Anda di halaman 1dari 45

Psychology

KONSEP DASAR PERKEMBANGAN DAN BIMBINGAN


PESERTA DIDIK

A. Pengertian Perkembangan
Dalam pengertian yang sederhana, perkembangan – diterjemahkan

dari development (bahasa Inggris) – menunjuk pada adanya perubahan positif, lebih

baik, lebih maju. Dengan kata lain, perubahan merupakan substansi yang melekat

dalam pengertian perkembangan. Hurlock (Istiwidayanti dan Soedjarwo, 1991)

mengemukakan bahwa perkembangan merupakan serangkaian perubahan progresif

yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Ini berarti,

perkembangan terdiri atas serangkaian perubahan yang bersifat progresif (maju), baik

secara kuantitatif maupun kualitatif. Perubahan kuantitatif disebut juga

”pertumbuhan” merupakan buah dari perubahan aspek fisik seperti penambahan

tinggi, berat dan proporsi badan seseorang. Perubahan kualitatif meliputi perubahan

aspek psikofisik, seperti peningkatan kemampuan berpikir, berbahasa, perubahan

emosi dan sikap, dll. Selain perubahan ke arah penambahan atau peningkatan, ada

juga yang mengalami pengurangan seperti gejala lupa dan pikun. Jadi perkembangan

bersifat dinamis dan tidak pernah statis..

Terjadinya dinamika dalam perkembangan disebabkan adanya ”kematangan dan

pengalaman” yang mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi/


realisasi diri. Kematangan merupakan faktor internal (dari dalam) yang dibawa setiap

individu sejak lahir, seperti ciri khas, sifat, potensi dan bakat. Pengalaman merupakan

intervensi faktor eksternal (dari luar) terutama lingkungan sosial budaya di sekitar

individu. Kedua faktor (kematangan dan pengalaman) ini secara simultan

mempengaruhi perkembangan seseorang. Seorang anak yang memiliki bakat musik

dan didukung oleh pengalaman dalam lingkungan keluarga yang mendukung

pengembangan bakatnya seperti menyediakan dan memberi les musik, akan

berkembang menjadi seorang pemusik yang handal. Perubahan progresif yang

berlangsung terus menerus sepanjang hayat memungkinkan manusia menyesuaikan

diri dengan lingkungan di mana manusia hidup.

Sikap manusia terhadap perubahan berbeda-beda tergantung beberapa faktor,

diantaranya pengalaman pribadi, streotipe dan nilai-nilai budaya, perubahan peran,

serta penampilan dan perilaku seseorang.

B. PENGERTIAN BIMBINGAN DAN KONSELING

Bimbingan dan konseling merupakan suatu istilah dalam bidang pelayanan psikologis

yang umum diterapkan di dalam lingkungan pendidikian/sekolah meskipun pada

dasarnya ia dapat pula diterapkan di berbagai latar di luar sekolah. Aslinya,

bimbingan dan konseling diterjemahkan dari Guidance and Counseling (bahasa

Inggris). Guidance diterjemahkan menjadi bimbingan”

dan counseling  diterjemahkan menjadi “konseling.”

1. Definisi Bimbingan
Dalam literatur asing kata guidance sering disamakan dengan kata helping. Oleh

karena itu, secara harfiah bimbingan dapat diartikan sebagai suatu “tindakan

menolong” atau “memberikan bantuan.” Pertolongan atau bantuan yang dimaksudkan

dalam bimbingan bukan dalam arti memberikan sesuatu yang dibutuhkan, seperti

memberi makanan kepada individu yang lapar atau menuntun anak untuk

menyeberang jalan. Bantuan atau pertolongan yang dimaksud dalam bimbingan

adalah memampukan individu agar ia dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.

Kebutuhan itu sendiri banyak ragamnya yang antara lain dapat berupa kebutuhan

untuk berteman, kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk mengaktualisasikan

diri, kebutuhan untuk memperoleh penghargaan, kebutuhan untuk menyesuaikan diri,

dsb. Agar individu mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri maka

ia perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan yang relevan. Untuk itu,

bimbingan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memampukan individu

agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri dengan cara

memberikan pengetahuan-pengetahuan dan membelajarkan nilai-nilai, sikap,

dan keterampilan.

Banyak ahli dan penulis dalam bidang bimbingan dan konseling juga telah

memberikan definisi konseptual tentang bimbingan. Berdasarkan hasil survei yang

dilakukan oleh para mahasiswa konseling di Amerika, ditemukan lebih dari 100

definisi bimbingan dalam literatur (Shetzer & Stone, 1981). Definisi-definisi tersebut

umumnya memperlihatkan beberapa perbedaan tergantung dari sudut pandang ahli


yang merumuskannya, meskipun tujuan secara substansial mengandung tujuan yang

sama. Untuk memberikan gambaran yang lebih memadai tentang konsep bimbingan,

berikut ini adalah beberapa contoh definisi tentang bimbingan.

Suatu definisi yang tergolong klasik menyatakan bahwa,

Bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang yang telah terlatih

dengan baik dan memiliki kepribadian dan pendidikan yang memadai kepada

individu dari berbagai kelompok usia agar individu tersebut dapat mengelola

kehidupannya sendiri, mengembangkan pandangan hidupnya sendiri, membuat

keputusan sendiri, dan menanggung sendiri konsekuensi dari pilihan atau

keputusan hidup yang telah dibuatnya (Crow & Crow, 1960).

Dalam penerapannya di sekolah, bimbingan didefinisikan sebagai,

Suatu sistem yang komprehensif dari fungsi, pelayanan, dan program sekolah

yang dirancang untuk mempengaruhi perkembangan pribadi dan kompetensi

psikologis peserta didik. Jelas bahwa definisi ini menegaskan kedudukan

bimbingan sebagai komponen pendididikan. Sebagai komponen pendidikan,

maka bimbingan meliputi penerapanseperangkat perlakuan yang dirancang untuk

membantu peserta didik mencapai hasil-hasil perkembangan dan pendidikan

secara optimal. Demikian pula, sebagai suatu bentuk pelayanan pendidikan,

bimbingan, seperti halnya pengajaran, berisikan sejumlah fungsi dan tindakan-

tindakan yang dapat dimanfaatkan oleh peserta didik untuk mencapai hasil-hasil

perkembangan dan pendidikan (Aubrey, 1979; dalam Pietrofesa, dkk., 1981).


