2. Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2002) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu empat kejadian yaitu:
a. Thrombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher.
b. Embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lain yang di bawa ke otak dari bagian tubuh
yang lain.
c. Iskemia yaitu penurunan aliran darah ke area otak
d. Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan
otak atau ruang sekitar otak.
Akibat dari keempat kejadian diatas maka terjadi penghentian suplai darah ke otak, yang
menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau sensasi.
Faktor resiko terjadinya stroke menurut Mansjoer (2000) adalah:
a. Yang tidak dapat diubah: usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga, riwayat stroke, penyakit jantung
koroner, dan fibrilasi atrium.
b. Yang dapat diubah: hipertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan alkohol dan obat,
kontrasepsi oral, dan hematokrit meningkat.
3. Patofisiologi
Otak sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi anoksia seperti yang terjadi pada stroke di otak
mengalami perubahan metabolik, kematian sel dan kerusakan permanen yang terjadi dalam 3 sampai
dengan 10 menit (non aktif total). Pembuluh darah yang paling sering terkena ialah arteri serebral dan
arteri karotis Interna.
Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak melalui empat
mekanisme, yaitu :
a. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan sehingga aliran darah dan
suplainya ke sebagian otak tidak adekuat, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan-perubahan iskemik
otak.
b. Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke kejaringan (hemorrhage).
c. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak.
d. Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial jaringan otak.
Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan pada aliran darah dan baru
setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas kritis terjadi pengurangan darah secara drastis dan
cepat. Oklusi suatu arteri otak akan menimbulkan reduksi suatu area dimana jaringan otak normal
sekitarnya yang masih mempunyai pendarahan yang baik berusaha membantu suplai darah melalui jalur-
jalur anastomosis yang ada. Perubahan awal yang terjadi pada korteks akibat oklusi pembuluh darah
adalah gelapnya warna darah vena, penurunan kecepatan aliran darah dan sedikit dilatasi arteri serta
arteriole. Selanjutnya akan terjadi edema pada daerah ini. Selama berlangsungnya perisriwa ini,
otoregulasi sudah tidak berfungsi sehingga aliran darah mengikuti secara pasif segala perubahan tekanan
darah arteri.. Berkurangnya aliran darah serebral sampai ambang tertentu akan memulai serangkaian
gangguan fungsi neural dan terjadi kerusakan jaringan secara permanen.
4. Manifestasi Klinik
Menurut Smeltzer & Bare (2002) dan Price & Wilson (2006) tanda dan gejala penyakit stroke adalah
kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh, hilangnya sebagian
penglihatan atau pendengaran, penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau kedua mata,
pusing dan pingsan, nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas, bicara tidak jelas (pelo), sulit
memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak mampu mengenali bagian dari tubuh,
ketidakseimbangan dan terjatuh dan hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih.
6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit stroke menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah:
a. Hipoksia serebral, diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak
bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan
mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam
mempertahankan oksigenasi jaringan.
b. Penurunan aliran darah serebral, bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas
pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intrvena) harus menjamin penurunan viskositas darah
dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi dan hipotensi ekstrim perlu dihindari untuk mencegah
perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
c. Embolisme serebral, dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari
katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya akan
menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan
penghentian trombus lokal. Selain itu, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus
diperbaiki.
· Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat perlukaan. Riwayat “AMPLE”
(alergi, medikasi, past illness, last meal, event/environment) perlu diingat.
· Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan evaluasi kepala akan adanya luka, kontusio atau fraktuf. Pemeriksaan
maksilofasialis, vertebra sevikalis, thoraks, abdomen, perineum, muskuloskeletal dan pemeriksaan
neurologis juga harus dilakukan dalam secondary survey.
· Reevaluasi
Monitoring tanda vital dan haluaran urin penting dilakukan.
· Tambahan pada secondary survev
Selama secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti foto
tambahan dari tulang belakang serta ekstremitas, CT-Scan kepala, dada, abdomen dan prosedur
diagnostik lain.
2) Diagnosa keperawatan kedua: kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan; dapat melakukan aktivitas secara minimum
Kriteria hasil mempertahankan posisi yang optimal, meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang
terkena, mendemonstrasikan perilaku yang memungkinkan aktivitas.
