FARMAKOLOGI
Oleh
NPM : 102421014
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
2021
BAB 1
FARMAKOKINETIKA
Grant R. Wilkinson
Untuk menghasilkan efek yang spesifik, suatu obat harus tersedia dalam konsentrasi yang tepat
di tempat kerjanya. Meskipun jelas bahwa hal tersebut merupakan fungsi dari jumlah obat yang
diberikan, konsentrasi obat yang aktif dan tidak terikat (bebas) juga tergantung pada laju dan
tingkat absorpsi, distribusi (terutama yang mencerminkan ikatan relatif terhadap plasma dan
Absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi suatu obat memerlukan proses melewati membran
sel. Oleh karena itu mekanisme obat melewati membran dan sifat fisikokimia molekul serta
membran yang mempengaruhi transfer ini sangat penting. Karakteristik penentu suatu obat
larutan relatif bentuk terionisasi dan tidak terionisasi didalam lemak serta ikatannya dengan
protein jaringan.
Ketika masuk ke dalam sel, suatu obat harus melewati membran plasma. Sawar lain
dalam perjalanan obat dapat berupa satu lapis sel (epitelium usus) atau beberapa lapis sel (kulit).
Meskipun terdapat perbedaan struktur, difusi dan transpor obat melewati berbagai pembatas ini
memiliki banyak karakteristik yang sama, karena secara umum obat menembus ke dalam sel dan
bukan antarsel. Oleh karena itu, membran plasma merupakan sawar yang umum.
Membran Sel. Membran plasma terdiri atas dua lapis (bilayer) lipid amfipatik, bagian rantai
hidrokabonnya yang mengarah kedalam membentuk fase hidrofob yang kontinu dan bagian
hidrofilnya mengarah keluar. Masing-masing molekul lipid di dalam kedua lapisan tersebut
beragam, tergantung pada membran tertentu dan dapat bergerak secara lateral, membantu
membrane dengan fluiditas, fleksibilitas, hambatan elektrik yang tinggi, dan impermeabilitas
terhadap molekul berkepolaran tinggi. Protein membran yang disimpan dalam lapisan ganda
tersebut berfungsi sebagai reseptor, saluran ion, atau transporter (protein pembawa) untuk
menghasilkan jalur pensinyalan listrik atau kimia dan menyediakan target selektif untuk kerja
obat.
Sebagian besar membran sel relatif permeabel terhadap air,baik melalui difusi atau aliran
karena perbedaan hidrostatik atau osmotik nntarmembran, dan aliran air ruahan tersebut dapat
membawa molekul obat bersamanya. Transpor tersebut merupakan mekanisme utama yang
membawa obat melewati sebagian besar membran endotel kapiler. Namun, protein dan molekul
obat yang berikatan dengan membran sel terlalu besar dan terlalu polar untuk menyebabkan
terjadinya jenis transpor ini, sehingga gerakan lintas-kapiler terbatas pada molekul yang tidak
terikat.Transpor paraselular melalui celah antarsel cukup besar sehingga proses melewati kapiler
ditentukan oleh aliran darah dan bukan oleh faktor lainnya (lihat di bawah). Seperti akan
dijelaskan kemudian, jenis tanspor ini merupakan faktor penting dalam filtrasi melalui membran
glomcrulus di ginjal. Namun, ada pengecualian penting pada difusi kapiler tersebut, karena
adanya taut (junction) antarsel yang “sempit” di jaringan tertentu dan transpor paraselulernya
terbalas. Kapiler sistem saraf pusat (SSP) dan sejumlah jaringan epitel mempunyai taut yang
sempit (lihat di bawah). Walaupun aliran air ruahan itu dapat membawa senyawa larut air
berukuran kecil, massa molekul senyawa ini lebih besar dari 100 sampai 200 dalton, terjadinya
transport semacam ini terbatas. Dengan demikian, sebagian besar obat yang sangat lipofil harus
melewati membran sel itu sendiri melalui satu macam proses atau lebih.
Transpor Pasir Melalui Membran. Obat dapat melewati membran melalui proses transpor
pasif atau dengan mekanisme yang melibatkan partisipasi aktif komponen membran. Pada
bahasan sebelumnya, molekul obat biasanya berpenetrasi dengan cara difusi pasif mengikuti
gradien konsentrasi berkat kelarutannya dalam lapisan lipid ganda. Perpindahan ini berbanding
lurus dengan besarnya gradien konsentrasi melewati membran, koefisien partisi lipid :air dari
obat, dan luas permukaan sel. Makin besar koefisien partisi, makin tinggi konsentrasi obat pada
membran dan makin cepat difusinya. Setelah keadaan lunak (steady state) tercapai, konsentrasi
obat yang tidak terikat menjadi sama pada kedua sisi membran untuk obat nonelektrolit Untuk
senyawa ionik, konsentrasi keadaan tunak akan tergantung pada gradient pH antarmembran,
yang dapat memengaruhi keadaan terionisasi molekul pada tiap sisi membran dan pada gradien
Elektrolit Lemah dan Pengaruh pH. Sebagian besar obat merupakan senyawa asam lemah
atau basa lemah yang terdapat dalam bentuk larutan sebagai bentuk tidak terionisasi dan
terionisasi. Molekul yang tidak terionisasi biasanya larut dalam lipid dan dapat berdifusi
melewati membran sel. Sebaliknya, molekul terionisasi biasanya tidak dapat berpenetrasi
Oleh karena itu, distribusi transmembran suatu elektrolit lemah biasanya ditentukan oleh
pK adan gradien pH antarmembran. pK a adalah pH kelika selengah bagian obat (elektrolit lemah)
berada dalam bentuk terionisasi. Untuk menggambarkan pengaruh pH pada distribusi obat,
partisi suatu asam lemah ( pK a = 4,4) antara plasma (pH = 7,4) dan cairan lambung (pH = 1,4)
Diasumsikan bahwa membran mukosa lambung berperan sebagai sawar lipid sederhana
yang hanya melewatkan senyawa asam dalam bentuk tidak terionisasi yang larut dalam lipid.
Perbandingan obat dalam bentuk tidak terionisasi dengan bentuk terionisasi pada setiap harga pH
plasma, perbandingan jumlah obat tidak terionisasi dengan terionisasi adalah 1:1000; dalam
cairan lambung, perbandingannya adalah 1:0,001. Nilai ini ditunjukkan di dalam tanda kurung
Gambar 1-2.Pengaruh Ph pada distribusi asam lemah antara plasma dan cairan lambung yang
antara plasma dan cairan lambung dengan demikian menjadi 1000:1, jika sistem tersebut
mencapai keadaan tunak. Untuk basa lemah dengan pK a =4,4, rasionya akan terbalik, seperti
ditunjukkan landa panah horisontal tebal pada Gambar 1-2, yang menunjukkan bentuk utamanya
pada masing-masing pH. Dengan demikian, pada keadaan tunak, obat yang bersifat asam akan
terakumulasi lebih besar pada sisi membran yang bersifat basa dan obat yang bersifat basa lebih
banyak pada sisi asamnya—fenomena yang disebut pemerangkapan ion (ion trapping).
Penjelasan ini memiliki implikasi yang jelas terhadap absorpsi dan ekskresi obat, seperti dibahas
kemudian secara khusus. Penetapan gradien konsentrasi elektrolit lemah antarmembran dengan
gradien pH, mumi merupakan proses fisika dan tidak memerlukan sistem transpor aktif.Yang
diperlukan adalah adanya membran yang permeable terhadap satu bentuk elektrolit lemah dan
suatu gradien pH melintasi membran. Namun, penetapan gradien pH merupakan suatu proses
yang aktif.
Transpor Membran Diperantarai Pembawa. Meskipun difusi pasif melalui lapisan ganda
(bilayer) sering terjadi dalam perpindahan kebanyakan obat, mekanisme yang diperantarai oleh
pembawa juga dapat berperan penting. Transpor aklif ditandai dengan kebutuhan terhadap
penghambatan kompetitif oleh senyawa yang ikut ditranspor. Istilah difusi terfasilitasi
menggambarkan proses transpor yang diperantarai oleh pembawa, dengan cara tersebut tidak ada
elektrokimia. Mekanisme tersehut, yang mungkin sangat selektif untuk struktur konformasi
spesifik suatu obat, ikut terlibat dalam transpor senyawa endogen yang memiliki laju transpor
difusi pasif sangat lambat. Pada kasus lain, mekanisme ini berfungsi sebagai suatu sistem sawar
Protein transporter yang bertanggung jawab sering diekspresikan dalam membran sel
lewat cara yang spesifik domain sehingga protein tersebut memperantarai ambilan (uptake)
efluks obat, dan sering rangkaian tersebut memfasilitasi transpor vektorial melewati sel. Oleh
karena itu, di dalam hati, sejumlah transporter yang terletak secara basolateral dengan spesifisitas
substrat yang berbeda ikut terlibat dalam ambilan asam empedu serta anion dan kation organik
amfipatik ke dalam hepatosit, dan berbagai transporter tergantung-ATP yang mirip pada
terjadi di usus dan membran tubulus ginjal Suatu transporter efluks yang penting terdapat di
tempat ini dan juga di endotelium kapiler pada kapiler otak yaitu P-glikoprotein, yang dikode
oleh gen multidrug resistance-I (MDRI),yang penting dalam resistensi terhadap senyawa
kemoterapi kanker (Bab 52). P-glikoprotein yang terletak di enterosit juga membatasi absorpsi
oral obat yang ditranspor karena molekul ini mengeluarkan kembali senyawa ke dalam saluran
Absorpsi menerangkan laju obat ketika meninggalkan tempat pemberiannya dan jumlahnya.
Namun, klinisi terutama mementingkan suatu parameter yang dikenal sebagai ketersediaan
hayati, dibanding absorpsi. Ketersediaan hayati merupakan istilah yang digunakan untuk
menunjukkan jumlah fraksi suatu dosis obat yang mencapai tempat kerjanya atau cairan tubuh
yang akan dilewati obat sebelum mencapai tempat kerjanya. Sebagai contoh, obat yang diberikan
secara oral, harus diabsorpsi pertama kali dari lambung dan usus tetapi mungkin hal ini dibatasi
oleh sifat-sifat bentuk sediaan dan/atau sifat fisikokimia obat. Selanjutnya obat akan melalui hati,
tempat metabolisme dan/atau ekskresi empedu dapat terjadi sebelum obat mencapai sirkulasi
sistemik. Dengan demikian, sejumlah fraksi dosis obat yang diberikan dan diabsorpsi akan
mengalami inaktivasi atau penguraian sebelum obat dapat mencapai sirkulasi darah dan
terdistribusi sampai ketempat kerjanya. Jika kapasitas metabolik dan ekskresi hati untuk obat
tersebut besar, ketersediaan hayati obat tersebut akan berkurang secara bermakna (hal ini biasa
disebut efek lintas pertama). Penurunan ketersediaan hayati dipengaruhi tempat anatomis
terjadinya absorpsi;faktor anatomis, fisiologis, dan patologis lainnya juga dapat memengaruhi
ketersediaan hayati (lihat di bawah),dan pilihan rute pemberian obat harus didasarkan atas
berkhasiat, sehingga pengetahuan mengenai keuntungan dan kerugian rute-rute peinberian yang
berbeda menjadi sangat penting.Beberapa ciri rute pemberian utama yang digunakan untuk efek
Penggunaan oral merupakan cara yang paling umum digunakan dalam pemberian obat.
Rute ini juga paling aman, nyaman, dan murah. Kerugian rute oral antara lain terbatasnya
absorpsi beberapa obat karena sifat-sifat fisik (seperti kelarutan dalam air), muntah sebagai
akibat iritasi pada mukosa saluran pencernaan, terurainya obat oleh enzim pencernaan atau pH
lambung yang rendah, absorpsi obat yang tidak teratur atau terganggu dengan adanya makanan
atau obat lain, dan diperlukannya kerjasama dengan pasien. Selain itu, obat di dalam saluran
pencernaan dapat dimetabolisme oleh enzim yang dihasilkan flora usus,mukosa, atau hati
pemberian oral. Dalam beberapa keadaan, pemberian parenteral penting untuk obat yang
dihantarkan dalam bentuk aktif. Ketersediaannya biasanya lebih cepat, luas dan dapat diprediksi
jika dibandingkan dengan pemberian obat melalui mulut. Oleh karena itu, dosis efektif dapat
diberikan dengan lebih akurat. Pada terapi darurat jika pasien tidak sadar, kurang dapat bekerja
sama dengan tenaga medis, atau tidak dapat menelan sesuatu melalui mulut, maka terapi
parenteral menjadi keharusan. Namun injeksi obat memiliki kekurangan tersendiri: asepsis harus
dijaga, nyeri dapat menyertai injeksi; kadang-kadang sulit bagi pasien untuk melakukan injeksi
sendiri jika pengobatan sendiri penting dilakukan, dan ada resiko kegagalan pada pemberian
luas permukaan tempat absorpsi, aliran darah ke tempat absorpsi, keadaan fisik obat (larutan,
suspensi, atau bentuk sediaan padat).kelarutannya dalam air, dan konsentrasi di tempat absorpsi.
Untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan padat,laju disolusi dapat menjadi faktor
pembatas dalam proses absorpsi, terutama jika obat memiliki kelarutan yang rendah dalam air.
Karena sebagian besar absorpsi obat dari saluran pencemaan terjadi melalui proses transpor pasif
absorpsi lebih mudah terjadi jika obat dalam bentuk tidak terionisasi dan lebih lipofil.
Berdasarkan konsep partisi pH yang diperlihatkan pada Gambar 1-2, diprediksikan bahwa obat
yang bersifat asam lemah akan lebih baik diabsorpsi di lambung (pH 1 sampai 2) dibandingkan
di usus bagian atas (pH 3 sampai 6) dan sebaliknya untuk obat yang bersifat basa lemah. Namun,
di epitel lambung terdapat lapisan mukosa yang tebal dengan luas permukaan yang
kecil;sebaliknya, villi usus bagian atas memiliki luas permukaan yang sangat besar (-200 m).
Dengan demikian, laju absorpsi obat dari usus akan lebih besar dibandingkan dari lambung
meskipun obat dalam bentuk ion banyak terdapat dalam usus dan sejumlah besar obat dalam
bentuk tidak terionisasi berada dalam lambung. Oleh karena itu, beberapa faktor yang
mempercepat pengosongan
lambung kemungkinan akan meningkatkan laju absorpsi obat, sedangkan beberapa faktor yang
Obat yang dirusak oleh cairan lambung atau yang menyebabkan iritasi lambung, kadang-
kadang diberikan dalam bentuk disalut yang dapat mencegah terlarutnya sediaan di dalam cairan
lambung yang bersifat asam. Namun beberapa sediaan obat yang disalut enterik (entericoated)
juga tidak dapat terdisolusi di usus, dan sedikit sekali obat tersebut yang dapat diabsorpsi.
Sediaan Lapas-Terkontrol. Laju absorpsi obat yang diberikan sebagai tablet atau bentuk
sediaan padat oral lainnya, sebagian tergantung pada laju disolusinya dalam cairan
diperpanjang lepas terkendali, atau kerja-dipertama yang dirancang untuk menghasilkan absorpsi
obat yang lambat dan seragam selama 8 jam atau lebih. Keuntungan utama dari pemberian
sediaan-sediaan tersebut antara lain adalah berkurangnya frekuensi pemberian obat jika
dibandingkan dengan bentuk sediaan biasa (memungkinkan peningkatan kepatuhan
menurunkan intensitas efek yang tidak diharapkan dengan menghilangkan puncak konsentrasi
konsentrasi obat sistemik yang dapat tersedia dalam tubuh, akan lebih besar untuk sedian lepas
terkendali dibandingkan dengan sediaan lepas-segera. Pada pemberian obat berulang, konsentrasi
obat terendah setelah pemberian bentuk sediaan lepas-terkontrol mungkin tidak berbeda dari
pemberian obat lepas-segera, meski pun selang waktu antarkonsentrasi lebih besar untuk produk
obat lepas terkontrol yang terancang baik. Bentuk sediaan dapat saja gagal, atau terjadi
"lonjakan-dosis", sehingga mengakibatkan keracunan, karena dosis obat total yang digunakan
pada satu waktu dapat beberapa kali lebih besar dari sediaan biasa. Bentuk sediaan obat lepas
terkontrol lebih sesuai digunakan untuk obat-obat yang memiliki waktu paruh singkat (kurung
dari 4 jam).Sementara untuk obat yang memiliki waktu paruh lama (lebih dari 12 jam) jarang
dibuat lepas terkendali. Sediaan yang biasanya lebih mahal ini tidak boleh diberikan jika tidak
Pemberian Sublingual. Absorpsi obat dari mukosa oral memi- liki keuntungan khusus untuk obat
tertentu, walaupun luas permukaan mukosa tersebut tidak besar. Sebagai contoh, ni- trogliserin efektif
jika diberikan secara sublingual, sebab bersifat non-ionik dan memiliki kelarutan dalam lipid yang sangat
tinggi. Oleh karena itu, obat akan diabsorpsi dengan sangat cepat. Nitro- gliserin juga sangat kuat.
Molekul yang harus diabsorpsi relatif sedikit untuk memberikan efek yang diharapkan. Karena aliran
vena dari mulut adalah menuju vena cava superior, obat akan terhindar dari metabolisme lintas-pertama
yang cepat di hati, yang cukup untuk mencegah adanya molekul aktif nitrogliserin di dalam sirkulasi
Pemberian Rektal. Pemberian obat dengan rute rektal sangat berguna jika pemberian oral tidak dapat
dilakukan karena pasien yang tidak sadar atau muntah-keadaan yang terutama berhu. bungan dengan
anak-anak. Sekitar 50% obat yang diabsorpsi melalui rektum tidak akan melewati hati; karena itu
kemungkinan terjadinya metabolisme lintas-pertama di hati lebih kecil dibandingkan pemberian rute oral.
Walaupun demikian perlu diketahui bahwa absorpsi melalui rektum sering tidak teratur dan tidak
Injeksi Parenteral. Pemberian obat enteral yang utama adalah intravena, subkutan, dan intramuskular.
Ab. sorpsi subkutan dan intramuskular terjadi melalui difusi sederhana mengikuti gradien dari depot obat
ke dalam plasma. Laju absorpsinya sinya dibatasi oleh luas membran ka- piler di tempat absorpsi dan
kelarutan obat di dalam cairan saluran yang relatif besar di da lam membran endotel yang berperan pada
proses molekul yang tak beraturan, terlepas dari kelarutannya da lam lipid. Molekul yang lebih besar
seperti protein dapat mencapai sirkulasi secara lambat melalui saluran limfatik.
