Anda di halaman 1dari 75

TUGAS

FARMAKOLOGI

Oleh

MUHAMMAD FARHAN ALBASITHU

NPM : 102421014

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BATAM

2021
BAB 1

FARMAKOKINETIKA

Dinamika Absorpsi Obat,

Distribusi, dan Eliminasi

Grant R. Wilkinson

Untuk menghasilkan efek yang spesifik, suatu obat harus tersedia dalam konsentrasi yang tepat

di tempat kerjanya. Meskipun jelas bahwa hal tersebut merupakan fungsi dari jumlah obat yang

diberikan, konsentrasi obat yang aktif dan tidak terikat (bebas) juga tergantung pada laju dan

tingkat absorpsi, distribusi (terutama yang mencerminkan ikatan relatif terhadap plasma dan

protein jaringan), metabolisme (biotransformasi), dan ekskresi. Faktor-faktor tersebut dijelaskan

pada Gambar l-l dan diuraikan dalam bab ini.

FAKTOR FISIKOKIMIA DALAM TRANSPOR OBAT MELALUI MEMBRAN

Absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi suatu obat memerlukan proses melewati membran

sel. Oleh karena itu mekanisme obat melewati membran dan sifat fisikokimia molekul serta

membran yang mempengaruhi transfer ini sangat penting. Karakteristik penentu suatu obat

adalah ukuran dan bentuk molekul, derajat ionisasi, ke-


Gambar1-1.Gambaran skematik hubungan antara absorpsi,distribusi,ikatan,metabolism,dan

ekskresi suatu obat dan konsentrasinya pada tempat kerjanya.

Distribusi dan pengikatan metabolitnya yang mungkin terjadi tidak digambarkan.

larutan relatif bentuk terionisasi dan tidak terionisasi didalam lemak serta ikatannya dengan

protein jaringan.

Ketika masuk ke dalam sel, suatu obat harus melewati membran plasma. Sawar lain

dalam perjalanan obat dapat berupa satu lapis sel (epitelium usus) atau beberapa lapis sel (kulit).

Meskipun terdapat perbedaan struktur, difusi dan transpor obat melewati berbagai pembatas ini

memiliki banyak karakteristik yang sama, karena secara umum obat menembus ke dalam sel dan

bukan antarsel. Oleh karena itu, membran plasma merupakan sawar yang umum.

Membran Sel. Membran plasma terdiri atas dua lapis (bilayer) lipid amfipatik, bagian rantai

hidrokabonnya yang mengarah kedalam membentuk fase hidrofob yang kontinu dan bagian

hidrofilnya mengarah keluar. Masing-masing molekul lipid di dalam kedua lapisan tersebut

beragam, tergantung pada membran tertentu dan dapat bergerak secara lateral, membantu

membrane dengan fluiditas, fleksibilitas, hambatan elektrik yang tinggi, dan impermeabilitas

terhadap molekul berkepolaran tinggi. Protein membran yang disimpan dalam lapisan ganda

tersebut berfungsi sebagai reseptor, saluran ion, atau transporter (protein pembawa) untuk

menghasilkan jalur pensinyalan listrik atau kimia dan menyediakan target selektif untuk kerja

obat.
Sebagian besar membran sel relatif permeabel terhadap air,baik melalui difusi atau aliran

karena perbedaan hidrostatik atau osmotik nntarmembran, dan aliran air ruahan tersebut dapat

membawa molekul obat bersamanya. Transpor tersebut merupakan mekanisme utama yang

membawa obat melewati sebagian besar membran endotel kapiler. Namun, protein dan molekul

obat yang berikatan dengan membran sel terlalu besar dan terlalu polar untuk menyebabkan

terjadinya jenis transpor ini, sehingga gerakan lintas-kapiler terbatas pada molekul yang tidak

terikat.Transpor paraselular melalui celah antarsel cukup besar sehingga proses melewati kapiler

ditentukan oleh aliran darah dan bukan oleh faktor lainnya (lihat di bawah). Seperti akan

dijelaskan kemudian, jenis tanspor ini merupakan faktor penting dalam filtrasi melalui membran

glomcrulus di ginjal. Namun, ada pengecualian penting pada difusi kapiler tersebut, karena

adanya taut (junction) antarsel yang “sempit” di jaringan tertentu dan transpor paraselulernya

terbalas. Kapiler sistem saraf pusat (SSP) dan sejumlah jaringan epitel mempunyai taut yang

sempit (lihat di bawah). Walaupun aliran air ruahan itu dapat membawa senyawa larut air

berukuran kecil, massa molekul senyawa ini lebih besar dari 100 sampai 200 dalton, terjadinya

transport semacam ini terbatas. Dengan demikian, sebagian besar obat yang sangat lipofil harus

melewati membran sel itu sendiri melalui satu macam proses atau lebih.

Transpor Pasir Melalui Membran. Obat dapat melewati membran melalui proses transpor

pasif atau dengan mekanisme yang melibatkan partisipasi aktif komponen membran. Pada

bahasan sebelumnya, molekul obat biasanya berpenetrasi dengan cara difusi pasif mengikuti

gradien konsentrasi berkat kelarutannya dalam lapisan lipid ganda. Perpindahan ini berbanding

lurus dengan besarnya gradien konsentrasi melewati membran, koefisien partisi lipid :air dari

obat, dan luas permukaan sel. Makin besar koefisien partisi, makin tinggi konsentrasi obat pada
membran dan makin cepat difusinya. Setelah keadaan lunak (steady state) tercapai, konsentrasi

obat yang tidak terikat menjadi sama pada kedua sisi membran untuk obat nonelektrolit Untuk

senyawa ionik, konsentrasi keadaan tunak akan tergantung pada gradient pH antarmembran,

yang dapat memengaruhi keadaan terionisasi molekul pada tiap sisi membran dan pada gradien

elektrokimia untuk ion tersebut.

Elektrolit Lemah dan Pengaruh pH. Sebagian besar obat merupakan senyawa asam lemah

atau basa lemah yang terdapat dalam bentuk larutan sebagai bentuk tidak terionisasi dan

terionisasi. Molekul yang tidak terionisasi biasanya larut dalam lipid dan dapat berdifusi

melewati membran sel. Sebaliknya, molekul terionisasi biasanya tidak dapat berpenetrasi

melewati membran lipid karena kelarutannya dalam lipid rendah.

Oleh karena itu, distribusi transmembran suatu elektrolit lemah biasanya ditentukan oleh

pK adan gradien pH antarmembran. pK a adalah pH kelika selengah bagian obat (elektrolit lemah)

berada dalam bentuk terionisasi. Untuk menggambarkan pengaruh pH pada distribusi obat,

partisi suatu asam lemah ( pK a = 4,4) antara plasma (pH = 7,4) dan cairan lambung (pH = 1,4)

ditunjukkan pada Gambar 1-2.

Diasumsikan bahwa membran mukosa lambung berperan sebagai sawar lipid sederhana

yang hanya melewatkan senyawa asam dalam bentuk tidak terionisasi yang larut dalam lipid.

Perbandingan obat dalam bentuk tidak terionisasi dengan bentuk terionisasi pada setiap harga pH

dapat dihitung menggunakan persamaan Henderson-Hasselbach. Dengan demikian, di dalam

plasma, perbandingan jumlah obat tidak terionisasi dengan terionisasi adalah 1:1000; dalam
cairan lambung, perbandingannya adalah 1:0,001. Nilai ini ditunjukkan di dalam tanda kurung

pada Gambar 1-2. Perbandingan konsentrasi total

Gambar 1-2.Pengaruh Ph pada distribusi asam lemah antara plasma dan cairan lambung yang

dipisahkan oleh sawar lemak.

antara plasma dan cairan lambung dengan demikian menjadi 1000:1, jika sistem tersebut

mencapai keadaan tunak. Untuk basa lemah dengan pK a =4,4, rasionya akan terbalik, seperti

ditunjukkan landa panah horisontal tebal pada Gambar 1-2, yang menunjukkan bentuk utamanya

pada masing-masing pH. Dengan demikian, pada keadaan tunak, obat yang bersifat asam akan

terakumulasi lebih besar pada sisi membran yang bersifat basa dan obat yang bersifat basa lebih

banyak pada sisi asamnya—fenomena yang disebut pemerangkapan ion (ion trapping).

Penjelasan ini memiliki implikasi yang jelas terhadap absorpsi dan ekskresi obat, seperti dibahas

kemudian secara khusus. Penetapan gradien konsentrasi elektrolit lemah antarmembran dengan

gradien pH, mumi merupakan proses fisika dan tidak memerlukan sistem transpor aktif.Yang

diperlukan adalah adanya membran yang permeable terhadap satu bentuk elektrolit lemah dan
suatu gradien pH melintasi membran. Namun, penetapan gradien pH merupakan suatu proses

yang aktif.

Transpor Membran Diperantarai Pembawa. Meskipun difusi pasif melalui lapisan ganda

(bilayer) sering terjadi dalam perpindahan kebanyakan obat, mekanisme yang diperantarai oleh

pembawa juga dapat berperan penting. Transpor aklif ditandai dengan kebutuhan terhadap

energi, pergerakan melawan gradien elektrokimia. kemampujenuhan, seleklifitas, dan

penghambatan kompetitif oleh senyawa yang ikut ditranspor. Istilah difusi terfasilitasi

menggambarkan proses transpor yang diperantarai oleh pembawa, dengan cara tersebut tidak ada

masukan energi, sehingga, peningkatan pergerakan molekul akan menurunkan gradien

elektrokimia. Mekanisme tersehut, yang mungkin sangat selektif untuk struktur konformasi

spesifik suatu obat, ikut terlibat dalam transpor senyawa endogen yang memiliki laju transpor

difusi pasif sangat lambat. Pada kasus lain, mekanisme ini berfungsi sebagai suatu sistem sawar

untuk melindungi sel dari senyawa yang berpotensi toksik.

Protein transporter yang bertanggung jawab sering diekspresikan dalam membran sel

lewat cara yang spesifik domain sehingga protein tersebut memperantarai ambilan (uptake)

efluks obat, dan sering rangkaian tersebut memfasilitasi transpor vektorial melewati sel. Oleh

karena itu, di dalam hati, sejumlah transporter yang terletak secara basolateral dengan spesifisitas

substrat yang berbeda ikut terlibat dalam ambilan asam empedu serta anion dan kation organik

amfipatik ke dalam hepatosit, dan berbagai transporter tergantung-ATP yang mirip pada

membran kanalikuli mengeluarkan senyawa tersebut ke dalam empedu.Keadaan serupa juga

terjadi di usus dan membran tubulus ginjal Suatu transporter efluks yang penting terdapat di

tempat ini dan juga di endotelium kapiler pada kapiler otak yaitu P-glikoprotein, yang dikode
oleh gen multidrug resistance-I (MDRI),yang penting dalam resistensi terhadap senyawa

kemoterapi kanker (Bab 52). P-glikoprotein yang terletak di enterosit juga membatasi absorpsi

oral obat yang ditranspor karena molekul ini mengeluarkan kembali senyawa ke dalam saluran

usus setelah absorpsinya melalui difusi pasif.

ABSORPSI OBAT,KETERSEDIAAN HAYATI, DAN RUTE PEMBERIAN

Absorpsi menerangkan laju obat ketika meninggalkan tempat pemberiannya dan jumlahnya.

Namun, klinisi terutama mementingkan suatu parameter yang dikenal sebagai ketersediaan

hayati, dibanding absorpsi. Ketersediaan hayati merupakan istilah yang digunakan untuk

menunjukkan jumlah fraksi suatu dosis obat yang mencapai tempat kerjanya atau cairan tubuh

yang akan dilewati obat sebelum mencapai tempat kerjanya. Sebagai contoh, obat yang diberikan

secara oral, harus diabsorpsi pertama kali dari lambung dan usus tetapi mungkin hal ini dibatasi

oleh sifat-sifat bentuk sediaan dan/atau sifat fisikokimia obat. Selanjutnya obat akan melalui hati,

tempat metabolisme dan/atau ekskresi empedu dapat terjadi sebelum obat mencapai sirkulasi

sistemik. Dengan demikian, sejumlah fraksi dosis obat yang diberikan dan diabsorpsi akan

mengalami inaktivasi atau penguraian sebelum obat dapat mencapai sirkulasi darah dan

terdistribusi sampai ketempat kerjanya. Jika kapasitas metabolik dan ekskresi hati untuk obat

tersebut besar, ketersediaan hayati obat tersebut akan berkurang secara bermakna (hal ini biasa

disebut efek lintas pertama). Penurunan ketersediaan hayati dipengaruhi tempat anatomis

terjadinya absorpsi;faktor anatomis, fisiologis, dan patologis lainnya juga dapat memengaruhi

ketersediaan hayati (lihat di bawah),dan pilihan rute pemberian obat harus didasarkan atas

pengertian tentang beberapa kondisi tersebut.


Pemberian Oral (Enteral) versus Parenteral. Sering kali tersedia pilihan rute pemberian zat

berkhasiat, sehingga pengetahuan mengenai keuntungan dan kerugian rute-rute peinberian yang

berbeda menjadi sangat penting.Beberapa ciri rute pemberian utama yang digunakan untuk efek

obat sistemik diperlihatkan dalam Tabel 1-1.

Penggunaan oral merupakan cara yang paling umum digunakan dalam pemberian obat.

Rute ini juga paling aman, nyaman, dan murah. Kerugian rute oral antara lain terbatasnya

absorpsi beberapa obat karena sifat-sifat fisik (seperti kelarutan dalam air), muntah sebagai

akibat iritasi pada mukosa saluran pencernaan, terurainya obat oleh enzim pencernaan atau pH

lambung yang rendah, absorpsi obat yang tidak teratur atau terganggu dengan adanya makanan

atau obat lain, dan diperlukannya kerjasama dengan pasien. Selain itu, obat di dalam saluran

pencernaan dapat dimetabolisme oleh enzim yang dihasilkan flora usus,mukosa, atau hati

sebelum mencapai sirkulasi darah

Sediaan injeksi parenteral memiliki kelebihan tersendiri jika dibandingkan dengan

pemberian oral. Dalam beberapa keadaan, pemberian parenteral penting untuk obat yang

dihantarkan dalam bentuk aktif. Ketersediaannya biasanya lebih cepat, luas dan dapat diprediksi

jika dibandingkan dengan pemberian obat melalui mulut. Oleh karena itu, dosis efektif dapat

diberikan dengan lebih akurat. Pada terapi darurat jika pasien tidak sadar, kurang dapat bekerja

sama dengan tenaga medis, atau tidak dapat menelan sesuatu melalui mulut, maka terapi

parenteral menjadi keharusan. Namun injeksi obat memiliki kekurangan tersendiri: asepsis harus

dijaga, nyeri dapat menyertai injeksi; kadang-kadang sulit bagi pasien untuk melakukan injeksi

sendiri jika pengobatan sendiri penting dilakukan, dan ada resiko kegagalan pada pemberian

obat. Harga merupakan pertimbangan lainnya.


Pemberian Oral. Absorpsi dari saluran pencernaan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti

luas permukaan tempat absorpsi, aliran darah ke tempat absorpsi, keadaan fisik obat (larutan,

suspensi, atau bentuk sediaan padat).kelarutannya dalam air, dan konsentrasi di tempat absorpsi.

Untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan padat,laju disolusi dapat menjadi faktor

pembatas dalam proses absorpsi, terutama jika obat memiliki kelarutan yang rendah dalam air.

Karena sebagian besar absorpsi obat dari saluran pencemaan terjadi melalui proses transpor pasif

absorpsi lebih mudah terjadi jika obat dalam bentuk tidak terionisasi dan lebih lipofil.

Berdasarkan konsep partisi pH yang diperlihatkan pada Gambar 1-2, diprediksikan bahwa obat

yang bersifat asam lemah akan lebih baik diabsorpsi di lambung (pH 1 sampai 2) dibandingkan

di usus bagian atas (pH 3 sampai 6) dan sebaliknya untuk obat yang bersifat basa lemah. Namun,

di epitel lambung terdapat lapisan mukosa yang tebal dengan luas permukaan yang

kecil;sebaliknya, villi usus bagian atas memiliki luas permukaan yang sangat besar (-200 m).

Dengan demikian, laju absorpsi obat dari usus akan lebih besar dibandingkan dari lambung

meskipun obat dalam bentuk ion banyak terdapat dalam usus dan sejumlah besar obat dalam

bentuk tidak terionisasi berada dalam lambung. Oleh karena itu, beberapa faktor yang

mempercepat pengosongan
lambung kemungkinan akan meningkatkan laju absorpsi obat, sedangkan beberapa faktor yang

memperlambat pengosongan lambung kemungkinan akan memiliki efek yang berlawanan,

terlepas dari sifat-sifat obat tersebut.

Obat yang dirusak oleh cairan lambung atau yang menyebabkan iritasi lambung, kadang-

kadang diberikan dalam bentuk disalut yang dapat mencegah terlarutnya sediaan di dalam cairan

lambung yang bersifat asam. Namun beberapa sediaan obat yang disalut enterik (entericoated)

juga tidak dapat terdisolusi di usus, dan sedikit sekali obat tersebut yang dapat diabsorpsi.

Sediaan Lapas-Terkontrol. Laju absorpsi obat yang diberikan sebagai tablet atau bentuk

sediaan padat oral lainnya, sebagian tergantung pada laju disolusinya dalam cairan

gastrointestinal.Faktor ini digunakan sebagai dasar sediaan lepas-berterkontrol,lepas-

diperpanjang lepas terkendali, atau kerja-dipertama yang dirancang untuk menghasilkan absorpsi

obat yang lambat dan seragam selama 8 jam atau lebih. Keuntungan utama dari pemberian

sediaan-sediaan tersebut antara lain adalah berkurangnya frekuensi pemberian obat jika
dibandingkan dengan bentuk sediaan biasa (memungkinkan peningkatan kepatuhan

pasien).Memelihara efek terapi semalaman dan menurunkan kemungkinan kejadian dan/atau

menurunkan intensitas efek yang tidak diharapkan dengan menghilangkan puncak konsentrasi

obat yang sering timbul setelah pemberian bentuk sediaan lepas-segera.

Banyak sediaan obat lepas-terkontrol memenuhi harapan diatas. Namun, sediaan-sediaan

tersebut memiliki beberapa kekurangan. Umumnya, variabilitas antarpasien, dalam hal

konsentrasi obat sistemik yang dapat tersedia dalam tubuh, akan lebih besar untuk sedian lepas

terkendali dibandingkan dengan sediaan lepas-segera. Pada pemberian obat berulang, konsentrasi

obat terendah setelah pemberian bentuk sediaan lepas-terkontrol mungkin tidak berbeda dari

pemberian obat lepas-segera, meski pun selang waktu antarkonsentrasi lebih besar untuk produk

obat lepas terkontrol yang terancang baik. Bentuk sediaan dapat saja gagal, atau terjadi

"lonjakan-dosis", sehingga mengakibatkan keracunan, karena dosis obat total yang digunakan

pada satu waktu dapat beberapa kali lebih besar dari sediaan biasa. Bentuk sediaan obat lepas

terkontrol lebih sesuai digunakan untuk obat-obat yang memiliki waktu paruh singkat (kurung

dari 4 jam).Sementara untuk obat yang memiliki waktu paruh lama (lebih dari 12 jam) jarang

dibuat lepas terkendali. Sediaan yang biasanya lebih mahal ini tidak boleh diberikan jika tidak

memberikan manfaat khusus.

