Anda di halaman 1dari 27

“Konsep perayaan Peh Cun di tanggerang”

Proposal Skripsi
Disusun sebagai Tugas Mata Kuliah Antropologi Agama
Dosen: DR. H. Lebba S.Ag., M.Si.

Disusun Oleh :
Nurul Hamim 11170321000018

PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gejala agama bukanlah gejala ilmu kealaman, seperti air yang

selalu mengalir dari atas ke bawah atau seperti gejala elektron yang selalu

bergerak mengalir mencari proton. Agama biasanya didefinisikan sebagai

kepercayaan akan adanya sesuatu yang Maha Kuasa dan hubungan dengan

yang Maha Kuasa itu. Karena agama adalah kepercayaan, maka agama

adalah gejala budaya. Sedangkan interaksi antara sesama pemeluk agama

dengan agama lain adalah gejala sosial. Jadi, agama dapat dilihat sebagai

gejala budaya dan sebagai gejala sosial.1

Oleh karena itu, kesadaran bahwa agama selalu berada dalam

persepsi terhadap apa yang dipahami sebagai ultimate realty tergantung

kepada konstruksi keberagamaan. Dengan demikian interaksi sosial

keagamaan, perbedaan cara mengekspresikan keberagamaan antara

individu atau antar kelompok keagamaan bukan sesuatu yang salah, tetapi

kebenaran-kebenaran dengan rasionalitas yang berbeda-beda. Kesalahan

yang seling terjadi dalam mengekspresikan keberagamaan adalah

memposisikan agama sebagai bangunan yang tidak boleh berubah dan

1
M. Ridwan Lubis, Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama dalam
Interaksi Sosial, (Jakarta: Kencana, 2015), h 85.

2
3

menggunakan konsep kebenaran tunggal (single truth) dalam

mengkaji agama, seperti yang biasa terjadi bila memakai pendekatan

teologis.2

Menganggap bahwa agama masing-masing yang paling benar telah

menjadi sebuah permasalahan yang cukup rumit. Karena hegemoni makna

keagamaan masih saja dilakukan, baik di kampus, sekolah, maupun acara

seminar atau pengajian khususnya di Indonesia. Apalagi pada dasarnya

manusia cenderung melihat dirinya lebih baik dan harus lebih dihargai

ketimbang orang lain, padahal heterogenitas merupakan syarat masyarakat

demokrasi modern, sebab hal tersebutlah yang menjadi tolak ukur atas

lahirnya perkembangan tentang pluralis-multikulturalis.3

Sikap inilah yang menjadi tambahan pada konteks kemajemukan

dalam sosial masyarakat di Indonesia, sikap pluralis-multikultural semakin

diperhatikan dan diterima banyak pemikir dan tokoh keagamaan,

meskipun dalam pengertian yang berbeda-beda. Benih-benih dan unsur-

unsur sikap pluralis-multikulturalis juga ditemukan secara terpencar-

pencar dalam pemikiran dan sikap yang mengutamakan toleransi juga

keterbukaan.4 Demikianlah, pluralis-multikulturalis agama semakin

mendapatkan tempat di kalangan cendekiawan Muslim dan non-Muslim.

2
M. Ridwan Lubis, Sosiologi Agama; Memahami Perkembangan Agama dalam
Interaksi Sosial, (Jakarta: Kencana, 2015), h 86.
3
Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: Kompas, 2003), h xiv.
4
Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan, h 100.
4

Pluralisme agama juga semakin mendapatkan momentum, tidak

hanya sebagai filosofil intelektual, tapi secara realitas sosial, budaya juga

dirasakan manfaatnya. Selain secara agama, umat manusia juga majemuk

secara tradisi dan budaya. Dalam hal kemajemukan budaya, sikap pluralis

bersanding dengan sikap multikulturalis. Plural dalam hal ini juga

dimaknai sebagai kemajemukan agama, sementara multikultural

mengandung arti kemajemukan budaya, meskipun definisi agama dan

budaya berbeda-beda.5

Indonesia adalah suatu negara multikultural yang memiliki

keragaman budaya, ras, agama, dan golongan yang kesemuannya

merupakan kekayaan tak ternilai yang dimiliki bangsa Indonesia. Selo

Soemardja mengemukakan pada waktu disiapkannya Republik Indonesia

yang didasarkan atas Pancasila tampaknya, para pemimpin kala itu

menyadari realitas bahwa di tanah air kita ada aneka ragam kebudayaan

yang masing-masing terwadahkan di dalam suatu suku.6

Hal ini sangat relevan dengan pluralis-multikulturalis yang

memiliki tujuan membangun interaksi intern umat beragama dan antar

umat beragama yang tidak hanya berkoeksistensi secara harmonis dan

damai, tapi juga bersedia aktif dan proaktif dalam menyelesaikan masalah-

masalah bersama dengan etika kemanusiaan. Selain itu teologis

5
Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: Kompas, 2003), h xvi.
6
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Gina Lestari, Bhinneka
Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia Di Tengah Kehidupan Sara, Vol. 28,
No. 1 Februari 2018, h 32.
5