Pemberian obat ke dalam sistem sirkulasi darah melalui rute apa pun, kecuali rute intraarteri, dapat
meng. alami eliminasi lintas-pertama di dalam paru-paru sebe. lum terdistribusi ke bagian tubuh lainnya.
Paru-paru berperan sebagai tempat penyimpanan sementara sejum- lah zat, khususnya obat-obat yang
bersifat basa lemah dan sebagian besar tak terionisasi pada pH darah, kemungkinan melalui partisinya ke
dalam lipid. Paru-paru juga berperan sebagai suatu filter untuk partikel tertentu yang mungkin terbawa
secara
intravena dan juga berperan sebagai rute eliminasi untuk zat-zat yang mudah menguap. Intravena.
Faktor-faktor yang memengaruhi absorpsi di- hindari dengan cara pemberian injeksi intravena dalam la-
rutan berair, karena ketersediaan hayatinya terjadi secara dan sempurna. Penghantaran obat dikontrol dan
dicapai secara akurat dan cepat, hal yang tidak mungkin dicapai oleh rute pemberian lain. Dalam
beberapa kasus, seperti dalam induksi pada anestesia bedah, dosis obat tidak ditetapkan dahulu, tetapi
disesuaikan dengan respons dan kebutuhan pasien. Larutan tertentu yang bersifat iritan dapat diberikan
Subkutan. Banyak obat yang diberikan melalui rute injeksi subkutan, terutama obat yang memiliki sifat
tidak iritan terhadap jaringan. Obat yang bersifat iritan dapat menyebabkan nyeri, nekrosis, dan kerusakan
jaringan, Laju absorpsi setelah pemberian obat secara subkutan biasanya cukup konstan dan lambat
sehingga memungkinkan timbulnya efek yang tertunda. Sebagai contoh, laju absorpsi sediaan suspensi
insulin yang tidak larut lebih lambat jika dibandingkan dengan pemberian sediaan hormon tersebut dalam
bentuk terlarut. Pemberian senyawa vasokonstriktor dalam suatu larutan obat yang diberikan secara
subkutan juga memberikan absorpsi yang lambat. Obat-obat yang diimplantasi di bawah kulit sebagai
sediaan pelet padat menunjukan absorpsi yang lambat selama periode beberapa minggu atau bulan.
Intramuskular. Obat dalam larutan berair diabsorpsi sangat cepat setelah diberikan secara injeksi
intramuskular dan tergantung pada laju aliran darah di daerah pemberian injeksi. Hal ini dapat
ditingkatkan dengan pemanasan lokal, pijat, atau olahraga. Sebagai contoh, jogging dapat menyebabkan
gula darah menurun ketika injeksi insulin diberikan pada bagian paha dibandingkan jika diberikan pada
bagian tangan atau dinding abdomen, karena lari dapat meningkatkan aliran darah ke kaki secara
mencolok. Secara umum laju absorpsi setelah injeksi sediaan berair (aqueous preparation) ke bagian
deltoid atau vastus lateralis lebih cepat dibandingkan dengan injeksi pada gluteus maximus. Laju ini
terutama lebih rendah pada perempuan setelah injeksi pada gluteus maximus. Hal ini dihubungkan
dengan perbedaan distribusi lemak subkutan pada pria dan wanita, karena lemak relatif sulit meresap.
Pasien yang sangat gemuk atau sangat kurus dapat menunjukkan pola absorpsi yang tidak lazim setelah
pemberian injeksi intramuskular atau subkutan. Laju absorpsi sangat lambat dan konstan setelah
pemberian intramuskular jika obat yang diberikan dibuat dalam larutan minyak atau disuspensikan
dengan pembawa depo. Antibiotik sering diberikan dengan cara yang terakhir ini. Obat-obat yang bersifat
sangat iritan dengan pemberian subkutan dapat diberikan dengan rute intramuscular.
Intrarteri. Dalam keadaan tertentu obat diberikan dalam bentuk injeksi langsung ke dalam saluran arteri,
untuk melokalisasi efek obat dalam jaringan atau organ tertentu sebagai contoh, pada pengobatan tumor
hati atau kanker di kepalacher. Zat-zat diagnostik sering diberikan dengan cara ini. Pemberian intraarteri
memerlukan penanganan yang sangat hati-hati dan hanya boleh dilakukan oleh ahlinya. Efek lintas-
pertama dan pembersihan di paru-paru tidak terjadi jika obat diberikan dengan rute ini.
Intrarteri. Dalam keadaan tertentu obat diberikan dalam bentuk injeksi langsung ke dalam saluran arteri,
untuk melokalisasi efek obat dalam jaringan atau organ tertentu sebagai contoh, pada pengobatan tumor
hati atau kanker di kepalacher. Zat-zat diagnostik sering diberikan dengan cara ini. Pemberian intraarteri
memerlukan penanganan yang sangat hati-hati dan hanya boleh dilakukan oleh ahlinya. Efek lintas-
pertama dan pembersihan di paru-paru tidak terjadi jika obat diberikan dengan rute ini.
Intratekal. Sawar darah-otak dan sawar darah-cairan serebrospinal sering kali menahan atau
memperlambat masuknya obat ke dalam SSP. Oleh karena itu, jika efek obat diharapkan bersifat lokal
dan cepat pada selaput otak atau aksis serebrospinal seperti pada anastesia spinal atau infeksi akut pada
SSP, obat kadangkadang diinjeksikan langsung ke dalam ruang spinal subarak noid. Demikian pula pada
kasus tumor otak, dapat diobati dengan cara pemberian langsung ke dalam intraventrikular.
Absorpsi Pulmonal Obat yang tidak menyebabkan iritasi, mengandung gas dan mudah menguap dapat
terhisap dan ter absorpsi melalui epitel paru-paru dan melalui membran muka saluran pernapasan.
Dengan rute pulmonal, obat lebih mudah memasuki aliran darah sebab luas permukaan paru-paru sangat
besar. Prinsip absorpsi dan ekskresi anestetik dan terapi gas akan dibahas pada Bab 13, 14, dan 16.
Selain itu, larutan obat dapat diatomisasi dan tetesan halus di udara (aerosol) dihirup. Keuntungan rute
ini adalah absorpsi yang cepat ke dalam darah, dapat terhindar dari kehilangan akibat efek lintas-pertama
di hati, dan untuk kasus penyakit paru-paru, obat diberikan pada daerah tempat kerjanya. Sebagai contoh,
obat dapat diberikan dengan cara ini untuk penanganan asma bronkial (lihar Bab 28). Kerugian di masa
silam seperti sulitnya pengaturan dosis obat dan sulitnya metode pemberian telah diatasi dengan
kemajuan dalam teknologi, termasuk meng. gunakan inhaler yang dilengkapi dengan pengukur dosis dan
Absorpsi di paru-paru merupakan rute penting bagi masuk. nya obat tertentu yang disalahgunakan atau
masuknya zat toksik dari lingkungan dalam komposisi dan sifat fisik yang bervariasi Reaksi lokal dan
Pemakaian Topikal. Membran Mukosa. Obat yang digunakan pada membran mukosa konjungtiva,
nasofaring, orofaring, vagina, usus besar, uretra, dan saluran urin, biasanya bertujuan untuk efek lokal.
Kadangkala, seperti pada pemakaian hormon antidiuretik sintetik pada mukosa hidung, tujuan
pemakaiannya adalah sistemik. Absorpsi melalui membran mukosa mudah terjadi. Pada kenyataannya,
anestetik lokal yang digunakan untuk efek lokal kadang-kadang diabsorpsi sangat cepat sehingga
oleh luas permukaan tempat obat dioleskan, dan kelarutannya di dalam lipid, karena epidermis berlaku
sebagai sawar lipid (lihat Bab 65). Lapisan dermis dapat dilewati secara bebas oleh banyak zat terlarut;
akibatnya, absorpsi sistemik obat lebih mudah terjadi melalui kulit yang terkikis, terbakar dan kulit
telanjang. Keadaan pera dangan dan kondisi lain yang meningkatkan aliran darah di dalam kulit juga
dapat meningkatkan absorpsi. Efek toksik jepa dapat terjadi setelah absorpsi obat yang bersifat sangat
larute mak (seperti insektisida larut-lemak dalam pelarut organik) me lewati kulit. Absorpsi melalui kulit
dapat ditingkatkan dengan membuat suspensi obat di dalam pembawa minyak dan mengo sok sediaan
tersebut di atas kulit. Karena kulit yang basah lebih permeabel daripada kulit yang kering, bentuk sediaan
dapat dimodifikasi atau dapat digunakan pembalut oklusif untuk mem. bantu absorpsi. Sediaan plester
topikal lepas-terkontrol makin banyak tersedia. Plester mengandung skopolamin yang ditempel di
belakang telinga, tempat suhu tubuh dan aliran darah di seki tarnya membantu meningkatkan absorpsi
obat, melepaskan obat ke dalam aliran sistemik dan melindungi pemakai dari mabuk perjalanan. Terapi
penggantian estrogen secara transdermal menghasilkan konsentrasi estradiol yang rendah sambil memini
malkan kadar metabolit estron yang tinggi seperti yang teramati setelah pemberian oral.
Mata Pemakaian obat topikal pada mata dimaksudkan terutama untuk tujuan lokal (lihat Bab 66).
Absorpsi sistemik yang di hasilkan akibat adanya aliran melalui saluran nasolakrimal umumnya tidak
dikehendaki. Selain itu, obat yang diabsorpul setelah aliran tersebut tidak mengalami eliminasi lintas-
pertama di hati. Efek farmakologi sistemik yang tidak diharapkan dapat terjadi jika antagonis reseptor B-
adrenergik diberikan dalam bentuk sediaan obat tetes mata. Efek lokal biasanya memerlukan absorpsi
obat melalui kornea sehingga adanya infeksi atau tra. ma di kornea dapat mempercepat absorpsi. Sistem
penghantaran oftalmik yang memungkinkan kerja obat lebih lama (misalnya bentuk sediaan suspensi dan
salep) merupakan tambahan yang berguna dalam terapi oftalmik. Sediaan okular yang dikembang kan
baru-baru ini menghasilkan pelepasan obat yang lambat dan kontinu dalam konsentrasi rendah. Sejumlah
kecil obat hilang akibat sistem drainase; oleh karena itu efek samping sistemik diminimalkan
Bioekuivalensi. Obat tidak diberikan dalam bentuk utuh, tetapi diformulasi menjadi bentuk sediaan obat.
Produk obat dianggap ekuivalen secara farmasetik jika obat-obat tersebut mengandung zat aktif yang
sama dan memiliki kekuatan atau konsentrasi bentuk sediaan, dan rute pemberian yang identik. Dua
produk obat yang ekuivalen secara farmasetik dianggap bioekuivalen jika laju dan tingkat ketersediaan
hayati zat aktif kedua produk tersebut tidak berbeda secara signifikan di bawah kondisi pengu jian yang
sesuai. Dahulu, bentuk sediaan obat dari pabrik yang berbeda dan bahkan lot yang berbeda dari pabrik
yang sama kadang memiliki ketersediaan hayati yang berbeda. Perbedaan ini terlihat terutama pada
sediaan oral untuk obat yang sukar larut dan absorpsinya lambat. Ini disebabkan oleh perbedaan dalam
bentuk kristal, ukuran partikel atau sifat fisik lainnya pada obat yang tidak terlalu ketat diawasi selama
proses formulasi dan produksi sediaan. Faktor-faktor di atas memengaruhi waktu han cursediaan dan
disolusi obat tersebut sehingga memengaruhi pula laju dan tingkatnya absorpsi obat.
Kecenderungan terjadinya non-ckuivalensi pada sediaan obat yang berbeda telah menjadi perhatian.
Persyaratan peraturan yang diperketat menemukan sejumlah kecil kasus non-cuiva lensi sediaan obat, jika
ada, diantara produk-produk obat yang terdaftar. Signifikansi non-ckuivalensi sediaan obat yang mung
kin akan dibicarakan dalam hubungannya dengan tata nama obat dan pilihan nama obat yang tertulis di
DISTRIBUSI OBAT
Setelah absorpsi atau pemberian obat secara sistemik ke dalam darah, suatu obat akan terdistribusi ke
dalam cairan interstisial dan cairan intrasel. Proses ini mengikutkan sejumlah faktor fisiologis, terutama
sifat fisikokimia setiap obat. Curah jantung, aliran darah regional, dan volume jaringan menentukan laju
penghantaran dan jumlah obat yang didistribusikan ke dalam jaringan. Hati, ginjal, otak, dan organ lain
yang menerima aliran dengan akan menerima sebagian besar obat lebih awal, sementara penghantaran ke
otot, sebagian besar visera, kulit, dan jaringan lipid terjadi lebih lambat. Fase distribusi yang kedua ini
terjadi dalam hitungan menit sampai beberapa jam hingga terjadinya kesetimbangan konsentrasi obat di
dalam jaringan dan di dalam darah. Fase kedua ini juga melibatkan Traksi massa tubuh yang jauh lebih
besar di bandingkan fase awal dan umumnya bertanggung jawab untuk sebagian besar obat yang
terdistribusi secara ekstravaskular. Kecuali pada otak, difusi obat ke dalam cairan interstisial terjadi
sangat cepat karena membran kapiler endotelium memiliki sifat yang sangat permeabel. Dengan
demikian, distribusi obat ke dalam jaringan ditentukan oleh partisi obat antara darah dan jaringan
tersebut. Kelarutan obat dalam lemak merupakan penentu ambilan tentu ambilan yang penting seperti
halnya gradien pH antara cairan intrasel dan ekstrasel untuk obat yang bersifat basa lemah atau asam
lemah. Namun secara umum, pemerangkapan ion yang disebabkan faktor basa lemah tidaklah besar,
karena gradien pH kecil (7,0 dengan 7,4). Faktor yang lebih pen. ting pada partisi darah : jaringan adalah
PROTEIN PLASMA. Banyak obat berikatan dengan protein plasma, sebagian besar berikatan dengan
albumin plasma untuk obat yang bersifat asam dan dengan asam glikoprotein untuk obat yang bersifat
basa; secara umum, ikatan dengan protein plasma lainnya terjadi dalam jumlah yang jauh lebih kecil.
Ikatan ini biasanya bersifat reversibel; kadang-kadang terjadi ikatan kovalen pada obat yang reaktif f
seperti pengalkilasi
Fraksi jumlah obat yang berikatan dengan plasma di tentukan oleh konsentrasi obat, afinitasnya dengan
tempat ikatan, dan jumlah tempat ikatan. Hubungan aksi-massa sederhana menentukan konsentrasi obat
yang terikat dan yang bebas (lihat Bab 2). Pada konsentrasi obat yang rendah (lebih kecil dari tetapan
disosiasi ikatan proteinplasma), fraksi obat terikat merupakan fungsi dari konsentrasi tempat ikatan dan
tetapan disosiasi. Pada konsentrasi obat yang tinggi (lebih besar dari tetapan disosiasi), fraksi obat terikat
merupakan fungsi dari jumlah tempat ikatan dan konsentrasi obat. Oleh karena itu, ikatan dengan plasma
merupakan proses yang dapat jenuh dan nonlinier, Namun, untuk sebagian besar obat, rentang terapeutik
konsentrasi plasma terbatas, sehingga fraksi obat yang terikat dan yang tidak terikat relatif konstan. Nilai
persentase yang ditunjukkan pada Lampiran II hanya mengacu pada kondisi ini kecuali dinyatakan lain.
Jumlah ikatan obat dengan plasma dapat pula dipengaruhi oleh faktorfaktor yang berhubungan dengan
penyakit . Sebagai con toh, hipoalbuminemia akibat penyakit hati yang parah atau sindrom nefrotik
menyebabkan berkurangnya ikatan dan meningkatnya fraksi tidak terikat. Selain itu, kondisi-kondisi yang
menyebabkan respons reaksi fase akut (kanker, artritis, infark jantung, penyakit Crohn) mengakibatkan
peningkatan jumlah :,-asam glikoprotein dan meningkatkan ikatan obat yang bersifat basa.
Karena ikatan obat dengan protein plasma agak selektif, obat-obat yang memiliki sifat fisikokimia yang
mirip dapat saling berkompetisi satu sama lain dan dengan zat endogen untuk mendapatkan tempat
berikatan tersebut. Misalnya penggantian bilirubin tak-terkonjugasi dari pengikatannya pada albumin oleh
sulfonamida atau de ngan anion organik lainnya diketahui meningkatkan risiko ensefalopati bilirubin
pada bayi yang baru lahir. Di masa lalu, kekhawatiran mengenai toksisitas obat atas dasar kompetisi
serupa antarobat untuk menduduki tempat ikatan tertentu dilebih-lebihkan. Karena respons obat (baik
berkhasiat maupun toksik) merupakan fungsi dari konsentrasi obat tidak terikat, konsentrasi obat tak-
terikat pada keadaan tunak akan berubah hanya jika laju pemberian (dosing rate) atau bersihan (clearance)
obat takterikat berubah (lihat Persamaan (1-1) dan pembahasan berikutnya pada bab ini). Oleh karena itu,
konsentrasi obat tak-terikat pada keadaan tunak tidak tergantung pada jumlah ikatannya dengan protein.
Namun, untuk obat yang memiliki indeks terapi sempit, perubahan sementara konsentrasi obat tak-terikat
yang terjadi segera setelah pemberian dosis obat yang digantikan sebaiknya diperhatikan Masalah yang
lebih umum terjadi akibat kompetisi obatobat untuk mendapatkan tempat ikatan protein plasma adalah
kesalahan dalam menafsirkan konsentrasi obat yang terukur di dalam plasma, karena sebagian besar asai
Penting diketahui bahwa terikatnya obat pada protein plasma membatasi konsentrasinya dalam jaringan
dan di tempat kerja obat, karena hanya obat tak-terikat saja yang terdapat di dalam kesetimbangan
antarmembran. Dengan demikian, setelah kesetimbangan distribusi tercapai, konsentrasi obat yang aktif
dan tidak terikat di dalam air intrasel sama besarnya dengan obat di dalam plasma kecuali jika melibatkan
transpor yang diperantarai pembawa. Terikatnya obat juga membatasi filtrasi obat di glomerulus, karena
proses ini tidak segera mengubah konsentrasi obat bebas di dalam plasma (air juga difiltrasi). Namun
umumnya ikatan obat dengan protein plasma tidak membatasi sekresi tubulus di ginjal atau
biotransformasi, karena proses ini menurunkan konsentrasi obat bebas, dan ini dengan cepat diikuti oleh
disosiasi kompleks obat-protein. Transpor dan metabolisme obat juga dibatasi oleh ikatan di plasma
kecuali jika ini terjadi dengan sangat efisien dan bersihan obat yang dihitung berdasarkan obat bebas,
melampaui aliran plasma di organ. Dalam keadaan ini, ikatan obat pada protein plasma dapat dipandang
sebagai mekanisme transpor yang membantu eliminasi dapat melalui penghantaran obat ke tempat
eliminasi.
