Keuangan Full PDF
Keuangan Full PDF
ANGGARAN OPERASIONAL
PERUSAHAAN
Didit Herlianto
TEKNIK PENYUSUNAN
ANGGARAN OPERASIONAL
PERUSAHAAN
TEKNIK PENYUSUNAN
ANGGARAN OPERASIONAL PERUSAHAAN
Edisi Pertama
Cetakan Pertama, 2011
TEKNIK PENYUSUNAN
ANGGARAN OPERASIONAL PERUSAHAAN
DAFTAR ISI ix
GLOSARIUM 269
INDEKS 271
b. Fungsi Pengawasan
Anggaran merupakan salah satu cara mengadakan pengawasan dalam
perusahaan. Pengawasan itu merupakan usaha-usaha yang ditempuh agar
rencana yang telah disusun sebelumnya dapat dicapai. Dengan demikian
pengawasan adalah mengevaluasi prestasi kerja dan tindakan perbaikan
apabila perlu. Aspek pengawasan yaitu dengan membandingkan antara
prestasi dengan yang dianggarkan, apakah dapat ditemukan efisiensi
atau apakah para manajer pelaksana telah bekerja dengan baik dalam
mengelola perusahaan. Tujuan pengawasan itu bukanlah mencari
kesalahan akan tetapi mencegah dan memperbaiki kesalahan. Sering
terjadi fungsi pengawasan itu disalah artikan yaitu mencari kesalahan
orang lain atau sebagai alat menjatuhkan hukuman atas suatu kesalahan
yang dibuat pada hal tujuan pengawasan itu untuk menjamin tercapainya
tujuan-tujuan dan rencana perusahaan.
1.9 Rangkuman
Berdasarkan definisi-definisi dan pengertian anggaran dapat disimpulkan
bahwa: Anggaran harus bersifat formal, artinya anggaran disusun dengan
sengaja dan bersungguh-sungguh dalam bentuk tertulis; Anggaran harus
bersifat sistematis, artinya anggaran disusun dengan berurutan dan berdasarkan
2.4 Rangkuman
Anggaran operasional (operating budget) merupakan deskripsi rinci
pendapatan dan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai hasil laba yang
memuaskan. Operating budget berisi tentang rencana kegiatan-kegiatan
perusahaan selama periode tertentu yang akan datang, baik kegiatan yang
berhubungan dengan sektor penghasilan maupun kegiatan yang berhubungan
dengan sektor biaya.
Hasil utama dari anggaran operasional adalah laporan laba rugi proforma
atau proyeksi laba rugi. Ruang lingkup anggaran operasional terdiri dari
laporan laba rugi yang dianggarkan serta beberapa anggaran pendukung
seperti : Anggaran Penjualan; Anggaran Produksi; Anggaran Bahan Baku;
Anggaran Tenaga Kerja; Anggaran Overhead Pabrik; Anggaran Biaya Umum
dan Administrasi; Anggaran Persediaan Barang Jadi; Anggaran Harga Pokok
Produksi; dan Anggaran Harga Pokok Penjualan.
(3.1)
(3.3)
(3.5)
Dimana:
Y = variabel dependen (tak-bebas) yang dicari trends-nya
X = variabel independen (bebas) dengan menggunakan waktu
(biasanya dalam tahun)
a, b, c = bilangan konstan; Untuk menentukan nilai a, b dan c
diperoleh dari persamaan:
b. Analisa Kausal
1) Metoda Regresi dan Korelasi
Analisis regresi adalah analisis yang membahas hubungan
fungsional dua variabel atau lebih. Analisis korelasi ( correlation
analisys) adalah analisis yang membahas tentang derajat hubungan
dalam analisis regresi. Antara korelasi dan regresi keduanya
mempunyai hubungan yang sangat erat. Setiap regresi pasti
ada korelasinya, tetapi korelasi belum tentu dilanjutkan dengan
regresi. Korelasi yang tidak dilanjutkan dengan regresi, adalah
korelasi antara dua variabel yang tidak mempunyai hubungan
kuasal, atau hubungan fungsional. Analisis regresi dilakukan bila
hubungan dua variabel berupa hubungan kausal atau fungsional.
Untuk menetapkan kedua variabel mempunyai hubungan kausal
atau tidak, maka harus didasarkan pada teori atau konsep-konsep
tentang dua variabel tersebut.
Hasil metode peramalan yang telah diperoleh dan diterapkan harus selalu
ditinjau ulang, yang berguna untuk perbaikan secara terus menerus dimasa
yang akan datang. Tingkat akurasi dari sebuah forecasting sangat bernilai,
apabila hasil peramalannya tepat. Tentunya dengan strategi pemilihan metode
peramalan yang hasilnya tepat, maka perusahaan akan dapat menghemat biaya-
biaya yang mungkin ditimbulkan dalam peramalan. Untuk itu strategi dalam
memilih metode peramalan yang baik adalah memilih metode peramalan yang
memberikan nilai-nilai perbedaan atau penyimpangan sekecil mungkin antara
hasil peramalan dengan kenyataan yang terjadi.
Kasus 1:
PT “GATRA” mempunyai data penjualan 8 tahun (tahun 2004-2011)
sebagai berikut:
Terkait analisis regresi dan korelasi akan diberikan contoh (lihat kasus 2
dan pemecahan kasus 2) sebagai berikut:
Kasus 2:
Berdasarkan data historis tentang jumlah kendaraan bermotor yang
beroperasional di Kabupaten Sleman dengan jumlah penjualan BBM di
Kabupaten Sleman menunjukkan kondisi sebagai berikut:
Pemecahan Kasus 2:
Penjualan BBM tergantung dari jumlah kendaraan yang beroperasi,
bila X menunjukkan jumlah kendaraan yang beroperasi dan Y adalah jumlah
penjualan BBM maka formula regresinya adalah: Y’ = a + bX
Dimana:
Y’ = nilai trend
Y = dependent variable
X = independent variable.
Koefisien a dan b dicari dengan persamaan:
I.
II.
Kasus 3:
Berdasarkan data historis tentang permintaan (penjualan) jumlah
kendaraan bermotor merk “X” dan permintaan industri bermotor menunjukkan
kondisi sebagai berikut:
Pemecahan Kasus 3:
Untuk membuat peramalan penjualan Kendaraan Bermotor Merk “X”
pada tahun 2012 dengan menggunakan analisis industri, langkah-langkahnya
sebagai berikut:
1) Membuat proyeksi permintaan industri (PI).
Untuk membuat proyeksi permintaan industri bisa mendasarkan pada
metode-metode sebelumnya (misalnya bisa menggunakan metode
trend secara matematis). Diasumsikan setelah diproyeksikan dengan
menggunakan metode Least Square permintaan industri kendaraan
bermotor pada tahun 2012 sebesar 2.107 unit.
2) Menilai market share (MS) perusahaan, untuk meringkas market share
disajikan dalam sebuah tabel dibawah ini:
Kasus 4:
Berdasarkan data historis delapan tahun terakhir, tentang penjualan
sepatu Merk “X” menunjukkan kondisi sebagai berikut:
Dari data-data tersebut diatas, buatlah peramalan penjualan sepatu Merk “X”
pada tahun 2012 dengan menggunakan Analisis Product Line.
Pemecahan Kasus 4:
Untuk membuat peramalan penjualan sepatu Merk “X” pada tahun 2012
dengan menggunakan analisis product line, langkah-langkahnya sebagai
berikut:
Kasus 5:
Data historis delapan tahun terakhir, permintaan (penjualan) Perusahaan
Benang dan penjualan Perusahaan Tekstil menunjukkan kondisi sebagai
berikut:
Pemecahan Kasus 5:
Untuk membuat peramalan penjualan Perusahaan Benang pada tahun
2012 dengan menggunakan analisis pengguna akhir, langkah-langkahnya
sebagai berikut:
1) Membuat peramalan Penjualan Perusahaan Tekstil; untuk membuat
peramalan Penjualan Perusahaan Tekstil, bisa mendasarkan pada metode-
metode sebelumnya (misalnya bisa menggunakan metode trend secara
matematis). Diasumsikan setelah diproyeksikan dengan menggunakan
metode Least Square, Penjualan Perusahaan Tekstil pada tahun 2012
sebesar 2.107 unit.
