Anda di halaman 1dari 76

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian


1. Sejarah Desa Tegalsari
Desa Tegalsari secara geografis masuk wilayah Kabupaten Ponorogo dan
terletak di sebelah timur Kota Wonogiri. Letaknya yang dikelilingi perbukitan
menjadikan daerah Ponorogo kaya akan sumber daya alam yang melimpah.
Sumber daya alam yang melimpah ini dapat kita lihat dari berbagai macam hasil
bumi yang dihasilkan. Secara ekonomi daerah ponorogo memiliki potensi alam
yang baik yang mampu menyediakan bahan baku untuk daerah sekitarnya seperti
Madiun. Dilihat dari sejarahnya Ponorogo termasuk daerah karisidenan Madiun,
yang pada masa Mataram Islam merupakan daerah mancanegara wetan, sehingga
tidak asing lagi jika kita mendengar nama Panaraga. Penyebutan nama Ponorogo
ini juga terdapat dalam beberapa naskah Kerajaan Mataram Islam. salah satunya
sebagai tempat Pakubuwana II menyusun kekuatan kembali ketika terjadi
peristiwa geger pacinan, ini juga dilakukan di daerah Ponorogo. Serta tentang
pemberian status tanah perdikan Tegalsari, dari Ratu Pakubuwana II kepada Kyai
Mohammad Beshari.
Menurut Daradjadi (2013: 224) Desa Tegalsari pernah menjadi sebuah
pusat dari perkembangan agama Islam atau pondok pesantren pada masa
Pakubuwana II. Karena adanya peran penting dari ulama yang ada di desa
Tegalsari ketika Pakubuwana II melakukan pelarian ke Jawa Timur yang
disebabkan geger pecinan yang terjadi pada tahun 1740-1743, Ponorogo menjadi
tempat membangun basis pertahanan Pakubuwana II yang meminta bantuan
kepada Bupati Subroto di Ponorogo agar menerimanya beserta pasukannya untuk
membangun kekuatan untuk melawan pasukan Sunan Kuning, disamping itu
Pakubuwana II juga melakukan perjalanan ke desa Tegalsari dan menemui
Mohammad Beshari selaku pemimpin pondok pesantren di Tegalsari.
Menurut hasil wawancara (28 November 2014), arti nama Desa Tegalsari
mempunyai makna tersendiri yaitu:
committegal
to user(tegalan/lahan pekarangan), sari

56
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

57

(makmur) yang artinya desa yang makmur, dari pemberian nama tersebut dapat
diartikan bahwa pemberian nama tersebut desa tersebut akan menjadi desa yang
makmur tanpa kekurangan apapun di dalamya. Pertumbuhan desa Tegalsari
semakin pesat dan menjadi pusat perkembangan agama Islam, masa Kerajaan
Mataram Islam khususnya untuk daerah mancanegara wetan. Salah satu buktinya
Ronggowarsito pernah nyantri Di desa Tegalsari sebagai utusan Kerajaan
Surakarta untuk memperdalam ilmu agama Islam sebelum menjadi pujangga
Keraton Surakarta. Hal ini dibuktikan dengan peninggalan benda-benda milik
Ronggowarsito di Tegalsari, seperti pusaka, maupun kitab-kitab milik
Ronggowarsito yang hingga kini masih terjaga keberadaanya.
Tegalsari merupakan desa perdikan atau tanah merdeka yang bebas pajak
kerajaan. Setiap setahun sekali pemimpin/ulama yang diberikan mandat untuk
mengelola tanah perdikan ini wajib datang kepada raja untuk soan sebagai wujud
tunduknya kepada raja yang berkuasa. Tegalsari sebagai wilayah kekuasaan
kerajaan Mataram Islam memiliki hak atau kuasa penuh untuk mengatur dan
mengelolaa tanah perdikan dikarenakan daerah ini merupakan daerah merdeka
dan bebas pajak. Pada abad ke XVII desa ini pernah memiliki santri sampai
sepuluh ribu orang santri. Santri secara umum melakukan rutinitas menuntut ilmu
agama dan bekerja di pondok sebagai penggarap tanah milik pondok pesantren
yang berada disebelah selatan desa untuk penghidupan pondok pesantren. Tanah
perdikan ini selain digunakan sebagai pertanian juga digunakan sebagai
pemukiman warga sekitar.
Menurut Yosephine (2007: 23) Setelah dikeluarkannya Undang-undang
Pokok Agraria (UUPA) status tanah desa perdikan Tegalsari menjadi tanah biasa
dan langsung menjadi tanah negara. Disinilah perubahan penguasaan serta
pengelolaan tanah yang dahulunya dimiliki atas nama desa. Setelah penerapan UU
Agraria 1870 mulai banyak muncul tanah induvidual maskipun kepemilikan tanah
secara induvidual ini muncul (atas hak milik) setelah 1960. Kepemilikan tanah
secara perseorangan harus melalui beberapa tahap, setelah diberlakukannya
UUPA, yaitu dengan cara pengajuan luas tanah kepada kantor desa oleh masing-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

58

masing penduduk desa, lalu ke kecamatan dan dari kecamatan diteruskan ke BPN
untuk memverifikasi data kepemilikan atas tanah yang di minta dari pemohon.

2. Deskripsi Wilayah Tegalsari


Lokasi yang digunakan untuk penelitian tentang Eksistensi Tanah
Perdikan Tegalsari Ponorogo 1830-1870 dan Relevansinya bagi Pengembangan
Pembelajaran Mata Kuliah Sejarah Agraria. Berikut deskripsi singkat lokasi
penelitian :
Letak kantor desa Tegalsari berada di Jl. Kyai Ageng Moch Beshari
No.104 Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo. Desa Tegalsari
secara geografis masuk wilayah Kabupaten Ponorogo. Letaknya yang berada
dekat dengan pusat kota ini membuat Tegalsari sebagai daerah penyokong
perekonomian kabupaten Ponorogo. Letak desa Tegalsari ini disebelah Selatan
Kantor Kabupaten Ponorogo yang jaraknya sekitar 10 Km dari pusat kota. Desa
Tegalsari Merupakan salah satu tempat sebagai objek wisata religi karena di
daerah ini terdapat bangunan tua berupa masjid Tegalsari dan makam pemuka
agama. Terdapat juga bangunan yang mirip dengan pendopo sebuah keraton yang
dikelilingi tembok batu bata merah yang ada di keraton. Serta tradisi yang masih
sama seperti yang ada di keraton yang masih hidup di dalam masyarakat (Sumber:
Profil Desa Tegalsari).

a. Luas Wilayah
Luas wilayah desa Tegalsari mencapai 203 Ha. Secara administratif
terdiri dari 16 RT, dan 6 RW, yang terbagi atas 3 Dukuh, yaitu dukuh Setono
ada 4 rt dan 2 rw, dukuh Jinontro 6 rt dan 2 rw, serta dukuh Gendol ada 6 rt
dan 2 rw. Letak dari desa Tegalsari ini berada di sebelah selatan kota
Ponorogo. Desa Tegalsari berbatasan dengan beberapa wilayah lainnya, yaitu:
1) Bagian Utara berbatasan dengan desa Jabung dan Gandu,
2) Bagian Selatan berbatasan dengan desa Jetis dan Wonokerto,
3) Bagian Timur berbatasan dengan desa Mojorejo dan Karanggebang,
4) Bagian Barat berbatasan dengan desa Wonokerto.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

59

b. Kondisi Demografi
1) Jumlah penduduk menurut jenis Kelamin dan usia
Jumlah penduduk desa Tegalsari ada 527 Kepala Keluarga.
Dengan jumlah penduduk sekitar 1906 jiwa yang terdiri dari 921
penduduk laki-laki dan 985 penduduk perempuan. Pembagian julmlah
penduduk berdasarkan beberapa tingkatan, berikut perincian pembagian
jumlah penduduk berdasarkan tingkatan umur dan jenis kelamin :

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Desa Tegalsari Menurut Jenis Kelamin


dan Usia
Kel. Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
1 2 3 4
0-4 48 54 102
5-9 45 46 91
10-14 49 44 93
15-19 76 84 160
20-24 113 120 233
25-29 96 95 191
30-39 124 132 256
40-49 141 161 302
50-59 105 118 233
60..... 124 131 255
Jumlah 921 985 1906
Sumber : Monografi Desa Tegalsari Ponorogo tahun 2014

2) Jumlah penduduk menurut mata pencaharian


Menurut data Tingkat Perkembangan desa Tegalsari Jumlah
penduduk desa Tegalsari menurut mata pencahariannya yang terbesar
adalah petani dengan jumlah 660 jiwa, karena lokasinya yang luas dengan
hamparan sawah yang masih hijau dan perkebunan yang cukup luas juga
sehingga mayoritas warganya menjadi petani. Sedangkan yang menjadi
terbesar kedua dalam mata pencaharian adalah sebagai buruh tani atau
commit to user
penggarap sawah yang dibayar, bukan karena tidak memiliki lahan tetapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60

terkadang buruh tani ini bekerja sebagai buruh tani untuk mendapatkan
upah dengan bekerja di sawah orang lain yang biasanya masih tetangga
sendiri. Mata pencaharian yang ketiga adalah sebagai pegawai negeri sipil
biasanya mereka bekerja di kantor desa maupun sebagai guru dan
karyawan di instantsi pemerintah. Mata pencaharian yang berikutnya yang
masih dalam urutan yaitu pedagang keliling, peternak, bidan swasta,
karyawan swasta, wirausaha. Dari keterangan di atas untuk mata
pencaharian sebagai berikut :

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Desa Tegalsari Menurut Mata Pencaharian


No. Mata Pencaharian Jumlah
1. Petani 600
2. Buruh Tani 603
3. Buruh Migran Perempuan -
4. Buruh Migran Laki-laki -
5. Pegawai Negeri Sipil 47
6. Pengrajin Industri Rumah Tangga -
7. Pedagang Keliling 8
8. Peternak 13
9. Dokter Swasta -
10. Bidan Swasta 2
11. Pensiunan TNI/POLRI -
12. Karyawan Swasta 111
13. Wirausaha 131
Jumlah 1906
Sumber : Monografi Desa Tegalsari Ponorogo tahun 2014

3) Jumlah penduduk desa Tegalsari menurut agama


Dilihat dari segi agama yang dianut, penduduk desa Tegalsari
mayoritas islam dengan data 100 % penduduk desa Tegalsari adalah Islam,
jumlah pemeluk agama sebagai berikut :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

61

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Desa Tegalsari Menurut Agama


No. Agama Jumlah
1. Islam 1906
2. Kristen Katholik -
3. Kristen Protestan -
4. Hindu -
5. Budha -
6. Konghucu -
7. Lain-lain -
Jumlah 1906
Sumber : Monografi desa Tegalsari Ponorogo tahun 2014

Mayoritas penduduk desa Tegalsari Ponorogo beragama Islam dan


di desa tersebut tidak ada pemeluk agama lain selain Islam dikarenakan
mayoritas lingkungan sekitarnya merupakan pondok pesantren. Tidak
mengherankan jika mayoritas penduduknya islam semua dikeranakan asal
usul desa itu juga dari seorang tokoh ulama juga dan desa tersebut juga
letaknya tidak jauh dari pondok pesantren terkenal yaitu pondok pesantren
Gontor putra yang secara silsilah bila ditelisisk maka sejarah pondok
Gontor merupakan tanah pemberian dari desa Tegalsari dahulunya,
kxetika Tegalsari mengalami kemunduran maka Gontor semakin pesat
dalam perkembangannya.

4) Rumah ibadah yang ada di desa Tegalsari Ponorogo


Rumah ibadah yang ada di desa Tegalsari Ponorogo ini dibagi
kedalam dua kelompok yang pertama ada Masjid yang jumlahnya ada 2
yaitu masji Jami’ Tegalsari serta masjid Setono yang terletak disebelah
barat masjid Jami’ Tegalsari. Kedua yaitu berupa Langgar/Surau/Mushola
yang jumlah keseluruhannya ada 9 buah dan terletak menyebar di Desa
Tegalsari.
Pusat dari penyebaran agama dan pusat pendidikan santri terletak
di desa ini sehingga lingkungan yang mayoritas islam tidak membuat kita
commit to user
heran. Dari bangunan masjid Tegalsari sebagai pusat agama dahulunya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

62

mirip dengan masjid Agung Kauman yang terletak di Surakarta, hal ini
membuktikan bahwa kekuasaan Mataram ikut melekat dalam struktur
bangunan ini, kita ketahui juga para santri yang nyantri juga kebanyakan
mereka adalah orang-orang Keraton Surakarta, hal ini membuktikan
keterkaitan antara dua daerah ini yang jauh sebagai relasi kepentingan,
desa Tegalsari diberi perdikan oleh PB II sebagai jasanya Kyai Ageng
Mohammad Beshari telah menyelamatkan dari serangan Sunan kuning
atau Raden Mas Gerendi. Sebaliknya Kyai Ageng Mohammad Beshari
mendapatkan hak atas tanah perdikan itu untuk di kelola sendiri tanpa
menyetorkan pajak kepada sang raja.
5) Pengelolaan Tanah di desa Tegalsari Ponorogo
Pengelolaan tanah di desa Tegalsari dikelola secara pribadi oleh
masyarakat Tegalsari, kepemilikan tanah juga masih diwariskan secara
turun-temurun dimana orang luar daerah Tegalsari tidak bisa membeli
tanah tersebut atau memilikinya kecuali jika ingin memiliki tanah di
daerah Tegalsari maka dengan ikatan kekeluargaan, dengan menikah
dengan warga Tegalsari. Pengelolaan tanah Tegalsari dapat kita ketahui
sebagai berikut :

Tabel 4.4 Jumlah Pengelolaan Tanah Tegalsari Ponorogo


No. Jenis Tanah Luas (Ha)
1. Sawah irigasi teknis 160,700
2. Sawah irigasi ½ teknis -
3. Sawah tadah hujan 3,863
4. Sawah pasang surut -
5. Tegal/Ladang 20,000
6. Pemukiman -
7. Pekarangan 18,437
8. Tanah Bengkok 18,900
Jumlah 221, 900
Sumber : data desa Tegalsari Ponorogo tahun 2014

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

63

Pengelolaan tanah yang ada di desa Tegalsari Ponorogo, dapat


dilihat dalam berbagai data diatas. Tanah ini sudah tidak difungsikan
seperti dahulu ketika UU Pokok Agraria di tetapkan pada tahun 1960
status desa perdikan ini sudah dicabut dan digantikan sebagai desa biasa
yang kedudukannya sama dengan desa-desa yang lainnya. UU Pokok
Agraria juga mengatur tentang adanya sistem kepemilikan tanah pribadi
dan sistem Jabatan Kepala Desa. Dari data yang diperoleh peneliti, sistem
penerapan UU Pokok Agraria ini memunculkan sistem baru dalam
pertanahan yaitu hal induvidual atau hak pribadi atas tanah yang ditempati
maupun tanah untuk dikelola untuk pertanian. Penerapan UU Pokok
Agraria juga merubah sistem pemerintahan yang menjadi Kepala Desa,
serta hilangnya daerah perdikan untuk desa Tegalsari.

B. Deskripsi Hasil Penelitian


1. Latar Balakang Munculnya Tanah Perdikan Tegalsari Ponorogo
Menurut De Graaf (2003:248), pada abad ke XVI mulai berkembang
kerajaan Islam di daerah pedalaman Jawa. Perkembangan kerajaan Islam ini
merupakan dampak dari jatuhnya kerajaan Pajang ditangan Demak.
Keberadaan Kerajaan Mataram Islam secara tidak langsung bedampak pada
lapisan masyarakat bawah yang mulai mengenal ajaran-ajaran Islam, bangunan
Islam serta sistem politik yang didasarkan pada sistem Islam.
Islam pada awalnya dibawa oleh para ulama pesisir utara pantai Jawa
menuju pedalaman Jawa dengan berbagai cara. Sebagai contoh, melalui
pondok pesantren Agama Islam mulai berkembang di pedalaman sebagai
sarana pendidikan yang bersifat formal. Menurut Jajat Burhanudin (2012:80),
Kyai Mohammad Beshari adalah pendiri pondok pesantren Tegalsari yang
leluhurnya berasal dari daerah pesisir utara Jawa Timur. Pesantren dalam ranah
politik merupakan sarana untuk mengontrol keadaan sosial lapisan masyarakat
kelas bawah. Perkembangan Islam sangat cepat karena Islam merupakan
agama yang dapat diterima oleh semua lapisan mayarakat sehingga banyak

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

64

masyarakat bawah yang berusaha untuk mendapatkan pendidikan di pondok


pesantren.
Pondok pesantren secara umum memberikan gambaran secara jelas
bahwa pendidikan formal yang ada pada masa Kerajaan Mataram Islam ialah
pondok pesantren. Menurut Ricklef (2007:5) Pakubuwanan II selaku raja
Mataram Islam yang bekuasa pada tahun 1726-1749 berinisiatif membangun
keraton baru di daerah Sala yang merupakan tanah milik Ki Ageng Sala yang
letaknya disebelah tenggara dari Keraton Kartasura. Pembuatan keraton baru
ini didasarkan faktor politis yang terjadi pada tahun 1740-1742 setelah
hancurnya keraton yang lama (Keraton Kartasura) akibat perang dengan
pasukan Sunan Kuning, serta adanya wangsit serta keinginan sebagai pusat
perkembangan Islam Sufi di Keraton Surakarta. Pembuatan keraton baru ini
juga didasarkan pada buku yang ditulis Pakubuwana II yaitu: Carita Sultan
Iskandar, Carita Yusuf and Kitab Usulbiyah. Yang merupakan wujud tulisan
sama seperti pada masa pemerintahan Sultan Agung.
Menurut Larson dalam Arie Purwidayanti (2003:11), sejarah
pertanahan di Tanah Jawa pada abad ke XIX awal tidak terlepas dari pengaruh
keraton Surakarta dan Yogyakarta sebagai penguasa di Tanah Jawa, khususnya
menguasai daerah Vorstenlanden. Tanah merupakan sumber primer dalam
kehidupan bagi penguasa atau raja, dimana tanah memberikan kehidupan bagi
rakyat, tanah juga merupakan bentuk sebuah upah/gaji bagi para Pangeran atau
para Bupati di daerah bahkan para apanage dan bekel yang berada di daerah
sebelum adanya kedudukan lurah di desa-desa Jawa masa silam.
Kedudukan tanah merupakan hal terpenting dalam kehidupan pada
masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha maupun kerajaan Islam. Dalam ajaran
agama Hindu terdapat tanah yang secara tidak langsung difungsikan untuk
kepentingan agama (perdikan). Pada masa Islam, juga banyak terdapat tanah
perdikan yang salah satunya adalah tanah perdikan Tegalsari.
Tanah perdikan Tegalsari diceritakan dalam Babad Perdikan Tegalsari
yang menceritakan tentang latar belakang Pakubuwana II nyantri di Pondok
Tegalsari. Pada tanggal 30 commit
Juni to user di Kerajaan Kartasura terjadi
1742,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

65

pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi atau Susuhunan
Kuning, Seorang Sunan keturunan Kerajaan Mataram Islam cucu dari
Amangkurat III yang di asingkan di Semarang. Serbuan yang dilakukan oleh
pasukan Sunan Kuning itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura
tidak siap menghadapinya. Karena itu Pakubuwana II bersama pengikutnya
segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur
Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu sampailah kedaerah Tegalsari. Di tengah
kekawatiran dan ketakutan dari kejaran Sunan Kuning itulah kemudian
Pakubuwana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa
Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara itu Pakubuwana II
ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah;
Penguasaa dari segala penguasa di alam semesta (Jajat Burhanudin, 2012: 81).
Pada 30 Juni 1742, ketika tentara Sunan Kuning Atau Raden Mas
Garendi berhasil menduduki Singgasana Kartasura. Dan Pakubuwana II selaku
Raja Mataram meninggalkan Kerajaan Mataram hal ini membuat keadaan
politik dalam Kerajaan menjadi tak menentu. Ketika Pakubuwana II dalam
pelarian ketimur, Pakubuwana II mendapatkan sambutan dari para bupati
Mancanegara seperti Magetan dan Madiun, namun karena lemahnya
pertahanan Madiun maka Von Hondendroff mengambil keputusan selaku
penasihat raja Mataram dari pihak Kolonial untuk melakukan pemindahan
basis pertahanan kedaerah selatan yaitu Ponorogo yang letaknya sangat
memungkinkan jika ada serangan maka pihak Pakubuwana II dapat mundur
kedaerah Trenggalek dan Pacitan (Daradjadi, 2013: 224).
Secara tidak langsung pemilihan Ponorogo sebagai basis pertahanan
Pakubuwana II karena alasan Militer Bupati Subroto di Ponorogo ini jauh lebih
kuat dibandingkan kekuatan Militer Madiun. Ketika di Ponorogo Pakubuwana
II mengunjungi Tegalsari Ponorogo untuk mendapatkan dukungan dari
kalangan ulama, ini merupakan taktik dari Pakubuwana II untuk mendapatkan
dukungan dari ulama juga untuk mendapatkan perlindungan ketika seawaktu-
waktu ada serangan. Ulama merupakan tokoh penting dimana memiliki basis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