IKATAN DI JARINGAN. Banyak obat terakumulasi di dalam jaringan dalam konsentrasi yang lebih
besar dibandingkan dengan yang terakumulasi di dalam cairan ekstrasel dan di dalam darah. Sebagai
contoh, pada pemberian jangka panjang obat anti malaria kuinakrin, konsentrasi obat di di hati dapat
beberapa ribu kali lebih tinggi dibandingkan dalam darah. Akumulasi ini mungkin disebabkan oleh .
transpor aktif atau, yang lebih umum, akibat ikatan. Ikatan obat de ngan jaringan biasanya terjadi dengan
konstituen sel seperti protein, fosfolipid, atau protein inti dan umumnya ikatan ini reversibel. Sejumlah
besar obat di dalam tubuh dapat berikatan dengan cara ini dan berfungsi sebagai res. ervoir yang
memperpanjang kerja obat pada jaringan tersebut atau pada tempat yang jauh yang dicapai melalui aliran
darah.
Lipid sebagal Suatu Reservoir. Banyak obat-obatan yang memiliki sifat larut-lipid disimpan di dalam
lipid netral. Pada orang gemuk, kadar lipid dalam tubuh dapat mencapai 50%, dan bahkan pada kondisi
kelaparan, lipid di dalam tubuh mencapai sekitar 10 bobot badan; oleh karena itu, lipid dapat berperan
sebagai reservoir yang penting untuk obat larut-lipid. Sebagai contoh, sebanyak 70% tiopental barbiturat
yang sangat larut lipid dapat berada di dalam lipid tubuh tiga jam setelah pemberian. Namun, lipid
merupakan penyimpan yang relatif stabil karena memiliki aliran darah yang relatif rendah.
Tulang. Antibiotik tetrasiklin (dan zat pengkelation logam bervalensi dua lainnya) dan logam berat dapat
terakumulasi di dalam tulang melalui adsorpsi ke permukaan kristal tulang dan pada akhirnya menyusup
ke dalam kisi-kisi kristal tersebut. Tulang dapat berperan sebagai tempat penyimpanan zat racun yang
dilepaskan secara lambat, seperti timbal atau radium ke dalam darah; oleh karena itu, efeknya bisa jauh
bertahan lama setelah pemajanan dihentikan. Kerusakan lokal pada medula tulang juga dapat
menyebabkan berkurangnya aliran darah dan perpanjangan efek penyimpanan karena zat toksik tersebut
menjadi terisolasi dari peredaran darah; di kemudian hari, hal ini dapat meningkatkan kerusakan lokal
secara langsung pada tulang. Akibatnya terjadi lingkaran setan, semakin besar pemajanan terhadap zat
Redistribusi. Berhentinya efek obat biasanya disebabkan oleh metabolisme dan ekskresi, tetapi dapat
juga disebab kan oleh proses redistribusi obat dari tempat kerjanya ke jaringan atau tempat dalam
penghentian efek obat terutama jika obat yang sa distribusi merupakan faktor ngat larut-lipid yang bekerja
di otak atau sistem kardiovaskular diberikan dengan cepat melalui injeksi intravena atau dengan inhalasi.
Contoh yang baik untuk kasus ini adalah pada pemberian injeksi intravena anestetik tiopental, suatu obat
yang sangat larut dalam lipid. Karena jaringan lain, aliran darah ke otak sangat tinggi, obat mencapai
konsentrasi maksimum di otak dalam waktu satu menit setelah pemberian injeksi intravena. Setelah
pemberian injeksi dihentikan, konsentrasi dalam plasma menurun begitu tiopental berdifusi ke dalam
seperti jaringan otot. Konsentrasi obat di dalam otak mengikuti konsentrasi obat di dalam plasma, karena
hanya sedikit obat yang berikatan dengan konstituen otak. Oleh sebab itu, onset anestesi cepat, tetapi
hilangnya efek juga cepat. Keduanya berkaitan langsung dengan konsentrasi obat di dalam otak.
SISTEM SARAF PUSAT DAN CAIRAN SEREBROSPINAL. Distribusi obat ke dalam SSP dari
darah merupakan proses yang unik, karena adanya sawar fungsional yang menahan obat masuk ke tempat
yang kritis ini. Salah satu alasannya yaitu bahwa sel-sel endotel kapiler di otak mempunyai pertautan
sempit dan kontinu, sehingga penetrasi obat ke dalam otak tergantung pada transpor transelular dibanding
paraselular antarsel. Sifat unik sel glia perikapiler ini juga berperan dalam fungsi sawar darah-otak. Pada
pleksus koroid, terdapat sawar darah-cairan serebrospinal (CSS) yang mirip, perbedaannya adalah bahwa
yang dihubungkan oleh taut ini adalah sel epitel dan bukan sel endotel. Akibatnya, kelarutan dalam lipid
bagian obat yang tidak terionisasi dan tidak terikat menjadi penentu penting masuknya obat ke dalam
otak; semakin lipofil suatu obat, semakin mudah ia melewati sawar darah-otak. Keadaan ini sering
digunakan dalam perancangan obat untuk mengubah distribusinya ke otak; 'sebagai contoh, konsentrasi
antihistamin nonsedatif di otak jauh lebih rendah dibandingkan dengan obat lain dari kelas yang sama.
Selain itu juga makin yang menunjukkan bahwa obat dapat berpenetrasi ke dalam SSP melalui transporter
ambilan spesifik yang secara normal terlibat dalam transpor nutrisi dan senyawa endogen dari darah ke
dalam otak dan CSS Baru-baru ini telah ditemukan bahwa faktor penting lain yang berpengaruh dalam
fungsi sawar darah-otak, juga melibatkan transpoter membran, yaitu dalam hal ini. pembawa efluks yang
terdapat di dalam sel endotel kapiler P-glikoprotein merupakan faktor paling penting dalam hal ini dan
menjalankan fungsinya dengan tidak membiarkan obat melakukan lintas lokasi melintasi sel endotel dan
juga dengan mengeluarkan setiap obat yang memasuki otak dengan cara lain. Transpor semacam ini
terjadi di otak dan jaringan lain yang juga mengekspresikan P-glikoprotein (seperti pada testis), menjadi
kannya tempat berlindung farmakologis yang memiliki konsentrasi obat lebih rendah dari yang
dibutuhkan untuk mencapai efek yang dikehendaki, meskipun konsentrasi obat di dalam darah
mencukupi. Keadaan ini timbul pada penggunaan inhibitor HIV protease (Kim et al., 1998) dan juga
dengan loperamida suatu opiat yang kuat dan aktif secara sistemik dan tidak memiliki efek terhadap pusat
seperti opioid lain (lihat Bab 23). Transporter efluks yang secara aktif mensekresi obat dari CSS ke dalam
darah juga terdapat di pleksus koroid. Terlepas dari apakah suatu obat dipompa keluar SSP oleh
transporter spesifik atau berdifusi kembali ke dalam darah, obat juga keluar dari sistem saraf pusat
bersama ruahan aliran CSS melalui villi arachnoid. Pada umumnya fungsi sawar darah-otak terpelihara
dengan baik. Meski demikian, inflamasi meninpen geal dan ensefalik akan meningkatkan permeabilitas
lokal. Sawar darah-otak juga berpotensi dimodulasi untuk membantu pengobatan infeksi atau tumor di
dalam otak. Namun, sampai sekarang pendekatan tersebut belum menunjukkan kegunaan secara klinis.
merupakan hal yang penting, karena obat dapat menyebabkan cacat bawaan. Pemberian obat sesaat
sebelum melahirkan dapat memberikan efek samping pada bayi yang baru dilahirkan. Kelarutan dalam
lipid, jumlah ikatan plasma, serta tingkat ionisasi asam lemah dan basa lemah merupakan faktor umum
yang penting, sebagaimana dibahas sebelumnya. Plasma janin sedikit lebih asam dari pada plasma ibunya
(pH 7,0 sampai 7,2 dengan 7,4), sehingga pemerangkapan ion pada obat yang bersifat basa akan terjadi.
Seperti di dalam otak P-glikoprotein ditemukan dalam plasenta dan berfungsi sebagai pembawa keluar zat
yang berpotensi toksik terhadap janin. Tetapi pandangan bahwa plasenta merupakan sawar absolut bagi
obat yang akan masuk tidaklah tepat. Pandangan yang lebih mendekati adalah bahwa janin dapat
EKSKRESI OBAT
Obat dieliminasi dari tubuh dalam bentuk molekul utuh atau bentuk metabolitnya melalui proses ekskresi.
Organ ekskresi selain paru-paru, mengeliminasi senyawa polar lebih efisien dibanding senyawa yang
memiliki kelarutan tinggi dalam lipid. Karena itu obat yang larut dalam lipid belum dapat dieliminasi
melalui feses terutama adalah senyawa yang tidak diabsorpsi dari pemberian oral atau metabolit yang
diekskresi melalui empedu atau diekresi langsung ke dalam saluran usus dan tidak direabsorpsi. Ekskresi
obat melalui air susu juga penting, bukan karena jumlahnya yang besar, tetapi karena obat yang diekskresi
dapat menjadi sumber efek farmakologi yang tidak dikehendaki terutama pada bayi yang menyusu.
Ekskresi melalui paru-paru terutama untuk eliminasi anestetik berupa gas dan zat yang menguap (lihat
Bab 13, 14 dan 16): kadang-kadang ada obat atau metabolit dalam jumlah kecil yang diekskresi melalui
rute ini.
EKSKRESI GINJAL. Ekskresi obat dan metabolitnya melalui urin mengikuti tiga tahapan, yaitu: filtrasi
glomerulus sekresi aktif melalui tubulus, dan reabsorpsi pasif di tubulus ginjal. Adanya perubahan di
dalam fungsi ginjal akan berpengaruh terhadap ketiga proses tersebut. Ginjal belum berfungsi baik pada
bayi yang baru lahir, tetapi kemudian fungsinya tumbuh pesat pada bulan-bulan awal setelah lahir.
Selama masa dewasa terjadi penurunan fungsi ginjal secara perlahan, sekitar 1% per tahun, sehingga pada
Jumlah obat yang masuk ke dalam lumen tubulus melalui proses filtrasi sangat tergantung pada laju
filtrasi glomerulus dan jumlah obat yang berikatan dengan protein plasma; dan hanya obat yang tidak
berikatan yang dapat mengalami filtrasi. Pada bagian proksimal tubulus ginjal sekresi aktif tubulus yang
diperantarai dapat juga menambah jumlah obat ke dalam cairan tubulus. Transporter seperti P-
glikoprotein dan protein tipe 2 penyebab resistensi terhadap berbagai obat (MRP2) yang terletak di bagian
tepi dan sisi ujung membran adalah penentu proses sekresi senyawa anion amfipatik dan metabolit
terkonjugasi (seperti produk adisi glukuronida, sulfat, dan glutation). Sistem transpor yang mirip tetapi
lebih selektif untuk obat-obatan golongan kation organik (OCDs) ikut terlibat dalam sekresi senyawa basa
organik. Transporter membran terutama yang berlokasi di tubulus ginjal bagian distal, juga berperan
dalam proses reabsorpsi aktif dari lumen tubulus kembali ke dalam sirkulasi sistemik. Namun,
Pada bagian tubulus proksimal dan distal, asam dan basa lemah dalam bentuk tak terionisasi akan
direabsorpsi secara pasif. Gradien konsentrasi untuk difusi balik terjadi karena adanya reabsorpsi air
bersama Na' dan ion anorganik lainnya. Karena sel-sel tubulus ginjal kurang permeabel untuk bentuk
terionisasi elektrolit lemah, proses reabsorpsi pasifnya tergantung pada pH. Jika urin di tubulus dibuat
lebih basa, asam-asam lemah diekskresi lebih cepat dan lebih banyak, terutama karena senyawa tersebut
lebih terionisasi dan reabsorpsi pasif menurun. Jika urin di tubulus dibuat lebih asam, ekskresi asam
lemah menurun. Perubahan pH urin menjadi asam atau basa mempunyai dampak berlawanan dalam
ekskresi obat basa lemah. Pada penanganan keracunan obat, ekskresi beberapa obat dapat dipercepat
dengan pembasaan atau pengasaman urin yang sesuai. Perubahan pH urin dapat ber akibat pada
perubahan eliminasi obat yang signifikan, tergantung pada besar dan lamanya perubahan pH tersebut
serta kontribusi reabsorpsi pasif yang tergantung pH pada eliminasi total obat Efek yang paling besar
untuk asam lemah dan basa lemah terjadi pada nilai pKa dalam rentang pH 'urin (5 sampai 8). Namun,
pembasaan urin dapat menghasilkan peningkatan ekskresi asam yang relatif kuat seperti salisilat sebesar 4
sampai 6 kali jika pH urin berubah dari 6,4 menjadi 8,0. Fraksi obat tak terionisasi akan berkurang dari
1% sampai 0,04%.
EKSKRESI EKSKRESI EMPEDU DAN FESES. Sistem transpor yang mirip dengan di ginjal juga
terdapat pada membran kanalikuli hepatosit, dan transpor ini secara aktif mensekresikan obat dan
metabolit ke dalam empedu. P-glikoprotein mentrans por kebanyakan obat larut-lipid amfipatik,
sedangkan MRP2 terutama terlibat dalam proses sekresi metabolit obat terkonjugasi (konjugat glutation
beberapa sulfat). MRP2 juga berperan penting dalam prosenyawa endogen, dan sindrom Dubin-John son
disebabkan oleh tidak adanya transporter ini akibat tge netik. Sekresi aktif kation organik di empedu juga
melibatkan transporter. Akhirnya, obat dan metabolit yang berada dalam empedu, dilepas ke dalam usus
selama proses pencernaan berjalan. Karena transporter sekresi seperti P-glikoprotein juga diekspresikan
pada membran apikal di enterosit, sekresi langsung obat dan metabolit dapat terjadi dari aliran darah ke
lumen usus. Setelah itu, obat dan metabolit dapat diabsorpsi kembali ke dalam tubuh dari usus. Untuk
metabolit terkonjugasi seperti glukuronida, proses ini mungkin memerlukan hidrolisis enzimatik oleh
mikroflora usus. Daur ulang enterohepatik tersebut, jika ekstensif dapat memperpanjang keberadaan dan
efek obat dalam tubuh secara signifikan sebelum dieliminasi melalui jalur lainnya.
EKSKRESI MELALUI RUTE Lainnya. Ekskresi obat ke dalam keri ngat, air liur dan air mata secara
kuantitatif tidak terlalu penting. Eliminasi melalui rute ini sangat dipengaruhi oleh difusi obat larut-lipid
yang tak terionisasi melalui sel epitel kelenjar tersebut dan tergantung pH. Obat yang diekskresi melalui
air liur masuk ke mulut dan biasanya tertelan. Konsentrasi obat di dalam air liur berbanding lurus dengan
konsentrasi obat di dalam plasma darah. Oleh karena itu air liur dapat menjadi cairan biologis yang
berguna untuk penetapan konsentrasi obat jika ada masalah atau kesulitan mengambil darah. Prinsip yang
sama diterapkan untuk ekskresi obat di dalam air susu. Karena air susu lebih asam dari pH plasma,
senyawa basa dapat terkonsentrasi lebih besar di dalam air susu dan konsentrasi senyawa asam di dalam
air susu akan lebih rendah daripada dalam plasma. Senyawa non-elektrolit seperti etanol dan urea, mudah
masuk ke dalam air susu dan akan mencapai konsentrasi yang sama seperti di dalam plasma, tidak
tergantung pada phl air susu. Walaupun ekskresi ke dalam rambut dan kulit juga tidak penting secara
kuantitatif, metode deteksi obat yang sensitif di dalam jaringan ini penting dalam bidang forensic.
METABOLISME OBAT
Sifat lipofilik obat yang mendorong pelintasannya melewati membran biologis dan kemudian masuk ke
tempat kerja, merintangi ekskresi obat dari dalam tubuh. Ekskresi obat utuh melalui ginjal hanya sedikit
dibandingkan keseluruhan eliminasi sebagian besar senyawa obat, karena senyawa lipofil yang difiltrasi
melalui glomerulus akan direabsorpsi kembali dalam jumlah besar ke dalam sirkulasi darah selama
perlintasannya melewati tubulus ginjal. Oleh karena itu, metabolisme obat dan xenobiotic lain menjadi
metabolit yang lebih hidrofil penting untuk proses eliminasi obat dari tubuh dan penghentian aktivitas
biologisnya. Secara umum, reaksi biotransformasi menjadikan metabolit lebih polar, inaktif, dan siap
diekskresi ke luar tubuh. Namun dalam beberapa kasus, terbentuk me. tabolit dengan aktivitas biologis
atau sifat toksik yang kuat. Banyak biotransformasi metabolik yang menghasilkan metabolit inaktif obat
juga menghasilkan metabolit yang memiliki aktivitas biologis berupa senyawa endogen. Uraian
berikutnya khusus membicarakan biotransformasi obat tetapi dapat diterapkan secara umum untuk
metabolisme semua senyawa xenobiotik dan juga sejumlah senyawa endogen seperti steroid, vitamin, dan
asam lemak.