2) Membuat peramalan penjualan Perusahaan Benang; misalnya untuk
menentukan peramalan penjualan Perusahaan Benang dengan
mendasarkan pada prosentase kenaikan rata-rata penjualan tahun
sebelumnya (dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2011).
Untuk lebih ringkasnya, besar prosentase kenaikan penjualan Perusahaan
Benang pertahun akan disajikan dalam sebuah tabel dibawah ini:
3.8 Rangkuman
Para manajer dan pembuat keputusan selalu mencoba mengurangi
ketidakpastian dengan membuat peramalan (forecasting), atas apa yang
Kasus 1:
PT “GATRA” mempunyai data penjualan 5 tahun (tahun 2007-2011)
untuk produk minuman sirup sebagai berikut:
Triwulan
Tahun Setahun
I II III IV
2007 28 32 36 34 130
2008 32 35 38 40 145
2009 36 37 38 39 150
2010 40 40 42 43 165
2011 44 41 41 44 170
Jumlah 180 185 195 200 760
Rata-rata 36 37 39 40
% 23,68 24,34 25,66 26,32 100
Yogyakarta Semarang
Sirup Rasa Jeruk Rp 500 Rp 600
Sirup Rasa Durian Rp 600 Rp 750
Sirup Rasa Nangka Rp 500 Rp 600
Distribusi penjualan tiap jenis produk (sirup) ditaksir untuk Sirup Rasa
Jeruk sebanyak 50%, Sirup Rasa Durian 30% dan Sirup Rasa Nangka 20%.
o Triwulan II
- Sirup Rasa Jeruk = 24,34% x 61 botol = 15 botol x Rp 500 = Rp 7.500
- Sirup Rasa Durian = 24,34% x 36 botol = 9 botol x Rp 600 = Rp 5.400
- Sirup Rasa Nangka = 24,34% x 24 botol = 6 botol x Rp 500 = Rp 3.000
Jumlah Triwulan II 30 botol Rp15.900
o Triwulan III
- Sirup Rasa Jeruk = 25,66% x 61 botol = 16 botol x Rp 500 = Rp 8.000
- Sirup Rasa Durian = 25,66% x 36 botol = 9 botol x Rp 600 = Rp 5.400
- Sirup Rasa Nangka = 25,66% x 24 botol = 6 botol x Rp 500 = Rp 3.000
Jumlah Triwulan III 31 botol Rp16.400
o Triwulan IV
- Sirup Rasa Jeruk = 26,32% x 61 botol = 16 botol x Rp 500 = Rp 7.000
- Sirup Rasa Durian = 26,32% x 36 botol = 9 botol x Rp 600 = Rp 5.400
- Sirup Rasa Nangka= 26,32% x 24 botol = 6 botol x Rp 500 = Rp 3.000
Jumlah Triwulan IV 31 botol Rp16.400
Semarang:
o Triwulan I
- Sirup Rasa Jeruk = 23,68% x 31 botol = 7 botol x Rp 600 = Rp 4.200
- Sirup Rasa Durian = 23,68% x 18 botol = 4 botol x Rp 750 = Rp 3.000
- Sirup Rasa Nangka = 23,68% x 12 botol = 3 botol x Rp 600 = Rp 1.800
Jumlah Triwulan I 14 botol Rp 9.000
o Triwulan III
- Sirup Rasa Jeruk = 25,66% x 31 botol = 8 botol x Rp 600 = Rp 4.800
- Sirup Rasa Durian = 25,66% x 18 botol = 5 botol x Rp 750 = Rp 3.750
- Sirup Rasa Nangka = 25,66% x 12 botol = 3 botol x Rp 600 = Rp 1.800
Jumlah Triwulan III 16 botol Rp10.350
o Triwulan IV
- Sirup Rasa Jeruk = 26,32% x 31 botol = 8 botol x Rp 600 = Rp 7.000
- Sirup Rasa Durian = 26,32% x 18 botol = 5 botol x Rp 750 = Rp 5.400
- Sirup Rasa Nangka = 26,32% x 12 botol = 3 botol x Rp 600 = Rp 3.000
Jumlah Triwulan IV 16 botol Rp10.350
Kasus 2:
PT “OSAVALIA” sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha
industri tas anak-anak, akan merencanakan penjualan ke beberapa daerah
secara triwulanan sebanyak 128.000 unit selama tahun 2012. Berikut disajikan
informasi berkenaan dengan rencana penjualan tersebut.
Rencana penjualan selama 4 triwulan adalah sebagai berikut :
- Triwulan I : 20.000 unit
- Triwulan II : 60.000 unit
- Triwulan III : 30.000 unit
- Triwulan IV : 18.000 unit
Harga jual/unit : Rp. 1000
Tagihan kas triwulan IV pada tahun sebelumnya (2011) adalah Rp
3.100.000
Tagihan kas penjualan sebagai berikut : 70% ditagih dalam triwulan
penjualan, sedangkan sisanya 30% ditagih pada triwulan berikutnya.
Penjualan pada triwulan IV terdapat sebanyak Rp 5.400.000 yang tidak
tertagih dan dimasukkan sebagai piutang usaha pada akhir periode tahun
2013.
Pemecahan Kasus 2:
Membuat anggaran penjualan dan skedul ekspektasi penagihan kas PT
“OSAVALIA” tahun 2012 sebagai berikut:
PT “OSAVALIA”
Anggaran Penjualan
31 Desember 2012
Triwulan (dalam Rupiah) Penjualan
Keterangan Setahun
I (Rp) II (Rp) III (Rp) IV (Rp)
(dalam Rp)
Penjualan 20.000 60.000 30.000 18.000 128.000
Harga Jual per Unit 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Jumlah Penjualan 20.000.000 60.000.000 30.000.000 18.000.000 128.000.000
PT “OSAVALIA”
Skedul Ekspektasi Penagihan Kas
Per Triwulan tahun 2012
Triwulan (dalam Rupiah) Penagihan Kas
Keterangan
I (Rp) II (Rp) III (Rp) IV (Rp) Setahun
Piutang Usaha (PU) dari
tahun 2011 3.100.000
Triwulan I (Tw I):
• (20.000.000 x 70%) 14.000.000
• (20.000.000 x 30%) 6.000.000
Jumlah PU Tw I 20.000.000
Triwulan II (Tw II):
• (60.000.000 x 70%) 42.000.000
• (60.000.000 x 30%) 18.000.000
Jumlah PU Tw II 60.000.000
Triwulan III
(Tw III): 21.000.000
• (30.000.000 x 70%)
• (30.000.000 x 30%) 9.000.000
Jumlah PU Tw III 30.000.000
Triwulan IV
(Tw IV):
• (18.000.000 x 70%) 12.600.000
Jumlah PU Tw IV 12.600.000
Total Kas yang Tertagih
dari Pejualan 14.000.000 48.000.000 39.000.000 21.600.000 125.700.000
Catatan:
Penjualan pada triwulan IV tahun 2012 terdapat sebanyak Rp 5.400.000 yang
tidak tertagih dan dimasukkan sebagai piutang usaha pada akhir periode tahun
2013.
Triwulan
Tahun Setahun
I II III IV
2007 38 32 36 34 140
2008 32 35 38 40 145
2009 36 37 38 39 150
2010 41 40 42 43 166
2011 43 41 41 44 169
Jumlah 190 185 195 200 770
Rata-rata 38 37 39 40
% 24,68 24,03 25,32 25,97 100
Kasus 1:
Rencana penjualan selama setahun (tahun 2011) PT “GATRA & OSA”
untuk produk minuman sirup sebagai berikut:
Pemecahan Kasus 1:
Langkah-langkah penyusunan anggaran produksi dengan kebijakan Pola
Produksi Konstan (Mengutamakan Stabilitas Produksi) sebagai berikut:
Catatan:
- Dalam stabilitas anggaran produksi jumlah yang diproduksi setiap
bulannya harus sama (ada kemungkinan tidak sama jika setiap bulan
jumlah yang diproduksi pecahan atau angka tersebut tidak bulat).
