Anda di halaman 1dari 14

C/51/032024153046/NURHAMID/Perbandinagan Hukum

PERBANDINGAN PENYELESAIAN PERKARA PIDANA BERSIFAT


RINGAN OLEH JAKSA/PENUNTUT UMUM DI INDONESIA DAN
BELANDA

I. LATAR BELAKANG

Penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan dipersamakan dengan


penyelesaian perkara pidana yang bersifat berat adalah salah satu bentuk ironi
keadilan. Hal tersebut seringkali dinyatakan dengan ungkapan bahwa hukum
tumpul ke atas dan tajam ke bawah, bukan hanya soal disparitas penjatuhan sanksi
pidana yang menjadi penyebab utama munculnya ungkapan tersebut di atas dimana
pelaku tindak pidana yang bersifat ringan dipidana dengan sangat berat, sedangkan
pelaku tindak pidana yang bersifat berat dijauhi sanksi pidana yang ringan, akan
tetapi terkait proses penyelesaian perkara tersebut.

Tindak pidana yang sifatnya ringan disini bukanlah tindak pidana ancam
dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda
sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan
sebagaimana diuraikan dalam pasal 205 ayat (1) KUHAP.1 Tetapi yang dimaksud
tindak pidana bersifat ringan disini adalah tindak pidana yang memiliki akibat
ringan yang dari penilaian dari sisi kemanusiaan tidak tepat dibawa kepersidangan.
Berikut adalah sebagian contoh dimana tindak pidana bersifat ringan yang harus
menjalani penyelesaian perkara sebagaimana perkara berat:

1. Peristiwa pencurian tiga butir kakao yang dilakukan oleh seorang nenek
minah berusia 65 tahun dimana saat itu ia dimeja hijaukan dan di vonis
1 bulan penjara dan 3 bulan percobaan.
2. Mencuri sebuah semangka yang dilakukan 2 peria bernama basar
suyanto dan kholil akhirnya dijatuhi hukuman 2 bulan 10 hari penjara.
3. Mengambil kain lusuh yang dilakukan buruh tani berusia 19 tahun
bernama aspuri yang dituntut 5 tahun penjara.
4. Mencuri 7 batang kayu jati berukuran 15 cm nenek asyani di tuntut 5
tahun penjara.

1
Lihat Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
5. Seorang nenek meri yang sudah tua di meja hijaukan karena menjual
petasan dimana ia tidak mengetahui bahwa menjual petasan itu dilarang
tapi meskipun demikian ia harus berurusan dengan hukum dan di vonis
penjara 3 bulan dan masa percobaan 6 bulan.
6. Ada seorang kakek bernama klijo berusia 76 tahun dituduh mencuri
setandan pisang yang bila dijual hanya seharga 2000 saja ditangkap dan
dijebloskan ke lapas cebongan.2

Pristiwa di atas sangat menciderai rasa keadilan di masyarakat sebab tindak


pidana yang sifatnya ringan sebagaimana dalam contoh-contoh di atas harus
menjalani proses penyelesaian sebagaimana tindak pidana berat. Jaksa selaku
pengendali perkara/dominus litis dalam perkara pidana seharusnya bisa mengatasi
persoalan tersebut. Secara bahasa, dominus berasal dari bahasa latin yang artinya
pemilik, sedangkan litis artinya perkara atau gugatan. Hakim tidak bisa meminta
supaya delik diajukan kepadanya, namun hakim hanya menunggu penuntutan dari
penuntut umum”.3

Kewenangan jaksa penuntut umum yang ada saat ini tidak bisa menjawab
dan mengatasi ironi keadilan tersebut, hal itu dikarenakan kewenangan yang
dimiliki jaksa penuntut umum masih terlalu kaku dan masih sangat terbatas, dimana
semua perkara pidana apabila sudah terpenuhi unsur matriilnya harus diproses dan
disidang di pengadilan, akibatnya timbul rasa ketidakadilan ketika tindak pidana
yang bersifat ringan harus menjalani penyelesaian perkara sama dengan perkara
pidana yang bersifat berat. Akibatnya banyak kasus pidana yang bersifat ringan
yang harus diproses dipersidangan.

