidupan, termasuk hukum. Dalam pengertian yang demikian,

maka prinsip yang dikenal dalam ilmu ekonomi dapat dijadikan alat

untuk menelaah dan mengkaji efektivitas hukum. 30

Penggunaan penyelesaian sengketa diluar pengadilan

sebenarnya telah lama digunakan oleh masyarakat terutama

terkait dengan masalah masalah ekonomi baik secara sporadis

maupun terlembaga untuk menyelesaikan masalah tenaga kerja,

masalah konsumen, perbankan, dan sengketa lingkungan dan

sengketa bisnis misalnya, kondisi ini bukan saja sebagai pengaruh

perkembangan hukum dan ekonomi secara global tetapi juga

suatu perkembangan yang dipandang dan disadari oleh beberapa

pakar sebagai alternatif yang tepat untuk digunakan guna

menyelesaikan sengketa selain lembaga pengadilan.

Dalam realitasnya saat ini apa yang dikonsepkan dalam

aturan normatif di mana, perkara pidana tidak bisa didekati


29
Adi Sulistiyono. Muhammad Rustamaji, : Hukum Ekonomi Sebagai
Panglima, Mas Media Buana Pustaka, Sidoarjo. 2009 hlm. 89.
30
Hikmahanto Juwana. Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum
Internasional, Lentera Hati Jakarta, 2002.
35

penyelesaian perkara di luar pengadilan tidak sepenuhnya benar,

sengketa pidana lalu-lintas, misalnya, yang menyebabkan

hilangnya nyawa seringkali diselesaikan secara damai antara

pihak pelanggar dan korban atau keluarga korban. Bahkan,

apabila kasus tersebut sampai di pengadilan, kadang kala hakim

hanya memberikan hukuman percobaan atau hukuman minimal

kalau ternyata antara pihak pelanggar dan pihak korban telah

ditempuh upaya damai. Upaya damai itu biasanya dalam bentuk

pihak pelanggar memberikan santuan atau sejumlah kerugian

yang diminta oleh pihak korban, sedangkan pihak korban harus

dengan sukarela menerima pemeberian pihak pelanggar. Apabila

keduanya telah tercapai kesepakatan, biasanya hakim hanya

memberikan hukuman yang paling ringan buat pelanggar. Namun

demikian, apabila korban atau keluarga korban tidak menghendaki

adanya perdamaian, maka hakim akan memutus sebagaimana

yang tertuang dalam aturan normatif.31

Penggunaan sarana alternatif penyelesaian sengketa

untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana, juga selaras dengan

pemikiran Barda Nawawi Arief.32, Kongres PBB ke-9 tahun 1995 33,

dan konsep lembaga plea bargaining yang terdapat dalam sistem

peradilan di Amerika Serikat.

31
Adi Sulistiyono. Muhammad Rustamaji, : Hukum Ekonomi Sebagai
Panglima, Mas Media Buana Pustaka, Sidoarjo. 2009 hlm. 137.
32
Barda Nawawi Arief : Pemberdayaan Court Management : Kajian Dari
Aspek Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana,
Salatiga hlm. 5-6.
33
Dokumen Penunjang Kongres PBB ke-9/1995 yang berakitan dengan
managemen peradilan pidana tertuang dalam A/Conf. 169/6, justice functions dan
alternatif dispute resolution/ADR dalam sistem peradilan pidana.
36

Tindak pidana korupsi yang disamping melibatkan dan

membicarakan tentang adanya kerugian keuangan negara juga

tidak jarang melibatkan badan-badan hukum atau lembaga-

lembaga publik serta korporasi sebagai subjek tindak pidananya,

meskipun dalam kenyataannya dilakukan secara individu para

pengurus yang mewakili ataupun direksinya akan tetapi

senyatanya perbuatan mereka mewakili korporasi atau

lembaganya, terhadap jenis korupsi ini semestinya korporasi

berupa lembaga ataupun perusahaannya melihat kenyataan ini

semestinya secara teoritis dapat didekati dengan pendekatan

pertanggungjawaban pidana korporasi sehingga korporasinya

dapat dimintai pertanggung jawaban secara hukum pidana.

Membicarakan masalah pertanggungjawaban pidana

koorporasi sebagai subjek tindak pidana erat kaitnya dengan

membicarakan sifat pertanggungjawaban pidana dari korporasi itu

sendiri. Berdasarkan peraturan perundang - undangan menurut

Mardjono Reksodiputro terdapat tiga model pertanggungjawaban

pidana koorporasi sebagai berikut 34:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang

bertanggungjawab.

2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang

bertanggungjawab.

3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang

bertanggungjawab.

34
B. Mardjono Reksodiputro, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam
Tindak Pidana Korporasi. FH. Undiversitas Diponegoro, 1989. Hlm 9.
37

Secara teoritis, teori-teori pertanggungjawaban pidana

korporasi berkembang di negara-negara Erofa Kontinental,

terutama dinegeri Belanda teori yang dikemukakan oleh

Remmelink Ter Heide dan ‘tHart. Ajaran ini betendensi “psikologis”

dari J. Remmelink yang berpendapat bahwa hukum pidana

memandang manusia sebagai mahluk rasional dan bersusila

(redelijk zedelijk wezen)

Pandangan Ter Heide yang memilih pendekatan hukum

pidana yang bernuansa “sosiologis” didalam bukunya yang

berjudul Vrijheid, over de zin van de straf menyatakan 35 :

“bahwa terdapat suatu kecenderungan di mana hukum pidana


semakin lama dilepaskan dari konteks manusia, karena hukum
pidana telah lepas dari konteks manusia, maka dapat disimpulkan
bahwa hanya manusia yang pada prinsipnya dapat diperlakukan
sebagai subjek hukum dapat disimpangi. Alasan untuk
memperlakukan badan hukum sebagai subjek hukum adalah
berkaitan dengan badan hukum mampu untuk turut berperan
dalam megubah situasi kemasyarakatan (penetapan badan hukum
sebagai pelaku tindak pidana secara fungsional) , yang
mengimplikasikan bahwa badan hukum juga dapat dinyatakan
bersalah (unsur kesalahan ini diartikan bertindak secara sistimatis”

Berdasarkan hal tersebut diatas Ter Heide menarik kesimpulan

bahwa bila hukum pidana dilepaskan dari kontek manusia, maka

hal itu mengimplikasikan dapat dipidananya badan hukum,

berbeda dengan pendekatan psikologis dari Remmelink, maka di

dalam pendekatan sosiologis Ter Heide berpandangan bahwa

badan hukum dapat dipidana dapat ditempatkan dalam

keseluruhan sistem hukum pidana, meskipun beliau tidak merinci

lebih lanjut tentang persyaratan penetapan badan hukum sebagai

35
Feure, MG. J.C. Oudijk. D. Schaffmeister. Kekhawatiran Masa Kini
Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan dalam Teori dan Praktek. Citra
Aditya Bakti. 1994. Penerjemah Tristam P. Moeliono. Hlm 229.
38

pelaku yang dapat ditetapkan, namun cukup jelas bahwa

berdasarkan wawasan penentuan batas harus dilakukan dengan

memperhatikan makna sosial dari tindakan badan hukum yang

bersangkutan.36

Penambahan pidana tambahan pembayaran uang

pengganti dalam suatu perkara korupsi, menunjukkan bahwa

penegakan hukum pemberantas tindak pidana korupsi selain

dimaksudkan sebagai upaya membasmi korupsi, memberikan efek

jera terhadap pelaku dan masyarakat juga dimaksudkan sebagai

upaya pemulihan kerugian uang negara yang menjadi salah satu

unsur terpenting dalam tindak pidana korupsi .

Tujuan pemidanaan tindak pidana korupsi korupsi

sebagai upaya pemulihan kerugian keuangan negara tersebut

diatas bisa dipahami selaras dengan tujuan negara Indonesia

sebagaimana termaksud dalam Alenia ke – 4 Pembukaan Undang-

undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan

“kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan

negara indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi

dan keadilan sosial”.

Apabila mengukur dan memahami tujuan pemidanaan

pemberantasan dan penghukuman tindak pidana korupsi


36
Feure, MG. J.C. Oudijk. D. Schaffmeister. Kekhawatiran Masa Kini
Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan dalam Teori dan Praktek. Citra
Aditya Bakti. 1994. Penerjemah Tristam P. Moeliono. Hlm 237-238.
39

sebagaimana tersebut dalam undang undang tindak pidana

korupsi dimaksud dengan melihat cita-cita luhur negara Indonesia

sebagai negara kesejahteraan maka tujuan penegak hukum

khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia

hendaklah diasaskan kepada tujuan hukum berupa memberikan

keadilan, kepastian, kemanfaatan dan kesejahteraan bagi

kehidupan berbangsa dan bernegara, hukum bukan hanya

dimaksudkan untuk mengejar kepastian hukum dengan mengejar

dan menghukum para pelakunya belaka, tetapi hukum juga

dipandang sebagai upaya untuk memberikan kemanfaatan yang

sebesar-besarnya bagi segenap warga dan negara Indonesia.

Adanya keselaraan antara tujuan pemidanaan dengan

teori kemanfaatan hukum teori utilitarianisme yang oleh Jeremy

Betham disebutkan tujuan hukum adalah memberikan

kemanfaatan dan kebahagian terbesar kepada sebanyak-banyak

warga masyarakat dan keberadaan negara dan hukum semata-

mata sebagai alat untuk mencapai kebahagian yang hakiki yaitu

kebahagian mayoritas rakyat37.

1.4.1.6. Teori Kewenangan

Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan

penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi.