- Kunci penyelesaian dapat dilihat dari persediaan awal dan persediaan
akhir sesuai dengan yang diinginkan (angka-angka yang dicetak miring).
Pemecahan Kasus 2:
Langkah-langkah penyusunan anggaran produksi dengan kebijakan Pola
Produksi Bergelombang (Mengutamakan Pengendalian Tingkat Persediaan)
sebagai berikut:
a. Mencari besarnya jumlah yang harus diproduksi selama satu tahun:
Kasus 1:
PT “GATRA & OSA” pada tahun 2011 memproduksi minuman sirup
dengan rincian: triwulan I sebanyak 200 botol; triwulan II sebanyak 300
botol; triwulan III sebanyak 400 botol; dan triwulan IV sebanyak 500 botol.
Standar penggunaan bahan baku untuk tiap botol 10 ons gula pasir.
Berdasarkan data-data tersebut susunlah anggaran kebutuhan bahan baku
(gula pasir) PT “GATRA & OSA” pada tahun 2011 untuk periode triwulan I
sampai dengan triwulan IV.
Pemecahan Kasus 1:
Dari kasus 1 tersebut diatas untuk pemecahannya dapat dibuat tabel
anggaran kebutuhan bahan baku langsung sebagai berikut:
Tabel Anggaran Kebutuhan Bahan Baku PT “GATRA & OSA” Tahun 2011
Triwulan’ 2011 Produksi Sirup SUR (ons)* Kebutuhan Bahan Baku (ons)
I 200 botol 10 2.000
II 300 botol 10 3.000
III 400 botol 10 4.000
IV 500 botol 10 5.000
Jumlah 1.400 botol 10 14.000
Catatan:
*) SUR (Standard Used Rate) menunjukkan berupa satuan (unit, kg, m, liter
atau ukuran-ukuran lain) bahan baku yang digunakan untuk membuat 1
barang jadi.
Tabel Anggaran Kebutuhan Bahan Baku PT “GATRA & OSA” Tahun 2011
Barang Rencana Bahan Baku X Bahan Baku Y Bahan Baku Z
Bulan’ 2011 Produksi SUR Kebutuhan SUR Kebutuhan SUR Kebutuhan
Barang A: 2 kg 3 kg 2 kg
Januari 1.400 unit 2.800 kg 4.200 kg 2.800 kg
Februari 1.500 unit 3.000 kg 4.500 kg 3.000 kg
Maret 1.500 unit 3.000 kg 4.500 kg 3.000 kg
April 600 unit 1.200 kg 1.800 kg 1.200 kg
Mei 500 unit 1.000 kg 1.500 kg 1.000 kg
Juni 800 unit 1.600 kg 2.400 kg 1.600 kg
Jumlah 6.300 unit 12.600 kg 18.900 kg 12.600 kg
Barang B: 3 kg 2 kg 1 kg
Januari 1.300 unit 3.900 kg 2.600 kg 1.300 kg
Februari 1.100 unit 3.300 kg 2.200 kg 1.100 kg
Maret 900 unit 2.700 kg 1.800 kg 900 kg
April 1.000 unit 3.000 kg 2.000 kg 1.000 kg
Mei 1.100 unit 3.300 kg 2.200 kg 1.100 kg
Juni 1.300 unit 3.900 kg 2.600 kg 1.300 kg
Jumlah 6.700 unit 20.100 kg 13.400 kg 6.700 kg
Jumlah Kebutuhan
32.700 kg 32.300 kg 19.300 kg
Bahan Baku
(6.1)
Dimana:
EOQ = Pembelian yang ekonomis; R = Kebutuhan material satu tahun; C
= Biaya simpan per satuan/tahun; P = Harga material per satuan; S = Biaya
pemesanan setiap kali pesan.
Atau dapat juga dengan menggunakan persamaan (persamaan 6.2) sebagai
berikut:
Dimana :
R = jumlah bahan mentah yang akan dibeli dalam suatu jangka waktu tertentu.
S = biaya pemesanan.
P = harga per unit bahan mentah.
I = biaya penyimpanan yang dinyatakan dalam prosentase dari persediaan
rata-rata.
Perilaku biaya pesan tidak dipengaruhi oleh berapa unit yang dipesan,
tetapi dipengaruhi oleh berapa kali melakukan pemesanan. Untuk biaya
simpan tergantung dari banyaknya barang yang disimpan (dari rata-rata
persediaan dikalikan biaya simpan per unit per periode), kedua biaya tersebut
dapat diformulasikan dengan persamaan (persamaan 6.4) sebagai berikut:
Biaya Pesan = (R / Q) x S
Biaya Simpan = (Ci x I x Q) / 2 (6.4)
TIC (Total Inventory Cost) akan minimum secara matematis dan dapat
diformulasikan dengan persamaan (persamaan 6.5) sebagai berikut:
Dimana :
Q = EOQ
I = Periode biasanya 1, sehingga tidak di tulis
R = Kebutuhan bahan dalam satu periode
S = Biaya tiap kali pesan
Ci = Biaya simpan per unit per periode
Gambar 6.1
Hubungan antara Economic Order Quantity, Total Inventory Cost, Ordering
Cost dan Carrying Cost
Dalam gambar 6.1 tersebut dapt dijelaskan bahwa, titik EOQ terletak
pada saat kurve OC (Ordering Cost / Set Up Cost) berpotongan dengan kurve
CC (Carrying Cost / Holding Cost). Titik perpotongan tersebut merupakan
titik dimana jumlah kuantitas pesanan yang optimal dan menjadikan total
biaya persediaan paling minimal. Hal ini terkait dengan formula matematis
dimana jika biaya simpan sama dengan biaya pesan maka akan diperoleh total
biaya persediaan yang paling minimal (Minimum Cost). Atau dengan kata lain
dalam formula matematis diketahui bahwa, titik terendah Biaya Total akan
terletak di atas persimpangan atau perpotongan antara kurve biaya pemesanan
dan kurve biaya penyimpanan bahan baku, atau pada saat ke dua jenis biaya
tersebut sama.
Kasus 1:
PT “GATRA & OSA” pada tahun 2011 memproduksi barang A dengan
kebutuhan bahan baku selama 1 tahun 3.600 kg. Persediaan awal bahan baku
untuk tahun 2011 sebesar 200 kg dan persediaan akhir bahan baku 400 kg.
Berdasarkan data-data tersebut susunlah anggaran pembelian bahan baku
PT “GATRA & OSA” pada tahun 2011, apabila:
a. Bila harga per satuan bahan baku sama sebesar Rp 1.000/kg dan
kebutuhan bahan baku selama 1 tahun dibeli sekaligus.
b. Bila harga per satuan bahan baku tidak sama, dimana pembelian bahan
baku direncanakan 4 kali dalam setahun: pembelian pertama harga
bahan baku Rp 1.000/kg; pembelian kedua harga bahan baku Rp 1.050/
kg; pembelian ketiga harga bahan baku Rp 1.100/kg; pembelian keempat
harga bahan baku Rp 1.150/kg.
Pemecahan Kasus 1:
Dari kasus 1 tersebut diatas untuk langkah-langkah pemecahannya
adalah dimulai dari penyusunan anggaran pembelian bahan baku untuk tahun
2011 dan baru kemudian memecahkan permasalahan (masalah a & b), sebagai
berikut:
Anggaran Pembelian Bahan Baku PT “GATRA & OSA” untuk Tahun 2011
Pemecahan Kasus 2:
Dari kasus 2 tersebut diatas untuk pemecahannya dapat dibuat tabel
anggaran pembelian bahan baku langsung sebagai berikut:
Kasus 3:
PT “GATRA & OSA” pada tahun 2011 ingin meminimumkan biaya
bahan baku, dimana kebutuhan bahan baku dalam 1 tahun sebesar 3.600 kg.
Biaya pemesanan bahan baku Rp 100.000 setiap kali pesan, biaya simpan
bahan baku per kg/th Rp 10 dan harga bahan baku per kg Rp 1.000.
Berdasarkan data-data tersebut berapa pembelian bahan baku langsung
yang paling ekonomis atau jumlah pemesanan ekonomisnya.
