1121305003
BAB I
1.1 PENDAHULUAN
Tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi
sekarang ini, baik pada lingkungan global maupun lingkup nasional, sebagian besar
bersumber dari perilaku manusia. Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan
bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya
mementingkan diri sendiri (egoisme).
Alam sebetulnya mempunyai hak untuk eksis. Itulah hak asasi alam. Tidak hanya
manusia yang berhak untuk eksis di bumi. Oleh karena itu perlu ada sinergi antara alam
dan manusia. Sehingga, Keraf (2002) mengharapan adanya gerakan bersama berbagai
pihak untuk mewujudkan etika lingkungan hidup yang dapat ”merawat” bumi menjadi
tempat yang nyaman bagi semua kehidupan.
PEMBAHASAN
Semestinya harus ada proses hukum yang fair atas kasus seperti ini,
sehinggaproses hukum dan denda dilakukan sebagaimana UU 23/1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 41 – 46. Sesuai dengan prinsip “polluters must
pay” pihak-pihak yang terbukti dalam peradilan melakukan tindakan pencemaran atau
kerusakan lingkungan harus membayar ganti rugi dan melakukan reklamasi. Namun
hinga saat ini ribuan masyarakat Porong yang kehilangan tempat tinggal, kehilangan
pekerjaan serta anak-anak mereka tidak bisa sekolah, belum mendapatkan keadilan.
Komitmen politik Global yang telah disepakati dalam KTT Bumi tahun 1992 di Rio de
Janeiro berupa paradigma pembangunan berkelanjutan semestinya juga ditindaklanjuti
dengan paradigma keberlanjutan ekologi. Karena jika hanya terfokus pada paradigma
pembangunan berkelanjutan, dikhawatirkan dunia akan kembali terjebak pada etika
developmentalisme yang terbukti sangat eksploitatif dengan alasan pembangunan.
Developmentalisme menurut Wolgang Sach dalam Keraf (2002) telah menjebak banyak
negara di dunia. Hasli yang diperoleh adalah kehidupan yang tetap memprihatinkan di
negara dunia ketiga. Yang tercipta kemudian jurang yang menganga antara segelintir
orang yang kaya dengan mayoritas rakyat yang miskin, kehancuran lingkungan, dan
tergusurnya budaya lokal. Oleh karena itu, disinilah urgensinya Pengelolaan Lingkungan
dilandasi atas ideologi yang benar serta paradigma keberlanjutan ekologi yang luas
sebagai alternatif dari konsep pembangunan berkelanjutan.
c. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).
Penegakan Hukum Lingkungan merupakan aspek penting yang perlu dibahas tersendiri.
Aspek ini sangat terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Langkah yang
harus ditempuh adalah : pertama, reformasi legislasi. Peraturan perundangan yang tidak
pro lingkungan dan tidak pro publik harus ditinjau ulang. Undang-undang Sumberdaya
Air, Undang-undang Penanaman Modal Asing, PP 2/2008 dll, semestinya ditinjau
kembali untuk kepentingan penyelamatan sumberdaya alam dan lingkungan. Karena bila
substansi peraturan perundangan tidak menjamin kepentingan lingkungan hidup dan tidak
pro rakyat, maka akan terjadi pembangkangan rakyat (civil disobedience) dalam
mematuhi peraturan perundang-undangan tersebut.Kedua, reformasi pengadilan (judical
reform). Prinsip independensi pengadilan, prinsip profesionalitas, prinsip akuntabilitas,
prinsip partisipasi, prinsip transaparansi dan prinsip aksesibilitas harus dapat
duwujudkan.Ketiga, reformasi apartur penegak hukum (enforcement apparatur reform).
KESIMPULAN
Djajadiningrat, S.T, 2001. Pemikiran, Tantangan, dan Permasalahan Lingkungan. Studio Tekno
Ekonomi ITB. Bandung.
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
.Terjemahan
Mukhamadun, 2006. Lumpur Lapindo Akar Masalah dan Alternatif Solusinya dalam Perspektif
Hukum Lingkungan. Jurnal Hukum Respublika Vol.6 No.1, Nopember 2006.hal 12-20
Sale, K.1996. Revolusi Hijau. Diterjemahkan oleh Matheos Nalle. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.
Syafitri, M. at al. 2005. Dibawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam. Suara Bebas-
Yayasan Kehati. Jakarta.