Anda di halaman 1dari 55

2.

1 Sistem Saraf
2.1.1 Definisi Sistem Saraf
Sistem saraf adalah pusat kontrol tubuh, pengaturan dan jaringan
komunikasi. Sistem ini mengarahkan fungsi organ dan sistem tubuh. Pusat
dari semua aktivitas mental, meliputi pemikiran, pembelajaran, dan memori.
Sistem saraf bersama-sama dengan sistem endokrin dalam mengatur dan
mempertahankan homeostasis (lingkungan internal tubuh kita) dengan
mengontrol kelenjar endokrin utama (hipofisis) melalui hipotalamus otak.
Melalui reseptornya, sistem saraf membuat manusia berhubungan dengan
lingkungan sekitarnya, baik eksternal dan internal. Seperti sistem lain dalam
tubuh, sistem saraf terdiri dari organ, terutama otak, sumsum tulang
belakang, saraf, dan ganglia, yang pada gilirannya, terdiri dari berbagai
jaringan, termasuk saraf, darah, dan jaringan ikat yang secara bersama
melaksanakan kegiatan yang kompleks dari sistem saraf.1
Berbagai aktivitas sistem saraf dapat dikelompokkan bersama dalam
tiga kategori umum. Tiga fungsi yang tumpang tindih, diilustrasikan dengan
contoh dari orang yang haus melihat dan kemudian mengangkat segelas air:
1) Fungsi sensorik. Sistem saraf menggunakan jutaan reseptor sensori
k nya untuk memantau perubahan yang terjadi baik di dalam dan lu
ar tubuh. Informasi yang dikumpulkan disebut input sensorik
2) Fungsi Integritas Sistem saraf memproses dan menafsirkan input se
nsorik kemudian memutuskan apa yang harus dilakukan pada setiap
saat. Proses ini disebut integrasi.
3) Fungsi motorik Sistem saraf mengaktifkan organ efektor, (otot dan
kelenjar untuk menimbulkan respon. Proses ini disebut output moto
rik.1,2
Gambar 1. Fungsi Sistem Saraf

Sistem saraf ini yang mengatur dan mengendalikan semua kegiatan


aktivitas tubuh kita seperti berjalan, menggerakkan tangan, mengunyah
makanan dan lainnya. Struktur dan fungsi sistem saraf teridiri dari sel-sel
saraf yang disebut neuron, yang merupakan komponen utama dalam sistem
saraf, dan jaringan penunjang yang disebut neurolgia. sistem saraf pusat
mengandung lebih dari 100 miliar neuron. Tersusun membentuk sistem saraf
pusat (SSP) dan sistem saraf tepi (SST). SSP terdiri atas otak dan medula
spinalis sedangkan sistem saraf tepi terdiri dari system saraf somatik dan
sistem saraf otonom.1,2

2.1.2 Struktur Sistem Saraf


Jaringan saraf terdiri dari kelompok sel saraf atau neuron yang
mengirimkan informasi disebut impuls saraf dalam bentuk perubahan
elektrokimia, dan merupakan sel konduksi. Neuron adalah sel saraf yang
sesungguhnya. Jaringan saraf juga terdiri dari sel-sel yang melakukan
dukungan dan perlindungan. Sel-sel ini disebut neuroglia atau sel glial.
Lebih dari 60% dari semua sel otak adalah sel neuroglia. Neuroglia ini
bukan sel konduksi. Mereka adalah jenis khusus dari "jaringan ikat" untuk
sistem saraf.1,3
1) Neuron
Neuron atau sel-sel saraf, adalah unit struktural dan fungsional dari
sistem saraf. Mereka adalah sel halus yang khusus untuk
menghasilkan dan mengirimkan impuls saraf. Neuron dapat bervariasi
dalam ukuran dan bentuk, tetapi mereka memiliki banyak ciri-ciri
yang umum. Neuron bersifat amitotik. Ini berarti bahwa jika neuron
mengalami kerusakan, tidak dapat digantikan karena neuron tidak
mengalami mitosis. Neuron memiliki dua karakteristik fungsional
yang unik: iritabilitas dan konduktivitas. Iritabilitas adalah
kemampuan untuk menanggapi rangsangan dengan membentuk
impuls saraf. Konduktivitas adalah kemampuan untuk mengirimkan
impuls saraf sepanjang akson ke neuron lain atau sel efektor.
Karakteristik ini memungkinkan berfungsinya sistem saraf.
Pensinyalan atau sinyal lewat melalui baik sarana listrik dan kimia.
Setiap neuron memiliki tiga bagian: 1,3

Gambar 2. Neuron dan Bagian-bagiannya

a. Badan sel
Badan sel saraf merupakan bagian yang paling besar dari sel
saraf. Setiap badan sel saraf mengandung inti tunggal. Inti ini
merupakan pusat kontrol sel. Badan sel berfungsi untuk menerima
rangsangan dari dendrit dan meneruskannya ke akson. Pada badan
sel saraf terdapat inti sel, sitoplasma, mitokondria, sentrosom,
badan golgi, lisosom. Dalam sitoplasma badan sel, ada retikulum
endoplasma kasar [reticulum endoplasmic rough (RER)]. Dalam
neuron, ER kasar memiliki struktur granular disebut sebagai badan
Nissl, juga disebut zat chromatophilic, dan merupakan tempat
sintesis protein1
b. Dendrit
Dendrit adalah serabut sel saraf pendek dan bercabang- cabang,
seperti cabang-cabang pohon. Dendrit merupakan perluasan dari
badan sel. Ini adalah daerah reseptif neuron. Dendrit berfungsi
untuk menerima dan mengantarkan rangsangan ke badan sel.

c. Akson
Akson adalah serabut sel saraf panjang yang merupakan
penjuluran sitoplasma badan sel. Akson hilock, adalah prosesus
panjang atau serat yang dimulai secara tunggal tetapi dapat
bercabang dan pada ujungnya memiliki banyak perpanjangan halus
disebut terminal akson yang kontak dengan dendrit dari neuron
lainnya. Benang-benang halus yang terdapat di dalam akson disebut
neurofibril. Neurofibril dibungkus oleh beberapa lapis selaput
mielin yang banyak mengandung zat lemak dan berfungsi untuk
mempercepat jalannya rangsangan. Pada bagian luar akson
terdapat lapisan lemak disebut mielin yang merupakan kumpulan
sel Schwann yang menempel pada akson. Sel Schwann adalah sel
glia yang membentuk selubung lemak di seluruh serabut saraf
mielin. Membran plasma sel Schwann disebut neurilemma. Fungsi
mielin adalah melindungi akson dan memberi nutrisi. Bagian dari
akson yang merupakan celah sempit dan tidak terbungkus mielin
disebut nodus Ranvier, yang berfungsi mempercepat penghantaran
impuls Neuron dikelompokkan berdasarkan struktur dan fungsinya.
Berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi tiga, yaitu neuron
aferen, neuron eferen dan interneuron.3

Neuron aferen menyampaikan informasi ke SSP dari reseptor di


ujung perifer nya. Neuron eferen Menyampaikan informasi dari SSP
ke sel efektor, utamanya sel otot, kelenjar, dan sel lainnya, Sedangkan
Interneuron Berfungsi sebagai integrator dan pengubah sinyal, terletak
seluruhnya dalam SSP dan berjumlah > 99 % dari semua neuron3
Gambar 3. Klasifikasi Neuron Berdasarkan Fungsinya

Secara struktur ada tiga jenis neuron, yaitu: multipolar, bipolar,


dan unipolar.
a. Neuron multipolar. Memiliki beberapa dendrit dan satu akson
yang memanjang dari badan sel. Sebagian besar neuron yang
badan selnya terletak di otak dan sumsum tulang belakang
adalah neuron multipolar3
b. Neuron bipolar. Hanya memiliki dua prosesus: dendrit dan akso
n, memanjang dari ujung yang berlawanan dari badan sel. Neuro
n bipolar terdapat pada bagian sensorik dari mata, telinga, dan hi
dung.3
c. Neuron unipolar. Memiliki satu prosesus yang memperpanjang d
ari badan sel3

2) Sel Neuroglia
Ada berbagai jenis sel neuroglia, dan, tidak seperti neuron,
mereka tidak menkonduksikan impuls, sehingga juga disebut sel
non-saraf atau sel glial. Mereka mendukung, memelihara, dan
melindungi neuron. Jumlahnya jauh lebih banyak (10 – 15 kali)
daripada neuron dan, tidak seperti neuron, sel neuroglia dapat
bermitosis. Sel neuroglia memainkan peran penting dalam reaksi
saraf selama infeksi. Umumnya, sel-sel neuroglia merupakan lokasi
tumor pada sistem saraf. Salah satu jenis neuroglia adalah sel
Schwann, yang ada di sistem saraf tepi (SST). Empat jenis
neuroglia lainnya ada di SSP, dimana jumlahnya bahkan lebih
banyak dari neuron. Sel-sel neuroglia didistribusikan dalam sistem
saraf pusat (SSP) serta sistem saraf perifer (SST). Dengan demikian
sel-sel neuroglia diklasifikasikan menjadi dua jenis:1,3
a. Sel neuroglia sentral
b. Sel neuroglia tepi (perifer)

Gambar 4. Sel Glia dari Sistem Saraf Pusat


Terdapat empat jenis sel pendukung ditemukan di SSP yang disebut
sebagai sel neuroglia sejati, yaitu :
a. Astrosit adalah sel berbentuk bintang yang membungkus sel-sel
saraf untuk membentuk jaringan pendukung di otak dan sumsum
tulang belakang. Astrosit juga bergabung dengan epitel pembulu
h darah untuk membentuk sawar darah otak, yang melindungi ne
uron dengan mengatur secara ketat pertukaran material antara da
rah dan neuron.1
b. Oligodendroglia terlihat seperti astrosit kecil. Mereka juga mem
berikan dukungan dengan membentuk baris semikaku seperti jari
ngan ikat antara neuron di otak dan sumsum tulang belakang. M
ereka menghasilkan selubung mielin berlemak pada neuron otak
dan sumsum tulang belakang dari SSP, tetapi mereka tidak
membentuk neurilemma. Kurangnya neurilemma adalah salah
satu faktor yang berkontribusi terhadap ketidakmampuan akson
dalam otak dan sumsum tulang belakang untuk regenerasi setela
h cedera. 1
c. Sel mikroglia adalah sel kecil yang melindungi SSP (tersebar di
seluruh SSP) berperan untuk menelan dan menghancurkan mikr
oba seperti bakteri dan kotoran selular. 1,4
d. Sel ependimal melapisi ventrikel otak yang berisi cairan. Sebagi
an memproduksi cairan serebrospinal dan lain-lain dengan silia
mengerakkan cairan melalui SSP. Sel Schwann membentuk selu
bung mielin yang mengelilingi serat saraf di SST. 1,4