Pemberian Sublingual. Absorpsi obat dari mukosa oral memi- liki keuntungan khusus untuk obat

tertentu, walaupun luas permukaan mukosa tersebut tidak besar. Sebagai contoh, ni- trogliserin efektif

jika diberikan secara sublingual, sebab bersifat non-ionik dan memiliki kelarutan dalam lipid yang sangat

tinggi. Oleh karena itu, obat akan diabsorpsi dengan sangat cepat. Nitro- gliserin juga sangat kuat.

Molekul yang harus diabsorpsi relatif sedikit untuk memberikan efek yang diharapkan. Karena aliran
vena dari mulut adalah menuju vena cava superior, obat akan terhindar dari metabolisme lintas-pertama

yang cepat di hati, yang cukup untuk mencegah adanya molekul aktif nitrogliserin di dalam sirkulasi

sistemik jika tablet sublingual tertelan.

Pemberian Rektal. Pemberian obat dengan rute rektal sangat berguna jika pemberian oral tidak dapat

dilakukan karena pasien yang tidak sadar atau muntah-keadaan yang terutama berhu. bungan dengan

anak-anak. Sekitar 50% obat yang diabsorpsi melalui rektum tidak akan melewati hati; karena itu

kemungkinan terjadinya metabolisme lintas-pertama di hati lebih kecil dibandingkan pemberian rute oral.

Walaupun demikian perlu diketahui bahwa absorpsi melalui rektum sering tidak teratur dan tidak

sempurna serta banyak obat menyebabkan iritasi terhadap mukosa rektum.

Injeksi Parenteral. Pemberian obat enteral yang utama adalah intravena, subkutan, dan intramuskular.

Ab. sorpsi subkutan dan intramuskular terjadi melalui difusi sederhana mengikuti gradien dari depot obat

ke dalam plasma. Laju absorpsinya sinya dibatasi oleh luas membran ka- piler di tempat absorpsi dan

kelarutan obat di dalam cairan saluran yang relatif besar di da lam membran endotel yang berperan pada

proses molekul yang tak beraturan, terlepas dari kelarutannya da lam lipid. Molekul yang lebih besar

seperti protein dapat mencapai sirkulasi secara lambat melalui saluran limfatik.

Pemberian obat ke dalam sistem sirkulasi darah melalui rute apa pun, kecuali rute intraarteri, dapat

meng. alami eliminasi lintas-pertama di dalam paru-paru sebe. lum terdistribusi ke bagian tubuh lainnya.

Paru-paru berperan sebagai tempat penyimpanan sementara sejum- lah zat, khususnya obat-obat yang

bersifat basa lemah dan sebagian besar tak terionisasi pada pH darah, kemungkinan melalui partisinya ke

dalam lipid. Paru-paru juga berperan sebagai suatu filter untuk partikel tertentu yang mungkin terbawa

secara
intravena dan juga berperan sebagai rute eliminasi untuk zat-zat yang mudah menguap. Intravena.

Faktor-faktor yang memengaruhi absorpsi di- hindari dengan cara pemberian injeksi intravena dalam la-

rutan berair, karena ketersediaan hayatinya terjadi secara dan sempurna. Penghantaran obat dikontrol dan

dicapai secara akurat dan cepat, hal yang tidak mungkin dicapai oleh rute pemberian lain. Dalam

beberapa kasus, seperti dalam induksi pada anestesia bedah, dosis obat tidak ditetapkan dahulu, tetapi

disesuaikan dengan respons dan kebutuhan pasien. Larutan tertentu yang bersifat iritan dapat diberikan

dengan rute intravena,

Subkutan. Banyak obat yang diberikan melalui rute injeksi subkutan, terutama obat yang memiliki sifat

tidak iritan terhadap jaringan. Obat yang bersifat iritan dapat menyebabkan nyeri, nekrosis, dan kerusakan

jaringan, Laju absorpsi setelah pemberian obat secara subkutan biasanya cukup konstan dan lambat

sehingga memungkinkan timbulnya efek yang tertunda. Sebagai contoh, laju absorpsi sediaan suspensi

insulin yang tidak larut lebih lambat jika dibandingkan dengan pemberian sediaan hormon tersebut dalam

bentuk terlarut. Pemberian senyawa vasokonstriktor dalam suatu larutan obat yang diberikan secara

subkutan juga memberikan absorpsi yang lambat. Obat-obat yang diimplantasi di bawah kulit sebagai

sediaan pelet padat menunjukan absorpsi yang lambat selama periode beberapa minggu atau bulan.

Beberapa hormon dapat diberikan lebih efektif dengan cara ini.

Intramuskular. Obat dalam larutan berair diabsorpsi sangat cepat setelah diberikan secara injeksi

intramuskular dan tergantung pada laju aliran darah di daerah pemberian injeksi. Hal ini dapat

ditingkatkan dengan pemanasan lokal, pijat, atau olahraga. Sebagai contoh, jogging dapat menyebabkan

gula darah menurun ketika injeksi insulin diberikan pada bagian paha dibandingkan jika diberikan pada

bagian tangan atau dinding abdomen, karena lari dapat meningkatkan aliran darah ke kaki secara

mencolok. Secara umum laju absorpsi setelah injeksi sediaan berair (aqueous preparation) ke bagian
deltoid atau vastus lateralis lebih cepat dibandingkan dengan injeksi pada gluteus maximus. Laju ini

terutama lebih rendah pada perempuan setelah injeksi pada gluteus maximus. Hal ini dihubungkan

dengan perbedaan distribusi lemak subkutan pada pria dan wanita, karena lemak relatif sulit meresap.

Pasien yang sangat gemuk atau sangat kurus dapat menunjukkan pola absorpsi yang tidak lazim setelah

pemberian injeksi intramuskular atau subkutan. Laju absorpsi sangat lambat dan konstan setelah

pemberian intramuskular jika obat yang diberikan dibuat dalam larutan minyak atau disuspensikan

dengan pembawa depo. Antibiotik sering diberikan dengan cara yang terakhir ini. Obat-obat yang bersifat

sangat iritan dengan pemberian subkutan dapat diberikan dengan rute intramuscular.

Intrarteri. Dalam keadaan tertentu obat diberikan dalam bentuk injeksi langsung ke dalam saluran arteri,

untuk melokalisasi efek obat dalam jaringan atau organ tertentu sebagai contoh, pada pengobatan tumor

hati atau kanker di kepalacher. Zat-zat diagnostik sering diberikan dengan cara ini. Pemberian intraarteri

memerlukan penanganan yang sangat hati-hati dan hanya boleh dilakukan oleh ahlinya. Efek lintas-

pertama dan pembersihan di paru-paru tidak terjadi jika obat diberikan dengan rute ini.

Intrarteri. Dalam keadaan tertentu obat diberikan dalam bentuk injeksi langsung ke dalam saluran arteri,

untuk melokalisasi efek obat dalam jaringan atau organ tertentu sebagai contoh, pada pengobatan tumor

hati atau kanker di kepalacher. Zat-zat diagnostik sering diberikan dengan cara ini. Pemberian intraarteri

memerlukan penanganan yang sangat hati-hati dan hanya boleh dilakukan oleh ahlinya. Efek lintas-

pertama dan pembersihan di paru-paru tidak terjadi jika obat diberikan dengan rute ini.

Intratekal. Sawar darah-otak dan sawar darah-cairan serebrospinal sering kali menahan atau

memperlambat masuknya obat ke dalam SSP. Oleh karena itu, jika efek obat diharapkan bersifat lokal

dan cepat pada selaput otak atau aksis serebrospinal seperti pada anastesia spinal atau infeksi akut pada
SSP, obat kadangkadang diinjeksikan langsung ke dalam ruang spinal subarak noid. Demikian pula pada

kasus tumor otak, dapat diobati dengan cara pemberian langsung ke dalam intraventrikular.

Absorpsi Pulmonal Obat yang tidak menyebabkan iritasi, mengandung gas dan mudah menguap dapat

terhisap dan ter absorpsi melalui epitel paru-paru dan melalui membran muka saluran pernapasan.

Dengan rute pulmonal, obat lebih mudah memasuki aliran darah sebab luas permukaan paru-paru sangat

besar. Prinsip absorpsi dan ekskresi anestetik dan terapi gas akan dibahas pada Bab 13, 14, dan 16.

Selain itu, larutan obat dapat diatomisasi dan tetesan halus di udara (aerosol) dihirup. Keuntungan rute

ini adalah absorpsi yang cepat ke dalam darah, dapat terhindar dari kehilangan akibat efek lintas-pertama

di hati, dan untuk kasus penyakit paru-paru, obat diberikan pada daerah tempat kerjanya. Sebagai contoh,

obat dapat diberikan dengan cara ini untuk penanganan asma bronkial (lihar Bab 28). Kerugian di masa

silam seperti sulitnya pengaturan dosis obat dan sulitnya metode pemberian telah diatasi dengan

kemajuan dalam teknologi, termasuk meng. gunakan inhaler yang dilengkapi dengan pengukur dosis dan

alat aerosol yang terandalkan.

Absorpsi di paru-paru merupakan rute penting bagi masuk. nya obat tertentu yang disalahgunakan atau

masuknya zat toksik dari lingkungan dalam komposisi dan sifat fisik yang bervariasi Reaksi lokal dan

sistemik terhadap alergen dapat terjadi akibat inhalasi

Pemakaian Topikal. Membran Mukosa. Obat yang digunakan pada membran mukosa konjungtiva,

nasofaring, orofaring, vagina, usus besar, uretra, dan saluran urin, biasanya bertujuan untuk efek lokal.

Kadangkala, seperti pada pemakaian hormon antidiuretik sintetik pada mukosa hidung, tujuan

pemakaiannya adalah sistemik. Absorpsi melalui membran mukosa mudah terjadi. Pada kenyataannya,

anestetik lokal yang digunakan untuk efek lokal kadang-kadang diabsorpsi sangat cepat sehingga

menghasilkan efek sistemik.


Kulit. Hanya sedikit obat yang dapat berpenetrasi ke kulit secara utuh. Absorpsi melalui kulit dipengaruhi

oleh luas permukaan tempat obat dioleskan, dan kelarutannya di dalam lipid, karena epidermis berlaku

sebagai sawar lipid (lihat Bab 65). Lapisan dermis dapat dilewati secara bebas oleh banyak zat terlarut;

akibatnya, absorpsi sistemik obat lebih mudah terjadi melalui kulit yang terkikis, terbakar dan kulit

telanjang. Keadaan pera dangan dan kondisi lain yang meningkatkan aliran darah di dalam kulit juga

dapat meningkatkan absorpsi. Efek toksik jepa dapat terjadi setelah absorpsi obat yang bersifat sangat

larute mak (seperti insektisida larut-lemak dalam pelarut organik) me lewati kulit. Absorpsi melalui kulit

dapat ditingkatkan dengan membuat suspensi obat di dalam pembawa minyak dan mengo sok sediaan

tersebut di atas kulit. Karena kulit yang basah lebih permeabel daripada kulit yang kering, bentuk sediaan

dapat dimodifikasi atau dapat digunakan pembalut oklusif untuk mem. bantu absorpsi. Sediaan plester

topikal lepas-terkontrol makin banyak tersedia. Plester mengandung skopolamin yang ditempel di

belakang telinga, tempat suhu tubuh dan aliran darah di seki tarnya membantu meningkatkan absorpsi

obat, melepaskan obat ke dalam aliran sistemik dan melindungi pemakai dari mabuk perjalanan. Terapi

penggantian estrogen secara transdermal menghasilkan konsentrasi estradiol yang rendah sambil memini

malkan kadar metabolit estron yang tinggi seperti yang teramati setelah pemberian oral.

Mata Pemakaian obat topikal pada mata dimaksudkan terutama untuk tujuan lokal (lihat Bab 66).

Absorpsi sistemik yang di hasilkan akibat adanya aliran melalui saluran nasolakrimal umumnya tidak

dikehendaki. Selain itu, obat yang diabsorpul setelah aliran tersebut tidak mengalami eliminasi lintas-

pertama di hati. Efek farmakologi sistemik yang tidak diharapkan dapat terjadi jika antagonis reseptor B-

adrenergik diberikan dalam bentuk sediaan obat tetes mata. Efek lokal biasanya memerlukan absorpsi

obat melalui kornea sehingga adanya infeksi atau tra. ma di kornea dapat mempercepat absorpsi. Sistem

penghantaran oftalmik yang memungkinkan kerja obat lebih lama (misalnya bentuk sediaan suspensi dan

salep) merupakan tambahan yang berguna dalam terapi oftalmik. Sediaan okular yang dikembang kan
baru-baru ini menghasilkan pelepasan obat yang lambat dan kontinu dalam konsentrasi rendah. Sejumlah

kecil obat hilang akibat sistem drainase; oleh karena itu efek samping sistemik diminimalkan

Bioekuivalensi. Obat tidak diberikan dalam bentuk utuh, tetapi diformulasi menjadi bentuk sediaan obat.

Produk obat dianggap ekuivalen secara farmasetik jika obat-obat tersebut mengandung zat aktif yang

sama dan memiliki kekuatan atau konsentrasi bentuk sediaan, dan rute pemberian yang identik. Dua

produk obat yang ekuivalen secara farmasetik dianggap bioekuivalen jika laju dan tingkat ketersediaan

hayati zat aktif kedua produk tersebut tidak berbeda secara signifikan di bawah kondisi pengu jian yang

sesuai. Dahulu, bentuk sediaan obat dari pabrik yang berbeda dan bahkan lot yang berbeda dari pabrik

yang sama kadang memiliki ketersediaan hayati yang berbeda. Perbedaan ini terlihat terutama pada

sediaan oral untuk obat yang sukar larut dan absorpsinya lambat. Ini disebabkan oleh perbedaan dalam

bentuk kristal, ukuran partikel atau sifat fisik lainnya pada obat yang tidak terlalu ketat diawasi selama

proses formulasi dan produksi sediaan. Faktor-faktor di atas memengaruhi waktu han cursediaan dan

disolusi obat tersebut sehingga memengaruhi pula laju dan tingkatnya absorpsi obat.

Kecenderungan terjadinya non-ckuivalensi pada sediaan obat yang berbeda telah menjadi perhatian.

Persyaratan peraturan yang diperketat menemukan sejumlah kecil kasus non-cuiva lensi sediaan obat, jika

ada, diantara produk-produk obat yang terdaftar. Signifikansi non-ckuivalensi sediaan obat yang mung

kin akan dibicarakan dalam hubungannya dengan tata nama obat dan pilihan nama obat yang tertulis di

dalam resep dokter (lihat Lampiran 1).

DISTRIBUSI OBAT

Setelah absorpsi atau pemberian obat secara sistemik ke dalam darah, suatu obat akan terdistribusi ke

dalam cairan interstisial dan cairan intrasel. Proses ini mengikutkan sejumlah faktor fisiologis, terutama

sifat fisikokimia setiap obat. Curah jantung, aliran darah regional, dan volume jaringan menentukan laju

penghantaran dan jumlah obat yang didistribusikan ke dalam jaringan. Hati, ginjal, otak, dan organ lain
yang menerima aliran dengan akan menerima sebagian besar obat lebih awal, sementara penghantaran ke

otot, sebagian besar visera, kulit, dan jaringan lipid terjadi lebih lambat. Fase distribusi yang kedua ini

terjadi dalam hitungan menit sampai beberapa jam hingga terjadinya kesetimbangan konsentrasi obat di

dalam jaringan dan di dalam darah. Fase kedua ini juga melibatkan Traksi massa tubuh yang jauh lebih

besar di bandingkan fase awal dan umumnya bertanggung jawab untuk sebagian besar obat yang

terdistribusi secara ekstravaskular. Kecuali pada otak, difusi obat ke dalam cairan interstisial terjadi

sangat cepat karena membran kapiler endotelium memiliki sifat yang sangat permeabel. Dengan

demikian, distribusi obat ke dalam jaringan ditentukan oleh partisi obat antara darah dan jaringan

tersebut. Kelarutan obat dalam lemak merupakan penentu ambilan tentu ambilan yang penting seperti

halnya gradien pH antara cairan intrasel dan ekstrasel untuk obat yang bersifat basa lemah atau asam

lemah. Namun secara umum, pemerangkapan ion yang disebabkan faktor basa lemah tidaklah besar,

karena gradien pH kecil (7,0 dengan 7,4). Faktor yang lebih pen. ting pada partisi darah : jaringan adalah

ikatan relatif obat dengan protein plasma dan makromolekul jaringan.

PROTEIN PLASMA. Banyak obat berikatan dengan protein plasma, sebagian besar berikatan dengan

albumin plasma untuk obat yang bersifat asam dan dengan asam glikoprotein untuk obat yang bersifat

basa; secara umum, ikatan dengan protein plasma lainnya terjadi dalam jumlah yang jauh lebih kecil.

Ikatan ini biasanya bersifat reversibel; kadang-kadang terjadi ikatan kovalen pada obat yang reaktif f

seperti pengalkilasi

Fraksi jumlah obat yang berikatan dengan plasma di tentukan oleh konsentrasi obat, afinitasnya dengan

tempat ikatan, dan jumlah tempat ikatan. Hubungan aksi-massa sederhana menentukan konsentrasi obat

yang terikat dan yang bebas (lihat Bab 2). Pada konsentrasi obat yang rendah (lebih kecil dari tetapan

disosiasi ikatan proteinplasma), fraksi obat terikat merupakan fungsi dari konsentrasi tempat ikatan dan

tetapan disosiasi. Pada konsentrasi obat yang tinggi (lebih besar dari tetapan disosiasi), fraksi obat terikat

merupakan fungsi dari jumlah tempat ikatan dan konsentrasi obat. Oleh karena itu, ikatan dengan plasma
merupakan proses yang dapat jenuh dan nonlinier, Namun, untuk sebagian besar obat, rentang terapeutik

konsentrasi plasma terbatas, sehingga fraksi obat yang terikat dan yang tidak terikat relatif konstan. Nilai

persentase yang ditunjukkan pada Lampiran II hanya mengacu pada kondisi ini kecuali dinyatakan lain.

Jumlah ikatan obat dengan plasma dapat pula dipengaruhi oleh faktorfaktor yang berhubungan dengan

penyakit . Sebagai con toh, hipoalbuminemia akibat penyakit hati yang parah atau sindrom nefrotik

menyebabkan berkurangnya ikatan dan meningkatnya fraksi tidak terikat. Selain itu, kondisi-kondisi yang

menyebabkan respons reaksi fase akut (kanker, artritis, infark jantung, penyakit Crohn) mengakibatkan

peningkatan jumlah :,-asam glikoprotein dan meningkatkan ikatan obat yang bersifat basa.

Karena ikatan obat dengan protein plasma agak selektif, obat-obat yang memiliki sifat fisikokimia yang

mirip dapat saling berkompetisi satu sama lain dan dengan zat endogen untuk mendapatkan tempat

berikatan tersebut. Misalnya penggantian bilirubin tak-terkonjugasi dari pengikatannya pada albumin oleh

sulfonamida atau de ngan anion organik lainnya diketahui meningkatkan risiko ensefalopati bilirubin

pada bayi yang baru lahir. Di masa lalu, kekhawatiran mengenai toksisitas obat atas dasar kompetisi

serupa antarobat untuk menduduki tempat ikatan tertentu dilebih-lebihkan. Karena respons obat (baik

berkhasiat maupun toksik) merupakan fungsi dari konsentrasi obat tidak terikat, konsentrasi obat tak-

terikat pada keadaan tunak akan berubah hanya jika laju pemberian (dosing rate) atau bersihan (clearance)

obat takterikat berubah (lihat Persamaan (1-1) dan pembahasan berikutnya pada bab ini). Oleh karena itu,

konsentrasi obat tak-terikat pada keadaan tunak tidak tergantung pada jumlah ikatannya dengan protein.

