1 SM
1 SM
Abstraksi
Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis mengenai kepemimpinan gaya Korea di
Indonesia pada salah satu perusahan multi nasional di Indonesia. Penelitian lintas budaya ini
sebaiknya dibatasi oleh beberapa dimensi terkait budaya nasional. Untuk memperoleh
kedalaman informasi mengenai kepemimpinan gaya Korea, terdapat enam dimensi dari
konsep Kluchkhon dan Strodtbeck serta lima dimensi dari pola-pola Parson yang digunakan
dalam penelitian ini.
Objek pada penelitian ini adalah karyawan pada sebuah perusahaan multi nasional di
Semarang yang terdiri dari manajer ekspatriat dari Korea dan karyawan lokal dari Indonesia.
Hasi peneletian ini menunjukkan kepemimpinan sesuai dengan gaya manajer Korea pada
perusahaan multi nasional yang berlokasi di Semarang dimana mencakup dimensi mengenai
bagaimana mereka melihat karakter dasar manusia, fokus tanggung jawab, hubungannya
dengan lingkungan, aktivitas, waktu, ruang, afektif atau netralitas afektif, universalisme atau
partikularisme, askripsi atau prestasi, spesifitas atau kekaburan dan orientasi diri atau
orientasi kolektif.
Kata Kunci :
studi lintas budaya, kepemimpinan, kepemimpinan gaya korea.
hubungan kekuasaan yang lebih autokratik dan di lingkungan kerjanya. Berdasarkan latar
patrenalistik, bawahan mengenal kekuasaan belakang tersebut, maka terdapat beberapa
orang lain melalui formalitas, misalnya posisi per tanyaan penelitian sebagai fokus dari
hierarki. Kriteria budaya nasional Korea Selatan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
yang demikian akan berbeda dengan budaya Bagaimana kepemimpinan gaya Korea
nasional Indonesia meskipun beberapa dimensi ditinjau dari dimensi hubungannya terhadap
budaya antar dua negara tersebut memiliki alam, orientasi waktu, sifat dasar manusia,
persamaan karena berada pada payung besar orientasi aktivitas, fokus aktivitas, dan konsepsi
budaya yang sama, yaitu budaya Asia. ruang sesuai dengan kerangka budaya
Kepemimpinan lintas budaya terjadi Kluckhohn dan Strodtbeck, ser ta dimensi
pada per usahaan multinasional yang afektivitas-netralitas afektif, universalisme-
memperluas usahanya ke luar negeri. Pada PT. partikularisme, ketersebaran-keterkhususan,
Semarang Garment terjadi interaksi yang nyata askripsi-prestasi, orientasi instrumental-
antara jajaran manajer dengan latar belakang ekspresif sesuai dengan pola-pola Parson yang
budaya Korea Selatan dan karyawan yang diterapkan oleh jajaran manajer ekspatriat
berbudaya lokal Indonesia. Perbedaan budaya berkebudayaan Korea Selatan di Indonesia pada
Korea Selatan dan budaya Indonesia dapat dilihat PT. Semarang Garment?
dari berbagai aspek dalam perilaku individu 1. Bagaimana penerimaan karyawan lokal
khususnya dalam suatu organisasi perusahaan. berbudaya Indonesia terhadap gaya
Perbedaan budaya nasional dalam suatu kempemimpinan gaya Korea yang
perusahaan menimbulkan beberapa dampak diterapkan pada PT. Semarang
dalam organisasi perusahaan dikarenakan Garment?
karakter individu yang terbentuk dari budaya 2. Mengacu kepada identifikasi di atas,
nasional masing-masing negara juga berbeda. maka fokus penelitian dapat dibatasi
Perbedaan manajemen Korea dan Indonesia pada kepemimpinan gaya Korea jajaran
menjadi suatu masalah yang menarik untuk manajer di PT. Semarang Garment
diteliti lebih lanjut. Dengan adanya perbedaan yang merupakan manajer ekspatriat
budaya nasional antara pimpinan atau manajer dari Korea Selatan terhadap karyawan
yang berkebudayaan Korea dengan karyawan lokal berkebudayaan Indonesia di dalam
yang berkebudayaan Indonesia perlu adanya perusahaan tersebut.
suatu proses adaptasi dari kedua belah pihak
dan proses kepemimpinan lintas budaya yang
TELAAH PUSTAKA DAN KERANGKA
efektif.
