Perlindungan Konsumen (UUPK). Hal ini dapat dipahami karena UUPK menjadi
payung hukum atau umbrella act bagi peraturan perundang-undangan yang bertujuan
melindungi konsumen baik sebelum maupun sesudah UUPK lahir tetap berlaku
Indonesia terkait dengan lahirnya UUPK ini, yaitu adanya faktor pengaruh kondisi
Adanya pengaruh kondisi dalam negeri menjadi salah satu faktor yang
yang cukup besar dengan berada pada urutan keempat sebagai negara dengan
penduduk terbesar di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Dengan
jumlah penduduk yang besar tersebut, Indonesia menjadi pangsa pasar yang potensial
bagi para pelaku usaha. Namun, pada kurun waktu tersebut, penduduk Indonesia
1
Aman Sinaga, Pemberdayaan Hak-Hak Konsumen di Indonesia, (Jakarta : Direktorat
Perlindungan Konsumen Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perindustrian dan
Perdagangan bekerjasama dengan Yayasan Gemainti, 2001), h. 44.
2
Ibid, h. 48.
sebagai konsumen yang potensial tersebut belum memiliki aturan hukum yang
pelaku usaha yang akan merugikan konsumen. Aturan-aturan yang ada pada saat itu
dan lain-lain.
pemerintah pada saat itu yang lebih fokus memperhatikan para pengusaha dengan
harapan kegiatan usaha akan lebih eksis. Sayangnya, pengalaman dibanyak negara,
lebih pro kepada pelaku usaha hanya akan membuat perekonomian menjadi
Indonesia adalah adanya pengaruh globalisasi dan perdagangan bebas. Salah satu
pemasaran dari seller’s market menjadi buyer's market yang banyak memberikan
kemudahan kepada konsumen. Selain itu masuknya era globalisasi dan perdagangan
bebas memberikan peluang besar bagi masuknya barang dan/atau jasa dari luar
baik itu standar kesehatan, keamanan, dan lain-lain. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, diperlukan aturan main secara hukum untuk melindungi konsumen kita dari
Selain itu adanya pernyataan secara resmi mengenai hak-hak konsumen oleh
dijadikan landasan bagi tiap negara untuk memberikan perlindungan bagi konsumen
konsumen di Indonesia adalah adanya posisi yang tidak seimbang antara konsumen
dengan pelaku usaha. Pelaku usaha selalu diidentikkan berada pada posisi yang lebih
tinggi daripada konsumen akibat praktik monopoli dan tidak adanya perlindungan
konsumen, sehingga bargaining position atau posisi tawar dari konsumen selalu
tawar konsumen dihadapan pelaku usaha disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain:
secara massal.
Pernyataan Majelis Umum PBB tentang resolusi No. 39/248 mengenai the guidelines for
3
consumer protection bagian II (general principles) yang didasari oleh pidato presiden Amerika Serikat,
J. F. Kennedy pada tahun 1962 di depan kongres Amerika Serikat dengan menyatakan empat hak
konsumen, yaitu the right to safe products, the right to be informed about products, the right to
definite choices in selecting products, the right to be heard regarding consumer interest. (Abdul Halim
Barkatullah, Hak-hak Konsumen, h. 32)
2. Konsumen tidak mempunyai cukup waktu untuk memahami dan melakukan
produk.
Posisi konsumen juga semakin lemah dihadapan pelaku usaha karena “pada
umumnya pelaku usaha berlindung dibalik standart contract atau perjanjian baku
yang telah ditandatangani kedua belah pihak, ataupun melalui berbagai informasi
semu yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen”4. Sementara itu menurut
(1) terdapat lebih banyak produk, merek, dan cara penjualannya; (2) daya beli
konsumen makin meningkat; (3) lebih banyak variasi merek yang beredar di
pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang; (4) model-model produk
lebih cepat berubah; (5) kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga
membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam pelaku usaha; (6)
iklan yang menyesatkan; dan (7) wanprestasi oleh pelaku usaha.5
ekonomi yang dihadapi rakyat banyak6. Dengan konsep inilah negara mempunyai
dasar untuk melakukan intervensi, termasuk dalam masalah sosial ekonomi seperti
4
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 1.
5
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media, 2010), h. 9.
6
Ibid. h. 2
intervensi negara yang cukup efektif dalam hal ini adalah dengan menerbitkan
peraturan perundang-undangan terkait masalah sosial ekonomi di mana hal ini sejalan
dengan pernyataan friedmann bahwa “hukum sebagai social engineering”7, dalam hal
para pihak yang berada di dalamnya yaitu konsumen dan pelaku usaha. Secara bahasa
kata konsumen berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer, atau bahasa Belanda yaitu
diartikan sebagai pemakai atau konsumen9. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata konsumen diartikan sebagai (1) pemakai barang hasil produksi (bahan
7
Ria Safitri dan Elviza Fauzia, “Pengantar Ilmu Hukum (PIH)”, Modul Matakuliah Pengantar
Ilmu Hukum, (Jakarta : Fakultas Syariah dan Hukum, 2010), h. 51, t.d.