METABOLISME FASE I DAN FASE II. Reaksi biotransformasi obat diklasifikasikan menjadi reaksi
fungsionalisasi fase I. dan reaksi biosintesis (konjugasi) fase II. Reaksi fase 1 merupakan pemasukan
gugus fungsi pada molekul induk. Reaksi fase ini biasanya berakibat pada hilangnya aktivitas
farmakologis obat, namun ada juga yang tetap memperlihatkan berlangsungnya aktivitas atau peningkatan
aktivitas. Pada sedikit kasus, metabolisme dikaitkan dengan perubahan aktivitas farmakologis. Prodrug
adalah senyawa yang tidak aktif secara farmakologis, yang dirancang untuk memaksimalkan jumlah
spesies aktif yang mencapai tempat kerjanya. Prodrug yang tidak aktif segera diubah menjadi metabolit
yang aktif secara biologis, sering kali melalui hidrolisis ester atau ikatan amida. Jika tidak cepat
terekskresi ke dalam urin, hasil reaksi biotransfomasi fase I akan bereaksi dengan senyawa endogen
Reaksi konjugasi fase II menyebabkan pembentukan ikatan kovalen antara gugus fungsi pada senyawa
induk atau metabolit fase 1 dengan turunan endogen asam glukoronat, sulfat, glutation, asam-asam amino,
atau asetat. Konjugat yang sangat polar ini umumnya tidak aktif dan dengan cepat dickskresi melalui urin
dan feses. Contoh konjugat aktif adalah metabolit morfin yaitu 6-glukuronida yang memiliki efek
TEMPAT BIOTRANSFORMASI. Konversi metabolik obat umumnya bersifat enzimatik. Sistem enzim
yang terlibat dalam biotransformasi obat terletak di hati, walaupun setiap jaringan yang diperiksa juga
mempunyai aktivitas metabolisme. Organ lain yang mempunyai kapasitas metabolisme signifikan
meliputi saluran gastrointestinal, ginjal, dan paru-paru. Setelah pemberian obat melalui jalur
nonparenteral, sejumlah dapat mengalami inaktivasi secara metabolik di epitelium usus kecil atau di hati
sebelum obat mencapai aliran darah. Metabolisme lintaspertama ini secara signifikan membatasi
ketersediaan oral obat-obat yang metabolismenya tinggi. Pada sel tertentu, sebagian besar aktivitas
metabolisme obat terjadi di dalam retikulum endoplasma dan di dalam sitosol, meskipun biotransformasi
obat juga dapat terjadi di dalam mitokondria, selaput inti sel, dan membran plasma. Pada perlakuan
homogenisasi dan sentrifugasi diferensial jaringan, retikulum endoplasma akan pecah, dan fragmen-
fragmen membran membentuk mikrovesikel, disebut sebagai mikrosoma. Oleh karena itu, enzim yang
melakukan metabolisme obat di dalam endoplasma sering disebut sebagai enzim mikrosoma. Sistem
enzim yang terlibat dalam reaksi fase I terutama terletak di retikulum endoplasma, sedang. kan sistem
enzim konjugasi fase II terutama di sitosol. Sering kali obat yang mengalami biotransformasi melalui
reaksi fase 1 di dalam retikulum endoplasma terkonjugasi di tempat yang sama atau di dalam fraksi
SISTEM SITOKROM P450 MONOOKSIGENASE. Enzim sitokrom P450 adalah kelompok besar
protein hemetiolat yang terdistribusi luas di semua mahluk hidup. Enzim-enzim ini terlibat dalam metabo
lisme sejumlah besar senyawa endogen dan eksogen yang beragam secara kimia ini seperti obat, zat-zat
kimia lingkungan, dan xenobiotik lain. Enzim tersebut biasanya berfungsi sebagai oksidase terminal di
dalam rantai transfer-elektron multikomponen yang memberikan satu atom oksigen molekular ke dalam
substrat sementara atom oksigen lain menjadi bagian air. Di tingkat mikrosoma, elektron dipasok dari
NADPH melalui sitokrom P450 reduktase yang berikatan erat dengan sitokrom P450 pada membran lipid
retikulum endoplasma halus. Sitokrom P450 mengkatalisis banyak reaksi, termasuk hidroksilasi cincin
aromatik dan rantai samping: N., 0, dan S-dealkilasi: N-oksidasi: N-hidroksilasi; sulfoksidasi; deaminasi;
dehalogenasi; dan desulfurasi. Rincian dan contoh metabolisme yang diperantarai oleh sitokrom P450
ditunjukan pada Tabel 1-2. Sejumlah reaksi reduksi juga dikatalisis oleh enzim-enzim ini, umumnya
Dari sekitar 1000 sitokrom P450 yang dikenal, sekitar 50 ma. cam aktif berfungsi dalam tubuh
manusia, dan dibagi dalam beberapa kategori menjadi 17 famili dan subfamili menurut kemi. ripan urutan
asam amino pada protein yang diprediksi. Singkatan istilah CYP digunakan untuk identifikasi. Urutan
yang memiliki lebih dari 40% identik menjadi bagian dari famili yang sama, di tandai dengan nomor
Arab; di dalam satu famili, urutan yang me. miliki lebih dari 55% identik dimasukkan ke dalam subfamili
yang sama, ditandai dengan huruf, dan perbedaan isoform individu di dalam subfamili tersebut ditandai
dengan nomor Arab. Sekitar 8 sampai 10 isoform dalam famili CYPI, CYP2, dan CYP3 terutama terlibat
dalam kebanyakan reaksi metabolisme obat pada manusia; anggota famili lainnya mempunyai peran
penting dalam proses biosintesis dan degradasi steroid, asam lemak, vitamin, dan senya wa endogen
lainnya. Setiap individu isoform CYP memiliki spesifisitas substrat yang khas berdasarkan struktur
substrat. Meski demikian, sejumlah besar tumpang tindih sering terjadi. akibatnya dua atau lebih isoform
CYP dan enzim pemetabolisme obat lainnya sering terlibat dalam metabolisme obat secara kese luruhan
yang mengakibatkan terbentuknya banyak metabolit pri mer dan sekunder. Beberapa isoform juga
memiliki sifat meng. hambat dan menginduksi, seperti dijelaskan kemudian. Selain itu, metabolisme yang
dikatalisis CYP sering bersifat regio selektif dan stereoselektif sifat stereoselektif kemungkinan penting
jika obat diberikan sebagai rasemat dan masing-masing en antiomer tersebut memiliki aktivitas
CYP3A4 dan CYP3A5, yang merupakan isoform yang sangat mirip, bersama sama terlibat dalam sekitar
50% metabolisme obal; selain itu CYP3A terdapat pada epitelium usus dan ginjal. Kini diketahui, bahwa
metabolisme oleh CYP3A selama absorpsi obat melalui enterosit usus merupakan faktor yang penting,
bersama dengan metabolisme lintas pertama di hati, untuk obat-obat yang mempunyai ketersediaan hayati
oral buruk. Isoform di famili CYP2C dan subfamili CYP2D6 juga terlibat dalam sejumlah besar
metabolisme obat. Walaupun isoform seperti CYP1A112, CYP2A6, CYP2B1, dan CYP2E1 tidak terlibat
dalam proses metabolisme obat yang utama, isoform tersebut mengkatalisis aktivasi banyak zat kimia
lingkungan prokarsinogenik menjadi bentuk karsinogen, Dengan demikian, peranannya penting pada
berbagai penyebab kanker, seperti asap rokok yang menyebabkan kanker paru-paru.
Enzim oksidatif lain seperti dehidrogenase dan flavin yang mengandung monoksigenase juga mampu
mengkatalisis metabolisme obat-obat tertentu, tetapi secara umum enzim tersebut tidak begitu berperan
ENZIM HIDROLITIK. Reaksi enzim hidrolitik secara umum dije. laskan pada Tabel 1-2. Sejumlah
esterase dan amidase nonspesifik telah diidentifikasi di retikulum endoplasma hati manusia, usus, dan
dalam jaringan lainnya. Gugus amin dan alkohol yang terpajan setelah hidrolisis senyawa ester dan amida
merupakan substrat yang baik untuk reaksi konjugasi. Hidrolase epoksida mikrosoma ditemukan di dalam
retikulum endoplasma seluruh jaringan esensial dan di dalam enzim sitokrom P450 dekat proksimal.
Hidrolase epoksida secara umum dikenal sebagai enzim detoksifikasi, menghidrolisis oksida-oksida
hidrokarbon aromatik yang sangat reaktif yang dihasilkan dari reaksi oksidasi sitokrom P450 menjadi
metabolit transdihidrodiol larut-air yang tidak aktif. Enzim protease dan peptidase terdistribusi secara luas
di berbagai jaringan dan terlibat dalam biotransformasi obat-obat polipeptida. Penghantaran obat tersebut
melalui membran biologi memerlukan penghambatan enzim-enzim ini atau pengembangan analog yang
stabil.
REAKSI KONJUGASI. Bentuk aktif senyawa endogen dan enzim transferase yang sesuai penting
dalam membentuk metabolit terkonjugasi. Dalam hal glukuronidasi-reaksi konjugasi yang penting
(Gambar 1-3)-uridin difosfat glukuronosi transferase (UGT) mengkatalisis perubahan asam glukuronat
menjadi alkohol aromatik dan alifatik, asam karboksilat, amin, dan gugus sulthidril bebas pada senyawa
eksogen dan endogen membentuk 0., N., dan Sglukuronida secara berurutan. Glukuronidasi juga penting
dalam proses eliminasi steroid endogen, bilirubin, asam empedu, dan vitamin larut-lemak. Peningkatan
kelarutan kon jugat glukuronida dalam air meningkatkan eliminasinya di dalam urin atau empedu. Tidak
seperti kebanyakan reaksi fase II yang terjadi di sitosol, UGT adalah enzim mikrosoma. Lokasi ini
membantu akses langsung masuknya metabolit fase 1 yang di bentuk di tempat yang sama. Selain di hati ,
UGT juga ditemukan di epitel usus, ginjal, dan kulit. Sekitar 15 UGT manusia telah diidentifikasi, dan
berdasarkan kesamaan asam amino (lebih besar dari 50%), ada dua famili besar yang dibedakan. Anggota
famili UGTIA manusia seluruhnya ditandai dengan gen kom pleks, dan isoform individu dihasilkan oleh
sambungan alternatif 12 promoter/ekson I dengan ekson biasa 2 sampai 5 untuk meng. hasilkan berbagai
protein yang berbeda. Berbeda dengan UGT2 yang hanya mengandung tiga subfamili: 2A, 2B, dan 2C.
Meskipun tampaknya setiap UGT memiliki kekhususan substrat yang khas, terjadi banyak tumpang
tindih, sehingga berbagai isoform kemungkinan berperan dalam pembentukan metabolit glukuronida
khusus. Sulfasi sitosol juga merupakan reaksi konjugasi penting yang melibatkan transfer katalitik oleh
hidroksil fenol dan alkohol alifatik. Oleh karena itu, obat dan metabolit primer yang memiliki gugus
hidroksil sering membentuk metabolit glukuronida dan sulfat. Dua N-asetiltransferase (NATI dan NAT2)
terlibat dalam asetilasi amin, hidrazin dan sulfonamida. Kebalikan dari kebanyakan konjugat obat,
metabolit yang terasetilasi sering bersifat kurang larut air dibandingkan obat induknya, dan ini dapat
obat adalah variabilitas antarindividu yang besar yang sering kali memberikan perbedaan tingkat
metabolisme yang menonjol yang menghasilkan laju eliminasi obat dan profil khas konsentrasi obat
dalam plasma darah sebagai fungsi waktu. Variabilitas tersebut memberikan penjelasan penting mengapa
pasien memberikan respons yang berbeda terhadap suatu dosis obat yang sama dan hal tersebut harus
menjadi pertimbangan dalam menentukan dosis optimal bagi pasien tertentu. Kombinasi dari faktor
genetik, lingkungan, dan kondisi penyakit akan memengaruhi proses metabolisme obat, masing-masing
faktor di atas memberikan kontribusi relatif tergantung pada obat yang digunakan.
Variasi Genetik. Kemajuan dalam biologi molekular menunjukkan bahwa keberagaman genetik pasti
terjadi untuk semua protein tanpa kecuali, termasuk enzim-enzim yang mengkatalisis reaksi obat-
metabolisme. Seiring meningkatnya jumlah enzim tersebut, varian alel dengan aktivitas katalitik yang
berbeda dari bentuk tipe-liar telah diketahui. Perbedaannya melibatkan berbagai mekanisme molekular
yang mengakibatkan ketiadaan aktivitas sama sekali, berkurangnya kemampuan katalitik, atau dalam hal
duplikasi gen, peningkatan aktivitas. Selanjutnya, sifat ini diturunkan dengan cara resesif Mendel
autosomal, dan jika cukup prevalen, dapat menghasilkan subpopulasi yang memiliki kemampuan
metabolisme obat berbeda-beda, yang disebut polimorfisme genetik. Selain itu, frekuensi varian alel
spesifik sering bervariasi tergantung pada sifat keturunan secara rasial pada individu tersebut. Varian
genetik tertentu pada seseorang dapat bersifat fenotip atau genotip. dan ada kemungkinan ciri-ciri seperti
itu akan semakin bermanfaat untuk mengindividualisasikan terapi obat, khususnya untuk obat-obat yang
memiliki indeks terapi sempit. Bukti-bukti yang terkumpul juga menunjukkan bahwa kerentanan individu
terhadap penyakit yang diakibatkan oleh zat-zat kimia dari lingkungan, seperti kanker, mungkin
Sejumlah polimorfisme genetik terdapat pada beberapa sitokrom P450 yang menyebabkan perubahan
kemampuan memetabolisme obat. Yang paling jelas diketahui adalah yang berkait an dengan CYP2D6.
Sekitar 70 polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) dan Variasi genetik lainnya yang berfungsi penting
telah diidentifikasi dalam gen CYP2D6, banyak di antaranya menyebabkan enzim menjadi tidak aktif,
sementara yang lain menurunkan aktivitas katalitiknya; duplikasi gen juga terjadi. Akibatnya terdapat
empat fenotip subpopulasi pemetabolisme: lemah (PM). sedang (IM), ekstensif (EM), dan ultracepat
(UM). Beberapa varian tersebut relatif jarang sedangkan yang lainnya lebih umum, dan penting diketahui
bahwa frekuensinya bervariasi menurut latar belakang ras. Sebagai contoh, 5% sampai 10% keturunan
Kaukasia dan Eropa adalah PM, sementara frekuensi fenotip homozigot ini pada individu yang berasal
dari Asia Tenggara adalah sekitar 1% sampai 24. Lebih dari 65 obat yang umum digunakan
dimetabolisme oleh CYP2D6, termasuk antidepresantrisiklik, zat neuroleptik, inhibitor ambilan kembali
se rotonin selektif, beberapa zat antiaritmia, antagonis reseptor B-adrenergik, dan opiat-opiat tertentu.
Sifat terpenting polimor fisme CYP2D6 secara klinis terutama kemungkinan reaksi merugikan yang lebih
besar pada PM ketika jalur metabolisme yang dipengaruhi merupakan kontribusi utama eliminasi total
obat. Juga di UM dosis obat yang umum bisa menjadi tidak efektif atau dalam kasus terbentuknya
metabolit aktif, seperti pembentukan morfin dari kodein yang dikatalisis CYP2D6, terjadi respons
berlebihan. Inhibitor CYP2D6 seperti kinidin dan inhibitor ambilan kembali serotonin dapat mengubah
EM - notip menjadi suatu PM fenotip, yang disebut sebagai fenokopi yang merupakan aspek penting
CYP2C9 mengkatalisis metabolisme 16 obat yang lazim di gunakan, termasuk warfarin dan fenitoin,
yang keduanya mem. punyai indeks terapi sempit. Dua varian CYP2C9 alel yang paling umum diketahui
mengurangi aktivitas katalitik (5% sampai 12%) dibandingkan dengan enzim tipe-liar. Akibatnya, pasien
yang memiliki sifat heterozigot atau homozigot untuk alel mutan membutuhkan dosis antikoagulan
warfarin lebih sedikit, khususnya kelompok homozigot, dibandingkan individu homonigot tipe-liar,
Memulai terapi warfarin juga lebih sulit dan mengandung risiko komplikasi perdarahan yang lebih besar,
Dengan cara yang sama, konsentrasi fenitoin plasma yang tinggi dan efek merugikan yang terkait terjadi
pada pasien yang memiliki varian slel CYP2C9. Polimorfismo genetik juga terjadi pada CYP2C19, ada 8
varian alel yang diketahui menghasilkan protein yang inaktif secara katalitik Sekitar 3 orang kaukasia
mempunyai fenotip PM, dan frekuensi ini lebih besar pada orang Asia Tenggara yaitu 13 sampai 23%.
Inhibitor pompa-proton seperti omeprazol dan lansoprazol termasuk di antara kedelapan belas obat yang
dimetabolisme oleh CYP2C19 yang ditentukan dengan dosis en Khasiat dosis anjuran omeprazol 20 mg
yang dikombinasi dengan amoksisitin untuk membasmi Helicobacter pylori berkurang secara nyata pada
pasien genotip homozigot tipe liar jika dibandingkan dengan laju sembuh 100% pada PM homorigot,
yang menjelaskan perbedaan efek obat pada sekresi asam lambung. Meskipun aktivitas CYP3A
menunjukkan variabilitas individu secara nyata lebih dari 10 kali), tidak ditemukan fungsi polimorfisme
yang signifikan di daerah pengode gen tersebut oleh karena itu kemungkinan terdapat faktor pengaturan
tidak diketahui yang menentukan keragaman ter sebut keragaman genetik juga terdapat pada
dihidropirimidin dehidrogenase (DPYD), yang merupakan enzim kunci dalam metabolisme 5-fluorourasi.
Dengan demikian, terdapat risiko nyata berkembangnya toksisitas parah yang diinduksi obat pada 19.
sampai 3% pasien kanker yang ditangani dengan antimeta bolit ini yang menunjukkan berkurangnya
Suatu polimorfisme pada enzim pemetabolisme obat yang berkonjugasi, misalnya pada NAT2
merupakan salah satu generasi pertama penemuan yang berbasis genetik 50 tahun yang talu, Isoform in
terlibat dalam metabolisme sekitar 16 obat umum, termasuk isoniazid, prokainamida, dapson, hidralazin,
dan kafein. Sekitar 15 varian alel telah diidentifikasi, beberapa di antaranya tanpa efek yang jelas, tetapi
yang lain menyebabkan penurun atau hilangnya aktivitas katalitik Heterogenitas yang besar terdapat
dalam frekuensi populasi alel ini di seluruh dunia, sehingga frekuensi fenotip asetilator lambat adalah
sekitar 50% pada orang Amerika kulit putih dan kulit hitam, 6076 sampai 70% pada orang Eropa Utara,
tetapi hanya 5% sampai 10% pada orang Asia Tenggara. Fenotip asetilator dianggap berkaitan dengan
penyakit yang diinduksi oleh zat dari lingkungan seperti kanker saluran rektal dan kandung kemih namun
belum terdapat bukti yang pasti. Sama halnya, variabilitas penetik dalam akti vitas katalik glutation
Stransferase mungkin juga berkaitan dengan kerentanan individu terhadap penyakit tersebut. Topurin
metiltransferase (TPMT) sangat penting dalam metabolisme 6-merkaptopurin, metabolit aktif azatioprin.