Shertzer & Stone (1981) memberikan definisi yang tampak sederhana namun jika

definisi itu dijabarkan akan mengandung pengertian yang sangat luas. Mereka

mendefinisikan bimbingan sebagai proses membantu individu agar dapat memahami

diri dan mengarahkan dirinya.

Dalam sistem pendidikan di Indonesia, pengertian bimbingan dapat dilihat antara lain

dalam undang-undang yang mengatur pelaksanaan bimbingan dan konseling di

sekolah seperti Undang-Undang Nomor 21 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, Peraturan Pemerintah No. 28 dan Nomor 29 tahun 1990 masing-masing

tentang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Sebagai contoh, dalam PP No.

28 disebutkan secara ekpslisit bahwa pelayanan bimbingan oleh tenaga pendidik yang

kompeten merupakan bagian dari penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya dalam

pasal 25 disebutkan bahwa bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada

siswa (peserta didik) dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan

merencanakan masa depan.

2. Definisi Konseling

Kata konseling – diterjemahkan dari bahasa Inggris “counseling” – merupakan suatu

bentuk model pendekatan dalam bidang pelayanan atau intervensi psikologis. Berikut

ini adalah satu contoh definisi konseling dari Burks dan Steffler yang oleh para ahli

konseling di negara Barat dipandang memberikan gambaran yang cukup

memadai. Burks dan Steffler (George dan Cristiani, 1981; McLeod, 2003)

mendefinisikan konseling sebagai berikut:


Konseling merupakan suatu hubungan profesional antara seorang konselor yang

terlatih dan klien. Hubungan itu selalu bersifat antar pribadi (person-to-

person), meskipun seringkali dapat melibatkan lebih dari dua orang. Hubungan

tersebut dirancang untuk membantu klien memperoleh pemahaman tentang

kehidupannya, dan untuk belajar mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkannya

sendiri dengan cara memanfaatkan sumber-sumber informasi yang terpercaya dan

melalui pemecahan masalah-masalah emosional dan interpersonal.

Definisi tersebut menegaskan bahwa konseling merupakan hubungan yang bersifat

profesional dan pribadi antara konselor dan klien untuk maksud mendorong

perkembangan pribadi klien dan membantu memecahkan masalah yang sedang

dihadapinya. Konselor adalah profesional yang memiliki kewenangan untuk

memberikan konseling, sedangkan klien adalah individu yang diberi bantuan.

Masalah yang dipecahkan dapat bervariasi secara luas, mulai dari masalah pribadi

hingga masalah sosial, dan bisa bersifat preventif atau kuratif. Terdapat ahli lain yang

memiliki kewenangan untuk memberikan konseling sepanjang ia memiliki latar

belakang pendidikan dan pengalaman yang dipersyaratkan, seperti psikoterapis,

psikolog, atau pekerja sosial.

Dalam Model Pengembangan Diri yang dikeluarkan oleh pusat Kurikulum

Balitbang Depdiknas (2007) konseling didefinisikan sebagai suatu pelayanan

untuk peserta didik yang dapat dilaksanakan secara individual maupun kelompok,

untuk membantu peserta didik agar mencapai kemandirian dan berkembang


secara optimal dalam hubunganya dengan kehidupan pribadi, akademik, sosial,

dan karir, dan pelayanan ini dilaksanakan melalui berbagai jenis layanann dan

kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku.

Salah satu problem yang dihadapi oleh para praktisi konseling adalah membedakan

antara konseling dan psikoterapi (psychotherapy). Beberapa praktisi beranggapan

bahwa mereka tidak perlu membedakan antara konseling dan psikoterapi dan

menggunakan kedua istilah tersebut secara sama. Sedangkan beberapa praktisi yang

lain merasa perlu untuk memisahkan antara keduanya. Ini boleh jadi benar khususnya

untuk para konselor sekolah yang umumnya bukan psikoterapis. Banyak ahli juga

menegaskan bahwa konseling dan psikoterapi tak dapat benar-benar dipisahkan;

konselor mempraktekkan apa yang dikatakan oleh psikoterapis sebagai psikoterapi,

dan psikoterapis mempraktekkan apa yang dipandang oleh konselor sebagai

konseling (Hahn, dalam George & Cristiani, 1981).

A. HUBUNGAN ANTARA KONSEP BIMBINGAN DAN KONSEP KONSELING

Para konseptor dan pengembang awal bimbingan dan konseling menyatakan bahwa

antara bimbingan dan konseling memiliki keterikatan yang kuat, khususnya jika

dilihat dari tujuan yang hendak dicapai, yakni mensejahterakan individu mendorong

terjadinya perkembangan yang optimal bagi setiap peserta didik. Dalam

penerapannya di sekolah, keduanya juga memusatkan perhatian pada pengembangan

kemampuan akademik, pengembangan pribadi, pengembangan relasi sosial, dan

pengembangan karir. Demikian pula dalam prakteknya, khususnya di sekolah,


bimbingan dan konseling diperlakukan sebagai dua metode atau pendekatan yang

saling melengkapi dan hampir tak bisa dipisahkan. Beberapa ahli menyatakan bahwa

konseling merupakan inti dari kegiatan bimbingan. Itulah mengapa banyak ditemukan

literatur-literatur dengan judul “Bimbingan dan Konseling” (dalam literatur berbahasa

Indonesia) atau Guidance and Counseling (dalam literatur berbahasa Inggris).

Belakangan ini terdapat wacana lain berkenaan dengan penggunaan kedua istilah

tersebut. Dalam praktek bimbingan dan konseling di Indonesia, tepatnya sejak

diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hanya digunakan

istilah konseling (bukan bimbingan dan konseling) untuk menyebut berbagai kegiatan

bimbingan dan konseling berkenaan dengan pengembangan pribadi peserta didik.