Namun, untuk obat yang memiliki indeks terapi sempit, perubahan sementara konsentrasi obat tak-terikat

yang terjadi segera setelah pemberian dosis obat yang digantikan sebaiknya diperhatikan Masalah yang

lebih umum terjadi akibat kompetisi obatobat untuk mendapatkan tempat ikatan protein plasma adalah

kesalahan dalam menafsirkan konsentrasi obat yang terukur di dalam plasma, karena sebagian besar asai

tidak membedakan obat bebas dan yang terikat.

Penting diketahui bahwa terikatnya obat pada protein plasma membatasi konsentrasinya dalam jaringan

dan di tempat kerja obat, karena hanya obat tak-terikat saja yang terdapat di dalam kesetimbangan
antarmembran. Dengan demikian, setelah kesetimbangan distribusi tercapai, konsentrasi obat yang aktif

dan tidak terikat di dalam air intrasel sama besarnya dengan obat di dalam plasma kecuali jika melibatkan

transpor yang diperantarai pembawa. Terikatnya obat juga membatasi filtrasi obat di glomerulus, karena

proses ini tidak segera mengubah konsentrasi obat bebas di dalam plasma (air juga difiltrasi). Namun

umumnya ikatan obat dengan protein plasma tidak membatasi sekresi tubulus di ginjal atau

biotransformasi, karena proses ini menurunkan konsentrasi obat bebas, dan ini dengan cepat diikuti oleh

disosiasi kompleks obat-protein. Transpor dan metabolisme obat juga dibatasi oleh ikatan di plasma

kecuali jika ini terjadi dengan sangat efisien dan bersihan obat yang dihitung berdasarkan obat bebas,

melampaui aliran plasma di organ. Dalam keadaan ini, ikatan obat pada protein plasma dapat dipandang

sebagai mekanisme transpor yang membantu eliminasi dapat melalui penghantaran obat ke tempat

eliminasi.

IKATAN DI JARINGAN. Banyak obat terakumulasi di dalam jaringan dalam konsentrasi yang lebih

besar dibandingkan dengan yang terakumulasi di dalam cairan ekstrasel dan di dalam darah. Sebagai

contoh, pada pemberian jangka panjang obat anti malaria kuinakrin, konsentrasi obat di di hati dapat

beberapa ribu kali lebih tinggi dibandingkan dalam darah. Akumulasi ini mungkin disebabkan oleh .

transpor aktif atau, yang lebih umum, akibat ikatan. Ikatan obat de ngan jaringan biasanya terjadi dengan

konstituen sel seperti protein, fosfolipid, atau protein inti dan umumnya ikatan ini reversibel. Sejumlah

besar obat di dalam tubuh dapat berikatan dengan cara ini dan berfungsi sebagai res. ervoir yang

memperpanjang kerja obat pada jaringan tersebut atau pada tempat yang jauh yang dicapai melalui aliran

darah.

Lipid sebagal Suatu Reservoir. Banyak obat-obatan yang memiliki sifat larut-lipid disimpan di dalam

lipid netral. Pada orang gemuk, kadar lipid dalam tubuh dapat mencapai 50%, dan bahkan pada kondisi

kelaparan, lipid di dalam tubuh mencapai sekitar 10 bobot badan; oleh karena itu, lipid dapat berperan

sebagai reservoir yang penting untuk obat larut-lipid. Sebagai contoh, sebanyak 70% tiopental barbiturat
yang sangat larut lipid dapat berada di dalam lipid tubuh tiga jam setelah pemberian. Namun, lipid

merupakan penyimpan yang relatif stabil karena memiliki aliran darah yang relatif rendah.

Tulang. Antibiotik tetrasiklin (dan zat pengkelation logam bervalensi dua lainnya) dan logam berat dapat

terakumulasi di dalam tulang melalui adsorpsi ke permukaan kristal tulang dan pada akhirnya menyusup

ke dalam kisi-kisi kristal tersebut. Tulang dapat berperan sebagai tempat penyimpanan zat racun yang

dilepaskan secara lambat, seperti timbal atau radium ke dalam darah; oleh karena itu, efeknya bisa jauh

bertahan lama setelah pemajanan dihentikan. Kerusakan lokal pada medula tulang juga dapat

menyebabkan berkurangnya aliran darah dan perpanjangan efek penyimpanan karena zat toksik tersebut

menjadi terisolasi dari peredaran darah; di kemudian hari, hal ini dapat meningkatkan kerusakan lokal

secara langsung pada tulang. Akibatnya terjadi lingkaran setan, semakin besar pemajanan terhadap zat

toksik, semakin lambat laju eliminasi,

Redistribusi. Berhentinya efek obat biasanya disebabkan oleh metabolisme dan ekskresi, tetapi dapat

juga disebab kan oleh proses redistribusi obat dari tempat kerjanya ke jaringan atau tempat dalam

penghentian efek obat terutama jika obat yang sa distribusi merupakan faktor ngat larut-lipid yang bekerja

di otak atau sistem kardiovaskular diberikan dengan cepat melalui injeksi intravena atau dengan inhalasi.

Contoh yang baik untuk kasus ini adalah pada pemberian injeksi intravena anestetik tiopental, suatu obat

yang sangat larut dalam lipid. Karena jaringan lain, aliran darah ke otak sangat tinggi, obat mencapai

konsentrasi maksimum di otak dalam waktu satu menit setelah pemberian injeksi intravena. Setelah

pemberian injeksi dihentikan, konsentrasi dalam plasma menurun begitu tiopental berdifusi ke dalam

seperti jaringan otot. Konsentrasi obat di dalam otak mengikuti konsentrasi obat di dalam plasma, karena

hanya sedikit obat yang berikatan dengan konstituen otak. Oleh sebab itu, onset anestesi cepat, tetapi

hilangnya efek juga cepat. Keduanya berkaitan langsung dengan konsentrasi obat di dalam otak.
SISTEM SARAF PUSAT DAN CAIRAN SEREBROSPINAL. Distribusi obat ke dalam SSP dari

darah merupakan proses yang unik, karena adanya sawar fungsional yang menahan obat masuk ke tempat

yang kritis ini. Salah satu alasannya yaitu bahwa sel-sel endotel kapiler di otak mempunyai pertautan

sempit dan kontinu, sehingga penetrasi obat ke dalam otak tergantung pada transpor transelular dibanding

paraselular antarsel. Sifat unik sel glia perikapiler ini juga berperan dalam fungsi sawar darah-otak. Pada

pleksus koroid, terdapat sawar darah-cairan serebrospinal (CSS) yang mirip, perbedaannya adalah bahwa

yang dihubungkan oleh taut ini adalah sel epitel dan bukan sel endotel. Akibatnya, kelarutan dalam lipid

bagian obat yang tidak terionisasi dan tidak terikat menjadi penentu penting masuknya obat ke dalam

otak; semakin lipofil suatu obat, semakin mudah ia melewati sawar darah-otak. Keadaan ini sering

digunakan dalam perancangan obat untuk mengubah distribusinya ke otak; 'sebagai contoh, konsentrasi

antihistamin nonsedatif di otak jauh lebih rendah dibandingkan dengan obat lain dari kelas yang sama.

Selain itu juga makin yang menunjukkan bahwa obat dapat berpenetrasi ke dalam SSP melalui transporter

ambilan spesifik yang secara normal terlibat dalam transpor nutrisi dan senyawa endogen dari darah ke

dalam otak dan CSS Baru-baru ini telah ditemukan bahwa faktor penting lain yang berpengaruh dalam

fungsi sawar darah-otak, juga melibatkan transpoter membran, yaitu dalam hal ini. pembawa efluks yang

terdapat di dalam sel endotel kapiler P-glikoprotein merupakan faktor paling penting dalam hal ini dan

menjalankan fungsinya dengan tidak membiarkan obat melakukan lintas lokasi melintasi sel endotel dan

juga dengan mengeluarkan setiap obat yang memasuki otak dengan cara lain. Transpor semacam ini

terjadi di otak dan jaringan lain yang juga mengekspresikan P-glikoprotein (seperti pada testis), menjadi

kannya tempat berlindung farmakologis yang memiliki konsentrasi obat lebih rendah dari yang

dibutuhkan untuk mencapai efek yang dikehendaki, meskipun konsentrasi obat di dalam darah

mencukupi. Keadaan ini timbul pada penggunaan inhibitor HIV protease (Kim et al., 1998) dan juga

dengan loperamida suatu opiat yang kuat dan aktif secara sistemik dan tidak memiliki efek terhadap pusat

seperti opioid lain (lihat Bab 23). Transporter efluks yang secara aktif mensekresi obat dari CSS ke dalam
darah juga terdapat di pleksus koroid. Terlepas dari apakah suatu obat dipompa keluar SSP oleh

transporter spesifik atau berdifusi kembali ke dalam darah, obat juga keluar dari sistem saraf pusat

bersama ruahan aliran CSS melalui villi arachnoid. Pada umumnya fungsi sawar darah-otak terpelihara

dengan baik. Meski demikian, inflamasi meninpen geal dan ensefalik akan meningkatkan permeabilitas

lokal. Sawar darah-otak juga berpotensi dimodulasi untuk membantu pengobatan infeksi atau tumor di

dalam otak. Namun, sampai sekarang pendekatan tersebut belum menunjukkan kegunaan secara klinis.

TRANSFER OBAT KE DALAM PLASENTA. Kemungkinan terkirimnya obat ke dalam plasenta

merupakan hal yang penting, karena obat dapat menyebabkan cacat bawaan. Pemberian obat sesaat

sebelum melahirkan dapat memberikan efek samping pada bayi yang baru dilahirkan. Kelarutan dalam

lipid, jumlah ikatan plasma, serta tingkat ionisasi asam lemah dan basa lemah merupakan faktor umum

yang penting, sebagaimana dibahas sebelumnya. Plasma janin sedikit lebih asam dari pada plasma ibunya

(pH 7,0 sampai 7,2 dengan 7,4), sehingga pemerangkapan ion pada obat yang bersifat basa akan terjadi.

Seperti di dalam otak P-glikoprotein ditemukan dalam plasenta dan berfungsi sebagai pembawa keluar zat

yang berpotensi toksik terhadap janin. Tetapi pandangan bahwa plasenta merupakan sawar absolut bagi

obat yang akan masuk tidaklah tepat. Pandangan yang lebih mendekati adalah bahwa janin dapat

dimasuki oleh obat yang digunakan oleh ibunya.

EKSKRESI OBAT

Obat dieliminasi dari tubuh dalam bentuk molekul utuh atau bentuk metabolitnya melalui proses ekskresi.

Organ ekskresi selain paru-paru, mengeliminasi senyawa polar lebih efisien dibanding senyawa yang

memiliki kelarutan tinggi dalam lipid. Karena itu obat yang larut dalam lipid belum dapat dieliminasi

sampai termetabolisme menjadi senyawa yang lebih polar.


Ginjal adalah organ yang paling penting untuk ekskresi obat dan metabolitnya. Senyawa yang diekskresi

melalui feses terutama adalah senyawa yang tidak diabsorpsi dari pemberian oral atau metabolit yang

diekskresi melalui empedu atau diekresi langsung ke dalam saluran usus dan tidak direabsorpsi. Ekskresi

obat melalui air susu juga penting, bukan karena jumlahnya yang besar, tetapi karena obat yang diekskresi

dapat menjadi sumber efek farmakologi yang tidak dikehendaki terutama pada bayi yang menyusu.

Ekskresi melalui paru-paru terutama untuk eliminasi anestetik berupa gas dan zat yang menguap (lihat

Bab 13, 14 dan 16): kadang-kadang ada obat atau metabolit dalam jumlah kecil yang diekskresi melalui

rute ini.

EKSKRESI GINJAL. Ekskresi obat dan metabolitnya melalui urin mengikuti tiga tahapan, yaitu: filtrasi

glomerulus sekresi aktif melalui tubulus, dan reabsorpsi pasif di tubulus ginjal. Adanya perubahan di

dalam fungsi ginjal akan berpengaruh terhadap ketiga proses tersebut. Ginjal belum berfungsi baik pada

bayi yang baru lahir, tetapi kemudian fungsinya tumbuh pesat pada bulan-bulan awal setelah lahir.

Selama masa dewasa terjadi penurunan fungsi ginjal secara perlahan, sekitar 1% per tahun, sehingga pada

lanjut usia, biasanya terjadi kerusakan ginjal yang serius.

Jumlah obat yang masuk ke dalam lumen tubulus melalui proses filtrasi sangat tergantung pada laju

filtrasi glomerulus dan jumlah obat yang berikatan dengan protein plasma; dan hanya obat yang tidak

berikatan yang dapat mengalami filtrasi. Pada bagian proksimal tubulus ginjal sekresi aktif tubulus yang

diperantarai dapat juga menambah jumlah obat ke dalam cairan tubulus. Transporter seperti P-

glikoprotein dan protein tipe 2 penyebab resistensi terhadap berbagai obat (MRP2) yang terletak di bagian

tepi dan sisi ujung membran adalah penentu proses sekresi senyawa anion amfipatik dan metabolit

terkonjugasi (seperti produk adisi glukuronida, sulfat, dan glutation). Sistem transpor yang mirip tetapi

lebih selektif untuk obat-obatan golongan kation organik (OCDs) ikut terlibat dalam sekresi senyawa basa

organik. Transporter membran terutama yang berlokasi di tubulus ginjal bagian distal, juga berperan
dalam proses reabsorpsi aktif dari lumen tubulus kembali ke dalam sirkulasi sistemik. Namun,

kebanyakan reabsorpsi terjadi melalui difusi nonionik.

Pada bagian tubulus proksimal dan distal, asam dan basa lemah dalam bentuk tak terionisasi akan

direabsorpsi secara pasif. Gradien konsentrasi untuk difusi balik terjadi karena adanya reabsorpsi air

bersama Na' dan ion anorganik lainnya. Karena sel-sel tubulus ginjal kurang permeabel untuk bentuk

terionisasi elektrolit lemah, proses reabsorpsi pasifnya tergantung pada pH. Jika urin di tubulus dibuat

lebih basa, asam-asam lemah diekskresi lebih cepat dan lebih banyak, terutama karena senyawa tersebut

lebih terionisasi dan reabsorpsi pasif menurun. Jika urin di tubulus dibuat lebih asam, ekskresi asam

lemah menurun. Perubahan pH urin menjadi asam atau basa mempunyai dampak berlawanan dalam

ekskresi obat basa lemah. Pada penanganan keracunan obat, ekskresi beberapa obat dapat dipercepat

dengan pembasaan atau pengasaman urin yang sesuai. Perubahan pH urin dapat ber akibat pada

perubahan eliminasi obat yang signifikan, tergantung pada besar dan lamanya perubahan pH tersebut

serta kontribusi reabsorpsi pasif yang tergantung pH pada eliminasi total obat Efek yang paling besar

untuk asam lemah dan basa lemah terjadi pada nilai pKa dalam rentang pH 'urin (5 sampai 8). Namun,

pembasaan urin dapat menghasilkan peningkatan ekskresi asam yang relatif kuat seperti salisilat sebesar 4

sampai 6 kali jika pH urin berubah dari 6,4 menjadi 8,0. Fraksi obat tak terionisasi akan berkurang dari

1% sampai 0,04%.

EKSKRESI EKSKRESI EMPEDU DAN FESES. Sistem transpor yang mirip dengan di ginjal juga

terdapat pada membran kanalikuli hepatosit, dan transpor ini secara aktif mensekresikan obat dan

metabolit ke dalam empedu. P-glikoprotein mentrans por kebanyakan obat larut-lipid amfipatik,

sedangkan MRP2 terutama terlibat dalam proses sekresi metabolit obat terkonjugasi (konjugat glutation

beberapa sulfat). MRP2 juga berperan penting dalam prosenyawa endogen, dan sindrom Dubin-John son

disebabkan oleh tidak adanya transporter ini akibat tge netik. Sekresi aktif kation organik di empedu juga

melibatkan transporter. Akhirnya, obat dan metabolit yang berada dalam empedu, dilepas ke dalam usus
selama proses pencernaan berjalan. Karena transporter sekresi seperti P-glikoprotein juga diekspresikan

pada membran apikal di enterosit, sekresi langsung obat dan metabolit dapat terjadi dari aliran darah ke

lumen usus. Setelah itu, obat dan metabolit dapat diabsorpsi kembali ke dalam tubuh dari usus. Untuk

metabolit terkonjugasi seperti glukuronida, proses ini mungkin memerlukan hidrolisis enzimatik oleh

mikroflora usus. Daur ulang enterohepatik tersebut, jika ekstensif dapat memperpanjang keberadaan dan

efek obat dalam tubuh secara signifikan sebelum dieliminasi melalui jalur lainnya.

EKSKRESI MELALUI RUTE Lainnya. Ekskresi obat ke dalam keri ngat, air liur dan air mata secara

kuantitatif tidak terlalu penting. Eliminasi melalui rute ini sangat dipengaruhi oleh difusi obat larut-lipid

yang tak terionisasi melalui sel epitel kelenjar tersebut dan tergantung pH. Obat yang diekskresi melalui

air liur masuk ke mulut dan biasanya tertelan. Konsentrasi obat di dalam air liur berbanding lurus dengan

konsentrasi obat di dalam plasma darah. Oleh karena itu air liur dapat menjadi cairan biologis yang

berguna untuk penetapan konsentrasi obat jika ada masalah atau kesulitan mengambil darah. Prinsip yang

sama diterapkan untuk ekskresi obat di dalam air susu. Karena air susu lebih asam dari pH plasma,

senyawa basa dapat terkonsentrasi lebih besar di dalam air susu dan konsentrasi senyawa asam di dalam

air susu akan lebih rendah daripada dalam plasma. Senyawa non-elektrolit seperti etanol dan urea, mudah

masuk ke dalam air susu dan akan mencapai konsentrasi yang sama seperti di dalam plasma, tidak

tergantung pada phl air susu. Walaupun ekskresi ke dalam rambut dan kulit juga tidak penting secara

kuantitatif, metode deteksi obat yang sensitif di dalam jaringan ini penting dalam bidang forensic.

METABOLISME OBAT

Sifat lipofilik obat yang mendorong pelintasannya melewati membran biologis dan kemudian masuk ke

tempat kerja, merintangi ekskresi obat dari dalam tubuh. Ekskresi obat utuh melalui ginjal hanya sedikit

dibandingkan keseluruhan eliminasi sebagian besar senyawa obat, karena senyawa lipofil yang difiltrasi
melalui glomerulus akan direabsorpsi kembali dalam jumlah besar ke dalam sirkulasi darah selama

perlintasannya melewati tubulus ginjal. Oleh karena itu, metabolisme obat dan xenobiotic lain menjadi

metabolit yang lebih hidrofil penting untuk proses eliminasi obat dari tubuh dan penghentian aktivitas

biologisnya. Secara umum, reaksi biotransformasi menjadikan metabolit lebih polar, inaktif, dan siap

diekskresi ke luar tubuh. Namun dalam beberapa kasus, terbentuk me. tabolit dengan aktivitas biologis

atau sifat toksik yang kuat. Banyak biotransformasi metabolik yang menghasilkan metabolit inaktif obat

juga menghasilkan metabolit yang memiliki aktivitas biologis berupa senyawa endogen. Uraian

berikutnya khusus membicarakan biotransformasi obat tetapi dapat diterapkan secara umum untuk

metabolisme semua senyawa xenobiotik dan juga sejumlah senyawa endogen seperti steroid, vitamin, dan

asam lemak.