Sebagai akibatnya, homozigot untuk alel yang mengode TPMT tidak aktif (0.3% sampai 10% dari
populasi) diperkirakan akan menunjukkan pan: sitopenia parah jika diberi dosis azatioprin standar, pasien
ter sebut biasanya dapat ditangani dengan 10% sampai 15% dosis biasa
Pengaruh Lingkungan. Aktivitas kebanyakan enzim pemetabolisme obat kemungkinan dimodulasi oleh
pemajanan terhadap senyawa eksogen tertentu. Pada beberapa kasus ini kemungkinan terjadi pada obat
yang jika dibe rikan bersamaan dengan zat kedua menyebabkan interaksi obat : obat. Selain itu, diet
mikronutrisi dan faktor ling kungan lain dapat meningkatkan kerja enzim, yang disebut induksi atau
menurunkan kerja enzim, yang disebut inhibisi (penghambatan). Modulasi tersebut dianggap sebagai
suatu penyumbang utama pada keragaman an tarindividu dalam metabolisme kebanyakan obat
Penghambatan Metabolisme Obat Akibat dari pengham batan metabolisme obat oleh enzim adalah
meningkatnya kon sentrasi plasma obat induk dan berkurangnya konsentrasi mela bolit di dalam plasma,
peningkatan dan perpanjangan efek farmakologi, dan meningkatnya kemungkinan toksisitas yang
dinduksi oleh obat. Perubahan ini terjadi dengan cepat dan tanpa tanda-tanda, dan yang paling
dipengaruhi oleh obat yang banyak dimetabolisme dan memiliki indeks terapi sempit. Pengetahuan
tentang isoform sitokrom P450 yang mengkatalisis jalur utama metabolisme suatu obat merupakan dasar
untuk memperkirakan dan memahami penghambatan, khususnya untuk melihat inter aksi obat-obat. Ini
disebabkan banyak penghambatan yang lebih selektif terhadap beberapa isoform dibanding yang lainnya.
Sering juga penghambatan terjadi karena kompetisi antara dua atau lebih substrat untuk tempat kerja yang
sama pada entim, besar nya penghambatan tergantung pada konsentrasi relatif substrat dan afinitasnya
dengan enzim. Namun pada kasus tertentu, enzim dapat terinaktivasi secara ireversibel; misalnya substrat
atau suatu metabolit membentuk kompleks kuat dengan beri heme sitokrom P450 (simetidin,
ketokonazol) atau gugus heme dapat dirusak (nortindron, etinilestradiol). Mekanisme peng hambatan
yang umum untuk beberapa enzim fase Il adalah peng hilangan kofaktor yang penting
Penghambatan mekanisme yang dikatalisis-CYP3A sangat lazim dan penting. Karena kadar CYP3A
yang tinggi di epitel usus dan penggunaan oral merupakan rute paling umum masuk nya obat dan zat dari
lingkungan ke dalam tubuh, penghambatan aktivitas isoform pada tempat ini sering terjadi meskipun jika
penghambatan di hati tidak terpengaruh. Hal ini disebabkan potensi peningkatan ketersediaan hayati yang
besar akibat penurunan metabolisme lintas pertama untuk obat yang biasanya menunjukkan efek ini
dalam jumlah yang berarti. Senyawa antifungi ketokonazol dan itrakonazol, inhibitor HIV-protease (khu.
susnya ritonavir), antibiotik makrolida seperti eritromisin dan klaritromisin tetapi bukan azitromisin,
semuanya merupakan in hibitor CYP3A yang kuat. Bloker saluran kalsium tertentu se perti diltiazem,
nikardipin, dan verapamil juga menghambat CYP3A, seperti konstituen jus grapefruit. Banyak inhibitor
CYP3A juga mengurangi fungsi Paglukoprotein sehingga inter aksi obat-obat dapat melibatkan
mekanisme ganda. Demikian juga disposisi obat yang dimetabolisme sedikit tetapi dieliminasi melalui
transpor yang diperantarai oleh Peglikoprotein juga dapat dipengaruhi oleh inhibitor CYP3A. Sebagai
contoh, ekskresi digoksin yang terhalangi oleh kinidin dan sejumlah besar obat lain yang tidak berkaitan
disebabkan oleh penghambatan P-glikoprotein. Dengan CYP2D6, kinidin dan inhibitor ambil an-kembali
serotonin selektif merupakan inhibitor kuat yang menghasilkan fenokopi. Di sisi lain, obat-obat lain
merupakan inhibitor metabolisme yang dikatalisis sitokrom M50 yang lebih umum. Sebagai contoh,
amiodaron, simetidin (tapi bukan ranitidin), paroksiten, dan fluoksetin menurunkan aktivitas meta bolik
beberapa isoform CYP. Enzim metabolik fase I selain sito krom P450 juga dapat dihambat oleh
pemberian obat, seperti dicontohkan oleh efek kuat asam valproat terhadap epoksida hi drolase
mikrosoma, dan penghambatan xantin oksidase oleh alopurinol, yang dapat mengakibatkan toksisitas
yang mengan cam jiwa pada pasien yang menerima 6-merkaptopurin secara bersamaan.
Induksi Metabolisme Obar. Meningkatnya aktivitas metabo lisme obat biasanya terjadi melalui
peningkatan transkripsi gen setelah pemajanan jangka panjang terhadap zat penginduksi, meskipun
dengan stabilisasi protein CYP21 terhadap degradasi merupakan mekanisme utama. Akibatnya,
konsekuensi induksi memerlukan waktu yang lama untuk benar-benar sempurna, di bandingkan dengan
penghambatan metabolisme. Selain itu, kon sekuensi induksi adalah bertambahnya laju metabolisme, me
ningkatnya metabolisme lintas pertama oral dan berkurangnya ketersediaan hayati, dan penurunan
konsentrasi obat dalam plasma, semua faktor yang mengurangi pemajanan obat. Seba liknya untuk obat-
obat yang dimetabolisme menjadi metabolit aktif atau reaktif, induksi dapat menyebabkan peningkatan
efek atau toksisitas obat. Dalam beberapa kasus, suatu obat dapat menginduksi baik metabolisme
senyuwa lain maupun metabo lismenya sendiri, seperti autoinduksi yang terjadi pada antikonvulsan
karbamazepin. Dalam banyak kasus yang melibatkan induksi, dosis obat yang dipengaruhi harus
ditambah agar efek terapinya dapat dipertahankan. Ini penting jika terjadi induksi ekstensif setelah
pemberian induktor yang sangat efektif. Pada kenyataannya, wanita disarankan untuk menggunakan
alternatif kontrasepsi oral untuk kontrol kehamilan selama pemakaian rifampin karena khasiat tidak dapat
dijamin. Risiko terapi yang berhubungan dengan induksi metabolik paling kritis jika pem berian zat
penginduksi dihentikan, sambil mempertahankan dosis obat yang sama dengan sebelumnya. Dalam hal
ini, begitu efek induksi hilang, konsentrasi obat kedua dalam plasma akan meningkat jika dosis tidak
Penginduksi secara umum bersifat selektif untuk subfamili dan isoform CYP tertentu, tetapi pada
waktu yang bersamaan sejumlah enzim lain dapat ditingkatkan secara bersamaan melalui mekanisme
molekular yang umum. Contohnya hidrokarbon aromatik polisiklik yang dilepas dari polutan lingkungan,
asap rokok, dan daging yang dibakar menghasilkan induksi subfamili CYPIA pada enzim yang nyata baik
di hati maupun di luar hati Ini melibatkan aktivasi reseptor anilhidrokarbon (AhR) sitosol yang
berinteraksi dengan protein regulator lainnya, translokator inti AhR (Amt); kompleks ini berfungsi
sebagai faktor trans kripsi untuk meningkatkan ekspresi CYPIA. Selain itu, ekspresi enzim fase II seperti
UGT, OST, dan NADPH:kinon oksido reduktase meningkat secara bersamaan Mekanisme jenis resep tor
yang sama yang melibatkan reseptor X pregnan (PXR) ikut terlibat dalam induksi CYP3A dari berbagai
macam zat kimia termasuk obat-obat seperti rifampin dan rifabutin, barbiturat dan antikonvulsan lainnya,
beberapa glukokortikoid, dan juga obat alternatif seperti St. John's wort. Obat St. John's wort juga dapat
memengaruhi isoform CYP lainnya, contohnya rifampin dan karbamazepin menginduksi CYPIAZ,
CYP2C9, dan CYP2C19 Penggunaan alkohol terus menerus juga mengakibatkan induksi enzim,
khususnya CYPE: risiko efek samping hepatotoksik setaminofen lebih tinggi pada pecandu alkohol,
karena mening katnya pembentukan metabolit reaktif yang diperantarai CYP21 yaitu N-asetilp-
benzokinonimin.
Faktor Penyakit karena hati merupakan tempat utama metabo lisme enzimatik obat, gangguan fungsi
organ ini pada penderita hepatitis, penyakit hati akibat alkohol, sirosis empedu, hati me ngandung banyak
lemak (farly liver), dan kanker hati secara potensial dapat mengganggu metabolisme obat. Secara umum,
parahnya kerusakan hati menentukan tingkat penurunan meta bolisme. Namun, uji klinis fungsi hati yang
umum tidak banyak berarti dalam penilaian ini. Selain itu, pada sirosis yang parah pun, tingkat gangguan
hanya sekitar 30% sampai 50% aktivitas pada pasien yang sakit bukan pada hati. Namun obat yang
mengalami metabolisme lintas pertama di hati secara bermakna, ketersediaan hayati oralnya dapat
meningkat dua sampai empat kali pada pasien yang menderita penyakit hati, yang bersamaan dengan
adanya obat di tubuh dalam jangka panjang akan me ningkatkan respons farmakologis yang berlebihan
dan efek merugikan kelihatannya isoform sitokrom P450 lebih banyak dipengaruhi penyakit hati
Gagal jantung yang parah dan terjadinya syok dapat menye babkan penurunan aliran darah dalam hati
dan gangguan metabolisme Contoh terbaik untuk keadaan ini adalah penurunan hampir dua kali lipat
metabolisme lidokain pada pasien gagal jantung, yang juga disertai perubahan distribusi dalam jumlah
yang sama. Sebagai akibatnya, dosis muatan (loading dose) dan dosis pemeliharaan lidokain yang
digunakan untuk penanganan aritmia jantung pada pasien tersebut berbeda sekali dengan pasien yang
Pengaruh Usia dan Jenis Kelamin. Isoform sitokrom P450 fungsional dan dalam tingkat yang lebih kecil
enzim pemetabo lisme obat fase II berkembang lebih awal dalam perkembangan janin, tetapi kadarnya,
bahkan pada saat lahir, lebih rendah dibandingkan dengan setelah lahir. Baik enzim fase 1 maupun fase II
mulai matang secara bertahap mulai dari minggu kedua sampai keempat setelah kelahiran, meskipun pola
perkembangannya berbeda untuk setiap enzim. Oleh karena itu, bayi dan yang baru lahir mampu
melakukan metabolisme obat relatif lebih efisien tetapi lebih lambat dibanding orang dewasa.
Kekecualian dalam hal ini adalah gangguan glukuronidasi bilirubin pada saat lahir, yang menyebabkan
hiperbilirubinernia pada bayi yang baru lahir kematangan penuh terjadi setelah mencapai usia 20 tahun
dan kemudian menurun perlahan sesuai dengan usia. Namun kemungkinan ada sedikit generalisasi
mengingat jumlah atau kepentingan klinis akibat perubahan yang berkaitan dengan umur tersebut pada
tiap pasien. Ini terutama berlaku untuk pasien lanjut usia, yang menderita lebih dari satu penyakit,
mungkin menggunakan bermacam obat, banyak di antaranya menyebabkan interaksi obat-obat. Selain itu,
peningkatan sensitivitas organ target dan kerusakan mekanisme kontrol fisiologi lebih mempersulit
penggunaan obat pada pasien lanjut usia. Enzim pemetabolisme obat fase I kelihatannya jauh lebih
terpengaruh dibanding enzim yang mengkatalisis reaksi fase II Walaupun demikian perbedaannya relatif
sedikit satu terhadap yang lain karena adanya variasi individu di dalam proses metabolisme. Di lain pihak
untuk obat yang menunjukkan efek lintas pertama yang besar, sedikit saja berkurangnya kemampuan
metabolisme, ketersediaan hayati obatorul dapat meningkat secara signifikan. Oleh karena itu obat yang
diberikan pada pasien lanjut usia, Bersihan secara umum dosis pemberian perlu dikurangi dan perlu hati-
Sejumlah contoh menunjukkan bahwa pemberian obat dan atau reaksinya pada wanita dan pria dapat
berbeda pada obatobat tertentu. Beberapa perbedaan aktivitas metabolisme obat akibat perbedaan jenis
kelamin, khususnya yang dikatalisis oleh CYP3A, juga telah diketahui. Meskipun demikian, perbedaan
nya sedikit dan relatif kurang penting terhadap faktor lain yang terlibat dalam keragaman antarindividu
dalam metabolisme. Satu kekecualian adalah pada wanita hamil karena induksi enzim metabolisme obat
tertentu terjadi pada masa kehamilan trimester kedua dan ketiga. Akibatnya, dosis obat harus diberikan
lebih besar selama periode ini dan kembali kepada dosis sebelumnya setelah melahirkan. Keadaan ini
penting diketahui terutama oleh pasien yang menggunakan fenitoin dalam masa kehamilannya Banyak
obat kontrasepsi oral juga berpotensi menjadi inhibitor isoform CYP ireversibel melalui mekanisme
FARMAKOKINETIKA KLINIS
Hipotesis dasar farmakokinetika klinis adalah bahwa terdapat hubungan antara efek farmakologi suatu
obat dengan konsentrasi obat yang terdapat di dalam darah atau plasma. Hal ini sudah diketahui untuk
banyak obat, walaupun untuk beberapa obat tidak didapat hubungan yang jelas atau sederhana antara efek
farmakologi dan konsentrasi di dalam plasma. Dalam kebanyakan kasus, se perti pada Gambar 1-1,
konsentrasi obat dalam sirkulasi sistemik terkait dengan konsentrasi obat pada tempat kerjanya. Efek
farmakologis yang dihasilkan dapat berupa efek klinis yang diharapkan, efek toksik, atau dalam be.
berapa kasus, efek lain yang tidak berkaitan dengan khasiat terapi atau toksisitas. Farmakokinetika klinis
menyediakan baik hubungan kuantitatif antara dosis dan efek, maupun mengetahui kerangka kerja untuk
menafsirkan hasil pengukuran konsentrasi obat di dalam cairan biologis. Pentingnya farmakokinetika
dalam perawatan pasien didasarkan pada perbaikan khasiat terapi yang dapat jika dosis akan diubah
Beberapa variasi fisiologi dan patologi yang menuntut penyesuaian dosis bagi tiap pasien kadang terjadi
sebagai hasil modifikasi parameter farmakokinetika. Ada empat parameter terpenting yang perlu
diketahui, yaitu bersihan, suatu ukuran efisiensi tubuh dalam mengeliminasi obat; volume distribusi, suatu
ukuran ruang dalam tubuh yang mengandung obat; waktu paruh eliminasi, suatu ukuran laju pengeluaran
obat dari tubuh; dan ketersediaan hayati, suatu fraksi obat yang terabsorpsi ke dalam sirkulasi sis temik
yang kurang begitu penting adalah laju ketersediaan dan distribusi senyawa.
BERSIHAN
Merupakan konsep terpenting yang perlu diper timbangkan ketika akan merancang regimen obat rasional
untuk pemberian jangka panjang. Dokter umumnya meng. hendaki konsentrasi keadaan tunak obat pada
rentang jendela terapeutik yang terkait dengan khasiat terapeutik dan toksisitas minimum. Dengan
anggapan ketersediaan hayati terjadi sempurna atau 100% maka keadaan tunak akan terjadi ketika laju
CL adalah bersihan sirkulasi sistemik dan C,, adalah kon sentrasi keadaan tunak obat. Jika konsentrasi
obat pada keadaan tunak dalam plasma atau dalam darah diketahui, laju bersihan obat pada pasien akan
Konsep bersihan sangat berguna dalam farmakokino tika klinis, sebab nilainya untuk obat tertentu
biasanya di atas rentang konsentrasi klinis. Hal ini terjadi karena sistem eliminasi obat seperti enzim
pemetabolisme dan transporter biasanya bukan sistem jenuh, sehingga lajo mutlak eliminasi obat
merupakan fungsi linier konsentrasi dalam plasma, dengan kata lain, eliminasi kebanyakan obat
mengikuti kinetika orde pertama sejumlah konstan fraksi obat di dalam tubuh yang dieliminasi per satuan
waktu. Jika mekanisme eliminasi obat menjadi jenuh. kinetika mendekati orde nolsejumlah tetap obat
dieliminasi per satuan waktu. Pada lingkungan tersebut, bet sihan obat akan bervariasi dengan konsentrasi
bobot/volume) dan v. sama dengan laju eliminasi maksimum (dalam sa tuan bobot/waktu). Persamaan ini
mirip dengan persamaan Michaelis-Menten pada kinetika enzim. Pengaturan dosis untuk obat tersebut
menjadi lebih sulit, dibanding kan jika eliminasi obat tersebut mengikuti orde-pertama dan bersihan obat
Prinsip bersihan obat mirip dengan fisiologi ginjal, sebagai contoh, bersihan kreatinin didefinisikan
sebagai laju eliminasi kreatinin di dalam urin dibandingkan terhadap konsentrasinya di dalam plasma.
Secara sederhana, bersihan suatu obat adalah laju eliminasinya melalui semua rute terhadap konsentrasi
Oleh karena itu, jika bersihan tetap, laju eliminasi obat ber banding lurus dengan konsentrasi obat. Perlu
dicatat bahwa bersihan tidak menunjukkan banyaknya obat yang dipindahkan tetapi lebih merupakan
volume cairan bio logis seperti darah atau plasma tempat obat akan dipin. dahkan sempurna agar terjadi
eliminasi. Bersihan dinyatakan sebagai volume per satuan waktu. Bersihan biasanya lebih jauh
didefinisikan sebagai bersihan darah (CL), bersihan plasma (CL), atau sebagai bersihan yang didasarkan
pada konsentrasi obat tak terikat (CZ), tergantung pada konsentrasi yang terukur (CAC, atau C.)