Demikian pula dalam Model Pengembangan Diri yang dikeluarkan oleh pusat

Kurikulum Balitbang Depdiknas (2007) juga hanya menyebut kata konseling untuk

menunjuk serangkaian kegiatan bimbingan dan konseling. Meskipun demikian,

tampaknya tidak semua pihak setuju untuk menggunakan kata konseling guna

menggantikan istilah bimbingan dan konseling. Menurut Prof. Dr. Sunaryo

Kartadinata, Ketua Umum Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)

saat ini, penggunaan kata konseling dirasa kurang tepat karena lebih condong ke

psikologi dan bukan pedagogi (pendidikan). Menurutnya, bimbingan dan konseling di

sekolah seharusnya lebih bersifat pedagogi meskipun menerapkan teori-teori

psikologi dalam program intervensinya.


Meskipun kegiatan bimbingan dan konseling merupakan satu kesatuan, keduanya

memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan itu terletak pada prosedur yang digunakan

dan tenaga yang melaksanakannya. Dilihat dari prosedur yang digunakan, bimbingan

dapat diberikan melalui layanan informasi dan orientasi, layanan penempatan dan

penyaluran, layanan bimbingan kelompok, dan layanan konsultasi; sedangkan

konseling menggunakan berbagai pendekatan konseling. (jika penggunaan istilah

konseling untuk menggantikan istilah bimbingan dan konseling disetujui, maka

tentunya tidak ada perbedaan menyangkut prosedur yang digunakan karena

layanan informasi, layanan penempatan, layanan konsultasi dapat menjadi bagian dari

kegiatan konseling). Dilihat dari tenaga yang melaksanakannya, bimbingan dapat

dilaksanakan oleh guru, wali kelas, orang tua, dan kepala sekolah; sedangkan

konseling hanya boleh dilaksanakan oleh tenaga yang telah terlatih dalam pemberian

layanan konseling, yakni konselor.

B. PRINSIP-PRINSIP BIMBINGAN

Selama beberapa tahun sejumlah prinsip-prinsip dasar telah dikembangkan di

dalam bidang bimbingan dan konseling sekolah. Prinsip-prinsip tersebut dipandang

sebagai suatu landasan bagi pengembangan dan praktek model-model bimbingan

(Pietrofesa, dkk., 1981), atau sebagai suatu kerangka kerja filosofis di dalam mana

program-program diorganisasikan dan kegiatan-kegiatan bimbingan dikembangkan

(Gibson & Mitchell, 1995; Shertzer & Stone, 1981). Prinsip-prinsip dasar bimbingan

merupakan suatu pedoman yang berakar dari pengalaman dan nilai-nilai profesi, serta
mewakili pandangan dari mayoritas anggota profesi. Dapat dikatakkan, prinsip-

prinsip dasar bimbingan merupakan suatu asumsi mendasar atau suatu sistem

keyakinan berkenaan dengan profesi (peran, fungsi, dan kegiatan) bimbingan dan

konseling.

Sejumlah penulis buku-buku bimbingan dan konseling telah mengemukakan

beberapa prinsip dasar bimbingan an konseling. Meskipun terdapat sedikit keragaman

dalam mengemukakan jumlah dan nama prinsip, namun secara substansial pada

hakekatnya sama. Berikut ini adalah dua contoh tentang prinsip-prinsip dasar

bimbingan untuk sekolah yang dikemukakan oleh Shertzer & Stone (1981) dan

Gibson & Mitchell (1995). Shertzer & Stone (1981) mengemukakan enam prinsip

bimbingan berikut:

Prinsip 1: Bimbingan berkenaan terutama dengan perkembangan pribadi

individu.  Umumnya upaya pendidikan sekolah memusatkan perhatian pada

perkembangan intelektual. Komponen emosi dan pribadi menerima perhatian

hanya jika laju perkembangan intelektual terhambat. Kehas (1970) sangat

merekomendasikan bahwa pengembangan pribadi menjadi perhatian utama bagi

para praktisi bimbingan dan pengembangan intelektual menjadi fokus utama bagi

para guru. Karakteristik program bimbingan, dengan demikian harus diarahkan

untuk membantu siswa memperoleh pengetahuan tentang dirinya dan memahami

pengalamannya. Dengan cara demikian, bimbingan dapat dikonseptualisasikan


sebagai program sekolah yang memampukan setiap peserta didik untuk

menciptakan makna bagi kehidupannya.

Prinsip 2: bimbingan memuatkan perhatian pada dunia subyektif peserta

didik. Karena bimbingan berkenaan dengan perkembangan pribadi siswa, maka

pusat perhatian bimbingan adalah pada dunia pribadi peserta didik. Para

pembimbing/konselor menggunakan berbagai teknik asesmen dan data peserta

didik guna memahami dunia internal mereka. Oleh karena itu proses dan praktek

bimbingan harus dirancang untuk membantu peserta didik memhami dunia

pribadi (dunia subyektif) dan kondisi lingkungan eksternalnya dengan lebih baik.

Prinsip 3: bimbingan diarahkan pada kerjasama, bukan paksaan. Para peserta

didik tak dapat dipaksa untuk menerima bimbingan. Sebaliknya, bimbingan harus

dilaksanakan atas dasar persetujuan dan kerelaan dari individu-individu yang

terlibat. Persetujuan tersebut harus dinyatakan secara eksplisit dan implisit. Jika

peserta didik tidak bersedia untuk menerima menerima bantuan atau mengikuti

rujukan oleh guru atau orang tua, maka menjadi tugas pembimbing untuk

menangani keengganan atau penolakan peserta didik tersebut. Bimbingan selalu

tergantung pada motivasi individu untuk menerima bantuan dan keinginan untuk

berubah alih-alih pada tekanan, paksaan, atau ancaman eksternal.

Prinsip 4: Setiap manusia memiliki kesanggupan untuk mengembangkan dirinya

sendiri.  Banyak ahli dan praktis bimbingan belakangan, khususnya yang

menggunakan pendekatan humanistik, mengakui bahwa individu memiliki


kemampuan untuk mengaktualisasikan dirinyadan bahwa perilaku dan sikap-

sikap tertentu mempengaruhi dna dipengaruhi oleh semua bidang (aspek)

individu. Perubahan perilaku peserta didik paling baik terjadi melalui keterlibatan

aktif peserta didik.