Sebegitu pentingnya kewenangan ini sehingga F.A.M. Stroink dan

J.G. Steenbeek menyatakan : “Het Begrip bevoegdheid is dan ook

37
Shidarta, : Utilitarianisme, UPT. Penerbitan Universitas Tarumanegara,
Jakarta 2007. Hlm. 35,
40

een kembegrip in he staats-en administratief recht”. 38 Dari

pernyataan ini dapat ditarik suatu pengertian wewenang

merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum

administrasi.

Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan

“authority” dalam bahasa inggris dan “bevoegdheid” dalam bahasa

Belanda. Authority dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai

Legal Power; a right to command or to act; the right and power of

public officers to require obedience to their orders lawfully issued

in scope of their public duties.39 (kewenangan atau atau wewenang

adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak;

hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum

dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik).

Selanjutnya Nur Basuki Winarno menyatakan wewenang

sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari tiga

komponen, yaitu : pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum,

kerja ketiga komponen tersebut sebagai berikut :

1. Komponen pengaruh adalah bahwa penggunaan wewenang

dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum.

2. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu dapat

ditunjukkan dasar hukumnya.

3. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar

wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan

standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

38
Nur Basuki Winarno. Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana
Korupsi. Laksbang Mediatama. Jogjakarta. 2008. Hlm. 65.
39
Ibid. Halaman 68.
41

Sejalan dengan pilar utama negara hukum yaitu asas

legalitas (legaliteits beginselen atau wetmatigheid van bestuur),

atas dasar prinsip tersebut bahwa wewenang pemerintahan

berasal dari peraturan Perundang-undangan. Dalam kepustakaan

hukum administrasi terdapat dua cara untuk memperoleh

wewenang pemerintah yaitu atribusi dan delegasi; kadang-kadang

juga, mandat, ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk

memperoleh wewenang.

Demikian juga pada setiap perbuatan pemerintah

diisyaratkan harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Tanpa

adanya kewenangan yang sah, seorang pejabat atau badan tata

usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan

pemerintah. Kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap

pejabat atau bagi setiap badan. Kewenangan yang sah bila ditinjau

dari sumber darimana kewenangan itu lahir atau diperoleh, maka

terdapat tiga kategori kewenangan, yaitu Atribut, Delegatif dan

Mandat, yang dapat dijelaskan sebagai berikut 40:

1. Kewenangan Atribut

Kewenangan atribut biasanya digariskan atau berasal dari

adanya pembagian kekuasaan oleh peraturan Perundang-

undangan. Dalam pelaksanaan kewenangan atributif ini

pelaksanannya dilakukan sendiri oleh pejabat atau badan yang

tertera dalam peraturan dasarnya. Terhadap kewenangan

atributif mengenai tanggung jawab dan tanggung gugat berada

40
Nur Basuki Winarno. Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana
Korupsi. Laksbang Mediatama. Jogjakarta. 2008. Hlm. 70-75..
42

pada pejabat atau badan sebagaimana tertera dalam peraturan

dasarnya.

2. Kewenangan Delegatif

Kewenangan Delegatif bersumber dari pelimpahan suatu organ

pemerintahan kepada organ lain dengan dasar peraturan

Perundang-undangan. Dalam hal kewenangan delegatif

tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada yang diberi

wewenang tersebut dan beralih pada delegataris.

3. Kewenangan Mandat

Kewenangan Mandat merupakan kewenangan yang bersumber

dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan

yang lebih tinggi kepada pejabat atau badan yang lebih rendah.

Kewenangan mandat terdapat dalam hubungan rutin atasan

dan bawahan, kecuali bila dilarang secara tegas.

Dalam kaitannya dengan konsep atribusi, delegasi,

mandat itu dinyatakan oleh J.G. Brouwer dan A.E. Schilder,

bahwa41:

1. With attribution, power is granted to an administrative

authority by an independent legislative body. The power is

intial (originair), which is to say that is not derived from a

previously non sexistent powers and assigns them to an

authority.

2. Delegations is the transfer of an acquird attribution of power

from one administrative authority to another, so that the

41
Nur Basuki Winarno. Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana
Korupsi. Laksbang Mediatama. Jogjakarta. 2008. Hlm. 74..
43

delegate (the body that has acquired the power) can

exercise power its own name.

3. With mandate, there is no transfer, but the mandate giver

(mandans) assigns power to the other body mandataris) to

make decisions or take action in its name.

Brouwer berpendapat pada atribusi, kewenangan

diberikan kepada suatu badan administrasi oleh suatu badan

legislatif yang independen. Kewenangan ini asli, yang tidak diambil

dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif

menciptakan kewenangan mandiri dan bukan putusan

kewenangan sebelumnya dan memberikannya kepada yang

berkompeten.

Delegasi ditransfer dari kewenangan atribusi dari suatu

badan administrasi yang satu kepada yang lainnya, sehingga

delegator/delegans (badan yang telah memberikan kewenangan)

dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya. Pada mandat

tidak terdapat suatu transfer kewenangan, tetapi pemberi mandat

(mandans) memberikan kewenangan kepada badan lain

(mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil

suatu tindakan atas namanya.

Ada perbedaan mendasar yang lain antara kewenangan

atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang siap

ditransfer, tidak demikian dengan delegasi. Dalam kaitan dengan

asas legalitas kewenangan tidak dengan didelegasikan secara

besar-besaran, akan tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa

peraturan hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi.


44

Konsep kewenangan dalam hukum administrasi negara

berkaitan dengan asas legalitas, dimana asas ini merupakan salah

satu prinsip utama yang dijadikan sebagai bahan dasar dalam

setiap penyelenggaraan pemerintah dan kenegaraan di setiap

negara hukum terutama bagi negara-negara hukum yang

menganut sistem hukum eropa continental. Asas ini dinamakan

juga kekuasaaan undang-undang de heerschappij van de wet.

Asas ini dikenal juga didalam hukum pidana nullum delictum sine

previa lege peonale yang berarti tidak ada hukuman tanpa

undang-undang)42. Di dalam hukum administrasi negara asas

legalitas ini mempunyai makna dat het bestuur aan wet is

onderworpnen, yakni bahwa pemerintah tunduk kepada undang-

undang, asas ini merupakan sebuah prinsip dalam negara hukum.

Sifat kewenangan secara umum dibagi atas tiga macam,

yakni kewenangan yang bersifat terikat, yang bersifat pilihan

fakultatif dan yang bersifat bebas. Bila dikaitkan dengan

kewenagan pembuatandan penerbitan keputusan besluiten dan

ketetapan-ketetapan beschikingen oleh organ pemerintahan

sehingga dikenal adanya keputusan yang bersifat dan bebas.

Menurut Indroharto, kewenangan yang bersifat terikat

terjadi apablia peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam

keadaan yang bagaimana kewenangan tersebut dapat digunakan

atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi

dan keputusan yang harus diambil. Pada kewenangan fakultatif

Eny Kusdarini. Dasar Dasar Hukum Administrasi Negara dan Asas Asas
42

Umum Pemerintahan Yang Baik. UNY. Press. Yogyakarta. 2011. Hlm. 89.
45

apabila dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang

bersangkutan tidak wajib menerapkan kewenangannya atau sedikit

banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat

dilakukan dalam hal-hal tertentu atau keadaan tertentu

sebagaimana ditentukan oleh peraturan dasarnya. Dan yang

ketiga yaitu kewenangan bebas yakni terjadi apabila peraturan

dasarnya memberikan kebebasan kepada badan atau pejabat tata

usaha negara untuk menentukan sendiri isi dari keputusan yang

akan dikeluarkannya43.

Philipus M Hadjon membagi kewenangan bebas dalam

dua kategori yaitu kebebasan kebijaksanaan dan kebebasan

penilaian yang selanjutnya disimpulkan bahwa ada dua jenis

kekuasaan bebas yaitu kewenangan untuk memutuskan mandiri

dan kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar

(verge norm).44

Di dalam negara hukum dikenal asas legalitas yang

menjadi pilar utama dan merupakan salah satu prinsip utama yang

dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan

kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi negara-negara

hukum dan sistem kontinental 45. Philipus M Hadjon

mengemukakan bahwa kewenangan diperoleh melalui tiga sumber

yaitu atribus, delegasi, mandate. Kewenangan atribus lazimnya

43
Indroharto, Usaha Memahami Undang Undang Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Pusata Sinar Harapan, 2003, Jakarta, Hlm. 32
44
Philipus M. Hadjon, Hukum Administrasi dan Good Governance. Trisakti,
Jakarta. 2010. Hlm. 15
45
Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara. Paradoksal Konplik dan Otonomi
Daerah, Sketsa Bayang Bayang Konflik dalam Prospek Otonomi Daerah. Sinar
Mulia. Jakarta, 2002, hlm 65.
46

digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-

Undang Dasar, kewenangan delegasi dan mandate adalah

kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Setiap kewenangan

dibatasi oleh isi atau materi wilayah dan waktu, cacat dalam

aspek-aspek tersebut dapat menimbulkan cacat kewenangan.

1.4.2. Kerangka Konsep

1. Konsep Tindak Pidana Korupsi

Korupsi berasal dari bahas latin corruptio, dan

disebutkan bahwa corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu

kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyakan

bahasa Eropa seperti corruption dan coorupt (Inggris), corruption

(Prancis), dan Corruptie (Belanda), yang secara harfiah, menurut

Sudarto (1976) mengatakan kata korupsi menunjuk pada

perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur yang berkaitan dengan

keuangan. Korupsi, menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan

sebagai jenis tindak pidana yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara serta dapat menghambat

pembangunan nasional.46

Kerugian negara yang dimaksud terdapat pada Pasal 2

ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 31 tahun

1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No.