66

masa santri dimana jika raja mampu mendapatkan simpati ulama maka akan
mendapatkan bantuan (Daradjadi, 2013: 224).
Tanah perdikan secara tidak langsung merupakan sebuah wujud dari
adanya legitimasi kekuasaan. Dimana tanah ini merupakan sebuah pemberian
raja kepada hamba dengan tujuan tertentu agar kekuasaan raja tersebut diakui
dan tetap dijunjung tinggi sebagai wujud bakti hamba kepada tuannya.
Pemberian tanah perdikan ini dilakukan Pakubuwana II kepada Kyai
Mohammad Beshari sebagai wujud balas jasa yang telah dilakukan Kyai
Mohammad Beshari yang menyelamatkan hidup raja pada saat terjadinya
geger pacinan yang di pimpin Raden Mas Garendi/ Sunan Kuning pada tahun
1740-1742. Pemberontakan ini berhasil membumi hanguskan pusat kerajaan
Kartasura, yang pada saat bersamaan Pakubuwana II berhasil menyelamatkan
diri melalui pintu bagian belakang yang menuju ke arah Laweyan, lalu menuju
arah timur yaitu Madiun hingga ke Ponorogo di daerah Tegalsari. Pakubuwana
II mendapatkan perlindungan dari Mohammad Beshari dan mondok di
pesantren Tegalsari selama dalam pelarianya. Setelah Pakubuwana II
mendapatkan banyak dukungan dan berhasil menduduki puncak kekuasaan
sebagai Raja Mataram Islam lagi maka status tanah perdikan tersebut diberikan
kepada Mohammad Beshari. Tanah perdikan tersebut meliputi daerah Tegalsari
dan seisinya (pemotongan hewan) merupakan tanah yang merdeka dari pajak,
dan Mohammad Beshari juga di undang ke Keraton Mataram dan dihadiahi
Putri Pakubuwana II sebagai istri Mohammad Beshari (Jajat Burhanudin, 2012:
81).
Menurut Ibnu Qoyim (1997: 60), dalam lingkup masyarakat agraris
terdapat hubungan yang erat antara masyarakat dan para ulama sebagai pemuka
agama dan pemilik pondok pesantren. Hal ini terjadi karena ulama biasanya
memiliki identitas yang sama dengan khalayak lingkungannya dimana ulama
tinggal dalam lingkungan masyarakat secara umum sehingga hubungan antara
keduanya dapat terjalin dengan erat, ulama juga merupakan petani dan
pemimpin agama Islam dengan adanya faktor kesamaan itu, komunikasi antara
commitmenjadi
ulama dan rakyat lingkungannya to user akrab, tanpa tata cara feodal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

67

Disamping itu kelebihan yang disandang seorang sebagai ulama ikut


mendorongnya mendapatkan otoritas kharismatik sebagai elit religius, yang
selanjutnya menjadi kekuatan yang tidak kelihatan tetapi dapat dirasakan
melalui pengaruhnya yang besar dikalangan masyarakat dan membawanya
sebagai key person (pemimpin masyarakat) di dalam masyarakat desa.
Ulama secara tidak langsung menduduki lapisan pertama dalam
lingkungan masyarakat diaman ulama dipandang lebih tinggi kedudukannya
karena faktor ilmu agamanya. Ulama sebagai petani juga memiliki kedudukan
yang sama tingginya karena faktor ilmu tadi. Pemberian Dekrit tentang status
tanah perdikan juga menyebutkan tugas-tugas utama pemegang jabatan (ulama)
antara lain menciptakan keteraturan sosial dalam kehidupan desa,
mengajarakan ajaran Islam kepada masyarakat dan mengatur penyelenggaraan
tugas-tugas keagamaanan dan terlibat dalam persoalan kemasyarakatan yang
lain. Tugas-tugas inilah, khususnya yang berhubungan dengan pengajaran
Islam, yang kemudian berkembang menjadi pengajaran yang terlembaga yang
dikenal pesantren selain sebagai pemimpin ulama juga merupakan masyarakat
biasa dalam pandangan sistem feodal. Tegalsari kemudian menjadi sebuah
pesantren terkenal Jawa yang menurut survei Belanda tentang pendidikan di
Nusantara pada 1819 menyebut pentingnya Madiun dan Ponorogo, tempat
Pesantren Tegalsari, sebagai salah satu pusat paling penting bagi pengajaran
Islam di mana santri datang untuk belajar pengetahuan tinggi Islam (Jajat
Burhanudin, 2012: 81).
Tegalsari merupakan pondok pesantren yang memiliki pengaruh yang
sangat kuat untuk wilayah Jawa Timur pada abad ke XVIII, dimana agama
islam sangat kental dan mencakup segala aspek kehidupan sehari-hari. Corak
islam ini sangat nampak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tegalsari.
Seperti dalam pergaulan sosial, pergaulan sosial ini juga sangat dipengaruhi
oleh islam. masyarakat secara umum mencerminkan corak ke-Islaman. Maka
tidak mengejutkan jika Pesantren Tegalsari yang dibangun di atas Tanah
Perdikan ini menjadi tempat penting bagi pengajaran Islam untuk elite politik
commit
dan keluarga Kerajaan Mataram. Hal to
iniuser
juga terjadi atas jatuhnya kerajaan-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

68

kerajaan Maritim, dan berubahnya pengajaan Islam dari Istana ke pesantren


pedesaan Jawa. melalui perkembangan ini, ulama mulai memasuki periode
baru dalam perjalanan sejarahnya. Pesantren mengiringi ulama menghadapi
dan menjadi bagian masyarakat-masyarakat Muslim Pedesaan, yang pada
gilirannya berakibat pada terbentuknya diskursus keislaman yang berbeda
dengan lingkungan kerajaan-kerajaan maritim diwilayah (Jajat Burhanudin,
2012: 81).
Pondok pesantren Tegalsari secara silsilah merupakan sebuah pondok
yang didirikan oleh keturunan Kyai Ageng Anom Beshari yang merupakan
kuncen Mejayan-Caruban-Madiun. Secara tidak langsung pendiri pesantren
Tegalsari merupakan keturunan ulama yang tersohor di daerah Jawa Timur, hal
ini dibuktikan dengan pendirian pondok pesantren ini yang tidak mengalami
kesulitan dalam pembukaan lahan untuk pendirian pondok pesantren (sumber:
Silsilah Keluarga Mohammad Hasan Beshari).
Menurut Slamet Muljana dalam Yosephine (2007: 23), istilah Desa
Perdikan sudah ada sejak jaman pemerintahan raja-raja. Pada jaman kerajaan
tanah adalah milik raja dan rakyat hanya mempunyai hak untuk menggarap dan
memungut hasilnya saja, tetapi tidak memilikinya Pendapat bahwa tanah itu
milik raja terdapat pula dalam:
a. Kata-kata rakyat biasa di Daerah Istimewa Yogyakarta, bahwa tanah
adalah “Kagungan Dalem”.
b. Domeinverklaring yang terdapat dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit
Staatblad 1870 Nomor 118.
c. Waktu di Bali masih ada raja-raja, maka dikatakan bahwa Raja itu
“Sang Mawa Bumi”.
Raja kemudian menghadiahkan tanah kepada seseorang yang dianggap berjasa
kepadanya sehingga terbentuklah Desa Perdikan.
Dalam Kerajaan Majapahit tanah menurut Undang-undang Agama
(Kitab perundang-undangan Majapahit) Pasal 115 adalah milik Raja. Rakyat
hanya mempunyai hak untuk menggarapnya, memungut hasil, tetapi tidak
memilikinya. Hak milik tanah commit to pada
tetap ada user Raja. Dalam Negara Kertagama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

69

dan pada berbagai prasasti banyak sekali kita jumpai soal prasasti Desa
Perdikan. Raja menghadiahkan kepada seseorang atas jasanya dengan pikukuh
yang berupa piagam. Dalam hal itu orang menerima anugerah atau hadiah
tanah tetapi tidak memiliki tanah yang bersangkutan. Orang itu hanya
mempunyai hak untuk memungut hasilnya. Keistimewaannya adalah bahwa
anugerah itu dibebaskan dari pajak.

a. Munculnya Tanah Perdikan karena Faktor Politis


Tanah merupakan faktor terpenting dalam hidup manusia dimana
tanah merupakan faktor utama sebelum adanya nilai tukar berupa uang
seperti sekarang ini. Tanah pada masa feodal merupakan milik raja, dimana
raja berkuasa penuh atas tanah yang ada dalam kekuasaannya dan hidup
orang yang berada di dalamnya.
Dalam pengertian tanah di atas ada dua macam tanah, pertama
tanah“lungguh” sebagai daerah yang diserahkan dan yang menerima
penyerahan mempunyai hak atas keuntungan dari tanah itu dari penduduk.
Dari sini raja dapat menarik keuntungan-keuntungan (pajak, jasa-jasa,
penghasilan dari daerah milik sendiri), tetapi raja tidak memiliki hak atas
tanah itu sendiri” tanah perdikan Tegalsari Ponorogo, dimana tanah
perdikan Tegalsari ini muncul atas pemberian raja kepada seseorang atau
didasarkan pada kepentingan umum keagamaan. Pondok pesantren
Tegalsari terletak di Desa Tegalsari, kecamatan Jetis, kabupaten Ponorogo.
Secara politik pada masa Kerajaan Mataram Islam daerah Ponorogo
merupakan daerah Mancanegara Wetan di bawah Karisidenan Madiun.
Pondok Pesantren Tegalsari merupakan pondok pesantren yang
berada di Ponorogo dan difungsikan sebagai tempat menimba ilmu agama
islam di daerah pedalaman Jawa Timur. Ketika terjadi geger Pacinan
(kerusuhan yang menyebabkan Pakubuwana II mengungsi kedaerah
Mancanegara Wetan) hal ini dijadikan basis pertahanan dari serangan
pemberontak. Yang pada mulanya bermarkas di Madiun kemudian pindah
ke Ponorogo dengan berbagai pertimbangan.
commit to user Disiinilah Pakubuwana II
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

70

menarik simpati ulama agar mendapatkan dukungan dengan nyantri di


Tegalsari yang merupakan salah satu pondok pesantren besar pada saat itu
(Daradjadi, 2013: 224).
Ketika pasukan Pakubuwana II dan ulama berhasil menduduki
Kerajaan Mataram Kembali, maka atas jasa dan dukungan pendiri pesantren
Tegalsari mendapatkan daerah Perdikan. Selain diberikan tanah perdikan
juga mendapatkan status sebagai kepala desa Tegalsari dan dipersunting
Raja Pakubuwana II sebagai menantu (Jajat Burhanudin 2012:81).

b. Munculnya Tanah Perdikan karena Faktor sosial


Kemunculan tanah perdikan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
politik, akan tetapi dipengaruhi juga oleh faktor sosial. Salah satu contohnya
adalah tanah perdikan Kadilangu (Glagah Wangi) Demak yang diberikan
oleh Raden Patah kepada Sunan Kalijaga sebagai tanah yang bebas dari
pajak (Mardika) untuk kepentingan sosial masyarakat daerah Kadilangu.
Tanah perdikan seperti Kadilangu Demak ini sama fungsinya seperti
tanah perdikan Tegalsari Ponorogo yaitu sebagai pengembangan pusat
pengajaran agama Islam. Salah satu hal yang mempengaruhi pemberian
tanah perdikan ini adalah faktor sosial, yaitu tanah perdikan ini diberikan
untuk dijadikan pusat pengembangan agama serta sebagai sarana penjaga
ketentraman rakyat.

2. Pengelolaan Tanah Perdikan di Ponorogo Pada Tahun 1830-1870


a. Pengelolan Tanah Perdikan Masa Feodalisme
Batasan feodalisme menurut Siswoyo (1980: 67-68) adalah suatu
cara atau sistem yang didasarkan pada penguasaan (feod artinya tanah) baik
pemerintahan maupun perekonomian. Di dalam pemerintahan, feodalisme
dipergunakan sebagai cara untuk mepertahankan wilayah kerajaan
khususnya daerah perbatasan sebagai bentuk desentralisasi. Sedangkan di
dalam perekonomian merupakan tata perekonomian yang berdasarkan
pemilikan tanah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

71

Menurut Mochamad Tauhid (2009: 22), masyarakat feodalisme


merupakan wajah perbudakan dalam hal ekonomi, politik, dan sosial. Wajah
perbudakan ini ditunjukkan dengan dikuasainya tanah oleh raja. Rakyat
diminta mengerjakan dengan kewajiban menyerahkan hasilnya kepada raja.
Rakyat adalah alat untuk kekuasaan dan kehormatan bagi yang berkuasa.
Hukum dipegang oleh orang-orang yang berkuasa dan rakyat untuk raja.
Menurut Noer Fauzi (1999: 15), feodalisme merupakan suatu cara
berekonomi atau sistem ekonomi dimana raja, keluarga raja dan para
bangsawan serta penguasa daerah adalah tuan dan rakyat petani merupakan
abdi. Dalam cara berekonomi feodalisme, alat produksi seperti tanah adalah
milik raja dan para bangsawan, bahkan hidup rakyat juga merupakan milik
raja yang dapat dikerahkan tenaganya untuk kepentingan penguasa.
Dalam sistem Feodalisme (Kerajaan), raja sepenuhnya menguasai
tanah. Karena Raja adalah wakil Tuhan di muka bumi ini (Noer Fauzi,
1999: 17). Bahkan raja juga bisa menggunakan dan memanfaatkan petani
untuk kepentingan dan kehormatannya. Pada masa itu, raja menyerahkan
tanah kepada keluarga istana atau pegawainya, keluarga raja atau para
bangsawan tersebut kemudian menyerahkan penggarapan tanah kepada
petani, dan petani memberikan upeti hasil penggarpan tanah kepada para
apanege dan bekel lalu dari apange dan bekel menyerahkan kepada raja dan
keluarganya di istana. Kelak dalam perkembangannya metode tersebut
diadopsi oleh Raffles dengan mengeluarkan kebijakan landrente atau sistem
sewa tanah. Maka kemudian muncul teori domein.
Menurut Rouffaer (1931:41) raja adalah pemilik tanah seluruh
kerajaan. Pendapat ini diuraikan lebih lanjut dalam karangannya yang
berjudul “Vorstenlanden”. Dalam pemerintahannya raja dibantu oleh
birokrasi yang terdiri dari sentono dan notoprojo. Para birokrasi ini
mendapatkan gaji berupa tanah yang disebut apanage dan tanah lungguh
atas jasa-jasa yang diberikan.
Menurut Suhartono (1995:34) dalam perkembangganya tanah-tanah
commit
di daerah Vorstenlanden banyak to user
terjadi pergantian penguasaan. Penguasaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

72

tanah berpindah ke tangan swasta, semula tanah dari pemerintah kerajaan.


Hal ini menimbulkan permasalahan sosial dan ekonomi. Dalam masyarakat
agraris, dimana tanah merupakan simbol status sosial dalam masyarakat,
itulah sebabnya pengklasifikasian masyarakat desa kebanyakan berdasarkan
kepemilikan tanah.
Menurut konsep-konsep Tradisional Jawa, masyarakat terdiri dari
dua kelas: petani dan bukan petani atau orang-orang bergaji (uwong cilik
dan priyayi). Menurut Darsiti Soeratman (2000: 246) kaum priyayi adalah
kelompok sosial yang karena pendidikannya dapat menduduki jabatan-
jabatan pada administrasi pemerintahan, baik dalam, maupun luar
lingkungan pangreh praja. Priyayi senagai korps hamba pihak kerajaan (abdi
dalem) yang merupakan penghubung antara rakyat (uwong cilik) dan pehak
kerajaan. Dalam kapasitas fungsi atau jabatannya masing-masing, orang ini
menerima gaji mereka dalam bentuk tanah lungguh. Pemegang tanah
lungguh (patuh) tidak memiliki itu, tetapi memiliki hak-hak tertentu atas
tanah yang bersangkutan (anggaduh) (Suhartono, 1991:28).
Menurut Koentjaraningrat dalam Gunawan Wiradi (1984) ada empat
sistem pemilikan tanah di Jawa, yaitu: sistem milik umum atau dengan
pemakaian beralih (norowito), sistem pemakaian dengan sistem bergilir
(norowitogilir), sistem komunal dengan pemakaian tetap (bengkok), dan
sistem induvidu atau yasan. Dikatakan pula bahwa sistem milik tanah
komunal timbul sebagai akibat adanya perubahan sistem milik tanah yang
dilaksanakan oleh para raja dan pemerintahan kolonial.
Jenis-jenis tanah menurut N. Daldjoeni (1998) ada tiga yaitu: 1)
tanah milik pribadi, 2) milik desa dan 3) milik jabatan pamong desa. Tanah
milik pribadi adalah tanah yang dimiliki secara perorangan. Tanah desa
adalah kerajaan atau Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara. Kedua
kerajaan Surakarta ini mempunyai wilayah kira-kira 4/5 masuk wilayah
susushunan (kasunanan) dan sisianya milik Mangkunegaran.
Pada hakekatnya tanah diseluruh kerajaan adalah milik raja. Secara
mutlak raja adalah pemilik commit to userHal ini didukung oleh teori milik
semua tanah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

73

raja (Vorstendomein) Rouffaer bahwa raja adalah pemilik tanah seluruh


kerajaan dan dalam pemerintahannya raja dibantu oleh para birokrat yang
terdiri dari sentana dan narapraja. Mereka diangkat oleh raja berdasarkan
orientasi kepada status dan askripsi (Suhartono, 1991:27).
Pengelolaan tanah perdikan Tegalsari ini mulai mengalami
perubahan ketika masa Pakubuwana VII naik tahta, dimana daerah
mancanegara wetan secara tidak langsung Keraton Kasunanan kehilangan
daerah mancanegara akibat perjanjian dengan Hindia Belanda, ketika
Pakubuwana VII naik tahta (atas dukungan Hindia Belanda) maka daerah
mancanegara sudah tidak masuk lagi dalam wilayah administratif
Kasunanan lagi. Dengan demikian status tanah mancangera diambil alih
pemerintah Hindia Belanda.
Atas dasar penafsiran tersebut, bahwa rakyat yang telah menggarap
tanah pertanian, tetapi dalam prakteknya raja yang mempunyai kekuasaan
atas hasil dan hak milik atas tanah tersebut. Setelah pemerintahan kolonial
berhasil menaklukkan Raja Jawa, maka kekuasaan atas tanah berpindah dari
kerajaan ke pemerintahan kolonial yang saat ini kita menyebutnya sebagai
tanah negara tidak termasuk daerah Vorstenlanden. Kemudian petani
mengerjakan tanah tersebut dan harus membayar sewa atau rent tanah
namun soal perubahan tanah kerajaan yang berubah menjadi tanah yang
dipegang oleh kolonial akan dibahasa dibagian selanjutnya. Untuk
pengelolaan tanah bekas perdikan saat ini tercantum dalam tabel sabagai
berikut:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

74

Tabel 4.5 Jenis, Luas Tanah, Penguasaan dan Penggunaan


Tanah Bekas Desa Perdikan Tegalsari

No Jenis Luas (Ha) Penguasaan dan Penggunaan

1 Tanah Sawah 164, 5 Kesemua Tanah dikuasai desa


dan kepemilikan Tanah tercantum
di Desa Tegalsari
2 Tanah Pekarangan 38, 5 Kesemua Tanah dikuasai oleh :
a. Ahli Waris.
b. Bukan Ahli Waris.
Digunakan untuk perumahan dan
pemukiman
3 Lai-lain 2 Digunakan Untuk fasilitas Umum
Sumber Data : Kantor Desa Tegalsari Kabupaten Ponorogo Tahun 2014

Pengelolaan tanah perdikan Tegalsari pada era tahun 1830-1870 ini


mengacu pada sistem yang ada di keraton, dimana seseorang yang diberikan
hak tanah perdikan ini diberikan otonomi kusus. Dalam kerajaan itu untuk
mengatur dan mengelolanya sendiri sesuai dengan kebutuhan atas desa itu.
Desa perdikan ini juga memiliki hak istimewa dimana tanah ini tidak harus
menyerahkan pajak kepada keraton. Desa perdikan ini juga memiliki
keistimewaan tersendiri dikarenakan daerah ini bebas membangun apapun
diatasnya.
Pengelolaan tanah perdikan pada tahun 1830-1870 ini juga
didasarkan atas dasar kebutuhan rakyat sekitar dan bahan pokok untuk
pondok pesantren, serta untuk menghidupi pondok pesantren itu sebagai
pusat agama. Pengolahan tanah ini sama seperti pengolahan tanah komunal
lainnya dimana tanah ini digarap secara bersama. Tanaman yang
ditanampun sama seperti tanah yang lain hanya perbedaan yang mencolok
adalah hak atas tanah ini bebas pajak.
Pengelolaan tanah perdikan Tegalsari ini juga tidak terlepas dari
status kepemilikan tanah. Menurut Gunawan Wiriadi (1984: 294) salah satu
yang terpenting dalam penguasaan tanah di Jawa adalah terdapatnya
commit to user
berbagai macam bentuk pemilikan tanah terutama yang didasarkan atas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

75

konsep-konsep tradisional. Konsep-konsep Hindia Belanda tentang hak


tanah tidak dikenal sebelum tahun 1870 ketika Pemerintah Kolonial Belanda
mengumumkan Undang-Undang Agraria untuk yang pertama
kalinya.bahkan sesudah itupun, walaupun istilah-istilah”pemilikan
perorangan” dan “pemilikan komunal” mulai diperkenalkan, namun dalam
kenyataannya pemilikan tradisional seperti tanah perdikan ini masih
dipertahankan hingga UU Pokok Agraria diterapkan pada tahun 1960 yang
menghapuskan hak tanah perdikan ini.