pluralisme-multikulturalisme menjamin kebebasan beragama dan

tanggungjawab sosial sekaligus.7

Untuk mewujudkan dan mendukung hal ini, haruslah tetap

dilengkapi dengan toleransi. Meskipun hampir semua masyarakat yang

berbudaya kini sudah mengakui adanya kemajemukan sosial, namun

dalam kenyataannya, permasalahan toleransi ini masih sering muncul

dalam suatu masyarakat sebagai tantangan baru bagi golongan masyarakat

agar dapat menerima sebagai fakta sosial yang tidak bisa dihindari

keberadaannya. Manusia sebagai komoditas utama dari sistem kehidupan

bermasyarakat tentunya tidak akan terpisahkan oleh hal-hal semacam ini,

dan manusia harus sadar akan keberagaman agama yang ada dalam sebuah

lingkungan masyarakat. Untuk itu, sebaiknya dalam pembahasan terhadap

gagasan ini haruslah melihat secara luas terhadap implikasi yang telah

nyata terbukti menjadikan umat beragama rukun dan dapat menjalankan

roda kehidupan dengan baik juga berdampingan.8 Persoalan yang muncul

ini terutama berhubungan dengan ras dan agama.9 Toleransi dapat

diartikan sebagai kesabaran, kelapangan dada.10

Hal ini membuat agama mempengaruhi sikap-sikap praktis

manusia terhadap berbagai aktifitas kehidupan sehari-hari. Seperti

7
Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: Kompas, 2003), h xx.
8
Ulil Albab, Pluralisme Agama Dalam Persfektif Nurcholish Madjid Dan Paul F
Knitter, Skripsi Fak. Ushuluddin UIN Jakarta, h 4.
9
Nurcholis Madjid, Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Beragama, (Jakarta:
Kompas, 2001), h 17.
10
Umar R. Soeroer, Menuju Indonesia Yang Bhineka Tunggal Ika Vol. 2 No. 6
Februari 2003, h 128.
6

memandang agama terkait dengan aspek pengalaman yang

mentransendenkan sejumlah peristiwa eksistensi sehari-hari meliputi

kepercayaan dan tanggapan kepada sesuatu yang berada di luar jangkauan

manusia. Agama menjadi penting dalam kehidupan manusia, ketika

pengetahuan dan keahlian tidak berhasil memberikan sarana untuk

melakukan adaptasi atau mekanisme yang dibutuhkan. Seperti apa yang

sudah diuraikan bahwa dalam kehidupan masyarakat manusia berinteraksi

dan saling membutuhkan. Mereka saling berhadapan dengan berbagai

kelompok masyarakat yang beragam dan memiliki kepentingan masing-

masing. Dalam keadaan yang seperti itulah nantinya akan membawa

konflik dan integrasi. Berkaitan dengan integrasi dan konflik sosial, bahwa

agama dalam konteks sosial dapat menyebabkan integrasi dan konflik

sosial masyarakat. Namun apabila sikap beragama disertai dengan sikap

toleransi juga kesadaran akan adanya perbedaan maka akan dapat

menyatukan unsur-unsur yang berbeda sehingga menciptakan konflik

sosial.11

Bahkan besar kemungkinan akan terjadinya proses akulturasi

kebudayaan dan keagamaan, akulturasi sendiri memiliki makna sebagai

perubahan budaya yang diinisiasi oleh penggabungan dari dua atau lebih

sistem budaya yang otonom.12 Di kalangan para pemikir keagamaan, ada

dua kelompok yang mencoba mengembangkan wacana dialog dalam

11
Zaimah Imamatul Baroroh, Potret Kerukunan Antar umat beragama (Studi
kasus Hubungan Antar Umat Islam, Kristen Dan Hindu di Desa Balun Kecamatan Turi
Kabupaten Lamongan), Skripsi Fak. Ushuluddin UIN Jakarta, h 33.
12
Tulisan ini diambil dari Artikel Jurnal, Dian Sukmawati, Relasi Sosial Antara
Cina Benteng Dengan Pribumi Di Kota Tangerang. (Depok: Fak. FISIP UI 2017), h 4.
7

memecahkan pluralis-multikulturalis keagamaan kelompok pertama yang

menekankan pada perspektif teosentris, berupaya menginterpretasikan

teologi untuk memberikan ruang bagi agama lain. Sedangkan kelompok

kedua menekankan pada pendekatan dialogis. Dialog itu sendiri

sebenarnya berpijak pada suatu asumsi bahwa tiap-tiap agama memiliki

pandangan keabsolutan atas keyakinannya sendiri yang tidak di

relatifkan.13

Di Indonesia, pluralitas tradisi, budaya, dan agama yang dianut

oleh berbagai macam suku merupakan modal utama untuk membangun

landasan dialog keagamaan dengan tetap menghargai eksistensi masing-

masing. Dari sini kata “Eka” dalam lambang “Bhineka Tunggal Eka”

menghargai keanekaragaman.14 Realitas yang ada dapat dijadikan contoh

semisalkan keharmonisasian di daerah-daerah Indonesia. Seperti halnya

Kota Tangerang yang cukup menjaga keharmonisasian kebudayaan dan

keberagamaannya, dibuktikan dengan relasi sosial yang terjalin baik

antara Cina Benteng dengan Masyarakat lokal di Kota Tangerang sudah

terjalin sejak lama.