Sedangkan sel pendukung yang ditemukan di sistem saraf tepi


adalah Sel Schwann dan Sel satellite.3
a. Sel Schwann merupakan Sel glia utama pada SST Sel datar, panj
ang, prosesus datar yang membungkus di sekitar akson pada SS
T, memiliki neurilemma dan berfungsi Membetuk selubung miel
in di sekitar akson pada SST dan Berperan aktif dalam regeneras
i serat saraf3
b. Sel satellite Terdapat pada permukaan luar neuron SST Sel datar,
mirip dengan sel Schwann dan Mendukung badan sel saraf dala
m ganglia.3

3) Sinapsis
Sinapsis merupakan hubungan penyampaian impuls dari satu
neuron ke neuron yang lain. Peristiwa ini terjadi dari ujung
percabangan akson (terminal akson) dengan ujung dendrit neuron
yang lain. Celah antara satu neuron dengan neuron yang lain
disebut dengan celah sinapsis. Loncatan-loncatan listrik yang
bermuatan ion terjadi dalam celah sinapsis, baik ion positif dan ion
negatif. Di dalam sitoplasma sinapsis, terdapat vesikel sinapsis.
Ketika impuls mencapai ujung neuron (terminal akson), vesikel akan
bergerak, lalu melebur dengan membran prasinapsis dan melepaskan
neurotransmiter. Neurotranmiter berdifusi melalui celah sinapsis,
lalu menempel pada reseptor di membran pascasinapsis.2,3
Dalam sistem saraf, sejumlah istilah digunakan untuk
menggambarkan organisasi jaringan saraf. Hal ini penting untuk
memahami arti dari istilah-istilah ini. Substansi putih merujuk pada
kelompok akson bermielin (mielin memiliki warna keputihan) dari
banyak neuron didukung oleh neuroglia. Substansi putih membentuk
traktus saraf dalam SSP. Daerah abu-abu dari sistem saraf disebut
subastansi abu-abu, yang terdiri dari badan sel saraf dan dendrit. Hal
ini juga dapat terdiri dari bundel akson tak bermielin dan neuroglia
mereka. Substansi abu- abu pada permukaan otak disebut korteks.
Sebuah saraf adalah bundel dari serat- serat yang terletak di luar SSP.
Sebagian besar saraf adalah substansi putih. Badan sel saraf yang
ditemukan di luar SSP umumnya dikelompokkan bersama untuk
membentuk ganglia. Karena ganglia terdiri terutama dari badan sel
saraf yang tak bermielin, mereka dikelompokkan substansi abu-abu.
Dua istilah lainnya yang penting: inti (nukleus) adalah massa badan
sel saraf dan dendrit di dalam SSP, yang terdiri dari substansi abu-
abu; tanduk (horn) adalah daerah materi abu-abu di sumsum tulang
belakang. 2,3

Gambar 5. Sinaps dan Pelepasan Neurotransmitter

2.1.3 Potensial Aksi


Dalam potensial aksi, faktor-faktor yang mempengaruhi dan terkait
diantaranya kanal Na+, pompa Na-K, ion Na+, ion K+, kanal K+, dan
faktor- faktor yang lain. Setiap jenis kanal tersebut memiliki fungsi spesifik
dalam aktifitas elektrik saraf. Kanal-kanal ion tersebut berfungsi menjaga
potensial sel.
1) Ion Na+
Ion Na+ merupakan ion yang bermuatan positif. Ion Na+ berada
dibagian luar sel dari sistem saraf. Hanya sedikit ion Na+ yang berada
di dalam sel. Perbedaan jumlah ini membuat perbedaan gradien
konsentrasi dan dapat menyebabkan ion Na melewati membran. Ion
Na+ membantu dalam potensial aksi ketika penghantaran sel saraf.
2) Ion K+
Ion K+ merupakan ion yang bermuatan positif,kebanyakan ion K+
berada di dalam sel. Pada keadaan tertentu ion K+ ini akan keluar sel
sehingga akan mengurangi muatan positif di dalam sel.

3) Kanal ion Na+


Kanal ini berfungsi dalam meneruskan potensial aksi dengan
membuka jika terjadi depolarisasi membran. Pembukaan kanal ion ini
menyebabkan ion Na+ dapat masuk melintasi membran dan
menyebabkan depolarisasi.

4) Kanal ion K+
Kanal ini berperan sebagai kekuatan penstabil (stabilizing force).
Beberapa fungsinya antara lain repolarisasi setelah terjadinya
potensial aksi dan mengatur potensial istirahat (resting potensial) 2,3

Potensial aksi sesungguhnya tejadi di seluruh membran sel, hal ini


didasarkan oleh adanya perbedaan konsentrasi ion natrium dan kalium
antara intra-seluler dan ekstra-seluler. Perbedaan gradien konsentrasi ion
tersebut dipertahankan oleh adanya suatu enzim pada membran sel yang
disebut dengan enzim Na-K ATPase atau dalam istilah lainnya disebut
pompa Na-K. Pompa NaK ini bekerja dengan cara mentranfer tiga ion
Natrium keluar sel serta 2 ion Kalium ke dalam sel. Gradien konsentrasi ini
menyebabkan adanya potensial positif di luar membran sel dan potensial
negatif di dalam sel. Perbedaan potensial membran ini disebut sebagai
Resting Membrane Potential. Sitoplasma sel memiliki potensial listrik
sebesar -60 hingga -80 mV diabandingkan dengan cairan ekstraseluler. 2,3
Ketika suatu saluran ion tertentu terbuka maka akan terjadi
perpindahan ion menuruni gradien konsentrasinya. Potensial aksi merupakan
suatu perubahan yang cepat pada membran sel saraf akibat terbukanya
saluran ion Natrium dan terjadi influks Natrium menuruni gradien
konsentrasinya. Akibatnya meningkatnya jumlah Natrium di dalam sel,
sedangkan jumlah Kalium tetap maka terjadi perubahan potensial listrik
membran dimana potensial listrik intraselueler menjadi lebih positif
dibandingkan ektraseluler. Setelah terjadi depolarisasi maka resting
membrane potential akan dikembalikan lagi melalui suatu proses yang
disebut dengan repolarisasi. Pada proses ini saluran Natrium yang tadi
terbuka akan menutup dan diikuti dengan terbukanya saluran Kalium.
Kalium akan berpindah keluar sel menuruni gradien konsentrasinya dan
mengembalikan potensial membran dalam sel menjadi negatif. 2,3
Penjelasan tentang potensial membran istirahat dan potensial aksi
diuraikan didasarkan pada perekaman dengan dua elektroda, satu di ruang
ekstraseluler dan yang lainnya di dalamnya. Jika kedua elektroda perekam
ditempatkan pada permukaan akson, tidak ada perbedaan potensial di antara
keduanya saat diam. Ketika saraf dirangsang dan impuls dilakukan melewati
dua elektroda, urutan karakteristik hasil perubahan potensial. Saat
gelombang depolarisasi mencapai elektroda yang terdekat dengan
stimulator, elektroda ini menjadi relatif negatif terhadap elektroda lain2,3
Ketika impuls melewati bagian saraf di antara dua elektroda, potensial
kembali ke nol, dan kemudian, saat melewati elektroda kedua, elektroda
pertama menjadi relatif positif terhadap yang kedua. Konvensional untuk
menghubungkan kabel sedemikian rupa sehingga ketika elektroda pertama
menjadi negatif relatif terhadap yang kedua, defleksi ke atas dicatat. Oleh
karena itu, rekaman menunjukkan defleksi ke atas diikuti oleh interval
isoelektrik dan kemudian defleksi ke bawah. Urutan ini disebut potensial
aksi bifasik.3

2.2 Klasifikasi Sistem Saraf


Sistem saraf manusia tersusun dari sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi.
Sistem saraf pusat terdiri atas otak dan sumsum tulang belakang. Sedangkan
sistem saraf tepi terdiri atas sistem saraf somatis dan sistem saraf otonom.
2.2.1 Sistem Saraf Pusat
1) Sumsum Tulang Belakang
Sumsum tulang belakang memiliki dua fungsi besar, yaitu
menghantarkan impuls dan menjadi pusat untuk refleks tulang
belakang. Sistem sumsum tulang belakang terdiri dari akson yang
menyediakan sistem komunikasi dua arah antara otak dan bagian
tubuh di luar sistem saraf. Sistem yang membawa informasi sensoris
ke otak disebut sistem ascending. Sedangkan yang membawa instruksi
motorik dari otak ke otot dan kelenjar disebut sistem descending.
Sistem spinothalamic dimulai pada sumsum tulang belakang dan
membawa impuls sensoris yang berhubungan dengan sensasi nyeri,
sentuhan, dan suhu ke bagian talamus otak. Sistem corticospinal
berasal dari korteks pada otak membawa impuls motorik ke sumsum
tulang belakang dan saraf spinal. Impuls tersebut mengontrol
pergerakan otot. Sistem corticospinal disebut juga sistem piramidal
setelah area berbentuk piramida pada medulla oblongata pada otak
dilewati. Sistem descending lainnya, yang disebut sistem
extrapyramidal, mengontrol aktivitas motorik yang berhubungan
dengan mempertahankan keseimbangan dan postur.4

Gambar 6. Sumsum Tulang Belakang dan Strukturnya


2) Otak
Otak terdiri dari 100 milyar multipolar neuran yang berkomunikasi
satu sama lain dan dengan neuron di sistem saraf bagian lain. Otak
dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu serebrum,
diencephalon, batang otak, dan serebellum. Serebrum, bagian otak
yang terbesar, meliputi pusat saraf yang berhubungan dengan fungsi
sensoris dan motorik dan menyediakan fungsi mental yang lebih
tinggi, meliputi memori dan pemikiran. Diencephalon juga
memproses informasi sensoris. Jalur saraf pada batang otak
menghubungkan bagian sistem saraf dan mengatur aktivitas visceral
tertentu. Serebellum meliputi pusat yang mengkoordinasi pergerakan
otot secara volunter.
Serebrum terdiri dari dua massa besar yang disebut hemisphere
serebral kanan dan kiri. Kumpulan akson yang luas disebut corpus
callosum, menghubungkan dua hemisphere otak. Lapisan duramater
(falx cerebri) memisahkan mereka.