METABOLISME FASE I DAN FASE II. Reaksi biotransformasi obat diklasifikasikan menjadi reaksi

fungsionalisasi fase I. dan reaksi biosintesis (konjugasi) fase II. Reaksi fase 1 merupakan pemasukan

gugus fungsi pada molekul induk. Reaksi fase ini biasanya berakibat pada hilangnya aktivitas

farmakologis obat, namun ada juga yang tetap memperlihatkan berlangsungnya aktivitas atau peningkatan

aktivitas. Pada sedikit kasus, metabolisme dikaitkan dengan perubahan aktivitas farmakologis. Prodrug

adalah senyawa yang tidak aktif secara farmakologis, yang dirancang untuk memaksimalkan jumlah

spesies aktif yang mencapai tempat kerjanya. Prodrug yang tidak aktif segera diubah menjadi metabolit

yang aktif secara biologis, sering kali melalui hidrolisis ester atau ikatan amida. Jika tidak cepat

terekskresi ke dalam urin, hasil reaksi biotransfomasi fase I akan bereaksi dengan senyawa endogen

membentuk konjugat yang sangat larut air.

Reaksi konjugasi fase II menyebabkan pembentukan ikatan kovalen antara gugus fungsi pada senyawa

induk atau metabolit fase 1 dengan turunan endogen asam glukoronat, sulfat, glutation, asam-asam amino,

atau asetat. Konjugat yang sangat polar ini umumnya tidak aktif dan dengan cepat dickskresi melalui urin
dan feses. Contoh konjugat aktif adalah metabolit morfin yaitu 6-glukuronida yang memiliki efek

analgesik yang lebih kuat dibanding dengan senyawa induknya.

TEMPAT BIOTRANSFORMASI. Konversi metabolik obat umumnya bersifat enzimatik. Sistem enzim

yang terlibat dalam biotransformasi obat terletak di hati, walaupun setiap jaringan yang diperiksa juga

mempunyai aktivitas metabolisme. Organ lain yang mempunyai kapasitas metabolisme signifikan

meliputi saluran gastrointestinal, ginjal, dan paru-paru. Setelah pemberian obat melalui jalur

nonparenteral, sejumlah dapat mengalami inaktivasi secara metabolik di epitelium usus kecil atau di hati

sebelum obat mencapai aliran darah. Metabolisme lintaspertama ini secara signifikan membatasi

ketersediaan oral obat-obat yang metabolismenya tinggi. Pada sel tertentu, sebagian besar aktivitas

metabolisme obat terjadi di dalam retikulum endoplasma dan di dalam sitosol, meskipun biotransformasi

obat juga dapat terjadi di dalam mitokondria, selaput inti sel, dan membran plasma. Pada perlakuan

homogenisasi dan sentrifugasi diferensial jaringan, retikulum endoplasma akan pecah, dan fragmen-

fragmen membran membentuk mikrovesikel, disebut sebagai mikrosoma. Oleh karena itu, enzim yang

melakukan metabolisme obat di dalam endoplasma sering disebut sebagai enzim mikrosoma. Sistem

enzim yang terlibat dalam reaksi fase I terutama terletak di retikulum endoplasma, sedang. kan sistem

enzim konjugasi fase II terutama di sitosol. Sering kali obat yang mengalami biotransformasi melalui

reaksi fase 1 di dalam retikulum endoplasma terkonjugasi di tempat yang sama atau di dalam fraksi

sitosol pada sel yang sama.

SISTEM SITOKROM P450 MONOOKSIGENASE. Enzim sitokrom P450 adalah kelompok besar

protein hemetiolat yang terdistribusi luas di semua mahluk hidup. Enzim-enzim ini terlibat dalam metabo

lisme sejumlah besar senyawa endogen dan eksogen yang beragam secara kimia ini seperti obat, zat-zat

kimia lingkungan, dan xenobiotik lain. Enzim tersebut biasanya berfungsi sebagai oksidase terminal di
dalam rantai transfer-elektron multikomponen yang memberikan satu atom oksigen molekular ke dalam

substrat sementara atom oksigen lain menjadi bagian air. Di tingkat mikrosoma, elektron dipasok dari

NADPH melalui sitokrom P450 reduktase yang berikatan erat dengan sitokrom P450 pada membran lipid

retikulum endoplasma halus. Sitokrom P450 mengkatalisis banyak reaksi, termasuk hidroksilasi cincin

aromatik dan rantai samping: N., 0, dan S-dealkilasi: N-oksidasi: N-hidroksilasi; sulfoksidasi; deaminasi;

dehalogenasi; dan desulfurasi. Rincian dan contoh metabolisme yang diperantarai oleh sitokrom P450

ditunjukan pada Tabel 1-2. Sejumlah reaksi reduksi juga dikatalisis oleh enzim-enzim ini, umumnya

berjalan pada kondisi tekanan oksigen yang rendah.

Dari sekitar 1000 sitokrom P450 yang dikenal, sekitar 50 ma. cam aktif berfungsi dalam tubuh

manusia, dan dibagi dalam beberapa kategori menjadi 17 famili dan subfamili menurut kemi. ripan urutan

asam amino pada protein yang diprediksi. Singkatan istilah CYP digunakan untuk identifikasi. Urutan

yang memiliki lebih dari 40% identik menjadi bagian dari famili yang sama, di tandai dengan nomor

Arab; di dalam satu famili, urutan yang me. miliki lebih dari 55% identik dimasukkan ke dalam subfamili

yang sama, ditandai dengan huruf, dan perbedaan isoform individu di dalam subfamili tersebut ditandai

dengan nomor Arab. Sekitar 8 sampai 10 isoform dalam famili CYPI, CYP2, dan CYP3 terutama terlibat

dalam kebanyakan reaksi metabolisme obat pada manusia; anggota famili lainnya mempunyai peran

penting dalam proses biosintesis dan degradasi steroid, asam lemak, vitamin, dan senya wa endogen

lainnya. Setiap individu isoform CYP memiliki spesifisitas substrat yang khas berdasarkan struktur

substrat. Meski demikian, sejumlah besar tumpang tindih sering terjadi. akibatnya dua atau lebih isoform

CYP dan enzim pemetabolisme obat lainnya sering terlibat dalam metabolisme obat secara kese luruhan

yang mengakibatkan terbentuknya banyak metabolit pri mer dan sekunder. Beberapa isoform juga

memiliki sifat meng. hambat dan menginduksi, seperti dijelaskan kemudian. Selain itu, metabolisme yang

dikatalisis CYP sering bersifat regio selektif dan stereoselektif sifat stereoselektif kemungkinan penting

jika obat diberikan sebagai rasemat dan masing-masing en antiomer tersebut memiliki aktivitas

farmakologi yang berbeda.


Kontribusi relatif berbagai isoform CYP di dalam metabo lisme obat diilustrasikan pada Gambar 1-3.

CYP3A4 dan CYP3A5, yang merupakan isoform yang sangat mirip, bersama sama terlibat dalam sekitar

50% metabolisme obal; selain itu CYP3A terdapat pada epitelium usus dan ginjal. Kini diketahui, bahwa

metabolisme oleh CYP3A selama absorpsi obat melalui enterosit usus merupakan faktor yang penting,

bersama dengan metabolisme lintas pertama di hati, untuk obat-obat yang mempunyai ketersediaan hayati

oral buruk. Isoform di famili CYP2C dan subfamili CYP2D6 juga terlibat dalam sejumlah besar

metabolisme obat. Walaupun isoform seperti CYP1A112, CYP2A6, CYP2B1, dan CYP2E1 tidak terlibat

dalam proses metabolisme obat yang utama, isoform tersebut mengkatalisis aktivasi banyak zat kimia

lingkungan prokarsinogenik menjadi bentuk karsinogen, Dengan demikian, peranannya penting pada

berbagai penyebab kanker, seperti asap rokok yang menyebabkan kanker paru-paru.

Enzim oksidatif lain seperti dehidrogenase dan flavin yang mengandung monoksigenase juga mampu

mengkatalisis metabolisme obat-obat tertentu, tetapi secara umum enzim tersebut tidak begitu berperan

ENZIM HIDROLITIK. Reaksi enzim hidrolitik secara umum dije. laskan pada Tabel 1-2. Sejumlah

esterase dan amidase nonspesifik telah diidentifikasi di retikulum endoplasma hati manusia, usus, dan

dalam jaringan lainnya. Gugus amin dan alkohol yang terpajan setelah hidrolisis senyawa ester dan amida

merupakan substrat yang baik untuk reaksi konjugasi. Hidrolase epoksida mikrosoma ditemukan di dalam

retikulum endoplasma seluruh jaringan esensial dan di dalam enzim sitokrom P450 dekat proksimal.

Hidrolase epoksida secara umum dikenal sebagai enzim detoksifikasi, menghidrolisis oksida-oksida

hidrokarbon aromatik yang sangat reaktif yang dihasilkan dari reaksi oksidasi sitokrom P450 menjadi

metabolit transdihidrodiol larut-air yang tidak aktif. Enzim protease dan peptidase terdistribusi secara luas

di berbagai jaringan dan terlibat dalam biotransformasi obat-obat polipeptida. Penghantaran obat tersebut

melalui membran biologi memerlukan penghambatan enzim-enzim ini atau pengembangan analog yang

stabil.
REAKSI KONJUGASI. Bentuk aktif senyawa endogen dan enzim transferase yang sesuai penting

dalam membentuk metabolit terkonjugasi. Dalam hal glukuronidasi-reaksi konjugasi yang penting

(Gambar 1-3)-uridin difosfat glukuronosi transferase (UGT) mengkatalisis perubahan asam glukuronat

menjadi alkohol aromatik dan alifatik, asam karboksilat, amin, dan gugus sulthidril bebas pada senyawa

eksogen dan endogen membentuk 0., N., dan Sglukuronida secara berurutan. Glukuronidasi juga penting

dalam proses eliminasi steroid endogen, bilirubin, asam empedu, dan vitamin larut-lemak. Peningkatan

kelarutan kon jugat glukuronida dalam air meningkatkan eliminasinya di dalam urin atau empedu. Tidak

seperti kebanyakan reaksi fase II yang terjadi di sitosol, UGT adalah enzim mikrosoma. Lokasi ini

membantu akses langsung masuknya metabolit fase 1 yang di bentuk di tempat yang sama. Selain di hati ,

UGT juga ditemukan di epitel usus, ginjal, dan kulit. Sekitar 15 UGT manusia telah diidentifikasi, dan

berdasarkan kesamaan asam amino (lebih besar dari 50%), ada dua famili besar yang dibedakan. Anggota

famili UGTIA manusia seluruhnya ditandai dengan gen kom pleks, dan isoform individu dihasilkan oleh

sambungan alternatif 12 promoter/ekson I dengan ekson biasa 2 sampai 5 untuk meng. hasilkan berbagai

protein yang berbeda. Berbeda dengan UGT2 yang hanya mengandung tiga subfamili: 2A, 2B, dan 2C.
Meskipun tampaknya setiap UGT memiliki kekhususan substrat yang khas, terjadi banyak tumpang

tindih, sehingga berbagai isoform kemungkinan berperan dalam pembentukan metabolit glukuronida

khusus. Sulfasi sitosol juga merupakan reaksi konjugasi penting yang melibatkan transfer katalitik oleh

sulfatransferase (ST) sulfur anorganik dari 3-fosfoadenosin-5-fosfosulfat yang diaktivasi ke gugus

hidroksil fenol dan alkohol alifatik. Oleh karena itu, obat dan metabolit primer yang memiliki gugus

hidroksil sering membentuk metabolit glukuronida dan sulfat. Dua N-asetiltransferase (NATI dan NAT2)

terlibat dalam asetilasi amin, hidrazin dan sulfonamida. Kebalikan dari kebanyakan konjugat obat,

metabolit yang terasetilasi sering bersifat kurang larut air dibandingkan obat induknya, dan ini dapat

menyebabkan kristaluria jika aliran urin yang tinggi tidak dijaga

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI METABOLISME OBAT. Sifat khas metabolisme

obat adalah variabilitas antarindividu yang besar yang sering kali memberikan perbedaan tingkat

metabolisme yang menonjol yang menghasilkan laju eliminasi obat dan profil khas konsentrasi obat

dalam plasma darah sebagai fungsi waktu. Variabilitas tersebut memberikan penjelasan penting mengapa
pasien memberikan respons yang berbeda terhadap suatu dosis obat yang sama dan hal tersebut harus

menjadi pertimbangan dalam menentukan dosis optimal bagi pasien tertentu. Kombinasi dari faktor

genetik, lingkungan, dan kondisi penyakit akan memengaruhi proses metabolisme obat, masing-masing

faktor di atas memberikan kontribusi relatif tergantung pada obat yang digunakan.

Variasi Genetik. Kemajuan dalam biologi molekular menunjukkan bahwa keberagaman genetik pasti

terjadi untuk semua protein tanpa kecuali, termasuk enzim-enzim yang mengkatalisis reaksi obat-

metabolisme. Seiring meningkatnya jumlah enzim tersebut, varian alel dengan aktivitas katalitik yang

berbeda dari bentuk tipe-liar telah diketahui. Perbedaannya melibatkan berbagai mekanisme molekular

yang mengakibatkan ketiadaan aktivitas sama sekali, berkurangnya kemampuan katalitik, atau dalam hal

duplikasi gen, peningkatan aktivitas. Selanjutnya, sifat ini diturunkan dengan cara resesif Mendel

autosomal, dan jika cukup prevalen, dapat menghasilkan subpopulasi yang memiliki kemampuan

metabolisme obat berbeda-beda, yang disebut polimorfisme genetik. Selain itu, frekuensi varian alel

spesifik sering bervariasi tergantung pada sifat keturunan secara rasial pada individu tersebut. Varian

genetik tertentu pada seseorang dapat bersifat fenotip atau genotip. dan ada kemungkinan ciri-ciri seperti

itu akan semakin bermanfaat untuk mengindividualisasikan terapi obat, khususnya untuk obat-obat yang

memiliki indeks terapi sempit. Bukti-bukti yang terkumpul juga menunjukkan bahwa kerentanan individu

terhadap penyakit yang diakibatkan oleh zat-zat kimia dari lingkungan, seperti kanker, mungkin

mencerminkan variabilitas genetik dalam enzim yang memetabolisme obat.

Sejumlah polimorfisme genetik terdapat pada beberapa sitokrom P450 yang menyebabkan perubahan

kemampuan memetabolisme obat. Yang paling jelas diketahui adalah yang berkait an dengan CYP2D6.

Sekitar 70 polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) dan Variasi genetik lainnya yang berfungsi penting

telah diidentifikasi dalam gen CYP2D6, banyak di antaranya menyebabkan enzim menjadi tidak aktif,

sementara yang lain menurunkan aktivitas katalitiknya; duplikasi gen juga terjadi. Akibatnya terdapat

empat fenotip subpopulasi pemetabolisme: lemah (PM). sedang (IM), ekstensif (EM), dan ultracepat
(UM). Beberapa varian tersebut relatif jarang sedangkan yang lainnya lebih umum, dan penting diketahui

bahwa frekuensinya bervariasi menurut latar belakang ras. Sebagai contoh, 5% sampai 10% keturunan

Kaukasia dan Eropa adalah PM, sementara frekuensi fenotip homozigot ini pada individu yang berasal

dari Asia Tenggara adalah sekitar 1% sampai 24. Lebih dari 65 obat yang umum digunakan

dimetabolisme oleh CYP2D6, termasuk antidepresantrisiklik, zat neuroleptik, inhibitor ambilan kembali

se rotonin selektif, beberapa zat antiaritmia, antagonis reseptor B-adrenergik, dan opiat-opiat tertentu.

Sifat terpenting polimor fisme CYP2D6 secara klinis terutama kemungkinan reaksi merugikan yang lebih

besar pada PM ketika jalur metabolisme yang dipengaruhi merupakan kontribusi utama eliminasi total

obat. Juga di UM dosis obat yang umum bisa menjadi tidak efektif atau dalam kasus terbentuknya

metabolit aktif, seperti pembentukan morfin dari kodein yang dikatalisis CYP2D6, terjadi respons

berlebihan. Inhibitor CYP2D6 seperti kinidin dan inhibitor ambilan kembali serotonin dapat mengubah

EM - notip menjadi suatu PM fenotip, yang disebut sebagai fenokopi yang merupakan aspek penting

interaksi obat dengan isoform CYP tertentu ini

CYP2C9 mengkatalisis metabolisme 16 obat yang lazim di gunakan, termasuk warfarin dan fenitoin,

yang keduanya mem. punyai indeks terapi sempit. Dua varian CYP2C9 alel yang paling umum diketahui

mengurangi aktivitas katalitik (5% sampai 12%) dibandingkan dengan enzim tipe-liar. Akibatnya, pasien

yang memiliki sifat heterozigot atau homozigot untuk alel mutan membutuhkan dosis antikoagulan

warfarin lebih sedikit, khususnya kelompok homozigot, dibandingkan individu homonigot tipe-liar,

Memulai terapi warfarin juga lebih sulit dan mengandung risiko komplikasi perdarahan yang lebih besar,

Dengan cara yang sama, konsentrasi fenitoin plasma yang tinggi dan efek merugikan yang terkait terjadi

pada pasien yang memiliki varian slel CYP2C9. Polimorfismo genetik juga terjadi pada CYP2C19, ada 8

varian alel yang diketahui menghasilkan protein yang inaktif secara katalitik Sekitar 3 orang kaukasia

mempunyai fenotip PM, dan frekuensi ini lebih besar pada orang Asia Tenggara yaitu 13 sampai 23%.

Inhibitor pompa-proton seperti omeprazol dan lansoprazol termasuk di antara kedelapan belas obat yang

dimetabolisme oleh CYP2C19 yang ditentukan dengan dosis en Khasiat dosis anjuran omeprazol 20 mg
yang dikombinasi dengan amoksisitin untuk membasmi Helicobacter pylori berkurang secara nyata pada

pasien genotip homozigot tipe liar jika dibandingkan dengan laju sembuh 100% pada PM homorigot,

yang menjelaskan perbedaan efek obat pada sekresi asam lambung. Meskipun aktivitas CYP3A

menunjukkan variabilitas individu secara nyata lebih dari 10 kali), tidak ditemukan fungsi polimorfisme

yang signifikan di daerah pengode gen tersebut oleh karena itu kemungkinan terdapat faktor pengaturan

tidak diketahui yang menentukan keragaman ter sebut keragaman genetik juga terdapat pada

dihidropirimidin dehidrogenase (DPYD), yang merupakan enzim kunci dalam metabolisme 5-fluorourasi.

Dengan demikian, terdapat risiko nyata berkembangnya toksisitas parah yang diinduksi obat pada 19.

sampai 3% pasien kanker yang ditangani dengan antimeta bolit ini yang menunjukkan berkurangnya

aktivitas DPYD secara berarti jika dibandingkan dengan populasi umum.