Etnis Cina sebagai kelompok Cina Peranakan yang hidup di sekitar

Tangerang dan sudah menetap selama ratusan tahun di Tangerang

mempunyai sebutan sendiri yaitu “Cina Benteng“. Nama yang lahir dari

asosiasi dengan keberadaannya di Benteng Makasar salah satu wilayah di

Kota Tangerang pada masa kolonial. Menurut Kitab Sejarah Sunda Tina
13
Achmad Jainuri, dkk, Dari Wacana Keaksi nyata, (Jakarta, Titahandalalusia
Press, 2002), h. 38.
14
Achmad Jainuri, dkk, Dari Wacana Keaksi nyata, h. 39.
8

Layang Pahrayangan, masyarakat Cina sendiri pertama kali datang di

Tangerang pada tahun 1407. Kitab tersebut menceritakan tentang

mendaratnya rombongan pertama dari dataran Cina yang dipimpin Tjien

Tjie Lung di muara Sungai Cisadane.15

Dengan adanya relasi sosial tersebut seiring berjalannya waktu

berbagai kebudayaanpun mengalami akulturasi yang dimanifestasikan

dalam bentuk festival masyarakat yang sangat kaya akan unsur

kebudayaan lokal yang didapat dari hasil percampuran beberapa

kepercayaan masyarakat setempat. Dan memang hal ini pun diajarkan

dalam ideologi masyarakat indonesia yaitu Pancasila dimana

“Kemanusiaan yang adil dan beradab” yang di dalamnya terdapat rasa

saling hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama lain

dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga selalu dapat

dibina kerukunan hidup beragama.16

Kota Tangerang menjadi salah satu wilayah dengan kerukunan

umat beragama yang cukup baik dan harmonis, hal ini karena adanya

komunikasi yang baik bukan hanya antar umat beragama bahkan dengan

jajaran Pemerintah Daerah Kota Tangerang.17 Dampak dari itu pluralisme-

multikulturalisme yang sudah terjalin dalam realitas sosial di Kota

15
Tulisan ini diambil dari Artikel Jurnal, Dian Sukmawati, Relasi Sosial Antara
Cina Benteng Dengan Pribumi Di Kota Tangerang, (Depok: Fak. FISIP UI 2017). h 5.
16
Ardiansyah, Kerukunan Umat Beragama Anatara Masyarakat Islam Dan
Kristen Di Kelurahan Pacinongan Kec. Somba Opu Kab. Goa, Skripsi Fakultas
Usuluddin UIN Alaudin Makasar, h 7.
17
Wawancara dengan Made Purnawan, di Pure Kertajaya, Kelurahan Koang
Jaya, Kota Tangerang, pada tanggal 10 Agustus 2019.
9

Tangerang sejak dulu, disajikan dalam bentuk sebuah sebuah pesta rakyat

dengan nama Festival Cisadane sebuah pesta rakyat yang berisikan

kebudayaan-kebudayaan lokal baik yang bersifat tradisi juga bermakna

agamis, jika di runtut dalam sejarah singkatnya adalah sebuah perayaan

Peh Cun yang berasal dari salah satu etnis tertua yang ada di Kota

Tangerang yaitu Cina Benteng.18

Hal tersebut dapat terjadi karena adanya kepekaan yang sedari awal

Pemerintah Daerah perhatikan terhadap kebudayaan yang ada, seperti

halnya Peh Cun yang ada di Kota Tangerang, yang menarik antusiasme

besar di kalangan masyarakat Kota Tangerang lintas etnis dan agama

sedari awal mulai dirayakannya di sungai Cisadane, salah satu sungai

yang ada di Kota Tangerang, sehingga ditarik menjadi kerangka dasar

Festival Cisadane yang menjadi simbol kerukunan umat beragama. Dan

keberadaannya setiap tahun menjadi persatuan dan kesatuan antar etnis

dan antar umat beragama yang ada.19

Festival Cisadane yang kaya akan kebudayaan-kebudayaan lokal

yang salah satu perayaannya adalah mendayung perahu juga menjadi icon

utama dalam pesta rakyat ini, diambil dari perayaan Peh Cun yang

melambangkan kepedulian, kecintaan masyakatnya dan kerja sama,

dalam mencari seorang menteri dari Negara Cho, dikembangkan dalam

Festival Cisadane menjadi kerjasama antar etnis dan Pemerintah Daerah

18
Wawancara dengan Bebeng, di Klenteng Boen San Bio, Koang Jaya, Pasar
Baru, Kota Tangerang, pada tanggal 22 Juli 2019.
19
Wawancara dengan Keke, di Jl. Benteng Makassar, Kota Tangerang, pada
tanggal 02 Agustus 2019.
10

Kota Tangerang yang sangat dirasakan dalam realitas sosial yang

harmonis dan memiliki sikap yang pluralis-multikulturalis.20

Pluralisme-multikulturalisme merupakan fakta sosial yang tidak

dapat dihindari keberadaannya, di era saat ini kondisi tersebut rentan akan

adanya konflik bernuansa sara, akhir-akhir ini banyak terjadi di beberapa

daerah di Indonesia. Sebagai contoh kecil keberadaan etnis Cina yang

sering dianggap sebagai minoritas di berbagai wilayah Indonesia dengan

berbagai persoalannya, sering disorot secara umum.21 Kebanyakan kasus

yang terjadi dipicu oleh tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang

intoleran yang dibawa pada kelompoknya yang lebih luas dengan

mengatasnamakan latar belakang ras, suku, agama, dan budaya.