Pemecahan Kasus 3:
Dengan menggunakan persamaan 6.1 maka besarnya pembelian bahan
baku langsung yang paling ekonomis atau jumlah pemesanan ekonomisnya
dapat dihitung sebagai berikut:
Kasus 4:
PT “GATRA & OSA” pada tahun 2011 kebutuhan bahan baku dalam
satu periode (satu tahun) sebesar 2.000 unit. Biaya setiap kali pesan bahan
baku sebesar Rp 300 dan biaya simpan bahan baku per unit per tahun sebesar
Rp 30.
Berdasarkan data-data tersebut berapa pembelian bahan baku langsung
yang paling ekonomis (EOQ) dan berapa besarnya total biaya persediaan
(TIC).
Pemecahan Kasus 4:
Dengan menggunakan persamaan 6.1 maka besarnya pembelian bahan
baku langsung yang paling ekonomis atau jumlah pemesanan ekonomisnya
dapat dihitung sebagai berikut:
Diketahui jika kebutuhan bahan baku dalam satu periode (satu tahun)
atau R = 2.000 unit, biaya setiap kali pesan bahan baku (S) = Rp 300 dan biaya
simpan bahan baku per unit per tahun (Ci x P) =Rp 30, maka EOQ:
= √ (2 x 2000 x 300) / 30 = √40000 = 200
Kasus 1:
Catatan PT “GATRA & OSA” menunjukkan persediaan awal bahan
baku per 1 Nopember 2011 adalah Rp 28.000,- (100 unit @ Rp 280,-). Adapun
transaksi dari pembelian bahan baku dan pemakaian bahan baku pada bulan
November 2011 dapat diperlihatkan sebagai berikut:
2 Nov 05 Pembelian 200 unit @ Rp 285,- Rp 57.000,-
3 Nov 05 Pemakaian 120 unit
4 Nov 05 Pemakaian 80 unit
4 Nov 05 Pembelian 160 unit @ Rp 290,- Rp 46.400,-
5 Nov 05 Pemakaian 100 unit
Pemecahan Kasus 1:
Dari kasus 1 tersebut diatas untuk pemecahannya dapat dibuat tabel
anggaran persediaan bahan baku langsung sebagai berikut:
Kasus 2:
Catatan PT “GATRA & OSA” menunjukkan persediaan awal bahan
baku per 1 November 2011 adalah Rp 28.000,- (100 unit @ Rp 280,-). Adapun
transaksi pembelian bahan baku dan pemakaian bahan baku diperlihatkan
sebagai berikut :
2 Nov 05 Pembelian 200 unit @ Rp 285,- Rp 57.000,-
3 Nov 05 Pemakaian 120 unit
4 Nov 05 Pemakaian 80 unit
4 Nov 05 Pembelian 160 unit @ Rp 290,- Rp 46.400,-
5 Nov 05 Pemakaian 100 unit
Kasus 3:
Catatan PT “GATRA & OSA” menunjukkan persediaan awal bahan
baku per 1 November 2011 adalah Rp 28.000,- (100 unit @ Rp 280,-). Adapun
transaksi pembelian bahan baku dan pemakaian bahan baku diperlihatkan
sebagai berikut :
2 Nov 05 Pembelian 200 unit @ Rp 285,- Rp 57.000,-
3 Nov 05 Pemakaian 120 unit
4 Nov 05 Pemakaian 80 unit
4 Nov 05 Pembelian 160 unit @ Rp 290,- Rp 46.400,-
5 Nov 05 Pemakaian 100 unit
Pemecahan Kasus 3:
Dari kasus 3 tersebut diatas untuk pemecahannya dapat dibuat tabel
anggaran persediaan bahan baku langsung sebagai berikut:
Bahan baku yang telah habis digunakan dalam proses produksi harus
dihitung nilainya. Rencana besarnya nilai bahan baku yang habis digunakan
Selain perhitungan diatas anggaran biaya bahan baku bisa dicari dengan
menggunakan rumus:
Catatan:
*) SUR (Standard Used Rate) menunjukkan berupa satuan (unit, kg, m, liter
atau ukuran-ukuran lain) bahan baku yang digunakan untuk membuat 1
barang jadi.
Pemecahan Kasus 1:
Dari kasus 1 tersebut diatas untuk pemecahannya dilakukan dalam 2
langkah yaitu: langkah pertama menyusun tabel anggaran kebutuhan bahan
baku langsung dan langkah kedua menyusun tabel anggaran biaya bahan
baku langsung.
a. Menyusun tabel anggaran kebutuhan bahan baku langsung dengan hasil
sebagai berikut:
Kasus 2:
PT “GATRA & OSA” pada tahun 2011 mempunyai data-data sebagai
berikut:
Rencana produksi pertriwulan:
Persediaan Akhir
Triwulan’ 2011
Bahan Baku A Bahan Baku B
Triwulan I 75.000 unit 70.000 unit
Triwulan II 50.000 unit 60.000 unit
Triwulan III 60.000 unit 40.000 unit
Triwulan IV 50.000 unit 60.000 unit
6.4 Rangkuman
Anggaran bahan baku merupakan semua anggaran yang berhubungan
dengan perencanaan secara lebih terperinci tentang penggunaan bahan mentah
yang diperlukan untuk penyelenggaraan proses produksi selama periode yang
akan datang.
Bahan baku merupakan bahan yang membentuk bagian menyeluruh
dari produk jadi. Bahan baku yang dipakai dalam proses produksi dapat
dikelompokkan menjadi bahan baku langsung (direct material) dan bahan
baku tak langsung (indirect material).
Secara garis besar tujuan penyusunan anggaran bahan baku langsung
dapat dirinci: 1) Memperkirakan jumlah kebutuhan bahan baku langsung;
2) Memperkirakan jumlah pembelian bahan baku langsung yang diperlukan;
3) Sebagai dasar memperkirakan kebutuhan dana yang diperlukan untuk
melaksanakan pembelian bahan baku langsung; 4) Sebagai dasar penentuan
harga pokok produksi, yakni memperkirakan komponen harga pokok pabrik
karena penggunaan bahan baku langsung dalam proses produksi; dan 5)
Sebagai dasar melaksanakan fungsi pengendalian bahan baku langsung.
Dalam penyusunan anggaran bahan baku langsung terdapat empat sub
anggaran bahan baku langsung yang terdiri dari: 1) Anggaran Kebutuhan
Bahan Baku; 2) Anggaran Pembelian Bahan Baku; 3) Anggaran Persediaan
Bahan Baku; dan 4) Anggaran Biaya Bahan Baku yang Habis Digunakan
dalam Produksi.
Pemecahan Kasus 1:
Dari kasus 1 tersebut diatas untuk lebih mempermudah dalam
pemecahannya, anggaran tenaga kerja langsung atas dasar jam buruh langsung
atau tenaga kerja langsung (Direct Labor Hour/DLH) akan disusun dalam
bentuk tabel. Dimana tabel anggaran tenaga kerja langsung atas dasar jam
buruh langsung atau tenaga kerja langsung (Direct Labor Hour/DLH) adalah
sebagai berikut:
Kasus 2:
PT “GATRA & OSA” pada tahun 2011 mempunyai data-data sebagai
berikut:
Bagian produksi terbagi menjadi 3 bagian yaitu bagian I, bagian II dan
bagian III.
Barang yang diproduksi ada 2 macam yaitu barang X dan barang Y.
Barang X diprodusir melalui ketiga bagian (bagian I, bagian II dan bagian
III) dan barang Y hanya melalui dua bagian saja (bagian I dan bagian III).