20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31

Tahun 1999, yang berbunyi :

46
Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana . Alumni . Bandung,2006, hal.94.
47

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara”.

Secara definisi kerugian negara yang menciptkan

kepastian hukum, yaitu sebagaimana yang tercantum dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Pembendaharaan

Negara, Pasal 1 ayat (22) yang menyatakan :

“Kerugian negara / daerah adalah kekurangan uang, surat


berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya akibatnya
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.

Namun demikan, dalam membicarakan kerugian negara

tersebut harus dibedakan antara kerugian negara sebagai akibat

kesalahan dalam pengelolaan keuangan negara, dan kerugian

negara sebagai akibat tindakan kecurangan / penyalahgunaan

kewenangan oleh pejabat pengelola keuangan negara, sedangkan

yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh

kekayaan negara dalm bentuk apa pun, yang dipisahkan atau tidak

dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara

dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

1. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung-

jawaban pejabat, lembaga negara, baik ditingkat pusat

maupun ditingkat daerah.

2. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung-

jawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik

Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang

menyertakan modal negara, atau perusahaan yang


48

menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian

dengan negara. 47

Konsep pidana tambahan kewajiban pembayaran

uang pengganti dalam suatu perkara tindak pidana korupsi

pertama kali diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Perpu) Nomor : 24 Tahun 1960 Tentang

Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana

Korupsi, selanjutnya diatur kembali dalam Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971 dan Undang Undang Nomor 20 Tahun

2001 Tentang Perubahan Atas Undang Nomor : 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

menentukan bahwa pidana pembayaran uang pengganti

merupakan salah satu pidana tambahan dalam perkara

korupsi selain pidana tambahan lain sesuai dengan jenis-jenis

pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)

huruf b, jounto Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) Undang-

Undang Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. .

2. Konsep Pidana Dan Pemidanaan

Pengertian Criminal Law dalam Black Law Dictionary

menyebutkan bahwa Criminal Law adalah the body defining

offences againts the community at large, regulating how supect

47
Mulia Fadillah, Pelaksanaan Pidana Pembayaran Uang Pengganti Bagi
Terpidana Kasus Korupsi Di Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat, Karya Ilmiah
Diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Andalasa, 2009.hlm 5.
49

are integrated, changed, and tried and astablishing punishment for

covicted offeders.

Soedarto memberikan definisi hukum pidana sebagai aturan

hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang

memenuhi syarat tertentu suatu akibat berupa pidana, sementara

itu Simons memberikan definisi Hukum Pidana adalah :

a) Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam

dengan nestapa yaitu “pidana” apabila tidak ditaati.

b) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk

perjatuhan pidana, dan

c) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk

penjatuhan dan penerapan pidana.

Menurut Soedarto,48 hukum pidana dapat dipandang dari

sudut dogmatik yang meliputi tiga permasalahan pokok,

yakni :

1) perbuatan yang dilarang,


2) orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu,
3) pidana yang diancam terhadap pelanggaran itu.

Pandangan tersebut tidak jauh berbeda dengan pandangan

Wihem Sauher yang dikenalkan dengan Trias Sauher menyatakan

bahwa terdapat tiga pengertian dasar dalam hukum pidana, yaitu

sifat melawan hukum (unrecht), kesalahan (schuld), dan pidana

(straf).

48
Ali Zaidan, 2015, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm.2.
50

Secara konkret tujuan hukum pidana itu ada dua 49,

yaitu untuk menakuti-nakuti setiap orang jangan sampai

melakukan perbuatan yang tidak baik untuk mendidik orang yang

telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan

dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya.

Menurut Andi Hamzah tujuan pemidanaan yang

berkembang dari dahulu sampai kini telah menjurus ke arah yang

lebih rasional.50 yang paling tua ialah pembalasan (revenge) atau

untuk tujuan memuaskan pihak yang dirugikan atau menjadi

korban kejahtan. Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang

masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini. Unsur-unsur

primitif dari hukum pidana paling sukar dihilangkan, berbeda

dengan cabang hukum yang lain. Tujuan yang juga di pandang

kuno ialah penghapusan dosa (expiation) atau retribusi

(retribution), yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan

jahat atau menciptakan balans yang hak dan yang batil.

Hal yang dipandang sebagai tujuan yang berlaku

sekarang ialah variasi dari bentuk-bentuk penjeraan (deterrent),

baik ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada

mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat; perbaikan

(reformasi) kepada penjahat. yang tersebut terakhir yang paling

modern dan populer dewasa ini bukan saja bertujuan memperbaiki

kondisi pemenjaraan tetapi juga mencari alternatif lain yang buka

49
Abdoel Jamali, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada
Jakarta, hlm. 173.
50
Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: dari
Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm 17.
51

bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum. 51 Ada tiga

golongan utama untuk membenarkan penjatuhan pidana :

a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)

b. Teori relatif atau tujuan (deoltheorien)

c. Teori gabungan (verenigingstheorien)

Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18,

dianut antara lain oleh Imanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo

Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada

filsafat Katolik dan sudah tentu juga sarjana hukum Islam yang

mendasarkan teorinya pada ajaran kisas dalam Al Quran.

Teori pembalasan mengatakan pidana tidaklah bertujuan

untuk yang pratis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu

sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana.

Pidana secara mutlak ada karena dilakukan suatu kejahatan.

Tidaklah perlu untuk memikirkan menfaat penjatuhan pidana itu

setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelaku

oleh karena itulah maka teori absolut memandang pidana

merupakan tuntutan mutlak bukan hanya sesutau yang perlu

dijatuhkan tetapi menjadi keharusan dan hakikat suatu pidana

ialah pembalasan.

Jika teori absolut melihat kepada kesalahan yang sudah

dilakukan, sebaliknya teori-teori relatif maupun tujuan berusaha

untuk mencegah kejahatan, oleh karena itu juga disebut teori

prevensi, yang dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu prevensi umum

51
Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: dari
Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm 17.
52

dan prevensi khusus. Dengan dijatuhkannya niatnya karena ada

perasaan takut dan akibat yang dilihatnya, jadi ditujukan kepada

masyarakat pada umumnya, sedangkan prevensi khusus ditujukan

kepada pelaku agar ia tidak mengulangi perbuatan jahatnya.

Apabila menggunakan pendekatan yang berisifat

tradisional (fundamental approach), maka funsi hukum pidana

akan selalu diarahkan terutama untuk mempertahankan dan

melindungi nilai nilai moral, dalam hal ini kesalahan (guilt) akan

selalu merupakan unsur utama dalam syarat pemidanaan dan

bersifat retributif. Perkembangan kemudian pendekatan tersebut

saat ini sudah mulai bergeser kearah pendekatan utilitarian

(utilitarian approach), yang menjadikan hukum pidana dan sanksi

pidana dianggap merupakan salah satu dari sekian sarana yang

oleh masyarakat dapat digunakan untuk melindungi dirinya dari

perilaku yang membahayakan masyarakat tersebut, kegunaan

sanksi pidana dinilai dari sudut apakah dengan mengenakan

sanksi tersebut dapat diciptakan kondisi yang lebih baik 52.

Apabila pandangan fundamentalis menitik beratkan pada ancaman

terhadap perasaan moral masyarakat sebagai pembenaran

penggunaan sanksi pidana, maka pandangan utilitarian melihat

public order sebagai sarana pelindungnya.

Dalam proses modernisasi dan pembangunan ekonomi

yang semakin meningkat, muncul perkembangan terbaru dalam

kaitannya dengan ruang lingkup dan fungsi hukum pidana dan

Yesmil Anwar, Adang. Sistem Peradilan Pidana. Widya Padjajaran,


52

Bandung, halaman, 30.


53

sanksi pidana. Hukum pidana dalam hal ini digunakan dalam

sarana untuk meningkatkan rasa tanggung jawab negara dalam

rangka mengelola kehidupan masyarakat modern yang semakin

kompleks. Sanksi pidana antara lain digunakan secara maksimal

untuk mendukung norma hukum administratif dalam berbagai hal,

inilah yang kemudian dinamakan administrative penal law

(verwaltungsstrafrecht) yang masuk dalam ruang lingkup public

welfare offenses.53

3. Konsep Pertanggungjawaban Pidana

Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana

merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan.

Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan

mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan

tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pemikiran

orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan

dengan an act does not make a peson guilty, unless the mind is

legally blameworthy. Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat

yang harus dipenuhi untuk memidana seseorang, yaitu ada

perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana actus reus,

dan ada sikap batin jahat - tercela mens rea.

Roeslan Saleh menyatakan bahwa pertanggungjawaban

pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang

ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat

Muladi. Dwidja Priyatno.


53
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.
Prenamedia Group. 2012 hlm. 247.
54

yang dapat dipidana karena perbuatannya itu 54. Maksud celaan

yang objektif adalah bahwa perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang memang merupakan suatu perbuatan yang dilarang,

indikatornya adalah perbuatan tersebut melawan hukum baik

dalam arti melawan hukum formil maupun melawan hukum

materiil. Maksud celaan subjektif menunjuk kepada orang yang

melakukan perbuatan yang dilarang tadi, sekalipun perbuatan

yang dilarang telah dilakukan seseorang, namun jika tidak terdapat

kesalahan, maka pertanggungjawaban pidana tidak mungkin ada.