Lebih jauh, akibat terjadinya konflik horizontal yang dipicu oleh

kecemburuan sosial, ego daerah, ego suku, ego agama. Kesadaran untuk

hidup bersama secara damai sesuai makna Bhinneka Tunggal Ika mulai

luntur, akibat ego seseorang atau segelintir orang kemudian dibawa

menjadi ego kelompok dan golongan tertentu kemudian dibawa menjadi

ego kelompok dan golongan tertentu muncul konflik besar yang

membawa bencana bagi semua pihak termasuk pihak yang tidak terlibat.22

Namun demikian, tantangan keragaman yang ada di Kota

Tangerang memiliki optimisme tersendiri menjadi sebuah potensi bukan

20
Wawancara dengan Oey Tjin Eng, di Pasar Lama, Kota Tangerang, pada
tanggal 20 Juli 2019.
21
Ruqoidah, Pengaruh Tradisi Lokal Dalam Tata Cara Ibadah Cina, Skripsi UIN
Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta 2009, h 2.
22
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Gina Lestari, Bhinneka
Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia Di Tengah Kehidupan Sara, Vol. 28,
No. 1 Februari 2018. h 10.
11

sebuah bibit konflik, hal ini bisa terus terjadi salah satunya karena di

topang dengan keberadaan Festival Cisadane sebagai simbol kerukunan

dan harmonisasi yang ada di Kota Tangerang jika dilihat pada fungsional

dan realitas sosial yang ada.23 Jika menekankan pada pembahasan tentang

keharmonisan kerukunan beragama pada realitas kehidupan

bermasyarakat, khususnya yang akan diangkat dalam penelitian ini

berfokus pada pembahasan Festival Peh Cun. Maka dari itu, karya tulis

skripsi ini berjudul “Festival Peh Cun Simbol Kerukunan Umat

Beragama di Kota Tangerang”.

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, agar

sebuah penelitian ini berfokus pada satu tujuan, maka penulis hanya

membatasi pada praktik dan peran Festival Peh Cun saja. Yang kemudian,

batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh prosesi Festival Peh Cun dalam membangun

kerukunan umat beragama di Kota Tangerang ?

2. Apa saja nilai-nilai keharmonisan beragama yang ada dalam perayaan

Festival Peh Cun ?

B. Tujuan dan Manfaat penelitian

Tujuan Penelitian

23
Wawancara dengan Keke, di Jl. Benteng Makassar, Kota Tangerang, pada
tanggal 02 Agustus 2019.
12

Menindak lanjuti hasil kajian, seperti yang telah diterangkan,

maka, penelitian ini bertujuan. Untuk mengetahui potret relasi kehidupan

kebudayaan dan keagamaan masyarakat Kota Tangerang dalam perayaan

Peh Cun (Festival Cisadane) dan terbangunnya kerukunan yang ada, tidak

terlepas dari Peh Cun sebagai salah satu kerangka yang memiliki peran

dalam membangun kerukunan umat beragama di Kota Tangerang.

Manfaat Penelitian

Dengan terwujudnya tujuan dari hasil kajian penelitian tentang

Festival Peh Cun Simbol Kerukunan Umat Beragama Di Kota Tangerang,

dapat diambil banyak manfaat diantaranya:

Manfaat Secara Teoritis

Sebagai bahan bacaan dan literatur tambahan bagi mahasiswa dan

masyarakat luas pada umumnya.

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

khasanah ilmu pengetahuan. Khususnya terhadap kajian kerukunan umat

beragama dalam masyarakat.

2. Dapat menambah wawasan berfikir secara kritis dan analisis dalam

menyingkapi kondisi lingkungan masyarakat yang beragam.

3. Diharapkan dapat menumbuhkan rasa toleransi dan kerukunan

beragama di Indonesia.

C. Landasan Teori
13

a. Teori Kerukunan Umat Beragama

Secara etimologi, kata “Rukun”, ialah berdampingan. Kerukunan

umat beragama dapat diartikan, umat beragama hidup berdampingan tanpa

adanya rasa curiga satu dengan lainnya.24 Rukun dalam beragama, adalah

sikap yang baik guna melihat bahwa umat beragamatelah dewasa dalam

beragama. Menurut Mukti Ali, kerukunan umat beragama adalah, suatu

kondisi sosial semua golongan agama dapat hidup bersama-sama tanpa

mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban

agamanya, dalam kondisi rukun dan damai.25 Terdapat tiga prinsip dalam

memahami kerukunan beragama yaitu, prinsip mengakui, menghargai,

bekerjasama.26

b. Teori Pluralisme Agama

Pluralisme, berasal dari kata “plural” mempunyai arti jamak.