Bersihan dengan bantuan berbagai organ eliminasi bersifat aditif. Eliminasi obat dapat terjadi sebagai
hasil dari proses yang terjadi di ginjal, hati, dan organ lainnya. Laju eliminasi masing-masing organ
dibagi dengan konsentrasi obat (misalnya konsentrasi plasma) akan menghasilkan masing-masing
Rute lain untuk proses eliminasi yaitu air liur atau keringat, sekresi ke dalam usus, dan metabolisme di
tempat lain.
Bersihan sistemik dapat ditentukan pada keadaan tunak do ngan menggunakan Persamaan (1-1).
Untuk dosis tunggal suatu obat yang memiliki ketersediaan hayati lengkap dan kinetika eliminasi orde
pertama, bersihan sistemik dapat ditentukan dari keseimbangan bobot dan integral Persamaan (1-3)
CL = Dosis/AUC. (1-5)
AUC adalah luas total daerah di bawah kurva yang menggam barkan konsentrasi obat di dalam darah
Contoh. Pada Lampiran II, bersihan plasma untuk sefaleksin adalah 4,3 ml menit!. kgl. dengan ekskresi
obat dalam ben tuk tidak berubah di dalam urin 90%. Untuk seseorang dengan bobot badan 70 kg,
bersihan dari plasma akan sebesar 300 ml/menit, dengan bersihan ginjal bertanggung jawab untuk 90%
eliminasi ini. Dengan kata lain, ginjal mampu mengekskresi sefaleksin dengan laju pengeluaran sempurna
(bersih) dari sekitar 270 ml plasma per menit. Karena bersihan biasanya diamsumsikan tetap pada pasien
yang stabil, laju eliminasi safaleksin akan tergantung pada konsentrasi obat dalam plasma (1-3). Propanol
dibersihkan dari darah dengan laju 16ml.menit-1kg-1(atau 1120 ml/menit pada orang dengan bobot 70
kg), hampir seluruhnya melalui hati. Jadi hati dapat mengeluarkan obat yang terkandung dalam 1120 ml
darah permenit. Meskipun hati merupakan organ melebihi laju aliran plasma (dan darah) ke oegan ini. Hal
ini sering kali terjadi karena obat segera melakukan partisi kedalam sel darah merah dan laju pelepasan
obat ke organ eliminasi lebih besar dari konsentrasi dalam plasma hasil pengukuran. Hubungan antara
Oleh karena itu, bersihan dari darah dapat dihitung dengan membagi bersihan plasma dengan
perbandingan konsentrasi obat dalam darah terhadap dalam plasma, yang diperoleh dari in formasi
tentang hematokrit (0,45) dan perbandingan konsentrasi dalam sel darah merah terhadap konsentrasi
plasma. Pada umumnya, bersihan darah akan lebih rendah dari aliran darah ke hati (1,5 liter/menit) atau,
jika ekskresi ginjal diperhitungkan, merupakan jumlah aliran darah dua organ eliminasi tersebut. Sebagai
contoh, bersihan plasma takrolimus sekitar 2 li tet/menit, lebih besar dua kali lipat dari laju aliran plasma
ke hati dan melebihi aliran darah ke organ tersebut, meskipun kenya taannya hati merupakan tempat
metabolisme obat yang dominan Walaupun distribusi ekstensif takrolimus ke dalam sel darah merah telah
ikut diperhitungkan, bersihannya dari darah hanya 63 ml/menit, dan bersihan ini sebetulnya kecil, seperti
dapat diinterpretasi dari nilai bersihan plasma. Namun, kadang-kadang bersihan dari darah oleh
metabolisme melebihi aliran darah ke hati, dan hal ini menunjukkan terjadi metabolisme ekstra dalam
hati. Dalam kasus esmolol (11,9 liter/menit), nilai bersihan darah lebih besar dari curah jantung, hal ini
disebabkan obat dimetabolisme secara efisien oleh enzim esterase di dalam sel darah merah
Definisi bersihan juga bermanfaat untuk memahami efek variabel patologis dan fisiologis dalam
eliminasi obat, terutama dalam kaitannya dengan organ tertentu. Laju sampainya obat ke dalam suatu
organ merupakan hasil kali aliran darah (O) dan konsentrasi obat di dalam arteri (CA), sementara laju
keluarnya obat dari organ merupakan hasil kali aliran darah dan konsentrasi obat dalam vena (CV).
Selisih kedua laju ini pada keadaan tunak merupakan laju eliminasi obat:
Pembagian Persamaan (1-7) dengan konsentrasi obat yang masuk ke organ eliminasi, Ca menghasilkan
Pernyataan (CA.C.VC, dalam Persamaan (1-8) dapat dianggap sebagai perbandingan ekstraksi obat (E).
Bersihan Hati. Konsep yang dikembangkan pada Persamaan (1-8) mempunyai implikasi penting untuk
obat yang dieliminasi melalui hati. Mengingat bahwa suatu obat secara efisien dihilangkan dari darah
melalui proses hepatik metabolisme dan/atau ekskresi obat ke dalam empedu. Dalam hal ini, konsentrasi
obat di dalam darah yang meninggalkan hati akan rendah, perbandingan ekstraksi akan mendekati satu,
dan bersihan obat dari darah akan dibatasi oleh aliran darah hepatik. Obat yang dibersihkan secara efisien
melalui hati (seperti obat-obat dalam Lampiran II dengan bersihan sistemik lebih besar dari 6 ml menit
kg.. seperti diltiazem, imipramin, lidokain, morfin dan propranolol) terbatas dalam laju eliminasinya,
bukan oleh proses intrahepatik, tetapi oleh laju pada saat obat tersebut dapat dibawa oleh darah ke dalam
hati
Kompleksitas tambahan juga telah diperkirakan. Sebagai contoh, persamaan di atas tidak berlaku
untuk obat yang terikat pada komponen darah dan jaringan, dan juga tidak memberikan perkiraan
kemampuan intrinsik hati untuk mengeliminasi suatu obat saat tiadanya pembatasan oleh aliran darah,
yang disebut bersihan intrinsik. Dalam istilah biokimia dan pada kondisi orde pertama, bersihan intrinsik
merupakan ukuran perbandingan pa rameter-parameter kinetik Michaelis-Menten pada proses ell. minasi,
yaitu Pengembangan Persamaan (1-8) untuk memasukkan ikatan obat pada protein dan bersihan intrinsik
telah diusulkan untuk sejumlah model eliminasi hepatik (lihar Morgan and Smallwood, 1990). Semua
model tersebut menun jukkan bahwa ketika kapasitas metabolisme suatu organ yang mengeliminasi lebih
besar dibandingkan dengan laju masuknya obat, bersihan akan mendekati aliran darah dalam organ. Seba.
liknya jika kapasitas metabolisme kecil dibandingkan dengan laju tersedianya obat, bersihan akan
sebanding dengan fraksi obat bebas di dalam darah dan bersihan intrinsik obat. Konsep ini dapat
membantu memahami sejumlah hasil penelitian yang mungkin membingungkan. Sebagai contoh, induksi
enzim atau penyakit hati dapat mengubah laju metabolisme obat di dalam suatu enzim mikrosoma yang
terisolasi tetapi tidak mengubah bersihan pada hewan secara menyeluruh. Pada obat yang me miliki
perbandingan ekstraksi tinggi, bersihan dibatasi oleh ali an darah, dan perubahan dalam bersihan intrinsik
akibat induksi enzim atau penyakit hati akan memiliki efek yang kecil. Demi. kian pula pada obat yang
memiliki perbandingan ekstraksi ting. Bi, perubahan ikatan obat dengan protein akibat penyakit atau
interaksi pengikatan yang kompetitif akan berakibat kecil pada bersihan. Sebaliknya, perubahan bersihan
intrinsik dan ikatan protein akan berpengaruh pada bersihan obat yang memiliki ber sihan intrinsik rendah
dan perbandingan ekstraksi, tetapi peru bahan pada aliran darah akan memberi pengaruh kecil (Wilkinson
Bersihan Ginjal. Bersihan ginjal suatu obat mengakibatkan adanya obat tersebut di urin: perubahan sifat
farmakokinetika obat karena kelainan pada ginjal dapat juga dijelaskan dengan konsep bersihan. Namun,
kompleksitas yang berhubungan dengan filtrasi, sekresi aktif, dan reabsorpsi harus diperhitungkan. Laju
filtrasi suatu obat ter gantung pada volume cairan yang melewati glomerulus dan konsentrasi obat yang
tidak terikat di dalam plasma, karena obat yang terikat dengan protein tidak difiltrasi. Laju sekresi obat
melalui ginjal akan tergantung pada bersihan intrinsik obat oleh transporter dalam sekresi aktif dan juga
dipengaruhi oleh ikatan obat pada protein plasma, tingkat kejenuhan transporter ini, dan laju pelepasan
obat ke tempat sekresi. Selain itu perlu juga di perhitungkan proses-proses yang terlibat dalam reabsorpsi
obat dari cairan tubulus. Pengaruh perubahan pada ikatan protein, aliran darah, dan jumlah nefron yang
DISTRIBUSI
Volume Distribusi. Volume distribusi merupakan para meter dasar kedua yang berguna dalam
mempelajari proses perpindahan obat. Volume distribusi (V) meng. hubungkan jumlah obat di dalam
tubuh dengan konsen trasi obat (C) di dalam darah atau plasma, tergantung pada cairan yang diukur.
Volume distribusi ini tidak boleh berhubungan dengan volume fisiologis yang dapat di identifikasi, tetapi
hanya berhubungan dengan volume cairan yang dibutuhkan untuk menampung seluruh obat dalam tubuh
pada konsentrasi yang sama dengan yang ada di dalam darah atau plasma
Oleh karena itu, volume distribusi suatu obat mencerminkan jumlah obat yang ada di dalam jaringan
ekstravaskular. Volume plasma untuk seorang pria 70 kg sekitar 3 liter, volume darah se kitar 5.5 liter,
volume cairan ekstraselular di luar plasma sekitar 12 liter, dan volume total air dalam tubuh sekitar 42
liter. Namun banyak obat memiliki volume distribusi jauh melebihi harga di atas. Contohnya, jika 500 g
digoksin diberikan ke dalam tubuh pria 70 kg, konsentrasinya di dalam plasma akan teramat sekitar 0,75
ng/ml. Jika jumlah obat dalam tubuh dibagi dengan konsentrasi obat dalam plasma, akan menghasilkan
volume dis tribusi digoksin sekitar 650 liter atau hampir sepuluh kali lebih besar dari total volume tubuh
seorang pria dengan bobot 70 kg Kenyataannya, distribusi digoksin lebih cenderung ke dalam ja ringan
otot atau jaringan adiposa dan ke dalam reseptor spesifiknya, dan hanya menyisakan sangat sedikit obat di
dalam plasma. Untuk obat-obat yang banyak terikat dengan protein plasma tetapi tidak terikat pada
komponen jaringan, volume distribusinya akan mendekati volume plasma. Sebaliknya, obat-obat ter tentu
mempunyai volume distribusi yang besar meskipun keho nyakan obat dalam aliran darah terikat dengan
Volume distribusi dapat bervariasi tergantung pada tingkat relatif ikatan dengan plasma dan
protein jaringan, koefisien partisi obat dalam lemak, dan sebagainya. Seperti yang diharapkan, volume
distribusi obat tertentu dapat berbeda tergantung usia, jenis kelamin, komposisi tubuh, dan adanya
penyakit.
Beberapa istilah volume sering dipakai untuk menjelaskan distribusi obat, dan istilah-istilah tersebut
didapat melalui sejumlah cara. Volume distribusi yang didefinisikan dalam Persamaan (1-9) menganggap
tubuh sebagai kompartemen tunggal yang homogen. Dalam model satu-kompartemen ini, semua
pemberian obat terjadi langsung ke dalam terjadi segera ke ke dalam kompartemen pusat dan distribusi
obat ke seluruh volume (V) tersebut. Bersihan obat dari seperti didefinisikan dalam Persamaan (1-3);
yaitu jumlah i kompartemen ini terjadi mengikuti orde pertama, obat yang dieliminasi per satuan waktu
tergantung pada jumlah (konsentrasi) obat di kompartemen tubuh. Gambar 1-4A dan Persamaan (1-10)
menunjukkan penurunan konsentrasi obat dalam plasma seiring waktu untuk obat yang diberikan ke
kompartemen ini
Pada persamaan ini, k adalah tetapan laju eliminasi yang menggambarkan fraksi obat yang dipindahkan
dari kompartemen per satuan waktu. Harga k berbanding terbalik dengan waktu paruh obat (k =
0,693/t1/2)
A. Pada contoh ini, konsentrasi obat diukur dalam plasma 2 jam setelah dosis diberikan. Plot
semilogaritma konsentrasi plasma terhadap waktu menunjukkan bahwa obat dieliminasi dari
suatu kompartemen tunggal melalui proses orde pertama (Persamaan (1-10) dengan waktu paruh
4 jam (k 0,692 0.173 h '). Volume distribusi (V) dapat ditentukan dari nilai C, yang diperoleh dari
ekstrapolasi terhadap t=0C; - 16 g/ml). Volume distribusi Persamaan (1-9) untuk model satu
kompartemen adalah 31,3 liter atau 0,45 liter/kg (V dosis Bersihan untuk obat ini adalah 90
B. Pengambilan sampel sebelum 2 jam menunjukkan bahwa pada kenyataannya obat mengikuti
kinetika multieksponensial. Waktu parah perpindahan akhir adalah 4 jam, bersihan adalah 84
mmenit (Persamaan (1-5). Vor adalah 29 liter (Persamaan (1-11), dan V adalah 26,8 liter.
Volume distribusi obat awal atau "pusar" (V, - dosis) adalah 16,1 liter. Contoh yang dipilih
menunjukkan bahwa kinetika multikompartemen dapat berbeda jika pengambilan sampel pada
waktu awal diabaikan. Dalam kasus ini, hanya ada 10% kesalahan dalam penghitungan bersihan
jika sifat multikomponen diabaikan. Untuk banyak obat, farmakokinetika multikomponen dapat
diamati selama periode waktu yang, signifikan, dan kegagalan memperhitungkan fase distribusi
dapat menyebabkan kesalahan signifikan dalam menghitung bersihan dan dalam membuat
perkiraan dosis yang sesuai. Juga. perbedaan antara volume distribusi "pusat dan istilah lain
menunjukkan bahwa distribusi yang lebih lebar penting dalam memutuskan suatu strategi dosis
awal.
Model satu-kompartemen ideal yang didiskusikan di atas tidak menggambarkan keseluruhan waktu
pada perubahan konsentrasi plasma. Reservoir jaringan tertentu dapat dibedakan dari kompartemen pusat,
dan konsentrasi obat tampaknya menurun mengikuti cara yang dapat dijelaskan dengan istilah
multieksponensial (lihat Gambar 1-4B). Meskipun demikian, model satu-kompartemen sudah cukup
memadai untuk diterapkan untuk sebagian besar keadaan klinis kebanyakan obat
Laju Distribusi Obat Penurunan multieksponensial yang ter amati pada obat yang diliminasi dari tubuh
mengikuti kinetika orde pertama diakibatkan oleh perbedaan laju pada saat obat mencapai keseimbangan
dengan jaringan. Laju terjadinya ke seimbangan akan tergantung pada perbandingan antara aliran darah
dalam jaringan terhadap partisi obat ke dalam jaringan Dalam banyak kasus, kelompok-kelompok
jaringan yang memiliki perbandingan aliran/partisi yang sama, semuanya akan mencapai keseimbangan
pada laju yang sama, sehingga hanya satu fase distribusi (penurunan konsentrasi secara tajam di awal,
seperti pada Gambar 1-48) yang terlihat. Hal ini menunjukkan seolah-olah obat memulai dalam volume
"pusat yang terdiri atas plasma dan reservoir jaringan yang berada dalam keseimbangan yang cepat dan
mendistribusi ke suatu volume "akhir"; pada saat ini konsentrasi obat di dalam plasma menurun secara
Jika pola atau perbandingan aliran darah ke dalam berbagai jaringan berubah pada seorang individu
atau berbeda antar individu, laju distribusi obat ke dalam jaringan juga akan berubah. Namun, perubahan
aliran darah juga dapat menyebab kan beberapa jaringan yang berada dalam volume "pusat" men. capai
keseimbangan secara cukup lambat sehingga seolah terlihat seperti volume akhir". Ini berarti volume
pusat akan muncul beragam sesuai keadaan penyakit yang menyebabkan berubah nya aliran darah di
daerah tersebut. Setelah suatu pemberian bolus intravena, konsentrasi obat di dalam plasma mungkin akan
lebih tinggi pada individu yang memiliki perfusiburuk (misalnya pada orang syok) dibandingkan dengan
yang mempunyai perfusi lebih baik. Konsentrasi sistemik yang lebih tinggi ini dapat menyebabkan
konsentrasi yang lebih besar dan efek yang lebih besar) di dalam jaringan seperti otak dan jantung, yang
biasanya perfusi tinggi tidak berkurang dengan perubahan keadaan hemodinamik. Dengan demikian, efek
suatu obat pada tempat kerja yang berbeda dapat bervariasi, tergantung pada perfusi di tempat kerja obat
tersebut ,
Istilah Volume Multikompartemen. Dua istilah berbeda telah digunakan untuk menjelaskan volume
distribusi untuk obat-obat yang mengalami penurunan multieksponensial (multiple expo nential decay).
Pertama, yang ditetapkan, dihitung sebagai perbandingan bersihan terhadap laju penurunan konsentrasi
selama fase (akhir) eliminasi kurva konsentrasi logaritmik ter hadap waktu :
Perhitungan parameter ini dapat dilakukan langsung, dan volume dapat ditentukan setelah pemberian obat
dosis tunggal melalui rute intravena atau oral (yang dosisnya harus dikoreksi untuk ketersediaan hayati).