Pandangan Roeslan Saleh sebagaimana ia nyatakan di

atas menurut Barda Nawawi Arief merupakan pandangan baru

yang sebenarnya tidaklah asing di dalam doktrin tentang

pertanggungjawaban pidana adalah keharusan adanya kesalahan,

yang di negara-negara Anglo Saxon dikenal dengan mens rea,

namun demikian syarat umum adanya kesalahan itu doktrin yang

dianut di beberapa negara dikecualikan untuk tindak pidana

tertentu, yaitu apa yang dikenal dengan strict liability dan vicarious

liability.55

Berdasarkan uraian tersebut di atas terkait dengan

pertanggungjawaban pidana korporasi, asas kesalahan masih

tetap dipertahankan, tetapi dalam perkembangan dibidang hukum

khususnya hukum pidana yang menyangkut pertanggungjawaban

pidana asas kesalahan atau “asas tiada pidana tanpa kesalahan”


Roeslan Saleh ; Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan dan Kesalahan dalam
54

Hukum Pidana. Aksara Baru, Jakarta 1979.


55
Barda Nawawi Arief. Perbandingan Hukum Pidana , FH. UNDIP Semarang.
1988. hlm. 109.
55

tidak mutlak berlaku. Pada pandangan baru ini cukuplah fakta

yang diderita si korban dijadikan dasar untuk menuntut

pertanggungjawaban pidana pada si pelaku sesuai dengan

adagium “res ipsa loquitur”, fakta sudah berbicara sendiri.

Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Muladi

menyatakan bagaimanapun juga asas kesalahan merupakan asas

yang fundamental, yaitu sebagai jaminan adanya hak asasi

manusia yang harus dilindungi, sehingga perlu dipertanyakan

sampai sejauh mana pandangan baru itu menyatakan asas

kesalahan tidak mutlak berlaku dan apakah dapat menjamin hak

asasi tersebut.

Terkait pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan ini

secara khusus, berikut ini dijelaskan pandangan para ahli tentang

penerapan doktrin strict liability dan vicarious liability sebagai

berikut :

1. Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability or libility

without fault) di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan

ungkapan “absolut liability” atau “strict libility”. Dengan prinsip

tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya

kesalahan. Atau dengan perkataan lain, suatu prinsip

tanggung jawab yang memandang “kesalahan” sebagai suatu

yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada

kenyataan ada atau tidak.56

Muladi. Dwidja Priyatno.


56
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.
Prenamedia Group. 2012 hlm. 110
56

2. Ungkapan atau frase “absolute liability” digunakan untuk

pertama kali oleh John Salmond dalam bukunya yang berjudul

The Law of Tort pada tahun 1907, sedangkan ungkapan strict

liability dikemukakan oleh W.H. Winfield pada tahun 1926

dalam sebuah artikel yang berjudul The Myth of Absolute

Liability.57

3. Menurut doktrin “strict liability”, (pertanggungan yang ketat),

seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak

pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada

kesalahan (mens rea). Secara singkat, strict liability diartikan

sebagai “liability without fault” (pertanggungjawaban pidana

tanpa kesalahan).58

4. Adapun mens rea, kata ini diambil orang dari suatu maksim

yang berbunyi: Actus non est reus nisi mens sif rea, yang

maksudnya adalah suatu perbuatan tidak menjadikan

seseorang bersalah kecuali pikirannya adalah salah 59.

Menurut L.B. Curson, doktrin strict liability ini didasarkan pada

alasan-alasan sebagai berikut :

1. Adalah sangat essensial untuk menjamin dipatuhinya

peraturan-peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk

kesejahteraan sosial.

57
E. Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum
Pengangkutan Umum Internasional, Liberti Yogyakarta 1989 hlm. 35
58
Barda Nawawi Arief. Pelengkap Bahan Kuliah Hukum Pidana I, FH. UNDIP
Semarang. 1984 hlm. 68.
59
Roeslan Saleh, Pikiran Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia
Indonesia, Jakarta. 1982 hlm. 23.
57

2. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk

pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan dengan

kesejahteraan sosial.

3. Tingginya tingkatan bahaya sosial yang ditimbulkan oleh

perbuatan yang bersangkutan.

Pada negara-negara Common Law kebanyakan strict

liability terdapat pada delik-delik yang diatur dalam undang-

undang (statutory offences; regulatory offences; mala prohibita)

yang pada umumnya merupakan delik-delik terhadap

kesejahteraan umum (public welfare offences), adapun vicarious

liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang

dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the

legal responsibility of one person for the wrongful acts of

another)60.

Pertanggungjawaban pidana jenis ini misalnya terjadi

dalam hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu

adalah dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatan, pada

umumnya terbatas pada kasus yang menyangkut hubungan antara

majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya. Pengertian

vicarious liability ini adalah walaupun seseorang tidak melakukan

sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunnyai kesalahan

dalam arti yang biasa, ia masih tepat dapat dimintai

petanggungjawaban.61
60
Romli Atmasasmita, Asas Asas Perbandingan Hukum Pidana, Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta. 1989 hlm. 93.
61
Barda Nawawi Arief. Masalah Pemidanaan. Bahan Kuliah Hukum Pidana I,
FH. UNDIP Semarang. Hlm. 111.
58

4. Konsep Restorative Justice

Istilah keadilan restoratif restorative justice pertamakali

diperkenalkan oleh seorang psikolog Albert Wglash pada 1977 dalam

tulisannya tentang ganti rugi atau perampasan (reparation), keadilan

restoratif sangat perduli terhadap membangun kembali hubungan-

hubungan setelah terjadinya tindak pidana, akan tetapi tidak hanya

sekedar memperbaiki hubungan antara pelaku dan masyarakat

keadilan restoratif merupakan peacefully resolved yang tidak semata-

mata menerapkan keputusan tentang siapa yang menang dan siapa

yang kalah dalam sistem peradilan pidana yang bersifat permusuhan

dalam sistem adversial adversial system akan tetapi proses mencari

suatu fasilitas dialog antara segala pihak yang terdampak oleh suatu

kejahatan termasuk korban, pelaku, para pendukungnya, termasuk

masyarakat secara keseluruhan.

Munculnya keadilan restoratif pada mulanya merupakan

reaksi terhadap keadilan retributif retributive justice yang tetap

dominan sampai saat ini, yang menurut Muladi menggunakan

pendekatan Medical Model dan hanya menekankan 3 (tiga)

kebutuhan mendasar sistem peadilan pidana yakni pertama :

menjatuhkan sanksi terhadap pelaku, kedua : membantu rehabilitasi

pelaku, dan ketiga : memmperkuat keamanan dan keselamatan

masyarakat. Yang tidak diperhatikan dan hal ini dipenuhi oleh

keadilan restoratif adalah kebutuhan keempat yaitu kebutuhan untuk


59

memperbaiki atau memulihkan kerugian korban tindak pidana dan

masyarakat semaksimal mungkin.62

Penegakan hukum tindak pidana korupsi merupakan

tindak pidana publik yang tidak dapat dilepas dari masyarakat, peran

masyarakat jelas diatur dan dituangkan didalamnya di lain sisi

masyarakat dipandang sebagai korban dari tindak pidana korupsi

oleh pelakunya, keterkaitan itu terlihat dari adanya unsur kerugian

keuangan negara sebagai akibat suatu tindakan korupsi.

Meskipun pelaksanaan penuntutan oleh negara dalam

tindak pidana korupsi interprestasinya diwakili oleh penyidik dan

penuntut umum yang bersangkutan, tetapi juga merupakan

interprestasi dari kepentingan negara dan masyarakat yang menjadi

korban dari tindak pidana korupsi.

Carl Von Savigny menjelaskan bahwa membicarakan

mengenai hukum tidaklah bisa dilepaskan dari membicarakan

mengenai masyarakat, “das Recht wird nicht gemacht, est ist und

wird mit dem Volke” (hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan

berkembang bersama masyarakat) oleh karena itu dalam

memandang hukum, maka sudah barang tentu bahwa masyarakat

juga harus diperhatikan.

Penegakan hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang

Hukum Acara Pidana yang mengatur secara formil pelaksanaan

penegakan hukum, secara singkat dapat dikatakan bahwa maksud

62
Muladi dan Diah Sulistyani. Kompleksitas Perkembangan Tindak Pidana
dan Kebijakan Kriminal. PT. Alumni. Bandung. 2016. Hlm. 113.
60

dan tujuan penegakan hukum (Law Enfocement) adalah merupakan

penjatuhan pidana atau sanksi pidana yang menurut Sauer ada tiga

pengertian dasar dalam hukum pidana itu sendiri yakni sifat melawan

hukum, kesalahan dan pemidanaan.

Program Restorative Justice dalam perkembangannya

merupakan tawaran baru sebagai jawaban atas gagalnya sistem

peradilan formal secara luas telah diakomodir sebagai alternatif

jawaban atas kebutuhan penegakan hukum misalnya, termasuk

mengatasi konflik diberbagai konteks.

Bagir Manan pernah mengatakan penegakan hukum di

Indonesia bisa dikatakan “Communis Opinion doctorum” yang artinya

bahwa penegakan hukum yang sering dianggap telah gagal dan

mencapai tujuan yang diisyaratkan oleh undang-undang, oleh karena

itu diperkenankanlah sebuah alternatif penegakan hukum baru yaitu

restorative justice system, dimana pendekatan yang digunakan

adalah melalui pendekatan sosio -kultural dan bukan pendekatan

normatif.