Gambar 7. Bagian-bagian Otak

Permukaan serebrum memiliki banyak gyri yang dipisahkan oleh


celah (groove). Celah dangkal disebut sulkus dan celah yang dalam
disebut fisur. Lobus dari hemisphere otak dinamakan di tulang
tengkorak tempat mereka berada, yaitu:
a. Lobus frontal
Lobus frontal membentuk bagian anterior dari setiap belahan
otak. Dibatasi di bagian posterior oleh sulkus sentral, yang
memanjang dari fisur longitudinal dan di bagian bawah oleh sulkus
lateral, yang memanjang dari permukaan bawah otak.
b. Lobus parietal
Lobus parietal terletak posterior dari lobus frontal dan
dipisahkan oleh sulkus sentral.

c. Lobus temporal
Lobus temporal terletak di bawah lobus frontal dan parietal dan
dipisahkan oleh sulkus lateral.

d. Lobus oksipital
Lobus oksipital membentuk bagian posterior dari setiap belahan
otak dan dipisahkan dari serebellum oleh perpanjangan dari dura
mater (tentorium cerebelli). Batas antara lobus oksipital dan lobus
parietal dan temporal tidak jelas.

e. Insula
Insula adalah bagian terdalam sulkus lateral dan dilapisi oleh
bagian lobus frontal, parietal, temporal. Sulkus sirkuler
memisahkan insula dari lobus lainnya.

Lapisan tipis dari gray matter disebut korteks serebral, merupakan


bagian terluar dari serebrum. Lapisan ini mengandung 75% dari badan
sel neuron pada sistem saraf. Di bawah korteks serebral terdapat
massa white matter yang membentuk bagian besar badan serebrum.
Massa ini mengandung sejumlah akson bermyelin yang
menghubungkan badan sel neuron dari korteks dengan bagian lain dari
sistem saraf. Beberapa serat tersebut melewati belahan otak ke tempat
lainnya oleh corpus callosum, dan yang lainnya membawa impuls
sensoris dan motoris dari bagian korteks ke pusat saraf pada otak atau
sumsum tulang belakang. 4
Diencephalon berada di antara belahan otak dan di atas midbrain.
Pada diencephalon terdapat massa padat yang disebut talamus. Daerah
lain pada diencephalon yang memiliki banyak nuclei (massa dari gray
matter) adalah hipotalamus, yang berada di bawah talamus. Talamus
merupakan pusat untuk impuls sensoris dari bagian lain sistem saraf ke
korteks serebral. Talamus menerima semua impuls sensoris dan
menyalurkannya ke daerah korteks untuk diinterpretasi. Sebagai
tambahan, semua daerah korteks serebral dapat berkomunikasi dengan
talamus oleh serat descending.
Sistem limbik pada diencephalon juga mengontrol respon
emosional. Sistem limbik dapat memodifikasi aksi seseorang dengan
menghasilkan perasaan takut, marah, senang, dan kesedihan. Bagian
lain pada diencephalon meliputi optic tracts dan optic chiasma,
infundibulum, kelenjar pituitary posterior, mammilary bodies, dan
kelenjar pineal.
Batang otak (brainstem) merupakan kumpulan jaringan saraf yang
menghubungkan serebrum ke sumsum tulang belakang. Batang otak
terdiri dari beberapa bagian, yaitu midbrain, pons, dan medulla
oblongata. Midbrain merupakan bagian yang pendek di antara
diencephalon dan pons. Midbrain tersusun dari kumpulan akson
bermyelin yang bergabung dengan bagian bawah dari batang otak dan
sumsum tulang belakang. Midbrain meliputi beberapa massa substansi
kelabu yang menjadi pusat refleks. Pons merupakan tonjolan bulat
pada bagian bawah batang otak, yang memisahkan midbrain dengan
medulla oblongata. Beberapa nuclei dari pons menyampaikan impuls
sensoris dari saraf perifer ke pusat otak yang lebih tinggi. Medulla
oblongata memanjang dari pons ke foramen magnum dari tengkorak.
Semua serat saraf ascending dan descending yang menghubungkan
otak dan sumsum tulang belakang harus melewati medulla oblongata.
Pada sumsum tulang belakang, substansi putih mengelilingi pusat
massa substansi kelabu. Serat saraf memisahkan substansi kelabu
menjadi nuclei. Nuclei pada medulla oblongata mengontrol aktivitas
viseral yang vital. Nuclei lainnya merupakan pusat refleks yang
berhubungan dengan batuk, bersin, pengunyahan, serta muntah.
Serebellum merupakan suatu massa besar dari jaringan yang
terletak di bawah lobus oksipital dari serebrum dan posterior dari pons
dan medulla oblongata. Serebellum terdiri dari dua hemispheres
lateral yang dipisahkan oleh selapis dura mater (falx cerebelli) dan
dihubungkan di midline oleh struktur yang disebut vermis. Serebellum
terdiri dari substansi putih (white matter) dengan lapisan tipis
substansi kelabu (gray matter), cerebellar cortex pada permukaannya.

2.2.2 Sistem Saraf Tepi


Sistem saraf tepi terdiri dari saraf yang bercabang dari sistem saraf
pusat dan menghubungkannya ke bagian tubuh yang lain. Sistem saraf tepi
terdiri dari saraf kranial yang berasal dari otak, dan saraf spinal yang berasal
dari sumsum tulang belakang. Sistem saraf tepi juga dapat dibagi lagi
menjadi sistem saraf somatis dan sistem saraf otonom. Sistem saraf somatis
terdiri dari serat saraf kranial dan spinal yang menghubungkan sistem saraf
pusat ke kulit dan otot skeletal. Sistem saraf ini mengatur aktivitas secara
sadar. Sistem saraf otonom meliputi serat yang menghubungkan sistem
saraf pusat ke viscera, seperti jantung, perut, usus, dan kelenjar. Sistem
saraf ini mengontrol aktivitas yang tidak disadari.4
1) Saraf Somatis
Sistem saraf somatis terdiri dari 12 pasang saraf kranial dan 31
pasang saraf sumsum tulang belakang. Kedua belas pasang saraf otak
akan menuju ke organ tertentu, misalnya mata, hidung, telinga, dan
kulit. Saraf sumsum tulang belakang keluar melalui sela-sela ruas
tulang belakang dan berhubungan dengan bagian-bagian tubuh, antara
lain kaki, tangan, dan otot lurik.
Saraf-saraf dari sistem somatis menghantarkan informasi antara
kulit, sistem saraf pusat, dan otot-otot rangka. Proses ini dipengaruhi
saraf sadar, manusia dapat memutuskan untuk menggerakkan atau
tidak menggerakkan bagian-bagian tubuh di bawah pengaruh sistem
ini.
2) Saraf Kranial
Dua belas pasang saraf kranial berasal dari bagian bawah dari otak.
Kecuali saraf kranial pertama yang berasal dari serebrum, saraf-saraf
tersebut berasal dari batang otak. Kebanyakan saraf kranial merupakan
saraf campuran yang terdiri dari serat saraf sensoris dan motorik,
tetapi beberapa berhubungan dengan indra khusus seperti penciuman
dan penglihatan, yang mengandung serat sensoris. Saraf kranial
lainnya yang mempengaruhi otot dan kelenjar tersusun dari serat
motorik. Serat sensoris yang terdapat pada saraf kranial memiliki
badan sel neuron yang berada pada luar otak, biasanya pada ganglia.
Di samping itu, badan sel neuron motorik berada pada substansi
kelabu dari otak. 4
Saraf kranial pertama, yaitu nervus olfaktorius (I), berhubungan
dengan indra penciuman dan hanya memiliki akson untuk saraf
sensoris. Saraf tersebut berada di lapisan kavitas nasal bagian atas,
sebagai sel reseptor olfaktorius. Impuls sensoris dihantarkan dari
olfactory bulbs sepanjang jalur olfaktorius ke pusat otak, tempat
mereka diinterpretasikan. Hasil interpretasi tersebut berupa sensasi
penciuman.
Saraf kranial kedua yaitu nervus optikus (II), berasal dari mata ke
otak dan berhubungan dengan penglihatan. Badan sel saraf sensoris
berada pada lapisan sel ganglion pada mata, dan aksonnya melewati
foramen optikus yang bersambung ke jalur saraf visual pada otak.
Saraf kranial ketiga yaitu nervus okulomotor (III), berasal dari
midbrain dan melewati orbita mata. Komponen pada tiap saraf
menghubungkan otot volunter yang berasal dari kelopak mata dan ke
empat dari enam otot yang menggerakkan mata. Komponen kedua dari
saraf okulomotor merupakan bagian dari saraf otonom yang
menginervasi otot involunter pada mata.
Saraf kranial keempat, nervus troklearis, berasal dari midbrain dan
merupakan saraf kranial terkecil. Tiap saraf menghantarkan impuls
motorik ke otot volunter kelima dan menggerakkan mata.
Saraf kranial kelima, nervus trigeminus (V), merupakan saraf
kranial terbesar dan berasal dari pons. Merupakan saraf campuran,
dengan bagian sensoris lebih panjang daripada bagian motorik. Tiap
komponen sensoris memiliki tiga cabang saraf yang besar, yaitu divisi
optalmikus, maksilaris, dan mandibularis.
Saraf kranial keenam, yaitu nervus abdusens (VI), berasal dari pons
yang berada dekat dengan medulla oblongata. Tiap saraf memasuki
orbita mata dan menginervasi impuls motorik ke otot yang
menggerakkan mata.
Saraf kranial ketujuh, nervus fasialis (VII), berasal dari bagian
bawah pons dan muncul ke bagian sisi wajah. Cabang sensoris
berhubungan dengan reseptor rasa pada dua pertiga anterior lidah, dan
beberapa serat motorik menghantarkan impuls ke otot ekspresi wajah.
Saraf kranial kedelapan, nervus vestibulokoklearis (VII),
merupakan saraf sensoris yang berasal dari medulla oblongata.
Terdapat dua bagian pada saraf ini, yaitu cabang vestibularis dan
cabang koklearis. Cabang vestibularis mengandung reseptor yang
melibatkan refleks untuk mempertahankan keseimbangan. Badan sel
neuron dari cabang koklearis berada pada bagian telinga dalam, yang
merupakan tempat reseptor pendengaran.
Saraf kranial kesembilan, nervus glosofaringeal (IX), berhubungan
dengan lidah dan faring. Saraf campuran tersebut berasal dari medulla
oblongata, yang dominan dengan serat sensoris. Serat sensoris tersebut
menghantarkan impuls dari permukaan faring, tonsil, dan sepertiga
posterior dari lidah ke otak. Serat pada komponen motorik
menginervasi otot faring yang berfungsi dalam penelanan.
Saraf kranial kesepuluh, nervus vagus (X), berasal dari medulla
oblongata dan memanjang ke bawah melewati leher ke dada dan
abdomen. Serat saraf tersebut campuran, terdiri dari cabang somatis
dan otonom. Serat motorik somatis tertentu menghantarkan impuls ke
otot laring yang berhubungan dengan berbicara dan penelanan. Serat
motorik otonom dari saraf vagus menginervasi jantung, otot halus, dan
kelenjar pada toraks dan abdomen.
Saraf kranial kesebelas, nervus aksesorius (XI), berasal dari
medulla oblongata dan sumsum tulang belakang, memiliki kedua
cabang kranial dan spinal. Cabang kranial bergabung dengan nervus
vagus dan menghantarkan impuls ke otot dari palatum lunak, faring,
dan laring. Cabang spinal menurun ke leher dan menginervasi serat
motorik ke otot trapezoid dan sternokleidomastoideus.
Saraf kranial keduabelas, nervus hipoglossus (XII), berasal dari
medulla oblongata dan melewati lidah. Saraf ini meliputi serat motorik
yang menghantarkan impuls ke otot yang menggerakkan lidah saat
berbicara, mengunyah, dan menelan.