PENELITIAN
Dalam hal ini, keenam dimensi
Kepemimpinan
Kluckhohn & Strodtbeck dan pola-pola Parson
Kepemimpinan merupakan tema yang
yang digunakan untuk menganalisis
popular, tanpa adanya pemimpin para karyawan
kepemimpinan jajaran manajer dengan latar
tidak akan dapat bekerja dengan baik, karena
belakang budaya nasional Korea Selatan pada
fungsi pemimpin di sini diperlukan untuk
perusahaan dengan karyawan berpenduduk lokal
mempengaruhi, memotivasi karyawan serta ikut
dengan budaya nasional Indonesia di PT.
serta dalam proses pengambilan keputusan.
Semarang Garment. Selain itu dapat dilihat
Manajemen seringkali disamakan dengan
bagaimana karyawan lokal berbudaya Indonesia
kepemimpinan. Abraham Zaleznik (dalam
menerima kepemimpinan dengan gaya Korea
Robbins, 2002) misalnya, berpendapat bahwa dominan dari kepemimpinan, dan keberhasilan
pemimpin dan manajemen sangat berbeda. seorang pemimpin adalah bagaimana ia bisa
Mereka berbeda dalam motivasi, sejarah pribadi, memotivasi dan menginspirasi orang lain. Teori-
dan cara berpikir ser ta bertindak. Zaleznik teori kepemimpinan dengan demikian dapat
mengatakan bahwa manajer cenderung diterapkan pada manajer. Dalam hal ini
mengambil sikap impersonal dan pasif terhadap manajemen dapat kita anggap sebagai
tujuan, sedangkan pemimpin mengambil sikap kepemimpinan dalam perusahaan. Menurut
pribadi dan aktif terhadap tujuan. Sedangkan Munandar (2001) kepemimpinan merupakan
Kotter (dalam Robbins, 2002) menganggap baik pengertian yang meliputi segala macam situasi
kepemimpinan dan manajemen sama yang dinamis, yang berisi:
pentingnya bagi keefektifan organisasional yang a. Seorang manajer sebagai pemimpin
optimal. Namun ia yakin bahwa kebanyakan yang mempunyai wewenang untuk
organisasi kurang dipimpin (underled) dan terlalu memimpin.
ditata-olah (overmanaged). Munandar (2001) b. Bawahan yang dipimpin, yang
melihat kepemimpinan sendiri lebih berhubungan membantu manajer sesuai dengan
dengan efektivitas sedangkan manajemen lebih tugas mereka masing-masing.
berhubungan dengan efisiensi. Kepemimpinan c. Tujuan atau sasaran yang harus
merupakan sesuatu yang penting bagi manajer. dicapai oleh manajer bersama-sama
Para manajer merupakan pemimpin (dalam dengan bawahannya.