b. Pengolahan Tanah Perdikan Masa Kolonialisme


Indonesia merupakan salah satu daerah koloni Belanda. Negara
Belanda dengan berbagai upaya yang telah mengekploitasi sumber daya
alam maupun sumber daya manusia dengan tidak memperhatikan nasib
bangsa yang dijajah. Menurut Kansil dan Yulianto (1986:77) kolonialisme
merupakan serangkaian nafsu suatu bangsa untuk menaklukan bangsa lain
dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Suhartoyo
Hardjosatoto (1985:77) mendefinisikan kolonialisme sebagai suatu
rangkaian nafsu untuk menguasai dan seruan penguasa oleh suatu negara
atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu.
Demikian juga Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2003:333)
menyatakan bahwa kolonialisme merupakan penguasaan suatu negara atas
daerah atau bangsa lain untuk keperluan negara.
Menurut Mochammad Tauhid (2009:19) Penaklukan raja-raja oleh
Belanda, sejak zaman Kompeni (VOC) berarti juga perampasan atas
kekuasaan raja. Kekuasaan raja itu ditafsirkan menurut kepentingan dan
tujuan politiknya. Hak raja atas tanah dan tenaga rakyat seringnya hanya
merupakan kekuasaan de jure, sedang kekuasaan de facto ada pada
pegawai-pegawai raja di bawahnya, dan itu ditafsirkan sebagai kekuasaan
yang tidak berbatas. Oleh Belanda dipergunakan sebagai senjata untuk
kepentingan politiknya, dengan alasan sekadar meneruskan kebiasaan yang
sudah berlaku. Tanah milikcommit
raja-raja
to itu jatuh ke tangan Raja Belanda, dan
user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

76

di Indonesia hal ini diwakili oleh Gubernur Jendral. Kegunaan tanah-tanah


tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, Penjualan Tanah-tanah oleh Belanda Hal ini berlaku sejak
zaman Kompeni dan berturut-turut diikuti oleh Gubernur Jendral Daendels,
Raffles, dan selanjutnya kepada orang-orang partikelir, terutama kepada
famili-famili dan juga untuk dirinya, hal inilah yang memunculkan adanya
tanah partikelir. Hak raja atas tanah dan tenaga rakyatnya yang dirampas
dari tangan raja oleh Belanda turut dijual kepada tuan tanah yang sudah
membeli tanah itu. Tuan tanah menjadi raja atas tanah yang sudah dibeli,
dengan kekuasaan yang diberikan oleh si penjual tanah. Kuasa atas rakyat
yang ada di dalamnya, dan dianggapnya sebagai orang-orang yang
berkewajiban menyerahkan bakti kepada raja baru, yaitu tuan tanah tersebut.
Kedua, Menarik Sewa Tanah (landrente) di samping menjual tanah
kepada orang-orang partikelir pajak bumi ini sangat berat untuk rakyat
karena jumlahnya yang besar, juga tidak adanya tingkatan progesiviteit, dan
ditetapkan antara 5-10 tahun sekali. Karena beratnya, tidak jarang para
petani harus menjual tanahnya untuk membayar pajak tanah tersebut. Politik
tanah yang dijalankan oleh Hindia Belanda sebagian besar didasarkan atas
teori Raffles tentang hak milik tanah (domein theorie). Domein theorie
Raffles itu sebagai hasil dari penyelidikan satu komisi yang dibentuknya
untuk menyelidiki soal-soal penghidupan dan masalah sosial di Jawa serta
mengenai hukum adat terutama hubungannya dengan hak milik tanah.
Komisi-komisi itu dibentuk pada tahun 1811 yang terdiri dari 9 anggota
orang Inggris dan seorang bangsa Belanda. Hasil dari penyelidikan ini
kemudian menerangkan bahwa tanah di Jawa adalah milik raja, karena
kekuasaan raja berpindah ke tangan kekuasaan yang baru (Inggris), maka
penguasa baru berhak menguasainya sebagaimana raja menguasainya.
Ketiga, Pada waktu pemerintahan Gubernur Jendral V.D. Bosch, di
waktu Belanda sangat memerlukan uang, kemudian menjalankan cara baru
atas dasar yang lama, yaitu dengan adanya Cultuurstelsel yang selanjutnya
terkenal sebagai malapetakacommit bagi
to userrakyat Indonesia. Berlakunya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

77

Cultuurstelsel meneruskan prinsip yang diambil oleh Raffles. Hanya


bedanya kalau Raffles menarik sewa atas tanah yang dikerjakan rakyat,
V.D. Bosch tidak menarik sewa tanah, melainkan mengambil 1/5 tanah yang
dikerjakan rakyat (dipilih yang baik) di atas tanah itu ditanami tanaman
yang diperlukan oleh Belanda yang akan menghasilkan bahan ekspor yang
berharga tinggi di Eropa. Atas dasar kewajiban heerendienst, maka tanah itu
disuruh dikerjakan rakyat dengan tanpa imbalan. Dan karena pemeliharaan
tanaman ekspor itu (tebu, kopi, nila, tembakau, teh, dll,) memerlukan tenaga
yang sangat banyak, maka praktiknya tenaga para petani hanya
dipergunakan untuk mengerjakan tanah Cultuurstelsel, hingga pertaniannya
sendiri terlantar, sedangkan dari Cultuurstelsel tidak mendapat upah. Karena
cultuurstelsel itu, maka perkebunan barat yang sudah ada pada waktu itu
tertekan hidupnya. Untuk menyingkirkan persaingan dalam soal perkebunan
tanaman bahan ekspor, maka mulai waktu itu ditetapkan pemerintah tidak
lagi menjual tanah kepada orang partikelir seperti yang sudahsudah.
Perdagangan ekspor hasil perkebunan dimonopoli.
Pembukaan tanah yang dilakukan oleh masyarakat, di dalam
lingkungan adat atau tanah hak ulayat masyarakat bersangkutan
dilaksanakan berdasarkan persetujuan dan pengakuan tetua adat setempat
sedangkan yang dilakuakan oleh masyarakat di luar daerah hak ulayat
bersangkutan yang dilakukan dalam bentuk rombongan perorangan atau
rombongan dalam bentuk organisasi swasta. Semenjak pertanian
berkembang, konsep pertanahan yang sangat penting adalah sebagai media
alami bagi pertumbuhan tanaman. Tanah merupakan sumber kehidupan,
sedangkan kehidupan masyarakat masih menjunjung tinggi adat istiadat,
interaksi sosial antar masyarakat terjalin dengan baik. Karena sifat kegotong
royongan dan tolong menolong masih sangat kuat (misalnya kerja bakti
memperbaiki jalan, gotong royong membangun masjid dan lain-lain).
Menurut Soediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (1984)
bahwa bentuk-bentuk pemilikan tanah pertanian dari:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

78

a). Sawah; bentuk-bentuk pemilikan yang ada hubungannya dengan


sawah
1) milik perorangan turun-temurun (erfelik Induvidueel bezit)
2) milik komunal (gemen bezit)
3) tanah bengkok untuk pamong desa (ambtsvelden)
b) tanah kering (tegalan); bentuk-bentuk kepemilikan tanah kering
(tegalan) dasarnya sama dengan sawah, hanay saja dilaksanakan
dengan peraturan-peraturan dan pengawasan komunal.

Menurut Djuliati Suroyo (2000: 8), salah satu permasalahan kolonial


yang sangat penting adalah bentuk ekploitasi ekonomis yang dilakukan
pihak kolonial di daerah jajahan. Bentuk ekploitasi kolonial ini yang
sebelumnya banyak menimbulkan stereotip yang buruk dimasyarakat
terhadap eksploitasi kolonial yang dilaksanakan pada tanam paksa.
Tanam paksa yang terjadi di kabupaten Pasuruan yang dahulunya
merupakan daerah mancanegara dari kerajaan Mataram Islam ini terjadi
berbeda dengan daerah lain, Menurut Suroyo (2000) hal ini dibuktikan
dengan hasil tanaman tebu yang melimpah dan dari hasil tersebut para
petani juga mendapatkan upah yang yang setimpal. Dengan tingkat
kewajiban para petani yang semakin meningkat. Dampak dari tanah paksa
yang terjadi antara 1830-1870 yang terjadi ini adalah terjadinya suatu
kesenjangan sosial di dalam masyarakat pedesaan, di satu pihak para kepala
desa yang mendapat kekuasaan yang semakin besar dalam pembagian tanah
dan tenaga kerja untuk tanam paksa menjadi semakin kaya, sedangkan
dipihak lain petani warga desa yang bertanah sempit menanggung segala
beban kerja wajib. Namun demikian keberadaan pabrik gula di sana juga
membuka peluang baru.
Sebaliknya gambaran yang sangat suram akibat tanam paksa juga
diperoleh dari hasil penelitian yang lain, khususnya pada tanaman paksa
tarum yang diproses menjadi indigo yang terjadi di daerah Tegalsari yang
diambil pihak Hindia Belanda kerana
commit tidak adanya hak Eigendom dari
to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

79

masyarakat, selain merusak kesuburan tanah sawah dan sangat banyaknya


waktu dan tenaga rakyat di eksploitasi pada kerja-wajib untuk menanam
tanaman indigo, dari kerja wajib yang membutuhkan tenaga cukup besar ini
tidak di imbangi dengan upah tanam, dalam pemberian upah tanam
pemerintah Hindia Belanda memberikan upah sebagai imbalan yang sangat
kecil.
Menurut Djuliati Suroyo (2000: 4), pada tanam paksa ini tampak
jelas bahwa ekploitasi Kolonial dilakukan melalui penguasaan tanah dan
tenaga kerja rakyat melalui berbagai tenaga kerja wajib. Bila dicermati
langsung ekploitasi yang dilakukan pihak Hindia Belanda sebenarnya
melalui banyak bertumpu pada ekploitasi tenaga kerja. Pada tahun 1840
tanah pertania jawa yang dipakai untuk tanam paksa adalah 6% (tidak
termasuk tanaman kopi), padahal penduduk petani pelaksana kerja wajib
tanam mencapai 72,5% dari seluruh penduduk petani Jawa. pada tahun 1860
tanah yang digunakan tinggal 2,5% (tidak termasuk tanah untuk kopi) dan
petani pelaksana kerja wajib tanah menurun menjadi 54,5%.
Menurut Burger (1962), kerja wajib sebagai sistem kerja untuk
kepentingan masyarakat dan penguasa negara seperti pada masa tanam
paksa sebenarnya berakar pada tradisi masyarakat feodal tradisional Jawa.
Hingga awal abad XIX kerajaan Jawa dan wilayah yang telah dikuasai
gubernurman Belanda masih berada pada tingkat ekonomi subtistensi yang
belum banyak mengembangkan produksi untuk perdagangan dan ekonomi
uang. Tanah dan tenaga kerja masih dikuasai penguasa supra desa dalam
suatu ikatan tradisi yang oleh Burger disebut ikatan feodal (feodale gebo ini
raja denheid). Lewat ikatan ini raja dan jajaran birokrasinya, dan penguasa
daerah mendapatkan gaji berupa tanah (lungguh, apanage). Dari tanah gaji
tersebut para penguasa menarik pajak dalam bentuk hasil bumi, bahan-
bahan lain, dan kerja wajib dari petani yang mengelola tanah gaji tersebut.
Raja menyerahkan segala urusan pemeriksaan kepada lurah
(bekel/petinggi/kepala desa) sehingga raja akan mengangkat sentana dan
commit to userMereka diberi tanah apanage atau
narapraja (priyayi) untuk membantunya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

80

tanah lungguh sebagai gaji yang merupakan imbalan jasanya. Tanah-tanah


apanage yang diberikan kepada patuh (pemegang tanah apanage) sifatnya
sementara dengan hak nggaduh menurut (Suhartono, 1991: 29).
Keberadaan tanah perdikan Tegalsari mulai mengalami pergeseran
ketika sistem Tanam Paksa dan Undang-Undang Agraria 1870 diterapkan di
Tanah Jawa, hal ini dibuktikannya dengan pengurangan jumlah tanah
perdikan ini. Pengurangan tanah ini didasarkan atas dasar hak Eigendom
(atau hak atas kepemilikan tanah). Terlebih lagi ketika UU Agraria 1870 ini
diterapkan status tanah perdikan mulai tidak nampak sebagai tanah yang
istimewa, dimana para pemodal asing berusaha menanamkan modalnya di
daerah perdikan Tegalsari.
Berbicara tentang tanam paksa (Culturestelsel) yang terjadi pada
tahun 1830-1870 tidak terlepas dari berbagai kebijakan pemerintah kolonial,
hal ini juga berlaku untuk daerah perdikan yang kedudukannya sudah
diambil alih pihak Hindia Belanda. Menurut Clifford Gertz (1983:54) siasat
fiskal yang mengagumkan sebagai Sistem Tanam Paksa yang
sesungguhnya, petani dibebaskan dari pajak tanah dan sebagai gantinya
petani harus menyerahkan seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman
ekpor dan harus bekerja selama 66 hari kepada perusahaan perkebunan
Belanda sebagai ganti dari pajak tanah. Namun hal ini tidak berlaku untuk
daerah “enclave” atau daerah “mardika” yang statusnya diberikan kerajaan
kepada daerah tertentu sebagai hadiah atas konstelasi politik kerajaan seperti
daerah perdikan Tegalsari Ponorogo.
Transisi dari tanah perdikan ini terlihat jelas ketika di terapkannya
UU Agraria maka status tanah mengalami sedikit perubahan hak atas tanah
ini, yang dahulunya luasnya mencapai lebih dari 3000 sampai 12000 Cacah
dan kebijakan Kolonial membatasi tanah ini menjadi 203 Ha hingga
sekarang. Kebijakan ini tidak hanya terjadi ditanah perdikan Tegalsari
namun juga terjadi di tanah perdikan kadilangu demak yang luasnya
menyusut ketika kebijakan UU Agraria diterapkan di daerah Hindia
Belanda. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

81

Dari penguasaan sistem tanah feodal ini berubah bentuk penguasaan


ke penguasaan Kolonial serta ada perubahan bentuk pengelolaan atas tanah
ini. pihak Kolonial melakukan pengelolaan atas tanah ini, dan merubah
fungsi tanah perdikan yang dimana dahulunya tanah ini termasuk ke
wilayah Vorstenlanden atau dibawah kekuasaan kerajaan yang berkuasa
yaitu Yogyakarta dan Surakarta dengan sistem tradisional yang dijalankan
oleh raja dan para birokrat raja yang mengatur hingga sampai ke apanege
dan bekel sebagai pemungut pajak tanah garapan yang digarap rakyat. Dan
berubah ke tangan Kolonial dengan sistem Gubernur Jendral yang mengatur
segala urusan tentang kebijakan yang akan diterapkan di dalam
pemerintahan.
Status tanah perdikan Tegalsari ini tetap masih menjadi tanah
istimewa bagi warga sekitar, karena pada dasarnya tanah yang masuk daerah
Vorstenlanden akan bebas dari tanam paksa, serta tidak menyetorkan pajak
kepada pemerintah. Tanaman yang ditanam juga bebas sesuai dengan
kehendak penguasa tanah perdikan Tegalsari. Dalam hal ini pemerintah
kolonial mengakui adanya tanah perdikan sebagai daerah yang merdeka dan
bebas.

3. Transisi Tanah Perdikan Tegalsari Setelah di Berlakukannya UU Agraria


1870
a. Pola Pemilikan Tanah di Tegalsari Sebelum Pemberlakuan UU Agraria
1870
Menurut Rouffaer (1931:41) raja adalah pemilik tanah seluruh
kerajaan. Pendapat ini diuraikan lebih lanjut dalam karangannya yang
berjudul “Vorstenlanden”. Dalam pemerintahannya raja dibantu oleh
birokrasi yang terdiri dari sentono dan notoprojo. Para birokrasi ini
mendapatkan gaji berupa tanah yang disebut apanage dan tanah lungguh
atas jasa-jasa yang diberikan.
Pemerintah Kolonial menganggap raja-raja Jawa telah mengambil
alih kepemilikan tanah dari commit
tangan to user
penduduk yang menjadi pemilik aslinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

82

dan kemudian menyerahkan hak yang dimenangkannya kepada


pengikutnya. Perbedaan untuk saat ini yang sangat terlihat di antara orang
Jawa, yaitu ingkang darbe (pemilik) dan ingkang manggoni (oang yang
menduduki tanah yang xbersangkutan), tidak bisa diletakan di atas dasar
yang setara dengan pendapat orang Eropa yang membedakan antara
kekayaan (property) dan hak milik (possession) (Houben, 1994:613).
Menurut fungsinya, tanah-tanah di Wilayah kekuasaan Kasunanan
dan Mangkunegaran dibedakan menjadi dua. Pertama, bumi narawita, yaitu
tanah yang menghasilkan sesuatu barang yang ditentukan dan diperlukan
oleh raja. Tanah-tanah itu terdiri dari:
1. Bumi pamajekan, yang menghasilkan uang pajak
2. Bumi pangrembe, yang kusus ditanami padi dan tanaman lain
keperluan istana
3. Bumi gladag, yaitu tanah yang penduduknya diberi tugas mengurus
transpotasi, misalnya waktu desa perkawinan, kelahiran, kematian dan
lain-lain (Suhartono, 1931:29).
Kedua, bumi lungguh atau tanah apanage yaitu tanah gadhuhan yang
diberikan kepada sentono dan narapraja sebagai gaji bumi palungguhan
(Suhartono, 1931:29).
Kekuatan pemilikan raja khususnya mengenai tanah, secara finansial
masih dikuasai oleh raja. Penduduk atau rakyat tidak mempunyai hak
kepemilikan terhadap tanah, tetapi hanya sebagai penghuni yang dengan
presetasi tertentu dapat menikmati kesempatan tinggal di rumah tersebut dan
berhak atas sebagian hasil bumi, namun lain halnya dengan tanah perdikan,
secara status tanah perdikan merupakan tanah yang merdeka sehingga
pendirian dan penggunaan lahan tidak dipengaruhi pajak yang harus
diserahkan kepada kerajaan.
Dalam perkembangannya tanah perdikan Tegalsari Ponorogo yang
pada mulanya merupakan tanah pemeberian Pakubuwana II kepada
Mohammad Beshari sebagai tanah merdeka karena jasanya maka diberikan
commit bagi
berupa hadiah dan tanah jabatan to user
Mohammad Beshari, selain diberi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

83

tanah Mohammad Beshari juga diangkat menjadi kepala desa Tegalsari.


Burhanudin (2012) perkembangan tersebut bisa dilihat terutama sekali pada
masa Pakubuwana II (1726-1749), dimana masa itu merupakan masa
jabatan Ratu Pakubuwana II, pemberian status tanah perdikan ini dilakukan
atas dasar balas jasa dari Pakubuwana II terhadap Mohammad Beshari.
Dalam struktur Feodalisme kedudukan raja menempati stratifikasi yang
paling atas sehingga memberikan wewenang kepada raja untuk memberikan
jabatan ataupun kedudukan dalam pemerintahan sesuai kehendaknya.
menurut rakyat kekuasaan itu terasa begitu besar, sehingga mereka
mengakui raja sebagai pemilik segala sesuatu, baik harta benda maupun
manusia. Karena itu terhadap keinginan raja rakyat hanya dapat menjawab
“nderek karsa ndalem” (terserah kepada kehendak raja). Kekuasaan yang
demikian besar itu dikatakan “wenang wisesa ing sinagari” (berwenang
tinggi diseluruh negeri) (Moedjianto, 1987: 77).
Tanah perdikan Tegalsari Ponorogo merupakan tanah pemberikan
Pakubuwana II kepada Kyai Mohammad Beshari atas jasa telah
menyelamatkan hidup raja pada saat terjadinya geger pacinan yang di
pimpin Raden Mas Garendi/ Sunan Kuning pada tahun 1740-1742 yang
berhasil membumi hanguskan pusat kerajaan Kartasura, yang pada saat
bersamaan Pakubuwana II berhasil menyelamatkan diri hingga daerah
Tegalsari, Jetis, Ponorogo dan mendapatkan perlindungan dari Mohammad
Beshari dan mondok di pesantren Tegalsari ini selama dalam pelarianya.
Setelah Pakubuwana II mendapatkan banyak dukungan dan berhasil
menduduki puncak kekuasaan sebagai Raja Mataram Islam lagi maka status
tanah perdikan ini diberikan kepada Mohammad Beshari dengan daerah
perdikan ini meliputi daerah Tegalsari dan seisinya (pemotongan hewan)
merupakan tanah yang merdeka dari pajak, dan Mohammad Beshari juga di
undang ke Keraton Mataram dan dihadiahi Putri Pakubuwana II sebagai
istri Mohammad Beshari (Jajat Burhanudin, 2012: 81).
Pemberian status tanah perdikan ini secara resmi di berikan dari
commit toBeshari
Pakubuwana II kepada Mohammad user dengan dikeluarkannya dekrit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

