Anda di halaman 1dari 2

Dalam suratnya, Paulus sangatlah jujur dan gamblang dalam memaparkan suatu hal.

  Jika hal
dimaksud adalah sesuatu yang sangat penting, maka dengan tegas dan jelas, dan dalam gaya
bahasa yang keras Paulus  menyatakannya.  Berbeda jika itu adalah suatu usulan atau pendapat
pribadi tentang sesuatu yang tidak terlalu bersinggungan dengan prinsip kekristenan, maka dia
akan dengan longgar menyatakannya.  Begitu pula dalam konteks menjawab satu demi satu
pertanyaan yang diajukan kepadanya ini.
Dengan bahasa jelas dia menyatakan, apa yang sudah diutarakan bukanlah sebuah perintah,
tetapi kelonggaran (7:6).   Namun demikian bukan berarti tidak penting dan karena itu dianggap
angina lalu saja.  Tentu tidak demikian.  Pernyataan sikapnya terhadap hubungan suami-istri ini
didasari atas sebuah ide tentang perkawinan jelas.  Di mana di dalamnya terdapat prinsip tentang:
1. Tanggung jawab, yang salah satunya mewujud dalam pemenuhan kewajiban kebutuhan batin,
kebutuhan seksual.  Dipaparkan dalam terminology tubuh.  Sebenarnya hal ini sudah pernah
disinggung Paulus dalam pasal-pasal sebelumnya. 
Jika sebelumnya ide sejati tentang pernikahan – sepasang suami istri yang diberkati, akan
menyatu menjadi satu tubuh (Kej 2:24) -  dipakai melukiskan secara terbalik hubungan
penyatuan tubuh/daging  antara orang yang melakukan percabulan, kini ide yang sama dipakai
untuk menegaskan tentang adanya tanggungjawab dan kepemilikan tubuh serta korelasinya
dengan pasangan.  “Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula
suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya.”(7:4). Ada unsur saling menjaga di
sini.  Unsur menghormati kekudusan diri terhadap pasangan juga terdapat di dalam. Merupakan
bentuk penghormatan pasangan terhadap pasangan, pun terhadap lembaga pernikahan yang
sejatinya adalah ide dan rancangan Allah sendiri. “Hendaklah kamu semua penuh hormat
terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur,…”(Ibr 13:4).
Sikap memiliki yang terkandung tanggungjawab dan penghargaan di sini berbeda sama sekali
dengan pandangan umum orang tentang rasa diri memiliki pasangan, mewujud dalam
mengedepankan penguasaan, bukan penghargaan dan penghormatan.  Dan dengan dalih itu
orang lantas bisa melakukan hal apa saja terhadap pasangannya.  Tidak, tidak itu. 
Sikap hormat dan tanggungjawab terhadap tubuh dan diri pasangan juga mewujud dalam laku
tidak saling menjauhi/ saling mengerti dan berhasrat bersama memenuhi.  Bukan “melarikan
diri”, lalai atau abai dan secara sengaja menjauhkan diri tanpa ada alasan yang jelas.  Jika
“menjauhi” itu dilakukan karena kesepakatan, tidaklah mengapa, masih dapat diterima.  Apalagi
kesepakatan itu dibuat untuk suatu tujuan tertentu, tujuan penting nan mulia, yaitu mengabil
sikap teduh untuk berdoa (7:5).  Namun demikian Paulus menyarankan, agar durasi menjauhnya
tidak terlampau lama, karena ada awasan realistis yang Paulus tunjukkan, yakni: “supaya Iblis
jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak.”
Prinsip yang mendasar tentang kepemilikan tubuh sebenarnya juga sudah jelas dan terang
dipaparkan pada pasal 6.  Bahwa sesungguhnya diri/tubuh ini adalah “bait Roh Kudus”, Roh
yang berdiam di dalam bait itu berasal dari Allah.  Dengan demikian: “kamu bukan milik kamu
sendiri”, sebab bait Roh Kudus, yaitu diri itu “telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar”. 
Jika tubuh ini bukan milik orang itu sendiri, maka tidak ada hak orang lalu menggunakannya
dengan semena-mena dan tidak bertanggungjawab. Hanya satu respons yang harus dan wajib
dilakukan terhadap tubuh.  Yakni memakai tubuh untuk memulian Tuhan. “Karena itu
muliakanlah Allah dengan tubuhmu!”(6:20). Slawi

Anda mungkin juga menyukai