Saat ini kewenangan jaksa/penuntut umum diatur dalam Kitab Undang-


undang Hukum Acara Pidana muali pasal 13, Pasal 14 dan pasal 15 yang pada
intinya keweangan jaksa/penuntut umum adalah melakukan penuntutan dan
melaksanakan putusan hakim.

2
Hukum online. Tindak Pidana Ringan (Tipiring), dikutip dari,
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5876e928ba1b4/tindak-pidana-ringan-tipiring/
diakses pada 07 Maret 2021.
3
Hari Sasongko, Penuntutan dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Dharma Surya Berlian,
Surabaya, 1996, halaman 26.
Selain itu jaksa atau penuntut umum juga memiliki wewenang untuk
menghentikan penuntutan. Mengenai penghentian penuntutan diatur dalam pasal
140 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan bahwa penuntut umum “dapat
menghentikan penuntutan” hal tersebut dapat dilakukan apabila pristiwa yang
ditangani tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan tindak
pidana serta perkara ditutup demi hukum.

Dalam perkara penuntutan perkara pidana dikenal adanya dua asas yang berlaku
yaitu asas legalitas dan asas opurtunitas. Kedua asas tersebut berada dalam posisi
yang berlawanan, disatu pihak asas legalitas menghendaki dilakukannya
penuntutan terhadap semua perkara ke pengadilan tanpa terkecuali. Sedangkan
disisi lain asas opurtunitas memberikan peluang bagi penuntut umum untuk tidak
melakukan penuntutan perkara pidana di pengadilan.4

Penerapan asas oportunitas diterapkan dalam wewenang jaksa agung


sebagaimana di atur dalam pasal 35 huruf c undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan RI yaitu “jaksa agung dapat mengesampingkan perkara demi
kepentingan umum”. Keweangan tersebut merupakan diskresi yang hanya dimiliki
jaksa agung sebab merupakan ujung tombak dalam penanganan kasus-kasus besar
yang menyita perhatian publik di Indonesia, hal itu dikarenakan dalam
penjelasannya “demikepentingan umum”, diartikan kepentingan negara dan
masyarakat atau masyarakat luas.

Dari sekian semua kewenangan yang dimiliki jaksa di atas ternyata masih
memiliki kelemahan dan kekurangan yang masih perlu untuk disempurnakan, yaitu
tidak adanya kewenangan khusus mengenai penangan perkara pidana yang bersifat
ringan dimana tindak pidana yang bersifat ringan masih harus diselesaikan seperti
halnya tindak pidana yang bersifat berat. Terdapat keweanangan mengesampingkan
perkara demi kepentingan umum yang dimiliki jaksa agung namun hanya untu
kasus-kasus besar yang menyita perhatian masyarakat Indonesia.

Oleh karenanya untuk mengatasi masalah sebagaimana tersebut di atas


maka penting untuk melakukan pengkajian kembali dan penelitian lebih mendalam

4
Arin Karniasari, Tujuan Teoritis, historis, yuridis dan praktis terhadap wewenang jaksa
agung dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, Tesis, Fakultas Hukum
serta melakukan perbandingan hukum dengan negara-negara lain utamanya negara-
negara yang juga menganut sistem civil law seperti negara Belanda khususnya
terkait kewenangan penuntut umum dalam melakukan penuntutan perkara pidana
yang sifatnya ringan, sehingga diharapkan ada reformasi hukum yang bisa
menjawab persoalan ironi keadilan tersebut.

II. TUJUAN MELAKUKAN PERBANDINGAN HUKUM


Sesuai dengan permasalahan yang telah di uraikan pada latar belakang maka
tujuan melakukan perbandingan hukum penulisan ini adalah untuk menemukan dan
membuat hukum khususnya berkaitan dengan kewenangan penuntutan yang
dimiliki penuntut umum dalam menangani dan menyelesaikan perkara pidana yang
sifatnya ringan sehingga diharapkan ada reformasi hukum/legal reform yang bisa
menjawab permasalahan ketidak adilan dalam perkara pidana.

