Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH AGAMA ISLAM

“FILSAFAT ISLAM”
Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam Tahun Akademik 2014/2015

1
Di susun oleh :

~ M.Aziz (1211400021)
~ Syarif Hidayat (1211400022)
~ Riefki Prayogo P (1211400023)
~ Rudini (1211400024)
~ Nabil (1211400034)

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL 2014

INSTITUT TEKNOLOGI INDONESIA


Jl. Raya Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan 15320 Tel.(021)7561102, 7560545

2
KATAPENGANTAR

Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang
Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena
berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan tema “ Filsafat Islam ” yang sederhanaini dapat
terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.

Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah
satu dari sekian kewajiban mata kuliah Agama Islam serta merupakan bentuk langsung
tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Bpk Yusuf selaku dosen mata kuliah Agama islam serta semua pihak yang telah membantu
penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar
bawasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan yang maha Esa, sehingga dalam
penulisan dan penyusununnya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang konstruktif akan senantiasa penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.

Tangerang, 06 Desember 2014

Penulis

i
Daftar isi

KATAPENGANTAR.............................................................................................................................i

Daftar isi................................................................................................................................................ii

BAB IPENDAHULUAN.......................................................................................................................1

1.1 LATAR BELAKANG


MASALAH............................................................................................................1

BAB IIPEMBAHASAN........................................................................................................................2

1.1. PENGERTIAN FILSAFAT


ISLAM..........................................................................................................2

1. Apa itu Filafat Islam....................................................................................................3


a.Apakah yang di Sebut Filsafat Islam..............................................................................
b. Ruang Lingkup Filsafat..................................................................................................
c. Pikiran Filsafat yang Holistik..........................................................................................

2. Peran Filsafat dalam Dunia Modern....................................................................................4


Menjawab Tantangan kontemporer
Filsafat Sebagai Pendukung Agama

3. Ciri-Ciri Filsafat Islam.............................................................................4

A. Filsafat Rasional.........................................................................................................................4

B. Filsafat Sinkretis.........................................................................................................................5

C.Tokoh-Tokoh Filsafat Islam........................................................................................................6

D. Beton..........................................................................................................................................6

E. Air..............................................................................................................................................14

F. Aspal..........................................................................................................................................14

ii
BAB III
PENUTUP...................................................................................................................................17

iii
BAB1
PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk Allah yang diberi kelebihan dan makhluk lain dengan akalnya
sehingga Ia mamiliki tingkat berlikir yang paling tinggi. Akallah yang membuat manusia mempunyai
kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Al-Quran memerintahkan supaya manusia menggunakan
potensi akalnya untuk menyelidiki alam semesta. Konsep berfikir manusia secara mendalam terhadap
alam semesta inilah yang kemudian menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya ilmu
pengetahuan dan teknologi yang membuat manusia mampu mengubah dan mengolah alam sekitarnya
untuk kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya baik pada masa kini maupun untuk masa datang.

Berfikir secara mendalam ini dalam konteks ilmu pengetahuan dikenal dengan berfikir
filosofis. Berfikir filsafat inilah yang dikembangkan oleh Ulama Islam zaman klasik. Mereka
mengambil sains dan filsatat Yunani dengan menggunakan metode berfikir rasional ilmiah dan
filosofis. Pertemuan antara filsafat dengan Islam, bisa disebut bersamaan dengan mulai di
dakwahkannya Islam keluarjazirah Arabia. Umat Islam waktu itu, telah terbiasa berpikir induktif
dimana mereka sudah mendapatkan argumentasi dan dalil yang berasal dan informasi wahyu dan
mereka tinggal menyampaikan kepada orang yang didakwahi atau yang diajak untuk mengikuti
pemikiran Islam. Namun di luar jazirah Arabia orang sudah terbiasa berpikir deduktif mengambil
kesimpulan dan sekianbanyak gejala phenomena dan fakta yang ada dan yang terjadi. Sehingga
dakwah Islam mengalami perbenturan dengan pola pikir orang di luar jazirah Islam.

Oleh karena umat Islam berpikir belajar dengan pola berpikir yang ada di luar, sehingga umat
Islam mulai juga berpikir disamping induktif juga bisa berfikir deduktif. Filsafat sebagai sebuah
metodologi berfikir baru secara intensif dimulai sejak masa dinasti bani Abbasiah, melalui filsafat
Yunani yang dijumpai ahli-ahli pikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kebudayaan dan
filsafat Yunani datang ke daerad-daerah itu melalui ekspansi Aleksander yang Agung (Alexander the
Great) Ke Timur di abad keempat sebelum Masehi. Mulailah dikenal filsafat dalarn Islam.

Damardjati Supadjar berpendapat bahwa dalam istilah filsafat Islam terdapat dua kemungkinan
pemahaman konotatif. Pertama, filsafat Islam dalam arti filsafat tentang Islam yang dalam bahasa
lnggris kita kenal sebagai Philosophy of Islam. Dalam hal ini Islam menjadi bahan telaah, objek
material suatu studi dengan sudut pandang atau objek formalnya, yaitu filsafat. Jadi disini Islam
menjadi genetivus objectivus. Kemungkinan kedua, ialah filsafat Islam dalam arti Islamic Philosophy,

1
yaitu suatu filsafat yang islami. Di sini Islam menajdi genetivus subjektivus, artinya kebenaran Islam
tergambar pada dataran kefilsafatan. Selain itu Ahmad Fuad AI-Ahwani mengatakan bahwa filsafat
Islam ialah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam-macam masalah manusia
atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama Iahirnya agama Islam
Berdasarkan pendapat diatas, Filsafat Islam dapat diketahui melalui lima cirinya sebagai berikut:

Pertama, dilihat dan segi sifat dan coraknya, filsafat Islam berdasar pada ajaran Islam yang bersumber
pada AI-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan sifat dan coraknya yang dernikian itu, filsafat Islam berbeda
dengan filsafat Yunani atau filsafat pada umumnya yang semata-mata mengandalkan akal pikiran
(rasio).

Kedua, dilihat dan segi ruang Iingkup pembahasannya, filsafat Islam mencakup pembahasan bidang
fisika atau alam raya yang selanjutnya disebut bidang kosmologi, masalah ketuhanan dan hal-hal lain
yang bersifat non materi yang disebut bidang metafisika, masalah kehidupan di dunia, kehidupan
akhirat, masalah ilmu pengetahuan, kebudayaan dan lain sebagainya. kecuali masalah zat Tuhan.

Ketiga, dilihat dari segi datangnya, filsafat Islam sejalan dengan perkembangan ajaran Islam itu
sendiri, tepatnya ketika bagian dan ajaran Islam memerlukan penjelasan secara rasional dan filosofis .

Keempat, dilihat dan segi yang mengernbangkannya, filsafat Islam dalam arti materi pernikiran
filsafatnya, bukan kajian sejarah, disajikan oleh orang-orang yang beragama Islam, seperti Al-Kindi,
Alfarabi, lbn Sina, AI-Ghazali, Ibn Rusyd, lbn Tufail, Ibn Bajjah.

Kelima, dilihat dari segi kedudukannya, filsafat Islam sejajar dengan bidang studi ke islaman lainnya
seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf, sejarah kebudayaan Islam dan Pendidikan Islam.
Berbagai bidang yang menjadi garapan filsafat Islam telah diteliti oleh para ahli dengan menggunakan
berbagai metode dan pendekatan secara seksama, dan hasilnya telah dapat kita jumpai saat in i
Beberapa hasil penelitian tentang filsafat Islam tersebut perlu dikaji, selain bahan informasi untuk
rnengembangkan wawasan kita mengenai fllsafat Islam, juga untuk mengetahui metode dan
pendekatan yang digunakan para peneliti tersebut, sehingga pada gilirannya kita dapat
mengembangkan pemikiran filsafat Islam dalam rangka menjawab berbagai masalah yang muncul di
masyarakat.

2
Sejarah mencatat bahwa mata rantai yang menghubungkan gerakan pemikiran filsafat Islam era
kerajaan Abbasiyah dan dunia luar di wilayah Islam, tidak lain adalah proses panjang asimilasi dan
akulturasi kebudayaan Islam dan kebudayaan Yunani lewat karya —karya filosof Muslim, seperti Al-
Kindi (185H/801M — 260H/ 873M), Al-Farabi (258H/ 870M — 339H/ 950M), Ibn Miskawaih ( 320
H/ 923M — 421H/ 1030M.) Ibn Sina ( 370H/ 980M — 428H/ 1037M), Al-Ghazali (450H/ 1058M-
505H/ 1111M) dan Ibnu Rusyd ( 520H/ 1126M - 595H/ 1198M). Filsafat profetik (Kenabian), sebagai
contoh, tidak dapat kita peroleh dan karya-karya Yunani. Filsafat kenabian adalah trade mark filsafat
Islam. Juga karya-kanya Ibn Bajjah (wafat 553H/ 1138M), Ibn Tufail (wafat 581H/ 1185M) adalah
spesifik dan orisinal karya filosof Muslim.

1.1 Latar Belakang Masalah


Aqidah bagi setiap muslim merupakan salah satu aspek ajaran Islam yang wajib diyakini.
Dalam Al qur’an, aqidah disebut al-iman (percaya) yang sering digandengkan dengan al-amal shalih
(perbuatan baik). Tampaknya kedua unsur ini menggambarkan suatu integritas dalam ajaran islam.
Dasar-dasar aqidah islam telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW melalui pewahyuan Al Qur’an
dan kumpulan sabdanya untuk umat manusia. Generasi muslim awal binaan Rasulullah SAW telah
meyakini dan menghayati aqidah ini meski belum diformulasikan sebagai ilmu lantaran rumusan
tersebut belum diperlukan. Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang
kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika,
matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memikirkan dengan logika tentang
berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut
sebagai sebuah jawaban filsafat. Dasar-dasar aqidah yang termaktub dalam Al Qur’an dianalisa dan
dibahas lebih lanjut dengan filsafat untuk mendapatkan keyakinan yang kokoh. Pembahasan tentang
filsafat, terutama tentang filsafat islam akan dibahas dalam makalah ini.
BAB 2
PEMBAHASAN

1.1. Pengertian Filsafat Islam


1.Apa itu Filsafat Islam
A. Apakah yang disebut Filsafat Islam?
Dalam buku Mulyadhi Kartanegara yang berjudul Gerbang Kearifan, beliau  mendiskusikan
beberapa pandangan sarjana tentang istilah filsafat Islam. Ada yang megatakan bahwa Islam tidak
pernah dan bisa memiliki filsafat yang independen. Adapun filsafat yang dikembangkan oleh para
filosof Muslim adalah pada dasarnya filsafat Yunani, bukan filsafat Islam. Ada lagi yang mengatakan
bahwa nama yang tepat untuk itu adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi adalah filsafat Yunani
yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para filosof Muslim.