84

kerajaan dari Penghulu Ageng di Surakarta, dengan atas nama Raja


Mataram menyatakan bahwa Raja Mataram mengumumkan Tegalsari
sebagai desa perdikan dan mengangkat seorang ulama Mohammad Beshari
sebagai pemimpin desa Tegalsari Burhanudin (2012). Dalam penelitian
yang lain di sebutkan, pada tahun 1643 Sultan Mataram menganugrahkan
kepada Wedana Surakarta serta daerah yang berada di bawah kuasanya
dengan daerah perdikan selama tujuh keturunan dengan alasan bahwa
Wedana Surakarta tetap setia kepada Sunan Mataram (Schrieke, 1985: 27).
Selain itu, dekrit juga menyebutkan tugas-tugas utama pemegang
jabatan antara lain menciptakan keteraturan sosial dalam kehidupan desa,
mengajarakan ajaran Islam kepada masyarakat dan mengatur
penyelenggaraan tugas-tugas keagamaandan terlibat dalam persoalan
kemasyarakatan yang lain. Tugas-tugas inilah, khususnya yang berhubungan
dengan pengajaran Islam, yang kemudian berkembang menjadi pengajaran
yang terlembaga yang dikenal pesantren. Tegalsari kemudian menjadi
sebuah pesantren terkenal Jawa. survei Belanda tentang pendidikan di
Nusantara pada 1819 menyebut pentingnya Madiun dan Ponorogo, tempat
Pesantren Tegalsari, sebagai salah satu pusat paling penting bagi pengajaran
Islam di mana santri datang untuk belajar pengetahuan tinggi Islam.
Menurut Burhanudin (2012).Maka tidak mengejutkan jika Pesantren
Tegalsari yang dibangun di atas Tanah Perdikan ini menjadi tempat penting
bagi pengajaran Islam untuk elite politik dan keluarga Kerajaan Mataram.
Hal ini juga terjadi atas jatuhnya kerajaan-kerajaan Maritim, dan
berubahnya pengajaan Islam dari Istana ke pesantren pedesaan Jawa.
melalui perkembangan ini, ulama mulai memasuki periode baru dalam
perjalanan sejarahnya. Pesantren mengiringi ulama menghadapi dan
menjadi bagian masyarakat-masyarakat Muslim Pedesaan, yang pada
gilirannya berakibat pada terbentuknya diskursus keislaman yang berbeda
dengan lingkungan kerajaan-kerajaan maritim diwilayah pesisir. Menurut
Schrieke (1985) disebutkan bahwa tanah perdikan tidak hanya untuk pusat
pendidikan agama namun commit to user
pemberian tanah perdikan juga dimaksudkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

85

untuk makam-makam suci, makam-makam karajaan, bangunan suci


(masjid), serta untuk membalas jasa ulama yang telah mengajarkan
pendidikan agama, serta sebagai kontrol politik untuk daerah yang jauh dari
pusat kerajaan. Inilah dasar dari pemberian status tanah perdikan dengan
masing-masing tujuannya (Schrieke, 1985: 26).
Dalam pengangkatannya sebagai pemimpin Tegalsari, Mohammad
Beshari diminta antara lain untuk memberi perhatian pada kehidupan
ekonomi penduduk desa. Dia di dorong untuk memanfaatkan apa yang ada
yang dapat diberikan tanah desa. Ini memberikan kita kesan kuat tentang
keadaan pedesaan desa perdikan dengan pertanian yang menjadi bagian
utama dalam kehidupan perekonomian. Kondisi ini menjadi lebih jelas
melaui sebuah surat yang secara khusus dikirim kepada Kasan Beshari,
dimana diminta untuk menyelesaikan sejumlah persoalan tentang warisan
(mawaris) dalam masyarakat, salah satu persoalan utama dalam kehidupan
ekonomi pedesaan (Jajat Burhanudin, 2012: 83).
Harus disebutkan disini bahwa desa perdikan, secara geografis
pesantren dibangun dengan merujuk kepada sistem tradisional penguasaan
tanah di Jawa, dimana desa ditentukan bukan oleh batas-batas geografis,
melainkan populasi, tepatnya keluarga petani (cacah), yang menetap didesa
tersbut. Jumlah pasti dari cacah di desa perdikan sulit ditemukan. Satu-
satunya penjelasan yang ada berasal dari beberapa daerah di Jawa pada abad
ke XVII seperti Kediri, Ponorogo, Pacitan, Kartasura, dan Lowanu dimana
dikatakan bahwa jumlah cacah cukup beragam, berkisar 3000 sampai
12000.

b. Pola Pemilikan Tanah di Tegalsari Setelah Pemberlakuan UU Agraria


1870
Periode setelah berakhirnya perang Jawa (1830) sampai dengan
akhir abad ke XIX merupakan hal paling menarik untuk dikaji, dimana
penjajahan Belanda di Hindia Belanda memasuki tahap ekploitasi besar-
besaran dibidang agraria. commit
Pemikiran Elson yang dikutip Sri Margana
to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

86

menyebutkan periode setelah berakirnya perang Jawa (1830) sampai dengan


akhir abad XIX sebagai “the age of peasantry” di Jawa (Lembaran Sejarah,
1997). Sistem Tanam Paksa 1830 dan Undang-Undang Agraria 1870
merupakan dua kebijakan kolonial di bidang agraria yang berpengaruh
terhadap kehidupan manusia
Menurut Tauhid (2009), lahirnya Undang-undang Agraria tahun
1870 telah memunculkan masalah agraria yang bersifat dualistis dan sangat
ruwet di Indonesia. Hal ini ditandai dengan dengan adanya beberapa hak
sebagai berikut:
1. Hak tanah menurut Hukum Barat untuk orang asing, yang diatur dalam
Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) sebagai jaminan
perkembangan modal partikelir asing di Indonsia dengan hak benda
yang kuat.
2. Hak tanah bagi Rakyat Indonesia yang berlaku menurut hukum adat.
Hak tanah bagi bangsa asing ada bermacam-macam yang diatur
dengan undang-undang yang lengkap. Semuanya itu untuk melayani
kepentingan perkembangan modal besar partikelir menurut keadaan dan
obyeknya masing-masing. Bagi daerah-daerah Gubernemen
(Gouvernementslanden) disediakan bermacam-macam kesempatan dengan
jaminan Undang-undangnya. Sedangkan untuk daerah-daerah Swapraja di
luar Jawa dan Madura ada pula undang-undangnya sendiri.
1. Hak tanah yang disertai hak dan kekuasaan kenegaraan
(overheidsrechten) yaitu yang berupa Tanah Partikelir.
2. Hak tanah yang tidak disertai kekuasaan kenegaraan, dengan mendapat
hak benda (zakerlijke rechten) yang kuat. Ada kalanya disertai jaminan
seperti mendapat kekuasaan kenegaraan juga, seperti dengan adanya
punale sanctie.
3. Hak tanah dengan hak persorangan (persoonalijke rechten).
Pemberian status tanah perdikan ini secara resmi di berikan dari
Pakubuwana II kepada Mohammad Beshari dengan dikeluarkannya dekrit
commitdito user
kerajaan dari Penghulu Ageng Surakarta, dengan atas nama Raja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

87

Mataram menyatakan bahwa Raja Mataram mengumumkan Tegalsari


sebagai desa perdikan dan mengangkat seorang ulama Mohammad Beshari
sebagai pemimpin desa Tegalsari (Jajat burhanudin, 2012: 81).
Dari penjelasan diatas maka status tanah Tegalsari ini merupakan
tanah yang merdeka, sehingga dalam pengelolaan tanah perdikan ini tidak
terikat pada pihak kerajaan. Menurut Ibnu Qoyim (1997: 60), Dalam
lingkup masyarakat agraris terdapat hubungan yang erat antara masyarakat
dan para ulama. Hal ini terjadi karena ulama biasanya memiliki identitas
yang sama dengan khalayak lingkungannya, umpamanya petani. Dengan
adanya faktor kesamaan itu, komunikasi antara ulama dan rakyat
lingkungannya menjadi akrab, tanpa tata cara feodal. Disamping itu
kelebihan yang disandang seorang sebagai ulama ikut mendorongnya
mendapatkan otoritas kharismatik sebagai elit religius, yang selanjutnya
menjadi kekuatan yang tidak kelihatan tetapi dapat dirasakan melalui
pengaruhnya yang besar dikalangan masyarakat dan membawanya sebagai
key person masyarakat desa.
Perubahan status tanah perdikan ini mulai terliha ketika UU Agraria
diterapkan sebagai ganti dari kebijakan Hindia Belanda yang sebelumnya
yaitu Tanam Paksa. Perubahan yang nampak yaitu berupa luas lahan
perdikan yang besarannya mencapai dari 3000 samapi 12000 cacah setelah
adanya pemberlakuan UU Agraria ini tanah perdikan ini hanya memiliki
luas 203 Ha (setelah dikonversi). Serta adanya wajib kerja bagi masyarakat
yang berada di Tegalsari untuk melaksanakan kerja wajib selama 66 hari
dan menyerahkan 1/5 bagian tanahnya untuk kepentingan tanam tanaman
ekspor permerintah Hinda Belanda.
Pemerintahan Raffles memperkenalkan adanya domein theory, yang
menyatakan bahwa semua tanah yang ada di Hindia Belanda adalah milik
raja. Atas dasar teori itu pemerintah Inggris sebagai pengganti Raja
Mataram memberlakukan sistem penarikan pajak (landrente) dengan asumsi
bahwa rakyat adalah penyewa sedangkan pemilik tanah adalah pemerintah
kolonial. Usaha Raffles commit to user
tidak berlangsung lama (1811-1816) karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

88

pemerintahan Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan (Mochamad


Tauhid, 2009:22).
Ketikan kebijakan ini diterapkan banyak tanah milik perseorangan
dan daerah keraton yang diambil alih oleh pemerintah kolonial, hal yang
terpenting banyak tanah yang digunakan untuk kepentingan tanam paksa
yang berlangsung pada tahun 1830-1870, status tanah perdikan juga masih
diakui oleh pihak Hindia Belanda namun dari pengakuan itu luas daerah
perdikan ini berubah derastis dari yang awalnya luasnya 3000 sampai 12000
cacah sekarang tinggal sebagian bahkan hanya disisakan satu bagian kecil
daerah perdikan sekitar 203 Ha saja.
Kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) dan sistem pajak yang
diterapkan Van den Bosch sejak tahun 1830 menyebabkan perubahan besar
dalam kehidupan masyarakat. Kebijakan ini memaksa petani untuk
menanami sepertiga tanahnya dengan tanaman-tanaman yang ditentukan
oleh pemerintah. Mereka juga dipaksa melakukan bentuk-bentuk kerja wajib
sebagai ganti pajak yang seharusnya dibayarkan kepada negara. Bentuk-
bentuk pemaksaan dan pemungutan yang sangat eksploitatif dianggap
merusak sistem pemilikan tanah di desa (Mochamad Tauhid, 2009:22).
Pergantian pemerintahan Belanda dari tangan kaum konservatif ke
tangan kaum liberal berpengaruh pada kebijakan pertanahan yang
diterapkan di Hindia Belanda. Peran negara di sektor pertanian digantikan
oleh swasta pemilik modal. Melalui Undang-undang Agraria (Agrarische
Wet) yang dikeluarkan tahun 1870 para pemodal asing memiliki kesempatan
luas untuk mengusahakan perkebunan di Indonesia. Pemerintah kolonial
menetapkan asas Domein Verklaring yang menyatakan bahwa semua tanah
yang tidak bisa dibuktikan sebagai eigendom (milik) seseorang dianggap
sebagai domein atau milik negara. Aturan ini diterapkan agar pemerintah
kolonial dapat memiliki tanah rakyat yang pada waktu itu hampir
seluruhnya masih menerapkan sistem hukum adat. Pemilikan atas tanah
berdasarkan sistem adat tidak menyamai hak eigendom sehingga tanah adat
commit tosecara
menjadi tanah negara dan nantinya user leluasa dapat disewakan kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

89

pengusaha perkebunan yang membutuhkan. Dalam hal ini pemerintah


kolonial dengan kekuatan modal yang sedang berkembang berusaha
menyingkirkan petani dari sumber penghidupannya (sumber: statsblad 1870,
No.55).
Politik agraria yang dikembangkan pemerintah kolonial tersebut
secara sistematis melemahkan kedudukan sosial ekonomi penduduk daerah
pedesaan. Posisi mereka sebagai petani bergeser menjadi buruh di daerah
pedesaan. Bentuk-bentuk eksploitasi kolonial baik berupa tekanan pajak,
pengerahan tenaga kerja yang berlebihan, maupun peraturan-peraturan yang
menindas sebagai bagian dari politik kolonial mengakibatkan kemiskinan
rakyat yang meluas. Realitas kekuasaan kolonial tersebut tidak sesuai
dengan realitas sosial yang ideal dalam masyarakat tradisional. Sebagai
akibatnya pada abad ke-19 dan 20 banyak terjadi perlawanan petani yang
tersebar luas. Hal itu merupakan bentuk reaksi terhadap pemerasan yang
berlebihan oleh perekonomian kolonial, dalam hal ini penghisapan oleh
aparat pemerintah kolonial, pemilik modal, atau kerja sama antara
keduanya.
Menurut James Scott (1976:23), penghisapan merupakan faktor yang
menentukan terjadinya pemberontakan petani. Pemberontakan itu bertumpu
pada subsistensi petani yang terganggu oleh berbagai aturan kolonial yang
memberatkan petani, misalnya beban pajak yang harus ditanggung petani.
Dalam beberapa kasus fanatisme agama memainkan peran penting
dalam pemberontakan petani. Pemberontakan-pemberontakan kaum tani
mempunyai ciri-ciri ideologis yang ditemukan dalam semua gerakan, di
mana pemberontakan itu umumnya dinyatakan sebagai gerakan juru selamat
(mesianisme), gerakan ratu adil (milenarisme), gerakan kepribumian
(nativisme), dan gagasan-gagasan perang suci (Ibnu Qoyim, 1997: 37).
Ketika UU Agraria diterapkan pada tahun 1870 status tanah perdikan
ini masih menjadi tanah merdeka dan pihak swasta tidak masuk untuk
menanamkan modalnya di Tegalsari dengan alasan bahwa tanah yang
commit
diambil alih oleh pemerintah to user
Hindia Belanda adalah tanah yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

90

memiliki Egeindom dan tidak adanya sertifikat tanah. Karena status tanah
perdikan memiliki sebuah Piyagem sehingga tanah ini tidak dimasukan
dalam kekuasaan Hindia Belanda namun tanah ini masuk daerah
Vorstenlanden dibawah kekuasaan Surakarta. Namun untuk luas tanah
perdikan ini mengalami penyusutan ketika UU Agraria diterapkan di daerah
jajahan Hindia Belanda.

4. Eksistensi Tanah Perdikan Tegalsari Ponorogo 1830-1870 dan


Relevansinya bagi Pembelajaran Mata Kuliah Sejarah Agraria
a. Mata Kuliah Sejarah Agraria
Mata kuliah Sejarah Agraria merupakan bidang ilmu yang
spesifikasi membahas ilmu tentang permasalahan Agraraia berdasarkan
fakta-fakta yang ditemukan, dalam pengkajian ilmu-ilmu ini berdasarkan
pemikiran ilmiah yang rasional. Mata kuliah ini membahas tentang
permasalahan Agraria untuk memberi bekal mahasiswa dalam rangka
menumbuhkan kesadaran perlunya tertib pertanahan, dengan memberikan
pengertian Sejarah Agraria di Indonesia, yang tersusun dalam silabus
sebagai berikut: pertama Feodalisme, Kolonialisme dan Nasib Petani, kedua
Pembaharuan Hukum Agraria, ketiga Dinamika Populismo : Politik Agraria
Orde Lama, keempat Kebangkitan Otoritarianisme dan Kapitalisme Orde
Baru, kelima Kebijakan Pertanahan Orde Baru, keenam Politik Agraria,
Ekonomi Politik, dan Nasib Petani
1) Pengertian Sejarah Agraria
Mata Kuliah Agraria merupakan bidang ilmu atau cabang ilmu
yang mempelajari tentang pertanahan secara umum.pembahasan tentang
agraria dalam perkuliahan biasanya dimulai dari masa feodalisme (terkait
pola pengerjaan,pembagian,tanah jabatan) hingga sekarang setelah
diberlakukannya UU Pokok Agraria 1960. Mata Kuliah Sejarah Agraria
secara spesifik membahas tentang enam pokok bahasan yang tertuang
dalam silabus yaitu: (a) Feodalisme, Kolonialisme dan Nasib Petani, (b)
commit(c)
Pembaharuan Hukum Agraria, to Dinamika
user Populismo : Politik Agraria
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

91

Orde Lama, (d) Kebangkitan Otoritarianisme dan Kapitalisme Orde


Baru, (e) Kebijakan Pertanahan Orde Baru, (f) Politik Agraria, Ekonomi
Politik, dan Nasib Petani
Dalam perkuliahan sejarah pembahasan yang menyangkut tentang
tanah masuk dalam bahan ajar tidak hanya sejarah Agraria namun masuk
kedalam beberapa mata kuliah antara lain, Sejarah Sosial, Sejarah
Indonesia Madya, Sejarah Perekonomian, namun fokus dari penulis
adalah tanah dalam bahasan Sejarah Agraria. Sejarah Agraria secara luas
mengkaji tentang tanah, faktor penguasaan tanah,pengelolaan tanah,
macam-macam tanah yang ada di Indonesia.

2) Silabus Mata Kuliah Sejarah Agraria


Dalam silabus yang digunakan sebagai bahan untuk penyampaian
materi, cakupan isi untuk mata kuliah Agraria sebagai berikut :
a. Feodalisme, Kolonialisme dan Nasib Petani
b. Pembaharuan Hukum Agraria
c. Dinamika Populismo : Politik Agraria Orde Lama
d. Kebangkitan Otoritarianisme dan Kapitalisme Orde Baru
e. Kebijakan Pertanahan Orde Baru
f. Politik Agraria, Ekonomi Politik, dan Nasib Petani

Dari silabus yang ada maka, hasil penelitian tentang tanah


perdikan ini masuk dalam pokok bahasan yang pertama. Kerana tanah
perdikan ini merupakan tanah yang ada pada masa era feodalisme
(Hindu-Budha, maupun Kerajaan-Kerajaan Jawa lainnya). sebagai
pemberian hadiah dari raja kepada seseorang yang berjasa atas hidup raja
atau tanah itu diberikan sebagai tempat untuk pusat berkembangnya
agama.
Pembelajaran Sejarah Agraria secara umum mencakup materi
tentang tanah. Dalam pembelajarn Mata Kuliah Sejarah Agraria pokok
meteri yang akan disampaikan iniuser
commit to tertuang dalam silabus yang sudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

92

disusun sebagai pedoman terkait materi yang akan disampaikan.


Pembahasan tentang tanah perdikan Tegalsari ini jika merujuk pada
silabus yang sebagai acuan materi maka akan disampaikan di awal
pekuliahan. Materi tanah perdikan ini jika kita melihat silabus maka
terintegrasi dalam materi tentang tanah pada masa feodalisme.
Keberadaan tanah perdikan ini yang sudah hilang dengan adanya
UU pokok Agraria no. 5 Tahun 1960 sehingga perlu kita mengkaji tanah
perdikan sebagai pengetahuan. Kedudukan tanah perdikan ini merupakan
hal yang masih jarang kita temui dalam materi pada masa
feodalisme,serta jarangnya pembahasan tentang tanah perdikan sehingga
sedikit orang yang mengetahui tentang tanah ini, status tanah perdikan
merupakan tanah yang merdeka dari pajak pada masa feodalisme. Tanah
perdikan ini tidak hanya sebagai tanah biasa, kedudukannya yang
berbeda ketika diterapkannya tanam Paksa dan UU Agraria 1870
menjadikannya tanah perdikan ini sebagai tanah yang perlu adanya
pengkajian dalam lingkup akademis.
b. Relevansi Hasil
1) Hasil Penelitian
Materi hasil penelitian ini dengan pembelajaran mata kuliah
Sejarah Agraria memiliki unsur materi yang saling terkait. Dari hasil
penelitian ini kita dapat melihat betapa kompleksnya sistem pertanahan
yang ada di tanah Jawa pada masa silam (kerajaan-kerajaan Jawa dari
Hindu-Budha hingga Kerajaan Islam), yang salah satunya adalah Tanah
Perdikan Tegalsari yang masih jarang disinggung dalam pembelajaran
Sejarah Agraria. Penelitian ini memfokuskan di daerah Ponorogo
dikarenakan tanah perdikan ini merupakan tanah perdikan yang diberikan
Pakubuwana II kepada Mohammd Beshari sebagai hadiah atas jasa
Mohammad Beshari Kepada Pakubuwana II.
Tanah perdikan Tegalsari Ponorogo ini pada masa Mohammad
Hasan Beshari yaitu anak dari Kyai Mohammad Beshari difungsikan
commit to user
sebagai pusat dari perkembangan Ajaran Islam (Pondok Pesantren
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

93

Tegalsari). Selain untuk pondok pesantren tanah perdikan ini juga


difungsikan sebagai tanah sawah dan ladang serta tanah pemukiman bagi
penduduk Tegalsari. Tanah sawah dan ladang ini merupakan faktor
terpenting bagi masyarakat Tegalsari dan kehidupan pondok pesantren,
tanah ini di kelola untuk kesejahteraan masyarakat serta untuk
menghidupi pondok pondok pesantren.
Tanah perdikan ini juga merupakan tanah yang “mardika” atau
dalam istilah lain merupakan tanah yang bebas, bebas dalam artian
terbebas dari pajak tanah yang ada, tanah ini memiliki hak istimewa
berdasarkan perintah Pakubuwana II yang memberikan tanah ini sebagai
tanah hadiah dan tanah ini bebas pajak serta memiliki semi otonomi
kusus, dimana kyai Mohammad Beshari bebas mengatur masyarakatnya
serta bebas juga untuk menanam tanaman di sawah ataupun ladang
diwilayah Tegalsari Ponorogo.
Pada awal abad Ke XIX, kekisruhan yang terjadi di Keraton
Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwana VI ini memberikan warna
yang berbeda bagi sistem penguasaan tanah yang ada, dimana daerah
mancanegara seperti : Banyumas, Kedu, Bagelan, Kadiri, dan Madiun
mulai terlepas dari kekuasaan Keraton Kasunanan dan dimiliki oleh
pihak Hindia Belanda. Perubahan kepemilikian atas tanah Mancanegara
ini sangat berpengaruh terhadap starus tanah-tanah yang ada di daerah
Mancanegara salah satunya tanah Perdikan Tegalsari yang terkait dengan
penelitian ini, dari luas tanah Perdikan yang awalnya sangat luas namun
dengan adanya kebijakan Hindia Belanda tanah perdikan ini menyusut
besarananya hingga 50%.
Di tempat-tempat tertentu pada tahun 1830 mulai diterapkan
sistem tanam paksa (culturestelsel) maka di Tegalsari ini juga mulai
diterpakannya sistem yang sama, dimana daerah Ponorogo merupakan
daerah Mancanegara dari Keraton Kasunanan Hadinginrat. Kedudukan
Keraton yang semakin tidak berdaya dibawah kekuasaan Hindia Belanda
commit to user
menjadi penyebab terlepasnya daerah Mancanegara yang pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

94

hakikatnya merupakan sumber finansial bagi perekonomian Keraton


Surakarta Hadiningrat. Seperti mulai hilangnya tanah-tanah keraton yang
diberikan kepada pejabat maupun orang yang telah berjasa kepada hidup
raja seperti tanah Perdikan. Tanah perdikan yang kehilangan 50% dari
bagiannya juga merupakan taktik Belanda dengan mengatur kepemilikan
tanah. Bekas tanah perdikan yang sudah menjadi hak pemerintah Hindia
Belanda ini difungsikan sebagai sawah yang ditanami Indigo untuk
keperluan ekspor yang menguntungkan pihak Belanda. Dimana para
pekerja yang ada disawah juga merupakan warga dari desa Tegalsari.
Tanah perdikan tegalsari ini mulai kehilangan status tanah
“Mardika” secara utuh ketika UU Pokok Agraria pada tahun 1960 mulai
diberlakukan di Indonesia, dimana starus tanah ini menjadi tanah
Pemerintah Republik Indonesia dan tidak ada tanah yang istimewa lagi.
Hal ini menimbulkan kekacauan tentang kepemilikan tanah, maka
banyak warga desa yang mengajukan hak atas kepemilikan tanah kepada
BPN melalui Kantor Desa, lalu melalui Kantor Kecamatan yang
diteruskan kepada BPN. Perubahan status tanah ini merupakan
kehilangan sejarah yang sangat berarti dimana tanah “mardika” ini
sekarang kehilangan hak komunalnya serta kehilangan status tanah
“mardika”.