Adapaun alasan mengapa tujuan yang diambil adalah reformasi


hukum/Legal reform khsusnya pembuatan hukum/law making ialah karena hukum
yang ada masih terbatas dalam artian aturan mengenai kewenangan penuntutan
yang dimiliki jaksa/penuntut umum masih mengandung kekurangan yaitu tidak ada
aturan yang secara spesifik mengatur penanganan perkara pidana yang bersifat
ringan akibatnya banyak perkara pidana yang sifatnya ringan harus menjalani
proses penyeesaian perkara sebagaimana perkara pidana berat.

III. METODE PERBANDINGAN


Dalam penulisan ini, penulis menggunakan jenis metode perbandingan yang
disebut “metode fungsional” yaitu mencari persamaan dan perbedaan fungsi dari
hukum di dua sistem hukum dalam menyelesaikan sebuah permasalahan yaitu
berkenaan dengan kewenangan jaksa/penuntut umum khususnya mengenai
kewenagan penyelesaian perkara pidana ringan di Indonesia dan Belanda, diketahui
kedua negara ini sama-sama menganut system civil law, dimana hukum didasarkan
pada undang-undang dan system penegakan dan penerpannyapun tentu tidak jauh
berbeda sehingga akan lebih mudah untuk dilakukan perbandingan hukum.
Pendekatan perbandingan hukum yang digunakan dalam penulisan ini ialah
pendekatan perbandingan mikro terhadap norma, hal ini dikarenakan yang akan
dilakukan perbandingan adalah masalah norma atau aturan yang mengatur
mengenai kewenangan dalam menangani perkara pidana yang bersifat ringan di
Indonesia dan Belanda, kemudian di analisis untuk mengatasi permasalahan dalam
penulisan ini.

IV. PEMBAHASAN
A. Kewenangan Jaksa/Penuntut Umum Dalam Menyelesaikan Perkara
Pidana Bersifat Ringan di Indonesia
Mekanisme atau prosedur penangan perkara pidana secara umum di atur
dalam kitab undang-undang hukum pidana /KUHAP, semua jenis perkara pidana
yang di atur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana/KUHP bahkan diluar
KUHP penyelesaian-nya masih mengacu pada KUHAP, sebab sejatinya KUHAP
merupakan hukum pidana formiil yang ditujukan untuk menegakan hukum pidana
materiil. Tugas utama Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia adalah
penuntutan, dan sebaliknya, penuntutan merupakan kewenangan satu-satunya yang
hanya dimiliki oleh kejaksaan, dan tidak dimiliki oleh lembaga lain. Kewenangan
untuk melakukan penuntutan tersebutkan perwujudan dari Prinsip Dominus Litis.5
Secara bahasa, dominus berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik,
sedangkan litis artinya perkara atau gugatan. Hakim tidak bisa meminta supaya
delik diajukan kepadanya, namun hakim hanya menunggu penuntutan dari penuntut
umum”.6 Dalam hukum pidana yang mempunyai peran terpenting dalam
penyelesain perkara adalah jaksa/penuntut umum hal tersebut dikarenakan
jaksa/penuntut umum merupakan pengendali perkara (dominus litis) dimana ia yang
penegak hukum yang mengetahui semua proses penanganan perkara sejak
dikeluarkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan/SPDP oleh pihak
kepolisian, pemeriksaan di kejaksaan dan persidangan bahkan hingga eksekusi
amar putusan. Sehingga yang amat penting untuk diperhatikan apabila terdapat
permasalahan dalam penyelesaian perkara pidana adalah kewenangan
jaksa/penuntut umum.
Jaksa/penuntut umum dalam menangani perkara pidana mengacu pada
tugas dan kewenangannya yang telah di atur dalam KUHAP serta undang-undang