organisasi mereka), sebaliknya pemimpin tidak
perlu menjadi manajer. Jadi definisi
Budaya dan Budaya Nasional
kepimimpinan secara luas menurut Robbins
(2002) yaitu sebagai kemampuan untuk Setiap kelompok masyarakat tertentu
mempengaruhi suatu kelompok ke arah akan mempunyai cara yang berbeda dalam
tercapainya tujuan. Menurut Siagian (1995) menjalani kehidupannya dengan sekelompok
kepemimpinan merupakan keterampilan dan masyarakat yang lainnya. Cara-cara menjalani
kemampuan seseorang untuk mempengaruhi kehidupan sekelompok masyarakat dapat
orang lain, melalui komunikasi baik langsung, didefinisikansebagai budaya masyarakat
maupun tidak langsung dengan maksud untuk tersebut. Satu definisi klasik mengenai budaya
menggerakan orang-orang tersebut agar dengan adalah sebagai berikut: "budaya adalah
penuh pengertian dan kesadaran bersedia seperangkat pola perilaku yang secara sosial
mengikuti kehendak-kehendak pemimpin dialirkan secara simbolis melalui bahasa dan
tersebut. Menurut Stoner, et al (1995) cara-cara lain pada anggota dari masyarakat
kepemimpinan didefinisikan sebagai proses tertentu (Wallendorf & Reilly dalam Mowen,
pengarahan dan memepengaruhi aktivitas yang 1995). Di lain sisi budaya menurut (Tyler dalam
berkaitan dengan tugas dari para anggota Mowen, 1995) merupakan “a complex whole
kelompok. Berdasarkan uraian tentang definisi which includes knowledge, belief, art, law,
kepemimpinan di atas, menurut Nitisemito, 2001 morals, customs, and any other capabilities
(dalam Marcian, 2008) dapat disimpulkan bahwa and habits acquired by man as a member of
unsur kunci kepemimpinan adalah pengaruh society”.
yang dimiliki seseorang dan akibat pengaruh Ada pula definisi yang menyatakan
itu bagi orang yang hendak dipengaruhi. bahwa budaya adalah pola utuh prilaku manusia
Kemampuan mempengaruhi adalah yang dan produk yang dihasilkannya yang membawa
pola pikir, pola lisan, pola aksi, dan artifak, dilakukan. Paradigma yang berkembang adalah
dan sangat tergantung pada kemampuan bahwa budaya itu dinamis dan dapat merupakan
seseorang untuk belajar, untuk menyampaikan hasil proses belajar, sehingga budaya suatu
pengetahunnya kepada generasi berikutnya masyarakat tidak hadir dengan sendirinya.
melalui beragam alat, bahasa, dan pola nalar. Proses belajar dan mempelajari budaya sendiri
Kedua definisi tersebut menyatakan bahwa dalam suatu masyarakat disebut enkulturasi
budaya merupakan suatu kesatuan utuh yang (enculturati). Enkulturasi menyebabkan budaya
menyeluruh, bahwa budaya memiliki beragam masyarakat tertentu akan bergerak dinamis
aspek dan perwujudan, serta bahwa budaya mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya
dipahami melalui suatu proses belajar (Keyong, sebuah masyarakat yang cenderung sulit
2010) menerima hal-hal baru dalam masyarakat dan
Definisi di atas menunjukkan bahwa cenderung mempertahankan budaya lama yang
budaya merupakan cara menjalani hidup dari sudah tidak relevan lagi disebut sebagai
suatu masyarakat yang ditransmisikan pada akulturasi (acculturation).
anggota masyarakatnya dari generasi ke Budaya nasional merupakan pedoman
generasi berikutnya. Proses transmisi dari dasar bagi karyawan untuk memahami
generasi ke generasi tersebut dalam pekerjaan, dan pendekatan untuk melakukan
perjalanannya mengalami berbagai proses pekerjaan ser ta harapan karyawan untuk
distorsi dan penetrasi budaya lain. Hal ini diperlakukan. Budaya nasional memiliki arti
dimungkinkan karena informasi dan mobilitas bahwa suatu cara ber tindak ter tentu lebih
anggota suatu masyarakat dengan anggota disukai karena dinggap cocok dengan nilai-nilai
masyarakat yang lainnya mengalir tanpa budaya daripada yang lain. Bila praktek
hambatan. Interaksi antar anggota masyarakat manajemen. Tidak sesuai dengan budaya
yang berbeda latar belakang budayanya semakin nasional yang telah dipercaya dan dianut,
intens. Oleh karena itu, dalam proses transmisi karyawan akan merasa tidak enak, tidak puas,
budaya dari generasi ke generasi, proses tidak berkomitmen dan tidak menyukai.