2) Relevansi Hasil Penelitian Dengan Pembelajaran Mata Kuliah


Sejarah Agraria
Dalam silabus yang digunakan sebagai bahan untuk penyampaian
materi cakupan isi untuk mata kuliah Agraria untuk point pertama
Feodalisme, Kolonialisme dan Nasib Petani, maka dapat kita lihat
keterkaitan antara hasil penelitian ini dengan materi pembelajaran
Sejarah Agraria ini terdapat dalam point yang pertama diaman tanah
Perdikan Tealsari ini merupakan tanah pada masa Feodalisme yang
diberikan dari Pakubuwana II kepada Mohammad Beshari atas jasa yang
telah dilakukan oleh Kyaicommit
Mohammad
to userBeshari kepada Pakubuwana II.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

95

Pembelajaran Sejarah Agraria juga merupakan Mata Kuliah yang


membahas tentang pertanahan yang terjadi di Indonesia sejak Feodalisme
hingga sekarang ini, cakupan dari mata kuliah sejarah agraria itu sendiri
meliputi (1) Feodalisme, Kolonialisme dan Nasib (2) Petani,
Pembaharuan Hukum Agraria, (3) Dinamika Populismo : Politik Agraria
Orde Lama, (4) Kebangkitan Otoritarianisme dan Kapitalisme Orde
Baru, (5) Kebijakan Pertanahan Orde Baru, (6) Politik Agraria, Ekonomi
Politik, dan Nasib Petani.
Keterkaitan antara hasil penelitian ini sangat erat kaitannya,
dimana dalam point yang pertama diaman penelitian ini dilakukan pada
masa Feodalisme Pakubuwana II ketika pemeberian status tanah
Perdikan, dan saat berlangsungnya sistem tanam paksa yang terjadi pada
tahun 1830-1870 dan pengelolaan tanah perdikan ini pada tahun 1830-
1870 di Tegalsari Ponorogo. keterkaitan antara hasil penelitian ini adalah
masuk dalam sistem pengelolaan tanah pada masa Feodalisme.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

96

C. Pokok-pokok Temuan Penelitian


1. Latar Balakang Munculnya Tanah Perdikan Tegalsari Ponorogo
Pemberian status tanah perdikan ini secara resmi di berikan dari
Pakubuwana II kepada Mohammad Beshari dengan dikeluarkannya dekrit
kerajaan dari Penghulu Ageng di Surakarta, dengan atas nama Raja Mataram
menyatakan bahwa Raja Mataram mengumumkan Tegalsari sebagai desa
perdikan dan mengangkat seorang Ulama Mohammad Beshari sebagai
pemimpin desa Tegalsari (Jajat burhanudin, 2012: 81).
Tanah perdikan merupakan tanah yang sudah ada sejak masa Hindu-
Budha dimana tanah ini difungsikan sebagai tanah untuk pendidikan agama
Hindu-Budha pada masa Kerajaan Majapahit, sehingga kedudukan tanah
perdikan ini diberikan hak khusus dalam pengelolaannya serta tidak adanya
pajak untuk tanah perdikan. Tanah perdikan Ponorogo ini muncul dilatar
belakangi faktor politik yaitu sebagai balas jasa atas bantuan Mohammad
Beshari yang membantu dalam perebutan kembali kedudukannya sebagai raja.
Tanah ini diberikan Pakubuwana II sebagai tanda terimakasih juga sebagai
legitimasi kekuasaan di daerah mancanegara. faktor yang berikutnya yaitu
sosial dimana tanah perdikan ini diberikan untuk keperluan pendidikan Agama
Islam sekaligus untuk menjaga ketentraman rakyat dimana pondok pesantren
merupakan sarana pendidikan maka gerak-gerik rakyat dapat diawasi oleh
kerajaan melalui ulama sebagai pemimpin pondok pesantren.

2. Pengelolaan Tanah Perdikan Ponorogo Pada Tahun 1830-1870


a. Pengelolaan Tanah Perdikan Masa Feodalisme
Feodalisme merupakan suatu cara berekonomi atau sistem ekonomi
dimana raja, keluarga raja dan para bangsawan serta penguasa daerah adalah
tuan dan rakyat petani merupakan abdi. Dalam cara berekonomi feodalisme,
alat produksi seperti tanah adalah milik raja dan para bangsawan, bahkan
hidup rakyat juga merupakan milik raja yang dapat dikerahkan tenaganya
untuk kepentingan penguasa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

97

Pengelolaan tanah perdikan Tegalsari ini juga tidak terlepas dari


status kepemilikan tanah. Tanah perdikan ini difungsikan sebagai pondok
pesantren yang tentunya untuk pendidikan Agama Islam bagi masyarakat.
Tanah perdikan ini dalam pengelolaannya terlepas dari segala macam jenis
pajak yang diterapkan untuk tanah-tanah milik kerajaan. Dalam
pengelolaanya tanah ini dijadikan tanah merdeka yang diberikan status
khusus oleh Pakubuwana II pada tahun 1742.

b. Pengolahan Tanah Perdikan Masa Kolonialisme


Penaklukan raja-raja oleh Belanda, sejak zaman Kompeni (VOC)
berarti juga perampasan atas kekuasaan raja. Kekuasaan raja itu ditafsirkan
menurut kepentingan dan tujuan politiknya. Hak raja atas tanah dan tenaga
rakyat seringnya hanya merupakan kekuasaan de jure, sedang kekuasaan de
facto ada pada pegawai-pegawai raja di bawahnya, dan itu ditafsirkan
sebagai kekuasaan yang tidak berbatas. Oleh Belanda dipergunakan sebagai
senjata untuk kepentingan politiknya, dengan alasan sekadar meneruskan
kebiasaan yang sudah berlaku. Tanah milik raja-raja itu jatuh ke tangan
Raja Belanda, dan di Indonesia hal ini diwakili oleh Gubernur Jendral.
Gambaran yang sangat suram akibat tanam paksa juga diperoleh dari
hasil penelitian yang lain, khususnya pada tanaman paksa tarum yang
diproses menjadi indigo yang terjadi di daerah Tegalsari yang diambil pihak
Hindia Belanda kerana tidak adanya hak eigendom dari masyarakat, selain
merusak kesuburan tanah sawah dan sangat banyaknya waktu dan tenaga
dituntut pada kerja-wajib tanam serta pemrosesan indigo, upah tanam yang
mereka sangat kecil.
Tanam paksa ini tampak jelas bahwa ekploitasi Kolonial dilakukan
melalui penguasaan tanah dan tenaga kerja rakyat melalui berbagai tenaga
kerja wajib, tanam pakasa ini juga diterapkan di daerah Tegalsari yang
sudah diambil alih pemerintah Hindai Belanda. Bila dicermati secara
langsung ekploitasi yang dilakukan pihak Hindia Belanda sebenarnya
commit
melalui banyak bertumpu pada to user tenaga kerja. Pada tahun 1840
ekploitasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

98

tanah pertania Jawa yang dipakai untuk tanam paksa adalah 6% (tidak
termasuk tanaman kopi).

3. Transisi Tanah Perdikan Tegalsari Setelah di Berlakukannya UU Agraria


1870
a. Pola Pemilikan Tanah Sebelum Pemberlakuan UU Agraria 1870
Menurut Rouffaer (1931:41) raja adalah pemilik tanah seluruh
kerajaan. Pendapat ini diuraikan lebih lanjut dalam karangannya yang
berjudul “Vorstenlanden”. Dalam pemerintahannya raja dibantu oleh
birokrasi yang terdiri dari sentono dan notoprojo. Para birokrasi ini
mendapatkan gaji berupa tanah yang disebut apanage dan tanah lungguh
atas jasa-jasa yang diberikan.
Pemberian status tanah perdikan ini secara resmi di berikan dari
Pakubuwana II kepada Mohammad Beshari dengan dikeluarkannya dekrit
kerajaan dari Penghulu Ageng di Surakarta, dengan atas nama Raja
Mataram menyatakan bahwa Raja Mataram mengumumkan Tegalsari
sebagai desa perdikan dan mengangkat seorang Ulama Mohammad Beshari
sebagai pemimpin desa Tegalsari (Jajat burhanudin, 2012: 81).
Selain itu, dekrit juga menyebutkan tugas-tugas utama pemegang
jabatan antara lain menciptakan keteraturan sosial dalam kehidupan desa,
mengajarakan ajaran Islam kepada masyarakat dan mengatur
penyelenggaraan tugas-tugas keagamaandan terlibat dalam persoalan
kemasyarakatan yang lain. Tugas-tugas inilah, khususnya yang berhubungan
dengan pengajaran Islam, yang kemudian berkembang menjadi pengajaran
yang terlembaga yang dikenal pesantren. Tegalsari kemudian menjadi
sebuah pesantren terkenal Jawa. survei Belanda tentang pendidikan di
Nusantara pada 1819 menyebut pentingnya Madiun dan Ponorogo, tempat
Pesantren Tegalsari, sebagai salah satu pusat paling penting bagi pengajaran
Islam di mana santri datang untuk belajar pengetahuan tinggi Islam.
Pemilikan tanah perdikan ini diatur dalam dekrit yang menyebutkan
Pondok pesantren Tegalsaricommit to user
Ponorogo ini secara resmi didirikan sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

99

desa perdikan pada masa pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749) di


Kerajaan Mataram. Dekrit kerajaan dari Penghulu Ageng di Surakarta,
Tapsir Anom Adiningrat (atas nama Raja Mataram) menyatakan bahwa
sebagai desa perdikan, dengan mengangkat seorang ulama, Jahya, dan dua
Saudaranya, Kasan Beshari dan Moekibat, menjadi pemimpin desa tersebut.
Menurut Arif (2013: 6) pesantren Tegalsari menjadi rujukan dalam
menuntut ilmu agama para penghulu ataupun kyai yang ada di kaeraton,
salah satunya Qamar menghabiskan masa kecilnya dengan belajar mengaji
al-Qur’an pada sang ayah dan Kiai Mukmin di Kampung Gajahan. Pada
umur 18 tahun dia dikirim sang ayah untuk mengaji di Pesantren Tegalsari,
Ponorogo, yang pada waktu itu diasuh oleh Kiai Abdul Mukhtar.

b. Pola Pemilikan Tanah Setelah Pemberlakuan UU Agraria 1870


Periode setelah berakhirnya perang Jawa (1830) sampai dengan
akhir abad ke XIX merupakan hal paling menarik untuk dikaji, dimana
penjajahan Belanda di Hindia Belanda memasuki tahap ekploitasi besar-
besaran dibidang agraria. Pemikiran Elson yang dikutip Sri Margana
menyebutkan periode setelah berakirnya perang Jawa (1830) sampai dengan
akhir abad XIX sebagai “the age of peasantry” di Jawa (Lembaran Sejarah,
1997: 73). Sistem Tanam Paksa 1830 dan Undang-Undang Agraria 1870
merupakan dua kebijakan kolonial di bidang agraria yang berpengaruh
terhadap kehidupan manusia.
Menurut Moch Tauhid (2009: 31-32) Lahirnya Undang-undang
Agraria tahun 1870 telah memunculkan masalah agraria yang bersifat
dualistis dan sangat ruwet di Indonesia. Hal ini ditandai dengan dengan
adanya beberapa hak:
1. Hak tanah menurut Hukum Barat untuk orang asing, yang diatur dalam
Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) sebagai jaminan
perkembangan modal partikelir asing di Indonsia dengan hak benda
yang kuat.
2. Hak tanah bagi Rakyat commit to yang
Indonesia user berlaku menurut hukum adat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

100

Pola pemilikan tanah perdikan ini sesuai dengan pola pemilikan


tradisional,namun setelah adanya penerapan UU Agraria 1870 pemerintah
Hindia Belanda mulai memperkenalkan adanya sistem kepemilikan pribadi
dimana tanah tidak lagi milik raja, namun tanah dapat di miliki secara
perseorangan dengan pengajuan hak milik atas tanah kepada pemerintah
Hindia Belanda.

4. Relevansi Tanah Perdikan Bagi Pembelajaran Mata Kuliah Sejarah


Agraria
Dalam silabus yang digunakan sebagai bahan untuk penyampaian
materi cakupan untuk mata kuliah Agraria sebagai berikut :
1. Feodalisme, Kolonialisme dan Nasib Petani
2. Pembaharuan Hukum Agraria
3. Dinamika Populismo : Politik Agraria Orde Lama
4. Kebangkitan Otoritarianisme dan Kapitalisme Orde Baru
5. Kebijakan Pertanahan Orde Baru
6. Politik Agraria, Ekonomi Politik, dan Nasib Petani
Dalam pembelajaran Mata Kuliah Sejarah Agraria tanah merupakan
faktor utama untuk dikaji, dalam penyampaian materi ajar sejarah pertanahan
di Indonesia, kebijakan tentang pertanahan, status tanah hingga pola
pengelolaan tanah di berbagai daerah dikaji, hal ini tersusun dalam silabus
sebagai berikut: pertama Feodalisme, Kolonialisme dan Nasib Petani, kedua
Pembaharuan Hukum Agraria, ketiga Dinamika Populismo : Politik Agraria
Orde Lama, keempat Kebangkitan Otoritarianisme dan Kapitalisme Orde Baru,
kelima Kebijakan Pertanahan Orde Baru, keenam Politik Agraria, Ekonomi
Politik, dan Nasib Petani.
Hasil dari penelitian ini terkait dengan point yang pertama dimana
penelitian ini dibatasi waktu yaitu pada tahun 1830-1870, maka penelitian ini
masuk pada masa Feodalisme dan Kolonialisme sehingga penelitian ini terkait
dengan point yang pertama. Peneliti berusaha mengungkap tentang status tanah
perdikan dimulai dari masa pemberian
commit to status
user tanah Tegalsari menjadi tanah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

101

perdikan, kedudukan tanah perdikan pada masa Feodalisme hingga status tanah
perdikan Tegalsari ini setelah diberlakukannya UU Agraria dan Relevansinya
penelitian ini sehingga patut dikaji agar masyarakat luas tahu tentang status
tanah perdikan dan kedudukannya pada masa Feodalisme hingga setelah masa
Kemerdekaan Republik Indonesia. Dan patut untuk dikaji dalam Mata Kuliah
Agraria karean kedudukan tanah perdikan merupakan hal penting dalam
sejarah Agraria di Indonesia khususnya di tanah Jawa.

D. Pembahasan
1. Latar Balakang Munculnya Tanah Perdikan Tegalsari Ponorogo
Menurut De Graaf (2003:248) Pada abad ke XVI mulai berkembangnya
kerajaan Islam di daerah pedalaman Jawa, perkembangan kerajaan ini dampak
dari jatuhnya kerajaan Pajang ditangan Demak. Keberadaan Kerajaan
Mataram Islam secara tidak langsung bedampak pada lapisan masyarakat
bawah yang mulai mengenal ajaran-ajaran Islam, bangunan Islam serta sistem
perpolitikan yang didasarkan pada sistem Islam. Islam pada awalnya dibawa
oleh para ulama pesisir utara pantai Jawa menuju pedalaman Jawa dengan
berbagai cara, contohnya melalui pondok pesantren Agama Islam mulai
berkembang di pedalaman sebagai sarana pendidikan yang bersifat formal.
menurut Jajat Burhanudin (2012:80) Kyai Mohammad Beshari merupakan
pendiri pondok pesantren Tegalsari yang leluhurnya berasal dari daerah pesisir
utara Jawa Timur. Pesantren dalam ranah politik merupakan sarana untuk
mengontrol keadaan sosial lapisan masyarakat kelas bawah. Perkembangan
Islam sangat cepat dengan didorong Islam merupakan agama yang dapat
diterima oleh semua lapisan Mayarakat sehingga tidak mengherankan banyak
masyarakat bawah yang berusaha untuk mendapatkan pendidikan di pondok
pesantren.
Pesantren dipandang sebagai kelanjutan dari bentuk mandala pada
masa Hindu (Moestopo, 2001: 150; Sutjiatining & Kutoyo: 1986:51). Mandala
adalah sebuah asrama bagi para pertapa
commit atau pelajar dari agama siwa yang
to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

102

terletak di tengah-tengah hutan yang dipimpin oleh seorang dewa guru. Tetapi
ada yang berpendapat bahwa kawikuan merupakan prototype pondok pesantren
yang sekarang (Sutjiatiningsih & Kutoyo, 1986: 67). Ampeldenta di Surabaya
dianggap sebagai bentuk pesantren yang telah ada sejak kwartal tiga abad 15
(Sofwan, Wasit, Mundiri, 2000). Pesantren juga ada yang mengidentikkan
dengan tanah perdikan (Fokkens, 1908).
Dewasa ini dikenal istilah pondok pesantren. Dari segi istilah pondok
pesantren berasal dari kata funduq yang berarti asrama, dan shastri yang berarti
orang yang tahu buku-buku suci agama hindu. Dengan demikian pondok
pesantren berarti asrama orang-orang yang tahu buku-buku suci (Sayono,
2001). Dalam arti seperti ini pondok pesantren tidak berbeda dengan pesantren.
Menurut Slamet Muljana dalam Yosephine (2007: 23), Desa Perdikan
sudah ada sejak jaman Majapahit. Dalam Kerajaan Majapahit tanah menurut
Undang-undang Agama (Kitab perundang-undangan Majapahit) Pasal 115
adalah milik Raja. Rakyat hanya mempunyai hak untuk menggarapnya,
memungut hasil, tetapi tidak memilikinya. Hak milik tanah tetap ada pada
Raja. Dalam Negara Kertagama dan pada berbagai prasasti banyak sekali kita
jumpai soal prasasti Desa Perdikan. Raja menghadiahkan kepada seseorang
atas jasanya dengan pikukuh yang berupa piagam. Dalam hal itu orang
menerima anugerah atau hadiah tanah tetapi tidak memiliki tanah yang
bersangkutan. Orang itu hanya mempunyai hak untuk memungut hasilnya.
Keistimewaannya adalah bahwa anugerah itu dibebaskan dari pajak.
Pada paroh pertama abad ke XVII, merupakan tonggak perkembangan
Islam di daerah pedalaman Jawa. perkembangan agama Islam di pedalaman
dapat dilihat dari mulai berrkembangan ajaran-ajaran agama Islam yang mulai
menjamur di dalam pondok pesantren salah satunya pondok pesantren
Tegalsari yang dipimpin Kyai Mohammad Beshari, Tegalsari yaitu sebuah
desa terpencil lebih kurang 10 KM kearah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua
buah sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari
inilah Kyai Besari mendirikan sebuah Pondok yang kemudian dikenal dengan
sebutan Pondok Tegalsari. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

103

Menurut Slamet Untung (2010:218) Pada penghujung abad ke-19,


berbagai macam bentuk penyelenggaraan dan institusi pendidikan Islam seperti
pendidikan dalam bentuk rumah, surau/ langgar, masjid, dan pesantren
sederhana mulai dikenal.Pondok pesantren Tegalsari dalam perkembangannya,
pernah mengalami zaman keemassan berkat kealiman, karisma, dan
kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri yang berasal dari
daerah Ponorogo serta luar daerah Ponorogo datang berduyun-duyun menuntut
ilmu di Pondok ini selain itu juga banyak abdi dalem keraton dan para
pujangga yang menunutut ilmu agama di pondok pesantren Tegalsari ini.
Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena
besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan para
santri juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya desa Jabung (Nglawu)
sebelah utara desa Tegalsari, desa Bantengan, dan lain-lain.
Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang
Pakubuwana II nyatri di Pondok Tegalsari. Pada tanggal 30 Juni 1742, di
Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden
Mas Garendi Susuhunan Kuning, Seorang Sunan keturunan Kerajaan Mataram
Islam yang di asingkan di Semarang. Serbuan yang dilakukan oleh para
pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap
menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama pengikutnya segera pergi
dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu.
Dalam pelariannya itu sampailah kedaerah Tegalsari. Di tengah kekawatiran
dan ketakutan dari kejaran Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buana II
berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa Kartasura ini
selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara itu, Pakubuwana II ditempa dan
dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah; Penguasaa
dari segala penguasa di alam semesta (Jajat Burhanudin, 2012: 81).
Menurut Hasbullah (2009) Pemeluk Agama Islam secara jelas ini dapat
dilihat dalam lapisan masyarakat kerajaan, hampir semua masyarakat dari
lapisan atas sampai lapisan bawah, Raja, Bupati, hingga warga masyarakat
commit
dapat beragama Islam. Pada awal to user
abad ke XIX Islam pada tahap ini sudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

