Anda di halaman 1dari 16

TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Oleh : ARIEF HANNANY, S.H.

A. Latar Belakang Adanya Perlindungan Konsumen di Indonesia.

Latar belakang adanya perlindungan konsumen di Indonesia tidak dapat kita

lepaskan dari latar belakang lahirnya Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK). Hal ini dapat dipahami karena UUPK menjadi

payung hukum atau umbrella act bagi peraturan perundang-undangan yang bertujuan

melindungi konsumen. Artinya peraturan perundang-undangan yang bertujuan

melindungi konsumen baik sebelum maupun sesudah UUPK lahir tetap berlaku

sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UUPK.

Setidaknya ada dua faktor yang turut melatarbelakangi perlindungan konsumen di

Indonesia terkait dengan lahirnya UUPK ini, yaitu adanya faktor pengaruh kondisi

dalam negeri1 dan adanya pengaruh globalisasi dan perdagangan bebas2.

Adanya pengaruh kondisi dalam negeri menjadi salah satu faktor yang

melatarbelakangi adanya perlindungan konsumen karena jumlah penduduk Indonesia

yang cukup besar dengan berada pada urutan keempat sebagai negara dengan

penduduk terbesar di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Dengan

jumlah penduduk yang besar tersebut, Indonesia menjadi pangsa pasar yang potensial

bagi para pelaku usaha. Namun, pada kurun waktu tersebut, penduduk Indonesia
1
Aman Sinaga, Pemberdayaan Hak-Hak Konsumen di Indonesia, (Jakarta : Direktorat
Perlindungan Konsumen Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perindustrian dan
Perdagangan bekerjasama dengan Yayasan Gemainti, 2001), h. 44.
2
Ibid, h. 48.
sebagai konsumen yang potensial tersebut belum memiliki aturan hukum yang

memadai dan terintegrasi untuk melindungi konsumen dari kepentingan-kepentingan

pelaku usaha yang akan merugikan konsumen. Aturan-aturan yang ada pada saat itu

hanyalah penggalan aturan perlindungan konsumen yang tersebar pada berbagai

macam Undang-Undang pada bidang tertentu seperti pangan, kesehatan, perbankan

dan lain-lain.

Dengan tidak adanya aturan yang secara khusus mengatur perlindungan

konsumen tersebut, besar kemungkinan konsumen dijadikan objek kepentingan para

pelaku usaha. Hal tersebut diperparah dengan adanya kebijakan-kebijakan ekonomi

pemerintah pada saat itu yang lebih fokus memperhatikan para pengusaha dengan

harapan kegiatan usaha akan lebih eksis. Sayangnya, pengalaman dibanyak negara,

termasuk Indonesia menunjukan hal sebaliknya, dimana kebijakan ekonomi yang

lebih pro kepada pelaku usaha hanya akan membuat perekonomian menjadi

berantakan. Dengan alasan itulah perlunya dibuat kebijakan publik sebagai

penyeimbang antara konsumen dengan pengusaha.

Faktor kedua yang juga melatarbelakangi adanya perlindungan konsumen di

Indonesia adalah adanya pengaruh globalisasi dan perdagangan bebas. Salah satu

pengaruh globalisasi terkait dengan perdagangan adalah adanya perubahan paradigma

pemasaran dari seller’s market menjadi buyer's market yang banyak memberikan

kemudahan kepada konsumen. Selain itu masuknya era globalisasi dan perdagangan

bebas memberikan peluang besar bagi masuknya barang dan/atau jasa dari luar

negeri. Besarnya peluang tersebut menyebabkan ada kemungkinan barang dan/atau


jasa yang masuk ke dalam negeri tidak memenuhi standar yang berlaku secara umum,

baik itu standar kesehatan, keamanan, dan lain-lain. Untuk mengantisipasi hal

tersebut, diperlukan aturan main secara hukum untuk melindungi konsumen kita dari

barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi standar.

Selain itu adanya pernyataan secara resmi mengenai hak-hak konsumen oleh

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dijadikan pegangan bagi

perlindungan konsumen secara universal3, dimana pernyataan tersebut kemudian

dijadikan landasan bagi tiap negara untuk memberikan perlindungan bagi konsumen

di negara masing-masing, termasuk Indonesia.

