Anda di halaman 1dari 19

http://ojs.uho.ac.id/index.

php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan


Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

Quo Vadis Kebijakan: Analisa Vicious Circle of Poverty Nelayan


Tradisional akibat Kebijakan PSBB
M. Ragil Yoga Priyangga 1; Muhamad Hanif Yasyfi 2;
1
Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Diponegoro, Semarang,
ragilyoga8@student.undip.ac.id
2
Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang,
hanifyasfi@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang pengaruh kebijakan (Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) terhadap status kemiskinan nelayan tradisional Tegalsari,
Kota Tegal. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif yang berupaya
menggali dan mengeksplorasi lebih jauh tentang kaitan antara dampak kebijakan PSBB
dengan status kemiskinan nelayan. Teori yang digunakan sebagai alat bantu menelaah hasil
adalah teori lingkaran setan kemiskinan dan siklus kebijakan publik. Kebijakan pemerintah
kota Tegal dalam penanganan pandemi Covid-19 tampak melanggengkan status
kemiskinan nelayan tradisional Tegalsari. Terutama terkait kebijakan PSBB (Pembatasan
Sosial Berskala Besar), ada dua faktor yang menyebabkan bertambah mapannya
kemiskinan nelayan, yakni: kebijakan ini telah memberikan batasan ruang gerak ekonomi
yang menyulitkan terjadinya transaksi antara nelayan dan pembeli, serta menurunkan harga
jual ikan di pasaran. Hal ini perlu diperhatikan oleh pemerintah agar selalu melakukan
evaluasi dalam kebijakannya, khususnya dalam penanggulangan pandemi dan kemiskinan.
Pemerintah juga perlu melakukan pembenahan birokrasi serta mengupayakan keterbukaan
informasi dan komunikasi terhadap masyarakat.
Kata kunci : Kemiskinan, Nelayan Tradisional, Pembatasan Sosial Berskala Besar

Abstract
This study aims to provide an overview of the influence of (Large-Scale Social Restrictions
(PSBB) on the poverty status of traditional fishermen in Tegalsari, Tegal City.Using a
qualitative-descriptive method, this study explores and explores the relationship between
the impact of the PSBB policy and the poverty status of fishermen. This study uses a vicious
cycle of poverty theory and the public policy cycle to help examine the results. In short,
instead of policies helping to ease the burden, those that exist have added to the bankruptcy
of the fishermen's life. Especially about the PSBB (Large-Scale Social Restrictions) policy,
two factors have led to the added poverty of fishermen, namely: this policy has limited
economic space which makes it difficult for fishermen to make transactions between
fishermen and buyers, and reduces the selling price of fish in the market. The government
needs to pay attention to this so that it always evaluates its policies, especially in dealing
with pandemics and poverty. The government also needs to reform the bureaucracy and
strive for information and communication open to the public.
Keywords: Poverty, Traditional Fishermen, Large-Scale Social Restrictions

37
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

Pendahuluan
Pandemi covid-19 telah memberikan dampak negatif yang sangat
dirasakan bagi umat manusia. Di bidang ekonomi misalnya, sedang dihadapkan
dengan krisis yang mengancam keberlangsungan moda kehidupan masyarakat.
Hampir semua sektor pekerjaan yang masuk dalam sirkuit kapital merasakan
kengerian ini (Setiawan & Nurwati, 2020). Para Nelayan, khususnya nelayan
tradisional, juga ikut merasakan dampak tersebut. Sebagaimana data lapangan yang
dirilis oleh KIARA (2020), banyak dari nelayan terpaksa menjual hasil
tangkapannya dengan harga murah, yang mana penurunan harganya bisa sampai 50
persen. Hal ini dikarenakan banyaknya pengolahan ikan yang tutup karena
mengikuti arahan pemerintah dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19.
Dalam nalar umum, dapat dikatakan jika wilayah pesisir memiliki
potensi sumberdaya alam yang sangat tinggi. Potensi tersebut seharusnya dapat
mensejahterakan kehidupan nelayan. Namun kenyataanya, kehidupan masyarakat
nelayan terus berada dalam kemiskinan. Parahnya kemiskinan ini telah menjadi
identitas kehidupan mereka (Nasution A. Bahaudin dalam Fatmasari, tanpa tahun).
Nurkse misalnya, dalam (Kuncoro, 1997: 132), menyebutkan bahwa kemiskinan
semacam ini tidak lain disebabkan oleh lingkaran setan kemiskinan(Vicious Circle
of Poverty), di mana aspek kemiskinan para nelayan terus berputar tanpa putus.
Dalam kondisi khusus, sebenarnya lingkaran kemiskinan ini dapat saja
berubah apabila ada unsur yang mengintervensi serta membentuk warna (kondisi)
baru (Kadji, 2004). Fenomena pandemi Covid-19 serta kebijakan penanganan
pemerintah, misalnya kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), juga
akan ikut menjadi unsur yang mewarnai proses lingkaran setan tersebut. Tetapi,
nampaknya unsur kebijakan penanganan pemerintah ini bukannya memperbaiki
tetapi justru menambah keruh keadaan. Alasannya jelas, tentu karena kebijakan
yang kurang tepat. Sehingga masyarakat nelayan lah yang harus menanggung beban
dampaknya.
Kampung nelayan tradisional Kelurahan Tegalsari (selanjutnya hanya
disebut Tegalsari), Kota Tegal, mempunyai cerita menarik yang menggambarkan
kondisi ini. Sebagaimana disebutkan Ode & Jurianti (tanpa tahun), bahwa Tegalsari