3
Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan
bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah bahasa Arab, sekalipun para
penulisnya banyak berasal dari Persia, dan namanama lainnya seperti filsafat dalam dunia Islam.
Adapun beliau sendiri cenderung pada sebutan filsafat Islam (Islamic philosophy), dengan
setidaknya 3 alasan :
1.      Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam telah mengembangkan sistem teologi
yang menekankan keesaan Tuhan dan syari’ah, yang menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu
dominannya Pandangan tauhid dan syari’ah ini,sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk
filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan ajaran pokok Islam tersebut (tauhid) dan pandangan
syari’ah yang bersandar pada ajaran tauhid. Oleh karena itu ketika memperkenalkan filsafat Yunani
ke dunia Islam, para filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan
fundamental Islam tersebut, sehingga disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para
filosof Muslim.
2.     Sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adalah pemerhati filsafat asing yang kritis. Ketika dirasa
ada kekurangan yang diderita oleh filsafat Yunani, misalnya, maka tanpa ragu-ragu mereka
mengeritiknya secara mendasar. Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering dikelompokkan sebagai filosof
Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengertik pandangan Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan
menggantikannnya dengan yang lebih baik. Beberapa tokoh lainnya seperti Suhrawardi, Umar b.
Sahlan al-Sawi dan Ibn Taymiyyah, juga mengeriktik sistem logika Aristotetles. Sementara al-‘Amiri
mengeritik dengan pedas pandangan Empedokles tentang jiwa, karena dianggap tidak sesuai dengan
pandangan Islam.
3.      Adanya perkembangan yang unik dalam filsafat islam, akibat dari interaksi antara Islam, sebagai
agama, dari filsafat Yunani. Akibatnya para filosof Muslim telah mengembangkan beberapa isu filsfat
yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian,
mikraj dsb.
b. Lingkup Filsafat Islam
Berbeda dengan lingkup filsafat modern, filsafat Islam, sebagaimana yang telah
dikembangkan para filosof agungnya, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti logika, fisika,
matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak akan dikatakan filosof,
kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini.

c. Pandangan Filsafat yang Holistik


Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya
yang bersifat integral-holistik. Integrasi ini, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam karya yang
lain Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi
di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan
hanya penerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain

4
menjadikan indera, akal dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi
di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya.
Demikian juga integrasi terjadi di bidang metodelogi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam
tidak hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami secara
eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitasentitas yang bersifat
abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyahadah) secara
langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu
sebuah metode untuk memahami teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, filsafat
Islam mengakui keaabsahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu
sebagai sumber-sumber yang sah dan penting bagi ilmu.
Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi
ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa
menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf bersifat irrasional.
Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam
pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang
tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah
kebenaran yang sama. Sangat mungkin bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi,
karena sekalipun indera, akal dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah
pribadi. Namun, seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak perlu
menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga unsur
tersebut dipandang sama realnya.
2.    Ayat – ayat berkaitan dengan filsafat dan ayat – ayat tentang perintah atau akal
Qs. As sajadah ayat 4 :
Artinya: Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam
enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy[1188]. tidak ada bagi kamu selain dari padanya
seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at[1189]. Maka Apakah kamu tidak
memperhatikan? maksud bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai
dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya. dan Syafa'at: usaha perantaraan dalam memberikan
sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa'at yang
tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at bagi orang-orang kafir.

Filsafat Islam memiliki keunikan dalam topik dan isu yang digarap, problem yang coba
dipecahkan, dan metode yang digunakan dalam memecahkan permasalahan-permasalahan itu. Filsafat
Islam selalu berusaha untuk mendamaikan wahyu dan nalar, pengetahuan dan keyakinan, serta agama
dan filsafat

1. Filsafat Islam bertujuan untuk membuktikan bahwa pada saat agama berpelukan dengan filsafat,
agama mengambil keuntungan dari filsafat sebagaimana filsafat juga mengambil manfaat dari agama.

5
Pada intinya, filsafat Islam adalah hasil kreasi dari sebuah lingkungan di mana ia tumbuh dan
berkembang, dan jelasnya, filsafat Islam adalah filsafat agama dan spiritual.

Meskipun filsafat Islam berorientasi religius, ia tidak mengabaikan isu-isu besar filsafat, seperti
problem keberadaan dalam waktu, ruang, materi dan kehidupan. Cara pengkajian filsafat Islam
terhadap epistemologi pun unik dan komprehensif. Ia membedakan antara kedirian (nafs) dan nalar,
potensi bawaan sejak lahir dan almuktasab, ketepatan dan kesalahan , pengetahuan dzanni dan qath'i.
Filsafat Islam juga mengkaji tentang definisi serta klasifikasi kebaikan dan kebahagian.

3.     Keunggulan filsafat islam

Hampir seluruh problematika-problematika besar tradisional yakni, problematika Tuhan,


alam  dan  manusia bisa dituntaskan oleh filsafat islam. Ia  memberikan  pandangan detail tentang 
semua ini dengan terpengaruh  oleh  lingkungan  dan  kondisi  yang  melingkupinya, disamping 
memanfaatkan kajian-kajian filosofis sebelumnya yang sampai kepadanya, baik itu dari timur maupun
dari barat. Ia sampai  pada sekelompok pendapat yang jika berbeda dalam rincianya disebabkan oleh
perbedaan tokoh-tokohnya, karena  ia bertemu dalam aliran universal dan teori-teori milik  bersama.
Berikut  ini  beberapa keunggulan  filsafat Islam, diantaranya adalah:

1.     Rasionalis
Keunggulan filsafat Islam lainya adalah amat bertumpu  pada akal dalam menafsirkan
problematika ketuhanan, manusia dan alam, karena wajib alwujud  adalah akal murni. Ia adalah
subyek yang berfikir sekaligus obyek  pemikiran.

Akal manusia merupakan salah satu potensi jiwa, dan disebut rational soul. Ia ada dua macam,
pertama praktis bertugas  mengendalikan badan dan mengatur tingkah laku. Kedua, teoritis khusus
berkenaan dengan persepsi dan epistemology, karena akal praktis inilah yang menerima persepsi-
perssepsi inderawi dan meringkas pengertia-pengertian universal dengan bantuan akal aktif. Akal
manusia bisa meningkat ke alam atas hingga berhubungan dengan akal-akal yang tidak ada pada
benda, sehingga ia bisa mengetahui obyek-obyek  pemikiran sekaligus. di samping dapat menukik ke
alam kesucian dan kenikmatan tinggi, dan inilah kebahagiaan tertinggi

Dengan akal, kita menganalisa dan membuktikan. Dengan akal pula, kita menyingkap realita-
realita ilmiah, karena akal merupakan salah satu pintu pengetahuan.

2.      Religius-Spiritual

Filsafat  Islam  berlandaskan  pada  prinsip agama dan amat bertumpu pada ruh. Dikatakan
filsafat religious, karena filsafat  Islam tumbuh di jantung Islam; tokoh-tokohnya dididik dengan
ajaran-ajaran Islam. Filsafat Islam merupakan perpanjangan dari pembahasan-pembahasan keagamaan
dan teologis yang ada sebelumnya, semisal Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kajian teologis pada dasarnya

6
merupakan salah satu bab filsafat  yang seluruh pandangan akalnya dilandaskan kepada al-Qur’an 
dan al-Hadits.

Dengan cara  religius-spiritual ini, filsafat Islam bisa mendekati filsafat skolastik, bahkan sejalan
dengan sebagian filsafat modern  dan kontemporer. Tokoh-tokoh agama di abad pertengahan tidak
mungkin mengingkari filsafat yang mengemukakan teori penciptaan, membuktikan keabadian jiwa
dan mempercayai balasan dan tanggung jawab, kebangkitan setelah mati dan kebahagiaan akhirat.
Bahkan Roger Bacon [1294] sampai mengagumi teori khilafah dan imamah Islam, seperti yang
dijelaskan oleh Ibnu Sina dalam kitab al-Syifa’, sehingga ia ingin menerapkan gelar  Kholifah Allah fi
Ardihi kepada Paus.[8]

C.    Filsafat   sebagai  cara  berfikir  spekulatif,  sisitematis,  analitis, kritis, radikal, dan universal
( bertanggung jawab).

Berfilsafat  berarti berfikir, tetapi  tidak semua berfikir dapat  digolongkan berfilsafat kecuali
memenuhi criteria  di bawah ini :

1.     Spekulatif dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang
sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis maupun
pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak.

2.     Radikal artinya yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu
benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu
sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus
dimulai dengan menentukan titik yang benar

3.     Universal : seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu hanya dari segi
pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya dengan
moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan
membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh:
Socrates menyatakan dia tidak tahu apa-apa.

4.     Sistematis  artinya usaha untuk menguraikan dan  merumuskan sesuatu dalam hubungan yang teratur
dan logis sehingga membentuk suatu system secara utuh, menyeluruh dan  terpadu.

5.     Analitis artinya memahami masalah dengan menguraikan masalah tersebut  menjadi bagian-ba kecil
atau melacak implikasi dari masalah tersebut secara bertahap, termasuk didalamnya mem buat bagian-
bagian tersebut menjadi sistematis.