Intervensi;
· Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
Rasional: mengidentifikasi kelemahan/ kekuatan dan dapat memberikan informasi bagi pemulihan
· Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang, miring)
Rasional: menurunkan resiko terjadinya trauma/ iskemia jaringan.
· Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas
Rasional: meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur.
· Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan ekstremitas yang
tidak sakit.
Rasional: dapat berespons dengan baik jika daerah yang sakit tidak menjadi lebih terganggu.
· Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latihan resistif, dan ambulasi pasien.
Rasional: program khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan yang berarti/ menjaga
kekurangan tersebut dalam keseimbangan, koordinasi, dan kekuatan.
3) Diagnosa keperawatan ketiga: kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler.
Tujuan; dapat berkomunikasi sesuai dengan keadaannya.
Kriteria hasil; Klien dapat mengemukakan bahasa isyarat dengan tepat, terjadi kesapahaman bahasa
antara klien, perawat dan keluarga
Intervensi;
· Kaji tingkat kemampuan klien dalam berkomunikasi
Rasional: Perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari derajat gangguan serebral
· Minta klien untuk mengikuti perintah sederhana
Rasional: melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik
· Tunjukkan objek dan minta pasien menyebutkan nama benda tersebut
Rasional: Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik
· Ajarkan klien tekhnik berkomunikasi non verbal (bahasa isyarat)
Rasional: bahasa isyarat dapat membantu untuk menyampaikan isi pesan yang dimaksud
· Konsultasikan dengan/ rujuk kepada ahli terapi wicara.
Rasional: untuk mengidentifikasi kekurangan/ kebutuhan terapi.
4) Diagnosa keperawatan keempat: perubahan sensori persepsi berhubungan dengan stress psikologis.
Tujuan; tidak ada perubahan perubahan persepsi.
Kriteria hasil mempertahankan tingkat kesadarann dan fungsi perseptual, mengakui perubahan dalam
kemampuan.
Intervensi;
· Kaji kesadaran sensorik seperti membedakan panas/ dingin, tajam/ tumpul, rasa persendian.
Rasional: penurunan kesadaran terhadap sensorik dan kerusakan perasaan kinetic berpengaruh buruk
terhadap keseimbangan.
· Catat terhadap tidak adanya perhatian pada bagian tubuh
Rasional: adanya agnosia (kehilangan pemahaman terhadap pendengaran, penglihatan, atau sensasi
yang lain)
· Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan seperti berikan pasien suatu benda untuk menyentuh dan
meraba.
Rasional: membantu melatih kembali jaras sensorik untuk mengintegrasikan persepsi dan interprestasi
stimulasi.
· Anjurkan pasien untuk mengamati kakinya bila perlu dan menyadari posisi bagian tubuh tertentu.\
Rasional: penggunaan stimulasi penglihatan dan sentuhan membantu dalam mengintergrasikan kembali
sisi yang sakit.
· Bicara dengan tenang dan perlahan dengan menggunakan kalimat yang pendek.
· Rasional: pasien mungkin mengalami keterbatasan dalam rentang perhatian atau masalah
pemahaman.
5) Diagnosa keperawatan kelima: kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol/ koordinasi otot
Tujuan; kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi
Kriteria hasil klien bersih dan klien dapat melakukan kegiatan personal hygiene secara minimal
Intervensi;
· Kaji kemampuan klien dan keluarga dalam perawatan diri.
Rasional: Jika klien tidak mampu perawatan diri perawat dan keluarga membantu dalam perawatan diri
· Bantu klien dalam personal hygiene.
Rasional: Klien terlihat bersih dan rapi dan memberi rasa nyaman pada klien
· Rapikan klien jika klien terlihat berantakan dan ganti pakaian klien setiap hari
Rasional: Memberi kesan yang indah dan klien tetap terlihat rapi
· Libatkan keluarga dalam melakukan personal hygiene
Rasional: ukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam program peningkatan aktivitas klien
· Konsultasikan dengan ahli fisioterapi/ ahli terapi okupasi
Rasional: memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi dan
6) Diagnosa keperawatan keenam: gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan biofisik,
psikososial, perseptual kognitif.
Tujuan; tidak terjadi gangguan harga diri
Kriteria hasil mau berkomunikasi dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang terjadi,
mengungkapkan penerimaan pada diri sendiri dalam situasi.