adaptasi budaya lain sangat dimungkinkan. Karyawan akan merasa tidak suka atau
Misalnya proses difusi budaya populer di terganggu bila diminta oleh manajemen untuk
Indonesia terjadi sepanjang waktu. Kita bisa bertindak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
melihat bagaimana remaja-remaja di Indonesia budayanya. (Mas’ud, 2002).
meniru dan menjalani budaya populer dari Budaya merupakan sesuatu yang
negara-negara Barat, sehingga budaya seharusnya dipelajari dan bukan untuk
Indonesia sudah tidak lagi dijadikan dasar dalam diwariskan (Hofstede, 2005). Nilai yang
bersikap dan berperilaku. Proses seperti inilah mendalam akan mewakili perasaan yang luas
yang disebut bahwa budaya mengalami adaptasi mengenai kebaikan dan kejahatan, keindahan
dan penetrasi budaya lain. Dalam hal-hal dan kejelekan, rasional dan irrasional. Praktek
tertentu adaptasi budaya membawa kebaikan, yang diperkenalkan biasanya melalui manusia,
tetapi di sisi lain proses adaptasi budaya luar misalnya kebiasaan kolektif disajikan dalam
menunjukkan adanya rasa tidak percaya diri sesuatu yang terlihat seperti pakaian, bahasa,
dari anggota masyarakat terhadap budaya dan jargon, simbol status, kriteria promosi, tata
sendiri. cara pertemuan, gaya komunikasi, dan banyak
Agar budaya terus berkembang, proses lagi. Nilai-nilai dan praktek baik milik perangkat
adaptasi seperti dijelaskan di atas terus perlu lunak suatu budaya, ada juga hardware dalam
bentuk bangunan, perlatan kantor, dan jenis pembawaan sejak lahir. Dimensi kedua, orientasi
kendaraan yang mencerminkan karakteristik relasi manusia dan alam. Ada tiga jenis relasi,
budaya. yaitu takluk, menyelaraskan, dan
Budaya nasional memiliki komposisi mengendalikan. Dimensi ketiga, orientasi waktu.
tingkat nilai lebih tinggi dibandingkan dengan Dalam dimensi ini, kehidupan manusia dapat
tingkat prakteknya, sedangkan budaya organisasi berfokus pada masa lalu, masa kini, atau, masa
memiliki tingkat praktek yang lebih beragam depan. Orientasi yang kuat terhadap masa lalu
dibandingkan tingkat nilainya. Budaya nasional cenderung menonjol pada kelompok budaya
adalah program yang pertama yang tertanam yang menempatkan tradisi dalam posisi yang
kedalam diri kita, nilai merupakan komponen utama, seperti pemujaan pada leluhur atau
terdalam dari program tersebut. Pada saat kita yang memberi tekanan lebih pada kohesivitas
dewasa biasanya nilai-nilai sudah tertanam keluarga. Dimensi keempat, orientasi aktivitas.
dengan baik sehingga sulit berubah. Menurut Kluckhon-Strodtbeck, orientasi aktivitas
dapat dipandang sebagai doing, being, dan
Orientasi Nilai dari Kluckhohn-Strodtbeck being-in-becoming. Orientasi doing berfokus
pada jenis aktivitas yang memiliki keluaran
Kluckhohn-Strodtbeck memunculkan
eksternal yang dapat diukur. Oleh karena itu
dimensi orientasi nilai. Dimensi ini terdiri dari
aktivitas ini harus nyata. Dalam kerangka ini
orientasi sifat manusia, orientasi sifat orang,
terdapat pula orientasi pada capaian hasil.
oientasi waktu, aktivitas, dan orientasi relasional
Dimensi kelima, orientasi relasional. Orientasi
(Gudykunst dan Kim, 1997:78). Dimensi pertama
relasional terkait dengan dimensi individualisme-
adalah orientasi sifat manusia yang terkait
kolektivisme. Keterkaitan itu adalah karena cara
dengan sifat bawaan. Dalam dimensi ini,
orang berinteraksi memiliki fokus yang berbeda,
manusia dipandang baik atau jahat atau
yaitu ke arah individualisme atau kolektivisme.