Program Restorative Justice didasarkan pada keyakinan

bahwa pihak yang terlibat konflik harus secara aktif terlibat dalam

penyelesaian dan mengurangi konsekuensi negatif sebagai

akibatnya, program restorative justice juga didasari oleh tiga prinsip

dasar untuk membentuk restorative justice itu sendiri yaitu the three

principles that are involved in restorative justice include : there be a

restoration to those who have been injured, the offender has an

oppurtunity to be involved in the restoration if they desire and the


61

court system’s role is to preserve the public order and the

community’s role is to preserve a just peace.

Berdasarkan statement diatas, tiga prinsip dasar restorative justice

adalah :63

a. Terjadi pemulihan kepada mereka yang menderita kerugian akibat

kejahatan;

b. Pelaku memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pemulihan

keadaan (restorasi);

c. Pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan

masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian yang adil.

Praktik dan program restorative justice tercermin pada tujuannya

yang menyikapi tindak pidana dengan :

a. Identifying and taking steps to repair harm (mengidentifikasi dan

mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki kerugian/

kerusakan);

b. Involving all stakeholders, (melibatkan semua pihak yang

berkepentingan) dan;

c. Transforming the traditional relationship between communities and

their governmenmt in responding to crime (mengubah sesuatu

yang bersifat tradisional selama ini mengenai hubungan

masyarakat dan pemerintah dalam menanggapi kejahatan).

Adapun penggunaan program-program restorative justice dapat

digunakan sebagai berikut :64

63
Kuat Yudi Prayitno, Restorative Justice Untuk Peradilan Di Indonesia
(Prospektif Yuridis, Filosofi dan Penegakan Hukum In Concreto), Jurnal Dinamika
Hukum Vo. 12 Tanggal 3 September 2012. Hlm. 411
64
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, penegmbangan Konsep
Diversi dan Restorative Justice, Refika, Aditama, Jakarta, 2011. Hlm. 46.
62

a. Program keadilan restoratif dapat digunakan dalam setiap tahap

sistem peradilan pidana;

b. Proses keadilan restoratif hanya digunakan apabila terdapat bukti-

bukti yang cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana dan disertai

dengan kebebasan dan kesukarelaan korban pelaku.

c. Kesepakatan didasarkan atas fakta-fakta dasar yang berkaitan

dengan kasus yang terkait, dan partisipasi pelaku tidak dapat

digunakan sebagai bukti pengakuan kesalahan dalam proses

hukum berikutnya;

d. Dispartis akibat ketidak-seimbangan, baik kekuatan maupun

perbedaan kultural harus diperhatikan dalam melaksankan proses

keadilan restoratif;

e. Keamanan para pihak harus diperhatikan dalam proses keadilan

restoratif;

f. Apabila proses restoratif tidak tepat atau tidak mungkin dilakukan,

kasus tersebut harus dikembalikan kepada pejabat sistem

peradilan pidana, dan suatu keputusan harus diambil untuk segera

memproses kasus tersebut tanpa penundaan.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai sistem

pemidanaan yang berbasis pada keadilan restoratif restorative justice,

terlebih dulu akan dikemukakan definisi, konsepsi dan prinsip-prinsip

restorative justice. Beberapa pakar hukum mengemukakan pengertian

restorative justice dengan definisi yang berbeda, namun pada

prinsipnya mengandung makna yang sama yaitu, suatu konsep

pemikiran terkait dengan sistem pemidanaan yang tidak hanya


63

menitikberatkan pada kebutuhan dan penjatuhan hukum terhadap

pelaku, tetapi juga memperhatikan dan melibatkan korban dan

komunitas (masyarakat) yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme

kerja sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini. 65

Beberapa pengertian restorative justice yang dikemukakan ahli, antara

lain: 66

a. Menurut Howard Zehr :

“Restorative justice” is a process to involve, to the extent possible,


those who have a stake in a specific offense and to collectively
indentify and adress harms, needs, and obligation in order to heal
and put things as right as possible. (Keadilan restoratif adalah
proses untuk melibatkan dengan menggunakan segala
kemungkinan, seluruh pihak terkait dan pelanggaran tertentu dan
untuk mengindentifikasi serta menjelaskan ancaman, kebutuhan
dan kewajiban dalam rangka menyembuhkan serta menematkan
hal tersebut sedapat mungkin sesuai dengan tempatnya).

b. Menurut Tony Marshall :

“Restorative justice” is a process whereby all the parties with a


stake in a particular offence come together to resolve collectively
how to deal wuth the aftermath of the offence and its implication for
the future. (Peradilan restoratif ialah suatu proses yang semua
pihak yang bertarung dalam suatu delik tertentu berkumpul
bersama untuk memecahkan masalah secara kolektif bagaimana
membuat persetujuan mengenai akibat (buruk) suatu delik dan
implikasinya di masa depan).

c. Menurut Doglas YRN :

Restorative justice is criminal justice concept that views crime as a


violation of people, not as a violation of the state, and creats on
obligation to the victim and to the community to make things right. It
focuses on the crimes harm rather than on the broken rule and
emphasizes redress for the victim and community for the effects of
the wrong doing over punishment imposed by the state. Restorative
justice model may provide for appropriate dialogue, direct, between
the victim and offender in the form of victim-offender mediation.
(Keadilan restoratif adalah konsep peradilan pidana yang
memandang tindak pidana sebagai kejahatan terhadap masyarakat

65
Bambang Waluyo, Penegakan Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika, hlm. 108
66
Marwan Effendy, Keadilan restoratif (Restorative Justice) Dalam Konteks
Ultimum Remedium Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hlm. 20-22.
64

bukan kejahatan terhadap negara, dan untuk itu menciptakan


kewajiban bagi korban dan masyarakat untuk memperbaikinya.
Konsep ini berfokus akan bahayanya kejahatan dari pada
dilanggarnya suatu ketentuan tertentu serta menjabarkan
hubungan antar korban dan masyarakat terhadap pelanggaran
berkaitan dengan hukuman yang diterapkan oleh negara. Model
keadilan restoratif memberikan dialog yang tepat, langsung
maupun tidak langsung antara korban dan pelaku kejahatan dalam
bentuk mediasi antara korban dan pelaku.

d. Menurut Dignan67

Restorative Justice is a new frame work for responding to wrong


doing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by
education, legal, social work, and counseling professionals and
community groups. Restorative justice is a valued-based approach
to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on
the person harmed, the person causing the harm, and the affected
community. (Keadilan restoratif adalah kerangka kerja baru
terhadap pelanggaran dan konfilk, yang secara cepat dapat
diterima dan didukung oleh pendidik, juris, peera sosial dan
konsoling sosial serta kelompok masyarakat. Keadilan restoratif
didasarkan pada pendekatan nilai sebagai respon dari pelanggaran
konflik yang fokusnya bertumpu pada korban kejahatan, pelaku
kejahatan dan masyarakat yang terkena pengaruh kejahatan
tersebut.

e. Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002

tentang Sitem Peradilan Pidana Anak :

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana


dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan
pihak lain yang terkait untuk bersma-sama mencari penyelesaian
yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan68.

Beragam definisi resrorative justice yang dikemukakan

oleh para pakar, menurut Miers sebagaimana dikemukakan oleh Eva

Achjani Zulva dan yang berkembang dalam penerapannya, hal ini

memperbanyak terminologi yang digunakan untuk menggambarkan

67
Marwan Effendy, Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Konteks
Ultimum Remedium Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Hlm. 20-22.
68
Undang Undang Republik Indonesia Nomor : 1 Tahun 2002 Tentang Sistem
Peradilan Anak.
65

aliran keadilan restorasi ini, antara lain: communitarian justice

(keadilan komunitarian); positive justice (keadilan positif); relasional

justice (keadilan relasional); reparative justice (keadilan reparatif); dan

community justice (keadilan masyarakat).69 Terminologi

Communitarian Justive berasal dari teori komunitarian yang

berkembang di Eropa saat ini, seiring dengan mulai ditinggalkannya

paham individualis dan munculkan kesadaran atas peran masyarakat

dalam kehidupan seseorang. Teori komunitarian menempatkan

keadilan restoratif pada posisi yang mengusung lembaga musyawarah

sebagai upaya yang dapat dilakukan dalam mencari jalan terbaik atas

suatu pemecahan masalah yang timbul akibat dilakukannya suatu

tindak pidana. 70.

4.1. Prinsip-prinsip restorative justice yang terkait dengan aparatur

penegak hukum dan lembaga peradilan

Pada hakikatnya aparatur penegak hukum dan lembaga penegak

hukum sangat dimungkinkan dapat terlibat dalam penyelesaian

perkara dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif,

apalagi bila proses ini sudah menjadi bagian dari sistem peradilan

pidana formal. Oleh karena itu, ada beberapa prinsip yang harus
71
diperhatikan, yaitu sebagai berikut.

69
Eva Achyani Zulva dan Indriyanto Seno Adji, Pergeseran Paradigma
Pemidanaan, Bandung: Lubuk Agung, 2011, hlm. 66.
70
Ibid, hlm. 82.
71
Eva Achyani Zulva dan Indriyanto Seno Adji, Pergeseran Paradigma
Pemidanaan, Bandung: Lubuk Agung, 2011, halaman, 85.
66

a. Consideration should be given to settlement of be case without

prosecution except when the level of harm done, the risk of further

barm, issues of public policy, disagreement about the fact or the

appropriate outcome, reuires open court action (penyelesaian

perkara di luar pengadilan dengan pendekatan restorative justice

harus dijadikan pertimbangan penegak hukum untuk tidak

melakukan penuntutan kecuali bila tingkat kesalahannya cukup

berat, mengandung risiko kerusakan lebih lanjut, masalah yang

menyangkut kepentingan umum, ketidaksepakatan tentang fakta

atau hasil yang tepat, yang memerlukan tindakan pengadilan

terbuka).

b. The exercise of discretion either individually or systematically

should not compromise right under the law or lead discrimination

(pelaksanaan diskresi dari lembaga peradilan baik yang dilakukan

secara individu maupun melalui sistem kelembagaan tidak boleh

berkompromi baik berdasarkan atas hukum atau diskriminasi yang

dibuat oleh pimpinan).

c. Restorative justice measures should not be subordinate to other

criminal justice objectives such as diversion or rehabilitation

(pendekatan keadilan restoratif tidak harus tunduk dengan tujuan

peradilan pidana lainnya seperti diversi atau rehabilitasi).