Intervensi;
· Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungkan dengan derajat ketidakmampuannya.
Rasional: penentuan faktor-faktor secara individu membantu dalam mengembankan perencanaan
asuhan/ pilihan intervensi.
· Bantu dan dorong kebiasaan berpakaian dan berdandan yang baik.
Rasional: membantu peningkatan rasa harga diri dan kontrol atas salah satu bagian kehidupan.
· Berikan dukungan terhadap perilaku/ usaha seperti peningkatan minat/ partisipasi dalam kegiatan
rehabilitasi.
Rasional: mengisyaratkan kemampuan adaptasi untuk mengubah dan memahami tentang peran diri
sendiri dalam kehidupan selanjutnya.
· Dorong orang terdekat agar member kesempatan pada melakukan sebanyak mungkin untuk dirinya
sendiri.
Rasional: membangun kembali rasa kemandirian dan menerima kebanggan diri dan meningkatkan proses
rehabilitasi.
· Rujuk pada evaluasi neuropsikologis dan/ atau konseling sesuai kebutuhan.
Rasional: dapat memudahkan adaptasi terhadap perubahan peran yang perlu untuk perasaan/ merasa
menjadi orang yang produktif.
7) Diagnosa keperawatan ketujuh: resiko tinggi kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler/ perseptual.
Tujuan; kerusakan dalam menelan tidak terjadi.
Kriteria hasil mendemonstrasikan metode makan tepat untuk situasi individual dengan aspirasi tercegah,
mempertahankan berat badan yang diinginkan.
Intervensi;
· Tinjau ulang patologi/ kemampuan menelan pasien secara individual.
Rasional: intervensi nutrisi/ pilihan rute makan ditentukan oleh faktor-faktor ini.
· Letakkan pasien pada posisi duduk/ tegak selama dan setelah makan
Rasional: menggunakan gravitasi untuk memudahkan proses menelan dan menurunkan resiko terjadinya
aspirasi.
· Anjurkan pasien menggunakan sedotan untuk meminum cairan.
Rasional: menguatkan otot fasiel dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya aspirasi.
· Anjurkan untuk berpartisipasi dalam program latihan/ kegiatan.
Rasional: meningkatkan pelepasan endorphin dalam otak yang meningkatkan perasaan senang dan
meningkatkan nafsu makan.
· Berikan cairan melalui intra vena dan/ atau makanan melalui selang.
Rasional: memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika pasien tidak mampu untuk memasukkan
segala sesuatu melalui mulut.
8) Diagnosa keperawatan ketujuh: kurang pengetahuan tentang kondisi dan pengobatan berhubungan
dengan Keterbatasan kognitif, kesalahan interprestasi informasi, kurang mengingat
Tujuan; klien mengerti dan paham tentang penyakitnya
Kriteria hasil berpartisipasi dalam proses belajar
Intervensi;
· Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien
Rasional: untuk mengetahui tingkat pengetahuan klien
· Berikan informasi terhadap pencegahan, faktor penyebab, serta perawatan.
Rasional: untuk mendorong kepatuhan terhadap program teraupetik dan meningkatkan pengetahuan
keluarga klien
· Beri kesempatan kepada klien dan keluarga untuk menanyakan hal- hal yang belum jelas.
Rasional: memberi kesempatan kepada orang tua dalam perawatan anaknya
· Beri feed back/ umpan balik terhadap pertanyaan yang diajukan oleh keluarga atau klien.\
Rasional: mengetahui tingkat pengetahuan dan pemahaman klien atau keluarga
· Sarankan pasien menurunkan/ membatasi stimulasi lingkungan terutama selama kegiatan berfikir
· Rasional: stimulasi yang beragam dapat memperbesar gangguan proses berfikir.
B. ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA TRAUMA KEPALA
1. Pengertian
Trauma kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab utama kecatatan dan kematian. Lebih dari 50%
trauma kepala disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, selebihnya disebabkan karena factor lain seperti
terjatuh, terpukul, kecelakaan industry dan lain-lain. (Daniel Tjen, 1999).
Trauma kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Secara anatomis otak dilindungi dari
cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium (helm) yang membungkusnya.