6.     Kritis artinya sikap berhati-hati atau tidak  tergesa-gesa dalam merespon suatu pernyataan, apakah 
kita sebaiknya menolak atau menerima.

7
D.    Filsafat sebagai analisa filosofis  untuk  mengetahui realitas  yang  sebenarnya.

Filsafat  muncul  ke permukaan bumi  karena manusia  tidak puas terhadap  budaya 
mitocentris  yang cenderung irasional. Atas  dasar ketidak  puasan itulah, akal manusia mulai bekerja,
berusaha mencari  jawaban  dari segala permasalahan yang ada, baik yang berkaitan  dengan alam,
manusia  maupun persoalan  yang berhubungan dengan Tuhan.

Kita diberikan oleh Allah tiga mata; mata fisik, mata akal  dan mata hati. Pengamatan mata fisik
sangat  terbatas. Penilaiannya  sering  tidak meleset, tidak akurat, tidak lengkap  dan  tidak sempurna,
bahkan  terkadang  menipu  seperti  matahari  yang terlihat kecil oleh  mata kepala, ternyata  kondisi
sebenarnya tidaklah  seperti itu, begitu pula fenomena fatamorgana  yang  nampak seolah-olah ada air,
namun kenyataanya  nihil. Kerja pandangan mata yang  hasilnya terkadang tidak sesuai  dengan
obyek aslinya harus diluruskan dengan akal. Oleh karena itu untuk  menemukan  hakikat  kenyataan
dari  sebuah obyek yang ada, dibutuhkan kerja akal yang benar  dan maksimal.

2.  Peran Filsafat Islam dalam Dunia Modern


a. Menjawab Tantangan Kontemporer
Pada saat ini, dalam pandangan Beliau (Mulyadhi Kartanegara), umat Islam telah dilanda
berbagai persoalah ilmiah filosofis, yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat
sekuler. Berbagai teori ilmiah, dari berbagai bidang, fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah,
atas nama metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak dipandang
perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. Misalnya bagi Laplace (w. 1827), kehadiran Tuhan
dalam pandangan ilmiah hanyalah menempati posisi hipotesa.Dan ia mengatakan, sekarang saintis
tidak memerlukan lagi hipotetsa tersebut, karena alam telah bisa dijelaskan secara ilmiah tanpa harus
merujuk kepada Tuhan. Baginya, bukan Tuhan yang telah bertanggung jawab atas keteraturan alam,
tetapi adalah hukukm alam itu sendiri. Jadi Tuhan telah diberhentikan sebagai pemelihara dan
pengatur alam. Demikian juga dalam bidang biologi, Tuhan tidak lagi dipandang sebagai pencipta
hewanhewan, karena menurut Darwin (w. 1881), munculnya spesies-spesies hewan adalah karena
mekanisme alam sendiri, yang ia sebut sebagai seleksi alamiah (natural selection).
Menurutnya hewan-hewan harus bertransmutasi sendiri agar ia dapat tetap survive, dan tidak
ada kaitannya dengan Tuhan. Ia pernah berkata, “kerang harus menciptakan engselnya sendiri, kalau
ia mau survive, dan tidak karena campur tangan sebuah agen yang cerdas di luar dirinya. Oleh karena
itu dalam pandangan Darwin, Tuhan telah berhenti menjadi pencipta hewan. Dalam bidang psikologi,
Freud (w. 1941) telah memandang Tuhan sebagai ilusi. Baginya bukan Tuhan yang menciptakan
manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan. Tuhan, sebagai konsep, muncul dalam pikiran

8
manusia ketika ia tidak sanggup lagi menghadapi tantangan eksternalnya, serti bencana alam dll.,
maupun tantangan internalnya, ketergantungan psikologis pada figur yang lebih dominan. Sedangkan
Emil Durkheim, menyatakan bahwa apa yang kita sebut Tuhan, ternyata adalah Masyarakat itu sendiri
yang telah dipersonifikasikan dari nilai-nilai sosial yang ada.
Dengan demikian jelaslah bahwa, dalam pandangan sains modern Tuhan tidak memiliki tempat
yang spesial, bahkan lama kelamaan dihapus dari wacana ilmiah. Tantangan yang lain juga terjadi di
bidang lain seperti bidang spiritual, ekonomi, rkologi dll. Tentu saja tantangan seperti ini tidak boleh
kita biarkan tanpa kritik, atau respons kritis dan kreatif yang dapat dengan baik menjawab tantangan-
tantangan tersebut secara rasional dan elegan, dan tidak semata-mata bersifat dogmatis dan otoriter.
Dan di sinilah beliau melihat bahwa filsafat Islam bisa berperan sangat aktif dan signifikan.

b.Filsafat sebagai Pendukung Agama


Berbeda dengan yang dikonsepsikan al-Ghazali, di mana filsafat dipandang sebagai lawan bagi
agama, beliau (Mulyadhi Kartanegara) melihat filsafat bisa kita jadikan sebagai mitra atau pendukung
bagi agama. Dalam keadaan di mana agama mendapat serangan yang gencar dari sains dan filsafat
modern, filsafat Islam bisa bertindak sebagai pembela atau tameng bagi agama, dengan cara
menjawab serangan sains dan filsafat modern terhadap agama secara filosofis dan rasional. Karena
menurut hemat saya tantangan ilmiah-filosofis harus dijawab juga secara ilmiah-filosofis dan bukan
semata-mata secara dogmatis. Dengan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang menempatkan akal
pada posisi yang terhormat, saya yakin bahwa Islam, pada dasarnya bisa dijelaskan secara rasional
dan logis.
Selama ini filsafat dicurigai sebagai disiplin ilmu yang dapat mengancam agama. Ya, memang
betul. Apaalagi filsafat yang selama ini kita pelajari bukanlah filsafat Islam, melainkan filsafat Barat
yang telah lama tercerabut dari akar-akar metafisiknya. Tetapi kalau kita betul-betul mempelajari
filsafat Islam dan mengarahkannya secara benar, maka filsafat Islam juga adalah sangat potensial
untuk menjadi mitra filsafat atau bahwan pendukung agama. Di sini filsafat bisa bertindak sebagai
benteng yang melindungi agama dari berbagai ancaman dan serangan ilmiah-filosofis seperti yang
saya deskrisikan di atas.
Serangan terhadap eksistensi Tuhan, misalnya dapat dijawab dengan berbagai argumen adanya
Tuhan yang telah banyak dikemukakan oleh para filosof Muslim, dari al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd
dll., seperti yang telah saya jelaskan antara lain dalam buku saya Menembus Batas Waktu. Serangan
terhadap wahyu bisa dijawab oleh berbagai teori pewahyuan yang telah dikemukakan oleh banyak
pemikir Muslim dari al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Taymiyyah, Ibn Rusyd, Mulla Shadra dll.
3. CIRI-CIRI FILSAFAT ISLAM
Filsafat Islam mempunyai ciri-ciri  sebagai berikut :
                                                               Sebagai Filsafat Relegius

9
Topik-topik filsafat Islam bersifat relegius, dimulai dengan meng-Esakan Tuhan dan
menganalisis secara universal dan menukik ke teori keTuhanan yang tak terdahuluaisebelunya.
Seolah-olah menyaingi alairan kalamiah Mu’tazilah dan Asy’ariyah yang mengoreksi kekurangan nya
dan berkonsentrasi mengambarkan Allah Yang Maha Agung dalam pola yang berlandasan tajrid
(pengabstrakan), tanzih (penyucian), keesaan mutlak dan kesempurnaan total. Dari Yang Esa ber-
emanasi segala sesuatu. Karena Ia  pencita, maka Ia menciptakan dari bukan sesuau, menciptakan
alam sejak azzali, mengatur dan menatanya. Karena alam merupakan akibat bagi-Nya, maka dalam
wujud dan keabadian-Nya, maka Ia menciptakannya karena semata-mata anugerah-Nya.
                                                              Filsafat Rasional
Akal manusia juga merupakan salah satu potensi jiwa dan disebut rasional soul. Walaupun
berciri khas relegius-spritual, tetapi tetap bertumpu pada akal dalam menafsirkan problematika
ketuhanan, manusia dan alam, karena wajib al-wujud adalah akal murni. Ia adalah obyek berpikir
sekaligus obyek pemikiran.
                                                                Filsafat Sinkretis
Filsafat Islam memadukan antara sesama filosof. Memadukan berarti mendekatkan dan
mengumpulkan dua sudut, dalam filsafat ada aspek-aspek yang tidak  sesuai dengan agama.
Sebaliknya sebagian dari teks agama ada yang tidak sejalan dengan sudut pandang filsafat. Para
filosuf Islam secara khusus konsentrasi mempelajari Plato dan Ariestoteles. Untuk itu mereka
menerjemahkan dialog-dialog penting Plato. Republik, hukum, Themaus, Sophis, Paidon, dan
Apologia (pidato pembelaan Socretes).
                                                               Filsafat yang Berhubungan Kuat dengan Ilmu Pengetahuan
Saling take and give, karena dalam kajian-kajian filosof terdapat ilmu pengetahun dan sejumlah
problematika saintis, sebaliknya dalam saintis terdapat prinsip-prinsip dan teori-teori filosofis.
Filosof Islam menganggap ilmu-ilmu pengetahuan rasional sebagai bagian dari filsafat.  Misalnya
adalah buku As-Syifa’   milik Ibnu  Sina yang merupakan Encyclopedia,  Al-Qanun, kemudian Al-
Kindi mengkaji masalah-masalah matematis dan fisis. Al-Farabi mempunyai kajian Ilmu ukur dan
mekanik.

E.  Tokoh Filsafat Islam


1.      Al-Kindi
Hidup  pada tahun 796-873 M  pada masa  khalifah al-Makmun dan  al-Mu’tashim. Al-Kindi
menganut aliran Mu’tazilah dan kemudian belajar filsafat.  Menurut Al-Kindi filsafat yang paling
tinggi adalah filsafat tentang Tuhan. Kata Al-Kindi : Filsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya
adalah filsafat utama, yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab dari segala yang
benar. Masih menurut Al-Kindi kebenaran ialah bersesuaian apa yang ada dalam akal dan yang ada
diluar akal.