campuran antara baik dan jahat yang merupakan
kategorisasi orang atau obyek secara spesifik. ditampakkan oleh orang dalam interaksinya
Ketiga, ketersebaran-keterkhususan. Orientasi dengan orang lain jika interaksi itu merupakan
ini berfokus pada cara orang memberi respon sarana untuk mencapai tujuan lainnya,
pada orang lain. Dengan orientasi sedangkan orientasi ekspresif akan tampak
ketersebaran, respon holistik akan diberikan pada orang yang interaksinya dengan orang
seseorang kepada orang lain, sedangkan lain merupakan tujuannya.
orientasi keterkhususan ditampakkan Keketatan str uktural mer upakan
seseorang dengan memberi respon terhadap dimensi yang berfokus pada norma, aturan,
orang lain dalam cara yang khusus Keempat, dan batasan yang berlaku pada anggota suatu
askripsi-prestasi. Orientasi askripsi dari komunitas. Budaya yang longgar hanya
seseorang akan tampak ketika orang tersebut menerapkan sedikit peraturan dan batasan atas
memandang orang lain. Dengan orientasi perilaku, sementara di dalam budaya yang
askriptif, pandangan seseorang akan bertolak ketat aturan dan batasan perilaku, norma dan
pada prediksi sosiokultural, yakni dalam aturan budaya cenderung jelas dan harus
kerangka keanggotaan orang lain di dalam ditaati. Dalam budaya ketat, jika ada anggota
kelompoknya, seperti jender, umur, ras, etnik, komunitas yang melanggar norma dan aturan
kasta, dan sebagainya. Sementara orang budaya dikenakan sanksi. Sebaliknya dalam
dengan orientasi prestasi akan mendasarkan komunitas budaya longgar, para anggota yang
prediksi dalam kerangka prestasi yang dapat melanggarnya tidak akan dikenai sanksi
diraih orang lain. Kelima, orientasi sekeras pada budaya ketat (Gudykunst dan
instrumental-ekspresif. Orientasi instrumental Kim, 1997:81).
Kerangka Penelitian
Sumber : Diadopsi dari Dimensi Budaya Kluckholn&Strodtbeck dan Pola-pola Parson, 2013
kurang lebih 700.000 pieces per bulannya. mengacu kerangka pikir penelitian dan literatur
Negara tujuan ekspor t dari PT. Semarang yang mendukung. Mengenai sumber untuk
Garment antara lain Perancis, Jerman, Benelux, mengkaji kredibilitas data dilakukan dengan cara
Inggris, Spanyol, Italia, Denmark, Belanda, mengecek data yang telah diperoleh melalui
Australia, Jepang, dan Amerika. Produksi pakaian beberapa sumber. Dalam hal ini, guna menguji
jadi yang telah siap dikemas akan didistribusikan kredibilitas data tentang gaya kepemimpinan
pada konsumer utama (main customers) seperti Korea di Indonesia, dilakukan terhadap bawahan
Nike, Columbia, H&M, Walmart, Hema, D&D, yang dipimpin dan merupakan karyawan lokal
Daiz, Elcorte Ingles, VF Imagewear dan beberapa dari Indonesia.
pembeli (buyer) lainnya. Berikut adalah tabel hasil analisis
Untuk mengetahui kepemimpinan lintas mengenai kepemimpinan gaya Korea yang
budaya, khususnya kepemimpinan gaya Korea diterapkan di Indonesia pada perusahaan
di Indonesia pada PT. Semarang Garment, multinasional PT.Semarang Garment. Hasil ini
diperlukan teknik pengumpulan data dengan merupakan kesimpulan dari analisis yang
dokumentasi berbagai bentuk data yang dilakukan peneliti dengan mengkaji setiap
dibutuhkan sebagai pendukung penelitian pernyataan narasumber berdasarkan hasil
kualitatif. Analisis data terkait kepemimpinan wawancara mendalam (depht interview) dan
gaya Korea di Indonesia pada penelitian ini telah melalui proses validasi data.