Berdasarkan GCS, trauma kepala atau cedera otak dapat dibagi menjadi 3 gradasi, yaitu :
· Cedera kepala ringan/cedera otak ringan, bila GCS : 13-15
· Cedera kepala sedang/cedera otak sedang, bila GCS : 9-12
· Cedera kepala berat/cedera otak berat, bila GCS : kurang atau sama dengan 8.
2. Etiologi
Trauma kepala dapat disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kecelakaan industri, kecelakaan
olahraga, luka pada persalinan.
b. Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien tergantung dari berat ringannya cedera kepala, ada atau tidaknya amnesia
retrograt, mual dan muntah.
7. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada cedera kepala diantaranya :
· Defisitnya neurologi fokal
· Kejang
· Pneumonia
· Perdarahan gastrointestinal
· Disritmia jantung
· Hidrosefalus
· Kerusakan kontrol respirasi
· Inkontinensia bladder atau bowel
b) Operasi
Dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral, debridemen luka, kranioplasti, prosedur shunting
pada hidrocepalus, kraniotomi.
c) Pengobatan
· Diuretik : untuk mengurangi edema serebral misalnya manitol 20%, furosemid (lasic).
· Antikonvulsan : untuk menghentikan kejang misalnya dengan dilantin, tegretol, valium
· Kortokosteroid : untuk menghambat pembentukan edema misalnya dengan dexametason.
· Antagonis histamin : mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi akibat efek trauma
kepala misalnya dengan cemetidin, ranitidin.
· Antibiotik jika terjadi luka yang besar.
· Pernapasan
Tanda :
ü Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Nafas berbunyi stridor, terdesak
ü Ronki, mengi positif
· Keamanan
Gejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/ dislokasi
ü Gangguan penglihatan
ü Gangguan kognitif
ü Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum mengalami paralisis
ü Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
· Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang.
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan, penggunaan otot
aksesori
Tujuan dan kriteria hasil
Intervensi
Rasional
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien dapat menunjukkan nafas
lebih efektif dengan kriteria hasil :
- tidak ada sesak nafas, sianosis
- pola nafas normal
1.Pantau frekuensi, irama kedalaman pernafasan
2.Tinggikan kepala tempat tidur, posisi miring sesuai indikasi
3.Anjurkan pasien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar
4.Catat kompetensi gangguan menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan nafasnya
5.Berikan oksigen sesuai indikasi
1.Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak),
menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak, pernafasan lambat, periode apnea dapat menandakan
ventilasi mekanisme.
2. Untuk memudahkan ekspansi paru
3.Memobilisasi sekret untuk membersihkan jalan nafas dan membantu mencegah komplikasi pernafasan
4.Kemampuan membersihkan jalan nafas penting untuk pemeliharaan jalan nafas, kehilangan reflek
menelan/ batuk menandakan perlunya jalan nafas bantuan.
5.Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu mencegah hipoksia.
3) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas, peningkatan jumlah
sekret.
Tujuan dan kriteria hasil
Intervensi
Rasional
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien dapat mempertahankan jalan
nafas paten dengan bunyi nafas bersih/jelas dengan kriteria hasil :
- Tidak ada bunyi nafas tambahan
- Tidak ada penumpukkn sekret
- Tidak ada sesak nafas
1. Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas tambahan mis. Mengi, ronchi, krekels
2. Pantau frekuensi pernafasan
3. Catat adanya dispnea, gelisah, ansietas, distres pernafasan, penggunaan otot bantu
4. Berikan posisi yang nyaman
5. Pertahankan polusi lingkungan minimum
6. Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir
7. Observasi karakteristik batuk, mis menetap, batuk pendek, basah bantu tindakan untuk memperbaiki
keefektifan upaya batuk
8. Tingkatkan masukan cairan 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung
9. Berikan obat sesuai indikasi
10. Berikan hudifiksi tambahan, mis, nebulizar ultranik, humidifier aerosol ruangan
1. Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tak
dimanifestasikan adanya bunyi nafas adventisius, mis, penyebaran, krekels basah, bunyi nafas redup
dengan ekspirasi mengi ataau tidak ada bunyi nafas
2. Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi
memanjang dibandingkan inspirasi
3. Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses kronis selain proses akut
yang menimbulkan perawatan di RS
4. Peninggian kepala tempat tidur mempermudah proses pernafasan
5. Pencetus tipe reaksi alergi pernafasan yang dapat mentriger episode akut
6. Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan
jebakan udara
7. Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi atau kepala dibawah setelah perkusi dada
8. Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mepermudah pengeluaran.