Suatu polimorfisme pada enzim pemetabolisme obat yang berkonjugasi, misalnya pada NAT2

merupakan salah satu generasi pertama penemuan yang berbasis genetik 50 tahun yang talu, Isoform in

terlibat dalam metabolisme sekitar 16 obat umum, termasuk isoniazid, prokainamida, dapson, hidralazin,

dan kafein. Sekitar 15 varian alel telah diidentifikasi, beberapa di antaranya tanpa efek yang jelas, tetapi

yang lain menyebabkan penurun atau hilangnya aktivitas katalitik Heterogenitas yang besar terdapat

dalam frekuensi populasi alel ini di seluruh dunia, sehingga frekuensi fenotip asetilator lambat adalah

sekitar 50% pada orang Amerika kulit putih dan kulit hitam, 6076 sampai 70% pada orang Eropa Utara,

tetapi hanya 5% sampai 10% pada orang Asia Tenggara. Fenotip asetilator dianggap berkaitan dengan

penyakit yang diinduksi oleh zat dari lingkungan seperti kanker saluran rektal dan kandung kemih namun

belum terdapat bukti yang pasti. Sama halnya, variabilitas penetik dalam akti vitas katalik glutation

Stransferase mungkin juga berkaitan dengan kerentanan individu terhadap penyakit tersebut. Topurin

metiltransferase (TPMT) sangat penting dalam metabolisme 6-merkaptopurin, metabolit aktif azatioprin.

Sebagai akibatnya, homozigot untuk alel yang mengode TPMT tidak aktif (0.3% sampai 10% dari

populasi) diperkirakan akan menunjukkan pan: sitopenia parah jika diberi dosis azatioprin standar, pasien

ter sebut biasanya dapat ditangani dengan 10% sampai 15% dosis biasa
Pengaruh Lingkungan. Aktivitas kebanyakan enzim pemetabolisme obat kemungkinan dimodulasi oleh

pemajanan terhadap senyawa eksogen tertentu. Pada beberapa kasus ini kemungkinan terjadi pada obat

yang jika dibe rikan bersamaan dengan zat kedua menyebabkan interaksi obat : obat. Selain itu, diet

mikronutrisi dan faktor ling kungan lain dapat meningkatkan kerja enzim, yang disebut induksi atau

menurunkan kerja enzim, yang disebut inhibisi (penghambatan). Modulasi tersebut dianggap sebagai

suatu penyumbang utama pada keragaman an tarindividu dalam metabolisme kebanyakan obat

Penghambatan Metabolisme Obat Akibat dari pengham batan metabolisme obat oleh enzim adalah

meningkatnya kon sentrasi plasma obat induk dan berkurangnya konsentrasi mela bolit di dalam plasma,

peningkatan dan perpanjangan efek farmakologi, dan meningkatnya kemungkinan toksisitas yang

dinduksi oleh obat. Perubahan ini terjadi dengan cepat dan tanpa tanda-tanda, dan yang paling

dipengaruhi oleh obat yang banyak dimetabolisme dan memiliki indeks terapi sempit. Pengetahuan

tentang isoform sitokrom P450 yang mengkatalisis jalur utama metabolisme suatu obat merupakan dasar

untuk memperkirakan dan memahami penghambatan, khususnya untuk melihat inter aksi obat-obat. Ini

disebabkan banyak penghambatan yang lebih selektif terhadap beberapa isoform dibanding yang lainnya.

Sering juga penghambatan terjadi karena kompetisi antara dua atau lebih substrat untuk tempat kerja yang

sama pada entim, besar nya penghambatan tergantung pada konsentrasi relatif substrat dan afinitasnya

dengan enzim. Namun pada kasus tertentu, enzim dapat terinaktivasi secara ireversibel; misalnya substrat

atau suatu metabolit membentuk kompleks kuat dengan beri heme sitokrom P450 (simetidin,

ketokonazol) atau gugus heme dapat dirusak (nortindron, etinilestradiol). Mekanisme peng hambatan

yang umum untuk beberapa enzim fase Il adalah peng hilangan kofaktor yang penting

Penghambatan mekanisme yang dikatalisis-CYP3A sangat lazim dan penting. Karena kadar CYP3A

yang tinggi di epitel usus dan penggunaan oral merupakan rute paling umum masuk nya obat dan zat dari

lingkungan ke dalam tubuh, penghambatan aktivitas isoform pada tempat ini sering terjadi meskipun jika

penghambatan di hati tidak terpengaruh. Hal ini disebabkan potensi peningkatan ketersediaan hayati yang
besar akibat penurunan metabolisme lintas pertama untuk obat yang biasanya menunjukkan efek ini

dalam jumlah yang berarti. Senyawa antifungi ketokonazol dan itrakonazol, inhibitor HIV-protease (khu.

susnya ritonavir), antibiotik makrolida seperti eritromisin dan klaritromisin tetapi bukan azitromisin,

semuanya merupakan in hibitor CYP3A yang kuat. Bloker saluran kalsium tertentu se perti diltiazem,

nikardipin, dan verapamil juga menghambat CYP3A, seperti konstituen jus grapefruit. Banyak inhibitor

CYP3A juga mengurangi fungsi Paglukoprotein sehingga inter aksi obat-obat dapat melibatkan

mekanisme ganda. Demikian juga disposisi obat yang dimetabolisme sedikit tetapi dieliminasi melalui

transpor yang diperantarai oleh Peglikoprotein juga dapat dipengaruhi oleh inhibitor CYP3A. Sebagai

contoh, ekskresi digoksin yang terhalangi oleh kinidin dan sejumlah besar obat lain yang tidak berkaitan

disebabkan oleh penghambatan P-glikoprotein. Dengan CYP2D6, kinidin dan inhibitor ambil an-kembali

serotonin selektif merupakan inhibitor kuat yang menghasilkan fenokopi. Di sisi lain, obat-obat lain

merupakan inhibitor metabolisme yang dikatalisis sitokrom M50 yang lebih umum. Sebagai contoh,

amiodaron, simetidin (tapi bukan ranitidin), paroksiten, dan fluoksetin menurunkan aktivitas meta bolik

beberapa isoform CYP. Enzim metabolik fase I selain sito krom P450 juga dapat dihambat oleh

pemberian obat, seperti dicontohkan oleh efek kuat asam valproat terhadap epoksida hi drolase

mikrosoma, dan penghambatan xantin oksidase oleh alopurinol, yang dapat mengakibatkan toksisitas

yang mengan cam jiwa pada pasien yang menerima 6-merkaptopurin secara bersamaan.

Induksi Metabolisme Obar. Meningkatnya aktivitas metabo lisme obat biasanya terjadi melalui

peningkatan transkripsi gen setelah pemajanan jangka panjang terhadap zat penginduksi, meskipun

dengan stabilisasi protein CYP21 terhadap degradasi merupakan mekanisme utama. Akibatnya,

konsekuensi induksi memerlukan waktu yang lama untuk benar-benar sempurna, di bandingkan dengan

penghambatan metabolisme. Selain itu, kon sekuensi induksi adalah bertambahnya laju metabolisme, me

ningkatnya metabolisme lintas pertama oral dan berkurangnya ketersediaan hayati, dan penurunan

konsentrasi obat dalam plasma, semua faktor yang mengurangi pemajanan obat. Seba liknya untuk obat-

obat yang dimetabolisme menjadi metabolit aktif atau reaktif, induksi dapat menyebabkan peningkatan
efek atau toksisitas obat. Dalam beberapa kasus, suatu obat dapat menginduksi baik metabolisme

senyuwa lain maupun metabo lismenya sendiri, seperti autoinduksi yang terjadi pada antikonvulsan

karbamazepin. Dalam banyak kasus yang melibatkan induksi, dosis obat yang dipengaruhi harus

ditambah agar efek terapinya dapat dipertahankan. Ini penting jika terjadi induksi ekstensif setelah

pemberian induktor yang sangat efektif. Pada kenyataannya, wanita disarankan untuk menggunakan

alternatif kontrasepsi oral untuk kontrol kehamilan selama pemakaian rifampin karena khasiat tidak dapat

dijamin. Risiko terapi yang berhubungan dengan induksi metabolik paling kritis jika pem berian zat

penginduksi dihentikan, sambil mempertahankan dosis obat yang sama dengan sebelumnya. Dalam hal

ini, begitu efek induksi hilang, konsentrasi obat kedua dalam plasma akan meningkat jika dosis tidak

dikurangi, disertai meningkatnya potensi efek merugikan.

Penginduksi secara umum bersifat selektif untuk subfamili dan isoform CYP tertentu, tetapi pada

waktu yang bersamaan sejumlah enzim lain dapat ditingkatkan secara bersamaan melalui mekanisme

molekular yang umum. Contohnya hidrokarbon aromatik polisiklik yang dilepas dari polutan lingkungan,

asap rokok, dan daging yang dibakar menghasilkan induksi subfamili CYPIA pada enzim yang nyata baik

di hati maupun di luar hati Ini melibatkan aktivasi reseptor anilhidrokarbon (AhR) sitosol yang

berinteraksi dengan protein regulator lainnya, translokator inti AhR (Amt); kompleks ini berfungsi

sebagai faktor trans kripsi untuk meningkatkan ekspresi CYPIA. Selain itu, ekspresi enzim fase II seperti

UGT, OST, dan NADPH:kinon oksido reduktase meningkat secara bersamaan Mekanisme jenis resep tor

yang sama yang melibatkan reseptor X pregnan (PXR) ikut terlibat dalam induksi CYP3A dari berbagai

macam zat kimia termasuk obat-obat seperti rifampin dan rifabutin, barbiturat dan antikonvulsan lainnya,

beberapa glukokortikoid, dan juga obat alternatif seperti St. John's wort. Obat St. John's wort juga dapat

memengaruhi isoform CYP lainnya, contohnya rifampin dan karbamazepin menginduksi CYPIAZ,

CYP2C9, dan CYP2C19 Penggunaan alkohol terus menerus juga mengakibatkan induksi enzim,

khususnya CYPE: risiko efek samping hepatotoksik setaminofen lebih tinggi pada pecandu alkohol,
karena mening katnya pembentukan metabolit reaktif yang diperantarai CYP21 yaitu N-asetilp-

benzokinonimin.

Faktor Penyakit karena hati merupakan tempat utama metabo lisme enzimatik obat, gangguan fungsi

organ ini pada penderita hepatitis, penyakit hati akibat alkohol, sirosis empedu, hati me ngandung banyak

lemak (farly liver), dan kanker hati secara potensial dapat mengganggu metabolisme obat. Secara umum,

parahnya kerusakan hati menentukan tingkat penurunan meta bolisme. Namun, uji klinis fungsi hati yang

umum tidak banyak berarti dalam penilaian ini. Selain itu, pada sirosis yang parah pun, tingkat gangguan

hanya sekitar 30% sampai 50% aktivitas pada pasien yang sakit bukan pada hati. Namun obat yang

mengalami metabolisme lintas pertama di hati secara bermakna, ketersediaan hayati oralnya dapat

meningkat dua sampai empat kali pada pasien yang menderita penyakit hati, yang bersamaan dengan

adanya obat di tubuh dalam jangka panjang akan me ningkatkan respons farmakologis yang berlebihan

dan efek merugikan kelihatannya isoform sitokrom P450 lebih banyak dipengaruhi penyakit hati

dibandingkan zat yang mengkatalisis fase Il seperti glukuronosiltransferase,

Gagal jantung yang parah dan terjadinya syok dapat menye babkan penurunan aliran darah dalam hati

dan gangguan metabolisme Contoh terbaik untuk keadaan ini adalah penurunan hampir dua kali lipat

metabolisme lidokain pada pasien gagal jantung, yang juga disertai perubahan distribusi dalam jumlah

yang sama. Sebagai akibatnya, dosis muatan (loading dose) dan dosis pemeliharaan lidokain yang

digunakan untuk penanganan aritmia jantung pada pasien tersebut berbeda sekali dengan pasien yang

tidak memiliki penyakit yang sama.

Pengaruh Usia dan Jenis Kelamin. Isoform sitokrom P450 fungsional dan dalam tingkat yang lebih kecil

enzim pemetabo lisme obat fase II berkembang lebih awal dalam perkembangan janin, tetapi kadarnya,

bahkan pada saat lahir, lebih rendah dibandingkan dengan setelah lahir. Baik enzim fase 1 maupun fase II

mulai matang secara bertahap mulai dari minggu kedua sampai keempat setelah kelahiran, meskipun pola
perkembangannya berbeda untuk setiap enzim. Oleh karena itu, bayi dan yang baru lahir mampu

melakukan metabolisme obat relatif lebih efisien tetapi lebih lambat dibanding orang dewasa.

Kekecualian dalam hal ini adalah gangguan glukuronidasi bilirubin pada saat lahir, yang menyebabkan

hiperbilirubinernia pada bayi yang baru lahir kematangan penuh terjadi setelah mencapai usia 20 tahun

dan kemudian menurun perlahan sesuai dengan usia. Namun kemungkinan ada sedikit generalisasi

mengingat jumlah atau kepentingan klinis akibat perubahan yang berkaitan dengan umur tersebut pada

tiap pasien. Ini terutama berlaku untuk pasien lanjut usia, yang menderita lebih dari satu penyakit,

mungkin menggunakan bermacam obat, banyak di antaranya menyebabkan interaksi obat-obat. Selain itu,

peningkatan sensitivitas organ target dan kerusakan mekanisme kontrol fisiologi lebih mempersulit

penggunaan obat pada pasien lanjut usia. Enzim pemetabolisme obat fase I kelihatannya jauh lebih

terpengaruh dibanding enzim yang mengkatalisis reaksi fase II Walaupun demikian perbedaannya relatif

sedikit satu terhadap yang lain karena adanya variasi individu di dalam proses metabolisme. Di lain pihak

untuk obat yang menunjukkan efek lintas pertama yang besar, sedikit saja berkurangnya kemampuan

metabolisme, ketersediaan hayati obatorul dapat meningkat secara signifikan. Oleh karena itu obat yang

diberikan pada pasien lanjut usia, Bersihan secara umum dosis pemberian perlu dikurangi dan perlu hati-

hati terhadap kemungkinan respons farmakodinamik yang berlebihan

Sejumlah contoh menunjukkan bahwa pemberian obat dan atau reaksinya pada wanita dan pria dapat

berbeda pada obatobat tertentu. Beberapa perbedaan aktivitas metabolisme obat akibat perbedaan jenis

kelamin, khususnya yang dikatalisis oleh CYP3A, juga telah diketahui. Meskipun demikian, perbedaan

nya sedikit dan relatif kurang penting terhadap faktor lain yang terlibat dalam keragaman antarindividu

dalam metabolisme. Satu kekecualian adalah pada wanita hamil karena induksi enzim metabolisme obat

tertentu terjadi pada masa kehamilan trimester kedua dan ketiga. Akibatnya, dosis obat harus diberikan

lebih besar selama periode ini dan kembali kepada dosis sebelumnya setelah melahirkan. Keadaan ini

penting diketahui terutama oleh pasien yang menggunakan fenitoin dalam masa kehamilannya Banyak
obat kontrasepsi oral juga berpotensi menjadi inhibitor isoform CYP ireversibel melalui mekanisme

inaktivasi bunuh diri (suicide-inactivation).

FARMAKOKINETIKA KLINIS

Hipotesis dasar farmakokinetika klinis adalah bahwa terdapat hubungan antara efek farmakologi suatu

obat dengan konsentrasi obat yang terdapat di dalam darah atau plasma. Hal ini sudah diketahui untuk

banyak obat, walaupun untuk beberapa obat tidak didapat hubungan yang jelas atau sederhana antara efek

farmakologi dan konsentrasi di dalam plasma. Dalam kebanyakan kasus, se perti pada Gambar 1-1,

konsentrasi obat dalam sirkulasi sistemik terkait dengan konsentrasi obat pada tempat kerjanya. Efek

farmakologis yang dihasilkan dapat berupa efek klinis yang diharapkan, efek toksik, atau dalam be.

berapa kasus, efek lain yang tidak berkaitan dengan khasiat terapi atau toksisitas. Farmakokinetika klinis

menyediakan baik hubungan kuantitatif antara dosis dan efek, maupun mengetahui kerangka kerja untuk

menafsirkan hasil pengukuran konsentrasi obat di dalam cairan biologis. Pentingnya farmakokinetika

dalam perawatan pasien didasarkan pada perbaikan khasiat terapi yang dapat jika dosis akan diubah

Beberapa variasi fisiologi dan patologi yang menuntut penyesuaian dosis bagi tiap pasien kadang terjadi

sebagai hasil modifikasi parameter farmakokinetika. Ada empat parameter terpenting yang perlu

diketahui, yaitu bersihan, suatu ukuran efisiensi tubuh dalam mengeliminasi obat; volume distribusi, suatu

ukuran ruang dalam tubuh yang mengandung obat; waktu paruh eliminasi, suatu ukuran laju pengeluaran

obat dari tubuh; dan ketersediaan hayati, suatu fraksi obat yang terabsorpsi ke dalam sirkulasi sis temik

yang kurang begitu penting adalah laju ketersediaan dan distribusi senyawa.

BERSIHAN
Merupakan konsep terpenting yang perlu diper timbangkan ketika akan merancang regimen obat rasional

untuk pemberian jangka panjang. Dokter umumnya meng. hendaki konsentrasi keadaan tunak obat pada

rentang jendela terapeutik yang terkait dengan khasiat terapeutik dan toksisitas minimum. Dengan

anggapan ketersediaan hayati terjadi sempurna atau 100% maka keadaan tunak akan terjadi ketika laju

eliminasi sama dengan laju pem. berian/absorpsi obat.

Laju pembrian = CL . C*33. (1-1)

CL adalah bersihan sirkulasi sistemik dan C,, adalah kon sentrasi keadaan tunak obat. Jika konsentrasi

obat pada keadaan tunak dalam plasma atau dalam darah diketahui, laju bersihan obat pada pasien akan

ditentukan oleh lajo pemberian obat

Konsep bersihan sangat berguna dalam farmakokino tika klinis, sebab nilainya untuk obat tertentu

biasanya di atas rentang konsentrasi klinis. Hal ini terjadi karena sistem eliminasi obat seperti enzim

pemetabolisme dan transporter biasanya bukan sistem jenuh, sehingga lajo mutlak eliminasi obat

merupakan fungsi linier konsentrasi dalam plasma, dengan kata lain, eliminasi kebanyakan obat

mengikuti kinetika orde pertama sejumlah konstan fraksi obat di dalam tubuh yang dieliminasi per satuan

waktu. Jika mekanisme eliminasi obat menjadi jenuh. kinetika mendekati orde nolsejumlah tetap obat

dieliminasi per satuan waktu. Pada lingkungan tersebut, bet sihan obat akan bervariasi dengan konsentrasi

obat, sering mengikuti persamaan berikut:

CL = V*m/K*m + C). (1-2)


K merupakan konsentrasi pada saat setengah laju eliminasi maksimum dicapai (dalam satuan

bobot/volume) dan v. sama dengan laju eliminasi maksimum (dalam sa tuan bobot/waktu). Persamaan ini

mirip dengan persamaan Michaelis-Menten pada kinetika enzim. Pengaturan dosis untuk obat tersebut

menjadi lebih sulit, dibanding kan jika eliminasi obat tersebut mengikuti orde-pertama dan bersihan obat

tidak tergantung pada konsentrasi obat (lihat di bawah).

Prinsip bersihan obat mirip dengan fisiologi ginjal, sebagai contoh, bersihan kreatinin didefinisikan

sebagai laju eliminasi kreatinin di dalam urin dibandingkan terhadap konsentrasinya di dalam plasma.

Secara sederhana, bersihan suatu obat adalah laju eliminasinya melalui semua rute terhadap konsentrasi

obat, c, di dalam beberapa cairan biologis:

CL= laju eliminasi/C. (1-3)

Oleh karena itu, jika bersihan tetap, laju eliminasi obat ber banding lurus dengan konsentrasi obat. Perlu

dicatat bahwa bersihan tidak menunjukkan banyaknya obat yang dipindahkan tetapi lebih merupakan

volume cairan bio logis seperti darah atau plasma tempat obat akan dipin. dahkan sempurna agar terjadi

eliminasi. Bersihan dinyatakan sebagai volume per satuan waktu. Bersihan biasanya lebih jauh

didefinisikan sebagai bersihan darah (CL), bersihan plasma (CL), atau sebagai bersihan yang didasarkan

pada konsentrasi obat tak terikat (CZ), tergantung pada konsentrasi yang terukur (CAC, atau C.)