10
Di dalam alam terdapat benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indra. Benda-beanda
ini merupakan juz’iyat. Yang terpenting bagi filsafat bukan  juz’iyat yang tak terhingga banyaknya,
tetapi yang terpenting adalah hakekat yang terdapat dalam juz’iyat, yaitu kauliyat. Kemudian
filsafatnya   yang lain yaitu tentang jiwa an roh.
2.    Al-Farabi
Al-Farabi hidup tahun 870-950 M, dia meninggal dalam usia 80 tahun. Filsafatnya yang
terkenal adalah teori emanasi (pancaran). Filsafatnya mengatakan bahwa yang banyak ini timbul dari
Yang Satu. Tuhan bersifat Maha Satu tidak berubah, jauh dari materi , jauh dari arti banyak, Maha
sempurna dan tidak berhajat apapun. Kalau demikian hakekat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam 
materi yang banyak ini dari yang Maha satu?
Menurut Al-Farabi alam terjadi dengan cara emanasi atau pancaran dari Tuhan yang berubah
menjadi suatu maujud. Perubahan itu mulai dari akal pertama sampai akal kesepuluh. Kemudian dari
akal kesepuluh muncullah berupa bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari
empat unsur: api, udara, air dan tanah. Pada falsaft kenabian dia mengatakan bahwa Nabi dan rasul
adalah pilihan, dan komunikasi dengan akal kesepuluh terjadi bukan atas usaha sendiri tetapi atas
pemberian Tuhan
3.   Ibnu Sina
Ibnu Sina lahir di Asyfana 980 M dan wafat di Isfahana tahun 1037 M. pemikiran terpenting
yang dihasilkan oleh Ibnu Sina adalah tentang jiwa.  Ibnu Sina juga manganut paham pancaran, jiwa
manusia memancar dari akal kesepuluh. Dia membagi jiwa dalam tiga bagian, yaitu jiwa tumbuh-
tumbuhan (nafsu nabatiyah), jiwa binatang ( nafsu hayanawiyah), dan jiwa manusia (nafsu natiqah).
Filsafat tentang wahyu dan nabi ia berpendapat, bahwa Tuhan menganugrahkan akal meteriil
yang besar lagi kuat yang disebut al-hads (intuisi). Tanpa melalui latihan dengan mudah dapat
berhubungan dengan akal aktif  dan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal
yang seperti ini mempunyai daya suci (quwwatul qudsiyah). Ini bentuk akal tertinggi yang dapat
diperoleh manusia, dan terdapat hanya pada nabi-nabi.
Dari beberapa kajian diatas, filosof muslim dlam pemikirannaya selalu bersandar kepada
Tuhan, meskipun rasio digunakan secara bebas dab radikal  namun masih terkendali oleh wahyau
yang merupakan pangkal dari agama Islam.
B. Temah –Temah Dalam Filsafat Islam

Ada tiga tema besar yang sangat penting dalam filsafat Islam yaitu; pertama tentang masalah
Tuhan, kedua tentang Alam, dan yang ketiga tentang Manusia. Menurut Prof. Dr. Mulyadi
Kartanegara ketiga tema ini penting untuk dikemukakan, dan harus ada ketika kita membahas tentang
tradisi filsafat islam. Menurut beliau, pada zaman post modern ini, telah terjadi perubahan pandangan
dunia secara fundamental yang mencabut akar-akar tradisi dan akhidah suatu agama.

11
F. Budi Hardiman dalam bukunya juga berpendapat sama “perkembangan pemikiran dari
natural orented menuju rasionalitas, menjadikan orientasi manusia dengan alamnya bergeser sangat
tajam. Masyarakat pra-modern bersifat cosmo centris. dalam arti antara lingkungan batiniyah tak
terdapat jarak yang tegas. Alam lahiriah terpantul dalam alam batiniyah dan sebaliknya, sehingga kita
bisa berbicara mengenai harmoni antara makrokosmos dan mikrokosmos”. akibat dari modernitas
yang “keliru”, sehingga kita tidak dapat lagi membedakan dengan baik pandangan bijak/arif
(Filosof/hukama) yang sangat dibutuhkan untuk mengimbangi pandangan dunia skuler. Hal ini dapat
merusak sendi-sendi keimanan, tradisi dan tatanan moral bangsa.
a.Tuhan
Tuhan adalah tema yang sangat penting dalam kajian filsafat Islam hal ini bekaitan erat dengan
hal kenyakinan yang menyangkut penciptaan, atau istilah aristoteles adalah penggerak yang tak dapat
digerakkan. Lain halnya di dunia Barat, banyak ilmuan dan filusuf yang berusaha menyingkirkan
Tuhan, diantaranya Nietzsche. Ia berpendapat bahwa Tuhan telah mati begitu, juga Karl Marx yang
mengatakan bahwa agama sebagai candu yang dapat meracuni setiap pemeluknya. Oleh karena itu,
para filusuf muslim membuat suatu antisipasi khususnya bagi kaum muslimin umumnya seluruh
manusia yang ingin mendapat kebenaran hakiki, yaitu kebenaran yang muncul dari suatu Zat yang
Maha Benar yaitu Tuhan
. Mereka memasukkan tema Tuhan dalam suatu pemikirannya dan itu dianggap sangat penting.
Bahkan, Tuhan adalah segalanya bagi para filusuf muslim, denagn pembahasan Tuhan ini maka akan
terlahir pembahasan-pembahasan selain Tuhan (ciptaan-Nya) termasuk tentang alam dan manusia.
Mulla Shadra menyebutkan Tuhan adalah sang wujud murni sebagai syarat bagi adanya yang lain .
Para sainsific modern mensingkirkan (menyisihkan) Tuhan sebagai objek metafisik, sementara dalam
tradisi intelektual Islam Tuhan adalah objek penilitian yang tertinggi dan termulia yang bukan hanya
akan meyebabkan ilmu tentang-Nya sebuah disiplin ilmu yang tertinggi tetapi juga yang dipercaya
akan mendatangkan kebahagiaan tertinggi bagi siapa saja yang mempelajarinya dengan demikian
kajian ini dapat dijadikan sebagai basis moral bagi penelitian ilmiah. Setidaknya konsep filosofis
tentang Tuhan akan mendiskusikan beberapa kajian:

1. Tuhan sebagai sebab


Pendapat yang mengatakan Tuhan adalah sebagai penyebab yang pertama (Al-Illat, Al-Ula)
pertama kali dikemukakan oleh filusuf Yunani yaitu Aristoteles. Kemudian diadopsi oleh filosuf
muslim seperti Al Kindi. Konsep ini mempersepsikan Tuhan sebagai sebab dari keyakinan bahwa
suatu kejadian tidak bisa terjadi karena dirinya sendiri, tetapi terjadi karena sesuatu yang lain. Sesuatu
yang lain itulah yang dikatakan sebab, sedangkan kejadian itu sendiri disebut dengan akibat atau
musabab.
Kejadian selalu mengandaikan perubahan, danm seperti yang telah kita singgung, setiap
perubahan atau kejadian selalu membutuhkan sebuah Murajjih atau sufficient reason (alasan yang

12
memadai) untuk pengaktualannya . Ketika Tuhan dikatakan sebagai sebab, maka biasanya disebut
sebab pertama (Aristoteles, kausa prima), yang menunjukkan betapa Ia adalah sebab paling awal dan
paling fundamental dari semua sebab-sebab lainnya.
Sebagai sebab pertama, maka Ia sekaligus adalah sumber, darimana segala sesuatu yang lain
yakni alam semesta berasal. Kalau setiap kejadian tidak bisa dibayangkan terjadi, kecuali melalui
yang lain maka setiap kejadian berarti membutuhkan sebuah sebab, tetapi sebab tersebut sebagai
“kejadian pada dirinya”, jika pasti membutuhkan sebab yang lain dan seterusnya. Tetapi betapapun
panjangnya rangkaian sebab ini namun tidak terbayangkan kalau rangkaian ini bersifat taksalsul
(berlangsung tanpa akhir). Oleh karena itu, maka baik para filusuf Yunani maupun filusuf Muslim
sepakat bahwa rangkaian sebab itu harus berhenti pada sebuah sebab yang tak bersebab (The
Uncaused), yang disebut Tuhan.

2. Tuhan sebagai wujud niscaya (Wajib Al-wujud)


Sebagai filusuf Muslim meyakini bahwa argumen ini tidak memuaskan seperti halnya Ibnu
Husna (W.1037) misalnya Tuhan yang dipersepsikan sebagai sebab pertama atau penggerak yang
tidak bergerak hanya akan menjelaskan tentang bagaimana peristiwa alam ini terjadi, tetapi tidak
secara otomatis menyatakan bahwa Tuhan adalah sumber atau pencipta alam semesta. Oleh karena
itu, Ibni Sina berusaha keras untuk mengkonsepsikan Tuhan, yang menurutnya lebih baik, yaitu
sebagai wujud yang niscaya .
Tuhan menurut Ibnu Sina, adalah Wajib Al -Wujud (wujud niscaya) sedangkan selainnya
(alam) dipandang sebagai Mumkin Al-wujud (wujud yang mungkin). Tetapi yang dimaksud sebagai
Wajib Al-wujud disini adalah wujud yang senantiasa ada dengan sebenarnya, atau dalam istilah
Mulyadi Kartanegara wujud yang senantiasa aktual. Dengan demikian, Tuhan adalah wujud yang
senantiasa ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan sesuatu apapun untuk mengaktualkannya.
Seperti halnya yang dikemukakan oleh ibn Al-Arabi bahwa Tuhan adalah Wujud dari segala Wujud.
Tidak akan ada Maujud (mahluq) kalau tidak ada Wujud (kholiq). Begitupun sebaliknya. Oleh
sebab karena adanya Wujud lah Maujud itu ada. Tuhan adalah Wujud satu-satu-Nya. Jika pun ada, itu
bergantung pada Wujud itu. Segala sesuatu yang maujud adalah wujud (ada) tetapi bukan wujud.
Antara Wujud dan Maujud ini tidak bisa di pisahkan satu sama lain-Nya.
Dalam penciptaan materi pertama, Tuhan menciptakan segalasesuatu berpasang-pasangan-
sebenarnya, wujud pertama diciptakan tanpa didahului oleh sebuah sebab, namun sebab lain haruslah
dianggap sebagai pemikiran yang datang lebih awal. Ibn ‘Arabi mecontohkan dengan pemikiran
kenyang datang sebelum makan, pemikiran pemuasan dahaga datang sebelum minum, keinginan
melakukan berbuat baik datang sebelum berbuat,pemikiran atas pahala datang sebelum melakukan
perbuatan baik, rasa takut terhadap azabnya datang sebelum berbuat dosa, dan seterusnya.