Namun, volume distribusi pada multikom. partemen lain mungkin lebih berguna, terutama jika efek
kondisi penyakit terhadap farmakokinetika akan ditetapkan. Volume distribusi pada keadaan tunak (V.)
mewakili volume obat yang diperkirakan terdistribusi selama keadaan tunak jika obat yang terdapat
dalam volume tersebut konsentrasinya sama dengan yang terdapat pada cairan yang diukur (plasma atau
darah). Setelah pemberian obat secara intravena, penghitungan V. lebih rumit daripada Persamaan (1-11)
tetapi dapat dihitung (Benet and Galeazzi, 1979). Jika obat diberikan melalui oral, penghitungan V lebih
sulit. Walaupun merupakan parameter yang sederhana dan mudah menghitungnya, nilai ini akan ber
variasi jika terjadi perubahan pada tetapan laju eliminasi, meskipun jika tidak ada perubahan pada ruang
distribusi. Hal ini karena laju penurunan akhir konsentrasi obat di dalam darah atau plasma tidak hanya
tergantung pada bersihan tetapi juga pada laju distribusi obat antara volume "pusar dan volume akhir". V.
tidak mengalami hal ini. Jika kita menggunakan parameter farmakokinetik dalam menetapkan dosis obat,
perbedaan antara V dan V. biasanya secara klinis tidak bermakna. Namun, keduanya dicantumkan dalam
WAKTU PARUH
Waktu paruh) adalah waktu yang diperlukan agar konsentrasi plasma atau jumlah obat di dalam tubuh
berkurang 50%. Sebagai contoh sederhana, pada model satu-kompartemen (Gambar 1-4A), waktu paruh
dapat ditetapkan segera dan digunakan untuk menentukan dosis obat. Namun, seperti ditunjukkan pada
gambar 1-4B, konsentrasi obat dalam plasma sering mengikuti pola penurunan multicksponensial; oleh
karena itu, dua atau lebih istilah waktu paruh dapat dihitung.
Dahulu, waktu paruh yang biasanya dilaporkan sesuai de ngan fase eliminasi log-linier akhir. Namun,
seiring makin besar nya kepekaan analitis yang dicapai, konsentrasi terukur yang makin rendah
tampaknya menghasilkan waktu paruh akhir yang semakin panjang. Misalnya, waktu paruh akhir
gentamisin di perolch 53 jam (dibandingkan dengan nilai 2-3 jam yang relevan secara klinis pada
Lampiran II), dan siklus empedu mungkin bertanggung jawab untuk nilai akhir 120 jam pada indometasin
(dibandingkan dengan waktu paruh 2,4 jam pada Lampiran II). Relevansi waktu paruh tertentu dapat
dinyatakan dalam fraksi bersihan dan volume distribusi yang berhubungan dengan ma sing-masing waktu
paruh dan apakah konsentrasi obat dalam plasma atau jumlah obat dalam tubuh paling tepat dihubungkan
dengan respons. Harga waktu paruh tunggal yang diberikan untuk masing-masing obat pada Lampiran II
dipilih untuk meng. gambarkan waktu paruh yang paling relevan secara klinis.
Penelitian awal mengenai sifat-sifat farmakokinetik obat pada penyakit diganggu oleh keyakinan
bahwa waktu paruh merupakan ukuran tunggal perubahan disposisi obat. Sekarang disadari bahwa waktu
paruh adalah parameter turunan yang berubah sebagai fungsi bersihan dan volume distribusi. Persamaan
yang digunakan untuk melihat hubungan antara waktu paruh yang relevan secara klinis, bersihan, dan
Bersihan adalah ukuran kemampuan tubuh untuk mengeliminasi suatu obat; oleh karena itu, jika
bersihan berkurang, misalnya karena proses suatu penyakit, waktu paruh akan meningkat. Namun,
hubungan timbal balik ini hanya berlaku jika penyakit tersebut tidak mengubah volume distribusinya.
Sebagai contoh, waktu paruh diazepam meningkat dengan meningkatnya usia; namun bukan bersihan
yang berubah sebagai fungsi usia, melainkan volume distribusi. (Klotz et al., 1975). Serupa dengan hal
tersebut, adanya perubahan han pada ikatan obat dengan protein plasma dapat memengaruhi bersihan,
begitu pula volume distribusi, yang mengakibatkan perubahan waktu paruh yang tidak dapat diprediksi
sebagai fungsi penyakit. Sebagai contoh, waktu paruh tolbutamida menurun pada pasien hepatitis virus
akut, sama sekali berlawanan dari apa yang diperkirakan. Penyakit memengaruhi ikatan obat dengan
protein plasma dan protein jaringan, volume distribusi tidak berubah tetapi meningkatkan harga bersihan,
sebab konsentrasi obat yang tidak terikat lebih tinggi (Williams et al., 1977)
Walaupun dapat terjadi indeks eliminasi obat yang sempit, waktu paruh menjadi indikasi yang baik
untuk menunjukkan waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan tunak setelah suatu regimen dosis
dimulai atau
diubah (yakni diperlukan empat waktu paruh untuk mencapai sekitar 94% keadaan tunak yang baru),
waktu yang diperlukan obat keluar tubuh, dan sebagai alat bantu untuk menghitung selang dosis yang
Keadaan Tunak. Persamaan (1-1) menunjukkan bahwa konsentrasi keadaan tunak akhirnya dapat
dicapai ketika suatu obat diberikan pada laju tetap. Pada keadaan ini, eliminasi obat (hasil kali bersihan
dan konsentrasi; Persamaan (1-3)) akan sama dengan laju ketersediaan hayati obat. Konsep ini juga
dikembangkan untuk pemakaian dosis berulang (misalnya pemberian obat 250 mg setiap 8 jam). Selama
tiap selang antardosis, konsentrasi obat akan naik turun. Pada keadaan tunak, seluruh siklus diulang sama
persis pada setiap selang. Persamaan (1-1) masih diterapkan untuk pemberian dosis berulang, tetapi
sekarang menggambarkan rata-rata konsentrasi obat (C) selama selang antardosis. Dosis keadaan tunak
Ketersediaan Hayati. Penting dibedakan antara laju da tingkat absorpsi obat dengan jumlah obat yang
pada akhi nya mencapai sirkulasi sistemik, sebagaimana tela didiskusikan di atas. Jumlah obat yang
mencapai sirkulas sistemik dipengaruhi oleh dosis pemberian dan juga ole fraksi dosis, F, yang diabsorpsi
dan tidak mengalami el minasi lintas-pertama. Fraksi ini sering disebut keterse diaan hayati. Alasan
terjadinya absorpsi yang tida sempurna telah dijelaskan di atas. Juga, seperti disinggun sebelumnya, jika
suatu obat mengalami proses metabc lisme di epitel usus atau hati, atau dickskresi di empedu beberapa
obat aktif yang diabsorpsi dari saluran gastro intestinalis akan dieliminasi sebelum obat mencapai alira
Dengan mengetahui perbandingan ekstraksi (E H) suatu ob melewati hati (lihat Persamaan 1-8),
ketersediaan haya maksimum setelah pemberian oral (F MAX) dapat diperkirakan dengan mengasumsikan
Oleh karena itu, jika bersihan darah hepatik obat tersebut relam lebih besar dari aliran darah hepatik,
tingkat ketersediaan hanyakan rendah jika obat diberikan secara oral (misalnya untu lidokain). Penurunan
ketersediaan hayati ini merupakan fung dari tempat fisiologis terjadinya absorpsi, dan tidak ada
modifikasi bentuk sediaan apa pun tidak akan memperbaiki kete sediaan hayati pada kondisi kinetik
linier. Absorpsi yang tida sempurna dan/atau metabolisme di usus setelah pemberian or pada praktiknya
sebelumnya yan mengandung istilah dosis atau laju pemberian (Persamaa (1-1), (1-5), (1-10), dan (1-11)]
juga harus mengikutka istilah ketersediaan hayati F, sehingga dosis yang terseda atau laju dosis
Laju Absorpsi. Walaupun laju absorpsi obat secam umum tidak memengaruhi konsentrasi rata-rata obat
da lam plasma pada keadaan tunak, hal itu masih dapat mem ngaruhi terapi obat. Jika suatu obat
diabsorpsi denga cepat (misalnya dosis yang diberikan melalui bolus intrvena) dan mempunyai volume
"pusat kecil, maka kom sentrasi obat pada awalnya akan tinggi, kemudi konsentrasi akan turun begitu
obat terdistribusi ke volum "akhir yang lebih besar (lihat Gambar 1-48). Jika ob yang sama diabsorpsi
lebih lambat, (misalnya melal infus lambat), obat akan terdistribusi ketika obat sedang diberikan dan
konsentrasi puncak akan lebih rendah sehingga tercapai lebih lambat. Sediaan lepas-terkontrol dirancang
untuk memberikan laju absorpsi yang lambat dan terkendali agar menghasilkan profil konsentrasi plasma-
waktu yang fluktuasinya kecil selama selang pemberian dibandingkan dengan sediaan yang pelepasannya
lebih cepat. Obat tertentu dapat menghasilkan efek yang diharapkan dan yang tidak diharapkan pada
beberapa tempat kerjanya dalam tubuh, dan laju distribusi obat ke tempat ini dapat berbeda-beda. Oleh
karena itu, intensitas relatif efek-efek obat yang berbeda ini sementara dapat bervariasi jika laju
FARMAKOKINETIKA NONLINIER
Ketidaklinieran dalam farmakokinetika (yakni perubahan pada parameter seperti bersihan, volume
distribusi, dan waktu paruh sebagai fungsi dosis atau konsentrasi obat) biasanya terjadi karena adanya
kejenuhan ikatan protein, metabolisme hepatik, atau transpor aktif obat di ginjal.
Ikatan Protein Dapat-Jenuh. Jika konsentrasi molar obat meningkat, fraksi obat yang tidak terikat pada
akhimya juga akan meningkat (karena semua tempat berikatan menjadi jenuh). Hal ini biasanya terjadi
hanya jika konsentrasi obat dalam plasma berada dalam rentang puluhan sampai ratusan mikrogram per
mililiter. Untuk obat yang dimetabolisme oleh hati dengan perbandingan bersihan intrinsik/ekstraksi yang
rendah, kejenuh an ikatan protein-plasma akan menyebabkan baik dan bersihan meningkat begitu
konsentrasi obat bertambah; oleh karena itu, waktu paruh mungkin tetap (lihar Persamaan (1-12). Untuk
obat semacam ini, C, tidak akan meningkat secara linier pada meningkatnya laju pemberian obat. Untuk
obat-obatan yang dikeluarkan dari tubuh dengan perbandingan bersihan intrinsik ekstraksi yang tinggi, C,
dapat tetap berbanding lurus terhadap laju pemberian obat. Pada keadaan ini, bersihan hepatik tidak akan
berubah, dan peningkatan V akan meningkatkan waktu paruh eliminasi melalui penurunan fraksi obat
total dalam tubuh yang dikirim ke hati persatuan waktu. Kebanyakan obat berada di antara dua keadaan
ekstrem ini, dan efek ikatan protein non-linier bisa menjadi sulit diprediksi
Eliminasi Dapat-Jenuh. Pada keadaan ini, persamaan Michaelis-Menten [Persamaan (1-2)] biasanya
menjelaskan tentang ketidaklinieran. Semua proses aktif sudah pasti jenuh, tetapi akan terlihat linier jika
harga konsentrasi obat dalam kenyataannya jauh lebih kecil daripada harga k. Jika harga k. dilampaui,
kinetika nonlinier akan terjadi. Akibat utama penjenuhan meta bolisme atau transpor merupakan
kebalikan dari penjenuhan ikatan protein. Jika kedua keadaan di atas muncul bersamaan, hilang efek
masing-masing akan betul-betul dan secara mengejutkan akan muncul kinetika linier; ini terjadi pada
seharusnya (F lebih tinggi), dan terjadi peningkatan C, fraksional yang lebih besar daripada peningkatan
laju pemberian obat. C,, dapat di peroleh dengan mensubstitusi Persamaan (1-2) ke dalam Persamaan (1-
Jika laju pemberian mendekati laju eliminasi maksimum (v.), harga pembagi pada Persamaan (1-15)
akan mendekati nol dan C akan meningkat secara tidak seimbang. Karena pen jenuhan metabolisme
seharusnya tidak memengaruhi volume distribusi, bersihan dan laju eliminasi obat relatif menurun de
ngan meningkatnya konsentrasi. Oleh karena itu, kurva log konsentrasi obat dalam plasma terhadap
waktu akan berkurang kelengkungannya sampai metabolisme menjadi tidak jenuh dan eliminasi orde
pertama terjadi. Dengan demikian, konsep waktu paruh tetap menjadi tidak berlaku pada metabolisme
non-linier yang terjadi pada rentang konsentrasi klinis yang biasa. Akibatnya, penggantian laju pemberian
untuk obat yang memiliki metabolisme nonlinier menjadi sulit dan tidak dapat diprediksi, karena keadaan
tunak yang tercapai lebih lambat, dan yang penting, efeknya tidak berbanding lurus dengan perubahan
laju pemberian
Fenitoin merupakan contoh obat yang mengalami kejenuhan metabolisme dalam rentang konsentrasi
terapi (lihar Lampiran II), Km (5 sampai 10 mg per liter) biasanya mendekati rentang terapi terendah (10
sampai 20 mg per liter). Untuk beberapa individu khususnya anak-anak, K. 1 per liter Jika pada individu
tersebut konsentrasi target 15 mg per liter, dan ini dicapai pada laju pemberian dosis 300 mg per hari,
maka berdasarkan Persamaan (1-15), sama dengan 320 mg per hari Untuk pasien tersebut, dosis lebih
rendah 10% dari dosis optimal (misalnya 270 mg per hari) akan menghasilkan sebesar 5 mg per liter,
lebih rendah dari yang diharapkan. Sebaliknya, dosis lebih besar 10% dari dosis optimal (330 mg per
hari) akan melebihi kapasitas metabolisme (hingga 10 mg per hari) dan me nyebabkan kenaikan
konsentrasi yang berlangsung lama dan Lambat tetapi tanpa akhir, sehingga mengakibatkan keracunan.
Dosis tidak dapat dikendalikan dengan sangat tepat (kurang dari 10 kesalahan). Oleh karena itu, untuk
pasien yang memiliki konsentrasi target fenitoin sepuluh kali lebih besar dari katau lebih, mau tidak mau
harus harus mengganti terapi. Untuk obat seperti fenitoin yang mempunyai indeks terapi sempit dan
metabolisme nonlinier, pemantauan terapi obat (lihat di bawah) menjadi sangat penting.
Setelah pemberian satu dosis obat, efeknya biasanya menunjukkan pola sementara yang khas (Gambar 1-
6). Onset efek tersebut didahului dengan periode lag, setelah itu efek meningkat sampai maksimum, lalu
menurun jika kemu dian tidak diberikan dosis yang baru, efek obat akhirnya menghilang. Perjalanan
distribusi, dan eliminasinya. Dengan demikian, intensitas efek obat berkaitan dengan konsentrasinya di
atas konsentrasi efektif minimum, sementara durasi efek obat terkait dengan lamanya kadar obat di atas
konsentrasi efektif minimum. Hal ini secara umum berlaku untuk efek obat yang dikehendaki maupun
efek yang tidak dikehendaki (efek merugikan), dan sebagai hasilnya, terdapat jendela terapi yang
menggambarkan rentang konsentrasi yang memberikan khasiat tanpa toksisitas yang membahayakan.
Pertimbangan yang sama juga berlaku setelah pemberian ulang yang berkaitan dengan terapi jangka
panjang, sehingga hal itu menentukan jumlah dan frekuensi pemberian obat untuk mencapai efek terapi
optimal. Secara umum, batas bawah rentang terapeutik tampaknya hampir sama dengan konsentrasi obat
yang menghasilkan setengah efek terapi terbesar yang mungkin terjadi, dan batas atas tentang terapi
sedemikian hingga tidak lebih dari 5% mpai 10% pasien mengalami efek toksik. Untuk beberapa jenis
obat, ini dapat berarti bahwa batas atas rentang tidak lebih dari dua kali batas bawah. Tentu saja jumlah
ini dapat sangat bervariasi dan beberapa pasien dapat memperoleh manfaat dari konsentrasi obat yang
melebihi rentang terapi, sementara pada pasien lain toksisitas dapat terjadi pada kadar yang jauh lebih
rendah.
Untuk sejumlah obat tertentu, beberapa efek obat mudah diukur (seperti tekanan darah, gula darah),
dan hal ini dapat digunakan untuk mengoptimalkan dosis, dengan menggunakan pendekatan trial-and-
error. Dalam kasus yang ideal pun, dapat muncul persoalan kuantitatif seperti seberapa sering dosis harus
diubah, dan seberapa besar. Hal ini biasanya dapat ditentukan dengan aturan umum yang sederhana
didasarkan atas prinsip-prinsip yang telah didiskusikan (misalnya mengubah dosis tidak lebih dari 50%
dan tidak lebih sering dari tiap tiga hingga empat waktu paruh). Kemungkinan lain, beberapa obat
memiliki toksisitas terkait dosis yang sangat kecil dan afikasi maksimum biasanya diharapkan. Untuk
obat-obat seperti ini, dosis yang melebihi jumlah rata-rata yang diperlukan akan menjamin khasiat (jika
mungkin) dan memperpanjang kerja obat. Strategi "dosis maksimal tersebut sering dilakukan untuk
Namun untuk kebanyakan obat, efeknya sukar diukur (atau obat diberikan untuk profilaksis), memiliki
potensi toksisitas dan kurang berkhasiat, dan/atau indeks terapi sempit. Dalam keadaan seperti ini, dosis
harus disesuaikan secara hati-hati, dan dosis obat lebih dibatasi oleh toksisitas daripada oleh khasiat.