Bersihan dengan bantuan berbagai organ eliminasi bersifat aditif. Eliminasi obat dapat terjadi sebagai

hasil dari proses yang terjadi di ginjal, hati, dan organ lainnya. Laju eliminasi masing-masing organ

dibagi dengan konsentrasi obat (misalnya konsentrasi plasma) akan menghasilkan masing-masing

bersihan organ tersebut. Jika dijumlahkan, akan menjadi bersihan sistemik:


CL ginjal + CL hari + CL lain = CL. (1-4)

Rute lain untuk proses eliminasi yaitu air liur atau keringat, sekresi ke dalam usus, dan metabolisme di

tempat lain.

Bersihan sistemik dapat ditentukan pada keadaan tunak do ngan menggunakan Persamaan (1-1).

Untuk dosis tunggal suatu obat yang memiliki ketersediaan hayati lengkap dan kinetika eliminasi orde

pertama, bersihan sistemik dapat ditentukan dari keseimbangan bobot dan integral Persamaan (1-3)

sebagai fung. si waktu

CL = Dosis/AUC. (1-5)

AUC adalah luas total daerah di bawah kurva yang menggam barkan konsentrasi obat di dalam darah

sebagai fungsi waktu (dari nol sampai tak berhingga).

Contoh. Pada Lampiran II, bersihan plasma untuk sefaleksin adalah 4,3 ml menit!. kgl. dengan ekskresi

obat dalam ben tuk tidak berubah di dalam urin 90%. Untuk seseorang dengan bobot badan 70 kg,

bersihan dari plasma akan sebesar 300 ml/menit, dengan bersihan ginjal bertanggung jawab untuk 90%

eliminasi ini. Dengan kata lain, ginjal mampu mengekskresi sefaleksin dengan laju pengeluaran sempurna

(bersih) dari sekitar 270 ml plasma per menit. Karena bersihan biasanya diamsumsikan tetap pada pasien

yang stabil, laju eliminasi safaleksin akan tergantung pada konsentrasi obat dalam plasma (1-3). Propanol

dibersihkan dari darah dengan laju 16ml.menit-1kg-1(atau 1120 ml/menit pada orang dengan bobot 70

kg), hampir seluruhnya melalui hati. Jadi hati dapat mengeluarkan obat yang terkandung dalam 1120 ml

darah permenit. Meskipun hati merupakan organ melebihi laju aliran plasma (dan darah) ke oegan ini. Hal
ini sering kali terjadi karena obat segera melakukan partisi kedalam sel darah merah dan laju pelepasan

obat ke organ eliminasi lebih besar dari konsentrasi dalam plasma hasil pengukuran. Hubungan antara

bersihan plasma dan bersihan darah pada keadaan tunak adalah :

Oleh karena itu, bersihan dari darah dapat dihitung dengan membagi bersihan plasma dengan

perbandingan konsentrasi obat dalam darah terhadap dalam plasma, yang diperoleh dari in formasi

tentang hematokrit (0,45) dan perbandingan konsentrasi dalam sel darah merah terhadap konsentrasi

plasma. Pada umumnya, bersihan darah akan lebih rendah dari aliran darah ke hati (1,5 liter/menit) atau,

jika ekskresi ginjal diperhitungkan, merupakan jumlah aliran darah dua organ eliminasi tersebut. Sebagai

contoh, bersihan plasma takrolimus sekitar 2 li tet/menit, lebih besar dua kali lipat dari laju aliran plasma

ke hati dan melebihi aliran darah ke organ tersebut, meskipun kenya taannya hati merupakan tempat

metabolisme obat yang dominan Walaupun distribusi ekstensif takrolimus ke dalam sel darah merah telah

ikut diperhitungkan, bersihannya dari darah hanya 63 ml/menit, dan bersihan ini sebetulnya kecil, seperti

dapat diinterpretasi dari nilai bersihan plasma. Namun, kadang-kadang bersihan dari darah oleh

metabolisme melebihi aliran darah ke hati, dan hal ini menunjukkan terjadi metabolisme ekstra dalam

hati. Dalam kasus esmolol (11,9 liter/menit), nilai bersihan darah lebih besar dari curah jantung, hal ini

disebabkan obat dimetabolisme secara efisien oleh enzim esterase di dalam sel darah merah

Definisi bersihan juga bermanfaat untuk memahami efek variabel patologis dan fisiologis dalam

eliminasi obat, terutama dalam kaitannya dengan organ tertentu. Laju sampainya obat ke dalam suatu

organ merupakan hasil kali aliran darah (O) dan konsentrasi obat di dalam arteri (CA), sementara laju

keluarnya obat dari organ merupakan hasil kali aliran darah dan konsentrasi obat dalam vena (CV).

Selisih kedua laju ini pada keadaan tunak merupakan laju eliminasi obat:
Pembagian Persamaan (1-7) dengan konsentrasi obat yang masuk ke organ eliminasi, Ca menghasilkan

bersihan obat pada organ dengan persamaan:

Pernyataan (CA.C.VC, dalam Persamaan (1-8) dapat dianggap sebagai perbandingan ekstraksi obat (E).

Bersihan Hati. Konsep yang dikembangkan pada Persamaan (1-8) mempunyai implikasi penting untuk

obat yang dieliminasi melalui hati. Mengingat bahwa suatu obat secara efisien dihilangkan dari darah

melalui proses hepatik metabolisme dan/atau ekskresi obat ke dalam empedu. Dalam hal ini, konsentrasi

obat di dalam darah yang meninggalkan hati akan rendah, perbandingan ekstraksi akan mendekati satu,

dan bersihan obat dari darah akan dibatasi oleh aliran darah hepatik. Obat yang dibersihkan secara efisien

melalui hati (seperti obat-obat dalam Lampiran II dengan bersihan sistemik lebih besar dari 6 ml menit

kg.. seperti diltiazem, imipramin, lidokain, morfin dan propranolol) terbatas dalam laju eliminasinya,

bukan oleh proses intrahepatik, tetapi oleh laju pada saat obat tersebut dapat dibawa oleh darah ke dalam

hati

Kompleksitas tambahan juga telah diperkirakan. Sebagai contoh, persamaan di atas tidak berlaku

untuk obat yang terikat pada komponen darah dan jaringan, dan juga tidak memberikan perkiraan

kemampuan intrinsik hati untuk mengeliminasi suatu obat saat tiadanya pembatasan oleh aliran darah,

yang disebut bersihan intrinsik. Dalam istilah biokimia dan pada kondisi orde pertama, bersihan intrinsik

merupakan ukuran perbandingan pa rameter-parameter kinetik Michaelis-Menten pada proses ell. minasi,
yaitu Pengembangan Persamaan (1-8) untuk memasukkan ikatan obat pada protein dan bersihan intrinsik

telah diusulkan untuk sejumlah model eliminasi hepatik (lihar Morgan and Smallwood, 1990). Semua

model tersebut menun jukkan bahwa ketika kapasitas metabolisme suatu organ yang mengeliminasi lebih

besar dibandingkan dengan laju masuknya obat, bersihan akan mendekati aliran darah dalam organ. Seba.

liknya jika kapasitas metabolisme kecil dibandingkan dengan laju tersedianya obat, bersihan akan

sebanding dengan fraksi obat bebas di dalam darah dan bersihan intrinsik obat. Konsep ini dapat

membantu memahami sejumlah hasil penelitian yang mungkin membingungkan. Sebagai contoh, induksi

enzim atau penyakit hati dapat mengubah laju metabolisme obat di dalam suatu enzim mikrosoma yang

terisolasi tetapi tidak mengubah bersihan pada hewan secara menyeluruh. Pada obat yang me miliki

perbandingan ekstraksi tinggi, bersihan dibatasi oleh ali an darah, dan perubahan dalam bersihan intrinsik

akibat induksi enzim atau penyakit hati akan memiliki efek yang kecil. Demi. kian pula pada obat yang

memiliki perbandingan ekstraksi ting. Bi, perubahan ikatan obat dengan protein akibat penyakit atau

interaksi pengikatan yang kompetitif akan berakibat kecil pada bersihan. Sebaliknya, perubahan bersihan

intrinsik dan ikatan protein akan berpengaruh pada bersihan obat yang memiliki ber sihan intrinsik rendah

dan perbandingan ekstraksi, tetapi peru bahan pada aliran darah akan memberi pengaruh kecil (Wilkinson

and Shand, 1975).

Bersihan Ginjal. Bersihan ginjal suatu obat mengakibatkan adanya obat tersebut di urin: perubahan sifat

farmakokinetika obat karena kelainan pada ginjal dapat juga dijelaskan dengan konsep bersihan. Namun,

kompleksitas yang berhubungan dengan filtrasi, sekresi aktif, dan reabsorpsi harus diperhitungkan. Laju

filtrasi suatu obat ter gantung pada volume cairan yang melewati glomerulus dan konsentrasi obat yang

tidak terikat di dalam plasma, karena obat yang terikat dengan protein tidak difiltrasi. Laju sekresi obat

melalui ginjal akan tergantung pada bersihan intrinsik obat oleh transporter dalam sekresi aktif dan juga

dipengaruhi oleh ikatan obat pada protein plasma, tingkat kejenuhan transporter ini, dan laju pelepasan

obat ke tempat sekresi. Selain itu perlu juga di perhitungkan proses-proses yang terlibat dalam reabsorpsi
obat dari cairan tubulus. Pengaruh perubahan pada ikatan protein, aliran darah, dan jumlah nefron yang

berperan dapat disamakan dengan contoh di atas untuk eliminasi hepatik.

DISTRIBUSI

Volume Distribusi. Volume distribusi merupakan para meter dasar kedua yang berguna dalam

mempelajari proses perpindahan obat. Volume distribusi (V) meng. hubungkan jumlah obat di dalam

tubuh dengan konsen trasi obat (C) di dalam darah atau plasma, tergantung pada cairan yang diukur.

Volume distribusi ini tidak boleh berhubungan dengan volume fisiologis yang dapat di identifikasi, tetapi

hanya berhubungan dengan volume cairan yang dibutuhkan untuk menampung seluruh obat dalam tubuh

pada konsentrasi yang sama dengan yang ada di dalam darah atau plasma

V = jumlah obat dalam tubuh/C (1-9)

Oleh karena itu, volume distribusi suatu obat mencerminkan jumlah obat yang ada di dalam jaringan

ekstravaskular. Volume plasma untuk seorang pria 70 kg sekitar 3 liter, volume darah se kitar 5.5 liter,

volume cairan ekstraselular di luar plasma sekitar 12 liter, dan volume total air dalam tubuh sekitar 42

liter. Namun banyak obat memiliki volume distribusi jauh melebihi harga di atas. Contohnya, jika 500 g

digoksin diberikan ke dalam tubuh pria 70 kg, konsentrasinya di dalam plasma akan teramat sekitar 0,75

ng/ml. Jika jumlah obat dalam tubuh dibagi dengan konsentrasi obat dalam plasma, akan menghasilkan

volume dis tribusi digoksin sekitar 650 liter atau hampir sepuluh kali lebih besar dari total volume tubuh

seorang pria dengan bobot 70 kg Kenyataannya, distribusi digoksin lebih cenderung ke dalam ja ringan

otot atau jaringan adiposa dan ke dalam reseptor spesifiknya, dan hanya menyisakan sangat sedikit obat di

dalam plasma. Untuk obat-obat yang banyak terikat dengan protein plasma tetapi tidak terikat pada
komponen jaringan, volume distribusinya akan mendekati volume plasma. Sebaliknya, obat-obat ter tentu

mempunyai volume distribusi yang besar meskipun keho nyakan obat dalam aliran darah terikat dengan

albumin, karena obat-obat ini juga terdapat di tempat lain.

Volume distribusi dapat bervariasi tergantung pada tingkat relatif ikatan dengan plasma dan

protein jaringan, koefisien partisi obat dalam lemak, dan sebagainya. Seperti yang diharapkan, volume

distribusi obat tertentu dapat berbeda tergantung usia, jenis kelamin, komposisi tubuh, dan adanya

penyakit.

Beberapa istilah volume sering dipakai untuk menjelaskan distribusi obat, dan istilah-istilah tersebut

didapat melalui sejumlah cara. Volume distribusi yang didefinisikan dalam Persamaan (1-9) menganggap

tubuh sebagai kompartemen tunggal yang homogen. Dalam model satu-kompartemen ini, semua

pemberian obat terjadi langsung ke dalam terjadi segera ke ke dalam kompartemen pusat dan distribusi

obat ke seluruh volume (V) tersebut. Bersihan obat dari seperti didefinisikan dalam Persamaan (1-3);

yaitu jumlah i kompartemen ini terjadi mengikuti orde pertama, obat yang dieliminasi per satuan waktu

tergantung pada jumlah (konsentrasi) obat di kompartemen tubuh. Gambar 1-4A dan Persamaan (1-10)

menunjukkan penurunan konsentrasi obat dalam plasma seiring waktu untuk obat yang diberikan ke

kompartemen ini

C= ( dosis/V) . e^-kT (1-10)

Pada persamaan ini, k adalah tetapan laju eliminasi yang menggambarkan fraksi obat yang dipindahkan

dari kompartemen per satuan waktu. Harga k berbanding terbalik dengan waktu paruh obat (k =

0,693/t1/2)
A. Pada contoh ini, konsentrasi obat diukur dalam plasma 2 jam setelah dosis diberikan. Plot

semilogaritma konsentrasi plasma terhadap waktu menunjukkan bahwa obat dieliminasi dari

suatu kompartemen tunggal melalui proses orde pertama (Persamaan (1-10) dengan waktu paruh

4 jam (k 0,692 0.173 h '). Volume distribusi (V) dapat ditentukan dari nilai C, yang diperoleh dari

ekstrapolasi terhadap t=0C; - 16 g/ml). Volume distribusi Persamaan (1-9) untuk model satu

kompartemen adalah 31,3 liter atau 0,45 liter/kg (V dosis Bersihan untuk obat ini adalah 90

ml/menit; untuk model satu kompartemen, CLXV.

B. Pengambilan sampel sebelum 2 jam menunjukkan bahwa pada kenyataannya obat mengikuti

kinetika multieksponensial. Waktu parah perpindahan akhir adalah 4 jam, bersihan adalah 84

mmenit (Persamaan (1-5). Vor adalah 29 liter (Persamaan (1-11), dan V adalah 26,8 liter.

Volume distribusi obat awal atau "pusar" (V, - dosis) adalah 16,1 liter. Contoh yang dipilih

menunjukkan bahwa kinetika multikompartemen dapat berbeda jika pengambilan sampel pada

waktu awal diabaikan. Dalam kasus ini, hanya ada 10% kesalahan dalam penghitungan bersihan

jika sifat multikomponen diabaikan. Untuk banyak obat, farmakokinetika multikomponen dapat

diamati selama periode waktu yang, signifikan, dan kegagalan memperhitungkan fase distribusi

dapat menyebabkan kesalahan signifikan dalam menghitung bersihan dan dalam membuat

perkiraan dosis yang sesuai. Juga. perbedaan antara volume distribusi "pusat dan istilah lain
menunjukkan bahwa distribusi yang lebih lebar penting dalam memutuskan suatu strategi dosis

awal.

Model satu-kompartemen ideal yang didiskusikan di atas tidak menggambarkan keseluruhan waktu

pada perubahan konsentrasi plasma. Reservoir jaringan tertentu dapat dibedakan dari kompartemen pusat,

dan konsentrasi obat tampaknya menurun mengikuti cara yang dapat dijelaskan dengan istilah

multieksponensial (lihat Gambar 1-4B). Meskipun demikian, model satu-kompartemen sudah cukup

memadai untuk diterapkan untuk sebagian besar keadaan klinis kebanyakan obat

Laju Distribusi Obat Penurunan multieksponensial yang ter amati pada obat yang diliminasi dari tubuh

mengikuti kinetika orde pertama diakibatkan oleh perbedaan laju pada saat obat mencapai keseimbangan

dengan jaringan. Laju terjadinya ke seimbangan akan tergantung pada perbandingan antara aliran darah

dalam jaringan terhadap partisi obat ke dalam jaringan Dalam banyak kasus, kelompok-kelompok

jaringan yang memiliki perbandingan aliran/partisi yang sama, semuanya akan mencapai keseimbangan

pada laju yang sama, sehingga hanya satu fase distribusi (penurunan konsentrasi secara tajam di awal,

seperti pada Gambar 1-48) yang terlihat. Hal ini menunjukkan seolah-olah obat memulai dalam volume

"pusat yang terdiri atas plasma dan reservoir jaringan yang berada dalam keseimbangan yang cepat dan

mendistribusi ke suatu volume "akhir"; pada saat ini konsentrasi obat di dalam plasma menurun secara

log-linier dengan tetapan lajuk (lihat Gambar 1-43)

Jika pola atau perbandingan aliran darah ke dalam berbagai jaringan berubah pada seorang individu

atau berbeda antar individu, laju distribusi obat ke dalam jaringan juga akan berubah. Namun, perubahan

aliran darah juga dapat menyebab kan beberapa jaringan yang berada dalam volume "pusat" men. capai

keseimbangan secara cukup lambat sehingga seolah terlihat seperti volume akhir". Ini berarti volume

pusat akan muncul beragam sesuai keadaan penyakit yang menyebabkan berubah nya aliran darah di
daerah tersebut. Setelah suatu pemberian bolus intravena, konsentrasi obat di dalam plasma mungkin akan

lebih tinggi pada individu yang memiliki perfusiburuk (misalnya pada orang syok) dibandingkan dengan

yang mempunyai perfusi lebih baik. Konsentrasi sistemik yang lebih tinggi ini dapat menyebabkan

konsentrasi yang lebih besar dan efek yang lebih besar) di dalam jaringan seperti otak dan jantung, yang

biasanya perfusi tinggi tidak berkurang dengan perubahan keadaan hemodinamik. Dengan demikian, efek

suatu obat pada tempat kerja yang berbeda dapat bervariasi, tergantung pada perfusi di tempat kerja obat

tersebut ,

Istilah Volume Multikompartemen. Dua istilah berbeda telah digunakan untuk menjelaskan volume

distribusi untuk obat-obat yang mengalami penurunan multieksponensial (multiple expo nential decay).

Pertama, yang ditetapkan, dihitung sebagai perbandingan bersihan terhadap laju penurunan konsentrasi

selama fase (akhir) eliminasi kurva konsentrasi logaritmik ter hadap waktu :

Perhitungan parameter ini dapat dilakukan langsung, dan volume dapat ditentukan setelah pemberian obat

dosis tunggal melalui rute intravena atau oral (yang dosisnya harus dikoreksi untuk ketersediaan hayati).