13
Hal ini tentunya berbeda dengan alam yang dikategorikan sebagai Mumkin Al-wujud artinya
wujud potensia sehingga memiliki kemungkinan untuk ada atau aktual, tetapi belum lagi aktual.
Sebagai Mumkin Al-wujud alam membedakan dirinya dengan Wajib Al-wujud, disatu pihak dan
Mumtani Al-wujud yang mustahil ada atau aktual, karena tidak memiliki potensi apapun untuk
mengada di pihak lain. Alam sebagai Mumkin Al-wujud memiliki potensi untuk ada dan berbeda
dengan Mumtani Al-wujud yang tidak memiliki potensi untuk ada. Namun alam sebagai potensi, ia
tidak bisa mengaktualkan atau mewujudkan dirinya sendiri, karena ia tidak memiliki prinsip aktualitas
untuk mengaktualkan potensinya.
3. Tuhan sebagai cahaya
Pendapat ini dikemukakan oleh tokoh Suhrawardi dengan istilahnya Tuhan adalah cahaya dari
segala cahaya (Nur Al-anwar). Sebenarnya Suhrawardi yang mengkonsepsikan Tuhan sebagai cahaya
sebab Al Ghazali sebelumnya juga telah menulis sebuah kitab yang berjudul Misykat Al-anwar.
Dalam kitab ini ia juga mengkonsepsikan Tuhan sebagai cahaya meskipun demikian Suhrawardi
adalah filusuf Muslim yang mengambil simbol cahaya secara serius dengan konsekuensi logisnya dan
ia dijadikan dasar konsep filsafatnya yang dikenal Hikmah.
Al-isyraq atau filsafat iluminasi menurutnya apapun yang ada di alam semesta terdiri atau
terbagi cahaya dengan cahaya illahi yang menjadi sumber sejatinya. Kalau Tuhan dipandang sebagai
cahaya maka apakah cahaya itu, dan bagaimana “cahaya” itu dapat “menciptakan” alam semesta?
Sifat cahaya adalah terang pada dirinya dan bisa membuat terang pada yang lain. Oleh karena itu
cahaya menurut Suhrawardi tidak perlu didefinisikan karena definis dibuat untuk menerangkan.
Oleh karena itu, cahaya tidak perlu didefinisikan. Yang lain perlu didenfinisikan karena belum
terang bahkan gelap sehingga perlu cahaya untuk membuat terang. Suhrawardi menggambarkan
bagaimana Tuhan sebagai cahaya yang menciptakan alam semesta? Alam ibarat ruang yang sama
sekali gelap tetapi tidak kosong melainkan terdapat banyak hal yang secara potensial bisa nampak
tetapi karena gelapnya, maka benda-benda atau entitas-entitas potensial ini masih tersembunyi dari
penampakannya.
Nah ketika Tuhan sebagai cahaya menyinari ruang yang gelap itu, maka satu per satu benda-
benda yang tersembunyi menyembul dari kegelapan. Demikian juga alam semesta beserta isinya tidak
akan muncul ke permukaan (diciptakan) kecuali setelah tersentuh oleh cahaya dari segala cahaya yaitu
Tuhan.
4. Tuhan sebagai wujud murni
Filusuf yang mengkonsepsikan Tuhan sebagai wujud murni adalah Mulla Shadra. Dikatakan
wujud murni karena berbeda dengan wujud-wujud lainnya yang selalu bercampur dengan esensi
(Mahhiyah), Tuhan tidak memiliki apapun kecuali wujud. Ia tidak bercampur dengan Mahhiyah
(esensi) Tuhan adalah wujud murni, tanpa esensi. Tuhan, memang diakui Mulla Shadra memiliki sifat
tetapi sifat-sifat itu tiadk dikonsepsikan sebagai sesuatu yang berada di luar atau ditambahkan kepada
dirinya melainkan identik dengan zatnya.

14
Kalau Tuhan memiliki esensi maka akan terjadi bukan hanya tarkid (komposisi) pada diri
Tuhan, yang tak mungkin terjadi, tetapi juga ketergantungan Tuhan pada esensinya. Kalau itu yang
terjadi maka Ia akan menjadi Mumkin Al-wujud bukan Wajib Al-wujud demikian juga
kalau sifat Tuhan dipandang sebagai sesuatu yang ditambahkan dari luar kepada esensinya
maka akan terjadi tarkid yang mengancam keesaan-Nya. Tuhan, sebagai wujud, haruslah esa. Kalau
Tuhan dikonsepsikan sebagai ”yang tertinggi derajatnyadi antara wujud-wujud yang lain yang tidak
ada apa pun selainnya, yang melampaui ketinggiannya, maka wujud seperti itu haruslah hanya satu,
maka pasti tidak akan ada yang tertinggi, tapi itu mustahil. Dan diantara yang keduanya harus ada
yang paling tinggi. Kalau kalau di atas tuhan, masih terbayang ada yang lebih tinggi, maka yang lebih
tinggi itulah Tuhan. Hal ini yang disebut dengan istilah dalil ontologis. Adapun modus pembuktian
adanya Tuhan oleh mulla shadra disebut dalil al-shiddiqin. Argumen (dalil) ini menyatakan bahwa
Tuhan sebagai wujud murni, tidak perlu dibuktikan, karena telah terbukti sendiri (self-evident) atau
dalam istilahnya sendiri “badihi”.
b. Alam
Ada beberapa persoalan filosofis yang sangat penting dalam ajaran filsafat islam yang berkaitan
dengan alam diantaranya, apakah alam diciptakan melalui kehendak Tuhan atau sebuah keniscayaan
logis?, apakah alam abadi atau diciptakan dalam waktu?, apakah alam diatur oleh Tuhan atau melalui
sebab sekunder?, adakah evolusi kreatif pada alam? dan sebagainya.
1. Apakah alam diciptakan melalui kehendak Tuhan atau sebuah keniscayaan logis?
Ini adalah pertanyaan penting tentang penciptaan yang diperdebatkan oleh berbagai kalangan
filusuf islam termasuk para teolog. Dalam pembahasan yang lalu Tuhan diumpamakan sebagai cahaya
atau lebih jelasnya diibaratkan seperti matahari, dan alam sebagai pencaran atau cahayanya,
pertanyaannya adalah apakah memancarnya cahaya matahari berdasarkan kehendak bebas matahari,
atau merupakan sebuah keniscayaan? Hal ini sangat berhubungan dengan teori Imanasi yang
dikemukakan oleh para filosof Peripatetik, khususnya Al Farabi dan Ibnu Sina percaya bahwa Tuhan
hanya patut memikirkan sesuatu yang paling mulia, yakni dirinya sendiri saja dan tidak pantas
memikirkan yang lainnya. Dengan demikian jelas bagi para filusuf di atas alam merupakan pancaran
dari kegiatan berfikir Tuhan, tercipta (dalam arti memancar dari Tuhan), tidak melalui kehendakNya,
melainkan sebuah keniscayaan logis.
Kapan saja ada kegiatan berfikir maka niscaya ada sesuatu yang terpancar dariNya, disengaja
atau tidak disengaja .
1.      Apakah alam itu abadi atau diciptakan dalam waktu?
Permasalahan ini sangat diperdebatkan di antara kaum filusuf dan teolog, para filusuf dikenal
sebagai pemikir muslim yang berpandangan bahwa alam itu abadi. Dalam sejarah Filsafat Islam Al
Ghazali dengan sangat keras mengecam pandangan para filusuf tentang keabadian alam ini. Bahkan
dia mengkafirkan para filusuf. Al Ghazali meyetakan bahwa statement para filusuf bertentangan
dengan keterangan Al-Qur’an yang mengatakan “Segala sesuatu yang ada di alam semesta akan

