Anda di halaman 1dari 3

Nama : Siti Fitria

Nim : 2008201108
Kelas : HKI 1 C

Materi 11

Tarekat di indonesia

Sejarah Perkembangan Tarekat di Indonesia

Islam di Indonesia tidak sepenuhnya seperti yang digariskan Al-Qur’an dan Sunnah saja,
pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa kitab-kitab Fiqih itu dijadikan referensi dalam
memahami ajaran Islam di perbagai pesantren, bahkan dijadikan rujukan oleh para hakim dalam
memutuskan perkara di pengadilan pengadilan agama. Islam di Asia Tenggara mengalami tiga
tahap :

Pertama, Islam disebarkan oleh para pedagang yang berasal dari Arab, India, dan Persia
disekitar pelabuhan (Terbatas).
Kedua : datang dan berkuasanya Belanda di Indonesia, Inggris di semenanjung Malaya, dan
Spanyol di Fhilipina, sampai abad XIX M;
Ketiga : Tahap liberalisasi kebijakan pemerintah Kolonial, terutama Belanda di Indonesia.

Indonesia terletak di antara dua benua dan dua samudra, yang memungkinkan terjadinya
perubahan sejarah yang sangat cepat. Keterbukaan menjadikan pengaruh luar yang tidak dapat
dihindari. Pengaruh yang diserap dan kemudian disesuaikan dengan budaya yang dimilikinyam,
maka  lahirlah dalam bentuk baru yang khas Indonesia. Misalnya :  Lahirnya tarekat Qadiriyah
Wa Naqsabandiyah, dua tarekat yang disatukan oleh Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasy dari
berbagai pengaruh budaya yang mencoba memasuki relung hati bangsa Indonesia, kiranya Islam
sebagai agama wahyu berhasil memberikan bentukan jati diri yang mendasar. Islam berhasil
tetap eksis di tengah keberadaan dan dapat dijadikan symbol kesatuan. Berbagai agama lainnya
hanya mendapatkan tempat disebagian kecil rakyat Indonesia. Keberadaan Islam di hati rakyat
Indonesia dihantarkan dengan penuh kelembutan oleh para sufi melalui kelembagaan tarekatnya,
yang diterima oleh rakyat sebagai ajaran baru yang sejalan dengan tuntutan nuraninya.
Di wilayah Aceh, pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah datang salah seorang keturunan
Rasulullah, yang sekarang nama beliau diabadikan dengan sebuah Institut Agama Islam Negeri
(IAIN), Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Sebelum ke nusantara beliau pernah belajar di Tarim
Hadramaut Yaman kepada para ulama terkemuka di sana. Salah satunya kepada al-Imam Abu
Hafsh ‘Umar ibn ‘Abdullah Ba Syaiban al-Hadlrami. Ditangan ulama besar ini, al-Raniri masuk
ke wilayah tasawuf melalui tarekat al-Rifa’iyyah, hingga menjadi khalifah dalam tarekat ini.
Terhadap akidah hulûl dan wahdah al-wujûd tarekat ini sama sekali tidak memberi ruang
sedikitpun. Hampir seluruh orang yang berada dalam tarekat al-Rifa’iyyah memerangi dua
akidah ini. Ketika kesultanan Aceh dipegang oleh Iskandar Tsani, al-Raniri diangkat menjadi
“Syaikh al-Islâm” bagi kesultanan tersebut. Ajaran Ahlussunnah yang sebelumnya sudah
memiliki tempat di hati orang-orang Aceh menjadi bertambah kuat dan sangat dominan dalam
perkembangan Islam di wilayah tersebut, juga wilayah Sumatera pada umumnya. Faham-faham
akidah Syi’ah, terutama akidah hulûl dan ittihâd, yang sebelumnya sempat menyebar di wilayah
tersebut menjadi semakin diasingkan. Beberapa karya yang mengandung faham dua akidah
tersebut, juga para pemeluknya saat itu sudah tidak memiliki tempat. Bahkan beberapa kitab
aliran hulûl dan ittihâd sempat dibakar di depan Majid Baiturrahman.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa di bagian ujung sebelah barat Indonesia faham
akidah Ahlussunnah dengan salah satu tarekat mu’tabarah sudah memiliki dominasi yang cukup
besar dalam kaitannya dengan penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Di Palembang Sumatera
juga pernah muncul seorang tokoh besar. Dari tangannya lahir sebuah karya besar dalam bidang
tasawuf berjudul Siyar al-Sâlikîn Ilâ ‘Ibâdah Rabb al-‘Âlamîn. Kitab dalam bahasa Melayu ini
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan tasawuf di wilayah Nusantara.
Dalam pembukaan kitab yang tersusun dari empat jilid tersebut penulisnya mengatakan bahwa
tujuan ditulisnya kitab dengan bahasa Melayu ini agar orang-orang yang tidak dapat memahami
bahasa Arab di wilayah Nusantara dan sekitarnya dapat mengerti tasawuf, serta dapat
mempraktekan ajaran-ajarannya secara keseluruhan. Tokoh kita ini adalah Syaikh ‘Abd ash-
Shamad al-Jawi al-Palimbani yang hidup di sekitar akhir abad dua belas hijriah. Beliau adalah
murid dari Syaikh Muhammad Samman al-Madani; yang dikenal sebagai penjaga pintu makam
Rasulullah. Kitab Siyar al-Sâlikin sebenarnya merupakan “terjemahan” dari kitab Ihyâ’ ‘Ulûm
al-Dîn, dengan beberapa penyesuaian penjelasan. Hal ini menunjukan bahwa tasawuf yang
diemban oleh Syaikh ‘Abd ash-Shamad adalah tasawuf yang telah dirumuskan oleh Imam al-
Ghazali.