Prinsip 5: bimbingan didsarkan pada hak-hak dan nilai-nilai pribadi individu di

samping kebebabsan individu untuk memilih. Setiap individu adalah unik dan

memiliki nilai-nilai, hak-hak pribadi, dan kebebasan untuk membuat pilihan dan

menentukan jalan hidupnya sendiri. Ini harus diterima dan dihargai oleh para

pembimbing. Penekanannya adalah pada nilai tertinggi dan posisi sentral

individu. Individu harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memilih tujuan

hidupnya sendiri dan memilih cara untuk men capai tujuan tersebut. Inti dari

kebebasan adalah mandiri dalam membuat pilihan dan/atau keputusan (self-

determined). Kebebasan untuk membuat pilihan dan melakukan aktivitas sesuai

dengan pilihan tersebut aalah esensial bagi perkembangan pribadi. Dengan

menggunakan kebebasan itu maka anak akan mengembangkan suatu perasaan

tanggung jawab dan pengendalian diri.

Prinsip 6: bimbingan erupakan suatu proses pendidikan yang berkelanjutan dan

terus-menerus. Bimbingan harus dimulai dari jenjang sekolah dasar hingga

perguruan tinggi bahkan terus berlangsung sepanjang hayat hidup individu. Untuk

itu bimbingan harus diintegrasikan ke dalam pfogram sekolah secara keseluruhan.


Gibson & Mitchell (1995) mengemukakan prinsip-prinsip dasar yang lebih banyak,

ykni 15 prinsip sebagai brikut:

1. Program-program bimbingan dan konseling sekolah harus dirancang untuk

melayani semua kebutuhan perkembangan dan penyesuaian dari semua

peserta didik.

2. Program bimbingan dan konseling harus berkenaan dengan perkembangan total

dari setiap peserta didik yang dilayani. Program ini harus didasarkan pada

suatu pengakuan bahwa perkembangan individu merupakan suatu proses yang

terus-menerus dfan berkelanjutan; dan oleh karena itu program bimbingan dan

konseling sekolah harus bersifat perkembangan.

3. Bimbingan dan konseling untuk peserta didik harus dipandang sebagai suatu

proses yang berkelanjutan dari sejak anak diterima sebagai perserta didik

hingga lulus.

4. Bimbingan dan konseling harus diberikan oleh tenaga (personil) yang terlatih

dan kompeten (profesional) dalam bidang bimbingan dan konseling (ini tidak

berarti bahwa paraprofesional tak dapat memberikan kontribusi dalam bidang

pelayanan bimbingan dan konseling).

5. Keefektifan suatu program bimbingan dan konseling merupakan hal yang

esensial, dan oleh karena itu setiap program bimbingan dan konseling harus

direncanakan dan dikembangkan secara khusus atas dasar prinsip-prinsip


ilmiah. (perlu diingat bahwa kegagalan suatu program tidak hanya membuang

waktu, tenaga, dan biaya tetapi dapat merugikan peserta didik dalam arti

mereka dapat menjadi lebih parah dan menderita).

6. Setiap program bimbingan dan konseling harus merefleksikan keunikan dari

kelompok populasi dan lingkungan yang dilayani. Jadi, seperti halnya

perbedaan individual, setiap program harus berbeda antara program yang satu

dengan lainnya.

7. Berkaitan dengan prinsip nomor tujuh di atas, setiap program bimbingan dan

konseling harus didasarkan pada atau didahului oleh suatu asesmen yang

sistematis tentang kebutuhan dan masalah peserta didik beserta dengan

seluruh latar belakangnya.

8. Suatu program pembelajaran yang efektif di sekolah mempersyaratkan suatu

program bimbingan dan konseling yang efektif. Pendidikan yang baik dan

bimbingan yang baik adalah saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan.

Program pendidikan dan program bimbingan saling mendukung dan saling

mengisi satu sama lain untuk mendorong perkembangan setiap peserta didik.

9. Guru merupakan komponen yang ikut memainkan peran penting dalam

memfasilitasi dan mengefektifkan program-program bimbingan dan konseling

untuk peserta didik.


10. Program bimbingan dan konseling sekolah harus dapat dipertanggung

jawabkan (accountable) dengan cara memperlihatkan/memberikan bukti-bukti

obyektif tentang nilai dan hasil-hasil yang dicapai dari setiap program

bimbingan dan konseling.

11. Personil bimbingan (pembimbing atau konselor) sekolah adalah anggota tim.

Artinya, para pembimbing/konselor sekolah harus berbagai atau

membicarakan masalah-masalah peserta didik dan program yang

dikembangkannya dengan personil sekolah yang lain seperti guru, kepala

sekolah, psikolog sekolah (jika ada), perawat sekolah (jika ada), dan tenaga

kependidikan yang lain yang ada di sekolah tempat bimbingan dan konseling

dilaksanakan.

12. Program bimbingan dan konseling harus mengakui hak-hak dan kemampuan

dari setiap peserta didik yang dibantu khususnya yang berkenaan dengan

pembuatan rencana dan pengambilan keputusan.

13. Program bimbingan dan konseling sekolah harus menghargai nilai-nilai dan

martabat dari dari setiap peserta didik yang dilayanai.

14. Program bimbingan dan konseling sekolah harus mengakui keunikan dari

setiap perserta didik dan hak-hak bagi keunikan tersebut.

15. Pembimbing sekolah harus menjadi model peran bagi hubungan manusia

yang positif – hubungan yang peniuh penerimaan, tidak bias, dan setara.
C. JENIS DAN SASARAN PROGRAM

Secara umum bimbingan dan konseling merupakan suatu perangkat sistem perlakuan

yang ditujukan untuk membantu setiap peserta didik agar dapat berkembang secara

optimal sesuai dengan potensi dan keunikan yang dimilikinya. Dalam konteks

bimbingan dan konseling di Indonesia sebagaimana terdapat dalam Panduan

Pengembangan Diri Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), terdapat empat

bidang perkembangan yang dijadikan sebagai sasaran khusus dari pelayanan

bimbingan dan konseling, yakni: akademik, karir, pribadi, dan sosial. Berikut adalah

deskripsi dari empat bidang tersebut.