15
musnah (fana) kecuali Allah”, menurut Al Ghazali pandangan para filusuf tersebut tidak logis karena
kalau alam itu abadi dan Tuhan abadi maka bagaimana menentukan siapa yang pencipta.
Kalau kita mengatakan Tuhan itu abadi, sedangkan alam itu baru atau diciptakan maka kita
akan mudah menunjukkan secara logis bahwa Tuhan adalah pencipta alam. Tetapi kalau kita
mengatakan alam itu abadi, artinya telah ada sejak dulu bersama-sama Tuhan, maka tentu kita akan
mengalami kesulitan untuk mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta alam, karena betapapun
pencipta harus mendahului ciptaannya . Kritik di atas para filusuf khususnya Ibnu Rusyd mencoba
memberikan penjelasan yang logis.
Kalau kita kembali pada teori Emanasi dan Tuhan diibaratkan sebagai matahari sebagaimana
contoh Tuhan (sebagai matahari) dan alam (cahayanya), maka tentu cahaya matahari akan ada
bersamaan dengan matahari itu sendiri karena begitu ada matahari niscaya ada cahayanya. Tetapi
bukankah masih dalam batas kemungkinan bahwa sekalipun sinar matahari ada bersamaan dengan
adanya matahari, tetapi tetap saja matahari disebut sebagai sebab bagi sinar yang dipancarkannya.
3. Apakah alam diatur langsung oleh Tuhan atau melalui sebab sekunder?
Hal ini berkaitan dengan permasalahan teolog yaitu apakah alam sebagai ciptaan Tuhan yang
diatur secara langsung atau melalui perantara? Para teolog Al Asyariyyah sebagai bentuk protes
kepada Mu’tazillah, mengatakan bahwa Tuhan adalah sebab langsung bagi apapun yang ada di alam
semesta ini dan untuk menguatkan pendirian mereka dengan mengemukakan teori atom yang menurut
hemat Majib Fachri dipinjam dari pemikir India.
Menurut teori ini alam terdiri dari atom-atom. Tetapi atom-atom tersebut hanya bertahan satu
sampai dua saat lalu musnah. Nah, untuk mempertahankan keberadaan alam ini maka Tuhan harus
menciptakan atom-atom sejenis setiap ada atom yang lama musnah berarti Tuhan dipandang oleh
mereka sebagai yang mencipta setiap saat. Dari pandangan di atas dapat dikatakan Tuhan adalah
sebab langsung bagi semua peristiwa yang ada di alam semesta tapi disisi yang lain Tuhanpun kadang
menggunakan perantara seperti malaikat untuk menyempaikan wahyu kepada nabi dan sebagainya.
Kalau kembali keajaran Peripatetik khususnya Ibnu Sina tentang akal aktif (Al-Aql Al Fa’al)
sebagai pemberi bentuk (Wahib Al shuar), maka di sana jelas betapa sebab langsung pembentukan
alam di bawah bulan bukanlah Tuhan sendiri, tetapi akal aktif sedangkan istilah sunatullah yang
dinyatakan dalam Al-Qur’an sebagai sesuatu yang tidak akan berubah .
3.Apakah alam berkembang secara evolutif ?
Kita pada umumnya berfikir bahwa alam diciptakan sekali, dan apapun yang terjadi di alam
raya telah ditentukan secara fixed-deterministic sebelumnya pandangan pre deterministic ini dalam
sejarah pemikiran Islam antara lain dikemukakan oleh para teolog-teolog rasionalis antara lain teolog
Mu’tajillah khususnya Anazham dalam apa yang disebut sebagai teori Latensi (khumun).
Menurut pandangan ini, penciptaan terjadi sekali dan untuk selamanya tetapi tidak semua yang
telah diciptakan tersebut teraktualisasi secara sekaligus.Tetapi kita juga melihat beberapa pemikir
khususnya para sufi dan filusuf yang berfikir bahwa alam berkembang secara evolutif kreatif, dan

16
karena itu mereka percaya bahwa penciptaan itu terjadi secara terus-menerus dalam sejarah pemikiran
Islam teori ini telah dikemukakan dalam tulisan Al Jahizh, yang dalam kitabnya Al Hawayan
memperhatikan betapa burung-burung yang telah bermigrasi mengalami perubahan-perubahan yang
sangat gradual. Namun Ibnu Maskawenah lah yang sangat serius dalam pemikiran ini seperti yang
dikatakan Iqbal dalam bukunya The Development of Metafisical in Thought in Persia khususnya
dalam kitabnya Al Fauz Al Ashghar memperlihatkan evolusi pada alam misalnya dikatakan bahwa
alam tumbuh mengalami perkembangan yang semakin sempurna, dan tercapai puncaknya pada pohon
kurma yang telah bisa membuahi dirinya sendiri karena sifatnya yang biseksual.
Pandangan penciptaan evolutif kreatif lebih jelas lagi dalam karya-karya Jalal Al Din Rumi,
khususnya Al Matsnawi, yang menjelaskan dengan gamblang jalannya proses evolusi yang dialami
oleh alam hingga tercapai tingkat manusia. Manusia telah dipandang oleh Rumi berevolusi dari dunia
mineral, tumbuhan, hewan dan akhirnya manusia. Rumi percaya bahwa evolusi akan berlangsung
setelah kematian manusia.
Pandangan penciptaan kreatif evolutif juga dikemukakan oleh Muhlasadra dalam teorinya yang
terkenal dengan istilah gerakan substansial (Al Harakah Al Jauhariyyah) . Menurut teori ini alam terus
berubah, bukan hanya pada taraf aksidental tetapi juga substansial. Mullashadra berkata setiap
perubahan pada aksiden membutuhkan juga perubahan pada tingkat substansi.

c. Manusia
Dalam pembahasan manusia setidaknya ada tiga pembahasan yang sangat penting yang sering
di jelaskan dalam kajian filsafat islam ertama Manusia sebagai mikrokosmos, kedua theomorfis, dan
ketiga manusia dan kebebasannya.
1. Manusia sebagai mikrokosmos Manusia disebut mikrokosmos karena sekalipun kecil tetapi
didalamnya ia mengandung semua unsur kosmic, dari mulai mineral, tumbuhan, hewan, bahkan unsur
malaikat dan unsur illahi (berupa ruh yang ditiup Tuhan kepada dirinya), hal ini yang membuat
mahkluk dikatakan sebagai mahkluk dua dimensi yaitu mahkluk fisik dan spiritual .
2. Manusia sebagai theomorfis Para sufi cenderung percaya bahwa manusia sebagai tujuan akhir
penciptaan. Berdasarkan pada hadis qudsi yang mengatakan: kalau bukan karena engkau niscaya tidak
akan Aku ciptakan alam semesta
3. Manusia dan kebebasannya Tema ini berhubungan dengan paham Jabariyah maupun Qadariyah.
Kaum Jabariyah mengatakan apapun yang dilakukan manusia semuanya telah ditentukan terlebih
dahulu oleh Tuhan sedangakan Qadariyah menyatakan sebaliknya bahwa manusia adalah yang
menentukan tindakan-tindakannya .

17
BAB III

ALQUR’AN DAN MUKJIZATNYA

A.    Al-Qur’an berisi kesimpulan surat dari Allah kepada manusia dan mukjizatnya

Secara etimologi al-Qur’an  merupakan bentuk  masdar dari kata Qoroa  yang  artinya
mengumpulkan atau  menghimpun. Dan qiroah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu
dengan yang laindalam suatu ucapan yang tersusun rapih.[9]

Secara terminology al-Qur’an sering  diartikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat jibril sebagai mukjizat yang dimauali surah al
fatihah dan diakhiri dengan surah an-nas.

Al-Qur’an setidaknya  mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai ajaran, dan bukti kebenaran 
kerasulan Muhammad saw. Sebagai sumber ajaran, al-Qur’an memberikan berbagai norma
keagamaan sebagai petunjuk  bagi kehidupan  ummat manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup  di
dunia dan akhirat. Karena sifatnya  memberi arah, norma-norma tersebut kemudian dinamai syariah
yang berarti jalan lurus.

Dalam kajian-kajian keagamaan, istilah syari’ah seringkali direduksi sehingga mempunyai


konotasi norma-norma hokum belaka. Padahal, syari’ah mencakup berbagai segi ajaran keagamaan :
akidah, akhlaq, ‘amaliyah dan sebagainya.

Disamping sebagai sumber ajaran, al-Qur’an juga disampaikan Tuhan untuk menjadi bukti
kebenaran kerasulan Muhammad, terutama bagi mereka yang menentang dakwah-dakwahnya. Bukti-
bukti kebenaran tersebut dalam kajian ilmu-ilmu al-Qur’an disebut mu’jizat. Dengan demikian, al-
Qur’an sebagai mu’jizat berma’na bahwa al-Qur’an merupakan sesuatu yang mampu melemahkan
tantangan menciptakan karya yang serupa denganya. Al-Qur’an telah berkali-kali  melontarkan
tantangan kepada mereka [ kafir makah ] untuk membuat karya seperti al-Qur’an sebagaimana
terekam dalam surah al-Isro’ ayat 88 : “ katakanlah: sungguh andaikan manusia dan jin berkumpul
untuk mengadakan yang serupa Qur’an ini, niscaya mereka tiada akan dapat membuat yang serupa
Qur’an, biarpun sebagianya menjadi pembantu bagi sebagian yang lain “.

Kemudian al-Qur’an menantang mereka untuk membuat 10 surat seperti surat-surat dalam al-
Qur’an. Hal ini dijelaskan dalam surat Hud ayat 13 : “ Atau mereka mengatakan: “ Dialah yang
mengada-adakan al-Qur’an.”Katakanlah: “Kemukakanlah sepuluh surat yang diada-adakan itu
yang menyamai al-Qur’an dan panggilah siapa pun yang sanggup selain Allah, kalau kamu benar”.

18
Ada tiga penyair  hebat – Abul Ala Al-Ma’ri, Al-Mutanabbi dan Ibn al-Muqoffa- berusaha
memenuhi tantangan ini. Ternyata mereka tidak sanggup menggubah satu ayat pun, sehingga mereka
mematah-matahkan pena dan merobek –robek kertas mereka.[10]Akhirnya al-Qur’an menantang
mereka untuk membuat satu surat saja, sebagaimana terbaca dalam surat Al-Baqoroh ayat 23 : “ Dan
jika kamu masih ragu-ragu tentang kebenaran Al-Qur’an yang kami turunkan kepada hamba kami
[ Muhammad ], cobalah kamu kamu kemukakan sebuah surat seumpama al-Qur’an dan panggilah
pembantu-pembantu selain Allah, bila kamu benar “.

Allah telah menentukan keabadian mukjizat islam sehingga kemampuan manusia menjadi tak
berdaya menandinginya, padahal waktu yang tersedia cukup panjang dan ilmu pengetahuan pun telah
maju pesat.

Pembicaraan tentang kemukjizatan qur’an juga merupakan satu macam mukjizat tersendiri,
yang di dalamnya para penyelidik tidak bisa mencapai rahasia satu sisi daripadanya sampai ia
mendapatkan di balik sisi itu sisi-sisi lain yang akan disingkapkan rahasia kemukjizatannya oleh
zaman. Demekianlah persis dikatakan oleh ar-Rafi’i : betapa serupa quran, dalam susunan
kemukjizatannya dengan system alam, yang dikerumuni oleh para ulam dari segala arah serta diliputi
dari segala sisinya. Segala sisi itumereka jadi kan objek kajian dan penyelidikan, namun bagi mereka
ia senantiasa tetap menjadi makhluk baru dan tempat tujuan yang jauh.