104

menjadi dasar sebuah legitimasi kekuasaan yang mengatasnamakan agama


sebagai dasar kekuasaan Raja yang berkuasa. Raja juga memerlukan pengaruh
peran ulama dalam menjaga hegemoninya sehingga peran para ulama sangat
diperlukan, sehingga ulama diberikan hak atas penggelolaan tanah perdikan
yang nantinya untuk kesejahteraan rakyat yang termasuk di dalam kerajaan.
Tanah yang diberikan kepada Ulama nantinya dibangun sebuah pesantren yang
fungsinya sebagai media pembelajaran agama untuk semua kalangan
masyarakat.
Keadaan awal desa ini merupakan sebuah hutan belantara yang tidak
berpenghuni, awal perkembangan islam pertama bukan di Tegalsari melainkan
di dusun Setono yaitu daerah yang berada di sebelah barat sungai Keyang.
Pada mulanya cikal bakal desa tegalsari berasal dari Setono namun ketika Kyai
Mohammad Beshari menetap diseblah timur sungai Keyang hingga mendirikan
sebuah masjid Jami’ Tegalsari yang masih berdiri kokoh hingga saat ini,
pemindahan pusat pendidikan islam ini didasarkan dengan semakin
berkembangnya pondok pesantren tegalsari mengakibatkan semakin meluasnya
pemukiman yang diperlukan sehingga pembukaan terhadap hutan disebelah
selatan dilakukan. Perluasan lahan ini juga diimbangi dengan pemanfaatan
tanah sebagai faktor utama untuk penghidupan. Para santri yang mondok di
Tegalsari mereka mempunyai kewajiban untuk mengelola tanah milik desa ini
yang statusnya menjadi tanah perdikan setelah piyagem diberikan kepada Kyai
Mohammad Beshari dari Pukubuwana II (sumber: Wawancara Setyawacana 31
Januari 2015).
Peran penting Islam dalam budaya Jawa juga diwujudkan dalam pola
hubungan para raja dengan pesantren, domain para ulama, dalam hal ini, para
raja melepori pembangunan-pembangunan pesantren disejumlah daerah yang
secara tradisional didesain untuk tujuan keagamaan, yang disebut dengan desa
perdikan, desa-desa dibawah kekuasaan kerajaan yang diberi status kusus
dalam fungsi keagamaan dan dibebaskan dari pajak. Desa perdikan memiliki
makna kultural dalam sistem dan politik Jawa. Ulama menjadi satu perhatian
utama Raja dalam menciptakancommit
danto user
mengawal tata negara (njag tata-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

105

tentreming pradja), dalam mana agama memegang peranan penting menjaga


keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos dan karenannya harus
masuk dalam sebuah tujuan pemerintahan. Desa perdikan membentuk
komunitas-komunitas religius dibawah kepemimpinan Ulama, di mana ajaran
Islam diterapkan dan aturan-aturan dibuat. Dengan demikian, desa perdikan
inilah yang menjadi cikal bakal Pesantren Tegalsari mula-mula didirikan (Jajat
Burhanudin, 2012: 80).
Tanah perdikan memiliki kedudukuan yang berbeda dengan tanah
jabatan pada masa feodal. Tanah perdikan merupakan tanah bebas pajak,
dimana segala sesuatu yang berada di dalamnya tidak diwajibkan untuk
menyetorkan pajak kepada penguasa atau raja. Tanah perdikan Tegalsari ini
merupakan tanah merdeka yang hak dan statusnya diakui serta dinyatakan
sebagai tanah yang merdeka dalam segala urusan kerajaan, dengan alasan
bahwa pemberian tanah ini sebagai tempat pendidikan agama Islam untuk
wilayah kerajaan. Pemberian tanah perdikan ini dimaksudkan agar daerah
mancanegara wetan tunduk kepada kekuasaan pusat. Pendirian pondok
pesentren Tegalsari dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk mengawasi
daerah yang jauh dari pusat ibu kota dan mengontrol keadaan, serta sebagai
sarana belajarnya para abdi keraton untuk mengetahui tentang wawasan agama
islam (sumber: Wawancara Bapak Komarudin, 28 November 2014).
Pondok pesantren Tegalsari ini berada di karisidenan Madiun, lebih
tepatnya di daerah Ponorogo. Pondok pesantren Tegalsari Ponorogo ini secara
resmi didirikan sebagai desa perdikan pada masa pemerintahan Pakubuwana II
(1726-1749) di Kerajaan Mataram. Dekrit kerajaan dari Penghulu Ageng di
Surakarta, Tapsir Anom Adiningrat (atas nama Raja Mataram) menyatakan
bahwa sebagai desa perdikan, dengan mengangkat seorang ulama, Jahya, dan
dua Saudaranya, Kasan Beshari dan Moekibat, menjadi pemimpin desa
tersebut (Jajat burhanudin, 2012: 81).
Selain itu, dekrit juga menyebutkan tugas-tugas utama pemegang
jabatan antara lain menciptakan keteraturan sosial dalam kehidupan desa,
commit
mengajarakan ajaran Islam kepada to user dan mengatur penyelenggaraan
masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

106

tugas-tugas keagamaandan terlibat dalam persoalan kemasyarakatan yang lain.


Tugas-tugas inilah, khususnya yang berhubungan dengan pengajaran Islam,
yang kemudian berkembang menjadi pengajaran yang terlembaga yang dikenal
pesantren. Tegalsari kemudian menjadi sebuah pesantren terkenal Jawa. survei
Belanda tentang pendidikan di Nusantara pada 1819 menyebut pentingnya
Madiun dan Ponorogo, tempat Pesantren Tegalsari, sebagai salah satu pusat
paling penting bagi pengajaran Islam di mana santri datang untuk belajar
pengetahuan tinggi Islam (Jajat burhanudin, 2012: 81).
Menurut Schrieke (1985) tanah perdikan memeiliki makna dari kata
merdika= maharddika; dalam kesusteraan Jawa Kuno kata itu setiap kali
dipakai untuk “rohaniawan”. Jadi penggunaan kata merdeka merupakan wujud
sebuah pembebasan, pembebasan yang dimaksud merupakan kebebasan dalam
segala hal (pajak). Bahkan untuk kedudukan tanah berarti tanah memiliki arti
kebebasan sehingga di namakan tanah perdikan dengan kata lain tanah ini
merupakan tanah yang merdeka
Maka tidak mengejutkan jika Pesantren Tegalsari yang dibangun di atas
Tanah Perdikan ini menjadi tempat penting bagi pengajaran Islam untuk elite
politik dan keluarga Kerajaan Mataram. Hal ini juga terjadi atas jatuhnya
kerajaan-kerajaan Maritim, dan berubahnya pengajaan Islam dari Istana ke
pesantren pedesaan Jawa. melalui perkembangan ini, ulama mulai memasuki
periode baru dalam perjalanan sejarahnya. Pesantren mengiringi ulama
menghadapi dan menjadi bagian masyarakat-masyarakat Muslim Pedesaan,
yang pada gilirannya berakibat pada terbentuknya diskursus keislaman yang
berbeda dengan lingkungan kerajaan-kerajaan maritim diwilayah pesisir (Jajat
burhanudin, 2012: 81).
Dalam pengangkatannya sebagai pemimpin Tegalsari, Mohammad
Beshari diminta antara lain untuk memberi perhatian pada kehidupan ekonomi
penduduk desa. Dia di dorong untuk memanfaatkan apa yang ada yang dapat
diberikan tanah desa. Ini memberikan kita kesan kuat tentang keadaan
pedesaan desa perdikan dengan pertanian yang menjadi bagian utama dalam
commit
kehidupan perekonomian. Kondisi ini to user lebih jelas melaui sebuah surat
menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

107

yang secara khusus dikirim kepada Kasan Beshari, dimana diminta untuk
menyelesaikan sejumlah persoalan tentang warisan (mawaris) dalam
masyarakat, salah satu persoalan utama dalam kehidupan ekonomi pedesaan
(Jajat burhanudin, 2012: 82).
Hal yang menarik di dalam piyegem tanah perdikan ini disebutkan
tentang tugas-tugas, kedudukan tanah perdikan ini juga ada hal yang berbeda,
seperti Zaman Hindu. Ulama tidak hanya diberikan kebebasan dari pajak-pajak
dan kerja rodi untuk disetorkan ke kerajaan. Tetapi juga hak-hak istimewa
mengenai pakaian, payung dan keris (Schrieke, 1985: 27).
Harus disebutkan disini bahwa desa perdikan, secara geografis
pesantren dibangun dengan merujuk kepada sistem tradisional penguasaan
tanah di Jawa, dimana desa ditentukan bukan oleh batas-batas geografis,
melainkan populasi, tepatnya keluarga petani (cacah), yang menetap didesa
tersbut. Jumlah pasti dari cacah di desa perdikan sulit ditemukan. Satu-satunya
penjelasan yang ada berasal dari beberapa daerah di Jawa pada abad ke XVII
seperti Kediri, Ponorogo, Pacitan, Kartasura, dan Lowanu dimana dikatakan
bahwa jumlah cacah cukup beragam, berkisar 3000 samapi 12000 (Jajat
Burhanudin, 2012: 84).
Menurut Schrieke (1985) disebutkan bahwa kelanjutan dari pemberian
tanah perdikan dapat dilihat juga dari penggantian menteri pengawas wilayah-
wilayah bebas dengan Penghulu Kepala Surakarta. Bahkan dimana ada tanah
perdikan Islam, mula-mula tanah tersebut terdapat komunitas agama Budha
atau agama Hindu yang sudah ada sebelum Islam datang diwilayah pedalaman
Jawa.
Dengan demikian desa perdikan telah menciptakan suatu komunitas
pedesaan dan agarikultur, tepatnya sawah menjadi sumber utama kehidupan
ekonominya. Dalam situasi inilah Mohammad Beshari terlibat dalam
pembangunan pesantren Tegalsari serta dalam penerjemahan Islam ke dalam
kerangka pandangan sosial kulural masyarakat desa tersebut. Kondisi ini
membuat ulama menjadi elite sosial yang dihormati. Didukung oleh
commit to user
superioritas mereka atas pengetahuan Islam, posisis sebagai kepala desa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

108

memberi ulama sumber-sumber otoritas untuk terlibat dalam persoalan-


persoalan keagamaan dan sosial di desa (Jajat Burhanudin, 2012: 84).
Menurut Schrieke (1985) disebut bahwa kedudukan tanah-tanah
perdikan ini digunakan untuk tujuan politik dengan kata lain pemberian tanah
perdikan ini dimaksudkan bahwa, raja langsung mengontrol tanah perdikan ini,
karena kedudukan tanah perdikan tidak dapat dilimpahklan kepada bupati dan
hanya langsung berurusan kepada raja yang berkuasa. Dalam pandangan
masyarakat, ulama pondok pesantren merupakan sosok pemimpin desa yang
hidupnya didasarkan ajaran Agama Islam, dan pola penghidupannya ulama ini
merupakan orang yang kaya, yaitu sebagi petani yang dikatakan bukan petani
penggarap melainkan petani yang memiliki sawah namun hanya mengerjakan
kepada warga masyarakat. Kedudukan sebagai ulama ini jiga merupakan
kedudukan yang sangat dihormati oleh masyarakat namun kehidupannya
sosialnya seperti masyarakat desa lainnya (Jajat Burhanudin, 2012: 85).
Keterlibatan ulama dalam kehidupan ekonomi pertania ini juga
dibuktikan oleh Mohammad Beshari, dimana berdirinya pesantren menandakan
munculnya ulama sebagai elite pedesaan. Baik dalam kaitan agama maupun
sosio-ekonomi. Dari posisi yang sangat terhormat sebagai guru agam di
pesantren Mohammad Beshari juga terlibat dalam beragam aktifitas ekonomi
berbasis tanah. Pada abad XIX kebanyakan ulama, terutama Mohammad
Behari merupakan pemilik tanah terkemukan, yang juga terlibat dalam bisnis
peminjaman uang (money lending), dan pada saat bersamaan mengajarkan
Islam di pesantren. Kedudukan ini tidak hanya membuat mereka menjadi
independen secaraekonomi, tapi juga memberi mereka wewenang atas
pertanian, yang menghantarkannya memiliki posisi politik yang kuat di
pedesaan (Jajat Burhanudin, 2012: 85).
Keberadaan tanah perdikan Tegalsari mulai mengalami pergeseran
ketika sistem Tanam Paksa dan Undang-Undang Agraria 1870 diterapkan di
Tanah Jawa, hal ini dibuktikannya dengan pengurangan jumlah tanah perdikan
ini. Pengurangan tanah ini didasarkan atas dasar hak Eigendom (atau hak atas
commit
kepemilikan tanah). Terlebih lagi to UU
ketika userAgraria 1870 ini diterapkan status
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

109

tanah perdikan mulai tidak nampak sebagai tanah yang istimewa, dimana para
pemodal asing berusaha menanamkan modalnya di daerah perdikan Tegalsari.
Di desa Perdikan Tegalsari, ulama mendirikan pesantren yang terdiri
dari sebuah masjid, sebuah rumah untuk keluarganya serta asrama bagi para
santri dipesantren tersebut. Dipesantren ulama mengajarkan Islam kepada para
santri seputar pelajaran-pelajaran yang berhubungan dengan praktik-praktik
ritual, bahasa Arab, teologi, dan sufisme. Di bawah pengawasan ulama para
santri mebaca buku-buku agama (kitab) yang digunakan di pesantren, yang
dengannya ajaran Islam di transmisikan dari ulama ke para santri. Di dalam
pesantren ulama menentukan hampir semua aspek kehidupan, dan para santri
hampir secara total mengikuti ulama. Dengan demikian, melalui pesantren
inilah otoritas ulama dibangun yang membuat mereka memperoleh posisi kuat
sebagai pemimpin masyarakat bagi kaum Muslim yang tinggal di pedesaan
(Jajat Burhanudin, 2012: 85).
Faktor-faktor seperti misalnya fungsi subtensi tradisional dalam
produksi padi (yaitu keengganan untuk memaksimalkan produksi) diiringi oleh
tekanan kuat untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin orang dalam proses
produksi, suatu sikap yang didasarkan pada pandangan magis-religius tatanan
sosio-ekonomi orang Jawa cenderung menghalangi cara-cara bercocok tanam
yang lebih efisien dan rasional. Memang pada saatnya, sikap tersebut hampir
diterima secar membabi buta berdasarkan hasil dari penelitian didapatkan
penjelasan sebagai berikut:
Perubahan-perubahan nampaknya sedikit dan perlahan-lahan dalam
bidang teknologi, organisasi perekonomian dan peralatannya, juga dalam
sistem produksi, permodalan, pemasaran dan pembelian didesa. Proses
pembagian tanah kedalam kepemilikan yang semakin menyempit nampak
berjalan terus karena keturunan yang bersaudara yang mewarisi tanah lebih
suka untuk membaginya ke dalam bagian-bagian yang sama besarnya daripada
mengerjakan bersama dan membagi hasilnya dan karena jumlah penduduk
selalu bertambah. Bahkan pejabat desa mengatakan bahwa anak akan lahir
commit
dengan pesat namun tanah luasnya to user
tetap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

110

Tetapi tidak boleh dilupakan bahwa politik kolonial Belanda juga


cenderung untuk membiarkan petani Jawa sebagian tetap berpegang pada
proses produksi tradisional yang bersifat komunal. Walaupun respon
masyarakat Jawa besar terhadap kesempatan-kesempatan kerja baru
berdasarkan upah uang.
2. Pengelolaan Tanah Perdikan Ponorogo pada tahun 1830-1870
a. Pengelolaan Tanah Perdikan masa Feodalisme
Menurut Noer Fauzi (1999: 15), pengelolaan tanah perdikan pada
tahun 1830-1870 ini juga didasarkan atas dasar kebutuhan rakyat dan bahan
pokok untuk pondok pesantren, serta untuk menghidupi pondok pesantren
itu sebagai pusat agama. Pengolahan tanah ini sama seperti pengolahan
tanah komunal dimana tanah ini digarap secara bersama. Dan tanaman yang
ditanampun sama seperti tanah yang lain hanya perbedaan yang mencolok
adalah hak atas tanah ini bebas pajak.
Menurut Noer Fauzi (1999: 17), feodalisme merupakan suatu cara
berekonomi atau sistem ekonomi dimana raja, keluarga raja dan para
bangsawan serta penguasa daerah adalah tuan dan rakyat petani merupakan
abdi. Dalam cara berekonomi feodalisme, alat produksi seperti tanah adalah
milik raja dan para bangsawan, bahkan hidup rakyat juga merupakan milik
raja yang dapat dikerahkan tenaganya untuk kepentingan penguasa.
Menurut Rouffaer (1931:41), dalam sistem Feodalisme (Kerajaan),
raja sepenuhnya menguasai tanah. Karena Raja adalah wakil Tuhan di muka
bumi ini. Bahkan raja juga bisa menggunakan dan memanfaatkan petani
untuk kepentingan dan kehormatannya. Pada masa itu, raja menyerahkan
tanah kepada keluarga istana atau pegawainya, keluarga raja atau para
bangsawan tersebut kemudian menyerahkan penggarapan tanah kepada
petani, dan petani memberikan upeti hasil penggarpan tanah kepada para
apanege dan bekel lalu dari apange dan bekel menyerahkan kepada raja dan
keluarganya di istana. Kelak dalam perkembangannya metode tersebut
diadopsi oleh Raffles dengan mengeluarkan kebijakan landrente atau sistem
sewa tanah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

111

Pengolahan tanah perdikan ini tidak seperti pengolahan tanah yang


lain dimana jika tanah yang lain dikelola maka kebanyakan milik priyayi hal
ini terpisah jauh dari produksi dan tidak dapat menghargai tanah semestinya
adanya atau tidak mempunyai pengertian tentang hak-hak milik atas tanah,
mungkin tidak demikian hanya dengan kaum petani. Seorang petani
menggarap tanah dan penghidupannya utamanya diperoleh dari situ.
Bagaimana lekatnya seorang petani kepada tanah dapat dilihat dari istilah-
istilah yang petani kaitkan kepada cara-caranya menguasai tanah dan
mengelolanya. Petani menamakan tanah itu tanah pusaka (heirloom land)
dan tanah yasa (self developed land).
Sebab itu perbedaan kelas antara kaum petani didasarkan atas cara ia
menguasai tanah. Petani penguasa tanah tersebut disebut sikep (mereka
yang memeluk atau menanggung beban tanah). Petani sikep mempunyai
numpang (tanggungan) juga disebut bujang (belum menikah) yang
merupakan lapisan terendah dalam lingkungan desa. Dalam hal makan dan
tempat tinggal petani numpang tergantung sepenuhnya kepada sikep kepada
siapa ia mempersembahkan seluruh pekerjaannya.
Dalam konsep hukum adat “ hubungan manusia dengan tanahnya
sangat ditentukan oleh intensitas penggunaan atau penggarapan manusia
atas tanah tersebut”. Semakin intens penggarapan makin kukuh pula
hubungan antara manusai dengan tanahnya, sehingga semakin kukuh pula
penguasaan atas tanah tersebut. Penguasaan dan pemilikan tanah secara
induvidual diperoleh dengan membuka tanah. Hak milik untuk menguasai
tanah berawal dan bersumber dari kerja seseorang membuka tanah yang
sebelumnya tak tergarap. Setiap orang yang diperbolehkan membuka tanah
liar (kosong) dan membuka hutan, maka setiap orang tersebut diperbolehkan
mempunyai hak milik atas tanah, terutama untuk daerah Jawa Timur, Jawa
Tengah dan Jawa Barat.
Dalam konsep hukum adat, maka tumbuh berkembang dan
menyusutnya hak milik tergantung pada interaksinya dengan hak ulayat.
commit
Makin kaut hak milik maka to user
makin lemah hak milik ulayat (umum),
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

112

sebaliknya makin kuat hak ulayat maka makin mengecil intensitas hak
milik. Konsep hak milik berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Belanda mendasarkan pengertiannya pada personifikasi pemilikan tanah
sebagai awal pemilikan yang berada ditangan penguasa pemerintahan.
Di daerah agraris tanah sudah barang tentu merupakan alat produksi
yang utama maka tidak mengherankan apabila para penguasa cenderung
untuk mengontrol pemakaian tanah tersebut. Struktur feodal sangat kuat di
wilayah kerajaan yang desposit dan yang telah berjalan beberapa abad. Raja
pada dasarnya mempunyai dua jenis hak atas tanah yaitu: yang pertama,
dapat disebut hak politik atau hak publik sebab hak ini menetapkan batas-
batas daerah yang boleh diataur, daerah tempat raja menjalankan keadilan
dan pertahanan dari serangan musuh. Yang kedua adalah hak raja yang lebih
berkenaan dengan tanah yaitu hak untuk mengaturhasil tanah sesuai dengan
adat. Dasar dari hak pengaturan ini nampaknya terdapat dalam adat
kampung yang telah lama (patron), yaitu bagi hasil tanah menjadi setengah
untuk penggarap dan setengah untuk orang yang mempunyai hak memetik
hasil.
Pengelolaan tanah perdikan pada era tahun 1830-1870 ini mengacu
pada sistem yang ada di kerajaan dimana seseorang yang diberikan hak
tanah perdikan ini diberikan otonomi kusus di dalam keraton itu untuk
mengatur dan mengelolanya sendiri sesuai dengan kebutuhan atas desa itu.
Desa perdikan ini juga memiliki hak istimewa dimana tanah ini tidak harus
menyerahkan pajak kepada keraton. Desa perdikan ini juga memiliki
keistimewaan tersendiri dikarenakan daerah ini bebas membangun apapun
diatasnya.
Pengolahan tanah perdikan masa 1830-1870 sangatlah bebas dari
pemerintahan Belanda yang mana di daerah Tegalsari ini tidak pernah
merasakan adanya kerja wajib untuk masyarakat sekitarnya pada tahun yang
bersamaan. (Hasil wawancara dengan Bapak Syamsudin selaku ahli sejarah
desa Tegalsari, 28 November 2014). Segala sesuatu yang menyangkut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

113

Tegalsari ini kedudukannya berada dibawah kekuasaan keraton atau masuk


daerah Vorstenlanden. Yang mana segala urusan adalah ketentuan keraton.