Selain faktor-faktor diatas, yang turut melatarbelakangi adanya perlindungan

konsumen di Indonesia adalah adanya posisi yang tidak seimbang antara konsumen

dengan pelaku usaha. Pelaku usaha selalu diidentikkan berada pada posisi yang lebih

tinggi daripada konsumen akibat praktik monopoli dan tidak adanya perlindungan

konsumen, sehingga bargaining position atau posisi tawar dari konsumen selalu

lemah sehingga rentan terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen. lemahnya posisi

tawar konsumen dihadapan pelaku usaha disebabkan oleh beberapa faktor, antara

lain:

1. Konsumen ditawarkan berbagai macam produk akibat adanya produksi barang

secara massal.

Pernyataan Majelis Umum PBB tentang resolusi No. 39/248 mengenai the guidelines for
3

consumer protection bagian II (general principles) yang didasari oleh pidato presiden Amerika Serikat,
J. F. Kennedy pada tahun 1962 di depan kongres Amerika Serikat dengan menyatakan empat hak
konsumen, yaitu the right to safe products, the right to be informed about products, the right to
definite choices in selecting products, the right to be heard regarding consumer interest. (Abdul Halim
Barkatullah, Hak-hak Konsumen, h. 32)
2. Konsumen tidak mempunyai cukup waktu untuk memahami dan melakukan

evaluasi terhadap barang dan/atau jasa yang dibelinya.

3. Metode periklanan yang digunakan membuat kesesatan informasi atas suatu

produk.

4. Konsumen kesulitan dalam memperoleh informasi yang benar.

Posisi konsumen juga semakin lemah dihadapan pelaku usaha karena “pada

umumnya pelaku usaha berlindung dibalik standart contract atau perjanjian baku

yang telah ditandatangani kedua belah pihak, ataupun melalui berbagai informasi

semu yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen”4. Sementara itu menurut

Troelstrup sebagaimana dikutip oleh Abdul Halim Barkatullah, penyebab terus

melemahnya posisi tawar konsumen dihadapan pelaku usaha yaitu;

(1) terdapat lebih banyak produk, merek, dan cara penjualannya; (2) daya beli
konsumen makin meningkat; (3) lebih banyak variasi merek yang beredar di
pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang; (4) model-model produk
lebih cepat berubah; (5) kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga
membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam pelaku usaha; (6)
iklan yang menyesatkan; dan (7) wanprestasi oleh pelaku usaha.5

Selain itu adanya konsep negara kesejahteraan (welfare state) menjadikan

negara dituntut untuk memperluas tanggungjawab kepada masalah-masalah sosial

ekonomi yang dihadapi rakyat banyak6. Dengan konsep inilah negara mempunyai

dasar untuk melakukan intervensi, termasuk dalam masalah sosial ekonomi seperti

perlindungan konsumen untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Salah satu bentuk

4
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 1.
5
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media, 2010), h. 9.
6
Ibid. h. 2
intervensi negara yang cukup efektif dalam hal ini adalah dengan menerbitkan

peraturan perundang-undangan terkait masalah sosial ekonomi di mana hal ini sejalan

dengan pernyataan friedmann bahwa “hukum sebagai social engineering”7, dalam hal

ini adalah perlindungan konsumen.

B. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen dan Pelaku Usaha

Eksistensi dari keberadaan lembaga perbankan ditentukan atas kepercayaan

masyarakat. Atas dasar itulah pemerintah perlu memberikan perlindungan kepada

masyarakat dalam kegiatan mereka yang berhubungan dengan lembaga perbankan. Di

Indonesia perlindungan tersebut menurut Undang-Undang dinamakan perlindungan

konsumen. Menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 1999,

perlindungan konsumen adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Membahas mengenai perlindungan konsumen, maka kita perlu memahami

para pihak yang berada di dalamnya yaitu konsumen dan pelaku usaha. Secara bahasa

kata konsumen berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer, atau bahasa Belanda yaitu

consument/konsument8. Dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, kata consumer

diartikan sebagai pemakai atau konsumen9. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, kata konsumen diartikan sebagai (1) pemakai barang hasil produksi (bahan

7
Ria Safitri dan Elviza Fauzia, “Pengantar Ilmu Hukum (PIH)”, Modul Matakuliah Pengantar
Ilmu Hukum, (Jakarta : Fakultas Syariah dan Hukum, 2010), h. 51, t.d.
8
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen suatu Pengantar, cet.II, (Jakarta : Diadit
Media, 2006), h. 21.
9
John. M. Echols dan Hasan Sadily. Kamus Inggris-Indonesia. Cet.XV, (Jakarta : Gramedia,
1987), h. 142.
pakaian, makanan, dsb); (2) penerima pesan iklan; (3) pemakai jasa (pelanggan

dsb).10

Menurut Mariam Darus, konsumen diartikan dengan “setiap orang yang

mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau

diperjualbelikan lagi”11. Sedangkan dalam kamus manajemen, kata konsumen

didefinisikan dengan “orang atau pihak yang membeli dan menggunakan barang atau

jasa yang disediakan pihak lain”12. Dari beberapa pengertian mengenai konsumen

tersebut dapat disimpulkan bahwa konsumen adalah setiap orang atau pihak yang

membeli dan mempergunakan barang/jasa untuk digunakan sendiri dan tidak untuk

diperdagangkan.