B.     Manusia sebagai objek dan subjek diturunkannya Al-Qur’an

Wahyu yang terakhir yang diturunkan kepada nabi Muhammad merupakan penyempurna 
sekaligus  korektor [ mushaddiq ]  bagi kitab-kitab  yang turun  sebelumnya. Al-Qur'an  dating 
dengan membawa ribuan  pesan untuk manusia. Ribuan pesan yang  terurai  dalam  114  surat itu
utamanya  ditujukan untuk  manusia  sebagai obyek central  diturunkanya al-Qur'an, sebagaimana 
dijelaskan dalam al-Qur'an, surat  al-Jatsiyah : 20 :" Ini  adalah bashooir [ pedoman ] bagi manusia,
serta petunjuk dan rahmat  bagi kaum yang meyakini "

Manusia  dijadikan  sasaran  pokok diturunkanya al-Qur'an  karena posisi dia  sebagai
kholifatullah [ wakil Allah ] di bumi. Untuk  menunjang  fungsinya sebagai kholifatullah filardh,
maka Allah  membekalinya dengan akal dan nafsu. Namun perlu diperhatikan  bahwa akal dan nafsu
yang melekat pada diri manusia  akan sangat  membahayakan  bagi  kestabilan kehidupan alam dan
isinya  apabila  dibiarkan  bergerak liar. Oleh karena itu  dibutuhkan  sebuah  tuntunan  yang
mengatur kehidupan manusia.

Selain  manusia  menjadi objek diturunkanya al-Qur’an, manusia juga sebagai subjek yang
diperintahkan untuk mempelajari, menghayati, meneliti dan memikirkan kandungan al-Qur’an

19
sebagaimana diisyaratkan oleh ayat yang pertama kali turun, yaitu “ IQRO’”. Kata iqro’ tidak hanya
memiliki  arti  membaca, namun lebih dari itu kata “ iqro” dimaknai membaca dengan meneliti,
mendalami artinya.

Selanjutnya di dalam al-Qur’an terdapat  pula  ayat yang berisi kecaman terhadap orang  yang
tidak  mau  memikirkan al-Qur’an, seperti bunyi ayat  24 surat Muhammad : “ Maka  apakah 
mereka tidak  memperhatikan al-Qur’an  bahkan pada hati mereka terpasang kunci-kun cinya

Dengan membaca, merenungkan makna-maknanya, lalu memperagakan dalam kehidupan,


maka diharapkan akan terwujud kehidupan yang Qur’ani sebagaimana kehidupan Rosulullah saw.
Seandainya  bumi ini dihuni  oleh Muhammad-Muhammad kecil, niscaya tidak akan terdengar lagi
pertumbahan darah akibat keserakahan dan ketamakan manusia, alam merasa nyaman dengan
penghuninya, langit  menurunkan rahmatnya dan bumi  mengeluarkan berkahnya.

C.    Al-Qur’an memerintahkan manusia bersifilsafat (afala ta’qilun,afala tafakkarun, afala


tadabbarun, afala tubsirun,dst….)

Akal adalah potensi (luar biasa) yang dianugerahkan Allah kepada manusia, karena dengan
akalnya manusia memperoleh pengetahuan dengan berbagai hal. Dengan akalnya manusia dapat mana
yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan yang buruk, mana yang menyelamatkan dan
mana yang menyesatkan, mengetahui rahasia hidup dan kehidupan dan seterusnya.

Oleh karena itu, adalah pada tempatnya kalau agama dan ajaran islam memberikan tempat yang
tinggi kepada akal, karena akal dapat digunakan memehami agama dan ajaran islam sebaik-baiknya
dan seluas-luasnya.

Berulangkali al-Qur’an memerintahkan manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya (QS.
Saba’ : 46). Tuntutan dalam berpikir meliputi kesugguhan, tanggung jawab, dan kemanfaatan.

Berikut ini adalah  ayat Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk selalu berpikir. (QS. Saba’: 46)

“ Katakanlah,”Aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja, yaitu agar kamu menghadap
Allah dengan ikhlas berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian agar kamu pikirkan (tentang
Muhammad). Kawanmu itu tidak gila sedikitpun. Dia tidak lain hanyalah seorang pemberi
peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras.”[12]

D.    Manusia sebagai hamba Allah dan khalifahnya

Allah Yang Mahakuasa lagi Maha Bijaksana dengan kehendak-kehendak-Nya, menciptakan


dunia dan seluruh isinya. Kemudian menjadikan manusia untuk tinggal di dalamnya dengan tujuan

20
memperhambakan diri kepada-Nya sekaligus menjadi khalifah-Nya. Manusia harus berperan sebagai
khalifah di bumi, untuk mengatur, mengelola, mengelola, mengembangkan dan membangun dunia
ini. Baik itu di bidang ekonomi, pendidikan, pertanian, kemasyarakatan, pembangunan dan lain-lain
sesuai syariat-Nya.

Ini telah dinyatakan melalui Al Quranul Karim, Firman Allah:

"Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di bumi." (Al Baqarah: 30)

Allah berfirman lagi:

"Kemudian Kami jadikan kamu khalifah-khalifah di bumi menggantikan mereka yang telah
dibinasakan itu." (Yunus: 14)

Meskipun Al Quranul Karim telah memberitahukan tugas dan tanggung jawab manusia di
dunia ini dan diberitahu mereka yang menunaikan tanggung jawab akan masuk ke surga, sedangkan
yang tidak bertanggung jawab akan ke neraka, namun tidak semua manusia percaya berita ini dan
beriman dengannya. Bahkan yang percaya dan beriman dengannya pun, karena tidak mampu
melawan nafsu dan memiliki kepentingan-kepentingan pribadi, banyak yang tidak dapat benar-benar
memperhambakan diri kepada Allah dan gagal menjadi khalifah-Nya yang mengatur dan mengelola
dunia ini dengan syariat-Nya. Karena itulah Allah berfirman:

"Sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur." (Saba ': 13)

Untuk mengenal dan mengetahui secara umum mengenai manusia yang hidup di dunia ini,
termasuk diri kita sendiri, kita akan memperlihatkan tingkat-tingkat manusia sebagai hamba dan
khalifah Allah di bumi ini. Nanti kita akan dapat mengira dan menduga di tingkat mana kita ini baik
itu di tingkat yang taat atau tingkat yang durhaka, tingkat yang bertanggung jawab atau yang
cuai.Pembagian manusia sebagai hamba Tuhan sekaligus khalifah-Nya adalah seperti berikut:

1. Golongan yang tidak tahu atau tidak sadar yang mereka itu hamba Tuhan dan khalifah-Nya.
Mereka ini adalah kaum yang tidak tahu, tidak sadar atau tidak mengambil tahu apakah dirinya hamba
dan khalifah Allah atau tidak karena mereka tidak beriman dengan Al Quran dan As Sunnah.Oleh itu
sudah tentu mereka tidak memperhambakan diri kepada Tuhan. Kalau ada yang memperhambakan
diri serta membuat penyembahan tetapi bukan kepada Allah dan caranya juga tidak seperti yang Allah
kehendaki. Begitu juga mereka mengatur kehidupan di dunia ini, tidak dengan syariat Tuhan tetapi
dengan ideologi yang mereka buat sendiri. Mereka tidak akan mengacu kepada peraturan Allah
karena mereka tidak menganggap dirinya khalifah Allah. Mereka berbuat sesuka hati. Mereka

21
mengelola kehidupan sama sekali tidak dihubungkan dengan Allah.Mereka itulah golongan orang-
orang kafir.

2. Golongan yang tahu bahwa mereka adalah hamba dan khalifah Allah di bumi tetapi rasa kehambaan
dan kekhalifahannya tidak ada atau tidak ada. Golongan ini tahu dan sadar bahwa mereka adalah
hamba Allah dan khalifah-Nya di bumi tetapi karena jahil, lemah melawan hawa nafsu, cinta
dunianya begitu kuat, kepentingan pribadinya terlalu banyak, maka yang demikian rasa
kehambaannya kepada Allah begitu lemah. Maka dia cuai memperhambakan diri kepada Allah.Sebab
itulah pengabdiannya kepada Allah lemah dan ceroboh. Bisa jadi tidak ada sama sekali.Begitu juga
rasa kekhalifahannya kepada Allah sudah tipis. Syariat Allah tidak berjalan di dalam usaha,
perjuangan dan pemerintahannya. Karena itu dalam berusaha, berjuang, mengatur, mengelola,
membangun dan memajukan dunia ini, mereka sudah tidak ada rasa tanggung jawab kepada
Allah. Maka mereka pun melakukan sewenang-wenang di bumi ini. Hukum yang dikembangkan
adalah berdasarkan akal atau ideologi atau pragmatisme bukan dari Al Quran dan As Sunnah
lagi. Kalau ada pun hanya di sudut-sudut yang sangat terbatas atau di aspek-aspek tertentu
saja. Mereka ini adalah kaum Muslim yang fasik atau zalim dan ditakuti, kalau dibiarkan terus bisa
membawa kepada kekufuran.