Sehingga tujuan terapi adalah untuk menjaga kadar obat keadaan tunak dalam jendela terapi. Untuk
kebanyakan obat, konsentrasi sebenarnya pada rentang yang diharapkan ini tidak diketahui dan tidak
perlu diketahui. Cukup dimengerti saja bahwa khasiat dan toksisitas umumnya tergantung pada
konsentrasi, dan bahwa dosis obat serta frekuensi pemberian memengaruhi kadar obat. Namun, untuk
sejumlah kecil obat, yang memiliki sedikit perbedaan (dua sampai tiga kali) antara konsentrasi yang
menghasilkan khasiat dan toksisitas (seperti digoksin, teofilin, lidokain, aminoglikosida, siklosporin, dan
antikonvulsan), rentang konsentrasi plasma un tuk terapi efektif telah ditetapkan. Dalam hal ini, strategi
kadar target masuk akal dilakukan, yakni memilih konsentrasi obat tunak yang diinginkan (target)
(biasanya konsentrasi dalam plasma) yang menghasilkan khasiat dan toksisitas minimal, serta dosis
dihitung yang diharapkan mencapai harga ini. Konsentrasi obat kemudian dihitung, dan dosis diatur jika
Dosis Pemeliharaan. Dalam kebanyakan situasi klinis, obat diberikan dalam satu rangkaian dosis
berulang atau sebagai infus kontinu untuk memelihara konsentrasi obat tunak dalam memenuhi jendela
terapi. Oleh karena itu, perhitungan dosis pemeliharaan yang tepat merupakan tujuan utama. Untuk
mempertahankan konsentrasi tunak atau konsentrasi target yang dipilih, laju pemberian obat perlu
ditentukan sehingga laju obat masuk sama besar dengan laju eliminasi. Hubungan ini telah ditetapkan
pada Persamaan (1-1) dan (1-14) dan disini dinyatakan berkenaan dengan konsentrasi target yang
diinginkan:
Jika klinisi telah memutuskan konsentrasi obat yang diharapkan dalam plasma dan mengetahui harga
bersihan dan ketersediaan hayati untuk obat tersebut pada pasien tertentu, maka dosis yang sesuai dan
Contoh. Digoksin oral digunakan sebagai dosis pemeliharaan untuk secara berangsur "mendigitalisasi
seorang pasien ber bobot 69 kg yang menderita gagal jantung kongestif. Konsentrasi plasma tunak
sebesar 1.5 ng/ml dipilih sebagai target. Berda sarkan fakta bahwa bersihan kreatinin pasien (CL) sebesar
100 ml/menit, bersihan digoksin dapat dihitung dari data pada Lampiran II
Selang Pemberian untuk Dosis Berulang. Secara umum, luktuasi konsentrasi pada pemberian berulang
tidaklah dikehendaki Jika absorpsi dan distribusi terjadi cepat, fluktuasi konsentrasi obat antardosis dapat
diatur sepenuhnya oleh waktu paruh eliminasi obat. Jika selang pemberian (T) dipilih sama dengan waktu
paruh, total fluktuasi akan menjadi dua kali lipat. Hal ini masih dapat ditoleransi,
Dari pertimbangan farmakodinamik, jika suatu obat relatif ti dak toksik, sedemikian sehingga
konsentrasi beberapa kali lipat di atas yang dibutuhkan untuk terapi dapat mudah ditolerir, maka
pemberian dosis maksimum dapat diterapkan, dan selang pemberian dapat jauh lebih panjang dari waktu
paruh eliminasinya untuk kenyamanan). Waktu paruh amoksisilin sekitar 2 jam, tetapi sering diberikan
Pada beberapa obat yang memiliki rentang terapi sempit. kemungkinan perlu menghitung konsentrasi
maksimum dan minimum yang akan terjadi untuk selang pemberian tertentu.
Konsentrasi keadaan tunak minimum dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan (1-17):
K=0,693 dibagi waktu paruh yang relevan secara klinis dan T adalah selang pemberian. Terminologi"
sesungguhnya meru. pakan fraksi dosis terakhir (dikoreksi untuk ketersediaan hayati) yang masih
Pada obat-obat yang mengikuti kinetika multieksponensial dan diberikan secara oral, penentuan
konsentrasi keadaan tunak maksimum Camelibatkan sejumlah tetapan eksponensis yang kompleks untuk
distribusi dan absorpsi. Jika pada pem. berian oral berulang, tetapan di atas diabaikan, prediksi konsen
trasi keadaan tunak maksimal dapat dilakukan dengan menghilangkan parameter" pada pembilang
Persamaan (1.17), (lihat Persamaan (1.18), di bawah). Karena perkiraan tersebut, konsentrasi maksimum
yang diperkirakan dari Persamaan (1-18) akan lebih besar dari yang sebenarnya teramati.
Contoh. Pada penderita gagal jantung kongestif di atas, dosis pemeliharaan oral 0,375 mg/24 jam
digoksin berdasarkan perhitungan dapat mencapai konsentrasi plasma rata-rata 1,65 ng/ml selama selang
pemberian. Digoksin mempunyai indeks terapi sempit, dan konsentrasi plasma antara 0,8 dan 2,0 ng/ml
biasanya memberikan khasiat dan toksisitas minimum. Oleh karena itu, perlu diketahui bahwa konsentrasi
plasma maksimum dan minimum akan diprediksi pada regimen tersebut. Ini pertama memerlukan
Akibatnya konsentrasi plasma akan berfluktuasi sekitar dua kali lipat, konsisten dengan selang dosis yang
sama dengan waktu Paruh digoksin. Konsentrasi puncak juga akan melampaui batas atas rentang terapi,
sehingga pasien mengalami efek merugikan. dan pada akhir selang dosis konsentrasi akan berada di atas
tetapi dekat dengan batas bawah. Dengan menggunakan laju pembe rian yang sama tetapi mengurangi
frekuensi pemberian, akan diperoleh profil konsentrasi obat dalam plasma terhadap waktu yang jauh lebih
mulus, sambil tetap menjaga nilai keadaan tunak rata-rata 1.65 ng/ml. Sebagai contoh, pada pemberian
0,375 mg tiap 24 jam, konsentrasi plasma maksimum diprediksikan sebesar 1,90 ng/ml, sedangkan
konsentrasi plasma minimum sebesar 1,44 ng/ml, yang berada pada bagian atas jendela terapi.
Sebaliknya, pada pemberian 0,25 mg tiap 24 jam akan meng hasilkan nilai puncak 1,26 ng/ml dan lembah
0,96 ng/ml yang akan memberikan harga keadaan tunak 1.10ng/ml. Tentu saja Klinisi perlu
memperhitungkan masalah kepatuhan dalam pe makaian regimen dosis yang sering terhadap masalah
periode ketika pasien menerima jumlah obat yang terlalu tinggi atau ter lalu rendah.
Dosis Muatan. "Dosis muatan" (loading dose) meru pakan satu atau serangkaian dosis yang dapat
diberikan pada awal terapi dengan tujuan mencapai target konsen trasi dengan cepat. Besarnya dosis
Suatu dosis muatan dapat diperlukan jika waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan tunak
dengan pem berian obat pada laju yang tetap (empat kali waktu paruh eliminasi) relatif lama terhadap
tuntutan sementara kea daan yang sedang ditangani. Contoh, waktu paruh lidokain biasanya 1 sampai 2
jam. Aritmia yang muncul setelah infark jantung jelas dapat mengancam jiwa, dan orang tidak dapat
menunggu 4 sampai 8 jam untuk memperoleh konsentrasi terapi lidokain melalui pemberian infus pada
laju yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi ini. Oleh karena itu, penggunaan dosis muatan lidokain
Pemakaian dosis muatan juga memiliki kerugian signifikan. Pertama, pasien yang sensitif dapat
terpajan konsentrasi toksik obat secara mendadak. Jika obat yang diberikan memiliki waktu paruh
panjang, dibutuhkan waktu yang lama untuk menurunkan konsentrasi obat jika kadar yang tercapai
berlebih. Dosis muatan cenderung besar, dan sering diberikan secara parenteral dan cepat; ini terutama
berbahaya jika efek toksik terjadi akibat kerja obat pada tempat yang cepat mencapai kesetimbangan
dengan plasma. Hal ini disebabkan oleh dosis muatan yang dihitung berdasarkan V. setelah distribusi obat
pada awalnya terdesak dalam volume distribusi "pusat" awal dan lebih kecil. Oleh karena itu, biasanya
disarankan untuk membagi dosis muatan menjadi sejumlah fraksi dosis yang lebih kecil yang diberikan
selama periode waktu tertentu. Pilihan lain, dosis muatan diberikan se bagai infus intravena kontinu
selama suatu periode waktu Idealnya hal ini diberikan makin berkurang secara ksponensial untuk meniru
akumulasi dosis pemeliharaan obat secara bersamaan, dan ini sudah dapat dilakukan berkat pemakaian
Contoh. "Digitalisasi" pada pasien yang diceritakan di atas terjadi bertahap hanya jika diberikan dosis
pemeliharaan (selama sekurang-kurangnya 10 hari dengan waktu paruh 61 jam). Respons yang lebih
cepat dapat tercapai (jika dianggap penting oleh dokter, lihat Bab 34) dengan menggunakan strategi dosis
Agar terhindar dari efek toksik, dosis muatan rute oral ini, yang juga bisa diberikan secara intravena, akan
diberikan sebagai dosis awal sebesar 0,5 mg diikuti dengan dosis 0,25 mg pada 6 sampai 8 jam kemudian
disertai peman. tauan pasien yang seksama. Juga dapat diberikan secara hati-hati dosis terakhir 0,25 mg,
jika diperlukan dalam dua dosis terbagi 0,125 mg yang saling berselang 6 sampai 8 jam untuk
menghindari overdigitalisasi, khususnya jika ada rencana memulai pemberian dosis pemeliharaan oral
Individualisasi Dosis. Regimen dosis yang rasional adalah berdasarkan pengetahuan tentang F, CL V,
dan to, serta beberapa informasi tentang laju absorpsi dan distribusi obat Regimen dosis yang
direkomendasikan umumnya dirancang untuk pasien rata-rata", harga lazim untuk parameter penentuan
penting dan penyesuaian yang mungkin diperlukan terkait dengan penyakit atau faktor lain ditunjukkan
pada Lampiran II Namun, pendekatan "satu untuk semua ini mengabaikan keragaman antarpasien yang
sangat besar dan tidak dapat diprediksikan yang biasanya ada dalam parameter parameter farmakokinetik
ini. Untuk kebanyakan obat, simpangan baku yang teramati untuk F, C, dan V, berturut-turut berkisar
20%, 50%, dan 30%. Ini berarti bahwa 95% dari waktu yang diperlukan untuk mencapai C akan berada di
antara 35% dan 20% target; tentunya rentang yang besar ini tidak dapat diterima bagi obat-obatan yang
memiliki indeks terapi sempit. Oleh karena itu, individualisasi regimen dosis untuk pasien tertentu
menjadi sangat me nentukan untuk mencapai terapi yang optimal. Prinsip farmakokinetik seperti
dijelaskan sebelumnya memberi kan dasar untuk memodifikasi regimen dosis untuk mencapai derajat
khasiat yang diharapkan dengan efek merugikan seminimal mungkin. Jika konsentrasi obat dalam plasma
dapat diukur dan terkait dengan jendela terapi petunjuk tambahan untuk modifikasi dosis dapat diperoleh.
Pengukuran dan penyesuaian tersebut cocok untuk banyak obat yang memiliki indeks terapi yang rendah
Tujuan utama penetapan konsentrasi obat (pada keadaan tunak) adalah untuk menyempurnakan
penghitungan CUF pada pasien yang sedang diobati (menggunakan Persamaan (1-14) seperti disusun
kembali di bawah)
Kesulitan dan rincian tertentu yang berkaitan dengan peman tauan terapi obat perlu diperhatikan.
Pertama, berkaitan dengan waktu pengambilan sampel untuk penetapan konsentrasi obat Jika digunakan
dosis berulang, kapan harus mengambil sampel selama selang pemberian? Perlu dibedakan antara dua
kemung kinan penggunaan konsentrasi obat yang terukur untuk mengerti kemungkinan jawabannya.
Konsentrasi obat yang diukur dari Sampel yang diambil kapan saja diantara selang pemberian obat akan
memberikan informasi yang mungkin membantu penilaian toksisitas obat. Ini salah satu jenis pemantauan
terapi obat Namun, perlu ditekankan bahwa pemakaian konsentrasi obat yang telah ditetapkan ini
menyebabkan banyak kesulitan karena adanya keragaman antarindividu dalam hal sensitivitas terhadap
obat yang dipakai. Jika muncul pertanyaan tentang toksisitas, konsentrasi obat ini tidak lebih dari salah
satu dari sekian hal yang berguna untuk menafsirkan keadaan klinis.
Perubahan efek obat mungkin relatif lambat terhadap peru bahan konsentrasi obat dalam plasma,
karena laju distribusi yang lambat atau faktor farmakodinamik. Misalnya konsentrasi di goksin, biasanya
melebihi 2 ng/ml (harga yang memungkinkan terjadi efek toksik) tak lama setelah pemberian oral, tetapi
kon sentrasi puncak ini tidak menyebabkan toksisitas, toksisitas muncul sebelum efek puncak terjadi.
Oleh karena itu, konsen trasi obat dalam sampel yang diperoleh segera setelah pemberian obat tidak
Jika konsentrasi obat digunakan untuk menetapkan dosis pemberian, sampel yang diperoleh segera
setelah pemberian obat hampir selalu menyesatkan. Kegunaan pengambilan sampel selama keadaan tunak
yang diharapkan adalah untuk memodi fikasi perkiraan CL/F dan menentukan pilihan dosis. Konsentrasi
obat segera setelah terjadi absorpsi tidak mencerminkan bersihannya; bersihan ditentukan terutama oleh
laju absorpsi, volume distribusi pusat" (dan bukan keadaan tunak), dan laju distribusi, semuanya
merupakan parameter farmakokinetik yang tidak ada kaitannya dengan pemilihan dosis pemeliharaan
untuk jangka panjang. Jika tujuan pengukuran adalah untuk penye suaian dosis, sampel harus diambil
lama setelah pemberian dosis sebelumnya sebagai aturan umum yaitu sebelum dosis berikut nya, saat
konsentrasi berada pada titik minimum. Ada kekecuali an untuk pendekatan ini yaitu beberapa obat
hampir tereliminasi sempurna di antara dun dosis yang diberikan dan bekerja hanya pada bagian awal
masing-masing selang dosis. Jika diperta nyakan apakah konsentrasi efektif obat semacam ini tercapai
atau tidak, suatu sampel yang diambil segera setelah pemberian satu dosis dapat membantu. Di sisi lain,
jika yang jadi pertanyaan adalah apakah bersihan rendah (seperti pada gagal ginjal) dapu menyebabkan
akumulasi obat atau tidak, konsentrasi yang dite tapkan sebelum dosis selanjutnya akan menampakkan
akumulasi tersebut dan sangat berguna untuk tujuan di atas daripada mengetahui konsentrasi maksimal.
Oleh karena itu, untuk obat se macam ini sebaiknya dilakukan penetapan konsentrasi maksimal dan
minimal
Aspek penting kedua dari pemilihan waktu yang tepat untuk pengambilan sampel adalah hubungannya
dengan permulaan regimen dosis pemeliharaan. Jika diberikan dosis yang tetap, keadaan tunak akan
tercapai hanya setelah empat kali waktu paruh. Jika pengambilan sampel dilakukan terlalu cepat setelah
pemberian obat dimulai, hasilnya kurang akurat untuk menggambarkan keadaan tersebut dan bersihan
obat. Namun, untuk obat yang toksik, jika pengambilan sampel ditunda sampai saat tercapai keadaan
tunak, kerusakan mungkin telah terjadi, Beberapa petunjuk sederhana dapat dilakukan. Jika menjaga
kontrol konsentrasi secara hati-hati penting dilakukan, sampel pertama harus diambil setelah dua kali
waktu paruh (seperti yang dihitung dan diharapkan untuk pasien), dengan asumsi tidak ada pemberian
dosis muatan. Jika konsentrasi telah mencapai lebih dari 90% konsentrasi keadaan tunak rata-rata akhir
yang diharapkan, laju pemberian harus dibagi dua, sampel lain diambil dalam dua waktu paruh (yang
diharapkan) lainnya, kemudian dosis dibagi dua lagi jika sampel ini melampaui targetnya. Jika
konsentrasi pertama tidak terlalu tinggi laju pemberian awal diteruskan, bahkan jika konsentrasi plasma
lebih rendah dari yang diharapkan, biasanya disarankan untuk menunggu terca painya keadaan tunak
dalam dua waktu paruh berikutnya dan kemudian dilakukan penyesuaian dosis seperti di atas
Jika dosisnya berulang, ada masalah ketiga yang perlu diper hatikan dalam pemilihan waktu
pengambilan sampel untuk menetapkan konsentrasi obat. Jika sampel diambil tepat sebelum pemberian
dosis selanjutnya, seperti disarankan, maka konsen trasi yang diperoleh akan merupakan nilai minimum,
bukan rata-rata. Namun seperti didiskusikan di atas, perkiraan konsen trasi rata-rata dapat dihitung
Jika obat mengikuti kinetika orde pertama, konsentrasi rata-rata, minimum, dan maksimum pada
keadaan tunak berban ding lurus dengan dosis dan laju pemberian (lihar Persamaan (1-14), (1-17), dan (1-
18)). Oleh karena itu, perbandingan antara konsentrasi hasil pengukuran dengan konsentrasi yang diharap
kan dapat digunakan untuk menetapkan dosis, sesuai dengan ukuran dosis yang tersedia
Sebelumnya telah dijelaskan sebagai contoh, pasien yang diberi kan 0,375 mg digoksin tiap 24 jam, jika
konsentrasi keadaan tunak hasil pengukuran diperoleh 1,65 ng/ml, berbeda dengan konsentrasi yang
diharapkan sebesar 1.3 ng/ml, regimen dosis yang cocok dan praktis adalah menurunkan dosis per hari
Pada akhirnya, keberhasilan terapi akan tergantung pada penggunaan obat yang benar oleh pasien sesuai
dengan regimen dosis yang ditentukan -- Obat tidak bekerja jika anda tidak menggunakannya".
Ketidakpatuhan terhadap skedul penggunaan obat merupakan alasan kegagalan terspi yang utama dan
sering dianggap remeh, terutama dalam pengobatan penyakit jangka panjang yang menggunakan obat
antihipertensi, antiretrovirus, dan antikonvulsan. Jika tidak ada usaha khusus yang dilakukan untuk
mengatasi masalah ini, hanya sekitar 50% pasien yang mengikuti aturan penggunaan obat yang benar,
sekitar sepertiganya.
Patuh sebagian; dan sekitar 1 dari 6 orang pasien tidak patuh. Terlewat dosis lebih sering terjadi
daripada kelebihan dosis. Jumlah obat tampaknya tidak sepenting jumlah pemakaian obat per hari yang
harus diingat. (Farmer, 1999). Pengurangan jumlah waktu pemberian yang diperlukan akan memperbaiki
kepatuhan terhadap aturan dosis yang diresepkan. Hal penting lainnya adalah melibatkan pasien agar ikut
bertanggung jawab terhadap kesehatan mereka sendiri, dengan menggunakan berbagai strategi
berdasarkan perbaikan komunikasi berkenaan dengan sifat penyakit dan keseluruhan rencana terapi.