8
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen suatu Pengantar, cet.II, (Jakarta : Diadit
Media, 2006), h. 21.
9
John. M. Echols dan Hasan Sadily. Kamus Inggris-Indonesia. Cet.XV, (Jakarta : Gramedia,
1987), h. 142.
pakaian, makanan, dsb); (2) penerima pesan iklan; (3) pemakai jasa (pelanggan
dsb).10
didefinisikan dengan “orang atau pihak yang membeli dan menggunakan barang atau
jasa yang disediakan pihak lain”12. Dari beberapa pengertian mengenai konsumen
tersebut dapat disimpulkan bahwa konsumen adalah setiap orang atau pihak yang
membeli dan mempergunakan barang/jasa untuk digunakan sendiri dan tidak untuk
diperdagangkan.
Dalam literatur hukum positif di negara kita, pengertian konsumen dapat kita
dimana kata konsumen didefinisikan dengan “setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
dinyatakan bahwa ada dua macam konsumen dalam literatur ekonomi, pertama
adalah konsumen antara yang maksudnya adalah konsumen yang menggunakan suatu
produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya, dan yang kedua adalah
10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Jakarta : Balai
Pustaka, 2007), h. 590
11
Mariam Darus, “Perlindungan terhadap Konsumen Ditinjau Dari Segi Standar Kontrak”,
Makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : BPHN – Bina
Cipta, 1990), h. 59-60.
12
B.N Marbun, Kamus Manajemen (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 141.
konsumen akhir yang didefinisikan sebagai pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu
konsumen akhir.
cakupan subjek hukum yang diatur di dalamnya hanyalah mengenai orang individual
saja (natuurlijke person). Dalam konsep hukum, subjek hukum terdiri dari dua
macam, yaitu orang individual (natuurlijke person) dan badan hukum (rechts person).
pengertian konsumen dalam pasal tersebut menjadi sempit, padahal badan hukum
Perlindungan konsumen, baik yang diajukan oleh Badan pembinaan Hukum Nasional
Dalam RUU rancangan PBHN dinyatakan bahwa “konsumen adalah pemakai akhir
barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk
diperjualbelikan”.13
didefinisikan sebagai “pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
Departemen Perdagangan RI, konsumen adalah “setiap orang atau keluarga yang
Dari definisi pada RUU tersebut, setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa
pendefinisian konsumen dalam Undang-undang No 8 tahun 1999 lebih luas dari dua
konsumen hingga pada makhluk hidup lain. Hal ini berarti bahwa luasnya cakupan
konsumen tidak hanya pada orang melainkan juga kosumen yang bukan orang
memisahkannya dari pengertian pelaku usaha, dimana dalam literatur ekonomi pelaku
usaha biasa disebut produsen. Secara bahasa produsen berasal dari bahasa Inggris
14
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Perlindungan konsumen Indonesia, Suatu
Sumbangan Pemikiran tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, (Jakarta :
YLKI, 1981), h. 2.
15
FH UI dan Departemen Perdagangan, Rancangan Akademik Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen, (Jakarta : FH UI, 1992), pasal 1a.
16
John. M. Echols dan Hasan Sadily. Kamus Inggris-Indonesia. Cet.XV, (Jakarta : Gramedia,
1987), h. 449.
orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke
tangan konsumen”.17
pada pasal 1 angka (3) Undang-Undang No 8 Tahun 1999, produsen atau pelaku
“pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
pelaku usaha dalam pengertian tersebut adalah “..... perusahaan, korporasi, BUMN,
koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain”. Dari definisi dan penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian pelaku usaha menurut UUPK cukup
luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya 19. Luasnya cakupan
pengertian pelaku usaha tersebut ternyata hampir sama dengan luasnya pengertian
pelaku usaha yang digunakan di negara Belanda, dimana produsen atau pelaku usaha
dapat berupa orang individual dan badan hukum, adapun rincian produsen di Belanda
terdiri;
menjadi dasar atau sesuatu yang dijadikan patokan baik dalam berpikir, bertindak,
berpendapat, dan lain-lain. Membahas tentang asas perlindungan konsumen, kita akan
membahas tentang sesuatu yang mendasari atau menjadi patokan dalam perlindungan
konsumen, maka perlu dijabarkan kembali definisi asas di dalam hukum itu sendiri.