sehingga masih memegang tradisi dan karyawan. Sisi baik dari karakter yang
kebudayaan dari negaranya yang demikian adalah terciptanya netralitas
memiliki budaya Timur dan adat dalam penilaian atasan terhadap
istiadat tersendiri. Hal ini tidak bawahan karena tidak ada tendensi
menjadikan mereka terbelenggu dalam tertentu terhadap kelompok tertentu
masa lalu, namun tradisi baik yang di dalam perusahaan yang dianggap
dipegang oleh masyarakat Korea memiliki hubungan lebih baik atau
membawa mereka pada perilaku yang bahkan hubungan yang kurang baik
baik sesuai adat ketimuran tetapi dengan atasan.
perencanaan terhadap masa depan 9. Karakter yang lain dari manajer dari
juga sangat dipertimbangkan dengan Korea berdasarkan hasil analisis yang
matang. Berdasarkan kriteria yang telah dilakukan sebelumnya adalah
demikian, pengaruh yang diberikan kecenderungan mereka berorientasi
manajer dari Korea akan terasa postif pada kelompok dan kerja sama tim
bagi lingkungan perusahaan dan sangat dipentingkan dalam
memudahkan kerja sama dengan perusahaan.
karyawan lokal. 10. Terdapat pula kriteria yang
7. Mengenai dimensi keruangan atau menunjukkan pandangan
space, hasil analisis pada bab universalisme yang menjadi salah satu
sebelumnya menunjukkan bahwa karakter manajer Korea di perusahaan
karakter manajer Korea menginginkan Semarang Garment. Hal ini hampir
sebuah ruang yang terjaga secara serupa dengan netralitas yang
privat untuk dirinya sendiri dan tidak dilakukan oleh manajer terhadap
terganggu dengan karyawan lain. bawahan, tidak ada hubungan yang
Keadaan pada PT. Semarang Garment lebih dari hubungan profesional kerja
menunjukkan bahwa beberapa ruang bagi atasan yang merupakan manajer
manajer menyatu dengan karyawan dari Korea dengan karyawan lokal.
lain tanpa diberi sekat tersendiri 11. Askripsi merupakan suatu pandangan
menjadikan mereka mengubah oleh masyarakat tertentu yang melihat
pandangan mengenai ruang yang orang lain berdasarkan struktur tertentu
bersifat pribadi dan menyesuaikan di dalam sebuah lingkungan atau
dengan keadaan dan lingkungan berdasarkan sejarahnya di dalam
perusahaan. masyarakat. Hal ini diakui oleh
8. Terkait dengan afektivitas dan netralitas manajer dari Korea bahwa pandangan
afektif, sesuai dengan hasil analisis, tersebut memang ada di Korea, dimana
menunjukkan bahwa karakter manajer sebuah nama dengan marga tertentu
Korea yang bersikap netralitas afektif memiliki pengaruh lebih dalam
dimana terlihat secara jelas bagi masyarakat dan sangat dihargai, ada
karyawan jika mereka cukup pula nama dengan marga ter tentu
membatasi diri dengan karyawan yang dianggap kelas lebih rendah
khususnya di lingkungan kerja dan dalam masyarakat. Perkembangan
bersikap netral terhadap seluruh zaman membawa perubahan
DAFTAR REFERENSI
Ajiferuke, M. And Boddewyn JJ, 1970, “Culture and Other Explanatory Variables in Comparative
Management Studies”, Academy of Management Journal, Vol. 13, pp.153-163.
Aziati, Fadillah. 2011. Analisis Pengaruh Budaya Nasional, Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya,
dan Budaya Organiasasi Terhadap Kompetensi Negosiaasi Berbasis PSA (Problem
Solving Approach). Universitas Diponegoro. Semarang.