Rencana jam buruh per unit barang dan tingkat upah rata-rata:
Pemecahan Kasus 2:
Dari kasus 2 tersebut diatas untuk lebih mempermudah dalam
pemecahannya, anggaran tenaga kerja langsung atas dasar biaya buruh
langsung atau tenaga kerja langsung (Direct Labor Cost/DLC) akan disusun
dalam bentuk tabel. Dimana tabel anggaran tenaga kerja langsung atas dasar
biaya buruh langsung atau tenaga kerja langsung (Direct Labor Cost/DLC)
adalah sebagai berikut:
7.6 Rangkuman
Tenaga Kerja yang bekerja di pabrik dikelompokkan menjadi dua yakni:
1) Tenaga kerja langsung (direct labour) dan; 2) Tenaga kerja tak langsung
(indirect labour). Tenaga kerja langsung (direct labour) pada prinsipnya
terbatas hanya pada tenaga kerja di pabrik yang secara langsung terlibat pada
proses produksi dan biayanya dikaitkan pada biaya produksi atau pada barang
yang dihasilkan. Sedangkan tenaga kerja tak langsung (indirect labour)
pengertiannya terbatas pada tenaga kerja di pabrik yang tidak terlibat secara
langsung pada proses produksi dan biayanya dikaitkan pada biaya overhead
pabrik.
Wewenang
Sifat Biaya Dasar Pertimbangan Jenis Biaya
Penganggaran
Fixed Satuan waktu ● Penyusutan aktiva Pusat*)
tetap
Tarif tertentu ● Pajak Pusat*)
● Asuransi
Ketentuan ● Gaji pegawai Pusat*)
perusahaan
Kebijaksanaan ● Biaya administrasi Bagian
sendiri ● Suku cadang
Variable Volume x ● Bahan bakar ● Volume
Harga(Tarif) ● Material (wewenang
pembungkus Bagian)
● Biaya perjalanan ● Harga (wewenang
Pusat)
Semi Kebijaksanaan ● Biaya Bagian
Variable menganggarkan pemeliharaan
Catatan:
*)
Wewenang pusat dalam arti bahwa pelaksanaan penganggarannya tetap
terletak ditangan bagian masing-masing, namun cara menganggarkannya
tunduk pada peraturan pusat (direksi departemen).
3) Pengawasan BOP.
Dalam pengawasan BOP yang perlu diperhatikan adalah
pengalokasian BOP dari departemen jasa ke departemen produksi.
Karena biaya yang timbul pada departemen jasa selain untuk kepentingan
jasa itu sendiri, juga untuk kepentingan departemen produksi.
Pengalokasian BOP dapat dilakukan dengan cara “Clean Cost
Concept” yaitu pengalokasian berdasarkan proporsi pemakaian
jasa oleh masing-masing bagian produksi. Satuan kegiatan yang
umum dipakai bagian produksi dan bagian jasa adalah sebagai
berikut:
X = a 1 + b 1 Y dan Y = a 2 + b 2 X
(8.1)
Dimana:
X = jumlah biaya overhead bagian jasa X setelah menerima alokasi
biaya dari bagian jasa Y
Y = jumlah biaya overhead bagian jasa Y setelah menerima alokasi
biaya dari bagian jasa X
a1 = biaya overhead bagian jasa X sebelum alokasi.
a2 = biaya overhead bagian jasa Y sebelum alokasi.
b1 = prosentase penggunaan jasa bagian Y oleh bagian X.
b2 = prosentase penggunaan jasa bagian X oleh bagian Y.
Kasus 1:
Selama proses produksi PT “GATRA & OSA” pada tahun 2011, pada
bagian jasa/pembantu akan timbul biaya overhead sebesar Rp 1.000.000.
Jasa yang disediakan, dipakai oleh berbagai bagian dengan proporsi: Bagian
Produksi I (50%); Bagian Produksi II (30%); Bagian Produksi III (20%).
Berdasarkan data tersebut diatas susunlah alokasi biaya overhead PT
“GATRA & OSA” pada tahun 2011 ke masing-masing bagian.
Pemecahan Kasus 1:
Dengan berdasarkan proporsi pemakaian jasa tersebut di atas maka biaya
overhead (Rp 1.000.000) dapat dialokasikan ke masing-masing bagian dengan
perhitungan sebagai berikut:
Kasus 2:
PT “GATRA & OSA” selama tahun 2011 diperkirakan akan timbul
biaya overhead sebesar sebagai berikut:
Bagian Produksi:
- Bagian Produksi I : Rp 12.000.000
- Bagian Produksi II : Rp 20.000.000
- Bagian Produksi III : Rp 10.000.000
Pemecahan Kasus 2:
Dengan berdasarkan proporsi pemakaian jasa di atas maka biaya
overhead bagian Jasa/Pembantu dapat di alokasikan sebagai berikut:
Pemakai Jasa
Pemberi Jasa Bagian Produksi Bagian Jasa
I II I (X) II (Y)
Bagian Jasa I (X) 50% 40% - 10%
Bagian Jasa II (Y) 55% 30% 15% -
Pemecahan Kasus 3:
Dari kasus 3 tersebut diatas untuk langkah-langkah pemecahannya
adalah sebagai berikut:
a. BOP neto masing-masing bagian jasa:
Dengan menggunakan metode aljabar maka dapat dinyatakan dengan
persamaan sebagai berikut: X = 4.000.000 + 0,15 Y dan Y = 3.000.000 +
0,10 X. Kedua persamaan dikombinasikan menjadi:
X = 4.000.000 + 0,15 (3.000.000 + 0,10 X)
X = 4.000.000 + 450.000 + 0,015 X
X – 0,015 X = 4.450.000
X = 4.517.766,497 = 4.517.767
154 Teknik Penyusunan Anggaran Operasional Perusahaan
Jika nilai X sudah diketahui maka nilai Y dapat dicari:
Y = 3.000.000 + 0,10 X → Y = 3.000.000 + 0,10 (4.517.767)
= 3.000.000 + 451.776,7
= 3.451.776,7
= 3.451.777
Arti nilai X dan nilai Y adalah:
Biaya overhead Bagian Jasa I (X) setelah mendapat alokasi biaya
overhead dari bagian Jasa II (Y), adalah sebesar Rp 4.517.767.
Biaya overhead Bagian Jasa II (Y) setelah mendapat alokasi biaya
overhead dari bagian Jasa I (X), adalah sebesar Rp 3.451.777.
Dari data-data tersebut susulah biaya standar per unit produk jadi dan
fleksible budget untuk BOP pada kapasitas 80%; 100%; dan 120%.
8.6 Rangkuman
Biaya Overhead Pabrik (Factory Overhead) adalah biaya-biaya dalam
pabrik yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam rangka proses produksi,
kecuali biaya bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung. Atau dengan
kata lain biaya overhead pabrik (BOP) adalah biaya yang terjadi di pabrik,
selain biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung.
Pemakai Jasa
Pemberi Jasa Bagian Produksi Bagian Jasa
I II I (X) II (Y)
Bagian Jasa I (X) 50% 30% - 20%
Bagian Jasa II (Y) 55% 25% 20% -
Variabel Tetap
Upah pegawai Rp 320.000 -
Bahan pembantu Rp 140.000 -
Lain-lain Rp 20.000 -
Penyusutan Mesin - Rp 190.000
Listrik - Rp 50.000
Pemeliharaan, dll - Rp 80.000
Jumlah Rp 480.000 Rp 320.000
Dari data-data tersebut susulah biaya standar per unit produk jadi
dan fleksible budget untuk BOP pada kapasitas 80%; 100%; dan
120%.
Kasus 1:
Sesuai dengan struktur organisasinya PT “GATRA & OSA” membagi
bagian penjualan menjadi tiga bagian yaitu: Bagian Promosi, Bagian Transaksi
dan Bagian Ekspedisi. Untuk keperluan penyusunan Anggaran Beban
Penjualan pada tahun 2011, perusahaan telah menetapkan berbagai standar
biaya beserta alokasinya dalam bentuk Anggaran Variabel, berdasarkan
pengalaman di waktu yang lalu dan berdasar pada penelitian. Adapun standar
biaya dan alokasi biayanya adalah sebagai berikut:
Besarnya Gaji Karyawan bagian penjualan ditetapkan sebesar Rp
100.000/bulan/ orang (Jumlah karyawan Bagian Promosi 8 orang, Bagian
Transaksi 10 orang dan Bagian Ekspedisi 9 orang) dan tidak dipengaruhi
oleh besar kecilnya jumlah penjualan pada bulan yang bersangkutan.