1. Bimbingan Akademik

Dalam panduan model pengembangan diri yang dikeluarkan oleh Pusat Kurikulum

Balitbang Depdiknas (2007) dikemukakan bahwa bimbingan akademik – disebut

sebagai pengembangan kemampuan belajar – merupakan salah satu bidang pelayanan

bimbingan yang ditujukan untuk membantu peserta didik mengembangkan

kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan dan belajar secara mandiri

dan memecahkan berbagai permasalahan akademik. Dalam bentuknya yang konkrit,

bimbingan akademik diberikan untuk membantu peserta didik membuat penyesuaian

yang efektif dengan aspek-aspek dan tugas-tugasakademik seperti mengenal dan

menyesuaikan diri dengan kurikulum, memilih cara-cara yang efektif untuk belajar

dan menyelesaikan tugas-tugas belajar, memilih kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai,

memilih jurusan yang sesuai, mencari dan menggunakan sumber-sumber belajar,


menangani kemalasan belajar, dsb. Winkel & Hastuti (2004) juga menyatakan bahwa

bimbingan akademik adalah bimbingan untuk membantu peserta didik menemukan

cara belajar yang tepat, memilih program studi yang sesuai, dan mengatasi berbagai

kesulitan yang timbul berkaitan dengan tuntutan-tuntutan belajar.

Bimbingan akademik khususnya untuk membantu siswa agar dapat mencapai prestasi

yang tinggi di sekolah menjadi sangat penting, sebab banyak bukti penelitian yang

telah menegaskan adanya hubungan yang positif antara keberhasilan hidup di

kemudian hari dengan prestasi akademik, khususnya prestasi yang dicapai pada masa

remaja (Steinberg, 2002). Pentingnya peserta didik perlu memiliki prestasi akademik

yang tinggi juga dapat dikaitkan dengan tuntutan masyarakat maju sekarang ini yang

lebih menekankan pada kompetisi dan keberhasilan. Capaian prestasi akademik juga

memiliki dampak psikologis dan sosial. Peserta didik yang dapat mencapai porestasi

akademik tinggi cenderung lebih percaya diri dan disenangi oleh orang-orang

disekelilingnya dan dengan demikian lebioh mungkin terhindar dari berbagai

gangguan psikosiosial. Meskipun demikian, hendaklah dipahami bahwa capaian

prestasi akademik hanyalah salah satu faktor dari sjumlah faktor yang mempengaruhi

keberhasilan hidup individu di kemudian hari.

2. Bimbingan Karir

Bimbingan karir merupakan kegiatan bimbingan yang secara khusus ditujukan untuk

membantu peserta didik agar dapat membuat pilihan dan keputusan karir secara tepat.

Dalam panduan model pengembangan diri yang dikeluarkan oleh Pusat Kurikulum
Balitbang Depdiknas (2007) dikemukakan bahwa bimbingan karir – disebut

pengembangan karir – merupakan suatu bidang pelayanan yang ditujukan untuk

membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan

membuat keputusan karir. Menurut Nurihsan (2002), bimbingan karir merupakan

pelayanan bimbingan untuk membantu peserta didik mengenal dan memahami

dirinya, mengenal dunia kerja, dan mengembangkan masa depannya sesuai dengan

macam kehidupan yang diharapkannya sehingga pada kahirnya individu dapat

mewujudkan dirinya secara bermakna. Menurut Winkel & Hastuti (2004), bimbingan

karir adalah bimbingan yang ditujukan untuk membantu peserta didik dalam rangka

mempersiapkan dirinya menghadapi dunia pekerjaan, memilih pekerjaan atau profesi

tertentu serta membekali diri supaya siap memangku pekerjaan yang dipilih, dan

menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan dari pekerjaan yang dipilih.

Bimbingan karir untuk para peserta didik tentunya belum berkenaan dengan

penyesuaian diri dengan tuntutan pekerjaan yang dipangku atau dipilih karena mereka

itu belum melaksanakan suatu pekerjaan. Bimbingan karir di sekolah khususnya di

sekolah dasar tentu saja lebih banyak berkenaan dengan upaya membantu siswa

mengenali diri dalam arti potensi dan karakteristik pribadi dan berbagai macam

pekerjaan yang ada di masyarakat pada saat ini beserta dengan kecakapan yang

dipersyaratkan untuk dapat melaksanakan jenis-jenis pekerjaan tersebut dengan

berhasil. Menurut teori perkembangan karir dari Donald Super (1997), tugas

perkembangan karir anak dan remaja adalah melakukan eksplorasi karir. Pada akhir
masa remaja, yakni ketika akan meninggalkan bangku sekolah menengah atas, setiap

individu seharusnya telah membuat pilihan atau keputusan karir. Dengan demikian

bimbingan karir di SD diberikan untuk membantu peserta didik melakukan ekplorasi

karir. Ekplorasi ini dilaksanakan dengan berbagai kegiatan pencarian informasi dan

orientasi. Dalam teori Super tersebut juga ditegaskan bahwa karir meliputi banyak

aspek kehidupan dan pemilihan suatu pekerjaan hanyalah salah satunya. Juga

ditegaskan bahwa perkembangan karir berhubungan dengan perkembangan konsep

diri. Oleh karena itu, membantu peserta didik mengembangkan konsep diri positip

dapat merupakan bagian dari bimbingan karir di sekolah.

3. Bimbingan Pribadi

Bimbingan pribadi merupakan komponen pelayanan bimbingan yang secara khusus

dirancang untuk membantu individu menangani atau memecahkan masalah-masalah

pribadi. Yang tergolong masalah pribadi antara lain adalah merasa kurang percaya

diri, merasa cemas, merasa depresi, merasa frustrasi, merasa tertekan, memiliki rasa

malu yang berlebihan, memiliki dorongan agresif yang kuat, kurang bisa konsentrasi,

merasa malas dan tak bergairah untuk belajar dan beraktivitas, mengalami gangguan

tidur, tidak bisa menemukan aktivitas untuk menyalurkan bakat, minat, hobi,

dsb. Dalam panduan model pengembangan diri yang dikeluarkan oleh Pusat

Kurikulum Balitbang Depdiknas (2007) dikemukakan bahwa bimbingan pribadi –

disebut pengembangan kehidupan pribadi – merupakan bidang pelayanan bimbingan

yang dirancang untuk membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan
mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan

karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinay secara realistik.