4.2. Prinsip-prinsip restorative justice yang terkait dengan sistem

peradilan pidana 72:

Eva Achyani Zulva dan indriyanto Seno Adji, Pergeseran Paradigma


72

Pemidanaan” Bandung:Lubuk Agung, 2011, hlm. 83.


67

1. Reintegration the parties should be the primary aim of court

proceedings (penyatuan kembali para pihak harus menjadi tujuan

utama dari proses peradilan)

2. Reparing the harm should be the key objective in disposal of the

case (perbaikan kerusakan harus menjadi tujuan utama dalam

pengesampingan perkara).

3. Restorative requirements should be proportionate the case

(persyaratan retoratif harus proposional dan harus dilihat dalam

kasus per kasus).

4. Where a restorative requirement is possible an proportionate, it

should imposed regardless of the wishes of the parties in criminal

cases. When a victim refuses to participate, a surrogate should

be found (persyaratan restoratif harus mungkin dan proposional,

serta harus dipaksakan terlepas dari keinginan para pihak dalam

kasus pidana, bila korban menolak untuk berpartisipasi, maka

perwakilan harus ditemukan).

5. Genuine willingness on the part of the perpetrator to repair harm

should be taken into account in disposal (keinginan yang tulus

dari pihak pelaku untuk memperbaiki kerusakan harus

diperhitungkan dalam pengesampingan perkara).

6. The content of mediation/conferences to be considered privilege,

subject to public interest qualitification (hasil dari

mediasi/musyawarah harus dijaga kerahasiaannya, terkait

dengan kualifikasi kepentingan publik yang terkait.

5. Konsep Kerugian Keuangan Negara


68

Secara dogmatis hukum kajian keuangan negara yang

bersumber dari undang-undang keuangan negara, undang-undang

pembendaharaan negara, undang-undang mata uang, undang-undang

pemerikasaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara,

serta undang-undang badan pemeriksa keuangan, ternyata tidak ada

pengertian mengenai kerugian keuangan negara, namun pengertian

kerugian keuangan negara baru ditemukan pada Pasal 1 angka 22

Undang-Undang Pembendaharaan Negara, pengertian kerugian

negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang,

yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan

hukum baik sengaja maupun lalai. Kerugian negara harus dipahami

sangat berbeda dengan kerugian keuangan negara yang memiliki

subtansi yang luas daripada kerugian negara, kerugian keuangan

negara pada hakikatnya merupakan substansi dari kerugian negara,

oleh karena kerugian negara meliputi kerugian keuangan dan kerugian

perekonomian negara hal ini menunjukkan bahwa kerugian negara

tidak boleh disamakan dengan kerugian keuangan negara.

Pemahaman terhadap pengertian kerugian keuangan

negara mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

a. Berkurangnya uang atau barang milik negara yang nyata dan pasti

jumlahnya

b. Akibat dari perbuatan yang tidak bersesuaian dengan hukum, dan

c. Dilakukan karena kesengajaan atau kelalaian. 73

73
Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, Hukum Keuangan
Negara Teori dan Praktek, Rajawali Pres, Jakarta, hlm.122.
69

Persoalan mendasar yang sering timbul dalam

penegakan hukum terkait adanya kerugian keuangan negara adalah

kapan saatnya negara telah mengalami kerugian, dan apa saja

perbuatan yang dapat dikualifikasi dan berpotensi untuk

menyebabkan kerugian keuangan negara serta siapa saja

berwenang menentukan dan menetapkan adanya kerugian keuangan

negara tersebut.

Sebagai dasar untuk mengkaji tentang kapan saat

timbulnya kerugian keuangan negara berdasarkan kaidah keuangan

negara yang dapat dijadikan dasar guna menentukan saat kapan

negara telah dirugikan dapat ditemukan refresentasinya dalam Pasal

35 ayat (1) Undang-Undang Keuangan Negara jouncto Pasal 59 ayat

(2) Undang - Undang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

Jawab Keuangan Negara, Pasal 35 ayat (1) Undang Undang

Keuangan Negara menegaskan bahwa setiap pejabat negara dan

pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau

melalaikan kewajibannya baik langsung ataupun tidak langsung yang

merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian tersebut,

selanjutnya Pasal 59 ayat (2) Undang - Undang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menegaskan

bahwa bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat

lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan

kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan

keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut.


70

Berdasarkan kepada kaidah hukum keuangan negara

sebagaimana tersebut diatas, maka timbulkan kerugian keuangan

negara dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :

1. Pejabat negara, bendahara, pegawai negeri bukan bendahara,

atau pejabat lain.

2. Perbuatan yang tidak bersesuaian dengan hukum, atau;

3. Perbuatan melalaikan kewajiban hukum yang dibebankan.

Sesuai dengan kaedah hukum keuangan negara menurut

Muhammad Djafar Saidi perbuatan-perbuatan yang dapat

dikualifikasikan sebagai perbuatan yang tidak bersuaian dengan

hukum dalam kaitan pengelolaan keuangan negara, terdiri dari :

1. Tidak melakukan perbuatan hukum sehingga tidak bersesuaian

dengan kewajiban hukum.

2. Melakukan perbuatan hukum tetapi tidak sesuai dengan hukum

(onrechtmatige overheidsdaad).

3. Penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir).

4. Melampaui batas kewenangan (daad van willekeur).

Keempat jenis perbuatan yang tidak bersesuaian dengan

hukum tersebut dapat terjadi pada pejabat negara, bendahara,

pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain dalam mengelola

keuangan negara.74

Timbulnya kerugian keuangan negara menurut Yunus

Husein sangat terkait dengan berbagai transaksi, seperti transaksi

barang dan jasa, transaksi yang terkait dengan utang piutang, dan

74
Muhammad Djapar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, Hukum Keuangan
Negara Teori dan Praktek, Rajawali Pres, Jakarta, hlm.124.
71

transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan. Dalam kaitan

dengan kerugian keuangan negara, Djoko Sumaryanto

mengemukakan beberapa kemungkinan terjadinya kerugian keuangan

negara negara, sebagai berikut :

1. Terdapat pengadaan barang-barang dengan harga yang tidak

wajar karena jauh di atas harga pasar, sehingga merugikan

keuangan negara sebesar selisih harga pembelian dengan harga

pasar atau harga yang sewajarnya.

2. Harga pengadaan barang dan jasa wajar. Wajar tetapi tidak sesuai

dengan spesifikasi barang dan jasa yang dipersyaratkan. Kalau

harga barang dan jasa murah, tetapi kualitas barang dan jasa

kurang baik, maka dapat dikatakan juga merugikan keuangan

negara.

3. Terdapat transaksi yang memperbesar utang negara secara tidak

wajar, sehingga dapat dikatakan merugikan keuangan negara

karena kewajiban negara untuk membayar utang semakin besar.

4. Piutang negara berkurang secara tidak wajar dapat juga dikatakan

merugikan keuangan negara.

5. Kerugian negra dapat terjadi kalau aset negara berkurang karena

dijual dengan harga yang murah atau dihibahkan kepada pihak lain

atau ditukar dengan pihak swasta atai perorangan (ruilslag).

6. Untuk merugikan negara adalah dengan memperbesar biaya

intsansi atau perusahaan. Hal ini dapat terjadi baik karena

pemborosan maupun dengan cara lain, seperti membuat biaya

fiktif. Dengan biaya yang di perbesar, keuntungan perusahaan

yang menjadi objek pajak semakin kecil.


72

7. Hasil penjualan suatu perusahaan dilaporkan lebih kecil dari

penjualan sebenarnya, sehingga mengurangi penerimaan resmi

perusahaan tersebut.

Berbeda halnya dengan yang dilakukan oleh Theodurus


75
M. Tuanakotta dengan tegas membagi atas lima sumber kerugian

keuangan negara, sebagai berikut :

1. Pengadaan Barang dan Jasa

Bentuk kerugian keuangan negara dari pengadaan barang dan

jasa adalah pembayaran yang melebihi jumlah seharusnya.

Bentuk-bentuk kerugian ini dapat berupa hal-hal berikut :

a. Mark Up untuk barang yang spesifikasinya sudah sesuai

dengan dokumen tender. Kualitas dan kuantitas barang sudah

benar.

b. Harga yang lebih mahal dikarenkan kualitas barang yang

dipasok di bawah persyaratan. Harga secara total “sesuai”

dengan kontrak tetapi kualitas dan/atau kuantitas barang lebih

rendah dari yang disyaratkan.

c. Syarat penyerahan barang (terms of delivery) lebih “istimewa”.

Oleh karena syarat pembayaran (terms of payment) tetap,

maka ada kerugian bunga.

d. Syarat pembayaran yang lebih baik, tetapi syarat-syarat lainnya

seperti kuantitas, kualitas, dan syarat penyerahan barang tetap.

Seperti contoh di atas, ada kerugian bunga.