9. Membantu mempercepat proses penyembuhan
10. Kelembaban menurunkan kekentalan sekret dan mencegah pembentukan mucosa tebal pada
bronkus.
· Breathing
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam
jumlah yang memadai. Jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat,
bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal1,3,5,6,7,8.
· Circulation
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi Tindakan
lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta
temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat
biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
· Dissability
Melihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya kesadaran pasien.
· Exposure
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan sadar (GCS 15) dengan :Simple head
injury bila tanpa deficit neurology
o Dilakukan rawat luka
o Pemeriksaan radiology
o Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi bila terjadi penurunan kesadaran segera
bawa ke rumah sakit
2) Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sensorik.
Tujuan : Memperbaiki mobilitas
Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur, footdrop,
meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit /kompensasi, mendemonstrasikan teknik /perilaku yang
memungkinkan melakukan kembali aktifitas.
Rencana Tindakan
· Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
Rasional : Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.
· Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan pasien.
Rasional : Mencegah terjadinya dekubitus.\
· Beri papan penahan pada kaki
Rasional : Mencegah terjadinya foodrop
· Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits
Rasional : Mencegah terjadinya kontraktur.
· Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali /hari
Rasional : Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.
· Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
Rasional : Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.
· Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti splints
Rasional : Memberikan pancingan yang sesuai.
3) Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan immobilitas,
penurunan sensorik.
Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit
Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari infeksi pada lokasi yang
tertekan.
Rencana Tindakan
· Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
Rasional : Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel.
· Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
Rasional : Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
· Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
Rasional : Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas
· Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
Rasional : Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan sirkulasi
darah.
· Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.
Rasional : Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit
· Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam dengan
gerakan memutar.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi darah
· Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
Rasional : Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
· Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
Rasional : Mempercepat proses penyembuhan
4) Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan.
Tujuan : Peningkatan eliminasi urine
Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa residu dan distensi, keadaan
urine jernih, kultur urine negatif, intake dan output cairan seimbang
Rencana tindakan
· Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih
Rasional : Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih
· Kaji intake dan output cairan
Rasional : Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.
· Lakukan pemasangan kateter sesuai program
Rasional : Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih sehingga perlu bantuan
dalam pengeluaran urine
· Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
Rasional : Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya ……..
· Cek bladder pasien setiap 2 jam
Rasional : Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia
· Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas
Rasional : Mengetahui adanya infeksi
· Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam
Rasional : Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.
5) Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan autonomik.
Tujuan : Memperbaiki fungsi usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek, berbentuk.
Rencana tindakan
· kaji pola eliminasi bowel
Rasional : Menentukan adanya perubahan eliminasi
· Berikan diet tinggi serat
Rasional : Serat meningkatkan konsistensi feses
· Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi
Rasional : Mencegah konstipasi
· Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
Rasional : Bising usus menentukan pergerakan perstaltik
· Hindari penggunaan laktasif oral
Rasional : Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan
· Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
Rasional : Meningkatkan pergerakan peritaltik
· Berikan suppositoria sesuai program
Rasional : Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi
· Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi
Rasional : Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria
6) Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alat traksi
Tujuan : Memberikan rasa nyaman
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman, mengidentifikasikan cara-cara untuk
mengatasi nyeri, mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai
kebutuhan individu.
Rencana tindakan
· Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri, misalnya lokasi,
tipe nyeri, intensitas pada skala 0 – 1-
Rasional : Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera misalnya dada / punggung atau
kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer
· Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres hangat / dingin sesuai
indikasi.
Rasional : Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosionlan, selain
menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan pada fungsi pernafasan.
· Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi visualisasi, latihan nafas dalam.
Rasioanl : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan
kemampuan koping
· Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya dontren (dantrium); analgetik;
antiansietis.misalnya diazepam (valium)
Rasional : Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk menghilangkan-ansietas dan
meningkatkan istrirahat.
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA SISTEM MUSKULOSKELETAL
2. Etiologi
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara spontan.
Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh
dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
3. Patofisiologi
Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu :
a. Fase hematum
1) Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume disekitar fraktur
2) Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat
b. Fase granulasi jaringan
1) Terjadi 1 – 5 hari setelah injury
2) Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis
3) Itematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh darah baru fogoblast dan
osteoblast.
c. Fase formasi callus
1) Terjadi 6 – 10 harisetelah injuri
2) Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
6. Penatalaksanaan
a. Fraktur Reduction
- Manipulasi atau penurunan tertutup, manipulasi non bedah penyusunan kembali secara manual dari
fragmen-fragmen tulang terhadap posisi otonomi sebelumnya.
Penurunan terbuka merupakan perbaikan tulang- terusan penjajaran insisi pembedahan, seringkali
memasukkan internal viksasi terhadap fraktur dengan kawat, sekrup peniti plates batang intramedulasi,
dan paku. Type lokasi fraktur tergantung umur klien.
Peralatan traksi :
o Traksi kulit biasanya untuk pengobatan jangka pendek
o Traksi otot atau pembedahan biasanya untuk periode jangka panjang.
b. Fraktur Immobilisasi
Pembalutan (gips)-
Eksternal Fiksasi-
Internal Fiksasi-
Pemilihan Fraksi-
c. Fraksi terbuka
Pembedahan debridement dan irigrasi-
Imunisasi tetanus-
Terapi antibiotic prophylactic-
Immobilisasi (Smeltzer, 2001).-
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan
sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat
badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
· Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
· Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
· Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
· Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan
plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
· Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
· Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak
terjadi infeksi.
· Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi
infeksi.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan muskuloskletal,
terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
· Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur invasif
dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
· Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
4) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan muskuloskletal,
terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : - penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
· Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
· Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah
ketidakmauan.
· Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
· Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
· Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan
mobilitas pasien.
5) Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur invasif
dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
· Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
· Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
· Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
· Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
· Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
6) Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil : - melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
· Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
· Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan
mengurangi rasa cemas.
· Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
· Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan
yang dilakukan.
2. Etiologi
Etiologi tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa faktor predisposisi, diantaranya :
a. Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir
b. Trauma akibat kecelakaan
c. Trauma akibat pembedahan ortopedi
d. Terjadi infeksi di sekitar sendi
3. Patofisiologi
Penyebab terjadinya dislokasi sendi ada tiga hal yaitu karena kelainan congenital yang mengakibatkan
kekenduran pada ligamen sehingga terjadi penurunan stabilitas sendi. Dari adanya traumatic akibat dari
gerakan yang berlebih pada sendi dan dari patologik karena adanya penyakit yang akhirnya terjadi
perubahan struktur sendi. Dari 3 hal tersebut, menyebabkan dislokasi sendi. Dislokasi mengakibatkan
timbulnya trauma jaringan dan tulang, penyempitan pembuluh darah, perubahan panjang ekstremitas
sehingga terjadi perubahan struktur. Dan yang terakhir terjadi kekakuan pada sendi. Dari dislokasi sendi,
perlu dilakukan adanya reposisi dengan cara dibidai.
4. Klasifikasi
a. Dislokasi congenital
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
b. Dislokasi patologik
Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi.
c. Dislokasi traumatic
Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan
akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan)
b. Kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka : bedah permukaan ;
pemasangan kawat, perubahan sensasi, sirkulasi, akumulasi eksresi atau sekret / immobilisasi fisik.
Tujuan : Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi.
Kriteria Hasil :
- Penyembuhan luka sesuai waktu.
- Tidak ada laserasi, integritas kulit baik.
Intervensi :
· Kaji kulit untuk luka terbuka, kemerahan, perdarahan, perubahan warna.
Rasional :
Memberikan informasi gangguan sirkulasi kulit dan masalah-masalah yang mungkin disebabkan oleh
penggunaan traksi, terbentuknya edema.
· Massage kulit dan tempat yang menonjol, pertahankan tempat tidur yang kering dan bebas kerutan.
Rasional :
Menurunkan tekanan pada area yang peka dan resiko abrasi/kerusakan kulit.
· Rubah posisi selang seling sesuai indikasi.
Rasional :
Mengurangi penekanan yang terus-menerus pada posisi tertentu.
· Gunakan bed matres / air matres.
Rasional :
Mencegah perlukaan setiap anggota tubuh dan untuk anggota tubuh yang kurang gerak efektif untuk
mencegah penurunan sirkulasi.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan sekitar fraktur dan kerusakan rangka
neuromuskuler.
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang.
Kriteria Hasil :
- Klien akan meningkat/ mempertahankan mobilitas pada tingkat kenyamanan yang lebih tinggi.