Berbagai permasalahan pribadi yang umum diperlihatkan oleh anak usia SD antara

lain adalah perasaan takut atau cemas, perasaan tidak mampu, perasaan minder,

kelelahan dan kurang bergairah untuk belajar (malas). Bahkan menurut beberapa

hasil penelitian di beberapa negara Barat, ditemukan banyak anak usia SD yang

mengalami gangguan depresi. Suatu penelitian yang dilakukan terhadap para peserta

didik di SD di Surabaya juga menemukan sejumlah peserta didik kelas empat dan

lima SD yang mengalami gangguan depresi (Trilaksono, 2004).

4. Bimbingan Sosial

Bimbingan sosial adalah suatu bentuk pelayanan bimbingan yang diarahkan untuk

membantu peserta didik menangani berbagai permasalahan sosial atau masalah yang

muncul dalam hubungannya dengan orang lain. Berbagai bentuk permasalahan sosial

antara lain adalah menarik diri, terkucil atau tak punya teman, sering cekcok dengan

teman atau orang lain, tidak bisa berteman atau bergaul dengan baik dengan orang

lain, sering terlibat dalam perkelahian, tidak bisa menerima hak-hak orang lain, dsb.

Dalam panduan model pengembangan diri yang dikeluarkan oleh Pusat Kurikulum

Balitbang Depdiknas (2007) dikemukakan bahwa bimbingan sosial – disebuat

kemampuan pengembangan sosial merupakan bidang pelayanan bimbingan yang

diarahkan untuk membantu peserta didik memahami, menilai, dan mengembangkan


kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota

keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas.

Berbagai bentuk masalah sosial yang biasanya diperlihatkan oleh peserta didik di SD

umumnya diperlihatkan dalam bentuk perilaku agresi anti sosial seperti perkelahian

dengan teman dan berbagai bentuk perilaku menyerang yang lain, pengucilan,

pencurian, pencemaran lingkungan, menentang, tidak patuh, dsb. Sekarang ini banyak

ditemukan seju,lah anak usia SD yang memperlihatkan berbagai bentuk perilaku

tidak normatif dan melecehkan teman maupun orang tua. Tidak jelas apakah ini

berkaitan dengan kurang ketatnya pendidikan dalam keluarga dan internalisasi nilai-

nilai oleh orang tua pada anak atau karena maraknya model-model perilaku agresif

yang diperlihatkan oleh media, atau karena sekolah kurang memberikan perhatian

yang memadai terhadap pendidikan budi pekerti anak. Berkaitan dengan ini,

pendidikan budi pekerti dapat menjadi bagian dari program bimbingan sosial anak.

D. KOMPONEN PROGRAM

Berbagai bidang pelayanan bimbingan sebagaimana dikemukakan di atas dapat

diberikan melalui berbagai bentuk pelayanan. Winkel & Hastuti (2004)

mengemukaan sejumlah pelayanan bimbingan dan konseling yang disebutnya sebagai

komponen program bimbingan, yang meliputi layanan pengumpulan data, layanan

informasi dan oriantasi, layanan penempatan, layanan konseling, layanan konsultasi,

dan layanan evaluasi. Apa yang dikemukakan oleh Winkel dan Hastuti tersebut

mewakili bentuk pelayanan tradisonal bimbingan dan konseling (Gibson dan


Mitchell, 1995).Sedangkan Shertzer dan Stone (1981) mengemukakan enam

komponen utama yang menjadi bidang pelayanan bimbingan dan konseling sekolah,

yakni: Berikut adalah deskripsi singkat dari masing-masing bidang pelayanan

tersebut.

1. Layanan Pengumpulan Data

Layanan pengumpulan data juga sering disebut dengan layanan apraisal atau asesmen

individual. Layanann ini diberikan untuk membantu peserta didik mengenali potensi

dan karakteristik dirinya melalui suatu prosedur yang sistematis. Layanan ini sering

dipandang sebagai layanan mendasar dari seluruh kegiatan bimbingan karena

memberikan data dasar yang akan/dapat digunakan oleh pembimbing/konselor untuk

memahami setiap peserta didik dan mengembangkan program-program bimbingan

yang relevan, dalam arti sesuai dengan masalah, kebutuhan, minat, dan potensi

peserta didik. Layanan pengumpulan data dilakukan dengan mengadministrasikan

berbagai teknik dan instrumen pengumpul data, baik teknik tes maupun non tes.

Teknik tes dibedakan dalam bentuk tes terstandar (umumnya dalam bentuk tes

psikologis yang sudah dibakukan) dan tidak terstandar tes tidak terstandar (tes yang

dikembangkan sendiri untuk mengukur data tertentu pada waktu tertentu). Teknik-

teknik non tes dapat berupa pengamatan atau observasi, wawancara, laporan diri (di

antara teknik laporan diri yang sering digunakan adalahinventori dan angket).

Tentang berbagai teknik pengumpul data ini akan diberikan penjelasan secara rinci

melalui bab tersendiri.


2. Layanan Informasi

Layanan informasi adalah layanan bimbingan yang ditujukan untuk memberi

informasi yang relevan, obyektif dan aktual kepada peserta didik tentang berbagai hal

yang berkaitan dengan dirinya dan lingkungannya. Secara operasional, layanan

informasi dapat diberikan dalam bentuk pemberian informasi tentang proses

perkembangan, bakat dan minat, perkembangan dan tuntutan karir di masyarakat,

kurikulum, program studi, bahaya narkoba, cara belajar efektif, etika pergaulan, tata

tertib sekolah, program ekstra kurikuler sekolah, berbagai organisasi yang ada di

masyarakat, dsb. Kegiatan ini dapat diberikan secara langsung pada siswa melalui

pertemuan tatap muka diu kelas, atau secara tidak langsung melalui brosur, papan

bimbingan, atau melalui teknologi dan media bimbingan yang lain. Termasuk dalam

layanan informasi ini adalah layanan orientasi, yakni layanan bimbingan untuk

membantu peserta didik mengenali dan memahami obyek belajar dan lingkungan

baru sehingga mereka dapat menyesuaikan dirinya dengan baik. Salah satu contoh

layanan orientasi adalah memperkenalkan siswa baru dengan lingkungan sekolah

beserta dengan segala seluk beluknya (kurikulum, kegiatan intra dan ekstrakurikuler,

tata tertib, layanan bimbingan sekolah, laboratorium yang ada, dsb.).