5
Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Komponen dan Proses Sistem
Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2013, halaman 154.
6
Hari Sasongko, Penuntutan dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Dharma Surya Berlian,
Surabaya, 1996, halaman 26.
kejaksaan republic Indonesia. Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa Jaksa adalah
pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak
sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Lebih lanjut kewenangan jaksa diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana Pasal 14 yang berbunyi, penuntut umum mempunyai wewenang
sebagai berikut:7

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidik dari penyidik


atau pembantu penyidik.
b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan
ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka menyempurnakan
penyidikan dari penyidik
c. Memberikan perpanjanagan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah setatus tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik.
d. Membuat surat dakwaan
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik
kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada siding
yang telah ditentukan;
g. Melakukan penuntutan
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum
i. Mengadakan Tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab;
j. Melaksanakan penetapan hakim.

7
Lihat Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Kemudian Di dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan
bahwa:
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Selain itu jaksa atau penuntut umum juga memiliki wewenang untuk
menghentikan penuntutan. Mengenai penghentian penuntutan diatur dalam pasal
140 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan bahwa penuntut umum “dapat
menghentikan penuntutan” suatu perkara. Selengkapnya Pasal 140 ayat (2)
KUHAP adalah sebagai berikut:

Pasal 140 ayat (2):

a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan


karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan
hal tersebut dalam surat ketetapan.
b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia
ditahan, wajib segera dibebaskan.
c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau
keluarga atau penasehat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan
hakim.
d. Apabila kemudia ternyataada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan
penuntutan terhadap tersangka.

Dalam perkara penuntutan perkara pidana dikenal adanya dua asas yang
berlaku yaitu asas legalitas dan asas opurtunitas. Kedua asas tersebut berada dalam
posisi yang berlawanan, disatu pihak asas legalitas menghendaki dilakukannya
penuntutan terhadap semua perkara ke pengadilan tanpa terkecuali. Sedangkan
disisi lain asas opurtunitas memberikan peluang bagi penuntut umum untuk tidak
melakukan penuntutan perkara pidana di pengadilan.8

Penerapan asas oportunitas diterapkan dalam wewenang jaksa agung


sebagaimana di atur dalam pasal 35 huruf c undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan RI yaitu jaksa agung dapat mengesampingkan perkara demi
kepentingan umum, hal tersebut sejatinya adalah diskresi yang hanya dimiliki jaksa
agung sebab merupakan ujung tombak dalam penanganan kasus-kasus besar yang
menyita perhatian publik di Indonesia, seperti kasus korupsi yang merugikan
hingga triliunan rupiah, ataupun kejahatan kerah putih (white color crime) dan
kejahatan lainnya yang dapat menggangu stabilitas prekonomian negara republic
Indonesia.

Dari uraian mengenai kewenangan jaksa/penuntut umum di atas jelas


terlihat bahwa kewenangan jaksa/penuntut umum di Indonesia dapat
diklasifikasikan menjadi dua jenis kewenangan yaitu kewenangan penyelesaian
perkara di dalam persidangan dan kewenangan penyelesaian perkara di luar
persidangan. Sedangkan diluar persidangan ada tiga macam:

1. Menutup perkara demi kepentingan hukum


2. Penghentian penuntutan
3. Mengesampingkan perkara oleh jaksa agung.

Penyelesaian perkara di luar persidangan sebagaimana dimaksud di atas


mempunyai syarat-syarat dan ketentuan masing-masing, misalnya tidak cukup
bukti, pristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, nebis in idem, perkara
daluarsa serta tersangka/terdakwa meninggal dunia.

Dari semua ketentuan penuntutan dalam KUHAP maupun dalam Undang-


undang lainnya, telah jelas bahwa jaksa/penuntut umum saat ini tidak memiliki
diskresi kewenangan untuk menghentikan ataupun mengenyampingkan perkara
karena perkara tindak pidana tersebut bersifat ringan.