Pluralisme sering digunakan untuk menunjuk pada makna realitas

keragaman sosial sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman

itu, Romundo Panikar melihat pluralisme sebagai bentuk pemahaman

24
Jurnal Harmoni, St. Sunardi, Dilema Kerukunan Umat Beragama di Indonesia:
Antara Pendewasaan Umat dan Penguatan Fungsionaris Umat, dalam Membangun
Kesadaran dan Kearifan Universal, vol. 3, No. 9, Januari-Maret 2004, h 29.
25
M. Adlin Sila, Kerukunan Umat Beragama di Indonesia: Mengelola
Keragaman Dari Dalam, pada, Ihsan Ali Fauzi ed, Kebebasan, Toleransi, dan
Terortisme, (Jakarta, penerbit: Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina), h 121-
123.
26
Ihsan Ali Fauzi ed, Kebebasan, Toleransi, dan Terortisme, (Jakarta, penerbit:
Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina), h 123-124.
14

modernisasi yang bertujuan menciptakan komunikasi antara dua

kebudayaan yang berbeda.27

c. Teori Pluralisme-Multikultralisme

Pluralisme-multikulturalisme berasal dari dua kalimat Plural dan

Multikultural di mana plural disini dimaknai sebagai kemajemukan agama,

sementara multikultural dimaknai kemajemukan budaya, meskipun

definisi agama dan budaya berbeda-beda.28 Pluralisme-multikulturalisme

memiliki tujuan membangun interaksi intern umat beragama dan antar

umat beragama yang tidak berkoeksistensi secara harmonis dan damai,

tapi juga proaktif dalam menyelesaikan masalah-masalah bersama dengan

etika kemanusiaan. Selain itu sikap pluralitas-multikulturalitas menjamin

kebebasan beragama dan tanggungjawab sosial sekaligus.29

Dalam hubungan antar umat beragama, trauma sejarah dan

hambatan psikologi masih berkembang di kalangan tokoh dan umat

beragama sendiri, salah satu hambatan itu yang sering kemudian secara

sengaja atau tidak sengaja menjadi konflik ideologis yang masih menganut

pola pemahaman bersifat harfiyyah, tekstual, dan parsial dalam melihat

eksistensi agama-agama lain.30 Charles Taylor dalam Multiculturalisme:

Examining the politics of recognition mengatakan, masing-masing

kelompok budaya dan agama menuntut pengakuan dan penghargaan.

27
Sudiarjo, Dialog Intra Religius, (Yogjakarta: Kanisus, 1994), h 33-34.
28
Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan (Jakarta:Kompas 2003), h 100.
29
Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan, h xvi.
30
Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan, h 64.
15

Namun, bahayanya mereka yang memiliki identitas tertentu menolak

menghargai dan mengakui yang lain. Kurangnya toleransi seperti ini

berdampak serius, khususnya bagi demokrasi dan keadilan. Sebabnya

adalah kekakuan identitas komunal yang mempercayai dirinya sebagai

yang otentik dan superior, atau kekakuan identitas universalis yang

berusaha untuk mempengaruhi yang lain dengan cara memaksa.31

Keberagamaan dengan sikap pluralis-multikultural memiliki

dampak terhadap keberagamaan yang tidak kering. Kekakuan yang

berlebihan dalam menjalankan agama seringkali menyebabkan kurangnya

kesadaran akan spiritual. Salah satu nikmatnya beragama adalah

merasakan apa yang kita lakukan secara sadar dan tanpa paksaan, misalnya

merasakan betapa indahnya kemajemukan dan kebersamaan. Protokolisme

agama, rigiditas doktrin, dan birokratisme agama, merupakan ciri-ciri

keberagamaan yang kering. Apabila kita dipaksa atau terpaksa dalam

mengungkapkan keberagamaan kita, maka berarti kita sedang mengalami

kekeringan spritual. Keberagamaan yang multikultural tidak melepaskan

simbol tetapi selalu berupaya melihat makna. Bagaimanapun, simbol

memegang peranan penting dalam setiap agama. Sikap ini tidak

dimaksudkan semata-mata demi agama itu sendiri, tetapi lebih dari itu

untuk kemanusiaan. Ketuhanan dan kemanusiaan memang bersifat fitrah,

tetapi selalu berada dalam ruang dan waktu. Seseorang Multikulturalis

memahami mengapa dia beragama dan berusaha sesuai kemampuannya

31
Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan, h 72.
16

untuk menjalankan agamanya, sambil menyadari bahwa diriya adalah

produk sejarah, dan kemajemukan ekspresi kebudayaan manusia adalah

hal yang lumrah. Kesadaran multikulturalis dalam beragama paling tidak

akan mengurangi tumbuhnya budaya kekerasan atas nama agama yang

selalu menjadi sebuah permasalahan.32

Pada dasarnya sikap pluralis-multikutural, mengakui bahwa

kebenaran itu beragam dan bersifat positif akan kesamaan tujuan dan

fungsi semua agama. seperti yang paparan Chung Hyung Kyung (1996),

merupakan posisi yang paling tercerahkan ketika berhubungan dengan

agama-agama lain, menghormati perbedaan-perbedaan itu. Pluralisme

mengambil posisi bahwa agama sendiri tidak dapat mewakili pemenuhan

ataupun penyempurnaan agama-agama lain.33

d. Teori Dialog Antar Umat Beragama

Dialog adalah sebuah percakapan yang dilakukan antara dua orang

atau lebih, pada konteks dialog antar umat beragama ini, dilakukan oleh

pemeluk dari dialog secara esensial sampai dengan hal yang eksistensial.34

e. Teori Toleransi

Toleransi dapat diartikan sebagai kesabaran, kelapangan dada.