3. Layanan Penempatan dan Penyaluran

Layanan penempatan dan penyaluran tan bimbingan yang ditujukan untuk membantu

peserta didik menemukan atau memperoleh lingkungan belajar yang tepat dalam arti

kondusif untuk mendorong prestasi dan perkembangan dirinya. Dalam bentuknya


yang konkrit, layanan ini dapat berupa aktivitas membantu peserta dirik untuk

memilih dan memperoleh kelompok belajar yang tepat, menempatkan peserta didik di

kelas yang tepat, menyalurakan peserta didik dalam kegiatan intra dan ekstra

kurikuler sesuai dengan bakat dan minatnya, menempatkan peserta didik di bangku

yang tepat sehingga ia dapat menerima pelajaran dan berkonsentrasi dengan baik,

dsb. Layanan penempatan ini tentu saja didasarkan pada pemahaman yang akurat

tentang siswa dan pemahaman ini didasarkan pada data yang diperoleh dari kegiatan

layanan pengumpulan data.

4. Layanan Konseling

Layanan konseling berkenaan dengan up[aya membantu peserta didik untuk

menangani berbagai permasalahan yang sedang dihadapinya baik masalah pribadi,

akademik, karir, atau sosial melalui konseling (lihat definisi konseling pada unit 1).

Konseling harus diberikan oleh tenaga profesional (memiliki kompetensi dan lisensi

untuk melakukannya), disebut konselor. Oleh karena itu tenaga kependidikan lain di

luar konselor tidak boleh memberikan konseling kecuali mereka memiliki sertifikat

dan lisensi yang mengijinkannya untuk memberikan konseling. Sertifikat dan lisensi

untuk memberikan konseling dapat diperoleh melalui pendidikan pada program S1

bimbingan dan konseling atau melalui pendidikan profesi konselor. Konseling dapat

diberikan melalui format individual (konselor mengkonseling satu orang peserta

didik) atau melalui format kelompok (konselor mengkonseling dua atau lebih peserta

didik). Tentang apakah konselor akan menggunakan format individual atau kelompok
tergantung pada beberapa hal seperti karakteristik masalah dan pribadi peserta didik,

jumlah peserta didik yang mendesak untuk segera ditangani, kesanggupan konselor,

dan waktu yang tersedia). Dalam beberapa hal, konseling dengan format kelompok

(disebut konseling kelompok) dipandang lebih efisien dibandingkan dengan

konseling dengan format individual (disebut konseling individual), sebab dalam

waktu yang bersamaan konselor dapat menangani sejumlah peserta didik sekaligus.

5. Layanan Konsultasi

Konsultasi merupakan suatu proses membantu peserta didik melalui pihak ketiga atau

membantu suatu sistem untuk meningkatkan pelayanannya kepada klien. Terdapat

dua model konsultasi yang populer (biasa digunakan), yakni model triadik dan

model proses. Dalam model triadik, konselor membantu pihak ketiga (misalnya

orang tua) untuk menangani anak mereka yang sering membuat ulah

(troubel maker) atau tergolong nakal (delinquent), atau membantu guru untuk

manangani kesulitan siswa dalam menerima pelajaran. Dalam model proses,

perhatian diberikan pada proses yang digunakan oleh suatu sistem atau lembaga

dalam menjalankan tugas-tugasnya. Dalam layanan konsultasi, peran konselor adalah

sebagai konsultan bagi pihak ketiga dan tidak secara langsung berhubungan dengan

individu yang dibantu. Dapat dikatakan, layanan konsultasi di sekolah merupakan

suatu bentuk layanan bimbingan yang ditujukan untuk membantu pihak lain (orang

tua dan guru) memperoleh pemahaman yang memadai tentang peserta didik dan cara-

cara yang perlu dilakukan untuk menangani kondisi atau masalah peserta didik.
6. Layanan Evaluasi

Layanan evaluasi tidak diberikan kepada siswa tetapi dilakukan untuk menilai

keterlaksanaan, keefektifian, dan efisiensi program-program bimbingan dan

konseling itu sendiri. Idealnya dilakukan dua macam evaluasi terhadap pelaksanaan

program bimbingan dan konseling, yakni evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi

proses dilaksanakan untuk memperoleh data guna menilai keterlaksanaan fungsi-

fungsi bimbingan. Evaluasi proses memberikan data-data yang dapat digunakan

untuk menimbang apakah prosedur-prosedur bimbingan dapat terus dilanjutkan,

dimodifikasi, atau dihentikan dan diganti dengan prosedur lain. Sedangkan evaluasi

hasil dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna menimbang nilai guna

(keefektifan) dari program, dalam arti apakah implementasi program dapat

memberikan dampak positif yang dibuktikan oleh adanya perubahan perilaku pada

diri peserta didik yang dilayani. Dengan demikian, evaluasi proses menyerupai

evaluasi formatif dan evaluasi hasil menyerupai evaluasi sumatif dalam bidang

pembelajaran.

Dalam model pengembangan diri yang dikeluarkan oleh Pusat Kurikulum balitbang

Depdiknas (2007), selain beberapa bentuk pelayanan tersebut juga disebutkan bentuk

pelayanan penguasaan konten dan pelayanan mediasi. Pelayanan penguasaan konten

adalah layanan yang diberikan untuk membantu peserta didik menguasai konten

tertentu, khususnya kompetensi dan/atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di

sekolah, keluarga, mdan masyarakat. Sedangkan layanan mediasi ditujukan untuk


membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan

antara mereka. Pada hakekatnya, layanan konten dan mediasi hanyalah semacam

perluasan dari layanan yang sudah dan tidak begitu signifikan, karena apa yang

menjadi sasaran layanan penguasaan konten dan mediasi telah dapat diselesaikan

melalui layanan informasi, konseling, atau konsultasi.