75
Muhammad Djapar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, Hukum Keuangan
Negara Teori dan Praktek, Rajawali Pres, Jakarta, hlm.127.
73

e. Kombinasi dari kerugian yang disebutkan di atas, seperti mark

up dan adanya kerugian bunga.

7. Konsep Uang Pengganti

Sebagai salah satu bentuk pidana tambahan dalam

perkara tindak pidana korupsi pembayaran uang pengganti dikenal

baik sejak Undang Undang Nomor Tindak Pidana Korupsi Nomor 3

Tahun 1971 maupun Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 18

ayat (1) huruf b Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa terhadap

tersangka tindak pidana korupsi dapat selain pidana tambahan lain

berupa perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak

berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan dan atau

diperoleh dari tindak pidana korupsi, penutupan seluruh atau

sebagian perusahaan, pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak

tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan

tertentu, tersangka korupsi juga dapat dijatuhi hukumam pembayaran

uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan

harta benda yang diperolehnya dari tindak pidana korupsi.

Sebenarnya tujuan dilakukannya pensitaan maupun

penetapan uang pengganti tersebut adalah dalam rangka

perngembalian kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh

pelaku secara langsung maupun tidak langsung (misalnya perbuatan

pelaku yang memperkaya / menguntungkan orang lain atau suatu

badan) dan merupakan bentuk pidana tambahan yang hampir


74

memiliki karakter hukum perdata (dalam bentuk ganti rugi), sebab

denda sebagai pidana pokok tentunya tidak memiliki uang

pengganti76

Terhadap tersangka/terpidana tindak pidana korupsi

yang tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud

undang undang tindak pidana korupsi maka dalam waktu 1 (satu)

bulan sesudah putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan

hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan

dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut sedangkan bagi

tersangka/terpidana yang tidak mempunyai harta benda yang

mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terhadap yang

bersangkutan dapat dipidana dengan pidana penjara yang lamanya

tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai

dengan ketentuan undang undang tindak pidana korupsi dan

lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan

pengadilan.

Perkembangan penegasan tentang konsep dan

implementasi penerapan pidana tambahan uang pengganti dewasa

ini terlihat dari Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2014

Tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Perkara Tindak

Pidana Korupsi yang menegaskan dalam hal menentukan jumlah

pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi adalah

sebaganyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh

dari tindak pidana korupsi dan bukan semata-mata sejumlah kerugian

76
Indriyanto Seno Adji : Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media,
Jakarta hlm. 307
75

keuangan Negara yang diakibatkan dan hasil-hasil korupsi yang telah

disita terlebih dahulu oleh Penyidik harus diperhitungkan dalam

menentukan jumlah uang pengganti yang harus dibayarkan terpidana

korupsi dan apabilan harta benda yang diperoleh masing-masing

terdakwa tidak diketahui secara pasti jumlahnya, uang pengganti

dapat dijatuhkan secara proporsional dan objektif sesuai dengan

peran masing-masing terdakwa dalam tindak pidana korupsi yang

dilakukannya.

Selanjutnya dalam Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung

RI Nomor 5 Tahun 2014 menentukan apabila dalam waktu 1 (satu)

bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, terpidana tidak

melunasi pembayaran uang pengganti, Jaksa wajib melakukan

penyitaan terhadap harta benda yang dimiliki terpidana, jika setelah

dilakukan penyitaan sebagaimana dimaksud terpidana tetap tidak

melunasi pembayaran uang pengganti, Jaksa wajib melelang harta

benda tersebut dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 273 ayat

(3) KUHAP dan pelaksanaan pelelangan dimaksud dilakukan

selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah dilakukan penyitaan serta

sepanjang terpidana belum selesai menjalani pidana pokok, Jaksa

masih dapat melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta

benda milik terpidana yang ditemukan.

Perluasan subjek penjatuhan uang pengganti terhadap

terpidana koorporasi saat ini juga terlihat dari Peraturan Mahkamah

Agung RI Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan

Perkara Tindak Pidana Oleh Koorporasi yang menentukan bahwa

tindak pidana oleh Koorporasi merupakan tindak pidana yang


76

dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan

hubungan lain, baik sendiri-sendiri, maupun bersama-sama, yang

bbertindak untuk dan atas nama koorporasi di dalam maupun di luar

lingkungan koorporasi dan penjatuhan pidana pokok berupa denda

termasuk penjatuhan pidana tambahan berupa uang pengganti

terhadap Koorporasi yang terlibat rindak pidana korupsi juga dapat

dilakukan, dan terhadap Koorporasi yang dikenakan pidana

tambahan berupa uang pengganti, ganti rugi, dan restitusi, tata cara

pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan, sedangkan terhadap terpidana Koorporasi yang tidak

membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi maka harta

bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar uang

pengganti, ganti rugi dan restitusi.

1.4 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode penelitian normatif adalah penelitian hukum yang

meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma, sistem

yang dimaksud adalah asas-asas, norma, kaedah-kaedah dari

peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, termasuk

perjanjian-perjanjian serta doktrin hukum.77 dilakukan dengan

menganalisis teori-teori hukum, ketentuan-ketentuan hukum, keputusan-

77
Mukri Fajar, Yulianto Achmad, : Teori Hukum : Dualisme Penelitian Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta. 2007 hlm. 11.
77

keputusan badan pelaksana serta putusan-putusan pengadilan serta

data-data sekunder berupa data uang pengganti yang berhasil diungkap

dan yang berhasil diselamatkan oleh para penegak hukum. Bedasarkan

perspektif tujuannya penelitian hukum normatif ini berupa penelitian

hukum klinis yang berusaha menemukan hukum In-concreto bagi suatu

perkara tertentu yang mensyaratkan adanya Inpentarisasi hukum positif

In-abstrakto.

Norma hukum In-abstrakto dipergunakan sebagai

premise mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara legal

facts dipergunakan sebagai premise minor. Melalui proses silogisme

akan diperoleh kesimpulan conclusion hukum positif in-concreto yang

dicari oleh karna itu penelitian hukum ini disebut juga penelitian hukum

klinis clinical legal research yang diawali dengan mendeskripsikan legal

facts kemudian mencari pemecahannya melalui analisis yang krisis

terhadap norma-norma hukum positif yang ada dan selanjutnya

menemukan hukum In-concreto untuk menyelesaikan suatu

permasalahan perkara hukum tertentu78.

Masih terkait dengan menentukan perspektif tujuan suatu

kaidah hukum yang merupakan dasar untuk mengukur pengaruh hukum

baik positif maupun negatif, penelitian hukum ini juga bertujuan untuk

menelaah efektivitas suatu peraturan perundangan atau keberlakuan

hukum antara realitas hukum dengan ideal hukum.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum

adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip


78
Amirudin, H. Zainal Asikin : Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali
Pers, 2016, hlm. 126
78

hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu-isu hukum

yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan

argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi yang

menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan demikian dapat

dikatakan bahwa hasil yang diperoleh dari penelitian hukum sudah

mengandung nilai79. Berbeda dengan penelitian yang hanya bersifat

deskriptif yang hanya menjelaskan apa yang benar true dan apa yang

salah false serta factor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.

Pendekatan yang dilakukan digunakan untuk mengkaji

permasalahan dalam penelitian ini berupa pendekatan undang-undang

statute approach yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan

perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang sedang ditangani dengan harapan akan terbukanya

kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari konsistensi dan

kesesuaian antara aturan-aturan dimaksud dan menelaahnya menjadi

suatu argument-argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi

tersebut. Pendekatan kasus Case Approach juga dilakukan dengan

cara menelaah kasus-kasus terkait dengan isu yang dihadapi yang telah

menjadi putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dengan pokok

kajian penegakan kasus berupa reasoning pertimbagan peradilan untuk

sampai pada suatu putusan yang akan dipergunakan sebagai referensi

bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum yang

dihadapi dalam hal ini terkait dengan upaya optimalisasi pengembalian

kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

79
Peter Mahmud Marzuki : Penelitian Hukum, Cetakan ke-11 Kencana
Jakarta, 2011, hlm. 35
79

Penelitian terhadap praktek penegakan hukum

penerapan pidana tambahan berupa pembebanan pembayaran uang

pengganti kepada pelaku tindak pidana korupsi yang telah diputus

pengadilan, termasuk kemungkinan penerapan prinsip keadilan

restoratif restorative justice melalui penyelesaian di luar persidangan

terkait uang pengganti sebagai pola pendekatan baru yang

memungkinkan dapat memberikan solusi penyelesaian baru bagi

penyidik dan penuntut umum guna optimalisasi pengembalian dan

pemulihan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

1.4.1. Sumber Dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber

data sekunder yang diperoleh dari literatur-literatur yang

mendukung berupa bahan-bahan hukum primair berupa

ketentuan-ketentuan perundang-undangan terkait pidana

pengganti dalam tindak pidana korupsi, Pengumpulan data

dilakukan dengan studi kepustakaan hukum, wawancara yang

mendalam dengan pakar / ahli yang dianggap kompeten untuk

menjelaskan aspek filosofis dan aksiologis penerapan keadilan

restorative restorative justice dalam penegakan hukum tindak

pidana korupsi, Penyidik dan Penuntut Umum yang dianggap

memiliki pengalaman dalam penegakan hukum tindak pidana

korupsi.

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa keputusan-

keputusan badan pelaksana seperti Keputusan Jaksa Agung

Republik Indonesia, Keputusan Kepala Kepolisian Republik

Indonesia, Keputusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi serta


80

data-data pelaksanaan hukuman tambahan berupa uang

pengganti kerugin keuangan negara akibat tindak pidana korupsi

yang berhasil diputuskan dan disetorkan kembali kepada negara,

serta bahan hukum tersier berupa kamus hukum dan bahan-

bahan literatur-literatur lain yang mendukung penelitian.