8
Opcit Arin Karniasari.
B. Kewenangan Jaksa/Penuntut Umum Dalam Menyelesaikan Perkara
Pidana Bersifat Ringan di Belanda
Belanda sebagai salah satu negara dengan tradisi European Civil Law dan
menggunakan sistem penuntutan inquisitorial, memandang proses peradilan pidana
sebagai proses yang harus dilakukan secara sah untuk menemukan kebenaran
secara rasional dan tidak berpihak. Konsekuensi sistem penuntutan inquisitorial
yang dianutnya, maka penuntut umum di Belanda memiliki posisi kuat dan
dominan dalam setiap tahap proses pidana.9
Penuntut umum juga memiliki wewenang memerintahkan kepada polisi
beberapa hal yang harus dilakukan dalam tahap penyidikan, dan penuntut umum
juga berwenang untuk meneruskan atau tidak meneruskan kasus tersebut ke
pengadilan. Asas-asas yang menjadi dasar diskresi kewenangan penuntutan
tersebut adalah asas expediency yakni penuntut umum dapat tidak meneruskan
penuntutan suatu perkara ketika kesalahan pelaku tersebut masih termasuk tindak
pidana minor dan apabila peradilan tetap dilanjutkan justru tidak dapat memenuhi
kepentingan publik.10
Selain asas expediency, dasar dikresi penuntutan yang lain adalah asas
oportunitas (opportuniteitsbeginsel), yang artinya penuntut umum tidak diwajibkan
untuk selalu membawa suatu kasus ke pengadilan, ia juga boleh menyelesaikan
suatu kasus atas kewenangannya sendiri atau memutuskan untuk menghentikan
penuntutan kasus tersebut.11
Diskresi kewenangan penuntutan di Belanda diatur dalam hukum pidana
materiil yakni Nederlandse Wetbook van Strafrecht (Ned.Sr) dan dalam hukum
pidana formil yakni Nederlandse Wetbook van Strafvordering (Ned.Ned.Sv). Pasal
167 Nederlandse Wetbook van Strafvordering (Ned.Ned.Sv). menentukan bahwa:
“Penuntut umum harus memutuskan untuk melakukan penuntutan jika penuntutan

9
Crijns, J. H. (2011). Witness Agreements in Dutch Criminal Law. Seminar
Internasional Dan Focus Group Discussion Tentang The Protection of Whistleblowers
as Justice Collaborators, 2.
10
Luna, E., & Wade, M. (2010). Prosecutors as Judges. Washington and Lee Law Review,
67(4), 1429.
11
Opcit.
dinilai penting berdasarkan hasil penyidikan. Penuntutan dapat dihentikan
berdasarkan kepentingan publik”.12
Berdasarkan pasal ini dapat diketahui bahwasanya penuntut umum di
belanda mempunyai kewenangan:

1. Melakukan penuntutan jika penuntutan dinilai penting berdasarkan hasil


penyidikan.
2. Menghentikan penuntutan berdasarkan kepentingan publik.
Selain kewenangan tersebut di atas terdapat kewenangan penyelesaian
melalui mekanisme transaksi, Kewenangan ini berlaku untuk semua jenis tindak
pidana termasuk tindak pidana yang bersifat ringan. Pengaturan mengenai
kewenangan penyelesaian melalui mekanisme transaksi tersebut tertuang mulai
Pasal 74 ayat (1) sampai Pasal 74 ayat (1) Nederlandse Wetbook van Strafrecht
(Ned.Ned.Sr).