Ball, Donald A. et al., 2004, International Business, The Challenge of Global Competition, Ninth
Edition, McGraw-Hill Companies, Inc, New York.
Chang, Lieuh-Chiung, 2002, “Cross Cultural Differences in International Management Using
Kluckholn-Strodtbeck Framework”, Journal of American Academy of Business, Cambridge,
September 2002, Vol.2, No.1
Czinkota, Ronkainen and Moffet. 1994, International Business, Third Edition, The Dryden Press.
Fukushige, A and David P Spicer, 2006, “Leadership Preferences in Japan: an Exploratory Study”,
Leadership and Organizational Development Journal, Vol.28, No.6, pp 508-530
Hofstede, G. 1984, Culture’s Consequences: International Differences in Woek-related Values.
Sage Publication. Beverly Hills.
Hubbard, A. 2003. Accommodating diversity in training environment. Mortgage Banking, 63
(4106).
Jauhari, Hadziq. 2010. Filosofi Tri Dharma Pada Kepemimpinan Budi Santoso di Suara Merdeka.
Universitas Diponegoro, Semarang.
Keunshin, Yoo, 1999, “The Traits and Leadership Styles of CEO’s in Korean Companies”, International
Studies of Management & Organization, Vol.28, No.4 pg.40
Kim, Myung-Oak dan San Jaffe. 2010. The New Korea, Mengungkap Kebangkitan Ekonomi
Korea Selatan. Kompas Gramedia. Jakarta.
Koentjaraningrat. 1995. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan.
Kotler, J.P. & Heskett, J.L. 1992. Corporate culture & performance. New York: Free Press.
Kusuma, Dewantya. 2011. Analisis Penerapan Filosofi Semar Sang Pamomong Pada Era
Kepemimpinan Kukrit Suryo Wicaksono di Suara Merdeka. Universitas Diponegoro,
Semarang.
Kumalaningrum, M.P. 1999. Multicultural organization; Strategi mengelola keberagaman tenaga
kerja. Usahawan, No. 2 Th. XXVII.
Littrel, Romie F, 2005, “Preferred Leadership Behaviours: Exploratory Results from Romania,
Germany, and the UK”, Journal of Management Development, Vol. 24, No.5, pp. 421-
442
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Nursanti, T.D. 2000. Strategi pengelolaan menuju organisasi multiculture. Usahawan, No. 11
Th. XXIX
Mas’ud, Fuad. 2004. Survai Diagnosis Organisasional Konsep & Aplikasi. UNDIP. Semarang.
Pan, Yue and friends, 2010, “A Cross-cultural Investigation of Work Values among Young
Excecutives in China and the USA, Cross Cultural Management: An Internasional
Journal, Vo.17, No.3, pp. 283-298
Pihatin Lumbanraja, 2008. Tantangan Bagi Kepemimpinan Lintas Budaya, Universitas Sumatera
Utara, Sumatera Utara.
Rachel K. 2004. Culture, intercultural communication competence, and sales negotiation: a
qualitative research approach.
Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi. Salemba Empat, Jakarta.
Seng, Ann Wang. 2013. Rahasia Bisnis Orang Korea. Jakarta : Noura Books.
Sugiarto, 2007. Pengaruh Kepemimpinan, Disiplin, dan Budaya Kerja Terhadap Kepuasan Kerja
Karyawan PT. Primatexco Indonesia. Universitas Diponegoro. Semarang.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Alfabeta, Bandung.
Suutari, Vesa and friends, 2002, “The Challenge of Cross-cultural Leadership Interaction: Finnish
Expatriates in Indonesia, Career Development International, Vol.7, No.7, pp 415-429
Trompenaars, F., 1994, Riding the Waves of Culture. Understanding Cultural Diversity in Business,
The Economist Books, London.
Weinshall. 1993, Societal Culture and Management, New York: Walter de Gruyter.
Yuki, G.A. 1994, Leadership in Organization. Prentice-Hall. Englewood Cliffs, NJ.