3) Saraf Spinal
Tiga puluh satu pasang saraf spinal berasal dari sumsum tulang
belakang. Semuanya merupakan saraf campuran yang menyediakan
komunikasi dua arah antara spinal cord dan bagian atas dan bawah
tubuh serta leher. Saraf kranial dikelompokkan berdasarkan tempat
mereka muncul. Tiap saraf diberi nomor secara berurutan. Saraf spinal
terdiri dari delapan pasang saraf servikal (C1 sampai C8), dua belas
pasang saraf toraks (T1 sampai T12), lima pasang saraf lumbar (L1
sampai L5), lima pasang saraf sakral (S1 sampai S5), dan satu pasang
saraf koksigeal (Co).
Gambar 8. Bagian-bagian Saraf Spinal

2.2.3 Sistem Saraf Otonom


Saraf otonom merupakan bagian sistem saraf tepi yang berfungsi
independen (otonom) dan tidak disadari. Sistem ini mengontrol fungsi
viseral dengan mengatur aksi otot halus, otot jantung, dan kelenjar. Sistem
ini mengatur kecepatan jantung, tekanan darah, kecepatan respirasi, suhu
tubuh, dan aktivitas lainnya yang mempertahankan homeostasis.
Refleks di mana sinyal sensoris berasal dari reseptor pada viseral dan
kulit mengatur aktivitas otonom. Akson menghantarkan sinyal tersebut ke
pusat otak atau sumsum tulang belakang. Sistem saraf otonom meliputi
divisi simpatik dan parasimpatik. Fungsi divisi otonom adalah campuran,
mereka mengaktivasi beberapa organ dan menghambat yang lainnya. Divisi
simpatik menyiapkan tubuh untuk mengeluarkan energi, stress, atau situasi
gawat darurat. Sebaliknya, divisi parasimpatik aktif pada aktivitas istirahat.
Sebagai contoh, selamat situasi darurat, divisi simpatik meningkatkan laju
jantung, setelahnya, divisi parasimpatik bertugas menurunkan laju jantung.
Pada divisi simpatik, serat preganglion berasal dari neuron dalam
substansi kelabu (gray matter) dari spinal cord. Akson melewati ventral
roots dari saraf spinal di toraks pertama melewati segmen lumbar kedua.
Serat tersebut memanjang pada jarak yang pendek, dan meninggalkan saraf
spinal, lalu memasuki rantai ganglia simpatik. Badan sel neuron praganglion
simpatis berada di tanduk lateral dari subtansi abu-abu sumsum tulang
belakang antara segmen toraks pertama (T1) dan segmen lumbar kedua (L2).
Karena lokasi badan sel praganglion ini, divisi simpatis kadang-kadang
disebut divisi torakolumbar. Akson dari neuron praganglion keluar melalui
akar ventral dari saraf tulang belakang (spinal) T1-L2, tentu saja melalui
saraf tulang belakang untuk jarak pendek, meninggalkan saraf ini menuju ke
ganglia simpatis. Ada dua jenis ganglia simpatis: rantai ganglia simpatis dan
ganglia kolateral. Rantai ganglia simpatis saling terhubung satu sama lain
sehingga dinamakan demikian karena mereka membentuk rantai sepanjang
sisi kiri dan kanan dari kolom tulang belakang (verterbral). Mereka juga
disebut ganglia paravertebral (samping kolom vertebral) karena lokasi
mereka. Meskipun divisi simpatis berasal di daerah toraks dan lumbar
vertebral, rantai ganglia simpatis meluas ke daerah seviks dan sakral.
Sebagai hasil dari penggabungan ganglia selama perkembangan fetus,
biasanya ada 3 pasang ganglia serviks, 11 pasang ganglia toraks, 4 pasang
ganglia lumbar, dan 4 pasang ganglia sakral. Ganglia kolateral (yang
berarti "aksesori") adalah ganglia yang tidak berpasangan terletak di rongga
abdominopelvis. Mereka juga disebut ganglia prevertebral karena posisinya
anterior ke kolom vertebral. Akson dari neuron praganglion memiliki
diameter kecil dan termielinasi.
Gambar 9. Sistem Saraf Simpatik

Pada divisi parasimpatik, serat preganglion dari divisi parasimpatik


berasal dari batang otak dan regio sakral pada sumsum tulang belakang. Dari
sana, mereka keluar dari saraf kranial atau sakral ke ganglia yang berada
pada beberapa viscera. Serat postganglion berlanjut dari ganglia ke otot atau
kelenjar spesifik pada viscera tersebut. Badan sel neuron praganglion
parasimpatis terletak baik di dalam inti saraf kranial di batang otak atau di
dalam bagian lateral dari substansi abu-abu di daerah sakral sumsum tulang
belakang dari S2 ke S4. Untuk itu, divisi parasimpatis kadang-kadang
disebut divisi kraniosakral. Akson dari neuron praganglion parasimpatis dari
otak ada di saraf kranial III, VII, IX, dan X dan dari sumsum tulang
belakang di saraf splanknik pelvis. Akson praganglion tentu melalui saraf ini
ke ganglia terminal, dimana mereka bersinaps dengan neuron pascaganglion.
Akson dari neuron pascaganglion memperpanjang jarak yang relatif pendek
dari ganglia terminal ke efektor. Ganglia terminal baik dekat atau melekat
dalam dinding organ dipersarafi oleh neuron parasimpatis. Kebanyakan dari
ganglia parasimpatis kecil, tetapi beberapa, seperti di dinding saluran
pencernaan adalah besar.

Gambar 10. Sistem Saraf Parasimpatik

2.3 Tinjauan Umum Nyeri


Nyeri dapat juga dianggap sebagai racun dalam tubuh, karena nyeri yang
terjadi akibat adanya kerusakan jaringan atau saraf akan mengeluarkan berbagai
mediator seperti H+, K+, ATP, prostaglandin,  bradikinin,  bradikinin, serotonin,
serotonin, substansia substansia P, histamin histamin dan sitokain. sitokain.
Mediator Mediator kimiawi inilah  yang menyebabkan rasa tidak nyaman dan
karenanya mediator disebut sebagai mediator nyeri. Setiap nyeri hebat jika tidak
dikelola dengan baik akan mengubah fungsi otak kita, sehingga jika lebih dari 3
hari berturut-turut nyeri dibiarkan tanpa terapi, perlahan-lahan proses ini akan
menyebabkan gangguan tidur, tidak dapat berkonsentrasi, depresi, cemas, dan
nafsu makan menurun, bahkan jika berlanjut akan menyebabkan penurunan fungsi
imunitas. Itu sebabnya maka pada pasien nyeri kanker jika tidak diterapi nyerinya,
maka selain pasien akan lebih menderita juga akan lebih cepat meninggal dari
pada pasien yang mendapatkan terapi nyeri. Ada satu sindrom yang menyertai
nyeri yang hebat yakni sindrom yang terdiri dari insomnia, anxietas, depresi,
anoreksia, dan immobilitas. Begitu pentingnya masalah nyeri dalam kehidupan
manusia, maka pada tahun 1996 IASP (International Association of the Study of
Pain) mengusulkan agar nyeri menjadi tanda vital ke-5 yang harus diakses seperti
fungsi vital lainnya secara terus menerus. Lebih dari itu pada tahun 2005, WHO
bersama dengan berbagai organisasi nyeri lainnya mengusulkan agar manajemen
nyeri merupakan hak asasi manusia (basic human right). Bahkan dalam standar
akreditasi JCI menempatkan manajemen nyeri sebagai hak pasien dan
keluarganya serta merupakan standar pelayanan.

2.3.1 Konsep Nyeri


Nyeri dapat diartikan sebagai pengalaman multidimensi yang meliputi
komponen sensoris yang dapat dirasakan dari kualitas, lokasi, intensitas, dan
durasi dari stimulus noksius. Nyeri juga mencakup dimensi kognitif,
motivasional, dan afektif (emosional) yang dapat bervariasi dari individu ke
individu lainnya dan dapat memodifikasi respon seseorang terhadap stimulus.
Pengalaman nyeri seseorang dapat bergantung tidak hanya dari besarnya
stimulus noksius tetapi juga dari faktor kondisi emosional seseorang, motivasi
untuk menghilangkan nyeri tersebut, bahkan latar belakang budaya, ras, dan
jenis kelamin. Konsekuensi klinis dari nyeri adalah dapat menyulitkan suatu
diagnosis dan perawatan dari seorang klinisi. Hal ini juga dapat membuat
studi eksperimental dari nyeri menjadi sulit. Dasar neural dari nyeri belum
dimengerti secara sempurna, tetapi penelitian lebih lanjut telah dilakukan
beberapa tahun ini. Konsep klasik yang menjelaskan tentang nyeri dan sensasi
somatis lainnya disebut teori spesifisitas. Teori spesifisitas menunjukkan
sejumlah keterbatasan dalam menjelaskan tentang nyeri dari sistem perifer
dan pusat. Teori lainnya telah menjelaskan kompleksitas dan
multidimensionalitas dari nyeri, yaitu teori kontrol gerbang nyeri. Meskipun
mempunyai keterbatasan, teori ini menjelaskan konsep yang baik tentang
multifaktor alamiah dari nyeri. Prinsip dari teori kontrol gerbang adalah
penekanan dalam interaksi sensoris yang terjadi pada otak antara sinyal
neural taktil yang dibawa ke otak melalui serat aferen primer ambang rendah
berdiameter rendah (serat aferen A-β), dan sinyal tersebut disampaikan ke
serat aferen ambang tinggi berdiameter kecil (beberapa serat aferen A-δ and
C). Terminal perifer pada serat terakhir memiliki ambang yang tinggi dan
hanya diaktivasi oleh stimulus noksius.

2.3.2 Fisiologi Nyeri


Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu
nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral,
eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi.
Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan
sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Antara stimulus
cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses
tersendiri yaitu tranduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
1) Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen
menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls
nosiseptif. Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini,
yaitu serabut A-beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara
maksimal terhadap stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai
serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta
dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses transduksi,
merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap
stimulasi eksternal tanpa adanya mediator inflamasi.
2) Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju
kornu dorsalis medulla spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik
menuju otak. Neuron aferen primer merupakan pengirim dan
penerima aktif dari sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir
di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya berhubungan
dengan banyak neuron spinal.
3) Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain
related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis
medula spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya.
Serangkaian reseptor opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat
ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur
desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak
lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya
menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini
adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal
nosiseptif di kornu dorsalis.

Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi


merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek
psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ
tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang
berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri
(nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari
syaraf aferen

2.3.3 Teori Nyeri


Terdapat beberapa teori yang berusaha menggambarkan bagaimana
nosiseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal
berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul,
namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan.
1) Teori Spesivisitas (Specivity Theory)
Teori ini digambarkan oleh Descartes pada abad ke 17. teori ini dida
sarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara k
husus mentransmisi rasa nyeri. Syaraf ini diyakini dapat menerima r
angsangan nyeri dan mentransmisikannya melalui ujung dorsal dan
substansia gelatinosa ke talamus, yang akhirnya akan dihantarkan p
ada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul respon nyeri. Teori ini
tidak menjelaskan bagaimana faktor-faktor multidimensional dapat
mempengaruhi nyeri. Teori spesifisitas menunjukkan adanya jalur y
ang didasari tiap-tiap somatosensory. Prinsip dasar dari teori ini me
nyatakan bahwa ada reseptor spesifik yang berhubungan dengan sen
sori fiber (rangsangan utama) yang sensitive pada satu stimulus spes
ifik. Contohnya stimulus mekanik yang tidak berbahaya yang dikod
e oleh mekanoreseptor ambang batas rendah yang terkait dengan ran
gsangan utama yang kemudian diteruskan ke neuron tahap kedua di
spinal cord atau batang otak (tergantung sumber inputnya). Neuron
kedua ini akan memproyeksikan ke area mekanoreseptif yang lebih
tinggi di otak. Descartes menggambarkan nyeri sebagai persepsi yan
g ada di otak dan membedakan antara fenomena neural transduksi s
ensori (sekarang disebut nociceptive) dan persepsi dari pengalaman
nyari. Poin penting dari teori yang telah dikembangkan oleh Descart
ers ini adalah mengenai deskripsi saraf yang dikatakannya seperti tu
bulus yang membawa informasi sensorik dan motorik

2) Teori Pola (Pattern Theory)


Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri yaitu serabut y
ang mampu menghantarkan rangsang dengan cepat dan serabut yan
g mampu menghantarkan dengan lambat. Dua serabut syaraf terseb
ut bersinaps pada medula spinalis dan meneruskan informasi ke ota
k mengenai sejumlah intensitas dan tipe input sensori nyeri yang m
enafsirkan karakter dan kualitas input sensasi nyeri. (Hartwig & Wi
lson, 2005)

3) Teori Intensitas (Intensity Theory)


Menurut teori intensitas nyeri adalah hasil rangsangan yang berlebi
han pada reseptor. Setiap rangsangan sensori punya potensi untuk
menimbulkan nyeri jika intensitasnya cukup kuat. Teori ini diperke
nalkan oleh Von Frey pada tahun 1895.

4) Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control Theory)


Tahun 1959 Milzack dan Wall menjelaskan teori gerbang kendali n
yeri, yang menyatakan terdapat semacam pintu gerbang yang dapat
memfasilitasi transmisi sinyal nyeri. Gate Control Theory merupak
an model modulasi nyeri yang populer. Teori ini menyatakan eksist
ensi dari kemampuan endogen untuk mengurangi dan meningkatka
n derajat perasaan nyeri melalui modulasi impuls yang masuk pada
kornu dorsalis melalui “gate” (gerbang). Berdasarkan sinyal dari sis
tem asendens dan desendens maka input akan ditimbang. Integrasi
semua input dari neuron sensorik, yaitu pada level medulla spinalis
yang sesuai, dan ketentuan apakah gate akan menutup atau membu
ka, akan meningkatkan atau mengurangi intensitas nyeri asendens.
Gate Control Theory ini mengakomodir variabel psikologis dalam
persepsi nyeri, termasuk motivasi untuk bebas dari nyeri, dan peran
an pikiran, emosi, dan reaksi stress dalam meningkatkan atau menu
runkan sensasi nyeri. Melalui model ini, dapat dimengerti bahwa n
yeri dapat dikontrol oleh manipulasi farmakologis maupun interven
si psikologis.

2.3.4 Reseptor dan Stimulus Nyeri


Reseptor nyeri pada kulit dan jaringan lainnya berupa akhiran saraf
bebas (free nerve endings). Mereka tersebar luas pada lapisan superfisial di
kulit, sama seperti di jaringan internal tertentu, seperti periosteum, dinding
arteri, permukaan sendi dan falx dan tentorium pada cranial vault. Tiga jenis
stimulus yang merangsang reseptor nyeri yaitu rangsangan mekanis, termal,
dan kimiawi. Pada umumnya, nyeri cepat ditimbulkan oleh stimulus mekanis
dan termal, sedangkan nyeri lambat dapat ditimbulkan oleh ketiga jenis
stimulus. Beberapa jenis zat kimia yang menimbulkan nyeri antara lain
bradikinin, serotonin, histamin, ion potassium, asam, asetilkolin, dan enzim
proteolitik. Sebagai tambahan, prostaglandin dan zat P menambah sensitivitas
akhiran nyeri tetapi tidak secara langsung merangsang nyeri. Zat kimia
penting dalam menstimulasi jenis nyeri lambat yang dapat terjadi setelah
kerusakan jaringan.
2.3.5 Jalur Transmisi Sinyal Nyeri ke Sistem Saraf Pusat
Walaupun semua reseptor nyeri merupakan akhiran saraf bebas,
akhiran tersebut menggunakan dua jalan terpisah dalam mentransmisikan
sinyal nyeri ke sistem saraf pusat. Dua jalan tersebut berkorespondensi ke
dua jenis nyeri, yaitu nyeri tajam-cepat dan nyeri kronis-lambat. Sinyal
nyeri tajam-cepat ditimbulkan oleh stimulus mekanis atau termal. Mereka
ditransmisikan di saraf perifer ke spinal cord oleh serat Aδ pada kecepatan
antara 6 dan 30 m/s. Jenis tipe nyerilambat ditimbulkan oleh stimulus nyeri
kimiawi dan terkadang oleh stimulus mekanis atau termal. Nyeri lambat-
kronis ditransmisikan ke spinal cord oleh serat tipe C pada kecepatan antara
0,5 dan 2 m/s. Jadi, nyeri tajam-cepat ditransmisikan ke otak oleh serat Aδ,
diikuti oleh nyeri lambat yang ditransmisikan oleh seratatau serabut tipe C.
1) Jalur Asenden
Serabut saraf C dan A delta halus, yang masing-masing membawa
nyeri akut tajam dan kronik lambat, bersinap disubstansia gelatinosa
kornudorsalis, memotong medula spinalis dan naik ke otak di cabang
neospinotalamikus atau cabang paleospinotalamikus traktus spino
talamikus anterolateralis. Traktus neospinotalamikus yang terutama
diaktifkan oleh aferen perifer A delta, bersinap di nukleus
ventropostero lateralis (VPN) talamus dan melanjutkan diri secara
langsung ke kortek somato sensorik girus pasca sentralis, tempat
nyeri dipersepsikan sebagai sensasi yang tajam dan berbatas tegas.
Cabang paleospinotalamikus, yang terutama diaktifkan oleh aferen
perifer serabt saraf C adalah suatu jalur difus yang mengirim
kolateral-kolateral ke formatio retikularis batang otak dan struktur
lain. Serat-serat ini mempengaruhi hipotalamus dan sistem limbik
serta kortek serebri (Price A. Sylvia,2006).
2) Jalur Desenden
Salah satu jalur desenden yang telah di identifikasi adalah mencakup
3 komponen yaitu :
a. Bagian pertama adalah substansia grisea periaquaductus (PAG )
dan substansia grisea periventrikel mesenssefalon dan pons
bagian atas yang mengelilingi aquaductus Sylvius.
b. Neuron-neuron di daerah satu mengirim impuls ke nukleus
ravemaknus (NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan
medula oblongata bagian atas dan nukleus retikularis
paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis.
c. Impuls ditransmisikan ke bawah menuju kolumna dorsalis medula
spinalis ke suatu komplek inhibitorik nyeri yang terletak di kornu
dorsalis medula spinalis.

2.3.6 Karakteristik Nyeri


Karakteristik nyeri dapat dilihat atau diukur berdasarkan lokasi nyeri,
durasi nyeri (menit, jam, hari atau bulan), irama/periodenya (terus-menerus,
hilang timbul, periode bertambah atau berkurangnya intensitas) dan kualitas
(nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit nyeri dalam atau superficial, atau
bahkan seperti ditekan) Karakteristik dapat juga dilihat nyeri berdasarkan
metode PQRST, P (Provocate), Q (Quality), R (Region), S (Severe), dan T
(Time).
1) Provocate
Tenaga kesehatan harus mengkaji tentang penyebab terjadinya nyeri
pada penderita, dalam hal ini perlu dipertimbangkan bagian-bagian
tubuh mana yang mengalami cidera termasuk menghubungkan
antara nyeri yang di derita dengan faktor psikologisnya, karena bisa
terjadi terjadinya nyeri hebat karena dari faktor psikologis bukan dari
lukanya.
2) Quality
Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subyektif yang di ungkapkan
oleh klien, seringkali klien mendeskripsikan nyeri dengan kalimat
nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit nyeri dalam atau superficial,
atau bahkan seperti ditekan dengan kuat.
3) Region
Untuk mengkaji lokasi, tenaga kesehatan meminta klien untuk
menunjukkan semua bagian / daerah yang dirasakan tidak nyaman.
Untuk melokalisasi lebih spesifik maka sebaiknya tenaga kesehatan
meminta penderita untuk menunjukkan daerah yang nyerinya
minimal sampai ke arah nyeri yang sangat. Namun hal ini akan sulit
dilakukan apabila nyeri yang dirasakan bersifat menyebar atau
difuse.
4) Severe
Tingkat keparahan merupakan hal yang paling subyektif yang
dirasakan oleh penderita, karena akan diminta bagaimana kualitas
nyeri, kualitas nyeri harus bisa digambarkan menggunakan skala
yang sifatnya kuantitas.