Tabel 4.6 Jenis Tanah dan Status Kepemilikan

No Jenis Luas (Ha) Penguasaan dan Penggunaan

1 Tanah Sawah 164, 5 Kesemua Tanah dikuasai desa dan


kepemilikan Tanah tercantum di Desa
Tegalsari
2 Tanah Pekarangan 38, 5 Kesemua Tanah dikuasai oleh :
a. Ahli Waris.
b. Bukan Ahli Waris.
Digunakan untuk perumahan dan
pemukiman
3 Lai-lain 2 Digunakan Untuk fasilitas Umum
Sumber Data : Kantor Desa Tegalsari Kabupaten Ponorogo Tahun 2014

Namun dari data diatas dapat kita lihat bahwa penggunaan tanah
perdikan ini berdasarkan peraturan desa, dan kepemilikan atas tanah bekas
desa perdikan ini tercantum dalam Badan Pertanahan Nasional. Sehingga
fungsi, kepemilikan dan pengelolaan tanah yang sekarang sudah sama
seperti tanah-tanah yang lainnya dimana tidak memiliki hak istimewa lagi
seperti dahulu ketika Undang-Undang Pokok Agraria belum diterapkan.
Kepentingan dalam penguasaan tanah ini dipicu untuk kepentingan
secara bersama, kepemilikan tanah dan faktor kepentingan untuk
mengembangkan pondok pesantren serta untuk menghidupi pondok
pesantren, ulama yang sabagi penguasa tanah ini berhak mengatur dan
mengelola tanah ini secara maksimal atas tanah perdikan yang diberikan
kepadanya. Dimana tidak ada sistem apanage dan bekel maka hal ini
membuat sistem pengolahan tanah ini menjadi tanah yang bebas
menerapkan pengolahan dan tidak ada pembatasan jumlah hasil produksi
dari tanah tersebut. Mengakibatkan pengolahan yang terjadi secara bersama
commitpenggarapan
karena dalam pemikiran dahulu to user tanah bersama hal ini akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

114

membuat hubungan satu sama lain akan semakin erat. Makin kaut hak milik
maka makin lemah hak milik ulayat, sebaliknya makin kuat hak ulayat maka
makin mengecil intensitas hak milik.

b. Pengolahan Tanah Perdikan Masa Kolonialisme


Penaklukan raja-raja oleh Belanda, sejak zaman Kompeni (VOC)
berarti juga perampasan atas kekuasaan raja. Kekuasaan raja itu ditafsirkan
menurut kepentingan dan tujuan politiknya. Hak raja atas tanah dan tenaga
rakyat seringnya hanya merupakan kekuasaan de jure, sedang kekuasaan de
facto ada pada pegawai-pegawai raja di bawahnya, dan itu ditafsirkan
sebagai kekuasaan yang tidak berbatas. Oleh Belanda dipergunakan sebagai
senjata untuk kepentingan politiknya, dengan alasan sekadar meneruskan
kebiasaan yang sudah berlaku (Mochammad Tauhid 2009:19).
Intervensi kolonial terhadap kekuasaan politik dan potensi ekonomi
semakin meningkat di wilayah kekuasaan raja. Terutama hal ini dipicu oleh
semakin banyak investasi modal di bidang agraria oleh para pengusaha
kapitalis Eropa, yang dilakukan melalui kontrak sewa tanah tanah
perkebunan dari para bangsawan Jawa. Proses tersebut berlangsung bersama
dengan kedatangan orang-orang Eropa dan orang asing lainnya yang
bermukim di Vorstenlanden. Mereka tinggal dan berusaha di wilayah
kekuasaan raja-raja Jawa dan memiliki kepentingan ekonomi di sana.
Menurut Ibnu Qoyim (1997: 37), sejak berbagai kepentingan orang-
orang Eropa itu masuk ke dalam pergaulan orang-orang Jawa ditingkat
pedesaan, pergeseran-pergeseran sosial budaya pun segera terjadi. Pada
awalnya, perubahan itu muncul melaui sektor ekonomi, perdagangan, dan
selanjutnya merambah ke sektor politik pemerintahan, kemudian masuk lagi
dalam kehidupan sosial budaya, dan tidak ketinggalan pula kehidupan
kagamaan.
Dari apa yang dilakukan oleh pihak Belanda terhadap masyarakat
Jawa, ada empat tahapan dalam melakukan usaha pergantian dari mayarakat
commit
feodal tradisional menuju ke to userkolonial modern. Tahap pertama,
mayarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

115

merebut dan menguasari pasar perdagangan; tahap kedua, mulai 1800-an


membentuk pusat pemerintahan kolonial dan melakukan (melaksanakan)
program tata bumi hingga tahun 1830-an; tahap ketiga, menerapkan
program sistem tanam paksa sampai dengan tahun 1870-an; dan tahap
keempat, mulai melaksanakan politik kolonial modern (Ibnu Qoyim, 1997:
38).
Pemerintahan Raffles memperkenalkan adanya domein theory, yang
menyatakan bahwa semua tanah yang ada di Hindia Belanda adalah milik
raja. Atas dasar teori itu pemerintah Inggris sebagai pengganti Raja
Mataram memberlakukan sistem penarikan pajak (landrente) dengan asumsi
bahwa rakyat adalah penyewa sedangkan pemilik tanah adalah pemerintah
kolonial. Usaha Raffles tidak berlangsung lama (1811-1816) karena
pemerintahan Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan.
Pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia sebagian besar
dilakukan di daerah Jawa, untuk di daerah luar Jawa hanya sebagian kecil
saja. Di daerah Jawa pelaksanaan tanam paksa terutama dilakukan di daerah
yang langsung ada di bawah pemerintahan administratif Hindia belanda,
yaitu daerah “Gubernemen” dengan pengecualian daerah Batavia, Bogor
dan daerah tanah partikelir dan daerah praja kejawen (Vorstenlanden) yaitu
daerah Surakarta – Jogjakarta tidak terkena pelaksanaan sistem tanam paksa
yang berlaku adalah sistem persewaan (Sartono Kartodirdjo-Djoko Suryo,
1987 : 57).
Kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) dan sistem pajak yang
diterapkan Van den Bosch sejak tahun 1830 menyebabkan perubahan besar
dalam kehidupan masyarakat. Kebijakan ini memaksa petani untuk
menanami seperlima tanahnya dengan tanaman-tanaman yang ditentukan
oleh pemerintah. Mereka juga dipaksa melakukan bentuk-bentuk kerja wajib
sebagai ganti pajak yang seharusnya dibayarkan kepada negara. Bentuk-
bentuk pemaksaan dan pemungutan yang sangat eksploitatif dianggap
merusak sistem pemilikan tanah di desa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

116

Dalam upaya menjangkau masyarakat pedesaan penguasa kolonial


harus menggunakan kaki tangan yang berupa penguasa tradisional. Mesin
birokrasi tradisional itu meskipun beberapa pejabat kolonial menilai sebagai
eksploitatif namun sangat efisien bagi kebijakan kolonial yang bertujuan
untuk mengeksploitasi Tanah Jajahan. Sebaliknya para penguasa tradisional
feodal terpaksa berkolaborasi dengan penguasa kolonial untuk
melanggengkan posisi mereka sebagai pemegang kekuasaan dengan hak-
hak istimewa yang secara tradisional mereka nikmati (Rouffaer, 1989).
Pergantian pemerintahan Belanda dari tangan kaum konservatif ke
tangan kaum liberal berpengaruh pada kebijakan pertanahan yang
diterapkan di Hindia Belanda. Peran negara di sektor pertanian digantikan
oleh swasta pemilik modal (Miftah, 2013: 1).
Perubahan status tanah ini sangat terlihat dari jumlahnya yang
dahulunya luasnya mencapai dalam satuan cacah dari 3000-12000, ketika
penerapan UU Agraria ini penyusutan tanah perdikan ini lebih dari separo
bagian hilang demi kepentingan Hindia Belanda yang difungsikan untuk
tanam paksa, namun setelah pemerintah kolonial ini mengambil alih atas
sebagian tanah perdikan hal ini berubah atas kepemilikan tanah ini menjadi
tanah negara dan hak atas tanah tersebut dapat disewakan kepada pihak
swasta guna untuk kepentingan ekonomi kolonial.
Menurut Van Vollenhoven dikutip Soemarsaid Martono (1985: 135),
dalam pengertian kepemilikan tanah tradisional mengatakan bahawa raja
tidak memiliki tanah dalam pengertian sebagai hak milik pribadi. Raja
hanya mempunyai hak atas sebagian dari hasil tanah yang dapat diserahkan
pengolahannya kepada pemeberi modal (pengontrak), sebab bagaimanapun
sewenang-wenangnya tindakan seorang raja, dalam melaksanakan hak atas
tanah, petani yang menggarap tanah selalu mendapat bagian yang besar.
Menurut Rochat Kresnowati (2003:23) hak tanah yang diberikan
oleh raja atau penguasa setempat kepada para pejabatnya sebagai
pembayaran upah dan juga sebagai sarana bagi pembiyayaan tugas mereka,
commit(apanage)
harus dibedakan anatara lungguh to user dan bengkok atau catu (tanah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

117

untuk gaji) serta tanah perdikan sebagai tanah merdeka guna kepentingan
umum (agama). tanah“lungguh” sebagai daerah diserahkan dan yang
menerima penyerahan mempunyai hak atas keuntungan dari tanah itu dari
penduduk; dari sini raja dapat menarik keuntungan-keuntungan (pajak, jasa-
jasa, penghasilan dari daerah milik sendiri), tetapi raja tidak memiliki hak
atas tanah itu sendiri. Tanah bengkok atau tanah gaji adalah sebidang tanah
garapan dari sebagian tanah raja yang diserahkan kepada seorang pejabat,
keluarga atau seorang yang disenangi. Dan tanah perdikan ini juga
merupakan tanah yang diberikan raja kepada seseorang yang berjasa
kepadanya atau tanah perdikan ini diberikan kepada seseorang untuk
kepentingan pendidikan agama. Tanah itu di kerjakan dengan sistem
tradisionnal (pasproto/kloso gumelar) untuk kepentingan orang yang diberi
hadiah. Untuk tanah lungguh dan bengkok ini merupakan tanah gaji, namun
untuk tanah perdikan merupakan tanah pemberian yang terbebas dari pajak.

3. Transisi Tanah Perdikan Tegalsari Setelah di Berlakukannya UU Agraria


1870
a. Pola Pemilikan Tanah Sebelum Pemberlakuan UU Agraria 1870
Pada hakekatnya tanah diseluruh kerajaan adalah milik raja. Secara
mutlak raja adalah pemilik semua tanah. Hal ini didukung oleh teori milik
raja (Vorstendomein) Rouffaer bahwa raja adalah pemilik tahan seluruh
kerajaan dan dalam pemerintahannya raja dibantu oleh para birokrat yang
terdiri dari sentana dan narapraja. Mereka diangkat oleh raja berdasarkan
orientasi kepada status dan askripsi.
Menurut Yosephine (2007: 23), Proses terjadinya Desa Perdikan
adalah karena pengaruh Raja terhadap Hukum Adat. Pengaruh Raja-raja
terhadap Hukum Adat ada dua macam yaitu:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

118

1. Pengaruh Raja yang merusak.


Ini terutama menimpa persekutuan-persekutuan hukum yang
terletak di wilayah sekitar pusat kerajaan, dilingkungan wilayah
kediaman Raja-raja dan kaum bangsawan (negaragung). Pengaruh itu
berupa:
a. penggantian kepala-kepala persekutuan.
b. pengambilalihan tanah persekutuan hukum oleh raja.
c. Pemberian hak kepada wangsa atau pegawai raja untuk
memungut pajak persekutuan-persekutuan hukum, yang
sebenarnya harus dipungut oleh Raja (lungguh, apanage). Sistem
apanage ini mendesak hak ulayat dan hak milik perorangan.
Sesudah sistem ini hapus, hak-hak yang terdesak itu
berkembang kembali.
2. Pengaruh raja yang memperkuat.
Pengaruh ini bermanifestasi dalam:
a. penguatan susunan organisasi persekutuan-persekutuan hukum
yang terletak di luar wilayah negaragung, dilingkungan periferi
kerajaan jauh dari wilayah kediaman Raja-raja (mancanegara),
agar kewajiban menyetor pajak dan mengerahkan tenaga pekerja
(untuk keperluan”kerig aji”) dapat ditunaikan sebaik-baiknya.
b. pembentukan “Desa Perdikan”. Apabila dikaitkan dengan
keadaan di desa Tegalsari yang merupakan bekas Desa Perdikan
maka desa tegalsari terjadi karena pengaruh Raja Mataram Islam
(Pakubuwana II).
Dari uraian tersebut diatas, bahwa dilihat secara teori bekas Desa
Perdikan Tegalsari merupakan tanah Swapraja. Tanah ini biasanya
digunakan untuk kepentingan umum.
Hak-hak atas tanah menurut hukum adat bentuknya bermacam-
macam tergantung pada berlakunya adat dari masing-masing daerah.
Indonesia terdiri dari banyak pulau-pulau yang masing-masing mempunyai
commitsatu
adat sendiri-sendiri dan yang to user
dengan yang lainnya mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

119

perbedaan pula. Menurut Van Vollenhoven dalam Yosephine (2007: 23),


seorang ahli hukum adat kebangsaan Belanda yang banyak menulis tentang
kebudayaan dan pola-pola kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia
menyebutkan bahwa: “Indonesia nterdiri dari sembilan belas lingkungan
hukum adat, secara garis besar ada juga persamaan-persamaan antara
masing-masing lingkungan adat”.
Adapun macam-macam tanah menurut hukum adat adalah sebagai
berikut:
a. Hak ulayat
Ialah hak desa adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dalam
lingkungan, buat kepentingan anggota atau untuk kepentingan orang
lain dengan membayara kerugian kepada desa, dalam hal mana desa
itu sedikit banyak turut campur dalam pembukaan tanah itu dan turut
bertanggungb jawabterhadap perkara-perkara yang terjadi di situ yang
belum dapat diselesaikan.
b. Hak milik dan hak komunal
Hak milik itu dapat dipandang sebagai hak tanah, dimana
memberikekuasaan kepada yang memegang untuk memperoleh hasil
sepenuhnya dari tanah itu dan mempergunakan tanah dengan
memperhatikan peraturan-peraturan hukum adat setempat dan
peraturan dari pemerintah. Orang yang mempunyai hak milik dapat
bertindak menurutkehendaknya sendiri asal tidak melanggar hukum
adat setempat dan tidak melampaui batas-batas yang sudah ditentukan
oleh pemerintah.
c. Hak Agraricsh Eigendom
Seseorang yang memegang hak ini dapat mempengaruhi status di atas
tanah yang bersangkutan, karena dipengaruhi asas tanah antar
golongan. Tanah ini dapat berubah status karena terpengaruh oleh
status orang yang memegangnya, hal ini dapat dilihat jika hak
agraricsh eigendim ini jatuh kepada orang Indonesia dengan hak milik
commit
atas permintaan yang dapat to user dengan hak agraris eigendom.
diberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

120

Perubahan atas pemilikan atanah dalam hak tersebut di atas harus diajukan
kepada presiden landrad di mana letak tanah yang bersangkutan berada,
berkenaan dengan itu perlu diperhatikan surat ukur tanah atau surat
transaksi bilamana tanah yang bersangkutan tidak dikenai pajak bumi.
Dari macam tanah yang ada berdasarkan kepemilikan secara adat ini
mempertegas bahwa tanah yang ada di masyarakat sebelum ada campur
tangan pemerintah kolonial ini bahwa tanah yang ada ini diatur oleh
kekuasaan raja yang diberikan kepada penguasa daerah atau desa untuk
mengelolanya yang dapat diwariskan secara turun temurun atau berdasrakan
kesepakatana masyarakat tersebut, serta luas untuk daerahnya masih
menggunakan satuan tradisional, biasanya jung.

b. Pola Pemilikan Tanah Sesudah Pemberlakuan UU Agraria 1870


Melalui Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) yang dikeluarkan
tahun 1870 para pemodal asing memiliki kesempatan luas untuk
mengusahakan perkebunan di Indonesia. Pemerintah kolonial menetapkan
asas Domein Verklaring yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak
bisa dibuktikan sebagai eigendom (milik) seseorang dianggap sebagai
domein atau milik negara. Aturan ini diterapkan agar pemerintah kolonial
dapat memiliki tanah rakyat yang pada waktu itu hampir seluruhnya masih
menerapkan sistem hukum adat. Pemilikan atas tanah berdasarkan sistem
adat tidak menyamai hak eigendom sehingga tanah adat menjadi tanah
negara dan nantinya secara leluasa dapat disewakan kepada pengusaha
perkebunan yang membutuhkan. Dalam hal ini pemerintah kolonial dengan
kekuatan modal yang sedang berkembang berusaha menyingkirkan petani
dari sumber penghidupannya (Noer Fauzi, 1998: 35).
Hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi
yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Secara
terperinci berdasarkan Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarisch Wet,
1870), hak tanah dijelaskan (Noer Fauzi, 1998: 35).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

121

a. Hak Eigendom
Hak Eigendom diberikan kepada orang asing untuk selam-lamanya
guna keperluan perluasan kota atau mendirikan perusahaan kerajinan.
Tanah yang termasuk hak eigendom ini hanyalah tanah yang ada
didalam lingkungan kota saja dan tempat-tempat yang dipandang
perlu. Luasnya tidak boleh melebihi 10 bau, tanah hak eigendom tidak
termasuk milik negara, jika ingin memiliki tanah eigendom ini bisa
didapat dengan jalan membeli dari tanah rakyat Indonesia, meskipun
penjualan tanah ini dilarang, tetapi jual beli tanah ini dilkukan dengan
jalan tidak langsung, yaitu kalau seseorang pemilik tanah melepaskan
haknya, maka tanah itu diambil alih negara. Dari sisi negara berhak
menjual tanah kepada orang asing dengan hak eigendom.
b. Hak Erfpacht
Hak Erfpacht adlah hak untuk menggunakan tanah-tanah milik orang
lain dengan kewajiban membayar pajak atau sewa tiap tahun keoada
pemilik tanah, baik berupa uang maupun penghasilan. Hak Erfpacht ini
merupakan hak yang sangat dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan
perkebunan swasta asing. Hak Erfpacht berarti juga hak sewa turun-
temurun, menjadi apabila pemegang hak Erfpacht meninggal dunia,
hak ini tetap berlaku dan beralih kepada pewarisnya. Tanah hak
Erfpach memiliki tiga macam yaitu:
1) Untuk Pertanian dan Perkebunan Besar
2) Untuk Pertanian dan perkebunan Kecil
3) Untuk mendirikan pekarangan atau rumah peristirahatan
c. Hak Sewa
Tanah dengan hak sewa diperlukan untuk pengusahaan jenis-jenis
tanaman semusim seperti tebu, tembakau dan nila. Disamping karena
umurnya yang pendek, untuk tanaman0tanaman ini secar teknis
dikehendaki tempat yang tidak terus menerus menetap tiap-tiap
musim. Di anatar berbagai macam undang-undang sewa tanah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