Dalam literatur hukum positif di negara kita, pengertian konsumen dapat kita

temukan dalam Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen,

dimana kata konsumen didefinisikan dengan “setiap orang pemakai barang dan/atau

jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Dalam penjelasan pasal 1 angka (2) mengenai pengertian konsumen tersebut

dinyatakan bahwa ada dua macam konsumen dalam literatur ekonomi, pertama

adalah konsumen antara yang maksudnya adalah konsumen yang menggunakan suatu

produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya, dan yang kedua adalah
10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Jakarta : Balai
Pustaka, 2007), h. 590
11
Mariam Darus, “Perlindungan terhadap Konsumen Ditinjau Dari Segi Standar Kontrak”,
Makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : BPHN – Bina
Cipta, 1990), h. 59-60.
12
B.N Marbun, Kamus Manajemen (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 141.
konsumen akhir yang didefinisikan sebagai pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu

produk. Sedangkan maksud dari konsumen pada Undang-Undang ini adalah

konsumen akhir.

Dalam pengertian konsumen tersebut juga tergambar dengan jelas bahwa

cakupan subjek hukum yang diatur di dalamnya hanyalah mengenai orang individual

saja (natuurlijke person). Dalam konsep hukum, subjek hukum terdiri dari dua

macam, yaitu orang individual (natuurlijke person) dan badan hukum (rechts person).

Dengan tidak diakomodirnya badan hukum dalam pengertian konsumen tersebut,

pengertian konsumen dalam pasal tersebut menjadi sempit, padahal badan hukum

juga dapat bertindak sebagai konsumen akhir.

Selain pengertian dalam Undang-Undang No 8 tahun 1999, setidaknya ada

tiga pengertian lain tentang konsumen sebagaimana tertuang dalam RUU

Perlindungan konsumen, baik yang diajukan oleh Badan pembinaan Hukum Nasional

(BPHN), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Fakultas Hukum

Universitas Indonesia (FH UI) bekerjasama dengan departemen perdagangan RI.

Dalam RUU rancangan PBHN dinyatakan bahwa “konsumen adalah pemakai akhir

barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk

diperjualbelikan”.13

Pengertian konsumen selanjutnya menurut RUU hasil rancangan YLKI

didefinisikan sebagai “pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,

AZ Nasution, dkk, Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan tentang Perlindungan


13

Konsumen, (Jakarta : BPHN, 1981), h. 4.


bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk

diperdagangkan”14. Sedangkan menurut rancangan FH UI bekerjasama dengan

Departemen Perdagangan RI, konsumen adalah “setiap orang atau keluarga yang

mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan”.15

Dari definisi pada RUU tersebut, setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa

pendefinisian konsumen dalam Undang-undang No 8 tahun 1999 lebih luas dari dua

pengertian RUU, yaitu RUU hasil rancangan YLKI dan rancangan FH UI

bekerjasama dengan departemen Perdagangan. Kesimpulan tersebut dalam ditarik

karena definisi konsumen pada Undang-Undang jauh lebih mengakomodir pengertian

konsumen hingga pada makhluk hidup lain. Hal ini berarti bahwa luasnya cakupan

konsumen tidak hanya pada orang melainkan juga kosumen yang bukan orang

(hewan dan tumbuh-tumbuhan).

Berbicara mengenai pengertian konsumen maka kita tidak dapat

memisahkannya dari pengertian pelaku usaha, dimana dalam literatur ekonomi pelaku

usaha biasa disebut produsen. Secara bahasa produsen berasal dari bahasa Inggris

yaitu producer. Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia kata tersebut diartikan

dengan produsen, penghasil16. Sedangkan secara istilah produsen adalah “setiap

14
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Perlindungan konsumen Indonesia, Suatu
Sumbangan Pemikiran tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, (Jakarta :
YLKI, 1981), h. 2.
15
FH UI dan Departemen Perdagangan, Rancangan Akademik Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen, (Jakarta : FH UI, 1992), pasal 1a.
16
John. M. Echols dan Hasan Sadily. Kamus Inggris-Indonesia. Cet.XV, (Jakarta : Gramedia,
1987), h. 449.
orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke

tangan konsumen”.17

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata produsen didefinisikan dengan

penghasil barang18. sedangkan dalam literatur perundang-undangan di negara kita

pada pasal 1 angka (3) Undang-Undang No 8 Tahun 1999, produsen atau pelaku

usaha didefinisikan dengan;

“pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa yang termasuk kategori

pelaku usaha dalam pengertian tersebut adalah “..... perusahaan, korporasi, BUMN,

koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain”. Dari definisi dan penjelasan

tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian pelaku usaha menurut UUPK cukup

luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya 19. Luasnya cakupan

pengertian pelaku usaha tersebut ternyata hampir sama dengan luasnya pengertian

pelaku usaha yang digunakan di negara Belanda, dimana produsen atau pelaku usaha

dapat berupa orang individual dan badan hukum, adapun rincian produsen di Belanda

terdiri;

“dari pembuat produk jadi (finished products); penghasil bahan baku;


pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai
17
Agnes M. Thoar, Tanggung Jawab Produk, Sejarah, dan Perkembangannya di Beberapa
Negara, (Ujung Pandang : DKIH Belanda –Indonesia, 1988), h. 2.
18
Departemen Pendidikan nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 896
19
Ahmadi Miru dan Sutarman Yado, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2004). 8.
produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu,
atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu;
importir suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan,
disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi
perdagangan; pemasok (suplier), dalam hal identitas dari produsen atau
importir tidak dapat ditentukan.”20

C. Asas-Asas Perlindungan Konsumen

Membahas tentang asas, berarti kita membahas tentang sesuatu yang

menjadi dasar atau sesuatu yang dijadikan patokan baik dalam berpikir, bertindak,

berpendapat, dan lain-lain. Membahas tentang asas perlindungan konsumen, kita akan

membahas tentang sesuatu yang mendasari atau menjadi patokan dalam perlindungan

konsumen. sebelum membahas secara terperinci asas-asas dalam perlindungan

konsumen, maka perlu dijabarkan kembali definisi asas di dalam hukum itu sendiri.

Definisi asas Menurut C.W Paton dalam bukunya A Textbook of

Jurisprudence adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari

adanya norma hukum21. P. Scolten mencoba mendefinisikan asas hukum sebagai

kecenderungan yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum yang

merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya.22

Dari dua definisi asas hukum tersebut, setidaknya penulis dapat menarik

suatu kesimpulan bahwa asas hukum adalah sesuatu yang bersifat umum, luas, dan

mendasar atas suatu norma hukum yang berlaku.

20
Ibid, h 8-9.
21
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), h.36.
22
Ibid, h. 37
Di dalam perlindungan konsumen sendiri dikenal beberapa asas

sebagaimana diatur di dalam pasal 2 UUPK yang berbunyi “perlindungan konsumen

berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen,

serta kepastian hukum”. Penjelasan kelima asas tersebut adalah;

1. Asas Manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-

besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas Keadilan

Asas keadilan dimaksudkan untuk partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan

pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan

spiritual.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan

jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,

pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas Kepastian Hukum


Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen

menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan

konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

D. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha

Di dalam hukum, subjek hukum tidak akan pernah dapat dilepaskan dari hak

dan kewajiban karena akan selalu melekat kepadanya. Membahas tentang hak tidak

dapat pula dilepaskan dari pembahasan kewajiban karena keduanya bagaikan dua sisi

mata uang. Dimana ada hak, diwaktu yang bersamaan pasti ada kewajiban. Hak

disalah satu pihak menjadi kewajiban di pihak yang lain.

Secara bahasa kata hak berarti kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk

menuntut sesuatu23, sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata hak

diartikan dengan wewenang menurut hukum24. Menurut van Apeldoorn sebagaimana

dikutip oleh CST Kansil, “hak ialah hukum yang dihubungkan dengan seorang

manusia atau subjek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi suatu

kekuasaan”25.

Secara umum, hak bersumber dari tiga macam. Pertama, hak dari Allah

sebagai makhluk ciptaannya. Sebagai makhluk ciptaan Allah, kita mempunyai hak

dasar yang telah melekat pada diri kita yang lazim disebut hak asasi, seperti hak

untuk hidup, hak akan kebebasan, dan lain-lain.