Namun, volume distribusi pada multikom. partemen lain mungkin lebih berguna, terutama jika efek

kondisi penyakit terhadap farmakokinetika akan ditetapkan. Volume distribusi pada keadaan tunak (V.)

mewakili volume obat yang diperkirakan terdistribusi selama keadaan tunak jika obat yang terdapat

dalam volume tersebut konsentrasinya sama dengan yang terdapat pada cairan yang diukur (plasma atau

darah). Setelah pemberian obat secara intravena, penghitungan V. lebih rumit daripada Persamaan (1-11)
tetapi dapat dihitung (Benet and Galeazzi, 1979). Jika obat diberikan melalui oral, penghitungan V lebih

sulit. Walaupun merupakan parameter yang sederhana dan mudah menghitungnya, nilai ini akan ber

variasi jika terjadi perubahan pada tetapan laju eliminasi, meskipun jika tidak ada perubahan pada ruang

distribusi. Hal ini karena laju penurunan akhir konsentrasi obat di dalam darah atau plasma tidak hanya

tergantung pada bersihan tetapi juga pada laju distribusi obat antara volume "pusar dan volume akhir". V.

tidak mengalami hal ini. Jika kita menggunakan parameter farmakokinetik dalam menetapkan dosis obat,

perbedaan antara V dan V. biasanya secara klinis tidak bermakna. Namun, keduanya dicantumkan dalam

data farmakokinetik di Lampiran II, tergantung pada pustaka yang ada.

WAKTU PARUH

Waktu paruh) adalah waktu yang diperlukan agar konsentrasi plasma atau jumlah obat di dalam tubuh

berkurang 50%. Sebagai contoh sederhana, pada model satu-kompartemen (Gambar 1-4A), waktu paruh

dapat ditetapkan segera dan digunakan untuk menentukan dosis obat. Namun, seperti ditunjukkan pada

gambar 1-4B, konsentrasi obat dalam plasma sering mengikuti pola penurunan multicksponensial; oleh

karena itu, dua atau lebih istilah waktu paruh dapat dihitung.

Dahulu, waktu paruh yang biasanya dilaporkan sesuai de ngan fase eliminasi log-linier akhir. Namun,

seiring makin besar nya kepekaan analitis yang dicapai, konsentrasi terukur yang makin rendah

tampaknya menghasilkan waktu paruh akhir yang semakin panjang. Misalnya, waktu paruh akhir

gentamisin di perolch 53 jam (dibandingkan dengan nilai 2-3 jam yang relevan secara klinis pada

Lampiran II), dan siklus empedu mungkin bertanggung jawab untuk nilai akhir 120 jam pada indometasin

(dibandingkan dengan waktu paruh 2,4 jam pada Lampiran II). Relevansi waktu paruh tertentu dapat

dinyatakan dalam fraksi bersihan dan volume distribusi yang berhubungan dengan ma sing-masing waktu

paruh dan apakah konsentrasi obat dalam plasma atau jumlah obat dalam tubuh paling tepat dihubungkan

dengan respons. Harga waktu paruh tunggal yang diberikan untuk masing-masing obat pada Lampiran II

dipilih untuk meng. gambarkan waktu paruh yang paling relevan secara klinis.
Penelitian awal mengenai sifat-sifat farmakokinetik obat pada penyakit diganggu oleh keyakinan

bahwa waktu paruh merupakan ukuran tunggal perubahan disposisi obat. Sekarang disadari bahwa waktu

paruh adalah parameter turunan yang berubah sebagai fungsi bersihan dan volume distribusi. Persamaan

yang digunakan untuk melihat hubungan antara waktu paruh yang relevan secara klinis, bersihan, dan

volume distribusi pada keadaan tunak:

T1/2= 0,693. V33/CL (1-12)

Bersihan adalah ukuran kemampuan tubuh untuk mengeliminasi suatu obat; oleh karena itu, jika

bersihan berkurang, misalnya karena proses suatu penyakit, waktu paruh akan meningkat. Namun,

hubungan timbal balik ini hanya berlaku jika penyakit tersebut tidak mengubah volume distribusinya.

Sebagai contoh, waktu paruh diazepam meningkat dengan meningkatnya usia; namun bukan bersihan

yang berubah sebagai fungsi usia, melainkan volume distribusi. (Klotz et al., 1975). Serupa dengan hal

tersebut, adanya perubahan han pada ikatan obat dengan protein plasma dapat memengaruhi bersihan,

begitu pula volume distribusi, yang mengakibatkan perubahan waktu paruh yang tidak dapat diprediksi

sebagai fungsi penyakit. Sebagai contoh, waktu paruh tolbutamida menurun pada pasien hepatitis virus

akut, sama sekali berlawanan dari apa yang diperkirakan. Penyakit memengaruhi ikatan obat dengan

protein plasma dan protein jaringan, volume distribusi tidak berubah tetapi meningkatkan harga bersihan,

sebab konsentrasi obat yang tidak terikat lebih tinggi (Williams et al., 1977)

Walaupun dapat terjadi indeks eliminasi obat yang sempit, waktu paruh menjadi indikasi yang baik

untuk menunjukkan waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan tunak setelah suatu regimen dosis

dimulai atau
diubah (yakni diperlukan empat waktu paruh untuk mencapai sekitar 94% keadaan tunak yang baru),

waktu yang diperlukan obat keluar tubuh, dan sebagai alat bantu untuk menghitung selang dosis yang

sesuai (lihat di bawah).

Keadaan Tunak. Persamaan (1-1) menunjukkan bahwa konsentrasi keadaan tunak akhirnya dapat

dicapai ketika suatu obat diberikan pada laju tetap. Pada keadaan ini, eliminasi obat (hasil kali bersihan

dan konsentrasi; Persamaan (1-3)) akan sama dengan laju ketersediaan hayati obat. Konsep ini juga

dikembangkan untuk pemakaian dosis berulang (misalnya pemberian obat 250 mg setiap 8 jam). Selama

tiap selang antardosis, konsentrasi obat akan naik turun. Pada keadaan tunak, seluruh siklus diulang sama

persis pada setiap selang. Persamaan (1-1) masih diterapkan untuk pemberian dosis berulang, tetapi

sekarang menggambarkan rata-rata konsentrasi obat (C) selama selang antardosis. Dosis keadaan tunak

diilustra sikan pada Gambar 1-5.


TINGKAT DAN LAJU KETERSEDIAAN HAYATI

Ketersediaan Hayati. Penting dibedakan antara laju da tingkat absorpsi obat dengan jumlah obat yang

pada akhi nya mencapai sirkulasi sistemik, sebagaimana tela didiskusikan di atas. Jumlah obat yang

mencapai sirkulas sistemik dipengaruhi oleh dosis pemberian dan juga ole fraksi dosis, F, yang diabsorpsi

dan tidak mengalami el minasi lintas-pertama. Fraksi ini sering disebut keterse diaan hayati. Alasan

terjadinya absorpsi yang tida sempurna telah dijelaskan di atas. Juga, seperti disinggun sebelumnya, jika

suatu obat mengalami proses metabc lisme di epitel usus atau hati, atau dickskresi di empedu beberapa

obat aktif yang diabsorpsi dari saluran gastro intestinalis akan dieliminasi sebelum obat mencapai alira

darah dan didistribusi ke tempat kerjanya.

Dengan mengetahui perbandingan ekstraksi (E H) suatu ob melewati hati (lihat Persamaan 1-8),

ketersediaan haya maksimum setelah pemberian oral (F MAX) dapat diperkirakan dengan mengasumsikan

bahwa eliminasi hepatik mengiku proses orde pertama:

FMAX = 1 – EH=1 – (CLHEPATIK/QHEPATIK). (1-13)

Oleh karena itu, jika bersihan darah hepatik obat tersebut relam lebih besar dari aliran darah hepatik,

tingkat ketersediaan hanyakan rendah jika obat diberikan secara oral (misalnya untu lidokain). Penurunan

ketersediaan hayati ini merupakan fung dari tempat fisiologis terjadinya absorpsi, dan tidak ada

modifikasi bentuk sediaan apa pun tidak akan memperbaiki kete sediaan hayati pada kondisi kinetik

linier. Absorpsi yang tida sempurna dan/atau metabolisme di usus setelah pemberian or pada praktiknya

akan menurunkan harga F maksimum yar diperkirakan ini


Jika obat diberikan melalui rute yang diharapkan lol dari eliminasi lintas-pertama, persamaan

sebelumnya yan mengandung istilah dosis atau laju pemberian (Persamaa (1-1), (1-5), (1-10), dan (1-11)]

juga harus mengikutka istilah ketersediaan hayati F, sehingga dosis yang terseda atau laju dosis

digunakan. Sebagai contoh, Persamaa (1-1) dimodifikasi menjadi:

F. laju pemberian = CL . C33 (1-14)

Laju Absorpsi. Walaupun laju absorpsi obat secam umum tidak memengaruhi konsentrasi rata-rata obat

da lam plasma pada keadaan tunak, hal itu masih dapat mem ngaruhi terapi obat. Jika suatu obat

diabsorpsi denga cepat (misalnya dosis yang diberikan melalui bolus intrvena) dan mempunyai volume

"pusat kecil, maka kom sentrasi obat pada awalnya akan tinggi, kemudi konsentrasi akan turun begitu

obat terdistribusi ke volum "akhir yang lebih besar (lihat Gambar 1-48). Jika ob yang sama diabsorpsi

lebih lambat, (misalnya melal infus lambat), obat akan terdistribusi ketika obat sedang diberikan dan

konsentrasi puncak akan lebih rendah sehingga tercapai lebih lambat. Sediaan lepas-terkontrol dirancang

untuk memberikan laju absorpsi yang lambat dan terkendali agar menghasilkan profil konsentrasi plasma-

waktu yang fluktuasinya kecil selama selang pemberian dibandingkan dengan sediaan yang pelepasannya

lebih cepat. Obat tertentu dapat menghasilkan efek yang diharapkan dan yang tidak diharapkan pada

beberapa tempat kerjanya dalam tubuh, dan laju distribusi obat ke tempat ini dapat berbeda-beda. Oleh

karena itu, intensitas relatif efek-efek obat yang berbeda ini sementara dapat bervariasi jika laju

pemberian obat berubah.

FARMAKOKINETIKA NONLINIER
Ketidaklinieran dalam farmakokinetika (yakni perubahan pada parameter seperti bersihan, volume

distribusi, dan waktu paruh sebagai fungsi dosis atau konsentrasi obat) biasanya terjadi karena adanya

kejenuhan ikatan protein, metabolisme hepatik, atau transpor aktif obat di ginjal.

Ikatan Protein Dapat-Jenuh. Jika konsentrasi molar obat meningkat, fraksi obat yang tidak terikat pada

akhimya juga akan meningkat (karena semua tempat berikatan menjadi jenuh). Hal ini biasanya terjadi

hanya jika konsentrasi obat dalam plasma berada dalam rentang puluhan sampai ratusan mikrogram per

mililiter. Untuk obat yang dimetabolisme oleh hati dengan perbandingan bersihan intrinsik/ekstraksi yang

rendah, kejenuh an ikatan protein-plasma akan menyebabkan baik dan bersihan meningkat begitu

konsentrasi obat bertambah; oleh karena itu, waktu paruh mungkin tetap (lihar Persamaan (1-12). Untuk

obat semacam ini, C, tidak akan meningkat secara linier pada meningkatnya laju pemberian obat. Untuk

obat-obatan yang dikeluarkan dari tubuh dengan perbandingan bersihan intrinsik ekstraksi yang tinggi, C,

dapat tetap berbanding lurus terhadap laju pemberian obat. Pada keadaan ini, bersihan hepatik tidak akan

berubah, dan peningkatan V akan meningkatkan waktu paruh eliminasi melalui penurunan fraksi obat

total dalam tubuh yang dikirim ke hati persatuan waktu. Kebanyakan obat berada di antara dua keadaan

ekstrem ini, dan efek ikatan protein non-linier bisa menjadi sulit diprediksi

Eliminasi Dapat-Jenuh. Pada keadaan ini, persamaan Michaelis-Menten [Persamaan (1-2)] biasanya

menjelaskan tentang ketidaklinieran. Semua proses aktif sudah pasti jenuh, tetapi akan terlihat linier jika

harga konsentrasi obat dalam kenyataannya jauh lebih kecil daripada harga k. Jika harga k. dilampaui,

kinetika nonlinier akan terjadi. Akibat utama penjenuhan meta bolisme atau transpor merupakan

kebalikan dari penjenuhan ikatan protein. Jika kedua keadaan di atas muncul bersamaan, hilang efek

masing-masing akan betul-betul dan secara mengejutkan akan muncul kinetika linier; ini terjadi pada

rentang ter tentu konsentrasi asam salisilat.


Metabolisme dapat jenuh menyebabkan metabolisme tas-pertama oral menjadi lebih kecil dari yang

seharusnya (F lebih tinggi), dan terjadi peningkatan C, fraksional yang lebih besar daripada peningkatan

laju pemberian obat. C,, dapat di peroleh dengan mensubstitusi Persamaan (1-2) ke dalam Persamaan (1-

1) dan menjadi konsentrasi keadaan tunak:

Jika laju pemberian mendekati laju eliminasi maksimum (v.), harga pembagi pada Persamaan (1-15)

akan mendekati nol dan C akan meningkat secara tidak seimbang. Karena pen jenuhan metabolisme

seharusnya tidak memengaruhi volume distribusi, bersihan dan laju eliminasi obat relatif menurun de

ngan meningkatnya konsentrasi. Oleh karena itu, kurva log konsentrasi obat dalam plasma terhadap

waktu akan berkurang kelengkungannya sampai metabolisme menjadi tidak jenuh dan eliminasi orde

pertama terjadi. Dengan demikian, konsep waktu paruh tetap menjadi tidak berlaku pada metabolisme

non-linier yang terjadi pada rentang konsentrasi klinis yang biasa. Akibatnya, penggantian laju pemberian

untuk obat yang memiliki metabolisme nonlinier menjadi sulit dan tidak dapat diprediksi, karena keadaan

tunak yang tercapai lebih lambat, dan yang penting, efeknya tidak berbanding lurus dengan perubahan

laju pemberian

Fenitoin merupakan contoh obat yang mengalami kejenuhan metabolisme dalam rentang konsentrasi

terapi (lihar Lampiran II), Km (5 sampai 10 mg per liter) biasanya mendekati rentang terapi terendah (10

sampai 20 mg per liter). Untuk beberapa individu khususnya anak-anak, K. 1 per liter Jika pada individu

tersebut konsentrasi target 15 mg per liter, dan ini dicapai pada laju pemberian dosis 300 mg per hari,

maka berdasarkan Persamaan (1-15), sama dengan 320 mg per hari Untuk pasien tersebut, dosis lebih

rendah 10% dari dosis optimal (misalnya 270 mg per hari) akan menghasilkan sebesar 5 mg per liter,

lebih rendah dari yang diharapkan. Sebaliknya, dosis lebih besar 10% dari dosis optimal (330 mg per
hari) akan melebihi kapasitas metabolisme (hingga 10 mg per hari) dan me nyebabkan kenaikan

konsentrasi yang berlangsung lama dan Lambat tetapi tanpa akhir, sehingga mengakibatkan keracunan.

Dosis tidak dapat dikendalikan dengan sangat tepat (kurang dari 10 kesalahan). Oleh karena itu, untuk

pasien yang memiliki konsentrasi target fenitoin sepuluh kali lebih besar dari katau lebih, mau tidak mau

harus harus mengganti terapi. Untuk obat seperti fenitoin yang mempunyai indeks terapi sempit dan

metabolisme nonlinier, pemantauan terapi obat (lihat di bawah) menjadi sangat penting.

RANCANGAN DAN OPTIMASI PENGATURAN DOSIS

Setelah pemberian satu dosis obat, efeknya biasanya menunjukkan pola sementara yang khas (Gambar 1-

6). Onset efek tersebut didahului dengan periode lag, setelah itu efek meningkat sampai maksimum, lalu

menurun jika kemu dian tidak diberikan dosis yang baru, efek obat akhirnya menghilang. Perjalanan

waktu ini menggambarkan perubahan-perubahan konsentrasi obat sebagai farmakokinetika absorpsi,

distribusi, dan eliminasinya. Dengan demikian, intensitas efek obat berkaitan dengan konsentrasinya di

atas konsentrasi efektif minimum, sementara durasi efek obat terkait dengan lamanya kadar obat di atas

konsentrasi efektif minimum. Hal ini secara umum berlaku untuk efek obat yang dikehendaki maupun

efek yang tidak dikehendaki (efek merugikan), dan sebagai hasilnya, terdapat jendela terapi yang

menggambarkan rentang konsentrasi yang memberikan khasiat tanpa toksisitas yang membahayakan.
Pertimbangan yang sama juga berlaku setelah pemberian ulang yang berkaitan dengan terapi jangka

panjang, sehingga hal itu menentukan jumlah dan frekuensi pemberian obat untuk mencapai efek terapi

optimal. Secara umum, batas bawah rentang terapeutik tampaknya hampir sama dengan konsentrasi obat

yang menghasilkan setengah efek terapi terbesar yang mungkin terjadi, dan batas atas tentang terapi

sedemikian hingga tidak lebih dari 5% mpai 10% pasien mengalami efek toksik. Untuk beberapa jenis

obat, ini dapat berarti bahwa batas atas rentang tidak lebih dari dua kali batas bawah. Tentu saja jumlah

ini dapat sangat bervariasi dan beberapa pasien dapat memperoleh manfaat dari konsentrasi obat yang

melebihi rentang terapi, sementara pada pasien lain toksisitas dapat terjadi pada kadar yang jauh lebih

rendah.

Untuk sejumlah obat tertentu, beberapa efek obat mudah diukur (seperti tekanan darah, gula darah),

dan hal ini dapat digunakan untuk mengoptimalkan dosis, dengan menggunakan pendekatan trial-and-
error. Dalam kasus yang ideal pun, dapat muncul persoalan kuantitatif seperti seberapa sering dosis harus

diubah, dan seberapa besar. Hal ini biasanya dapat ditentukan dengan aturan umum yang sederhana

didasarkan atas prinsip-prinsip yang telah didiskusikan (misalnya mengubah dosis tidak lebih dari 50%

dan tidak lebih sering dari tiap tiga hingga empat waktu paruh). Kemungkinan lain, beberapa obat

memiliki toksisitas terkait dosis yang sangat kecil dan afikasi maksimum biasanya diharapkan. Untuk

obat-obat seperti ini, dosis yang melebihi jumlah rata-rata yang diperlukan akan menjamin khasiat (jika

mungkin) dan memperpanjang kerja obat. Strategi "dosis maksimal tersebut sering dilakukan untuk

penisilin dan antagonis reseptor B-adre. Nergik

Namun untuk kebanyakan obat, efeknya sukar diukur (atau obat diberikan untuk profilaksis), memiliki

potensi toksisitas dan kurang berkhasiat, dan/atau indeks terapi sempit. Dalam keadaan seperti ini, dosis

harus disesuaikan secara hati-hati, dan dosis obat lebih dibatasi oleh toksisitas daripada oleh khasiat.

Sehingga tujuan terapi adalah untuk menjaga kadar obat keadaan tunak dalam jendela terapi. Untuk

kebanyakan obat, konsentrasi sebenarnya pada rentang yang diharapkan ini tidak diketahui dan tidak

perlu diketahui. Cukup dimengerti saja bahwa khasiat dan toksisitas umumnya tergantung pada

konsentrasi, dan bahwa dosis obat serta frekuensi pemberian memengaruhi kadar obat. Namun, untuk

sejumlah kecil obat, yang memiliki sedikit perbedaan (dua sampai tiga kali) antara konsentrasi yang

menghasilkan khasiat dan toksisitas (seperti digoksin, teofilin, lidokain, aminoglikosida, siklosporin, dan

antikonvulsan), rentang konsentrasi plasma un tuk terapi efektif telah ditetapkan. Dalam hal ini, strategi

kadar target masuk akal dilakukan, yakni memilih konsentrasi obat tunak yang diinginkan (target)

(biasanya konsentrasi dalam plasma) yang menghasilkan khasiat dan toksisitas minimal, serta dosis

dihitung yang diharapkan mencapai harga ini. Konsentrasi obat kemudian dihitung, dan dosis diatur jika

perlu agar lebih mendekati target (lihat juga Bab 3).

