Anyway, hanya ingin menulis tentang bagaimana pekerjaan yang
kucintai dengan sepenuh jiwa raga dan kunikmati dengan seluruh inti diri ini sudah menjadikan aku manusia seluar biasa aku sekarang. Mendewasakan, membentuk karakter, dan tentunya memperkaya jati diri dan diri ini. Jiwa bebasku bangga dengan pekerjaan elit prestisius ini, walau bagi sebagian katak dalam tempurung, pekerjaanku tidak menjanjikan krn tanpa status tetap, well, apa yang tetap di dunia ini kawan? Nyawamu pun sementara! Tapi, masalah perspektif sempit dan luas, masalah wawasan dan pendidikan juga tentunya, tua muda tidak menjamin orang keluar dari kelambunya. Makanya kawan, selagi punya kesempatan, keluar dari kelambu, digigit nyamuk sedikit. Tap, sungguh diluar sini lebih segar dan tidak pengap, ruang gerakmu lebih luas, kenalanmu banyak, kepribadianmu berkembang, hidupmu berubah, jauh melebihi gigitan nyamuk tadi.* saya senang analogi. Well, back then, pekerjaanku tercinta, yg tidak permanen tapi jangan tanya berapa penghasilanku kawan, kalau masih ada tali atau benda tajam di dekatmu, aku hanya akan membuatmu depresi dan iri hati, padahal aku tak bermaksud begitu. Baiklah, aku melantur terus, poinnya adalah, bertahun2 dalam pekerjaan ini aku semakin mencintai bangsaku, that's it, that's my point. Dulu, pekerjaan ini membuatku malu menjadi orang indonesia, aku banyak bertemu orang daerah yang nyata2 berusaha mengeruk untung dari orang asing, aku malu kawan, harga diri ini terluka sebagai anak bangsa, kusalahkan orang2 tadi, bangsaku sendiri yg berusaha mengeruk untung, pikirku, apa kata orang asing ini tentang bangsaku, tentunya mereka pikir bangsa kami tamak, dan oportunis, ,ya aku muda sekali waktu itu, pengalaman hidup masih sedikit dan mengaku idealis. Kini aku sadari, mereka para orang asing itu, datang ke tanah kita, utk membawa pergi lebih banyak uang dibandingkan dengan yang mereka gunakan di negeri ini, dan bangsa ini termiskinkan karenanya, apalah artinya 500 ribu buat si asing ini sementara dia berusaha memenangkan kontrak triliunan? Aku malu, malu kawan, betapa tak berbelas kasih diri ini, betapa sombong dan muda, dan syukurlah, aku berpikir, aku sada,. Sekarang, kalau kau mendampingi si asing, jangan biarkan ia menawar jualan bangsamu kawan, biar dia membeli patung asmat seharga puluhan juta, membeli batik 50 ribu kau bilang 500 ribu, ongkos sampan 150 ribu jadi 750 ribu, biarkan kawan, tak usah sok menawar, ibalah pada kaummu, jangan pada si asing, mereka berduit, tak seperti bangsamu, yang morat-marit mencari makan. Nah, demikianlah uneg2 saya, yang juga mencari makan dengan menjual jasa kepada mereka, dan tentu saja, kujual mahal. Hidup Indonesia! I love this country, peluk cium Sabang sampai Merauke!