38
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

merupakan salah satu wilayah yang mayoritas warganya bermatapencaharian


sebagai nelayan. Mereka hidup dalam kemiskinan bahkan sebelum terjadi pandemi
ini. Kondisi ini diperparah sejak pemerintah kota menerapkan kebijakan PSBB
seperti yang telah saya jelaskan.
Terhitung sejak 23 Meret 2020, pemerintah Kota Tegal menerapkan
kebijakan local lockdown (Batubara, 2020: 13). Kemudian kebijakan tersebut
berubah menjadi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui Peraturan
Walikota Tegal No. 8 tahun 2020. Kurang tepatnya tindakan pemerintah ini sejalan
dengan pemberitaan Pantura Post (2020) yang melihatkan kebijakan tersebut
tampak melanggengkan kemiskinan mereka. Dapat dikatakan jika nelayan
sebelumnya sudah berada dalam keadaan yang serba susah, maka akan ada
kegandaan kesusahan sebab kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Tertarik pada
fenomena tersebut, penelitian ini akan mengkaji dan mengeksplorasinya lebih jauh.
Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang pengaruh
kebijakan PSBB terhadap status kemiskinan nelayan tradisional Tegalsari, Kota
Tegal.
Nelayan tradisional sebagai objek dari penelitian ini merupakan orang
perorangan yang pekerjaannya melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan
perahu dan alat tangkap yang sederhana atau tradisional (Septiana, 2018). Memang
terdapat beberapa kategorisasi nelayan. Fargomeli misalnya, mengatakan bahwa
nelayan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain nelayan pemilik
(juragan), nelayan penggarap (buruh/pekerja), nelayan kecil, nelayan tradisional,
nelayan gendong (nelayan angkut), dan perusahaan/industri penangkapan ikan.
Akan tetapi penelitian ini lebih berfokus pada nelayan tradisional (selanjutnya
hanya disebut nelayan).
Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan
dalam area hukum publik. Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan
formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-
Undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif karenanya
kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang
pemerintahan atau urusan pemerintahan yang bulat. Sedangkan wewenang hanya

39
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Wewenang (authority)


adalah hak untuk memberi perintah dan kekuasaan untuk meminta dipatuhi. Setiap
perbuatan pemerintahan harus bertumpu pada suatu kewenangan yang sah. Oleh
karena itu kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap pejabat ataupun
lembaga.
Memang kajian yang mengulas kemiskinan nelayan sudah banyak ditemui.
Kajian mengenai isu pandemi covid-19 pun sudah mulai bermunculan. Namun
belum ada kajian yang mencoba mengulas keterkaitan antara keduanya, yakni
melihat kondisi nelayan sekaligus menarik benang merahnya terhadap fenomena
pandemi covid-19. Rata-rata pembahasan yang yang dimaksudkan peneliti masih
sebatas laporan-laporan (report) dari instansi tertentu ataupun pemberitaan media.
Sehingga akan menjadi pembahasan yang menarik apabila hal tersebut dikaji
kembali.

Metode
Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan penelitian dengan metode
kualitatif-deskriptif. Sumber data di dalam penelitian ini adalah data primer, yakni
data diperoleh secara langsung dari sumbernya tanpa perantara pihak lain (langsung
dari objeknya). Data diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data
berupa wawancara mendalam (depth interview) terhadap: beberapa nelayan
tradisional Kelurahan Tegalsari, Lurah, DPC (Dewan Pimpinan Cabang) HNSI
(Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Kota Tegal, Dinas Kelautan Perikanan
Pertanian dan Pangan Kota Tegal dan akademisi pemerhati kebijakan. Data
dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif, yaitu menganalisis dan
menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan
disimpulkan, yang pada akhirnya data akan disajikan dalam bentuk uraian narasi.
Adapun peneliti menggunakan teori Vicious Circle of Poverty yang dicanangkan
Ragnar Nurkse sebagai pisau analisa. Sedangkan teori siklus kebijakan publik kami
gunakan untuk membedah kaitannya kebijakan pemerintah terhadap objek
penelitian. Sehingga kedua teori ini akan membantu peneliti dalam menjawab
pertanyaan penelitian ini.

40
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

Hasil dan Pembahasan


Dibalik keragaman potensi sumberdaya alam Indonesia, kondisi nelayan
sangat memprihatinkan. Mereka dihadapkan pada kompleksitas permasalahan
kemiskinan dan selalu muncul sebagai permasalahan utama negara kita (Purwanto,
2007). Permasalahan kemiskinan nelayan ini dirasakan kebenarannya oleh nelayan
Tegalsari. Dari hasil wawancara mereka melaut menggunakan kapal berukuran
kecil beserta alat tangkap berupa jaring dengan sistem one day fishing (menangkap
ikan dalam sehari). Mereka berangkat melaut pada pagi hari dan pulang mendarat
pada siang atau sore hari. Jangkauan melaut hanya sekitar perairan Kota Tegal dan
sekitarnya, seperti Brebes dan Pemalang, yang paling berjarak 30 menit dari tepi
pantai. Dengan jangkauan itu, mereka mendapatkan hasil berupa ikan belo, ikan
kembung, ikan kuro, ikan belanak dan ikan lainnya, yang mana harga pasarannya
cenderung murah.
Kondisi memprihatinkan ini, nampaknya semakin dapat dirasakan nelayan
tradisional Tegalsari di masa pandemi Covid-19. Kondisi tersebut disebabkan oleh
2 hal, yakni: menurunnya kuantitas ketersediaan ikan di wilayah perairan sekitar
Kota Tegal, dan harga ikan yang anjlok drastis akibat menurunnya permintaan pasar
terhadap ikan yang dibarengi dengan jumlah penawaran yang tinggi.
Dari hasi wawancara permasalahan pertama tentang menurunnya kuantitas
ketersediaan ikan di wilayah perairan sekitar Kota Tegal menyebabkan mereka
untuk sementara waktu menjadi pengangguran. Mereka terpaksa tidak melaut
karena jika mereka melaut hasil tangkapan ikan yang mereka peroleh tidak cukup
menutupi upah anak buah dan modal yang mereka keluarkan untuk melaut.
Menurunnya kuantitas ketersediaan ikan tersebut sejatinya merupakan fenomena
rutinan yang biasa dialami oleh nelayan tradisional Tegalsari karena terjadi setiap
tahun, sehingga dapat dikatakan sebagai fenomena musiman. Fenomena ini
lazimnya berlangsung selama kurang lebih 4 bulan
Hasil tangkapan yang menurun disebabkan oleh minimnya alat tangkap
ikan yang mereka gunakan. Para nelayan tradisional hanya menggunakan jaring
untuk mendapatkan ikan. Berbeda dangan nelayan lainnya, nelayan yang
menggunakan arad dan cantang sebagai alat tangkapnya dinilai menjadi faktor