Selama tahun 2011 direncanakan akan ada dua kali kenaikan gaji, yaitu
pada bulan Mei 2011 dan pada bulan September 2011, dengan kenaikan
Gaji sebagai berikut: kenaikan sebesar Rp 18.750 untuk karyawan Bagian
Promosi; kenaikan sebesar Rp10.000 untuk karyawan Bagian Transaksi,
dan kenaikan sebesar Rp10.000 untuk karyawan Bagian Ekspedisi.
Besarnya Biaya Bahan-Bahan untuk keperluan masing-masing bagian di
dalam Bagian Penjualan, telah ditetapkan sebagai berikut:
Untuk bulan Januari 2011 sampai dengan April 2011:
- Bagian Promosi sebesar Rp 60.000 setiap bulan, ditambah
dengan Rp 0,5 per unit Produk X yang terjual, dan ditambah
dengan Rp 0,4 per unit Produk Y yang terjual.
Penjualan
Bulan’ 2011
Produk X Produk Y
Januari 115.000 unit 80.000 unit
Februari 115.000 unit 80.000 unit
Maret 115.000 unit 80.000 unit
April 115.000 unit 80.000 unit
Mei 125.000 unit 90.000 unit
Juni 125.000 unit 90.000 unit
Juli 125.000 unit 90.000 unit
Agustus 125.000 unit 90.000 unit
September 135.000 unit 95.000 unit
Oktober 135.000 unit 95.000 unit
November 135.000 unit 95.000 unit
Desember 135.000 unit 95.000 unit
Pemecahan Kasus 1:
Dari kasus 1 tersebut diatas untuk langkah-langkah pemecahannya
adalah sebagai berikut:
a. Menentukan besarnya Gaji Karyawan dalam Bagian Penjualan (Bagian
Promosi, Bagian Transaksi dan Bagian Ekspedisi) PT “GATRA & OSA”
setiap bulan untuk Tahun 2011.
Gaji Karyawan Bagian Promosi (GKBP):
- GKBP bulan Januari 2011 sampai dengan bulan April 2011:
GKBP = 8 x Rp 100.000 = Rp 800.000
- GKBP bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011:
GKBP = (8 x Rp 100.000) + (8 x Rp 18.750)
= Rp 800.000 + Rp 150.000 = Rp 950.000
- GKBP bulan September 2011 sampai dengan bulan Desember
2011:
GKBP = (8 x Rp 100.000) + (8 x Rp 18.750) + (8 x Rp 18.750)
= Rp 800.000 + Rp 150.000 + Rp 150.000
= Rp 1.100.000
Gaji Karyawan Bagian Transaksi (GKBT):
- GKBT bulan Januari 2011 sampai dengan bulan April 2011:
GKBT = 10 x Rp 100.000
= Rp 1.000.000
- GKBT bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011:
GKBT = (10 x Rp 100.000) + (10 x Rp 10.000)
= Rp 1.000.000 + Rp 100.000
= Rp 1.100.000
- GKBT bulan September 2011 sampai dengan bulan Desember
2011:
GKBT= (10 x Rp 100.000) + (10 x Rp 10.000) + (10 x Rp 10.000)
= Rp 1.000.000 + Rp 100.000 + Rp 100.000
= Rp 1.200.000
Kasus 2:
Dari Anggaran Beban Penjualan PT “GATRA & OSA” menetapkan
pembebanan biaya penjualan kepada Produk X dan Produk Y, didasarkan
pada perbandingan jumlah unit masing-masing produk yang terjual menjadi
tiga bagian yaitu: Bagian Promosi, Bagian Transaksi dan Bagian Ekspedisi.
Dari Anggaran Beban Penjualan dapat diketahui bahwa selama Caturwulan
(Empatbulan) tahun 2011 akan dijual Produk X (pada kasus 1) sebanyak
(115.000 unit x 4 = 460.000 unit) dan Produk Y (pada kasus 1) sebanyak
(80.000 unit x 4 = 320.000 unit). Dengan demikian Biaya Penjualan selama
Caturwulan (Empatbulan) akan dibebankan kepada Produk X dan kepada
Produk Y dengan dasar perbandingan (460.000 : 320.000). Sedangkan jumlah
Biaya Penjualan selama Caturwulan I tahun 2011 adalah sebagai berikut: 1)
Bagian Promosi sebesar Rp 13.518.800; 2) Bagian Transaksi sebesar Rp
5.288.800; 3) Bagian Ekspedisi sebesar Rp 5.658.400.
Berdasarkan pedoman pembebanan tersebut diatas dan data masih terkait
kasus 1, susunlah Skedul Pembebanan Biaya Penjualan PT “GATRA & OSA”
selama tahun 2011.
Pemecahan Kasus 2:
Dari kasus 2 tersebut diatas untuk langkah-langkah pemecahannya
adalah sebagai berikut:
a. Menentukan beban biaya Bagian Penjualan (Bagian Promosi, Bagian
Transaksi dan Bagian Ekspedisi) kepada Produk X dan Produk Y setiap
Caturwulan untuk Tahun 2011.
Pembebanan Biaya Penjualan (Bagian Promosi, Bagian Transaksi
dan Bagian Ekspedisi) untuk setiap Caturwulan adalah sebagai berikut:
Pembebanan Biaya Penjualan Caturwulan I:
Bagian Promosi:
• Jumlah Biaya = (Rp 3.379.700 x 4) = Rp 13.518.800
• Pembebanan untuk masing-masing produk dengan
perbandingan (460.000 : 320.000), maka pembebanannya:
Kasus 3:
Sesuai dengan struktur organisasinya PT “GATRA & OSA” membagi
bagian administrasi & umum menjadi tiga bagian yaitu: Bagian Sekretariat,
Bagian Keuangan dan Bagian Umum. Untuk keperluan penyusunan Anggaran
Pemecahan Kasus 3:
Dari kasus 3 tersebut diatas untuk langkah-langkah pemecahannya
adalah sebagai berikut:
a. Menentukan besarnya Gaji Karyawan dalam Bagian Administrasi &
Umum (Bagian Sekretariat, Bagian Keuangan, dan Bagian Umum) PT
“GATRA & OSA” setiap bulan untuk Tahun 2011.
Gaji Karyawan Bagian Sekretariat (GKBS):
- GKBS bulan Januari 2011 sampai dengan bulan April 2011:
GKBS = 8 x Rp 100.000
= Rp 800.000
- GKBS bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011:
GKBS = (8 x Rp 100.000) + (8 x Rp 18.750)
= Rp 800.000 + Rp 150.000 = Rp 950.000
Kasus 4:
Dari Anggaran Beban Administrasi & Umum PT “GATRA & OSA”
menetapkan pembebanan biaya Administrasi & Umum kepada Produk X
dan Produk Y, didasarkan pada perbandingan jumlah unit masing-masing
produk yang dihasilkan (diproduksi). Dari Anggaran Produksi diketahui
bahwa jumlah yang diproduksi sesuai dengan yang akan dijual. Pada tahun
2011 akan diproduksi Produk X sebanyak (115.000 unit x 4 = 460.000 unit)
dan Produk Y sebanyak (80.000 unit x 4 = 320.000 unit) dimana unit yang
diproduksi ini dapat dilihat pada kasus sebelumnya (pada kasus 3). Dengan
demikian Biaya Administrasi & Umum selama Caturwulan (Empatbulan)
akan dibebankan kepada Produk X dan kepada Produk Y dengan dasar
perbandingan (460.000 : 320.000). Sedangkan jumlah Biaya Administrasi &
Umum selama Caturwulan I tahun 2011 adalah sebagai berikut: 1) Bagian
Sekretariat sebesar Rp 4.355.200; 2) Bagian Keuangan sebesar Rp 5.160.400;
3) Bagian Umum sebesar Rp 4.700.400.
Berdasarkan pedoman pembebanan tersebut diatas dan data masih
terkait kasus 3, susunlah Skedul Pembebanan Biaya Administrasi & Umum
PT “GATRA & OSA” selama tahun 2011.
Pemecahan Kasus 4:
Dari kasus 4 tersebut diatas untuk langkah-langkah pemecahannya
adalah sebagai berikut:
a. Menentukan beban biaya Bagian Administrasi & Umum (Bagian
Sekretariat, Bagian Keuangan, dan Bagian Umum) kepada Produk X dan
Produk Y setiap Caturwulan untuk Tahun 2011.