Pasal 74 ayat (1) Ned.Sr.13


“Jaksa diwajibkan untuk melakukan penawaran transaksi sebelum dimulainya
persidangan untuk perkara-perkara yang memenuhi syarat tertentu dapat
diselesaikan melalui mekanisme transaksi atau afdoening buiten process.”
Pasal 74 ayat (2) Ned.Sr.
“Jaksa menguraikan syarat-syarat tertentu yang dapat diajukan dalam penawaran
transaksi disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan.”
Pasal 74 ayat (3) Ned.Sr.
“Jaksa menentukan kewajiban untuk menyampaikan informasi kepada pihak yang
berkepentingan (kepada korban misalkan) tentang tanggal batas waktu dipenuhinya
syarat-syarat transaksi”.
Pasal 74a Ned.Sr.
“Terdakwa memiliki hak untuk menghapuskan kewenangan penuntutan jaksa
dengan membayar sejumlah denda dan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi.”
Pasal 74b Ned.Sr.
“Apabila dalam waktu sebelum tiga bulan dari diterimanya kesepakatan transaksi
oleh terdakwa, kemudian pengadilan memerintahkan agar dibuka kembali perkara

12
Nederlandse Wetbook van Strafvordering- Ahcmad Hajar Z, Muhammad Najih, Analisis
Perbandingan Kebijakan Penyelesaian Perkara Di Luar Persidangan Di Belanda,Inggris Dan
Indonesia, audito comparative law, Vol. 1, Issue 1, 2020, Hlm. 5
13
Nederlandse Wetbook van Strafrecht – Ibid. Ahcmad Hajar Z, Muhammad Najih,
itu untuk dilakukan proses penuntutan maka proses penuntutan harus dilaksanakan.
Akan tetapi mekanisme ini hanya berlaku untuk kejahatan.”
Pasal 74c Ned.Sr.
“Memberikan kewenangan transaksi oleh polisi atau penyidik khusus lainnya
dengan batasan-batasan tertentu.”
Pasal 74 Ned.Sr.
“Transaksi yang mensyaratkan bahwa dengan membayar denda maksimum maka
terdakwa dapat terhindar dari tuntutan hukum”.
Pasal 74 ayat (1) Ned.Sr.
“Jaksa/penuntut umum harus mengajukan penawaran sebelum dimulainya sidang
perkara yang bersangkutan. Namun hal ini tidak sekaligus menutup kemungkinan
tersangka yang melihat bahwa terhadapnya tidak diajukan transaksi, dapat
mengajukan permohonan untuk itu terhadap jaksa/penuntut umum”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat difahami bahwa kewenangan
jaksa/penuntut umum di belanda setidaknya ada tiga bentuk kewenangan (1).
Melakukan penuntutan jika penuntutan dinilai penting berdasarkan hasil
penyidikan. (2). Menghentikan penuntutan berdasarkan kepentingan publik. (3).
Menyelesaian perkara melalui mekanisme transaksi.

Sehingga dari semua kewenangan tersebut di atas maka jelas bahwa terdapat
kewenangan yang memungkinkan jaksa/penuntut umum untuk menangani perkara
pidana ringan dengan penyelesaian yang berbeda dengan tindak pidana bersifat
berat, yaitu melalui mekanisme transaksi, bahkan sangat dimungkinkan
pelaku/terdakwa menghapuskan tuntutan pidana yang ancamkan dengan membayar
denda yang ditentukan oleh jaksa/penuntut umum.

V. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ternyata Indonesia dan
Belanda memiliki persamaan dan perbedaan khususnya dalam hal kewenangan
penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan. Secara garis besar kewenangan
jaksa/penuntut umum di Indonesia dan belanda memiliki kewenangan yang sama
yaitu kewenangan penyelesaian perkara pidana melalui peradilan dan di luar
peradilan. Kedua negara ini sama-sama menganut system civil law dan hukum
diwujudkan dalam undang-undang.
Hanya saja terdapat perbedaan antara Indonesia dan Belanda dalam hal
diskresi penyelesaian perkara di luar persidangan khususnya berkaitan dengan
penyelesaian perkara pidana yang bersifat ringan. Di Indonesia kewenangan
penyelesaian perkara pidana oleh jaksa/penuntut umum khususnya diluar
persidangan yaitu (1). Menghentikan penuntutan dengan alasan tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana atau perkara
ditutup demi hukum (Pasal 14 huruf h dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP). (2).
Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum oleh jaksa agung (Pasal 35
huruf c undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI).