Gambar X. Skala Intensitas Nyeri Wajah

Keterangan:
0 : Tidak ada nyeri
1-3 : Nyeri ringan
4-5 : Nyeri sedang
7-10 : Nyeri berat

5) Time
Tenaga kesehatan mengkaji tentang awitan, durasi dan rangkaian
nyeri. Perlu ditanyakan kapan mulai muncul adanya nyeri, berapa
lama menderita, seberapa sering untuk kambuh dan lain-lain
2.3.7 Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu berdasarkan
etiologi, durasi dan derajat nyerinya. Berdasarkan etiologi, nyeri
diklasifikasikan menjadi:
1) Nyeri nosiseptif
Nyeri nosiseptif adalah respon normal dari stimulus noksius. Nyeri
jenis ini dapat tajam hingga tumpul tergantung dari stimulus yang
menyebabkannya. Nyeri yang tajam disebabkan karena aktivasi
dari saraf bermyelin (Aδ) sedangkan nyeri tumpul disebabkan
karena aktivasi saraf unmyelinated (saraf C). Nyeri nosiseptif
dibagi menjadi :
a. Nyeri viseral
Nyeri viseral adalah nyeri yang berasal dari organ internal di
tubuh seperti jantung, pembuluh darah besar, limfe node, sistem
respirasi, sistem ganstointestinal, struktur urologi, sistem
reproduksi, omentum dan peritoneum viseral. Nyeri viseral
biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh
jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama
dengan asal nyeri. Seringkali, nyeri viseral terjadi seperti
kontraksi ritmis otot polos. Nyeri visceral seperti keram sering
bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu,
obstruksi ureteral, menstruasi, dan distensi uterus pada tahap
pertama persalinan.4 Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia,
peregangan ligamen, spasme otot polos, distensi struktur lunak
seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter. Distensi
pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan
mungkin iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga
menyebabkan distensi berlebih dari jaringan.
Gambar X. Persarafan Nyeri pada Viscera

b. Nyeri somatik
Nyeri somatik dapat tajam atau tumpul. Nyeri jenis ini sangat
sering terjadi, seperti sakit gigi. Nyeri ini dapat bertambah jika
beraktivitas tetapi bisa sembuh jika kita istirahat. Orang yang
mengalami nyeri ini dapat menunjuk dengan tepat lokasi
nyerinya. Contoh nyeri ini adalah nyeri setelah operasi, nyeri
musculoskeletal, dan nyeri sendi. Nyeri somatik dapat merespon
dengan baik terhadap obat-obatan anagesik seperti obat
antiinflamasi non steroid dan opioid.

c. Nyeri alih (reffered pain)


Nyeri alih adalah nyeri visceral yang dirasakan jauh dari organ
yang terkena. Contohnya nyeri pada organ visceral dapat juga
dirasakan pada bagian tubuh lain. Nyeri alih dapat terjadi karena
saraf pada serat nyeri visceral bersinapsis pada spinal cord pada
second order neuron yang sama yang menerima sinyal nyeri dari
kulit. Ketika serabut nyeri visceral distimulasi, sinyal nyeri dari
visceral diteruskan melalui beberapa neuron yang sama yang
menghantarkan nyeri dari kulit sehingga orang yang merasakan
nyeri merasa bahwa nyeri berasal dari kulitnya.

Gambar X. Diagram Konvergensi Serat Nosiseptif Somatik dan Viseral di Lamina VII Dorsal Thorne

Menyebabkan Nyeri Alih.

2) Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik dihasilkan dari sinyal nyeri yang ditransmisikan
sistem saraf, sering tanpa cedera jaringan. Nyeri ini adalah gejala
dari kelainan sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi seperti cranial
neuropati, mononeuropati atau polineuropati, kelainan saraf
lumbar, dan cedera thalamus. Nyeri neuropatik bersifat tajam,
pedih, ada sensasi terbakar, kadang disertai parestesis, tempat nyeri
tidak terbatas pada tempat terjadinya cedera, rasa nyeri neuropatik
menyakitkan dan memancar di sepanjang distribusi saraf yang
terluka dan sering kali di luar jaringan itu.

3) Nyeri Inflamasi
Nyeri inflamasi adalah jenis nyeri nosiseptif yang dihasilkan dari
aktivasi dan sensitisasi nosiseptor oleh mediator inflamasi.

Berdasarkan durasinya, nyeri diklasifikasikan menjadi:


1) Nyeri Akut
Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang
terbatas setelah nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulu
s istirahat. Nyeri akut ini dirasakan dalam waktu yang singkat dan b
erakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui
dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti lu
ka operasi, ataupun pada suatu penyakit arteriosclerosis pada arteri
koroner. Nyeri akut merupakan nyeri yang bersifat sementara, mend
adak, area nyeri teridentifikasi. Gejala nyeri muncul seperti berkerin
gat, pucat, peningkatan tekanan darah, nadi dan pernapasan.

2) Nyeri Kronis
Nyeri kronis memiliki pola yang beragam dan berlangsung berbula
n-bulan bahkan bertahun-tahun. Ragam pola tersebut ada yang nyeri
timbul dengan periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu ti
mbul kembali nyeri, dan begitu seterusnya. Ada pula pola nyeri kro
nis yang konstan, artinya rasa nyeri tersebut terus-menerus terasa m
akin lama semakin meningkat intensitasnya walaupun telah diberika
n pengobatan. Misalnya, pada nyeri karena neoplasma. Nyeri kronik
malignan biasanya disertai kelainan patologis dan terjadi pada peny
akit yang life-limiting disease seperti kanker, end-stage organ dysfu
nction, atau infeksi HIV. Nyeri kronik kemungkinan mempunyai ele
men nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignant (nyeri pu
nggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai kel
ainan patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang ter
jadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal cord) akan membu
at pengobatan menjadi lebih sulit.

Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:


1) Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas se
hari hari dan menjelang tidur.
2) Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya
hilan gbila penderita tidur.
3) Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita
tidak dapat tidur dan dering terjaga akibat nyeri.
2.4 Nyeri Orofasial
Nyeri di kepala, wajah, mulut, atau gigi adalah alasan utama mengapa banyak
pasien berkonsultasi dengan dokter gigi mereka. Nyeri adalah pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan
kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau digambarkan berupa kerusakan.
Hubungan nyeri dengan kerusakan jaringan mungkin tidak konstan dan sering
dikaitkan dengan respon afektif dan kognitif.
Bermulanya jalur nyeri pada nosiseptor dan ditransmisikan melalui saraf
sensorik, kornu dorsalis medula spinalis, otak tengah, talamus, dan hipotalamus
akhirnya dipersepsikan di otak di korteks serebri (somatosensori dan limbik).
(Lihat gambar ).

Modulasi, baik meningkatkan atau menghambat nosiseptif, juga penting


untuk persepsi nyeri.
Langkah awal berhubungan dengan sinyal neurokimia dari kerusakan
jaringan aktual atau yang akan terjadi (rangsangan nosiseptif); Nosisepsi adalah
proses fisiologis yang mengaktivasi jalur saraf khusus, khususnya oleh
rangsangan yang merusak jaringan atau berpotensi merusak. Hal ini termasuk
cedera, yang melepaskan substansi zat algogenik atau jaringan autocoids, seperti
bradikinin dan prostaglandin dari sel yang rusak, trombosit atau sel mast.
Prostaglandin merangsang saraf di tempat cedera dan dapat menyebabkan
peradangan dan demam. Sitokin dapat memicu nyeri karena meningkatnya
peradangan. Cedera juga melepaskan peptida (tachykinin) (seperti substansi P
(SP) dan neurokinin A) yang berperan dalam respons nyeri dengan mengaktifkan
reseptor nyeri (nosiseptor). SP bekerja pada sel mast untuk melepaskan histamin
dan pada pembuluh darah untuk melepaskan bradikinin.
Peptida kecil yang relevan lainnya ditemukan pada jairngan saraf, yang
berfungsi sebagai neurotransmitter synaptic. Peptida kecil lainnya beraksi pada
parakrin sebagai hormon difusi yang mempengaruhi banyak neuron yang tersebar
(neurohormon seperti endorfin dan enkephalin – obat penghilang rasa sakit alami).

2.4.6 Persyarafan pada nyeri orofacial


Saraf Trigeminus merupakan saraf campuran di mana sebagian besar
merupakan serat saraf sensoris wajah, dan sebagian yang lain merupakan
serat saraf motoris dari otot mastikasi/pengunyahan.

2.5 Manifestasi Nyeri pada Jaringan Lunak Rongga Mulut


Nyeri pada mukosa mulut merupakan gejala dari berbagai lesi pada mukosa
mulut yang disebabkan oleh penyakit lokal dan sistemik. Nyeri pada mukosa
mulut biasanya dikaitkan dengan kerusakan jaringan, misalnya ulkus atau erosi
mukosa, dan umumnya merespon pada perawatan yang memadai dan dapat
hilang setelah pengobatan. Pada nyeri neuropatik, hanya dapat terjadi bila ada
kerusakan pada struktur neurogenik pada sistem saraf tepi atau saraf pusat. Nyeri
ini dapat terjadi bila tidak adanya rangsangan, dikaitkan dengan mukosa mulut,
nyeri ini biasanya terasa seperti ada rasa kesemutan dan terbakar. Pada rongga
mulut, nyeri seperti misalnya sindroma mulut terbakar dikenal memiliki riwayat
neuropatik. Nyeri mukosa mulut biasanya ditandai dengan sensasi terbakar,
perih, dan nyeri. Berbagai lesi pada mukosa mulut, seperti ulkus, erosi, dan luka
mekanis merupakan faktor umum sebagai penyebab nyeri pada mukosa mulut,
dan lesi dapat muncul karena berbagai penyakit lokal dan sistemik, diantaranya
adalah karena faktor iatrogenik, seperti trauma pasca bedah dan
pengobatan/radioterapi di daerah kepala dan leher. Namun, nyeri mukosa mulut
dapat juga terjadi karena nyeri neuropatik yang disebabkan oleh kerusakan
sistem saraf tepi atau sistem saraf pusat.
Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi pada
nosiseptor disebut nyeri inflamasi akut atau nyeri nosiseptif, atau terjadi di
jaringan saraf, baik serabut saraf pusat maupun perifer disebut nyeri neuropatik.
Trauma atau lesi di jaringan akan direspon oleh nosiseptor dengan mengeluarkan
berbagai mediator inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin, histamin, dan
sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan
munculnya nyeri spontan, atau membuat nosiseptor lebih sensitif (sensitasi) secara
langsung maupun tidak langsung. Sensitasi nosiseptor menyebabkan munculnya
hiperalgesia.