3. Golongan yang merasa kehambaan dan kekhalifahan kepada Allah di bumi. Rasa kehambaan dan rasa
kekhalifahannya kepada Allah itu kuat. Oleh itu mereka dapat melahirkan sifat-sifat kehambaan dan
memperhambakan diri kepada Allah dengan memperbaiki yang fardhu dan sunat dengan sungguh-
sungguh. Mereka juga dapat bertanggung jawab sebagai khalifah-Nya di bumi sesuai dengan posisi
dan kemampuan masing-masing. Mereka benar-benar bertanggung jawab dengan sebaik-baiknya di
sudut-sudut kekhalifahannya. Syariat Tuhan berjalan di dalam kepemimpinan mereka yang mereka
urus berdasar bidang dan peran masing-masing sesuai dengan kemampuan mereka. Itulah golongan
orang yang saleh. Mereka dibagi menjadi beberapa bagian pula yaitu: Golongan yang sederhana
(golongan ashabul yamin ) ,Golongan muqarrobin dan kaum as Siddiqin

4. Golongan yang sifat kehambaannya dan memperhambakan diri kepada Allah lebih menonjol dari
kekhalifahannya kepada Allah. Maksudnya mereka yang dari golongan orang saleh tadi, ada di antara
mereka, penumpuannya kepada beribadah kepada Allah lebih terlihat dan menonjol dengan
menghabiskan waktu beribadah, memperbanyak fadhoilul 'amal , berzikir, membaca Al Quran,
bertasbih, bersalawat dan mengerjakan praktek sunat baik itu shalat sunat maupun puasa sunat.Karena
itu mereka tidak dibebankan dengan tugas-tugas masyarakat yang berat-berat.

Mungkin sifat-sifat kepemimpinannya tidak menonjol atau lemah dibandingkan dengan


kehambaannya maka orang tidak menunjuk mereka menjadi pemimpin. Kalau ada pun sekedar
pemimpin keluarga dan masyarakat desa. Sekedar itulah daerah kekhalifahannya. Maka dari itu waktu
mereka adalah untuk memperbanyak ibadah. Golongan ini dikatakan abid yang baik.

22
5. Golongan yang sifat kekhalifahannya kepada Allah lebih menonjol dari sifat kehambaannya Mereka
ini yang biasanya diberi tanggung jawab kepemimpinan dan mengelola kemasyarakatan oleh orang
karena kharisma dan sifat-sifat kepemimpinan mereka yang menonjol. Mereka mungkin menjadi
pemimpin negeri atau negara atau sebuah jamaah yang besar. Waktunya lebih banyak digunakan atau
ditujukan untuk memimpin dan membangun dan menyelesaikan masalah
masyarakat. Kepemimpinannya berjalan mengikuti Islam. Mereka mengerjakan ibadah secara
sederhana saja. Tidak terlalu lemah dan tidak juga terlalu banyak. Golongan ini dianggap pemimpin
yang baik.

6. Golongan yang rasa kehambaannya dan kekhalifahannya sama-sama menonjol. Golongan ini adalah
mereka yang menjadi pemimpin baik itu pemimpin-pemimpin negeri, negara atau kekaisaran yang
menjalankan hukum-hukum Allah di dalam kepemimpinannya. Mereka ini sibuk sungguh dan
menghabiskan waktu untuk memimpin dan beribadah. Sibuk dengan masyarakat, sibuk juga dengan
Allah. Makin kuat dengan manusia, semakin kuat pula mereka dengan
Allah. Hablumminallah danhablumminannas sama-sama naik, sama kuat, maju. Kedua bidang sangat
meriah. Nampak terlihat sama-sama maju. Inilah yang dikatakan abid yang memimpin, yang luar
biasa, yang sangat cemerlang seperti Khulafaur Rasyidin dan Sayidina Umar Abdul
Aziz. kepemimpinan mereka luar biasa. Ibadah mereka juga luar biasa. Kepemimpinan mereka sangat
adil dan sangat bertanggung jawab kepada rakyat baik ituuntuk dunia rakyatnya atau akhirat
rakyatnya. Di samping itu ibadah mereka sangat kuat dan banyak terutama di waktu malam. Mari kita
dengar apa kata Sayidina Umar Ibnul Khattab yang kurang lebih begini, "Kalau saya banyak tidur di
siang hari, akan terabaikan urusan saya dengan rakyat. Kalau banyak tidur di malam hari, akan
terabaikan urusan saya dengan Allah. "Ini adalah kaum abid dan sekaligus pemimpin yang sangat
baik.

BAB IV

AL-QUR’AN SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN ISLAM

Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang di sengaja untuk mencapai suatu tujuan harus
mempunyai landasan tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu pendidikan agama Islam
sebagaisuatu usaha membentuk manusia, harus mempunyai landasan bagi
semua kegiatan didalamya. Dasar Pendidikan Agama Islam secara garis besar ada tigayaitu:Al-qur`an,
as-sunnah, dan perundangan yang berlaku di Negara kita.

Al-Qur`an Secara lengkap al-Qur`an didefenisikan sebagai firman Allah yang diturunkan
kepada hati Rasulullah, Muhammad Ibn Abdillah, melalui ruh al-Amin dengan lafal-lafalnya yang

23
berbahasa arab dan maknanya yang benar, agar menjadi hujjahbagi Rasul bahwa ia adalah Rasulullah,
dan sebagai undangundang bagi manusia dan memberi petunjuk kepada mereka, serta menjadi sarana
pendekatan dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Dan Ia terhimpun dalam sebuah mushaf,
diawali dengan surat al- fatihah dan diakhiri dengan surat al-naas, disampikan kepada kita secara
mutawatir baik secara lisan maupun tulisan dari generasi kegenerasi, dan ia terpelihara dari berbagai
perubahan atau pergantian Islam adalah agama yang membawa misi umatnya menyelenggarakan
pendidikan dan pengajaran.

Al-Qur`an merupakan landasan paling dasar yang dijadikan acuan dasar hukum tentang
Pendidikan Agama Islam. Firman Allah tentang Pendidikan Agama Islam dalam Al-qur`an Surat Al–
alaq ayat sampai ayat 5, yang berbunyi sebagai berikut: Artinya : 
“ Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak di
ketahuinya.”

Dari ayat-ayat tersebut diatas dapatlah di ambil kesimpulanbahwa seolah-olah Tuhan berkata
hendaklah manusia meyakini akan adanya Tuhan Pencipta manusia (dari segumpal darah),selanjutnya
untuk memperkokoh keyakinan dan memeliharanya agar tidak luntur hendaklah melaksanakan
pendidikan dan pengajaran.[13]

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dengan demikian Al-Gozali dalam menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama setelah mengeritik
filsafat– sangat berhasil. Dengan usahanya itu ia mampu mengangkat derajat ilmu-ilmu agama ke
jenjang yang sangat tinggi, bahkan barangkali tertinggi. Di dunia Sunni ia sangat dikagumi dan
mendapat gelar “hujjat al-Islam” karena keberhasilannya itu. Akibatnya, kini “titik tekan” ilmu telah
bergulir dari ilmu-ilmu rasional ke ilmu-ilmu agama.
Sehubungan dengan itu, ia menegaskan bahwa mempelajari ilmu-ilmu agama adalah fardlu
ain, sedangkan ilmu-ilmu rasional, fardlu kifayah, artinya tidak wajib bagi setiap Muslim. Tapi
sayang, keberhasilan al-Ghazali dalam mengangkat derajat ilmu-ilmu agama ini harus ditebus dengan
harga mahal, yaitu sirnanya disiplin ilmu filsafat dan cabang-cabangnya, dan kemudian dengan
melemahnya tradisi keilmuan rasional yang menyertainya.

24
Alam sebagai Mumkin Al-wujud memiliki potensi untuk ada dan berbeda dengan Mumtani Al-
wujud yang tidak memiliki potensi untuk ada. Namun alam sebagai potensi, ia tidak bisa
mengaktualkan atau mewujudkan dirinya sendiri, karena ia tidak memiliki prinsip aktualitas untuk
mengaktualkan potensinya.
Kita semua bisa  menyampaikan sesuatu, berpikir, bertindak dengan bebas dengan mengajukan
argumen-argumen yang dapat memberikan suatu keyakinan yang mantap dan dapat diterima dengan
akal dan dengan dalil-dalil yang terperinci (Al-Qur’an dan Hadits).

      Adapun cara yang dapat memberikan agar manusia memperoleh kemudahan dalam filsafat 
dengan dalil Al-Qur’an dan Hadits adalah :

a.    Dengan belajar sungguh-sungguh mencari ilmu sebanyak-banyaknya, karena semakin banyak yang
kita tahu maka semakin banyak pula yang tidak kita tahu.

b.   Senantiasa menjaga diri dari segala prilaku yang tidak baik.

c.    Senantiasa memakmurkan  majelis taklim yang mengkaji (Al-Qur’an dan Hadits) serta aktif di
dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Kartanegara, Mulyadi, MA Prof. Dr., Gerbang Kearifan, Sebuah Pengantar Filsafat Islam, Jakarta,
Lentera Hati,2006
Hardiman, F. Budi, Melamau positivisme dan modernisme Jakarta, Kanisius, 2003
Ibn ‘Arabi Penj. Hodri Ariev, Menata Diri dengan Tadbir Illahi terjm dari kitab Tadbirat al-Illahiyyah
fi Ishlah al-Mamlakah al-Insaniyyah Jakarta, Serambi, 2004
Leaman, Oliver Penj. Musa Kazhim dan Arif Mulyadi, Pengantar filsafat Islam, Bandung; Mizan;
2002
Muthahhari, Murtadha Penj. Tim Mizan, Pengantar Pemikiran Shadra, Filsafat Hikmah, Bandung;
Mizan, 2002
Prof.Dr.Ahmad Tafsir, fisafat umum akal dan hati Thales Sampai capra,(Bandung:PT.Remaja
Rosdakarya,2008),hal.1.

Taufiq Thawil, Usus Al Falsafah (Kairo:Dar al nah al arabiyyah,1979),hlm 45.

Prof.H.M.Arifin M.ED, Filsafat pendidikan Islam

Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 2.

25
Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat  Umum, Bandung: PT Remaja  Rosdakarya, cet. 12,h. 12.

Dr. Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet. 3, hal. 244.

Dr. Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, hal. 250.

Dr. Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, hal. 246.

Mana’ al Qattahn h.15

Dr. Abu Zahra An-Najdi, Al-Qur’an dan Rahasia angka-angka, 2001, Bandung: Pustaka Hidayah,
hal.10.

Ibid., hal. 392.

QS.As-Saba’ ayat 46 dan terjemahnya.

Dasar-dasar pendidikan islam hal. 55

26

Anda mungkin juga menyukai