41
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

habisnya ikan dilaut. Hal ini diungkapkan oleh Tarkim, warga RT 4, bahwa
keberadaan arad dan cantang telah menjadi sapu laut yang menyapu bersih
keberadaan ikan. Sehingga nelayan tradisional yang hanya bermodal jaring biasa
hanya bisa menangkap ikan sisaan saja.

Maming, warga RT 6, menyebutkan musim ombak besar menjadi faktor


lain yang menyebabkan minimnya ikan di laut. Peringatan gelombang tinggi di
Tegal telah diingatkan oleh BMKG (Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika)
sejak Januari 2020, dan kembali diingatkan pada bulan maret 2020 (Adib, 2020;
Lilisnawati, 2020). Gelombang tinggi ini telah menyebabkan karamnya kapal milik
nelayan tradisional. Tarkim misalnya, harus mengalami nasib naas kehilangan
kapalnya yang karam karena terpaan ombak tinggi pada bulan maret 2020.
Nampaknya hingga penelitian ini ditulis, peringatan cuaca dari BMKG terkait
gelombang tinggi untuk awal juni 2020 kembali diterbitkan.
Permasalahan kedua yang dialami oleh nelayan tradisional Tegalsari
adalah menurunnya permintaan pasar terhadap ikan dibarengi dengan jumlah
penawaran yang tinggi semakin memaksa mereka untuk sementara waktu menjadi
pengangguran. Hal tersebut dikarenakan pandemi Covid-19 yang termanifestasikan
sebagai PSBB menyebabkan jumlah permintaan ikan menurun drastis. Adapun
menurunnya jumlah permintaan ikan disebabkan oleh dua faktor, yaitu: Pertama,
Badan usaha yang bergerak di sektor perikanan terpaksa memangkas jumlah
produksi mereka sehingga pasokan ikan yang masuk menjadi dipangkas. Kedua,
penutupan sebagian besar akses masuk menuju Kota Tegal (isolasi wilayah) akibat
PSBB menjadikan masyarakat diluar Kota Tegal enggan untuk memasuki wilayah
Kota Tegal sehingga permintaan pasaran lokal terhadap ikan menjadi menurun.
Nelayan yang biasa mensuplai kebutuhan dalam dan luar kota menjadi
terhambat karena kebijakan ini. Akses yang sulit pun membingungkan para bakul
(tengkulak) yang beranggapan “jangan-jangan tempat pelelangan ikannya tutup”
ataupun tidak tahu jalan karena adanya jalan-jalan yang ditutup. Dengan anjloknya
harga tersebut secara otomatis mengurangi pendapatan para nelayan tradisional.
Kondisi tersebut diperparah dengan jumlah penawaran ikan yang tinggi. Kapal-

42
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

kapal besar bermuatan puluhan ton ikan yang melaut dalam skala nasional dan
internasional secara bersamaan mendarat ke wilayah Kota Tegal. Fenomena ini
sudah menjadi tradisi menjelang hari raya idul fitri. Keadaan tersebut diperparah
karena idul fitri berlangsung bersamaan dengan PSBB.
Sebagaimana yang dijelaskan Riswanto, Ketua Dewan Pimpinan Cabang
HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Tegal, hal ini dikarenakan
kedatangan kapal-kapal nelayan besar yang bersandar menjelang hari raya Idhul
Fitri. Persediaan ikan yang melimpah ini secara otomatis menyebabkan depot ikan
(atau biasa disebut cold storage) yang ada di Tegal penuh. Hal ini menjadikan
berkurangnya penyerapan ikan dari nelayan oleh konsumen karena ikan dari cold
storage pun belum terjual. Peristiwa banjirnya pasokan ikan di wilayah Kota Tegal
yang tidak dibarengi dengan jumlah permintaan yang tinggi menjadikan turunnya
harga ikan di Tegal (Riswanto, 2020).
Beberapa daftar harga ikan yang mengalami penurunan yang disebabkan
oleh adanya tradisi penurunan harga menjelang idul fitri dan pandemi covid-19
sebagai berikut:
Tabel 1. Harga Ikan yang mengalami penurunan di Kota Tegal
Harga per Kilo (sebelum Harga per Kilo (setelah
Jenis Ikan menjelang idul fitri dan menjelang idul fitri dan
pandemi covid-19) pandemi covid-19)
Kuniran 10.000 8.000
Coklatan Kecil 12.500 10.000
Blamah 12.000 210.000
Abangan Besar 22.500 19.500
Abangan Sedang 19.000 16.000
Abangan Kecil 17.500 15.000
Tengiri 50.000 36.000
Tongkol 20.000 14.000
Bambangan 45.000 25.000
Ngangas 40.000 15.000
Balong 35.000 25.000
Pirik (Pakan Itik) 2.000 1.000
Rajungan 80.000 40.000
Bandeng Tambak 20.000 10.000
Sumber: diolah dari Riswanto, Ketua DPC HNSI Kota Tegal
Harga diatas merupakan jenis ikan yang biasa didapat oleh nelayan besar.
Sedangkan para nelayan tradisional mereka hanya mendapatkan jenis ikan yang

