Konsentrasi Absorbansi
4 0,287
6 0,44
8 0,587
10 0,733
Kurva kalibrasi Parasetamol
4.1.3 Hasil Praktikum Kelas D
Konsentrasi Absorbansi
8 0,254
10 0,331
12 0,398
14 0,482
Kurva kalibrasi Parasetamol
Konsentrasi Absorbansi
6 0,212
8 0,278
10 0,330
12 0,414
14 0,512
Kurva kalibrasi Parasetamol
4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini mengenai pembuatan kurva standar parasetamol
(C8H9NO2). Parasetamol merupakan serbuk hablur putih, tidak berbau, rasanya pahit
dan memiliki BM 151.16. Memiliki kelarutan dalam 70 bagian air, 7 bagian etanol
(95%), 13 bagian aseton, 40 bagaian gliserol, 9 bagian propilenglikol dan larut
dalam larutan alkalihidroksida. Berfungsi sebagai analgetik antipiretik (FI III, 1979).
Dengan cara menimbang 2 gram , kemudian dilarutkan ke dalam labu 500 ml.
Setelah itu membuat larutan induk parasetamol dengan konsentrasi 500 ppm.
Cara membuatnya yaitu dengan melarutkan 125 mg parasetamol ke dalam labu 250
ml NaOH. Setelah itu, di buat seri konsentrasi 1, 2, 4, 6, dan 8 alasan memilih
konsentrasi tersebut adalah ketika mengukur larutan dengan konsentrasi 12 ppm
absorbansi yang didapatkan adalah 1.504. hasil yang diperoleh jauh dari rentang
absorbansi yang ditetapkan berdasarkan hukum Lambert-Beer yaitu 0.2-0.8 nm.
Oleh karena itu dipilih seri konsentrasi di bawah 12 ppm.
Hasil yang tidak sesuai dengan literatur ini dikarenakan adanya kesalahan
dalam pengerjaan. Menurut Miller and Miller tahun 2001 menyatakan bahwa tipe
kesalahan dalam pengukuran analitik dibagi menjadi tiga, yaitu kesalahan serius
(gross error), tipe kesalahan ini sangat mempengaruhi panjang gelombang,
sehingga konsekuensinya adalah pengukuran harus diulangi. Contoh dari kesalahan
ini adalah kontaminasi reagen yang digunakan, peralatan dan sampel yang terbuang.
Kesalahan ini cukup jelas dari gambaran data yang sangat menyimpang, data tidak
memberikan pola hasil yang jelas dan tingkat reprodusibilitas yang sangat rendah.
Kesalahan acak (random error), golongan kesalahan ini merupakan bentuk
kesalahan yang menyebabkan hasil dari perulangan menjadi relatif berbeda satu
sama lain, dimana hasil secara individual berada disekitar harga rata-rata. Kesalahan
ini memberi efek pada tingkat akurasi dan kemampuan dapat terulang
(reprodusibilitas). Kesalahan ini bersifat wajar dan tidak dapat dihindari, hanya bisa
direduksi dengan kehati-hatian dan konsentrasi dalam bekerja. Kesalahan sistematik
(systematic error), merupakan kesalahan yang menyebabkan semua hasil data salah
dengan suatu kemiripan. Hal ini dapat diatasi dengan standarisasi prosedur,
standarisasi bahan dan kalibrasi instrumen.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Kalibrasi yaitu kurva antara absorbansi dengan panjang gelombang.
2. Tujuan kalibrasi adalah untuk mencapai ketelusuran pengukuran.
3. Panjang gelombang maksimum parasetamol 10 ppm setelah diplotkan serapan
yang terbaca (sumbu y) vs panjang gelombang (sumbu x) adalah 250 nm.
Sedangkan panjang gelombang larutan parasetamol berdasarkan literatur adalah
257 nm.
4. Pada saat pengukuran konsentrasi 1 ppm menghasilkan absorbansi 0.1 dan pada
konsentrasi 4 ppm menghasilkan absorbansi 0.508 sedangkan pada konsentrasi 6
ppm absorbansinya 0.426. Sehingga kurva kalibrasi yang diperoleh tidak linear.
Karena data absorbansi yang dihasilkan mengalami peningkatan pada konsentrasi 4
ppm, penurunan di 6 ppm dan meningkat kembali pada konsentrasi 8 ppm. Oleh
karena itu pembuatan kurva kalibrasinya hanya menggunakan 3 titik, yaitu pada
konsentrasi 2 ppm, 6 ppm dan 8 ppm untuk menghasilkan kurva yang linear
dengan nilai R2 0.9911.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan pengulangan percobaan agar dapat memperoleh kurva kalibrasi
yang sesuai dengan standarnya yaitu memiliki minimal 5 titik.
2. Perlu dilakukan breafing lebih lanjut mengenai Standard Operating Procedure
(SOP) sebelum percobaan dimulai agar dapat meminimalkan kesalahan pada saat
melakukan analisa.
5.3 Daftar Pustaka
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia III. Jakarta. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
Raymon C Rowe, dkk. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th
Edition. London. Pharmaceutical Press and American Pharmacists Association