Pembebanan Biaya Administrasi & Umum (Bagian Sekretariat,
Bagian Keuangan, dan Bagian Umum) untuk setiap Caturwulan adalah
sebagai berikut:
Pembebanan Biaya Administrasi & Umum Caturwulan I:
Bagian Sekretariat:
• Jumlah Biaya = (Rp 1.088.800 x 4) = Rp 4.355.200
• Pembebanan untuk masing-masing produk dengan
perbandingan (460.000 : 320.000), maka pembebanannya:
Penjualan
Bulan’ 2011
Produk X Produk Y
Januari 115.000 unit 80.000 unit
Februari 115.000 unit 80.000 unit
Maret 115.000 unit 80.000 unit
April 115.000 unit 80.000 unit
Mei 125.000 unit 90.000 unit
Juni 125.000 unit 90.000 unit
Juli 125.000 unit 90.000 unit
Agustus 125.000 unit 90.000 unit
September 135.000 unit 95.000 unit
Oktober 135.000 unit 95.000 unit
November 135.000 unit 95.000 unit
Desember 135.000 unit 95.000 unit
2) Variable Costing
Variable costing merupakan metode penentuan harga pokok
produksi yang hanya memperhitungkan biaya produksi yang berperilaku
variabel ke dalam harga pokok (metode penentuan harga pokok dimana
biaya produksi variabel saja yang dibebankan sebagai bagian dari harga
pokok). Dalam pendekatan ini biaya-biaya yang diperhitungkan sebagai
harga pokok adalah biaya produksi variabel yang terdiri dari biaya bahan
baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik variabel.
Biaya-biaya produksi tetap dikelompokkan sebagai biaya periodik
bersama-sama dengan biaya tetap non produksi. Pendekatan variable
costing di kenal sebagai contribution approach atau dikenal juga dengan
istilah direct costing yaitu merupakan suatu format laporan laba rugi yang
mengelompokkan biaya berdasarkan perilaku biaya, dimana biaya-biaya
dipisahkan menurut kategori biaya variabel dan biaya tetap dan tidak
dipisahkan menurut fungsi-fungsi produksi, administrasi dan penjualan.
Dalam pendekatan ini biaya-biaya berubah sejalan dengan perubahan
out put yang diperlakukan sebagai elemen harga pokok produk. Laporan
laba rugi yang dihasilkan dari pendekatan ini banyak digunakan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari perbedaan laba rugi dalam
metode full costing dengan metode variable costing adalah :
1) Dalam metode full costing, dapat terjadi penundaan sebagian biaya
overhead pabrik tetap pada periode berjalan ke periode berikutnya bila
tidak semua produk pada periode yang sama. Sedangkan dalam metode
variable costing seluruh biaya tetap overhead pabrik telah diperlakukan
sebagai beban pada periode berjalan, sehingga tidak terdapat bagian biaya
overhead pada tahun berjalan yang dibebankan kepada tahun berikutnya.
2) Jumlah persediaan akhir dalam metode variable costing lebih rendah
dibanding metode full costing. Alasannya adalah dalam variable costing
hanya biaya produksi variabel yang dapat diperhitungkan sebagai biaya
produksi.
3) Laporan laba rugi full costing tidak membedakan antara biaya tetap dan
biaya variabel, sehingga tidak cukup memadai untuk analisis hubungan
biaya volume dan laba dalam rangka perencanaan dan pengendalian.
4) Dalam praktiknya, variable costing tidak dapat digunakan secara
eksternal untuk kepentingan pelaporan keuangan kepada masyarakat
umum atau tujuan perpajakan.
Beban Usaha:
- Biaya Penjualan Rp. xxx
- Biaya Administrasi & Umum Rp. xxx
-----------(+)
Rp. xxx
-----------(-)
Laba Usaha Rp. xxx
Pendapatan Lain-lain Rp. xxx
-----------(+)
Laba sebelum Bunga dan Pajak Rp. xxx
Bunga Rp. xxx
-----------(-)
Laba sebelum Pajak Rp. xxx
Pajak Rp. xxx
-----------(-)
Laba Bersih Rp. xxx
========
Catatan:
Laporan Anggaran Laba-rugi tersebut merupakan hasil akhir dari semua
Anggaran Operasional seperti:
Pendapatan Penjualan berasal dari hasil Anggaran Penjualan.
Harga Pokok Penjualan berasal dari hasil Anggaran Bahan Baku,
Anggaran Tenaga Kerja dan Anggaran Biaya Overhead Pabrik.
Kasus 1:
PT “GATRA & OSA” pada tahun 2011 mempunyai data-data operasional
sebagai berikut:
Memproduksi 2 macam produk yaitu Produk A dan Produk B.
Kedua produk diproses melalui 3 Departemen Produksi (Departemen
Produksi X, Departemen Produksi Y, dan Departemen Produksi Z)
serta 3 Departemen Pembantu (Departemen Pembantu L, Departemen
Pembantu M, dan Departemen Pembantu N).
Dasar penentuan Harga Pokok Produksi adalah historical cost, kecuali
Biaya Overhead Pabrik (BOP) yang didasarkan atas tarif.
Bahan Baku digunakan pada Departemen Produksi X yang bersatuan
kegiatan Direct Machine Hours (DMH), Departemen Produksi Y dan
Departemen Produksi Z yang bersatuan kegiatan Direct Labour Hours
(DLH).
Penentuan Biaya Overhead Pabrik (BOP) setahun maupun sebulan
adalah tarif Biaya Overhead Pabrik (BOP) dikalikan jumlah jam riil.
Produk A Produk B
Departemen
Satuan Nilai Satuan Nilai
Produksi X 1.400 DMH Rp 72.000 1.300 DMH Rp 75.000
Produksi Y 1.300 DLH Rp 100.000 2.500 DMH Rp 150.000
Produksi Z 260 DLH Rp 6.500 1.500 DMH Rp 35.000
Pemecahan Kasus 1:
Dari kasus 1 tersebut diatas untuk langkah-langkah pemecahannya
adalah sebagai berikut:
a. Menghitung tarif Biaya Overhead Pabrik (BOP) per satuan masing-
masing departemen, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Menghitung Biaya Overhead Pabrik (BOP) masing-masing
Departemen Pembantu:
Departemen Pembantu L = 16.000 + 0,10 M + 0,20 N
Departemen Pembantu M = 29.500 + 0,10 L + 0,15 N
Departemen Pembantu N = 42.000 + 0,20 L + 0,05 M
L = 19.141,4141 + 0,2172 N
L = 19.141,4141 + 0,2172 (50.000)
L = 19.141,4141 + 10.858,5859
L = 29.999,99
L = 30.000
Kasus 2:
PT “GATRA & OSA” pada tahun 2011 mempunyai data-data perencanaan
sebagai berikut:
Biaya Overhead Pabrik (BOP) setahun masing-masing departemen:
Pemecahan Kasus 2:
Dari kasus 2 tersebut diatas untuk langkah-langkah pemecahannya
adalah sebagai berikut:
a. Menghitung Biaya Overhead Pabrik (BOP) neto masing-masing
Departemen Jasa sesudah saling menerima jasa.
Biaya Overhead Pabrik (BOP) masing-masing Departemen Jasa:
Departemen Jasa 1 (X) → X = 2.000.000 + 0,10 Y
Departemen Jasa 2 (Y) → Y = 3.000.000 + 0,10 X
Departemen Departemen
Keterangan
Produksi 1 Produksi 2
Anggaran BOP Rp 15.000.000,00 Rp 7.000.000,00
Alokasi BOP:
Departemen Jasa 1:
45/90 x Rp 2.090.909,09 Rp 1.045.454,55 -
45/90 x Rp 2.090.909,09 - Rp 1.045.454,55
Departemen Jasa 2:
50/90 x Rp 2.909.090,91 Rp 1.616.161,61 -
40/90 x Rp 2.909.090,91 - Rp 1.292.929,29
Rp 17.661.616,16 Rp 9.338.383,84
Beban Usaha:
- Biaya Penjualan = Rp5.000.000
- Biaya Administrasi & Umum = Rp3.000.000
-----------------(+)
Rp 8.000.000
------------------(-)
Laba Usaha Rp 5.000.000
10.4 Rangkuman
Harga pokok merupakan salah satu komponen dari laporan laba rugi,
yang menjadi perhatian manajemen perusahaan dalam mengendalikan
operasional perusahaan. Harga pokok dapat dikelompokkan dalam 3 macam
harga pokok yaitu harga pokok persediaan, harga pokok produksi dan harga
pokok penjualan.