Toleransi adalah kemampuan memahami dan menerima adanya perbedaan

kebudayaan atau agama yang satu dengan lainnya yang meliputi hal-hal

32
Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: Kompas, 2003), h 79-80.
33
Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan, h 75.
34
Olaf H. Schumann, Dialog Antarumar Beragama, Membuka Babak Baru
dalam Hubungan Antarmat Beragama, (Jakarta, BPK Gunung Mulia), h 290-295.
17

konseptual, pola-pola interaksi, serta bentuk-bentuk dari budaya

materialnya.35

f. Teori Akulturasi Budaya

Proses akulturasi dalam masyarakat terjadi apabila Proses

akulturasi dalam masyarakat terjadi apabila kelompok-kelompok atau

individu-individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda saling

berhubungan langsung secara intensif, dengan timbulnya perubahan-

perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kedua

kebudayaan yang bersangkutan. Diantaranya, itu termasuk tingkat

perbedaan-perbedaan kebudayaan, keadaan, intensitas, frekuensi, dan

semangat persaudaraan dalam hubungannya dan apakah pengaruh yang

ada memiliki timbal balik atau tidak.

Akulturasi dapat diartikan, perubahan-perubahan besar dalam

kebudayaan yang terjadi sebagai akibat dari kontak antar kebudayaan yang

berlangsung lama, akulturasi sebagai perubahan budaya ditandai dengan

adanya hubungan antar dua atau lebih kebudayaan, akulturasi menunjukan

kepada suatu jenis perubahan budaya yang terjadi apabila adanya sistem

budaya bertemu.36

Dalam pandangan Harun Nasution, nilai dimaknai sebagai etika

religius yang berupa kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa

kesosialan, keadilan, tolong menolong, murah hati, suka memberi maaf,

35
Edi Setyawati, Kebudayaan Di Nusantara Dari Keris, Tor-tor, sampai Industri
Budaya, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), h 15-16.
36
Ruqoidah, Pengaruh Tradisi Lokal Dalam Tata Cara Ibadah Cina, Skripsi,
,Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, h 31-32.
18

sabar, baik sangka, berjata benar, pemurah, keramahan, disiplin, mencintai

ilmu, dan berfikir lurus.37

D. Tinjauan Pustaka

Melihat hal ini, penulis mengangkat problematika dengan relevansi

teori yang telah dikemukakan oleh para ahli maupun narasumber yang ada

tentang kerukunan antar umat beragama, dalam berbagai literatur ilmiah

yang dapat dijadikan rujukan guna menyusun skripsi ini.

Karena penulis ingin mempunyai wawasan yang luas dan lugas

mengenai karya tulis ilmahnya. Kerukunan tidak akan ada tanpa

masyarakat, karena masyarakat yang menjadi objek utama dalam konteks

interaksi sosial di suatu wilayah tertentu. Diantara beberapa kajian-kajian

buku-buku yang berkaitan, jurnal-jurnal, dan karya ilmiah lainnya yang

juga berkaitan yang mempunyai relevansi dengan judul yang ada.

Dalam proses penulisan Skripsi ini, penulis merasa adanya

kesamaan kajian tentang kerukunan yang ada di Kota Tangerang yang

ditulis oleh Ruqoidah, dengan judul “ Konsep festival Peh Cun”.

Secara umum menurut pandangan penulis, judul tersebut tidak

membahas tentang Festival Peh Cun (Festival Cisadane) sebagai topik

utama dalam membangun kerukunan umat beragama yang ada di Kota

Tangerang, hal tersebut mungkin disebabkan karena faktor pembahasan

37
Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, STAIN Purwokerto, Pendidikan Nilai:
Telaah tentang Model Pembelajaran, Vol.12, No.1 April 2007.
19

yang berfokus pada kebudayaan-kebudayaan Cina yang ada di Kota

Tangerang.

Selanjutnya pada penelitian sebuah Tesis yang sudah dijadikan

Buku dibuat oleh Bambang Permadi, dengan judul “Relasi Cina Benteng

dan Islam”. Pada penelitian ini Bambang Permadi tidak menjelaskan

peran Festival Peh Cun terhadap kerukunan umat beragama yang ada, hal

ini penulis anggap karena pembahasan yang ada hanya berfokus pada

kondisi sosial antara masyarakat Cina Benteng dan Muslim yang ada di

Kota Tangerang.