1.4.2. Informan dan Informasi Kunci

Informan dalam penelitian ini adalah para pakar / ahli hukum

pidana, ahli hukum tindak pidana korupsi khususnya yang

dipandang kompeten dengan pokok bahasan yang dibahas

dalam hal ini terkait dengan penegakan prinsip keadilan restoratif

restorataive justice dalam penegakan hukum, Para Pejabat

Struktural terkait Penyidikan dan Penuntutan serta Eksekusi

uang pengganti kerugian keuangan negara termasuk ahli

Administrasi dan Ahli Keuangan Negara dan atau Auditor Negara

yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara akibat

tindak pidana korupsi.

Informasi kunci dalam penelitian ini berupa informasi tentang

penerapan prinsip keadilan restorative restorative justice dalam

penegakan hukum pidana khususnya terhadap upaya

optimalisasi pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana

korupsi berikut implementasi kewenangan dari penyidik dan

penunut umum untuk mengimplementasikan prinsip keadilan

restoratif restorative justice tersebut terhadap upaya

pengembalian uang pengganti kerugian negara dimaksud.

1.4.3. Data Sekunder


81

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa

dokumen-dokumen berupa keputusan-keputusan dan petunjuk-

petunjuk teknis terkait penerapan keadilan restoratif restorative

justice terkait uang pengganti serta data-data uang pengganti

yang berhasil diselamatkan dan berhasil disetorkan kembali ke

kas negara sebagai akibat tindak pidana korupsi.

1.4.4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui analisis

kualitatif dengan metode interpretasi terhadap data yang

ditemukan dilapangan yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata atau lisan yang menekankan teknik analisis mendalam

In-depth analysis dengan mengkaji masalah-masalah terkait

aspek pemahaman secara mendalam terhadap ketentuan dan

informasi-informasi gunak menemukan suatu pemecahan

masalah sesuai pokok bahasaan dalam penelitian ini.

Pendekatan yang tepat bagi wawasan tentang hukum oleh

wacana ilmu hukum demi mewujudkan penegakan hukum yang

kompetibel dengannya, diharapkan menemukan pendekatan

ilmiah keilmuan hukum yang berpresfektif sosial dalam

mengkontruksikan keadilan yang diharapkan masyarakat.

Karakter metode berupa the socio-legal studies saat ini sebagai

suatu pendekatan sudah umum ditemui pada perkembangan

telaahan ilmu hukum yang bermuara pada keadilan baik terhadap

negara maupun terhadap masyarakat.


82

1.5 Asumsi :

1. Landasan filosofis pendekatan restorative justice dalam penuntutan

pidana tambahan uang pengganti oleh negara dalam perkara tindak

pidana korupsi adalah perwujudan cita-cita negara kesejahteraan

Indonesia yang berupaya mewujudkan kesejahteraan sosial yang

sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia yang meletakkan

penegakan hukum sebagai salah satu alat mencapai kesejahteraan

tersebut dengan tetap memperhatikan norma-norma dan kaedah

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Implementasi pendekatan restorative justice melalui penyelesaian

hukum di luar pengadilan terbatas pada penyelesaian sengketa

uang pengganti akibat tindak pidana korupsi berdasarkan

wewenang penyidik dan penuntut umum dapat diterapkan sejak

tahapan penyidikan, pra-penuntutan dan penuntutan perkara tindak

pidana korupsi hal ini dipandang akan lebih memberikan kepastian

hukum pengembalian dan pemulihan kerugian negara akibat tindak

pidana korupsi yang diharapkan akan lebih memberikan

kemanfaatan hukum yang sebesar-besarnya baik bagi penegakan

hukum tindak pidana korupsi itu sendiri maupaun kepada

masyarakat bangsa dan negara.

3. Pendekatan restorative justice melalui penyelesaian hukum diluar

pengadilan berupa Negosiasi, Mediasi dan atau Konsiliasi terbatas

terhadap upaya pengembalian uang pengganti kerugian negara

yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan dapat

dimanfaatkan sebagai sebuah alternatif dan konstruksi hukum baru


83

optimalisasi penyelesaian uang pengganti yang dapat dilakukan

oleh penyidik dan penuntut umum sejak tahapan penyidikan, pra-

penuntutan dan penuntutan sebuah perkara tindak pidana korupsi.

1.6 . Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian disertasi ini sebagai berikut :

 BAB I : PENDAHULUAN

Pada halaman pendahuluan memuat tentang latar belakang

penelitian, efek buruk dan dampak terjadinya korupsi bagi

masyarakat dan negara serta keadaan dan kondisi pengembalian

uang pengganti saat ini termasuk capaian-capaian yang berhasil

dicapai oleh para penegak hukum dan lembaga-lembaga penegak

hukum, mengingat capaian tersebut menurut penulis jauh dari apa

yang diharapkan oleh karena berbagai kendala dalam rangka

optimalisasi penarikan uang pengganti akibat tindak pidana korupsi

baik ketika masih dalam tahapan penyidikan, penuntutan, maupun

pada tahapan persidangan dan juga pada tahapan eksekusinya,

Berdasarkan adanya kesenjangan dan ketimpangan antara jumlah

kerugian keuangan yang diderita negara akibat tindak pidana korupsi

dengan hasil pengembalian kerugian keuangan negara dimaksud,

maka perumusan pokok permasalahan dalam disertasi ini

diharapkan dapat menjawab penelitian penulis terkait upaya

maksimalisasi pengembalian uang pengganti akibat tindak pidana

korupsi dimaksud termasuk mencoba memformulasikan pendekatan

restoratif justice dalam penegakan hukum pidana melalui

penyelesaian diluar pengadilan secara terbatas terhadap


84

pengembalian uang pengganti sebagai alternatif baru dalam

penyelesaiannya.

Dengan mengetahui dan membahas konsep penegakan hukum

melalui keadilan restotratif restoratif justice tersebut diharapkan

dapat menjadi upaya baru dalam penegakan hukum tindak pidana

korupsi khususnya dalam hal pengembalian dan pemulihan uang

pengganti akibat tindak pidana korupsi bisa lebih optimal dilakukan,

dengan sendirinya diharapkan dapat memberikan kemanfaat hukum

dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dapat

memberikan kemanfaatan guna kesejahteraan sebesar-besarnya

bagi rakyat dan negara Indonesia.

 BAB II : KERANGKA TEORI DAN KONSEP

Bab ini berisi tentang teori kemanfaatan hukum, teori pemidanaan

dan pertanggungjawaban pidana dan teori kewenangan, berikut

konsep-konsep hukum berupa konsep tindak pidana korupsi, konsep-

konsep dan pengertian uang pengganti yang relevan dengan pokok

bahasan serta konsep restorative justice dalam perkembangannya

dengan penyajian teori-teori hukum konsep-konsep terkait dalam

bahasan tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai pegangan

dan panduan serta argumentasi-argumentasi yuridis yang dapat

digunakan sebagai alat untuk memperjelas dan menganalisis guna

menjawab permasalahan dalam penelitian yang telah dirumuskan.


85

 BAB III : PEMBAHASAN.

Pada bab ini akan menyajikan pembahasan tentang penerapan

pendekatan restorative justice yang telah diterima dan mendapatkan

pengaturan diberbagai bidang hukum sebagai suatu konsep

pendekatan baru penyelesaian dan penegakan hukum, Pembahasan

terkait kewenangan Penyidik dan Penuntut Umum untuk

mengimplementasikan prinsip keadilan restorative restorative justice

baik pada tahapan penyidikan, penuntutan dan persidangan

khususnya terhadap penyelesaian uang pengganti akibat tindak

pidana korupsi diperlukan guna memperjelas bahwa penerapan

penyelesaian diluar sidang restorative justice terbatas pada upaya

pengembalian uang pengganti dimaksud tidaklah bertentangan

dengan tugas pokok dan fungsinya dalam pemerantasan tindak

pidana korupsi di Indonesia.

BAB IV : ANALISIS

Pada bab analisis ini akan memuat hasil-hasil pembahasan dan

analisa-analisa terhadap data dan pembahasan melalui teori-teori

kemanfaatan hukum dan teori kewenangan hukum dari para penegak

hukum terkait, analisis data dan fakta hukum dengan menggunakan

menjadi pisau analisis teori kemanfaatan dan kewenangan hukum

diharapkan dapat menjawab persoalan dalam pokok penelitian juga

diharapkan dapat menemukan solusi baru berupa penerapan

penyelesaian uang pengganti di luar persidangan melalui pendekatan

restorative justice dalam upaya pengembalian uang pengganti

dimaksud.
86

 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan memuat kesimpulan yang berhasil dirumuskan

berdasarkan pembahasan dan analisis terhadap data dan fakta yang

didapat dalam pembahasan, serta memuat saran-saran yang

diharapkan dapat memberikan perbaikan dan penyempurnaan

khususnya dalam upaya optimalisasi pengembalian kerugian negara

dalam penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi.

 DAFTAR PUSTAKA

Akan memuat tentang literatur, buku-buku, makalah dan literasi dan

ketentuan-ketentuan peraturan peundang-undangan serta data-data

yang dijadikan sumber penulisan dan penelitian dalam disertasi.

 LAMPIRAN-LAMPIRAN

Memuat tentang data-data emfiris yang didapat dilapangan dan hasil-

hasil pembahasan penelitian oleh peneliti.

Anda mungkin juga menyukai