Metode penentuan harga pokok produksi adalah cara untuk
memperhitungkan unsur-unsur biaya kedalam harga pokok produksi. Dalam
memperhitungkan unsur-unsur biaya ke dalam harga pokok produksi, terdapat
dua pendekatan yaitu: 1) Full Costing, Full costing merupakan metode
penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya
produksi ke dalam harga pokok produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku,
biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik baik yang berperilaku
variabel maupun tetap; dan 2) Variable Costing, Variable costing merupakan
metode penentuan harga pokok produksi yang hanya memperhitungkan biaya
produksi yang berperilaku variabel ke dalam harga pokok (metode penentuan
harga pokok dimana biaya produksi variabel saja yang dibebankan sebagai
bagian dari harga pokok).
Anggaran laba rugi merupakan satu jenis anggaran yang diperlukan oleh
suatu perusahaan untuk merencanakan besarnya laba yang ingin dicapai pada
satu periode anggaran. Disamping itu anggaran rugi-laba merupakan tujuan
disusunnya dari anggaran operasional. Tujuan dilaporkannya laba rugi adalah
sebagai indikator efisiensi penggunaan dana yang digunakan sebagi dasar
untuk pengukuran, penentuan, pengendalian, motivasi prestasi manajemen
Produk A Produk B
Departemen
Satuan Nilai Satuan Nilai
Produksi X 1.400 DMH Rp 72.000 1.300 DMH Rp 75.000
Produksi Y 1.300 DLH Rp 100.000 2.500 DMH Rp 150.000
Produksi Z 260 DLH Rp 6.500 1.500 DMH Rp 35.000
Didit Herlianto dan Triani Pujiastuti, 2009, Studi Kelayakan Bisnis, Edisi
Pertama, Cetakan Pertama, Penerbit: Graha Ilmu, Yogyakarta.
Horne, James C. Van Horne, 1995, Financial Management And Policy, Tenth
Edition, International Edition, Prentice hall, New Jersey, United Stated
of America.
Horne, James C. Van Horne, 1995, Financial Management And Policy, Tenth
Edition, International Edition, Prentice hall, New Jersey, United Stated
of America.
Jae K. Shim, and Joel G. Siegel, 1996, Budgeting: Basics and Beyond,
Prentice-Hall, Inc.
Mas’ud Mahfoedz, 2004, Akuntansi Manajemen, Buku Satu, Edisi IV, Cetakan
Ketiga, Penerbit: BPFE, Yogyakarta.
Niswonger, C. Rollin, and Philip E Fess, and Carl S Waren, 1999, Prinsip-
prinsip Akuntansi, Edisi Keenambelas alih bahasa oleh Hyginus
Ruswinarto dan Herman Wibowo, Penerbit: Erlangga, Jakarta.
Welsch, G.A., Hilton, R.W. and Gordon P.N., 1992, Budgeting: Profit Planning
and Control, Fifth Edition, Prentice-Hall of India, New Delhi.
Bahan Mentah Tak Langsung: Bahan mentah yang ikut berperan dalam
proses produksi tetapi tidak secara langsung tampak pada barang jadi
yang dihasilkan.
Gaji: 1) Balas jasa yang dibayar secara periodik kepada karyawan tetap serta
mempunyai jaminan yang pasti; 2) Pemberian pembayaran finansial
kepada karyawan sebagai balas jasa untuk pekerjaan yang dilaksanakan
dan sebagai motivasi pelaksanaan kegiatan di waktu yang akan datang;
Harga Pokok: Merupakan salah satu komponen dari laporan laba rugi,
yang menjadi perhatian manajemen perusahaan dalam mengendalikan
operasional perusahaan.
Jam Tenaga Kerja Langsung (JKTL): Taksiran sejumlah jam tenaga kerja
langsung yang diperlukan untuk memproduksi satu unit produk tertentu.
Moving Average: Merata-rata data berdasarkan beberapa data masa lalu yang
terbaru.
Nilai Persediaan Akhir Bahan Baku: Nilai persediaan akhir bahan baku akan
tergantung pada estimasi/perkiraan persediaan bahan baku pada akhir
periode dan metode penilaian persediaan bahan baku yang digunakan.
Reorder Point: Saat harus dilakukan pesanan kembali bahan yang diperlukan,
sehingga kedatangan bahan yang dipesan tersebut tepat pada waktu
persediaan di atas safety stock sama dengan nol.
Safety Stock: Persediaan inti dari bahan yang harus dipertahankan untuk
menjamin kelangsungan usaha, artinya safety stock tidak boleh dipakal
kecuali dalam keadaan darurat, seperti : keadaan bencana alam, bahan di
pasaran dalam keadaan kosong karena huru-hara, dan lain-lain.
Semi Variable Cost (Biaya Semi Variable): Biaya-biaya yang tidak bersifat
tetap, tetapi tidak pula bersifat variabel. Biaya ini mengalami perubahan,
tetapi tidak sebanding dengan perubahan tingkat kegiatan.
Standard Used Rate (SUR): Menunjukkan berupa satuan (unit, kg, m, liter
atau ukuran-ukuran lain) bahan baku yang digunakan untuk membuat
barang jadi.
Total Inventory Cost (TIC): Jumlah biaya persediaan dari biaya pesan
persediaan ditambah biaya penyimpanan persediaan.
Upah Nominal: Upah yang dinyatakan dalam bentuk uang yang diterima
secara rutin oleh para pekerja.
Upah Riil: Kemampuan upah nominal yang diterima oleh para pekerja jika
ditukarkan dengan barang dan jasa, yang diukur berdasarkan banyaknya
barang dan jasa yang bisa didapatkan dari pertukaran tersebut.
E
K
Economical order quantity (EOQ) 21
environmental scanning system 27 Kapasitas normal 145, 156, 159, 163
Kapasitas sesungguhnya 145, 159
Kapasitas teoritis 145, 159
F
factory overhead 141, 242 L
FIFO (First In First Out) 108, 123
Finansial Budget 15 Laporan anggaran 10, 259
Forecasting 15, 20, 25, 26, 28, 31, 35, LIFO (Last In First Out) 108, 113, 123
37, 38, 272, 273, 275, 276
M
G Manajer keuangan 11
Gaji Karyawan Penjualan (Store Sala- Manajer perusahaan 11
ries) 165 Manajer umum 11
general and administration expenses Manning table 131
165, 166, 167, 222, 223, 273 market share 47, 48, 56
Market Share 47, 48
Master Income Statement Budget 16
H material usage rate 91
Metode Alokasi Langsung 146
Harga pokok 129, 237, 238, 258, 259, Metode Exponential Smoothing 32
273 metode full costing 144, 241, 242, 247,
Harga Pokok Penjualan 18, 23, 238, 259
239, 246, 248 Metode Kuadrat Terkecil 33, 42
Harga Pokok Persediaan 238, 239 Metode Peramalan Kualitatif 53
Metode Peramalan Kuantitatif 53
Metode Trend Kuadratis 34
I Metode Trend Projections 33
Income Statement Budget 16 metode variable costing 145, 241, 242,
Income Statement Supporting Budget 247, 259
16, 17, 18, 24 Model ekonometri 35
independent variable 43, 45 Model Ekonometri 35
indirect labour 127, 136 Model Input Output 35
Q W
Quadratic Trend Method 34 weak signal 26, 277
R Z
Reorder point 22 Zero Based Budgeting (ZBB) 3, 12, 13
responsibility accounting 148
S
Safety stock 22
selling expenses 165, 167, 222, 223
Semi Average Method 20
simple exponential smoothing 32