43
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

kerap kali tidak laku dijual. Tarjuned, warga RT 4, misalnya, menuturkan bahwa
nelayan tradisional hanya mendapatkan jenis ikan yang tidak laku dijual, seperti
Ikan Belo yang hanya dihargai Rp.50.000 per basket atau setara 30 kg. Harga itupun
merupakan harga sebelum menjelang hari raya dan pandemi, dan ia memperkirakan
bisa jadi harga tersebut anjlog lagi di masa sekarang.

a. Status Quo Kemiskinan

Kondisi kemiskinan nelayan tradisional merupakan hal yang melekat


dalam kehidupan mereka . Retno dan Setiasih (dalam Imron, 2003) menyebutkan
bahwa nelayan tradisional merupakan lapisan sosial paling miskin. Ini sejalan
dengan penuturan Diryo Suparto, Akademisi Universitas Pancasakti Tegal, melalui
wawancara telepon. Ia menuturkan bahwa nelayan tradisional merupakan
kelompok marginal yang abadi. Penilaian dalam kemiskinan nelayan tersebut
sejalan dengan Mubyarto yang menyebutkan bahwa masyarakat nelayan Indonesia
adalah masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat miskin lainnnya (the
poorest of the poor) (Solihin, 2011).
Diryo berpendapat bahwa pandemi covid-19 merupakan bonus
kemiskinan bagi para nelayan. Para nelayan berada dalam lingkaran setan
kemiskinan yang terus berputar. Setidaknya terdapat empat unsur faktor yang
menjadikan para nelayan tradisional Tegalsari berputar dalam lingkaran
kemiskinan, yakni: Minimnya modal, hasil tangkap rendah, pendapatan rendah, dan
kesenjangan ekonomi.
Gambar 1.Skema Lingkaran Kemiskinan Nelayan

Hasil
Minimnya
Tangkap
Modal
Rendah

Kesenjangan Pendapatan
Ekonomi Rendah

Sumber: diolah dari Imron (2003) dengan penyesuaian

44
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

Lingkaran ini menjadi siklus yang tak pernah berhenti kecuali ada faktor
lain yang mempengaruhi, bisa menjadikan lebih baik atau buruk. Tampaknya
pandemi covid-19 menjadi faktor yang pemicu lingkaran setan kemiskinan nelayan
tradisional lebih buruk. Diryo menyebut ini sebagai double kemiskinan. Untuk
keluar dari jeratan lingkar kemiskinan ini Diryo, sebagai pemerhati kebijakan,
menyebutkan perlu adanya kebijakan makro yang memperhatikan nelayan
tradisional. Sebab nelayan tradisional dinilai sebagai kelompok marginal yang
hampir tidak pernah tersentuh kebijakan. Jika posisi mereka terus demikian, maka
lingkar kemiskinan akan tetap langgeng melekat pada mereka.

b. Kebijakan PSBB Kota Tegal


Sebenarnya, pemerintah kota Tegal telah mencanangkan kebijakan untuk
menanggulangi pandemi ini. Kebijakan yang berdasar pada Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 2020, tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka
Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), merupakan satu
tindakan yang diupayakan pemerintah kota (Riana, 2020). Peraturan Pemerintah
tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di daerah hukumnya
masing-masing atas dasar persetujuan Menteri Kesehatan. Hal tersebut dapat kita
lihat pada pasal 2 ayat (1) yang berbunyi ”Dengan persetujuan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah
dapat melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau pembatasan terhadap
pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/ kota tertentu”
(Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020).
Kota Tegal sebagai salah satu kota yang terjangkit Covid-19 mencoba
bertindak sigap. Pemerintah Kota Tegal mengajukan permohonan pemberlakukan
PSBB di wilayah Kota Tegal kepada pemerintah pusat. Alhasil, permohonan
tersebut dikabulkan, sehingga Walikota Tegal mengeluarkan Peraturan Walikota
Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar di
Wilayah Kota Tegal Provinsi Jawa Tengah dalam Rangka Percepatan Penanganan

45
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). PSBB Kota Tegal diterapkan mulai dari 23
April 2020 dan berakhir pada 23 Mei 2020 (Anggraini, 2020).
Pasal 3 Peraturan Walikota Tegal Nomor 8 Tahun 2020, menyebutkan
bahwa tujuan dari dibentuknya peraturan walikota tersebut adalah untuk
“membatasi kegiatan tertentu dan pergerakan orang dan/atau barang dalam
menekan penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19), meningkatkan antisipasi
perkembangan eskalasi penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19),
memperkuat upaya penanganan kesehatan akibat Corona Virus Disease (COVID-
19), serta guna menangani dampak sosial dan ekonomi dari penyebaran Corona
Virus Disease (COVID-19)”. Berdasarkan hal tersebut, dapat kita lihat bahwa
pandemi Covid-19 telah berdampak pada sektor sosial dan ekonomi masyarakat
sehingga dengan peraturan walikota tersebut diharapkan mampu memberikan
sumbangsih perbaikan sosial dan ekonomi masyarakat Kota Tegal.
Peraturan Walikota tersebut memberikan gambaran tentang strategi yang
ditempuh oleh Pemerintah Kota Tegal untuk menangani dampak sosial dan
ekonomi masyarakat terdampak Covid-19. Hal tersebut dapat kita lihat pada pasal
24 yang berbunyi “Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan sosial kepada
penduduk daerah rentan yang terdampak dalam memenuhi kebutuhan pokoknya
selama pelaksanaan PSBB” (Peraturan Walikota Tegal Nomor 8 Tahun 2020).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Peraturan Walikota Tegal tersebut
tidak mewajibkan, melainkan hanya membolehkan, Pemerintah Kota Tegal untuk
menjamin kebutuhan pokok masyarakat terdampak Covid-19 melalui bansos.
Selama PSBB Kota Tegal diberlakukan, bantuan sosial disalurkan oleh
pemerintah kota pada bulan Mei 2020 dengan berjumlah 61.285 paket sembako
(PanturaPost, 2020). Bantuan sosial tersebut sejatinya bersumber dari pendanaan
yang beraneka ragam. Tidak hanya bantuan sembako dari Pemerintah Kota Tegal,
lembaga dan program lain juga ikut serta memberikan sumbangsih. Berikut
rinciannya:

46
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

Tabel 2. Daftar Bantuan Sosial Pandemi Covid-19 di Kota Tegal


Jumlah
Nama Bantuan Sosial Keterangan
Penerima
Program Keluarga Bantuan berupa uang non tunai 6.285 Keluarga
Harapan – Kemensos sesuai indeks komponen, disalurkan
setiap bulan melalui bank
Program Sembako – Bantuan berupa sembako senilai 9.495 Kelurga
Kemensos Rp.200.000, disalurkan setiap bulan
melalui E warong
Bantuan Sosial Tunai – Bantuan berupa uang tunai senilai 10.473 Keluarga
Kemensos Rp.600.000, disalurkan setiap bulan
(april s/d juni) melalui bank
Program Sembako Covid- Bantuan berupa sembako senilai 7.229 Keluarga
19 – Kemensos Rp.200.000, disalurkan setiap bulan
(april s/d desember) melalui E
warong
Bantuan Sosial JSP – Bantuan berupa sembako senilai 3.395 Keluarga
Pemprov Jateng Rp.200.000, disalurkan setiap bulan
(april s/d juni) melalui PT.POS
Kartu Jateng Sejahtera – Bantuan berupa uang non tunai 101 Keluarga
Pemprov Jateng senilai Rp.250.000, disalurkan setiap
3 bulan melalui bank
Bantuan Sembako Covid- Bantuan berupa sembako senilai 23.807 Keluarga
19 – Pemkot Tegal 110.000, disalurkan setiap bulan
(april s/d mei) melalui kelurahan
Bantuan Sosial Lansia – Bantuan uang non tunai senilai 500 Keluarga
Pemkot Tegal Rp.200.000, disalurkan setiap 2
bulan melalui bank
Sumber: diolah dari poster pemeritah Kota Tegal berjudul “Jaring Pengaman Sosial:
Masyarakat Terdampak Covid-19 Kota Tegal”

Berdasarkan hasil wawancara bantuan sosial tersebut disalurkan kepada


masyarakat terdampak Covid-19, tidak terkecuali nelayan. Pemerintah Kota Tegal
melalui Dinas Kelautan, Perikanan, dan Pangan Kota Tegal telah menyalurkan
bantuan sosial berupa sembako senilai Rp.110.000 kepada 3.024 keluarga yang di
dalam KTP-nya berprofesi sebagai nelayan, dengan ketentuan tiap 1 keluarga hanya
berhak menerima 1 sembako. Penyaluran sembako tersebut dilakukan oleh Dinas
Kelautan, Perikanan, dan Pangan Kota Tegal dengan menggandeng Dewan
Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kota Tegal (DPC HNSI
Kota Tegal). DPC HNSI Kota Tegal digandeng dengan ditugaskan menghimpun
data nelayan calon penerima bantuan sosial dan menyalurkan bantuan sosial kepada
nelayan.

47
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

Dari hasil wawancara data nelayan calon penerima bantuan sosial yang
dihimpun oleh DPC HNSI Kota Tegal berjumlah 5.456 keluarga. Data tersebut
diajukan kepada Dinas Kelautan, Perikanan, dan Pangan Kota Tegal yang
kemudian disinkronkan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Tegal.
Setelah disinkronkan, Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Tegal menyatakan
bahwa nelayan yang berhak menerima bantuan sosial hanya berjumlah 3.024.
Pemangkasan jumlah keluarga nelayan yang akan menerima bantuan sosial tersebut
disebabkan karena beberapa nama nelayan yang diajukan sudah tercantum namanya
di dalam bantuan sosial lain, karena pada prinsipnya 1 keluarga hanya berhak
menerima 1 bantuan sosial. Oleh karena itu, maka nama-nama nelayan yang sudah
tercantum di bantuan sosial lain menjadi dihapus.
Di samping bantuan sosial di atas, terdapat pula bantuan terhadap nelayan
yang diperoleh dari pihak lain yaitu dari Ditpolair Polda jateng berupa 25 paket
sembako, Komunitas Harley Davidson Tegal berupa 2 alat cuci tangan yang
ditempatkan di pelabuhan, serta dari pengusaha berupa uang senilai 60 juta yang
rencananya akan dicairkan dalam bentuk sembako.

c. Quo Vadis Kebijakan


Permasalahan nelayan terkait kebijakan pemerintah menanggulangi
pandemi menjadikan mereka sulit untuk pergi ke laut. Tarjuned mengatakan bahwa
dirinya dan beberapa nelayan tradisional Tegalsari memutuskan untuk tidak ke laut
sejak awal bulan ramadhan. Mereka mengatakan jika biaya operasional yang harus
diluarkan tidak sebanding dengan hasil yang mereka dapat. Kondisi yang demikian
ini seakan-akan memutus sementara penghidupan mereka. Ditambah lagi dengan
naiknya bahan pokok menjelang hari raya idul fitri mereka mendapat bencana
ekonomi yang menimpanya. Dengan ini, nelayan tradisional yang tergolong sebagai
one day fisher memutuskan untuk tak melaut untuk sementara waktu.
Melihat nelayan tradisional dalam kondisi yang demikian, sebagaimana
dikatakan oleh ketua DPC HNSI Tegal, mereka sedang dalam kesengsaraan ganda.
Dikala harga ikan yang sudah pasti anjlok tiap menjelang lebaran ditambah dengan
adanya kebijakan PSBB semakin memperparah pendapatan nelayan. Mestinya

48
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

pemerintah memberikan stimulus perekonomian untuk mereka yang terdampak.