- Klien mempertahankan posisi /fungsional.
- Klien meningkatkan kekuatan /fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
- Klien menunjukkan teknik yang mampu melakukan aktifitas.
Intervensi :
· Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera/pengobatan dan perhatikan persepsi pasien
terhadap imobilisasi.
Rasional :
Mengetahui persepsi diri pasien mengenai keterbatasan fisik aktual, mendapatkan informasi dan
menentukan informasi dalam meningkatkan kemajuan kesehatan pasien.
· Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/rekreasi dan pertahankan rangsang lingkungan.
Rasional :
Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan
rasa kontrol diri dan membantu menurunkan isolasi sosial.
· Instruksikan dan bantu pasien dalam rentang gerak aktif/pasif pada ekstremitas yang sakit dan yang
tak sakit.
Rasional :
Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak
sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan respon kalsium karena tidak digunakan.
· Tempatkan dalam posisi telentang secara periodik bila mungkin, bila traksi digunakan untuk
menstabilkan fraktur tungkai bawah.
Rasional :
Menurunkan resiko kontraktur fleksi panggul.
· Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan (contoh mandi dan mencukur).
Rasional :
Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan kontrol pasien dalam situasi dan meningkatkan
kesehatan diri langsung.
· Berikan/bantu dalm mobilisasi dengan kursi roda, kruk dan tongkat sesegera mungkin. Instruksikan
keamanan dalam menggunakan alat mobilisasi.
Rasional :
Mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring (contoh flebitis) dan meningkatkan penyembuhan dan
normalisasi fungsi organ.
· Awasi TD dengan melakukan aktivitas dan perhatikan keluhan pusing.
Rasional :
Hipotensi postural adalah masalah umum menyertai tirah baring lama dan dapat memerlukan intervensi
khusus.
· Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk/napas dalam.
Rasional :
Mencegah/menurunkan insiden komplikasi kulit/pernapasan (contoh dekubitus, atelektasis dan
pneumonia).
· Auskultasi bising usus.
Rasional :
Tirah baring, pengguanaan analgetik dan perubahan dalam kebiasaan diet dapat memperlambat peristaltik
dan menghasilkan konstipasi.
· Dorong penigkatan masukan cairan sanpai 2000-3000 ml/hari.
Rasional :
Mempertahankan hidrasi tubuh, menurunkan resiko infeksi urinarius, pembentukan batu dan konstipasi.
· Konsul dengan ahli terapi fisik/okupasi dan atau rehabilitasi spesialis.
Rasional :
Berguna dalan membuat aktivitas individual/program latihan.
d. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan aliran darah; cedera
vaskuler langsung, edema berlebih, hipovolemik dan pembentukan trombus.
Tujuan : Disfungsi neurovaskuler perifer tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
- Mempertahankan perfusi jaringan yang ditandai dengan terabanya pulsasi.
- Kulit hangat dan kering.
- Perabaan normal.
- Tanda vital stabil.
- Urine output yang adekuat
Intervensi :
· Kaji kembalinya kapiler, warna kulit dan kehangatan bagian distal dari fraktur.
Rasional :
Pulsasi perifer, kembalinya perifer, warna kulit dan rasa dapat normal terjadi dengan adanya syndrome
comfartemen syndrome karena sirkulasi permukaan sering kali tidak sesuai.
· Kaji status neuromuskuler, catat perubahan motorik / fungsi sensorik.
Rasional :
Lemahnya rasa/kebal, meningkatnya penyebaran rasa sakit terjadi ketika sirkulasi ke saraf tidak adekuat
atau adanya trauma pada syaraf.
· Kaji kemampuan dorso fleksi jari-jari kaki.
Rasional :
Panjang dan posisi syaraf peritoneal meningkatkan resiko terjadinya injuri dengan adanya fraktur di kaki,
edema/comfartemen syndrome/malposisi dari peralatan traksi.
· Monitor posisi / lokasi ring penyangga bidai.
Rasional :
Peralatan traksi dapat menekan pembuluh darah/syaraf, khususnya di aksila dapat menyebabkan iskemik
dan luka permanen.
· Monitor vital sign, pertahanan tanda-tanda pucat/cyanosis umum, kulit dingin, perubahan mental.
Rasional :
In adekuat volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan.