122

d. Hak Konsesi
Hak Konsensi diberikan dengan maksud untuk memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada kaum modal untuk menanmkan
modalnya dilapangan pertanian dengan mendapatkan tanah seluas-
luasnya. Dalam banyak sistem tanah konsesi, ada tanah dipinjamkan
pada penduduk yang tempat tinggalnya diwilayah konsesi, dimana
menurut ketentuan kontrak 1878 ada seluas 4 bau (2,84 ha) untuk
setiap penduduk.
Menurut Ririn Darini (tanpa tahun: 1) Dalam masyarakat agraris
tanah mempunyai arti yang sangat penting, baik sebagai sumber
penghidupan maupun sebagai penentu tinggi rendahnya status sosial dalam
masyarakat. Tanah mencerminkan bentuk dasar kemakmuran sebagai
sumber kekuasaan ekonomi dan politik, serta mencerminkan hubungan dan
klasifikasi sosial. Falsafah Jawa sadhumuk bathuk sanyari bumi, yen perlu
ditohi pati menunjukkan betapa eratnya hubungan antara manusia dengan
tanah yang dimilikinya. Setiap jengkal tanah merupakan harga diri yang
akan dipertahankan mati-matian dengan seluruh jiwa raga. Konflik
perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu terjadi selama tanah masih
menjadi sumber kehidupan masyarakat. Hal ini terbukti sampai saat ini
masalah tanah masih saja menjadi persoalan yang seringkali memunculkan
perlawanan rakyat. Bentuk perlawanan yang dilakukan juga bermacam-
macam, baik bersifat individual maupun kolektif, hanya sekedar berunjuk
rasa atau bahkan melakukan pemberontakan.
Menurut Ririn Darini (tanpa tahun: 2) Salah satu bentuk perlawanan
petani yang bersifat tersembunyi dan diam-diam disebut James Scott2
sebagai bentuk perlawanan sehari-hari (everyday forms of resistance).
Perlawanan sehari-hari merupakan upaya perjuangan petani yang biasa-
biasa saja namun terjadi secara terus-menerus antara kaum tani dengan
orang-orang yang berusaha untuk menghisap tenaga kerja, makanan, pajak,
sewa, dan keuntungan dari mereka. Perlawanan petani tidak selalu
commit
merupakan bentuk aksi bersama, to user
tetapi kadang-kadang merupakan resistensi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

123

individual yang dilakukan secara diam-diam. Strategi perlawanan ini lebih


aman karena tidak perlu dilakukan melalui sebuah organisasi lengkap
dengan pemimpinnya yang mudah terdeteksi. Mereka menentang secara
langsung norma dan dominasi kaum elit yang dapat saja menurunkan
kewibawaan dan produktivitas pemerintah. Bentuk perlawanan ini misalnya
menipu, membakar, melakukan sabotase, mengumpat di belakang, mencuri
kecil-kecilan, dan sebagainya.
Politik agraria yang dikembangkan pemerintah kolonial tersebut
secara sistematis melemahkan kedudukan sosial ekonomi penduduk daerah
pedesaan. Posisi mereka sebagai petani bergeser menjadi buruh di daerah
pedesaan. Bentuk-bentuk eksploitasi kolonial baik berupa tekanan pajak,
pengerahan tenaga kerja yang berlebihan, maupun peraturan-peraturan yang
menindas sebagai bagian dari politik kolonial mengakibatkan kemiskinan
rakyat yang meluas. Realitas kekuasaan kolonial tersebut tidak sesuai
dengan realitas sosial yang ideal dalam masyarakat tradisional. Sebagai
akibatnya pada abad ke-19 dan 20 banyak terjadi perlawanan petani yang
tersebar luas. Hal itu merupakan bentuk reaksi terhadap pemerasan yang
berlebihan oleh perekonomian kolonial, dalam hal ini penghisapan oleh
aparat pemerintah kolonial, pemilik modal, atau kerja sama antara keduanya
(wawancara Bapak Syamsudin, 31 Januari 2015).
Penghisapan sumber daya alam ini merupakan faktor yang
menentukan terjadinya pemberontakan petani. Pemberontakan itu bertumpu
pada subsistensi petani yang terganggu oleh berbagai aturan kolonial yang
memberatkan petani, misalnya beban pajak yang harus ditanggung petani.
Dalam beberapa kasus fanatisme agama memainkan peran penting
dalam pemberontakan petani. Pemberontakan-pemberontakan kaum tani
mempunyai ciri-ciri ideologis yang ditemukan dalam semua gerakan, di
mana pemberontakan itu umumnya dinyatakan sebagai gerakan juru selamat
(mesianisme), gerakan ratu adil (milenarisme), gerakan kepribumian
(nativisme), dan gagasan-gagasan perang suci (Ibnu Qoyim, 1997:41).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

124

Tujuan utama dari disahkannya Undang-Undang Agraria 1870


adalah membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada
para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda.
Pemerintah kolonial memberikan kemungkinan untuk memperoleh tanah
yang masih berupa hutan untuk dibuka dan dijadikan perkebunan besar
dengan hak erfpacht berjangka hingga 75 tahun. Hak erfpacht merupakan
hak kebendaan yang memberikan kewenangan yang paling luas kepada
pemegang haknya untuk menikmati secara penuh akan keguanaan tanah
kepunyaan pihak lain. Pemegang hak erfpacht boleh menggunakan semua
kewenangan yang terkandung dalam hak eigendom atas tanah selain itu hak
erfpacht juga dapat dibebani hipotek.
Dengan adanya pengesahan undang-undang tersebut, maka
pengambil alihan tanah milik rakyat dilarang. Bagi orang orang asing yang
membutuhkan tanah diperbolehkan dengan cara menyewa tanah pertanian
dalam waktu lima tahun. Peraturan ini bertujuan untuk mencegah kekuasaan
yang akan merampas hak milik rakyat atas tanah secara semena-mena, jadi
ada unsur ide humaniteanr. Peraturan ini juga ditujukan untuk perusahaan
asing sebagai jalan bagi pengusaha swasta yang akan memanfaatkan tanah
penduduk untuk usaha pertanian. Dengan adanya UU agraria 1870 maksud
pemerintah Belanda adalah membuka kemungkinan pengembangan
perusahaan swasta asing, dengan memberikan kesempatan untuk
memperoleh tanah yang diperlukan dan mencoba melindungi hak-hak
rakyat (Mertokusumo, 1988: 6).
Menurut Rina (2013: 2), pada masa sebelum reorganisasi 1918
posisi rakyat hanya sebagai penggarap tanah lungguh. Mereka hanya
dikenakan hak anggaduh atau hak pakai, istilah lain dari kerja wajib, juga
membayar pajak. Menurut Suhartono (1991: 101), dalam perkembangan
politiknya pemerintah kolonial Belanda melaksanakan reorganisasi agraria.
Tujuan reorganisasi agraria ini sebenarnya adalah induvidualisasi tanah dan
setiap orang berhak mendapat sanggan. Tanah para pemegang sanggan ini
commit
jatuh ke tangan elit desa dan to user perkebunan melalui persewaan
perusahaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

125

tanah tradisional maupun kontrak-kontrak modern. Peneriman sangan


adalah tiyang jaler ingkang dewasa lan kiyat. Petani yang mendapat hak
tanah perorangan dilarang Memindahkan haknya kecuali dalam hal tertentu.
Larangan ini meliputi, mereka dilarang adol lempung, nggaduhake,
marokake lebih dari setahun dan ngijolake lebih dari satu musim tanahm
dan tukar menukar sangan.
Menurut Rouffaer (1983: 1), tanah tanah yang ada dalam wilayah
kerajaan itu milik raja, raja memiliki otonomi (yang disebut “zelfbestuur”,
dari “zelf”= sendiri, dan “bestuur”= pemerintahan) dibawah kedaulatan
pemerintah Hindia Belanda (sebelum tahun 1800 masih VOC atau
Kompeni). Di luar daerah Vorstenlanden rakyat itu langsung diperintah oleh
pemerintah Hindia Belanda. Hal hal yang termasuk dalam otonomi raja itu
dicantumkan perjanjian atau “contract”. Apabila para raja melanggar
contract itu,barulah pemerintahan Hindia Belanda mengambil tindakan,
dengan “Akte van Verband” pemerintah Hindia Belanda mengatur
pergantian raja dengan kata lain, raja baru harus menandatangani Akte
tersebut sebelum dinobatkan.
Transisi dari tanah perdikan ini terlihat jelas ketika tanam paksa ini
dilaksanakan status dan kedudukan tanah perdikan ini sudah tidak begitu
terlihat sebagai tanah yang istimewa karena pada dasarnya pengolahan atas
tanah pada tahun 1830-1870 ketika terjadi tanam paksa adalah didasarkan
faktor ekomoni,.Dampak yang sangat jelas dari diterapkannya UU Agraria
ini adalah mulai menyusutnya tanah perdikan ini dan statusnya yang mulai
tergeser dengan status atas hak milik perseorangan.

4 Relevansi Tanah Perdikan Bagi Pembelajaran Mata Kuliah Sejarah


Agraria
a. Mata Kuliah Sejarah Agraria
Mata kuliah Sejarah Agraria secara rinci menerangkan tentang tanah.
Tanah dalam hal ini merupakan faktor terpenting dalam hidup dan
penghidupan yang sudah commit to user
ada sejak masa Hindu-Budha hingga masa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

126

Kolonialisme. Tanah menduduki faktor terpenting sebagai modal utama


kekuasaan. Agraria secara umum menjelaskan segala macam tanah, pola
pemilikan tanah, pengerjaan hak atas tanah. Keterkaitan materi yang
disampaikan tentang tanah ini di susun dalam silabus pembelajaran yang
nantinya mempermudah bagi dosen untuk menerangkan secara runtut,
materi tentang agraria ini terdapat enam pokok bahasan yaitu: pertama
Feodalisme, Kolonialisme dan Nasib Petani, kedua Pembaharuan Hukum
Agraria, ketiga Dinamika Populismo, Politik Agraria Orde Lama, keempat
Kebangkitan Otoritarianisme dan Kapitalisme Orde Baru, kelima Kebijakan
Pertanahan Orde Baru, keenam Politik Agraria, Ekonomi Politik, dan Nasib
Petani.

1) Pengertian Sejarah Agraria


Sejarah merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang
peristiwa masa lampau. Sejarah agraria dapat diartikan cabang ilmu yang
khusus membahas tentang sejarah pertanahan di Indonesia. Secara umum
agraria memberikan pengetahuan tentang sejarah pertanahan yang ada
sejak masa feodalisme hingga masa sekarang yang tersusun dalam
silabus.
Dalam perkuliahan sejarah pembahasan yang menyangkut tentang
tanah masuk dalam bahan ajar tidak hanya sejarah Agraria namun masuk
kedalam beberapa mata kuliah antara lain, Sejarah Sosial, Sejarah
Indonesia Madya, Sejarah Perekonomian, namun fokus dari penulis
adalah tanah dalam bahasan Sejarah Agraria. Sejarah Agraria secara luas
mengkaji tentang tanah, faktor penguasaan tanah, macam-macam tanah
yang ada di Indonesia.
Dalam konteks pembelajaran sejarah Agraria maka kita tidak
dapat dipisahkan dari sejarah pertanahan, tanah merupakan faktor utama
dan terpenting dalam kehidupan. Berbicara tanah maka kita akan
mempelajari banyak faktor dari penguasaan tanah, (faktor ekonomi,
commitKepemilikan
faktor sosial, budaya, agama). to user tanah juga merupakan status
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

127

sosial yang nampak pada masyarakat dimana orang yang memilki banyak
tanah maka ia (pemilik tanah) dipandang sebagi orang yang kaya.
Kajian tentang Tanah perdikan ini sama halnya kita mempelajari
sistem pertanahan masa feodalisme yang masih erat kaitannya dengan
sistem-sistem yang mengatur dalam penguasaannya, dimana tanah
perdikan ini diberikan oleh raja untuk kepentingan Agama Islam atau
dengan alasan bahwa orang yang diberikan tanah itu berjasa atas hidup
raja. Dalam pemberian tanah perdikan ini juga melihat faktor politik,
yang salah satunya merupakan sebuah cara agar raja mendapatkan sebuah
legitimasi kekuasaan serta pengakuan atas kedudukannya. Pemberian
tanah perdikan ini juga merupakan salah satu cara raja mengontrol
keadaan sosial yang terjadi di daerahnya, pemberian tanah tersebut juga
untuk suatu legitimasi kekuasaan. Tanah perdikan ini memiliki perbedaan
yang mencolok dengan tanah-tanah lain seperti tanah lungguh, jika tanah
lungguh itu merupakan tanah jabatan. Maka tanah perdikan ini
merupakan tanah merdeka yang diberikan kepada seseorang raja dengan
piyagem.
Sebagai bahan ajar sejarah Agraria, maka tanah perdikan perlu
dikaji lebih mendalam terkait materi tanah ini dengan menggunakan
analisis sumber. Faktor yang terpenting dari tanah perdikan yaitu sebagai
daerah yang memiliki otonomi khusus, sehingga dalam praktek
pengelolaanya tanah ini di kelola sendiri berdasarkan kebutuhan desa.
Tanah ini memiliki hak dan status yang berbeda, perbedaan hak dan
status ini yang membuat kedudukan tanah menjadikan layak untuk
dikaji. Tidak semua tanah milik kerajaan memiliki hak dan staus yang
sama, karena tanah ini selain terbebas dari pajak karajaan juga
merupakan pusat pengembangan pendidikan Agama Islam.

2) Silabus Mata Kuliah Sejarah agraria


Dalam silabus yang digunakan sebagai bahan untuk penyampaian
materi cakupan isi untuk commit to user
mata kuliah Agraria sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

128

a. Feodalisme, Kolonialisme dan Nasib Petani


b. Pembaharuan Hukum Agraria
c. Dinamika Populismo : Politik Agraria Orde Lama
d. Kebangkitan Otoritarianisme dan Kapitalisme Orde Baru
e. Kebijakan Pertanahan Orde Baru
f. Politik Agraria, Ekonomi Politik, dan Nasib Petani
Dari silabus yang ada maka sejarah keterkaitan tentang tanah
perdikan ini masuk dalam pokok bahasan yang pertama. Kerena tanah
perdikan ini merupakan tanah yang ada pada masa era Feodalisme
sebagai pemberian hadiah dari raja kepada seseorang yang berjasa atas
hidup raja atau tanah itu diberikan sebagai tempat untuk pusat
berkembangnya agama.

b. Relevansi Hasil
1) Hasil Penelitian
Keterkaitan antara materi hasil penelitian dengan pembelajaran
mata Kuliah Sejarah Agraria ini merupakan unsur materi yang saling
terkait, dimana dari hasil penelitian ini kita dapat melihat betapa
kompleksnya sistem pertanahan yang ada di tanah Jawa pada masa silam
(kerajaan-kerajaan Jawa dahulu) yang salah satunya adalah Tanah
Perdikan Tegalsari yang masih jarang disinggung dalam pembelajaran
Sejarah Agraria. Penelitian ini memfokuskan di daerah Ponorogo
dikarenakan tanah perdikan ini merupakan tanah perdikan yang diberikan
Pakubuwana II kepada Mohammd Beshari sebagai hadiah atas jasa
Mohammad Beshari Kepada Pakubuwana II.
Tanah perdikan Tegalsari Ponorogo ini pada masa Mohammad
Hasan Beshari difungsikan sebagai pusat dari perkembangan Ajaran
Islam (Pondok Pesantren Tegalsari). Selain untuk pondok pesantren
tanah perdikan ini juga difungsikan sebagai tanah sawah dan ladang serta
tanah pemukiman bagi penduduk Tegalsari. Tanah sawah dan ladang ini
merupakan faktor terpenting bagi
commit masyarakat Tegalsari dan kehidupan
to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

129

pondok pesantren, tanah ini di kelola untuk kesejahteraan masyarakat


serta untuk menghidupi pondok pondok pesantren. Tanah perdikan ini
juga merupakan tanah yang “mardika” atau dalam istilah lain merupakan
tanah yang bebas. Bebas dalam artian terbebas dari pajak tanah yang ada,
tanah ini memiliki hak istimewa berdasarkan perintah Pakubuwana II
yang memberikan tanah ini sebagai tanah hadiah dan tanah ini bebas
pajak serta memiliki hak otonomi kusus, dimana Kyai Ageng
Mohammad Beshari bebas mengatur rakyat Tegalsari.
Pada awal abad Ke XIX, kekisruhan yang terjadi di Keraton
Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwana VI ini memberikan warna
yang berbeda bagi sistem penguasaan tanah yang ada, dimana daerah
mancanegara seperti : Banyumas, Kedu, Bagelan, Kadiri, dan Madiun
mulai terlepas dari kekuasaan Keraton Kasunanan dan dimiliki oleh
pihak Hindia Belanda. Perubahan kepemilikian atas tanah Mancanegara
ini sangat berpengaruh terhadap starus tanah-tanah yang ada di daerah
Mancanegara salah satunya tanah Perdikan Tegalsari yang terkait dengan
penelitian ini, dari luas tanah Perdikan yang awalnya memiliki luas 3000-
12000 cacah namun dengan adanya kebijakan Hindia Belanda tanah
perdikan ini menyusut besarananya 203 Ha.
Di tempat-tempat seperti Kedu, Kediri, Banyumas pada tahun
1830 mulai diterapkannya sistem tanam paksa (culturestelsel) yang
dahulunya merupakan daerah milik Keraton Kasunanan. Karisidenan
Madiun juga mengalami tanam paksa termasuk desa Tegalsari ini juga
mulai diterpakannya sistem tanam paksa , dimana daerah Ponorogo
Merupakan daerah Mancanegara dari Keraton Kasunanan Hadinginrat.
Kedudukan Keraton yang semakin tidak berdaya dibawah kekuasaan
Hindia Belanda ini yang membuat terlepasnya daerah Mancanegara yang
pada hakikatnya merupakan sumber finansial bagi perekonomian Keraton
Surakarta Hadiningrat. Seperti mulai hilangnya tanah-tanah keraton yang
diberikan kepada pejabat maupun orang yang telah berjasa kepada hidup
commit
raja seperti tanah Perdikan. to user
Tanah perdikan yang kehilangan 50% dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

130

bagiannya juga merupakan taktik Belanda dengan mengatur kepemilikan


tanah. Bekas tanah perdikan yang sudah menjadi hak pemerintah Hindia
Belanda ini di fungsikan sebagai sawah yang ditanami Indigo untuk
keperluan ekspor yang menguntungkan pihak Belanda. Dimana para
pekerja yang ada disawah juga merupakan warga dari desa Tegalsari.
Penerapan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 ini berdampak
pada status kepemilikan tanah secara nasional, salah satunya tanah
perdikan Tegalsari. Tanah perdikan ini kehilangan status tanah
“Mardika”. kedudukan tanah perdikan ini mengalami perubahan
kepemilikan, tanah yang semula meruapakan tanah desa yang merdeka
ini berubah menjadi tanah Pemerintah serta dihapusnya hak tanah
istimewa. Perubahan ini menimbulkan kekacauan tentang kepemilikan
tanah, dilain pihak banyak warga desa yang berusaha untuk mengajukan
hak atas kepemilikan tanah kepada BPN dengan pendataan luas tanah
kepada Kantor Desa terlebih dahulu, setelah data yang diajukan ini
disetujui maka data ini harus melalui Kantor Kecamatan yang diteruskan
kepada BPN. Perubahan status tanah ini merupakan kehilangan sejarah
yang sangat berarti dimana tanah “mardika” atau perdikan sekarang ini
sudah tidak dapat kita temukan lagi dalam kehidupan sehari-hari.

2) Relevansi Hasil Penelitian Dengan Pembelajaran Mata Kuliah


Sejarah Agraria
Silabus yang digunakan sebagai bahan pembelajaran ini mengacu
pada kurikulum yang digunakan sebagai panduan penyusunan RPP,
sehingga materi yang akan disampaikan ini sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang sesungguhnya. Keterkaitan hasil penelitian ini sesuai
dengan isi silabus di point yang pertama Feodalisme, Kolonialisme dan
Nasib Petani, maka dapat kita lihat keterkaitan antara hasil penelitian ini
dengan materi pembelajaran Sejarah Agraria ini saling terhubung. Tanah
perdikan secara harfiah merupakan tanah yang bebas (merdeka) tanah ini
merupakan tanah milik commit
kerajaan.to Dalam
user pembelajaran Sejarah Agraria
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

131

materi tanah perdikan dimasukan dalam point pertama yang menyangkut


hak tanah pada masa feodalisme.
Dalam pengajaran Mata Kuliah membuat RPP adalah kewajiban
bagi dosen, dengan berpedoman pada silabus maka dosen dapat membuat
rencana pelaksanaan pembelajaran. Rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP) dibuat sebagai pedoman dosen dalam mengajar. Akan tetapi,
rencana yang sudah dibuat tidak selamanya sama saat dipraktekkan di
dalam kelas. Penyampaian materi tidak selalu sama dengan RPP, tetapi
dosen selalu berusaha menyesuaikan dengan RPP. Ketidaksesuaian
antara RPP dengan kenyataan di dalam kelas bisa terjadi karena adanya
perubahan dalam metode dan model pembelajaran, dosen melakukan
improvisasi, dan keterbatasan waktu serta kondisi peserta didik.
Dari hasil analisis dokumen dapat disimpulkan bahwa, dosen
membuat RPP dengan pedoman Silabus yang sudah ada. Dosen
Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta terutama mata
Kuliah Agraria membuat RPP jauh-jauh hari sebelum pembelajaran
dilaksanakan. RPP dibuat untuk satu semester, karena sebelum tahun
ajaran baru RPP harus disesuaikan dengan kurikulum yang diterapkan.
Dari hasil penelitian ini, peneliti menemukan keterkaitan antara
hasil penelitian dengan materi pembelajaran Sejarah Agraria di dalam
silabus pembelajran yang di gunakan yaitu, Feodalisme, Kolonialisme
dan Nasib Petani. Keterkaitan materi pembelajran ini dapat dilihat dari
tahun dalam penelitian yaitu 1830-1870 pada masa ini kedudukan tanah
merupakan faktor utama dalam hidup, tanah merupakan milik raja,
sehingga rakyat tidak memiliki hak “milik” tetapi hanya memiliki hak
pakai saja. Materi tanah perdikan jika kita merujuk pada silabus, akan di
bahas dalam pertemuan pertama yang menyangkut tentang tanah masa
feodalisme, kolonialisme, dan nasib petani. Pembahasan materi ini juga
harus mengacu pada kerterkaitan dengan RPP pembelajaran sehingga
lebih terinci lagi.
commit to user

Anda mungkin juga menyukai