Gambar X. Respon Kerusakan Jaringan

2.5.1 Dry Mouth/Xerostomia


Keluhan nyeri pada rongga mulut dapat disebabkan oleh beberapa
alasan dan hal ini dipengaruhi oleh kondisi yang beragam seperti xerostomia.
Xerostomia berasal dari kata Yunani yaitu xeros (kering) dan stoma (mulut).
Xerostomia adalah keluhan subyektif terhadap mulut kering. Xerostomia
dapat terjadi dengan atau tanpa penurunan produksi saliva. Xerostomia yang
disertai penurunan laju alir saliva mencerminkan penurunan aliran saliva yang
obyektif dan terukur.
Xerostomia dapat mempengaruhi rongga mulut penderitanya. Beberapa
keluhan yang dialami oleh penderita xerostomia yaitu kondisi mukosa oral
kering dan sensitif, mudah iritasi, kesulitan dalam mengunyah dan menelan
makanan, kesulitan dalam penggunaan gigi tiruan, meningkatnya jumlah
karies dan kelainan lidah. Mukosa mulut yang kering dan pecah-pecah
menyebabkan mudah terjadinya iritasi serta infeksi. Kekeringan pada mulut
menyebabkan fungsi pembersih saliva berkurang, sehingga terjadi radang dari
selaput lendir yang disertai keluhan mulut terasa nyeri (glossodynia) atau
seperti terbakar (glossopyrosis)

Gambar X. Angular Cheilitis pada Pasien Xerostomia

Gambar X. Gambaran Dry Mouth pada Lidah

2.5.1 Epithelial Thinning


Penipisan epitel juga dapat menyebabkan sensasi nyeri. Kondisi ini
terjadi pada peradangan mukosa, atrofi mukosa, erosi mukosa dan ulkus
mukosa. Setiap lesi inflamasi atau peradangan pada mukosa dapat
menyebabkan rasa nyeri. Atrofi mukosa merupakan istilah yang sering
digunakan untuk kondisi penipisan epitel dengan gambaran klinis merah
akibat kerusakan lamina propria. Kondisi ini terjadi pada geographic tongue,
lichen planus atau gangguan sistemik seperti keadaan defisiensi (zat besi,
asam folat atau vitamin B).

Gambar X. Geographic Tongue

Erosi mukosa merupakan gambaran kerusakan superfisial pada epitel


yang ditandai dengan kemerahan dan terjadi kerusakan pada lamina propria
dibawahnya. Erosi sering terjadi pada radiasi yang diinduksi mukositis dan
lichen planus.

Gambar X. Oral Lichen Planus Tipe Erosif


Gambar X. Erythematous Candidiasis

Ulkus atau ulcer pada mukosa merupakan kondisi kerusakan pada epitel
dan lamina propria yang selanjutnya terbentuk kawah yang terlihat jelas
secara klinis oleh oedema atau proliferasi yang menyebabkan pembengkakan
jaringan sekitarnya. Gambaran halo erythema tampak sebagai lingkaran
merah disekitar ulkus berwarna putih kekuningan atau keabuan. Ulkus yang
sering terjadi adalah Reccurent Aphthous Stomatitis (RAS) yang disebabkan
oleh banyak faktor, seperti faktor lokal trauma atau luka bakar dan gangguan
sistemik.

Gambar X. Recurrent Aphthous Stomatitis pada Mukosa Labial


Gambar X. Ulkus Traumatikus pada Lateral Lidah

Gambar X. Recurrent IntraOral Herpes pada Palatal

Gambar X. Ulkus Tuberkulosis Palatal

Lesi ulkus dapat menjadi manifestasi umum terakhir dari spectrum


kondisi mulai dari kerusakan epitel akibat gangguam autoimunologis, infeksi
virus, infeksi bakteri, infeksi jamur, defisiensi vitamin dan berbagai penyakit
sistemik lainnya. Macam-macam penyakit yang dapat memberikan gambaran
lesi ulkus pada rongga mulut dirangkum dalam gambar berikut ini.

Gambar X. Manifestasi Ulkus pada Berbagai Macam Penyakit

Gambar X. Erythema Multiforme

2.5.3 Burning Mouth Syndrome


Nyeri juga dapat ditemukan dalam keadaan yang tampak normal tanpa
adanya tanda-tanda klinis seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Hal ini
bias disebabkan karena penyakit mukosa subklinis seperti keadaan defisiensi
hematinic terutama vitamin B12, anemia neuropati seperti pada diabetes
mellitus. Faktor psikogenik dapat mendasari sakit pada lidah dan mulut yang
dirasakan sebagai sensasi terbakar atau burning mouth syndrome (BMS).
Burning Mouth Syndrome (BMS) merupakan kondisi rasa sakit dalam
mulut yang konik, biasanya disertai dengan rasa terbakar atau panas pada
lidah, bibir, dan mukosa tanpa adanya kelainan patologik. Etiologi BMS
belum diketahui dengan pasti namun bebenpa faktor dikatakan dapal
mempengaruhinya. Oleh karena itu beberapa literatur menyatakan bahwa
etiopatogenesisnya masih merupakan suatu enigma. Namun beberapa
kelainan klinis dan laboratoris seringkali dilaporkan dapat berhubungan
dengan keluhan rasa terbakar dalam mulut. BMS memiliki beberapa sinonim
seperti stomatopirosis, glossopirosis, stomatodinia, glossodinia, sore mouth,
sore tongue dan dysesthesia oral.
Penyebab :
1) Burning mouth syndrome primer
Ketika penyebab burning mouth syndrome tidak diketahui, kondisi ini d
isebut burning mouth syndrome primer atau idiopatik. Beberapa peneliti
an menunjukkan bahwa burning mouth syndrome primer berkaitan den
gan masalah saraf sensorik dari sistem saraf perifer atau sentral.
2) Burning mouth syndrome sekunder
Kadang-kadang sindrom mulut terbakar disebabkan oleh kondisi medis
atau penyakit yang mendasari, seperti kekurangan gizi. Dalam kasus ini,
disebut burning mouth syndrome sekunder.

Keluhan rasa terbakar pada pasien BMS dapat bervariasi dari ringan
sampai yang berat, yang timbul menjelang pagi dan mereda setelah sore atau
malam hari dan jarang yang mempengaruhi tidur. Daerah di rongga mulut
yang sering dikeluhkan penderita adalah bagian sepertiga anterior dorsum
lidah, kemudian bibir, dan yang jarang dikeluhkan adalah daerah palatum,
gingival dan orofaring.
Tiga keluhan yang paling banyak dikeluhkan oleh penderita BMS
adalah keluhan rasa sakit (paling utama), disgeusia, dan xerostomia sehingga
ketiganya disebut triad simptom BMS. Keluhan lain yang juga banyak
dikeluhkan adalah rasa haus, sakit kepala, sakit di daerah temporomandibular
joint (TMJ) dan rasa nyeri atau sakit saat mengunyah, sakit di daerah leher,
pundak serta otot-otot suprahioid. Pada umumnya secara spesifik gambaran
klinis BMS menunjukkan tidak ada perubahan mukosa rongga mulut
walaupun daerah tersebut menimbulkan rasa sakit.

Gambar X. Tipe Burning Mouth Syndrome

Terdapat 3 tipe BMS menurut Lamey dan Lewis berdasarkan variasi


gejala:
1) BMS Tipe 1
a. Prevalensi 35% dari kejadian BMS
b. Muncul setiap hari, namun gejala bertahap yaitu tidak muncul
ketika bangun tidur pagi hari, mulai timbul di pertengahan hari
dan semakin memberat di sore hari.
c. Berhubungan dengan faktor non psikiatri
2) BMS Tipe 2
a. Prevalensi 55%
b. Nyeri konstan sepanjang hari
c. Dihubungkan dengan faktor psikiatri, seperti ansietas kronis
3) BMS Tipe 3
a. Prevalensi 10%
b. Nyeri hilang timbul (intermitten) dan muncul di area yang tidak
lazim yaitu biasanya di mukoa mulut, dasar mulut dan
tenggorokan
c. Dihubungkan dengan alergi makanan

2.6 Aspek Psikososial Terhadap Penanganan Nyeri


Dalam model biopsikososial, keyakinan nyeri negatif memiliki dampak yang

merugikan pada kesehatan pasien secara keseluruhan, efikasi diri, dan fungsi.

Pikiran dapat secara positif mempengaruhi keyakinan tentang pengalaman nyeri

jika ada kontrol dalam mengelola nyeri, keyakinan bahwa bahaya dan kecacatan

tidak akan terjadi, dan harapan pemulihan. Pikiran negatif dapat mempengaruhi

keyakinan tentang rasa sakit jika kontrol kurang dan pemulihan tidak mungkin.

Konsekuensinya dapat berupa tekanan emosional dan bencana, serta keyakinan

dan pikiran negatif dan pesimis yang berlebihan tentang rasa sakit.2

2.6.1 Sakit Kronis dan Depresi

Diperkirakan bahwa 35% dari populasi nyeri kronis telah dikaitkan

dengan depresi. Nyeri bisa menjadi gejala, penyebab, atau konsekuensi dari

depresi. Studi menyelidiki hubungan antara nyeri dan depresi menunjukkan

bahwa stres hidup dengan nyeri kronis dapat menyebabkan depresi, tetapi ada

juga bukti bahwa nyeri berkembang sekunder untuk depresi, bermanifestasi

sebagai sensitivitas nyeri meningkat, dan bahwa skor depresi yang tinggi

dikaitkan dengan risiko yang lebih besar dari depresi. mengembangkan nyeri

kronis.1 Hubungan antara depresi dan nyeri tampaknya meningkat dengan

tingkat keparahan masing-masing kondisi.

Dalam studi yang melihat faktor psikologis yang terkait dengan nyeri

lutut, peneliti menemukan bukti kuat untuk hubungan positif antara depresi

dan nyeri lutut pada orang dewasa. Bukti yang muncul tentang patogenesis

depresi menunjukkan bahwa ada kesamaan fisiologis antara depresi dan nyeri

kronis. Depresi dan nyeri lutut juga dapat dikaitkan dengan berkurangnya
aktivitas fisik, yang dapat disebabkan oleh rasa takut akan rasa sakit atau

akibat dari depresi.

Data ekstensif mendukung nilai antidepresan trisiklik untuk mengurangi

rasa sakit pada pasien nyeri kronis, dan serotonin dan noradrenalin reuptake

inhibitor (SNRI)—duloxetine, venlafaxine, dan milnacipran—telah terbukti

berguna dalam pengobatan nyeri dan depresi. Duloxetine adalah SNRI

dengan khasiat yang terbukti untuk gejala fisik yang menyakitkan dari

depresi. Analisis dari uji coba jangka pendek menunjukkan bahwa

pengurangan rasa sakit yang lebih besar dikaitkan dengan kemungkinan

remisi yang lebih tinggi. Kemanjuran duloxetine juga telah terbukti untuk

pengobatan neuropati diabetik yang menyakitkan.1

2.6.2 Kecemasan dan Stres

Kecemasan sering terjadi pada pasien nyeri kronis dan pasien cemas

dapat menafsirkan nyeri sebagai lebih intens daripada pasien non-cemas.

Adanya nyeri kronis membuat sulit untuk mengenali dan mengobati potensi

gangguan kejiwaan, dan keterlambatan ini dapat memperburuk prognosis

gangguan kejiwaan.