· Pertahankan elevasi dari ekstremitas yang cedera jika tidak kontraindikasidengan adanya
compartemen syndrome.
Rasional :
Mencegah aliran vena / mengurangi edema.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit dan
trauma jaringan.
Tujuan : Resiko infeksi tidak terjadi dan tidak menjadi actual.
Kriteria Hasil :
- Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
- Bebas drainase purulen, eritema dan demam.
- Tidak ada tanda-tanda infeksi.
Intervensi :
· Inspeksi kulit untuk mengetahui adanya iritasi atau robekan kontinuitas.
Rasional :
Pen atau kawat yang dipasang masuik melalui kulit dapat memungkinkan terjadinya infeksi tulang.
· Kaji sisi pen/kulit perhatikan keluhan peningkatan nyeri/rasa terbakar atau adanya edema, eritema,
drainase/bau tak enak.
Rasional :
Dapat mengindikasi timbulnya infeksi lokal/nekrosis jaringan dan dapat menimbulkan osteomielitis.
· Berikan perawatan pen/kawat steril sesuai protokol dan latihan mencuci tangan.
Rasional :
Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi.
· Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau drainase
yang tak enak/asam.
Rasional :
Tanda perkiraan infeksi gangren.
· Kaji tonus otot, refleks tendon dalam dan kemampuan untuk berbicara.
Rasional :
Kekakuan otot, spasme tonik otot rahang dan disfagia menunjukkan terjadinya tetanus.
· Selidiki nyeri tiba-tiba/keterbatasan gerakan dengan oedema lokal/eritema ektremitas cedera.
Rasional :
Dapat mengindikasikan terjadinya osteomielitis.
· Lakukan prosedur isolasi.
Rasional :
Adanya drainase purulen akan memerlukan kewaspadaan luka/linen untuk mencegah kontaminasi silang.
· Berikan obat sesuai indikasi seperti antibiotik IV/topikal dan Tetanus toksoid.
Rasional :
Antibiotik spektrum luas dapat digunakan secara profilaktik atau dapat ditujukan pada mikroorganisme
khusus.
f. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
informasi, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan : Pemahaman dan pengetahuan klien dan keluarga bertambah.
Kriteria Hasil :
- Menyatakan pehaman kondisi, prognosis dan pengobatan.
- Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :
· Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang.
Rasional :
Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi.
· Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi dengan terapis fisik bila
diindikasikan.
Rasional :
Banyak fraktur memerlukan gips, bebat atau penjepit selama proses penyembuhan. Kerusakan lanjut dan
pelambatan penyembuhan dapat terjadi sekunder terhadap ketidaktepatan pengguanaan alat ambulasi.
· Buat daftar aktivitas dimana pasien dapat melakukannya secara mandiri dan yang memrlukan
bantuan.
Rasional :
Penyusunan aktivitas sekitar kebutuhan dan yang memerlukan bantuan.
· Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi di atas dab di bawah fraktur.
Rasional :
Mencegah kekakuan sendi, kontraktur dan kelelahan otot, meningkatkan kembalinya aktivitas sehari-hari
secara dini.
· Diskusikan pentingnya perjanjian evaluasi klinis.
Rasional :
Penyembuhan fraktur memerlukan waktu tahunan untuk sembuh lengkap dan kerja sama pasien dalam
program pengobatan membantu untuk penyatuan yang tepat dari tulang.
· Informasikan pasien bahwa otot dapat tampak lembek dan atrofi (massa otot kurang). Anjurkan
untuk memberikan sokongan pada sendi di atas dan di bawah bagian yang sakit dan ginakan alat bantu
mobilitas, contoh verban elastis, bebat, penahan, kruk, walker atau tongkat.
Rasional :
Kekuatan otot akan menurun dan rasa sakit yang baru dan nyeri sementara sekunder terhadap kehilangan
dukungan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Donges Marilynn, E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC
2. Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3 Jakarta : FKUI
3. http://akhmadrapiuddin.blogspot.com/2009/06/makalah-medula-spinalis.html.
4. http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/17/trauma-medula-spinalis
5. Carpenito, L.J & Moyet. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 10. Jakarta: EGC.
6. Nanda. (2005-2006). Panduan Diagnosa Keperawatan. Prima medika.
7. Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 vol 3. Jakarta:
EGC
Lina Apriani