Dan ini berarti bahwa orientasi tasawuf Syaikh ‘Abd al-Shamad yang diajarkannya tersebut
benar-benar berlandaskan akidah Ahlussunnah. Karena, seperti yang sudah kita kenal, Imam al-
Ghazali adalah sosok yang sangat erat memegang teguh ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah. Pada
periode setelah wali songo ini, ajaran Ahlussunnah; Asy’ariyyah Syafi’iyyah di Indonesia
menjadi sangat kuat. Demikian pula dengan penyebaran tasawuf yang secara praktis berafiliasi
kepada Imam al-Ghazali dan Imam al-Junaid al-Baghdadi, saat itu sangat populer dan mengakar
di masyarakat Indonesia. Penyebaran tasawuf pada periode ini diwarnai dengan banyaknya
tarekat-tarekat yang “diburu” oleh berbagai lapisan masyarakat. Dominasi murid-murid Syaikh
Nawawi yang tersebar dari sebelah barat hingga sebelah timur pulau Jawa memberikan pengaruh
besar dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Ajaran-ajaran di luar Ahlussunnah,
seperti faham “non madzhab” (al-Lâ Madzhabiyyah) dan akidah hulûl atau ittihâd serta
keyakinan sekte-sekte sempalan Islam lainnya, memiliki ruang gerak yang sangat sempit sekali.

Di kemudian hari kelahiran Syaikh Yusuf menambah semarak keilmuan, terutama ajaran
tasawuf praktis yang cukup menjadi primadona masyarakat Sulawesi saat itu. Syaikh Yusuf
sendiri di samping seorang sufi terkemuka, juga seorang alim besar multi disipliner yang
menguasai berbagai macam disiplin ilmu agama. Latar belakang pendidikan Syaikh Yusuf
menjadikannya sebagai sosok yang sangat kompeten dalam berbagai bidang. Tercatat bahwa
beliau tidak hanya belajar di daerahnya sendiri, tapi juga banyak melakukan perjalanan (rihlah
‘ilmiyyah) ke berbagai kepulauan Nusantara, dan bahkan sempat beberapa tahun tinggal di
negara timur tengah hanya untuk memperdalam ilmu agama. Latar belakang keilmuan Syaikh
Yusuf ini menjadikan penyebaran tasawuf di di wilayah Sulawesi benar-benar dilandaskan
kepada akidah Ahlussunnah. Ini dikuatkan pula dengan karya-karya yang ditulis Syaikh Yusuf
sendiri, bahwa orientasi karya-karya tersebut tidak lain adalah Syafi’iyyah Asy’ariyyah. Kondisi
ini sama sekali tidak memberikan ruang kepada akidah hulûl atau ittihâd untuk masuk ke wilayah
“kekuasaan” Syaikh Yusuf al-Makasari.

Anda mungkin juga menyukai