Dalam studi cross-sectional remaja Norwegia dengan gangguan

kejiwaan, dua pertiga melaporkan nyeri kronis. Remaja dengan gangguan

mood atau kecemasan memiliki frekuensi nyeri kronis dan disabilitas yang

berhubungan dengan nyeri secara signifikan lebih tinggi daripada mereka

yang memiliki gangguan hiperkinetik. Remaja dengan hiperkinetik dan

gangguan mood atau kecemasan memiliki dua hingga tiga kali lipat
peningkatan risiko kecacatan terkait nyeri dibandingkan dengan mereka yang

hanya memiliki gangguan hiperkinetik.

Stres adalah reaksi fisiologis yang terjadi pada hewan dan manusia

karena ancaman atau kerusakan aktual pada organisme, dan dapat mencakup

tantangan psikologis pada batas kapasitas ketahanan individu. Faktor pemicu

stres secara kolektif disebut stresor.

Dalam pengobatan psikoterapi pasien dengan nyeri punggung bawah

kronis nonspesifik dan depresi sedang, stres psikologis yang beragam telah

diidentifikasi, yang berkaitan dengan masa lalu dan sekarang. Ketika rasa

sakit, stres, dan depresi menjadi luar biasa dan hanya ada sedikit sumber daya

yang tersedia, stres tampaknya menjadi menonjol. Situasi stres dapat

menurunkan kemampuan seseorang untuk mengatasi nyeri punggung.2

2.6.3 Penanganan Nyeri

Ada beberapa cara yang dapat digunakan psikolog dalam menangani

gangguan nyeri psikologi ini, diantaranya:

1) Non farmakologis

Dengan distraksi, yaitu teknik mengalihkan perhatian klien ke hal

lain terutama hal yang menyenangkan dengan tujuan untuk menurunkan

kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap

nyeri. Salah satu teknik distraksi adalah dengan mendengarkan musik. 2

Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan

perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton

televisi, membaca buku, mendengarkan musik dan melakukan

percakapan adalah contoh-contoh umum pengalihan menyatakan bahwa


seseorang yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan

sedikit perhatian mengenai nyeri akan sedikit terganggu oleh nyeri dan

lebih toleransi terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan

persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desendens, yang

mengakibatkan lebih sedikit stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke

otak.

2) Relaksasi

Dasar teori relaksasi ini adalah pada system saraf manusia terdapat

system saraf pusat dan system saraf otonom. Fungsi sistem saraf pusat

adalah mengendalikan gerakan-gerakan yang dikehendaki, misalnya:

gerakan tangan, kaki, leher, jari-jari dan sebagainya. Sistem saraf

otonom berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang otomatis,

misalnya fungsi digestif, proses kardiovaskuler, gairah seksual dan

sebagainya. sistem saraf otonom terdiri dari system saraf parasimptetis

yang kerjanya saling berlawanan.

Sistem saraf simpatetis bekerja meningkatkan rangsangan atau

memacu organ-organ tubuh, memacu meningkatnya detak jantung dan

pernafasan, menurunkan temperature kulit dan daya tahan kulit, dan

juga akan menghambat proses digestif dan seksual. Sistem saraf

parasimpatetis menstimulasi turunnya semua fungsi yang dinaikkan

oleh sistem saraf simpatetis dan menstimulasi naiknya semua fungsi

yang diturunkan oleh sistem saraf simpatetis. Selama sistem-sistem

berfungsi normal dalam keseimbangan, bertambahnya aktivitas system


yang satu akan menghambat atau menekan efek sistem yang lain. Pada

waktu individu mengalami ketegangan dan kecemasan yang bekerja

adalah sistem saraf parasimpatetis dengan demikian relaksasi dapat

menekan rasa tegang dan rasa cemas dengan cara resiprok sehingga

timbul counter conditioning dan penghilangan.

Apabila individu melakukan relaksasi ketika ia mengalami

ketegangan atau kecemasan, maka reaksi-reaksi fisiologis yang

dirasakan individu akan berkurang sehingga ia akan merasa rileks.

Apabila kondisi fisiknya sudah rileks, maka kondisi psikisnya juga

tenang. Menurut Brunner & Suddarth (2001) teknik relaksasi ini dapat

dilakukan dengan cara penderita memejamkan matanya dan bernafas

dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan

dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap

inhalasi( masuknya O2 ke paru-paru ) dan ekshalasi ( keluarnya CO2

dari paru-paru ). Teknik relaksasi ini sangat efektif terutama pada

pasien nyeri kronis.

Ada banyak manfaat nyata dari latihan relaksasi. Burn (dalam Utami,

2002) melaporkan beberapa keuntungan yang diperoleh dari latihan

relaksasi, antara lain:

a. Relaksasi akan membuat individu lebih mampu menghindari

reaksi yang berlebihan karena adanya stres. Penelitian yang

dilakukan Dewi (1998) menunjukkan bahwa relaksasi dapat

menurunkan ketegangan pada siswa sekolah penerbang.


b. Masalah-masalah yang berhubungan dengan stres seperti

hipertensi, sakit kepala, insomnia dapat dikurangi atau diobati

dengan relaksasi. Penelitian Hoelscher dan Lichstein (1986) serta

Karyono (1994) menunjukkan bahwa relaksasi dapat menurunkan

tekanan darah systolic dan diastolic pada penderita

hipertensi.Selanjutnya Weil dan Goldfried dan Davidson (dalam

Utami, 2002) bahkan telah membuktikan keberhasilan

penggunaan relaksasi pada penderita insomnia yang berusia 11

tahun.

c. Mengurangi tingkat kecemasan. Beberapa bukti telah

menunjukkan bahwa individu dengan tingkat kecemasan yang

tinggi dapat menunjukkan efek fisiologis positif melalui latihan

relaksasi.

d. Mengurangi perilaku tertentu yang sering terjadi selama periode

stres seperti mengurangi jumlah rokok yang dihisap, konsumsi

alkohol, pemakaian obat-obatan, dan makan yang berlebihan.

Penelitian yang dilakukan oleh Sutherland, Amit, Golden dan

Rosenberger (dalam Walker dkk, 1981) membuktikan bahwa

relaksasi dapat membantu mengurangi meroko.

e. Meningkatkan penampilan kerja, sosial, dan ketrampilan fisik.

Hal ini mingkin terjadi sebagai hasil pengurangan tingkat

ketegangan.

f. Kelelahan, aktivitas mental, dan atau latihan fisik yang tertunda

dapat diatasi lebih cepat dengan menggunakan latihan relaksasi.


g. Kesadaran diri tentang keadaan fisiologis seseorang dapat

meningkat sebagai hasil latihan relaksasi, sehingga

memungkinkan individu untuk menggunakan ketrampilan

relaksasi untuk timbulnya rangsangan fisiologis.

h. Relaksasi merupakan bantuan untuk menyembuhkan penyakit

tertentu dan operasi.

i. Konsekuensi fisiologis yang penting dari relaksasi adalah bahwa

tingkat harga diri dan keyakinan diri individu meningkat sebagai

hasil kontrol yang meningkat terhadap reaksi stres.

j. Meningkatkan hubungan interpersonal. Orang yang rileks dalam

situasi interpersonal yang sulit akan lebih berpikir rasional.

3) Psikoterapi

Psikoterapi yang efektif untuk mengatasi gangguan psikologi seperti:

depresi dan kecemasan yang dianggap sebagai pencetus nyeri psikologi

adalah terapi kognitif.Apa yang dipikirkan seseorang tentang nyeri yang

dialaminya memberikan pengaruh terhadap kehidupannya dan terhadap

seberapa besar nyeri yang dia rasakan. Pikiran negative tentang nyeri

akan memfokuskan perhatian seseorang terhadap aspek yang tidak

menyenangkan dan membuat nyeri yang dirasakan bertambah buruk.

Pemberian intervensi terapi kognitif ini adalah untuk meningkatkan

cara berfikir klien dengan mengarahkan klien untuk memahami masalah

yang dihadapinya. Klien diyakinkan bahwa ia memiliki kemampuan

untuk berperilaku normal. 6


Menurut Beck (dikutip Kristyawati,2005) secara khusus mengupas

secara kritis peran kognisi pada gangguan neurotic yaitu teori kognitif

untuk gangguan emosional. Sejumlah penelitian psikoterapi telah

menunjukkan efektivitas terapi kognitif untuk treatmen penderita

depresi. Salah satu hasil penelitian mengenai penderita depresi sedang

hingga berat, sebagian besar diantaranya adalah mengenai bunuh diri

dan telah mengalami depresi secara intermiten atau terus – menerus

selama 8 tahun memperlihatkan bahwa pasien yang diobati dengan

terapi kognitif saja mempunyai angka pemulihan yang lebih besar,

angka kegagalan yang lebih kecil dan angka perbaikan yang lebih cepat

dibandingkan penderita yang diobati dengan terapi antidepresi saja. 4

Burns (1988) menyatakan bahwa terapi kognitif merupakan cara

penyembuhan gejala depresi yang revolusioner dibandingkan dengan

psikoterapi konvensional maupun terapi obat-obatan. Penelitiannya

terhadap beberapa kasus depresi berat menunjukkan berhasil

menyembuhkan 74 % kasus selama 12 minggu penanganan dengan

terapi kognitif. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Retnowati (1990)

terhadap para mahasiswa yang mengalami depresi, diberikan terapi

kognitif dengan model pendekatan kelompok. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa terdapat penurunan symptom depresi dari kategori

sedang menjadi normal setelah dilakukan terapi kognitif secara

kelompok selama 6 minggu.

Louis dkk (1996) meneliti dampak terapi kognitif untuk depresi dan

hasilnya menunjukkan aspek khas terapi kognitif yaitu terapis


memfokuskan pada distorsi kognisi berkorelasi dengan depresi.

Demikian juga Adele dan Jennifer (1988) meneliti terapi kognitif untuk

depresi menghasilkan perbaikan pola depresi pada akhir perawatan.

Pengaruh keahlian terapis diteliti oleh Brian dkk (1999) yang meneliti

keahlian terapis berhubungan dengan hasil perawatan terapi kognitif

untuk depresi dan hasilnya kemampuan ahli terapi dapat menurunkan

tingkat depresi.

Penelitian ini diperkuat oleh Joyce dan Paykel yang membuktikan

bahwa symptom yang diberi treatmen obat tidak sebaik treatmen yang

menggunakan terapi kognitif untuk gangguan depresi. Pemberian

intervensi terapi kognitif yang dilakukan secara kelompok hasilnya

sama efektif dengan bila diberikan secara individual (Scott dan

Stradling,1990). Terapi kognitif dapat digunakan sendiri dalam terapi

gangguan depresif ringan sampai sedang atau bersama-sama dengan

anti depresan untuk gangguan depresif berat. Terapi ini juga telah

digunakan pada kondisi lain seperti: gangguan panic, gangguan

obsessive kompulsif dan gangguan kepribadian paranoid dan gangguan

somatoform.2

Anda mungkin juga menyukai