Jurisprudence adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari
kecenderungan yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum yang
Dari dua definisi asas hukum tersebut, setidaknya penulis dapat menarik
suatu kesimpulan bahwa asas hukum adalah sesuatu yang bersifat umum, luas, dan
20
Ibid, h 8-9.
21
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), h.36.
22
Ibid, h. 37
Di dalam perlindungan konsumen sendiri dikenal beberapa asas
1. Asas Manfaat
2. Asas Keadilan
pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan
spiritual.
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Di dalam hukum, subjek hukum tidak akan pernah dapat dilepaskan dari hak
dan kewajiban karena akan selalu melekat kepadanya. Membahas tentang hak tidak
dapat pula dilepaskan dari pembahasan kewajiban karena keduanya bagaikan dua sisi
mata uang. Dimana ada hak, diwaktu yang bersamaan pasti ada kewajiban. Hak
Secara bahasa kata hak berarti kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk
menuntut sesuatu23, sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata hak
dikutip oleh CST Kansil, “hak ialah hukum yang dihubungkan dengan seorang
manusia atau subjek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi suatu
kekuasaan”25.
Secara umum, hak bersumber dari tiga macam. Pertama, hak dari Allah
sebagai makhluk ciptaannya. Sebagai makhluk ciptaan Allah, kita mempunyai hak
dasar yang telah melekat pada diri kita yang lazim disebut hak asasi, seperti hak
adalah suatu hak yang bersumber dari hukum positif buatan negara yang diberikan
kepada manusia karena kedudukannya sebagai warga negara. Misalnya, Hak untuk
dipilih dan/atau memilih saat pemilu, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk
Ketiga, sumber hak yang terakhir adalah berasal dari kontrak/perjanjian. Hak
ini lahir karena adanya hubungan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum.
misalnya seseorang melakukan perjanjian sewa menyewa rumah dengan orang lain.
Maka orang lain tersebut mempunyai hak pakai atas rumah tersebut. hak yang
berasal dari perjanjian atau kontraktual akan mendapatkan perlindungan hukum jika
perjanjian atau kontrak yang dibuat untuk melahirkan hak tersebut memenuhi syarat
Kewajiban berasal dari kata wajib, dimana pengertian secara bahasa adalah
(sesuatu) harus dilakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan27. Secara istilah kewajiban
adalah beban yang diberikan oleh hukum kepada orang atau badan hukum28. Secara
orang dan badan hukum adalah macam-macam dari subjek hukum. Subjek hukum
tersebut menurut hukum haruslah mereka yang dinyatakan cakap hukum agar dapat
dibebani kewajiban dan menerima hak, sehingga subjek hukum yang tidak atau
26
Setidaknya ada empat syarat sah perjanjian menurut pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya
kesepakatan, adanya kecakapan hukum, adanya objek tertentu, dan adanya sebab yang halal.
27
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1266.
28
Hasanuddin AF, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Tanggerang : UIN Jakarta Press, 2003), h. 100
belum cakap hukum tidak dapat dibebani kewajiban dan tidak dapat menerima hak.
1. Belum dewasa;30
2. berada di dalam pengampuan (curatele), seperti orang gila, pemabuk, orang yang
boros.
Setelah penjabaran diatas mengenai hak dan kewajiban, maka hak dan
melahirkan hak-hak konsumen di satu pihak, dan menjadi kewajiban pelaku usaha di
pihak yang lain, begitu juga dengan adanya hak-hak pelaku usaha, maka akan ada
sedangkan hak pelaku usaha diatur dalam pasal 6 UUPK. Mengenai kewajiban
konsumen diatur di dalam pasal 5 dan kewajiban pelaku usaha diatur di dalam pasal 7
UUPK. Meski UUPK telah mengatur hak dan kewajiban konsumen serta pelaku
usaha, tidak menutup kemungkinan hak dan kewajiban mereka juga diatur dalam
29
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, h. 118.
30
Dalam pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seseorang dinyatakan telah dewasa
jika telah berusia 21 tahun atau telah kawin. Dalam yurisprudensi No 477 yang dikeluarkan oleh
Mahkaham Agung (MA) pada tanggal 13 Oktober 1976 usia dewasa adalah 18 tahun atau sudah
menikah, sedangkan dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris disebutkan “pengahadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: (a) paling sedikit berusia 18
(delapan belas) tahun atau telah menikah; dan (b) cakap melakukan perbuatan hukum”.
31
Ketentuan ini telah tidak berlaku setelah diundangkannya Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
hak dan kewajiban yang diatur di dalam UUPK, baik sebelum atau sesudah lahirnya
UUPK. Hal tersebut dapat terjadi karena keberadaan UUPK sendiri sebagai umbrella
acts atau payung hukum bagi upaya perlindungan konsumen di Indonesia. Berikut ini
adalah hak dan kewajiban bagi konsumen dan pelaku usaha yang ditur dalam UUPK.