Tetapi tampaknya bantuan yang diberikan oleh pemerintah tidak terlaksana secara
merata. Para nelayan Tradisional yang mendapatkan bantuan hanya mereka yang
tergabung dalam kelompok nelayan. Kelompok nelayan tersebut merupakan
kelompok yang dinaungi oleh HNSI. Sedangkan mereka yang tidak tergabung,
seperti Maming, tidak mendapat bantuan sama sekali. Nelayan yang tergabung
dalam kelompok naungan HNSI pun rupanya tidak mendapatkan semua. Dari data
yang dikumpulkan oleh HNSI, seharusnya ada 5.456 nelayan tradisional yang
mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Namun nampaknya data tersebut
disortir kembali oleh pemerintah Kota Tegal sehingga hanya berjumlah 3.024
nelayan yang mendapat bantuan. Artinya terdapat 2.432 nelayan tradisional yang
telah didata oleh HNSI gagal mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Alasan
yang diutarakan oleh pemerintah kota, seperti yang dikatakan Riswanto, boleh jadi
mereka telah mendapat bantuan lain, namun hal itu tidak menjamin
Penilaian pemerintah kota terkait data nelayan yang tidak mendapat
bantuan sosial dengan alasan pemerataan bantuan agar tidak terjadi kegandaan
rupanya tidak sesuai dengan realita lapangan. Warmo misalnya, warga RT 4, ia
justru satu dari sekian nelayan tradisional yang mendapat bantuan lebih dari satu.
Ia mendapatkan bantuan dari Program Keluarga Harapan sekaligus mendapat
bantuan dari Pemerintah Kota melalui Kelompok nelayan. Nasib warmo tidak
seperti nelayan tradisional lainnya. Nelayan tradisional seperti pak Maming, yang
tidak tergabung dalam kelompok nelayan, harus mengalami nasib pahit. Pendapatan
mereka saat sulit seperti ini hanya berkisar Rp.30.000 perhari, tentu tidak
mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Memang ia mengakui bahwa dulu pernah
menjadi orang yang tergolong mampu, tetapi roda kehidupan berputar dan
menjadikannya dalam kondisi miskin. Jika ia dan nelayan yang senasib dengannya
tidak mendapatkan bantuan menunjukan bahwa adanya kelalaian pemerintah untuk
memperhatikan kondisi masyarakatnya. Sehingga pemerintah perlu melakukan
pendataan ulang yang berkala untuk memperhatikan nasib mereka. Jika Tidak,
maka kesejahteraan nelayan merupakan hal yang akan selalu dipertanyakan

49
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

Bagi Diryo, Penguatan ekonomi merupakan kata kunci utama untuk


mengeluarkan nelayan tradisional dari jeratan lingkar setan kemiskinan. Upaya
tersebut dapat melalui pemberdayaan bagi nelayan tradisional guna untuk
meningkatkan taraf kehidupan mereka. Ardika (dalam Ahmad, 2013) misalnya,
mengatakan bahwa “mensejahterahkan masyarakat dengan mendorong
pemberdayaan masyarakat agar (para nelayan tradisional) mampu berperan aktif
untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dengan mengelola sumberdaya”
merupakan hal yang dapat dibenarkan. Sebab, pada umumnya para nelayan
tradisional terbelenggu dalam kondisi marginal karena mereka menjual hasil
tangkapannya langsung ke TPI (tempat pelelangan ikan) atau pasar. Hasil dari
usahanya sangat tergantung pada harga ikan saat itu. Namun tidak demikian jika
mereka diberi bekal pengetahuan melalui program pemberdayaan. Pemberdayaan
utama yang dimaksud adalah agar para nelayan tidak langsung menjual ke TPI atau
pasar, melainkan dengan peningkatan skill pengolahan ikan menjadi produk yang
lebih bernilai ekonomis
Sayangnya, upaya dari pemerintah untuk memperdayakan nelayan
memang belum ada, sehingga para nelayan tradisional Tegalsari selalu
menggantungkan dirinya pada harga ikan yang dijual. Program pemerintah selama
ini, menurut Diryo, hanya sebatas upaya yang sifatnya sensasional. Pemerintah
hanya memberikan bantuan dalam bentuk material yang tidak berkelanjutan. Pun
upaya pemerintah melalui bantuan tersebut selalu mengalami masalah. Daftar nama
nelayan yang membutuhkan bantuan tidak dilakukan secara merata, serta adapula
daftar nama ganda. Kasus serupa terkait ketidakvalidasian data merupakan hal yang
problematis, sebut saja dalam kasus pemilu. Ketidaksesuaian data pemilih kerap
kali menjadi polemik dalam sejarah pemilihan umum, mulai dari data pemilih
ganda hingga tidak adanya data pemilih (Fitria Chusna Farisa, 2018). Hal ini
menunjukan adanya keengganan pemerintah untuk melakukan evaluasi dan
pembenahan. Padahal jika kasus pemilu dijadikan sebagai alat evaluasi dalam siklus
kebijakan seharusnya kasus serupa tidak terjadi dalam penerapan kebijakan bantuan
sosial disaat pandemi ini. Sehingga kebijakan bantuan kepada nelayan tradisional
yang terdampak dapat tercover dengan baik. Perhatikan siklus kebijakan berikut:

50
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

Gambar 2. Siklus Kebijakan Publik

Evaluasi atau
Perencanaan
penghentian
Kebijakan
Kebijakan

Formulasi
Implementasi Kebijakan dan
Kebijakan pengambilan
Keputusan

Sumber: diolah dari Jann & Wegrich (2007)


Lengahnya kebijakan pemerintah untuk memperhatikan kaum nelayan
tradisional merupakan kelengahan yang terjadi sejak awal perencanaan kebijakan.
Kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) telah diterapkan sejak 18
April 2020 melalui Peraturan Walikota Tegal Nomor 8 Tahun 2020 dinilai syarat
akan ketidakberesan perencanaan. Sebab data yang kami temukan melalui
wawancara dengan Lurah Tegalsari, Dinas Kelautan Perikanan Pertanian dan
Pangan Kota Tegal, Serta DPC HNSI Kota tegal semua menyebutkan bahwa
pendataan pada nelayan tradisional dilakukan dengan batas waktu 5 hari yang
dilanjutkan turunnya bantuan pada tanggal tanggal 20 mei 2020. Hal ini dinilai
mereka sebagai tindakan yang kurang logis, sebab mereka harus bekerja ekstra
dalam tenggang waktu yang singkat. Hal tersebut memperlihatkan ketidaksiapan
pemerintah kota untuk menerapkan kebijakan PSBB. Normalnya ketika suatu
kebijakan akan diterapkan seharusnya telah melalui proses persiapan yang baik,
tetapi tidak demikian dengan pemerintah kota Tegal
Buruknya perencanaan pemerintah berakibat pada chaosnya
implementasi. Indriyani misalnya, Ketua Bidang Nelayan dan Tangkap DKPPP
Kota Tegal, mengakui bahwa yang ia lakukan untuk memberikan stimulus
perekonomian bagi nelayan Tegalsari secara ala kadarnya. Data bantuan bagi
nelayan dilakukannya secara sembrono. Hal ini diamininya dengan pernyataan
“pokoknya kalau mereka tidak dapat (bantuan) ya silahkan, itu bukan resiko kita.
Pokoknya kita sudah melalui mekanisme sesuai pemerintah kota” (Indriyani, 22

51
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

Mei 2020). Tentu kepasrahan Indriyani menunjukan implementasi kebijakan PSBB


yang buruk. Penilaian Firhansyah (2020), anggota Ombudsman, mengatakan
bahwa kebijakan PSBB “menjadi pilihan yang sulit dan rumit bagi daerah, meski
tujuan mulianya adalah untuk memutus rantai Covid-19. Namun tetap saja PSBB
adalah instrumen dengan segala risikonya”. Sehingga hal ini perlu perhatian ulang
pemerintah dalam siklus kebijakannya, mulai dari perencanaan hingga evaluasi.

Kesimpulan
Kebijakan yang kurang tepat dalam menghadapi pandemi Covid-19
berdampak pada tataran masyarakat sebagai objek yang diperintah. Kebijakan
pemerintah kota Tegal dalam penanganan pandemi Covid-19 tampak
melanggengkan status kemiskinan nelayan tradisional Tegalsari. Dampak PSBB
begitu dirasakan oleh warga, khususnya nelayan tradisional. Pemerintah kota Tegal
perlu belajar dari siklus kebijakan, khususnya kebijakan penanganan pandemi ini
terhadap nelayan. Urgensinya jelas, tampak bahwa segala sesuatu yang dirasakan
oleh nelayan selalu bersumber dari kebijakan pemerintah. Kemiskinan yang
sebelumnya menjangkiti mereka sebelum pandemi tentu merupakan implikasi
kebijakan, belum lagi ditambah dengan pelanggengan status kemiskinan mereka
akibat PSBB menjadikan mereka menghadapi kondisi kesengsaraan ganda. Maka
dari itu, alangkah baiknya jika pemerintah melakukan beberapa hal yang perlu
digarisbawahi, antara lain: melakukan evaluasi kebijakan pada penanggulangan
pandemi dan kemiskinan, melakukan reformasi birokrasi yang fleksibel, tidak
berbelit dan satu arah, serta mengupayakan adanya keterbukaan informasi dan
komunikasi terhadap masyarakat.

Referensi
Adib Auliawan Herlambang. (2020, January 11). Gelombang Tinggi, Nelayan
Tradisional Kota Tegal Diimbau Tak Melaut. Retrieved May 31, 2020,
from Ayosemarang.com website:

52
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

https://www.ayosemarang.com/read/2020/01/11/50451/gelombang-
tinggi-nelayan-tradisional-kota-tegal-diimbau-tak-melaut
Ahmad, Z. B. (2013). Pemberdayaan Nelayan Pesisir Laut dan Pantai (Universitas
Negeri Makasar). https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Anggraini, H. (2020). Pertama di Indonesia , Kota Tegal Akhiri PSBB.
Batubara, B. (2020). Teman Rebahan: Kapitalisme dan Covid-19 (D. Cipta, Ed.).
Yogyakarta: Penerbit Gading.
Fatmasari, D. (n.d.). Analisis Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Pesisir Desa
Waruduwur, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Firhansyah, M. (2020). PSBB Kisruh Bantuan Sosial. Retrieved June 1, 2020, from
Ombudsman.go.id website: ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--psbb--
kisruh-bantuan-sosial-%0AAsisten
Fitria Chusna Farisa. (2018, September 13). Polemik Data Pemilih Ganda Pemilu
2019, Ini 5 Faktanya. Retrieved June 1, 2020, from Kompas.com website:
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/13/08580441/polemik-data-
pemilih-ganda-pemilu-2019-ini-5-faktanya?page=2
Hanoatubun, S. (2020). Dampak Covid-19 Terhadap Perekonomian Indonesia.
Journal of Education, Psychology and Counseling, 2(April), 146–153.
https://doi.org/10.13140/RG.2.2.13651.94241/1
Imron, M. (2003). Kemiskinan dalam Masyarakat Nelayan. Jurnal Masyarakat Dan
Budaya, 5(1), 63–82. https://doi.org/10.14203/JMB.V5I1.259
Jann, W., & Wegrich, K. (2007). Theories of the Policy Cycle. In F. Fischer, Gerald
J. Miller, & M. S. Sidney (Eds.), Handbook of Public Policy: Theory,
Politics, and Methods (pp. 43–62).
https://doi.org/10.1176/appi.ps.58.9.1231
Kadji, Y. (2004). Kemiskinan dan Konsep Teoritisnya. Retrieved from
https://repository.ung.ac.id/get/simlit_res/1/318/Kemiskinan-dan-
Konsep-Teoritisnya.pdf
Kiara. (2020). Penanganan Covid-19 dan Ekonomi Nelayan yang kian Terpuruk.
Retrieved May 11, 2020, from kiara.or.id website:

53
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

http://www.kiara.or.id/read-offline/125211/penanganan-covid-19-dan-
ekonomi-nelayan-yang-kian-terpuruk.pdf
Kuncoro, M. (1997). Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan.
Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan.
Lilisnawati. (2020, March 8). Prakiraan Cuaca 8 Maret 2020, Kota Tegal Berawan
dan Diguyur Hujan. Retrieved May 31, 2020, from ayotegal.com website:
http://www.ayotegal.com/read/2020/03/08/2723/prakiraan-cuaca-8-
maret-2020-kota-tegal-berawan-dan-diguyur-hujan
Ode, W. A., & Jurianti, S. (n.d.). Permasalahan Permukiman Kumuh Kampung
Nelayan Tegalsari, Kota Tegal. Retrieved from
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/60341373/KAMPU
NG_NELAYAN_TEGALSARI20190820-57372-2stupb.pdf?response-
content-disposition=attachment%3B
filename%3DPERMASALAHAN_PERMUKIMAN_KUMUH_KAMPU
NG_NE.pdf&X-Amz-Algorithm=AWS4-HMAC-SHA256&X-Amz-
Credentia
PanturaPost. (2020). 61.285 Keluarga di Kota Tegal akan Terima Bantuan JPS
COVID-19.
Post, P. (2020). Imbah COVID-19 , Pendapatan Nelayan di Tegal Turun. Retrieved
May 17, 2020, from Kumparan.com website:
kumparan.com/panturapost/imbah-covid-19-pendapatan-nelayan-di-
tegal-turun-drastis-meski-ikan-%0Amelimpah-
1tKeBkrF1MT/full%0ANews1
Purwanto, E. A. (2007). Mengkaji Potensi Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
untuk pembuatan Kebijakan Anti Kemiskinan. Jurnal Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik, 10(3), 295–324.
Riana, F. (2020). Cegah Covid-19 Jokowi Terbitkan PP tentang PSBB, Simak
Isinya.
Rosni, R. (2017). Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Di Desa
Dahari Selebar Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara. Jurnal Geografi,
9(1). https://doi.org/https://doi.org/10.24114/jg.v9i1.6038

54
http://ojs.uho.ac.id/index.php/NeoRespublica NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan
Volume 2, No. 1, Desember 2020, hlm 37-55
ISSN 2716-0777 (online)

Septiana, S. (2018). Sistem Sosial-Budaya Pantai: Mata Pencaharian Nelayan dan


Pengolah Ikan di Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur Kota
Tegal. Journal of Materials Processing Technology, 1(1), 1–8.
https://doi.org/10.1109/robot.1994.350900
Setiawan, S. N., & Nurwati, N. (2020). Dampak COVID-19 terhadap Tenaga Kerja
di Indonesia. (April). Retrieved from
https://www.researchgate.net/profile/Syeikha_Nabilla/publication/34092
5534_Dampak_COVID-
19_terhadap_Tenaga_Kerja_di_Indonesia/links/5ea4770645851553faaed
321/Dampak-COVID-19-terhadap-Tenaga-Kerja-di-
Indonesia.pdf?_sg%5B0%5D=uq-
T87Hgov5cyUwRkn_UN9meNPX9OfJ-
Solihin, A. (2011). Hak Ekonomi Nelayan Tradisional Indonesia Di Wilayah
Perbatasan.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala
Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(Covid-19)
Peraturan Walikota Tegal Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan
Sosial Berskala Besar di Wilayah Kota Tegal Provinsi Jawa Tengah dalam
Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)

Wawancara
Tarjune. (2020). Kelurahan Tegalsari, 17 Mei 2020
Warmo. (2020). Kelurahan Tegalsari, 17 Mei 2020
Tarkim. (2020). Kelurahan Tegalsari, 17 Mei 2020
Maming. (2020).Kelurahan Tegalsari, 17 Mei 2020
Indriyani. (2020). Kota Tegal, 22 Mei 2020
Rusbandi. (2020). Kelurahan Tegalsari Kota Tegal, 22 Mei 2020
Riswanto. (2020). Kota Tegal, 22 Mei 2020
Diryo Suparto. (2020). Universitas Pancasakti Tegal, 22 Mei 2020

55

Anda mungkin juga menyukai