Dosis Pemeliharaan. Dalam kebanyakan situasi klinis, obat diberikan dalam satu rangkaian dosis

berulang atau sebagai infus kontinu untuk memelihara konsentrasi obat tunak dalam memenuhi jendela
terapi. Oleh karena itu, perhitungan dosis pemeliharaan yang tepat merupakan tujuan utama. Untuk

mempertahankan konsentrasi tunak atau konsentrasi target yang dipilih, laju pemberian obat perlu

ditentukan sehingga laju obat masuk sama besar dengan laju eliminasi. Hubungan ini telah ditetapkan

pada Persamaan (1-1) dan (1-14) dan disini dinyatakan berkenaan dengan konsentrasi target yang

diinginkan:

laju pemberian = target Cp . CL/F (1-9)

Jika klinisi telah memutuskan konsentrasi obat yang diharapkan dalam plasma dan mengetahui harga

bersihan dan ketersediaan hayati untuk obat tersebut pada pasien tertentu, maka dosis yang sesuai dan

selang pemberian dapat dihitung

Contoh. Digoksin oral digunakan sebagai dosis pemeliharaan untuk secara berangsur "mendigitalisasi

seorang pasien ber bobot 69 kg yang menderita gagal jantung kongestif. Konsentrasi plasma tunak

sebesar 1.5 ng/ml dipilih sebagai target. Berda sarkan fakta bahwa bersihan kreatinin pasien (CL) sebesar

100 ml/menit, bersihan digoksin dapat dihitung dari data pada Lampiran II

Selang Pemberian untuk Dosis Berulang. Secara umum, luktuasi konsentrasi pada pemberian berulang

tidaklah dikehendaki Jika absorpsi dan distribusi terjadi cepat, fluktuasi konsentrasi obat antardosis dapat

diatur sepenuhnya oleh waktu paruh eliminasi obat. Jika selang pemberian (T) dipilih sama dengan waktu

paruh, total fluktuasi akan menjadi dua kali lipat. Hal ini masih dapat ditoleransi,
Dari pertimbangan farmakodinamik, jika suatu obat relatif ti dak toksik, sedemikian sehingga

konsentrasi beberapa kali lipat di atas yang dibutuhkan untuk terapi dapat mudah ditolerir, maka

pemberian dosis maksimum dapat diterapkan, dan selang pemberian dapat jauh lebih panjang dari waktu

paruh eliminasinya untuk kenyamanan). Waktu paruh amoksisilin sekitar 2 jam, tetapi sering diberikan

dalam dosis besar setiap 8 atau 12 jam

Pada beberapa obat yang memiliki rentang terapi sempit. kemungkinan perlu menghitung konsentrasi

maksimum dan minimum yang akan terjadi untuk selang pemberian tertentu.

Konsentrasi keadaan tunak minimum dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan (1-17):

K=0,693 dibagi waktu paruh yang relevan secara klinis dan T adalah selang pemberian. Terminologi"

sesungguhnya meru. pakan fraksi dosis terakhir (dikoreksi untuk ketersediaan hayati) yang masih

tertinggal dalam tubuh pada akhir selang pemberian,

Pada obat-obat yang mengikuti kinetika multieksponensial dan diberikan secara oral, penentuan

konsentrasi keadaan tunak maksimum Camelibatkan sejumlah tetapan eksponensis yang kompleks untuk

distribusi dan absorpsi. Jika pada pem. berian oral berulang, tetapan di atas diabaikan, prediksi konsen

trasi keadaan tunak maksimal dapat dilakukan dengan menghilangkan parameter" pada pembilang

Persamaan (1.17), (lihat Persamaan (1.18), di bawah). Karena perkiraan tersebut, konsentrasi maksimum

yang diperkirakan dari Persamaan (1-18) akan lebih besar dari yang sebenarnya teramati.
Contoh. Pada penderita gagal jantung kongestif di atas, dosis pemeliharaan oral 0,375 mg/24 jam

digoksin berdasarkan perhitungan dapat mencapai konsentrasi plasma rata-rata 1,65 ng/ml selama selang

pemberian. Digoksin mempunyai indeks terapi sempit, dan konsentrasi plasma antara 0,8 dan 2,0 ng/ml

biasanya memberikan khasiat dan toksisitas minimum. Oleh karena itu, perlu diketahui bahwa konsentrasi

plasma maksimum dan minimum akan diprediksi pada regimen tersebut. Ini pertama memerlukan

penghitungan volume distribusi digoksin berda sarkan data pada Lampiran 11

Akibatnya konsentrasi plasma akan berfluktuasi sekitar dua kali lipat, konsisten dengan selang dosis yang

sama dengan waktu Paruh digoksin. Konsentrasi puncak juga akan melampaui batas atas rentang terapi,

sehingga pasien mengalami efek merugikan. dan pada akhir selang dosis konsentrasi akan berada di atas

tetapi dekat dengan batas bawah. Dengan menggunakan laju pembe rian yang sama tetapi mengurangi

frekuensi pemberian, akan diperoleh profil konsentrasi obat dalam plasma terhadap waktu yang jauh lebih

mulus, sambil tetap menjaga nilai keadaan tunak rata-rata 1.65 ng/ml. Sebagai contoh, pada pemberian

0,375 mg tiap 24 jam, konsentrasi plasma maksimum diprediksikan sebesar 1,90 ng/ml, sedangkan
konsentrasi plasma minimum sebesar 1,44 ng/ml, yang berada pada bagian atas jendela terapi.

Sebaliknya, pada pemberian 0,25 mg tiap 24 jam akan meng hasilkan nilai puncak 1,26 ng/ml dan lembah

0,96 ng/ml yang akan memberikan harga keadaan tunak 1.10ng/ml. Tentu saja Klinisi perlu

memperhitungkan masalah kepatuhan dalam pe makaian regimen dosis yang sering terhadap masalah

periode ketika pasien menerima jumlah obat yang terlalu tinggi atau ter lalu rendah.

Dosis Muatan. "Dosis muatan" (loading dose) meru pakan satu atau serangkaian dosis yang dapat

diberikan pada awal terapi dengan tujuan mencapai target konsen trasi dengan cepat. Besarnya dosis

muatan dapat dihitung dengan:

Dosis muatan = target Cp . Vss/F (1-20)

Suatu dosis muatan dapat diperlukan jika waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan tunak

dengan pem berian obat pada laju yang tetap (empat kali waktu paruh eliminasi) relatif lama terhadap

tuntutan sementara kea daan yang sedang ditangani. Contoh, waktu paruh lidokain biasanya 1 sampai 2

jam. Aritmia yang muncul setelah infark jantung jelas dapat mengancam jiwa, dan orang tidak dapat

menunggu 4 sampai 8 jam untuk memperoleh konsentrasi terapi lidokain melalui pemberian infus pada

laju yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi ini. Oleh karena itu, penggunaan dosis muatan lidokain

di unit perawatan jantung merupakan standar yang

Pemakaian dosis muatan juga memiliki kerugian signifikan. Pertama, pasien yang sensitif dapat

terpajan konsentrasi toksik obat secara mendadak. Jika obat yang diberikan memiliki waktu paruh

panjang, dibutuhkan waktu yang lama untuk menurunkan konsentrasi obat jika kadar yang tercapai

berlebih. Dosis muatan cenderung besar, dan sering diberikan secara parenteral dan cepat; ini terutama

berbahaya jika efek toksik terjadi akibat kerja obat pada tempat yang cepat mencapai kesetimbangan

dengan plasma. Hal ini disebabkan oleh dosis muatan yang dihitung berdasarkan V. setelah distribusi obat
pada awalnya terdesak dalam volume distribusi "pusat" awal dan lebih kecil. Oleh karena itu, biasanya

disarankan untuk membagi dosis muatan menjadi sejumlah fraksi dosis yang lebih kecil yang diberikan

selama periode waktu tertentu. Pilihan lain, dosis muatan diberikan se bagai infus intravena kontinu

selama suatu periode waktu Idealnya hal ini diberikan makin berkurang secara ksponensial untuk meniru

akumulasi dosis pemeliharaan obat secara bersamaan, dan ini sudah dapat dilakukan berkat pemakaian

pompa infus komputerisasi.

Contoh. "Digitalisasi" pada pasien yang diceritakan di atas terjadi bertahap hanya jika diberikan dosis

pemeliharaan (selama sekurang-kurangnya 10 hari dengan waktu paruh 61 jam). Respons yang lebih

cepat dapat tercapai (jika dianggap penting oleh dokter, lihat Bab 34) dengan menggunakan strategi dosis

muatan dan Persamaan (1-20)

Agar terhindar dari efek toksik, dosis muatan rute oral ini, yang juga bisa diberikan secara intravena, akan

diberikan sebagai dosis awal sebesar 0,5 mg diikuti dengan dosis 0,25 mg pada 6 sampai 8 jam kemudian

disertai peman. tauan pasien yang seksama. Juga dapat diberikan secara hati-hati dosis terakhir 0,25 mg,

jika diperlukan dalam dua dosis terbagi 0,125 mg yang saling berselang 6 sampai 8 jam untuk

menghindari overdigitalisasi, khususnya jika ada rencana memulai pemberian dosis pemeliharaan oral

selama 24 jam sejak awal terapi digoksin.

Individualisasi Dosis. Regimen dosis yang rasional adalah berdasarkan pengetahuan tentang F, CL V,

dan to, serta beberapa informasi tentang laju absorpsi dan distribusi obat Regimen dosis yang
direkomendasikan umumnya dirancang untuk pasien rata-rata", harga lazim untuk parameter penentuan

penting dan penyesuaian yang mungkin diperlukan terkait dengan penyakit atau faktor lain ditunjukkan

pada Lampiran II Namun, pendekatan "satu untuk semua ini mengabaikan keragaman antarpasien yang

sangat besar dan tidak dapat diprediksikan yang biasanya ada dalam parameter parameter farmakokinetik

ini. Untuk kebanyakan obat, simpangan baku yang teramati untuk F, C, dan V, berturut-turut berkisar

20%, 50%, dan 30%. Ini berarti bahwa 95% dari waktu yang diperlukan untuk mencapai C akan berada di

antara 35% dan 20% target; tentunya rentang yang besar ini tidak dapat diterima bagi obat-obatan yang

memiliki indeks terapi sempit. Oleh karena itu, individualisasi regimen dosis untuk pasien tertentu

menjadi sangat me nentukan untuk mencapai terapi yang optimal. Prinsip farmakokinetik seperti

dijelaskan sebelumnya memberi kan dasar untuk memodifikasi regimen dosis untuk mencapai derajat

khasiat yang diharapkan dengan efek merugikan seminimal mungkin. Jika konsentrasi obat dalam plasma

dapat diukur dan terkait dengan jendela terapi petunjuk tambahan untuk modifikasi dosis dapat diperoleh.

Pengukuran dan penyesuaian tersebut cocok untuk banyak obat yang memiliki indeks terapi yang rendah

(seperti glikosida jantung, senyawa antiaritmik, antikonvulsan, teofilin, dan lain-lain).

PEMANTAUAN TERAPI OBAT

Tujuan utama penetapan konsentrasi obat (pada keadaan tunak) adalah untuk menyempurnakan

penghitungan CUF pada pasien yang sedang diobati (menggunakan Persamaan (1-14) seperti disusun

kembali di bawah)

CL/F(pasien) = laju pemberian / Cn (terukur). (1-21)


Perkiraan harga CL/F yang baru dapat digunakan dalam Persamaan (1-16) untuk menetapkan dosis

pemeliharaan agar tercapai konsentrasi target yang diinginkan.

Kesulitan dan rincian tertentu yang berkaitan dengan peman tauan terapi obat perlu diperhatikan.

Pertama, berkaitan dengan waktu pengambilan sampel untuk penetapan konsentrasi obat Jika digunakan

dosis berulang, kapan harus mengambil sampel selama selang pemberian? Perlu dibedakan antara dua

kemung kinan penggunaan konsentrasi obat yang terukur untuk mengerti kemungkinan jawabannya.

Konsentrasi obat yang diukur dari Sampel yang diambil kapan saja diantara selang pemberian obat akan

memberikan informasi yang mungkin membantu penilaian toksisitas obat. Ini salah satu jenis pemantauan

terapi obat Namun, perlu ditekankan bahwa pemakaian konsentrasi obat yang telah ditetapkan ini

menyebabkan banyak kesulitan karena adanya keragaman antarindividu dalam hal sensitivitas terhadap

obat yang dipakai. Jika muncul pertanyaan tentang toksisitas, konsentrasi obat ini tidak lebih dari salah

satu dari sekian hal yang berguna untuk menafsirkan keadaan klinis.

Perubahan efek obat mungkin relatif lambat terhadap peru bahan konsentrasi obat dalam plasma,

karena laju distribusi yang lambat atau faktor farmakodinamik. Misalnya konsentrasi di goksin, biasanya

melebihi 2 ng/ml (harga yang memungkinkan terjadi efek toksik) tak lama setelah pemberian oral, tetapi

kon sentrasi puncak ini tidak menyebabkan toksisitas, toksisitas muncul sebelum efek puncak terjadi.

Oleh karena itu, konsen trasi obat dalam sampel yang diperoleh segera setelah pemberian obat tidak

memberi informasi yang berguna atau bahkan menye satkan

Jika konsentrasi obat digunakan untuk menetapkan dosis pemberian, sampel yang diperoleh segera

setelah pemberian obat hampir selalu menyesatkan. Kegunaan pengambilan sampel selama keadaan tunak

yang diharapkan adalah untuk memodi fikasi perkiraan CL/F dan menentukan pilihan dosis. Konsentrasi

obat segera setelah terjadi absorpsi tidak mencerminkan bersihannya; bersihan ditentukan terutama oleh

laju absorpsi, volume distribusi pusat" (dan bukan keadaan tunak), dan laju distribusi, semuanya
merupakan parameter farmakokinetik yang tidak ada kaitannya dengan pemilihan dosis pemeliharaan

untuk jangka panjang. Jika tujuan pengukuran adalah untuk penye suaian dosis, sampel harus diambil

lama setelah pemberian dosis sebelumnya sebagai aturan umum yaitu sebelum dosis berikut nya, saat

konsentrasi berada pada titik minimum. Ada kekecuali an untuk pendekatan ini yaitu beberapa obat

hampir tereliminasi sempurna di antara dun dosis yang diberikan dan bekerja hanya pada bagian awal

masing-masing selang dosis. Jika diperta nyakan apakah konsentrasi efektif obat semacam ini tercapai

atau tidak, suatu sampel yang diambil segera setelah pemberian satu dosis dapat membantu. Di sisi lain,

jika yang jadi pertanyaan adalah apakah bersihan rendah (seperti pada gagal ginjal) dapu menyebabkan

akumulasi obat atau tidak, konsentrasi yang dite tapkan sebelum dosis selanjutnya akan menampakkan

akumulasi tersebut dan sangat berguna untuk tujuan di atas daripada mengetahui konsentrasi maksimal.

Oleh karena itu, untuk obat se macam ini sebaiknya dilakukan penetapan konsentrasi maksimal dan

minimal

Aspek penting kedua dari pemilihan waktu yang tepat untuk pengambilan sampel adalah hubungannya

dengan permulaan regimen dosis pemeliharaan. Jika diberikan dosis yang tetap, keadaan tunak akan

tercapai hanya setelah empat kali waktu paruh. Jika pengambilan sampel dilakukan terlalu cepat setelah

pemberian obat dimulai, hasilnya kurang akurat untuk menggambarkan keadaan tersebut dan bersihan

obat. Namun, untuk obat yang toksik, jika pengambilan sampel ditunda sampai saat tercapai keadaan

tunak, kerusakan mungkin telah terjadi, Beberapa petunjuk sederhana dapat dilakukan. Jika menjaga

kontrol konsentrasi secara hati-hati penting dilakukan, sampel pertama harus diambil setelah dua kali

waktu paruh (seperti yang dihitung dan diharapkan untuk pasien), dengan asumsi tidak ada pemberian

dosis muatan. Jika konsentrasi telah mencapai lebih dari 90% konsentrasi keadaan tunak rata-rata akhir

yang diharapkan, laju pemberian harus dibagi dua, sampel lain diambil dalam dua waktu paruh (yang

diharapkan) lainnya, kemudian dosis dibagi dua lagi jika sampel ini melampaui targetnya. Jika

konsentrasi pertama tidak terlalu tinggi laju pemberian awal diteruskan, bahkan jika konsentrasi plasma
lebih rendah dari yang diharapkan, biasanya disarankan untuk menunggu terca painya keadaan tunak

dalam dua waktu paruh berikutnya dan kemudian dilakukan penyesuaian dosis seperti di atas

Jika dosisnya berulang, ada masalah ketiga yang perlu diper hatikan dalam pemilihan waktu

pengambilan sampel untuk menetapkan konsentrasi obat. Jika sampel diambil tepat sebelum pemberian

dosis selanjutnya, seperti disarankan, maka konsen trasi yang diperoleh akan merupakan nilai minimum,

bukan rata-rata. Namun seperti didiskusikan di atas, perkiraan konsen trasi rata-rata dapat dihitung

menggunakan Persamaan (1.14).

Jika obat mengikuti kinetika orde pertama, konsentrasi rata-rata, minimum, dan maksimum pada

keadaan tunak berban ding lurus dengan dosis dan laju pemberian (lihar Persamaan (1-14), (1-17), dan (1-

18)). Oleh karena itu, perbandingan antara konsentrasi hasil pengukuran dengan konsentrasi yang diharap

kan dapat digunakan untuk menetapkan dosis, sesuai dengan ukuran dosis yang tersedia

Sebelumnya telah dijelaskan sebagai contoh, pasien yang diberi kan 0,375 mg digoksin tiap 24 jam, jika

konsentrasi keadaan tunak hasil pengukuran diperoleh 1,65 ng/ml, berbeda dengan konsentrasi yang

diharapkan sebesar 1.3 ng/ml, regimen dosis yang cocok dan praktis adalah menurunkan dosis per hari

menjadi 0,25 mg digoksin


KEPATUHAN

Pada akhirnya, keberhasilan terapi akan tergantung pada penggunaan obat yang benar oleh pasien sesuai

dengan regimen dosis yang ditentukan -- Obat tidak bekerja jika anda tidak menggunakannya".

Ketidakpatuhan terhadap skedul penggunaan obat merupakan alasan kegagalan terspi yang utama dan

sering dianggap remeh, terutama dalam pengobatan penyakit jangka panjang yang menggunakan obat

antihipertensi, antiretrovirus, dan antikonvulsan. Jika tidak ada usaha khusus yang dilakukan untuk

mengatasi masalah ini, hanya sekitar 50% pasien yang mengikuti aturan penggunaan obat yang benar,

sekitar sepertiganya.

Patuh sebagian; dan sekitar 1 dari 6 orang pasien tidak patuh. Terlewat dosis lebih sering terjadi

daripada kelebihan dosis. Jumlah obat tampaknya tidak sepenting jumlah pemakaian obat per hari yang

harus diingat. (Farmer, 1999). Pengurangan jumlah waktu pemberian yang diperlukan akan memperbaiki

kepatuhan terhadap aturan dosis yang diresepkan. Hal penting lainnya adalah melibatkan pasien agar ikut

bertanggung jawab terhadap kesehatan mereka sendiri, dengan menggunakan berbagai strategi

berdasarkan perbaikan komunikasi berkenaan dengan sifat penyakit dan keseluruhan rencana terapi.

Anda mungkin juga menyukai