Kemudian, penulis juga merasa tertarik dengan sebuah Jurnal,

dengan judul ”Relasi Sosial Antara Cina Benteng Dengan Pribumi Di

Kota Tangerang” yang ditulis oleh Dian Sukmawati, seorang Mahasiswi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, ditulis pada

tahun 2017. Di mana pada pembahasannya lebih berfokus pada hubungan

Cina Benteng dengan masyarakat yang ada di sekitarnya.

Dalam hal ini penulis menarik sebuah perbedaan yang ada dengan

Skripsi yang penulis angkat, perbedaannya terletak pada fokus yang

diangkat oleh penulis adalah perayaan Peh Cun salah satu kebudayaan

yang berasal dari Cina Benteng yang berkembang menjadi Festival

Cisadane dan menjadi kerangka utama yang berperan dalam kerukunan

umat beragama di Kota Tangerang.


20

E. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metodologi

penelitian yang terdiri dari :

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis melaksanakan penelitian

lapangan (Field Research) dengan cara menggunakan penelitian kualitatif,

yang mana penulis melakukan observasi langsung ke lapangan dengan

para pelaku Festival Peh Cun. Seperti tokoh masyarakat, tokoh agama,

dan budayawan yang ada di Kota Tangerang. Disisi lain, penulis

mendiskripsikan gambaran secara keseluruhan mengenai Festival Peh

Cun.

Selain itu, penulis juga melakukan studi kepustakaan (Lybrary

Research), peneliti mengumpulkan beberapa data dan informasi tertulis

yang mendukung terhadap penelitian dan dianggap releven dengan topik

skripsi. Data dan Informasi tersebut diperoleh penulis dari Jurnal

Penelitian, Laporan Penelitian, Buku-buku ilmiah, Skripsi, Tesis, dan

sumber-sumber lainnya.

2. Pendekatan

Untuk dapat menguraikan hasil penelitian mengenai Festival Peh

Cun, maka dalam hal ini, ada tiga pendekatan yang dilakukan oleh penulis

yaitu, pendekatan antropologi, sosiologi, dan historis.

Pendekatan antropologi dimaknai sebagai suatu sudut pandang

atau cara melihat dan memperlakukan suatu gejala yang menjadi perhatian
21

terkait bentuk fisik dan kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa

manusia.38 Berhubungan langsung dengan kebudayaan di masyarakat

sekitar. Hal ini menghantarkan peneliti kepada masyarakat Kota

Tangerang khususnya Cina Benteng dan kebudayaannya yang menjadi

topik utama dalam Skripsi ini.

Selain itu, peneliti juga menggunakan pendekatan sosiologis yang

merupakan sekelompok disiplin keilmuan yang membahas tentang aspek-

aspek berkaitan dengan manusia dan lingkungan manusia itu berada.39

Karena erat sekali kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat, peneliti

melihat peran Festival Cisadane secara langsung ketika masyarakat

bersentuhan di festival ini, sangat membantu penulis untuk menyelesaikan

penelitian tentang Festival Peh Cun, di Kota Tangerang.

Penulis juga melakukan Pendekatan Personal melalui pendekatan

historis, merupakan sebuah pendekatan yang menelaah sumber-sumber

yang berisikan informasi mengenai masa lampau dan dilaksanakan secara

sistematis.40 Pendekatan historis dimaksudkan untuk mengkaji sejarah

secara langsung terhadap makna dan penerapan Festival Peh Cun yang

berkembang hingga sekarang.

38
Laily Ulfi, Pendekatan Historis Dalam Studi Islam (Studi Kasus Pemikiran
Amin Abdullah), Skripsi Yogjakarta: Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan UIN Sunan
Kalijaga, h. 16.
39
Jurnal, Moh. Rifai, Kajian Masyarakat Beragama Persfektif Pendekatan
Sosiologi, Vol. 2, No. 1 2018, h 13.
40
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: DPKRI 1998), h. 192.
22

3. Sumber data

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam penulisan skipsi

ini, penulis memakai sumber data, diantaranya:

a. Data Primer

Ialah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dari

individu-individu yang di selidiki.41 Dalam hal ini data yang digunakan

peneliti, didapatkan dari narasumber atau pelaku langsung Festival

Cisadane.

b. Data Sekunder

Data sekunder atau data tangan kedua merupakan data yang ada

dalam pustaka-pustaka.42 Penulis mendapatkan data ini dari kajian-kajian

terdahulu yang bersangkutan dengan Cina Benteng, dan budaya yang ada

di Kota Tangerang, juga buku-buku yang berkaitan dengan tema skripsi.

4. Subyek Penelitian

Subyek penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah orang, tempat,

atau benda yang diamati sebagai sasarannya.43 Yang mana hal tersebut

adalah pelaku langsung Festival Peh Cun, yang terdiri dari, tokoh

masyarakat, tokoh agama, budayawan, selain itu juga masyarakat sebagai

penikmat Festival Cisadane di Kota Tangerang.