Dengan demikian jelaslah bahwa dari semua ketentuan penuntutan dalam


KUHAP maupun dalam Undang-undang lainnya, telah jelas bahwa jaksa/penuntut
umum di Indonesia saat ini tidak memiliki diskresi kewenangan untuk
menghentikan ataupun mengenyampingkan perkara karena perkara tindak pidana
tersebut bersifat ringan. Sehingga wajar apabila terjadi persoalan ironi keadilan
dimana perkara pidana bersifat ringan diselesaikan sama seperti perkara pidana
bersifat berat.

Sedangkan di Belanda kewenangan penyelesaian perkara pidana oleh


jaksa/penuntut umum khususnya diluar persidangan yaitu: (1). Menghentikan
penuntutan berdasarkan kepentingan umum (Pasal 167 Wetbook van
Strafvordering). (2). Menyelesaian perkara melalui mekanisme transaksi (Pasal 74
ayat (1) Wetbook van Strafrecht). (3). Membayar denda maksimum terdakwa
terhindar dari tuntutan hukum (Pasal 74 Wetbook van Strafrecht).

Sehingga dapat dilihat bahwa penanganan perkara pidana yang bersifat


ringan sangat dimungkinkan untuk tidak diproses seperti perkara pidana bersifat
berat, hal tersebut dikarenakan di Belanda terdapat kewenangan alternatif yaitu
melalui mekanisme transaksi, dimana semua perkara pidana sebelum diproses
kepersidangan ditawarkan penyelesaian dengan mekanisme transaksi dimana
pelaku/terdakwa bisa hapus dari tuntutan pidana dengan membayar denda
maksimum.
VI. SARAN
Berdasarkan pada uiraian di atas maka dapat disampaikan rekomendasi
bahwa perlu untuk menambah atau memperluas kewenangan jaksa/penuntut umum
di Indonesia khususnya berkaitan kewenangan penyelesaian perkara pidana yang
bersifat ringan dengan cara mengadopsi atau, sehingga harapannya dengan
memperluas kewenangan tersebut tidak ada lagi tindak pidana yang bersifat ringan
yang harus menjalani proses penyelesaian perkara sebagaimana tindak pidana
bersifat berat.
Namun perluasan atau penambahan kewenangan tersebut harus benar-benar
proporsiaonal dan slektif hanya untuk perkara pidana yang memang bersifat ringan,
sebab kewenangan ini sangat mungkin dan cendrung disalah gunakan apabila
diberlakukan untuk semua jenis tindak pidana.
VII. REFERENSI
Ahcmad Hajar Z, Muhammad Najih, Analisis Perbandingan Kebijakan Penyelesaian
Perkara Di Luar Persidangan Di Belanda,Inggris Dan Indonesia, audito
comparative law, Vol. 1, Issue 1, 2020
Hari Sasongko, Penuntutan dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Dharma Surya
Berlian, Surabaya, 1996, halaman 26.
Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Komponen dan Proses
Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,
2013, halaman 154.
Crijns, J. H. (2011). Witness Agreements in Dutch Criminal Law. Seminar
Internasional Dan Focus Group Discussion Tentang The Protection of
Whistleblowers as Justice Collaborators, 2.

Luna, E., & Wade, M. (2010). Prosecutors as Judges. Washington and Lee Law
Review, 67(4), 1429.

Arin Karniasari, Tujuan Teoritis, historis, yuridis dan praktis terhadap wewenang
jaksa agung dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum,
Tesis, Fakultas Hukum

Hukum online. Tindak Pidana Ringan (Tipiring), dikutip dari,


https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5876e928ba1b4/tindak-
pidana-ringan-tipiring/ diakses pada 07 Maret 2021

Hukum online. Tindak Pidana Ringan (Tipiring), dikutip dari,


https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5876e928ba1b4/tindak-
pidana-ringan-tipiring/ diakses pada 07 Maret 2021.

Anda mungkin juga menyukai