23
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan islam di Indonesia, cet.III, ( Jakarta : Kencana dan FH
UI, 2007), h. 65.
24
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,
2002), h. 382
25
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet.VI, (Jakarta : Balai
Pustaka :1984), h. 120.
Kedua, hak selanjutnya adalah bersumber dari hukum. maksud dari hak ini

adalah suatu hak yang bersumber dari hukum positif buatan negara yang diberikan

kepada manusia karena kedudukannya sebagai warga negara. Misalnya, Hak untuk

dipilih dan/atau memilih saat pemilu, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk

mendirikan rumah, dan lain sebagainya.

Ketiga, sumber hak yang terakhir adalah berasal dari kontrak/perjanjian. Hak

ini lahir karena adanya hubungan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum.

misalnya seseorang melakukan perjanjian sewa menyewa rumah dengan orang lain.

Maka orang lain tersebut mempunyai hak pakai atas rumah tersebut. hak yang

berasal dari perjanjian atau kontraktual akan mendapatkan perlindungan hukum jika

perjanjian atau kontrak yang dibuat untuk melahirkan hak tersebut memenuhi syarat

sah perjanjian menurut hukum26.

Kewajiban berasal dari kata wajib, dimana pengertian secara bahasa adalah

(sesuatu) harus dilakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan27. Secara istilah kewajiban

adalah beban yang diberikan oleh hukum kepada orang atau badan hukum28. Secara

tersurat, pengertian kewajiban tersebut dibebankan kepada subjek hukum karena

orang dan badan hukum adalah macam-macam dari subjek hukum. Subjek hukum

tersebut menurut hukum haruslah mereka yang dinyatakan cakap hukum agar dapat

dibebani kewajiban dan menerima hak, sehingga subjek hukum yang tidak atau

26
Setidaknya ada empat syarat sah perjanjian menurut pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya
kesepakatan, adanya kecakapan hukum, adanya objek tertentu, dan adanya sebab yang halal.
27
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1266.
28
Hasanuddin AF, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Tanggerang : UIN Jakarta Press, 2003), h. 100
belum cakap hukum tidak dapat dibebani kewajiban dan tidak dapat menerima hak.

Mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap yaitu29:

1. Belum dewasa;30

2. berada di dalam pengampuan (curatele), seperti orang gila, pemabuk, orang yang

boros.

3. Wanita yang sudah kawin.31

Setelah penjabaran diatas mengenai hak dan kewajiban, maka hak dan

kewajiban tersebut di combine dengan perlindungan konsumen yang akhirnya akan

melahirkan hak-hak konsumen di satu pihak, dan menjadi kewajiban pelaku usaha di

pihak yang lain, begitu juga dengan adanya hak-hak pelaku usaha, maka akan ada

kewajiban di pihak konsumen.

Secara yuridis, pengaturan hak konsumen diatur di dalam pasal 4 UUPK

sedangkan hak pelaku usaha diatur dalam pasal 6 UUPK. Mengenai kewajiban

konsumen diatur di dalam pasal 5 dan kewajiban pelaku usaha diatur di dalam pasal 7

UUPK. Meski UUPK telah mengatur hak dan kewajiban konsumen serta pelaku

usaha, tidak menutup kemungkinan hak dan kewajiban mereka juga diatur dalam

perundang-undangan lain selama aturan tersebut tidak bertentangan dengan aturan

29
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, h. 118.
30
Dalam pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seseorang dinyatakan telah dewasa
jika telah berusia 21 tahun atau telah kawin. Dalam yurisprudensi No 477 yang dikeluarkan oleh
Mahkaham Agung (MA) pada tanggal 13 Oktober 1976 usia dewasa adalah 18 tahun atau sudah
menikah, sedangkan dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris disebutkan “pengahadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: (a) paling sedikit berusia 18
(delapan belas) tahun atau telah menikah; dan (b) cakap melakukan perbuatan hukum”.
31
Ketentuan ini telah tidak berlaku setelah diundangkannya Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
hak dan kewajiban yang diatur di dalam UUPK, baik sebelum atau sesudah lahirnya

UUPK. Hal tersebut dapat terjadi karena keberadaan UUPK sendiri sebagai umbrella

acts atau payung hukum bagi upaya perlindungan konsumen di Indonesia. Berikut ini

adalah hak dan kewajiban bagi konsumen dan pelaku usaha yang ditur dalam UUPK.

Hak konsumen menurut pasal 4 UUPK adalah :


a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban konsumen menurut pasal 5 UUPK adalah :


a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.

Hak pelaku usaha menurut pasal 6 UUPK adalah :


a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

Kewajiban pelaku usaha menurut pasal 7 UUPK adalah :


a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang
yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Anda mungkin juga menyukai