41
S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT. Rieneke Cipta,
1995), h 23.
42
S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan, h 23.
43
https://kbbi.web.id/subjek, Diakses pada 16 Agustus 2019.
23

5. Teknik Pengumpulan Data

Karena penelitian ini tergolong penelitian lapangan, maka data

yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari observasi, wawancara dan

dokumenter.

a. Observasi

Observasi merupakan cara mengumpulkan data yang didapatkan

melalui penelitian baik secara langsung maupun tidak secara langsung

menuju ke objek yang akan diteliti. Observasi bertujuan untuk

mendapatkan gambaran secara jelas tentang situasi dan kondisi yang

sebenarnya, sehingga dapat diketahui bagaimana sebenarnya keadaan yang

dipertanyakan. Metode ini menggunakan pengamatan atau penginderaan

langsung terhadap suatu benda, kondisi,situasi, proses atau perilaku.44

Penulis datang langsung pada saat perhelatan Festival Cisadane 2019, dan

mendatangi narasumber dan pelaku yang bersangkutan dengan Festival

Cisadane.

b. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan data mengenai hal-hal atau variabel

berupa catatan, transkip, buku, foto, surat kabar, media online, majalah,

prasasti, rapat, agenda dan sebagainya yang berhubungan dengan

penelitian.45 Dalam hal ini penulis mengambil beberapa kegiatan pasca

44
Faisal Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, ( Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada), hal 52.
45
https://kbbi.web.id//fokumentasi.html diakses pada tanggal 18 Agustus 2019.
24

pelaksanaan, serta mengambil dokumen dari beberapa sumber yang

terpercaya perihal perayaan Festival Peh Cun.

c. Interview dan wawancara

Interview merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara berdialog langsung dengan narasumber yang berkaitan akan

tetapi dapat juga dilaksanakan dengan memberikan beberapa rentetan

pertanyaan tertulis agar narasumber mempunyai waktu untuk menjawab

dengan tidak tergesa-gesa.46 Wawancara adalah pertemuan antara periset

dan responden (narasumber), dimana jawaban responden akan menjadi

data mentah, guna bahan yang akan di selesaikan.47 Dalam proses ini

penulis datang kebeberapa narasumber seperti tokoh agama, Dinas

Kebudayaan Kota Tangerang, dan beberapa narasumber yang

bersangkutan lainnya guna dimintai keterangan dan data yang dibutuhkan.

F. Analisis Data

Analisis dalam penelitian merupakan bagian penting dalam proses

penelitian karena dengan analisis inilah, data yang ada akan tampak

manfaatnya, terutama dalam memecahkan masalah penelitian dan

mencapai tujuan akhir penelitian.48 Analisis data adalah proses mencari

dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara,

catatan lapangan, dan dokumentasi. dengan cara mengorganisasikan data

46
Faisal Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, ( Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada), h 52.
47
Harrison Lisa, Metode Penelitian Politik, (Jakarta: PT Pajar Interpratama
Offset, Kencana, 2009), h 104.
48
Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan. (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h
371.
25

ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,

menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan

dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri

sendiri maupun orang lain.49 Tentunya penulis menganalisis dari data

lapangan dan pustaka, merangkum dan memilah data yang akan disusun

dalam skipsi agar mudah dipahami bagi penulis dan pembaca.

a. Reduksi data

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok,

memfokuskan pada hal-hal penting, mencari pola dan membuang hal-hal

yang tidak diperlukan.50 Data yang direduksi penulis adalah data tentang

hasil pengamatan terhadap hasil wawancara dan prosesi Festival Cisadane

2019.

b. Penyajian Data

Penyajian data adalah penemuan makna-makna dan kemungkinan

penarikan kesimpulan yang dibentuk secara sistematis, dalam informasi

yang kompleks menjadi sederhana dan kolektif. Data yang ditemukan dari

hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks, dan diuraikan secara

naratif.51 Dalam hal ini penulis menarasikan hasil wawancara dengan

narasumber dan prosesi langsung Festival Cisadane 2019 terutama pada

saat perhelataan perahu naga atau Peh Cun.

49
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
(Bandung: R&D. Alfabeta, 2013), h 335.
50
Harrison Lisa, Metode Penelitian Politik, (Jakarta: PT Pajar Interpratama
Offset, Kencana, 2009), h 105.
51
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
(Bandung: R&D. Alfabeta, 2013), h 341.
26

c. Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian diharapkan merupakan temuan baru

yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau

gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau belum

jelas sehingga setelah diteliti menjadi lebih jelas.52 Setelah dialkukannya

penelitian secara berkala dalam prosesi Festifal Cisadane, dan degan

narasumber, adanya kontribusi Festival Cisadane yang berperan sebagai

pondasi yang menjaga kerukunan di Kota Tangerang.

DAFTAR PUSTAKA

1
M. Ridwan Lubis, Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama
dalam Interaksi Sosial, (Jakarta: Kencana, 2015), h 85.
1
M. Ridwan Lubis, Sosiologi Agama; Memahami Perkembangan Agama
dalam Interaksi Sosial, (Jakarta: Kencana, 2015), h 86.

52
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
(Bandung: R&D. Alfabeta, 2013), h 345.
27

1
Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai
Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: Kompas, 2003), h xiv.
1
Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai
Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, h 100.
1
Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: Kompas, 2003), h xvi.
1
Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Gina Lestari, Bhinneka
Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia Di Tengah Kehidupan Sara, Vol. 28,
No. 1 Februari 2018, h 32

Anda mungkin juga menyukai