E. FUNGSI BIMBINGAN DAN KONSELING

Bimbingan dan konseling di sekolah memiliki beberapa fungsi. Sesuai dengan

kedudukannya sebagai salah satu komponen sekolah yang mengurusi bidang

pembinaan pribadi peserta didik, bimbingan dan konseling sekolah setidaknya

memiliki tiga fungsi utama, yakni: pencegahan, penanganan, dan pengembangan.

Berikut adalah deskripsi dari masing-masing fungsi tersebut.

1. Fungsi Pencegahan (Prefentif)

Fungsi pencegahan atau fungsi prefentif berkenaan dengan upaya-upaya

menghindarkan peserta didik dari kemungkinan mengalami kesulitan atau hambatan

perkembangan. Berkaitan dengan fungsi ini, bimbingan dan konseling sekolah harus

merancang dan mengembangkan program-program untuk membentuk kepribadian

dan lingkungan belajar sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat terhindar dari

kemungkinan mengalami kesulitan akademik, pribadi, karir, maupun sosial. Sebagai

contoh, untuk mencegah peserta didik dari penyalahgunaan narkoba, bimbingan dan

konseling di sekolah dapat merancang dan mengadministrasikan berbagai program

berikut: memberikan layanan informasi tentang jenis-jenis dan efek merusak narkoba
pada fisik dan mental; memberikan pendidikan dan pelatihan untuk mengembangkan

harga diri (self-esteem) dan konsep diri positif pada diri peserta didik; mendorong

peserta didik untuk berteman dengan orang yang tidak terlibat dalam penyalahgunaan

narkoba; memberikan latihan asertif pada peserta didik agar mereka mampu berkata

‘tidak” terhadap ajakan untuk menggunakan narkoba, dsb. Demikian pula, untuk

menghindarkan peserta didik dari kemungkinan mengalami kesulitan belajar,

bimbingan dan konseling sekolah dapat merancang dan melaksanakan program

berikut: pemberian layanan informasi dan orientasi tentang kurikulum sekolah;

pemberian informasi tentang cara belajar efektif; pemberian informasi tentang studi

lanjut; memberikan konsultasi kepada sekolah untuk menciptakan lingkungan sekolah

yang kondusif untuk belajar dan bermain; memberikan konsultasi kepada guru untuk

memilih metode pembelajaran yang dapat merangsang motivasi belajar peserta didik.

2. Fungsi Penanganan/Pengentasan (Kuratif)

Fungsi penanganan sering juga disebut dengan fungsi kuratif, pengentasan,

pemecahan, atau penanggulangan. Keberadaan bimbingan dan konseling di sekolah

diharapkan dapat menjadi komponen sekolah yang efektif untuk membantu peserta

didik menangani atau memecahkan berbagai kesulitan yang dihadapinya, baik

kesulitan yang bersifat pribadi, akademik, sosial, maupun karir. Meskipun telah

dilakukan upaya-upaya pencegahan, itu tidak berarti semua peserta didik dapat

terhindar dari permasalahan atau kesulitan. Selalu saja dapat ditemukan sejumlah

peserta didik yang memperlihatkan gejala perilaku yang mengindikasikan adanya


kesulitan. Fungsi penanganan dapat diwujudkan melalui layanan konseling, layanan

konsultasi, atau layanan bimbingan kelompok.

3. Fungsi Pengembangan

Telah dikemukakan dalam prinsip-prinsip bimbingan bahwa bimbingan dan

konseling tidak hanya diberikan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan saja,

tetapi kepada semua peserta didik. Ini sesuai dengan tujuan umum dari

penyelenggaraan pendidikan sekolah, yakni membantu setiap peserta didik agar dapat

berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Bimbingan dan

konseling sekolah harus dapat memberikan kontribusi kepada sekolah untuk

mencapai tujuan tersebut. Ini dapat dilakukan dengan cara mengembangkan program-

program pengembangan kepribadian siswa, program penempatan dan penyaluran

siswa pada berbagai kegiatan intra dan ekstra kurikuler sesuai dengan bakat, minat,

dan karakteristik kepribadiannya; atau merancang kegiatan ekstrakuler dan kegiatan

bimbingan yang lain untuk tujuan menyalurkan minat dan mendorong realisasi

potensi dan bakat-bakat khusus peserta didik.

C. Pengertian Peserta Didik

Peserta didik dalam arti luas adalah setiap orang yang terkait dengan proses

pendidikan sepanjang hayat, sedangkan dalam arti sempit adalah setiap siswa yang

belajar di sekolah (Sinolungan, 1997). Departemen Pendidikan Nasional (2003)

menegaskan bahwa, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha

mengembangkan dirinya melalui jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Peserta didik
usia SMP adalah semua anak yang berada pada rentang usia sekitar 13-15 tahun yang

sedang berada dalam jenjang pendidikan SMP.

KEINTIMAN (INTIMACY)

Salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian di masa remaja adalah adanya

perubahan dalam berinteraksi dengan seseorang. Interaksi pribadi dengan orang lain

di masa-masa ini umumnya lebih dekat, lebih pribadi dan lebih emosional. Dengan

kata lain interaksi dengan orang lain di masa remaja akan lebih intim.

Konsep intim dalam penelitian tentang masa remaja di sini tidak berkaitan

dengan hubungan seks, melainkan pada ikatan emosional antara dua orang yang

saling perhatian, keinginan untuk dekat secara pribadi dan keinginan untuk berbagi

kesenangan dan kegiatan.

KEINTIMAN SEBAGAI ISU MASA REMAJA

Keintiman adalah sesuatu yang dibutuhkan sepanjang hidup. Weiss (1974)

mengatakan bahwa teman memberi dorongan ketika perasaan kita melemah dan

membantu ketika kita butuh serta menemani kita dalam berbagai kegiatan. Hartup

(1992), Myers, Lindenthal & Pepper (1975) menyatakan bahwa jika seseorang tidak

mempunyai teman di masa anak-anak berarti dia memiliki masalah sosial dan

psikologi, tetapi ketika di masa remaja dia memiliki satu saja teman dapat
menguntungkan bagi perkembangan sosial dan psikologisnya. Dengan kata lain

keintiman merupakan sesuatu yang penting bagi semua orang untuk segala usia.

Keintiman adalah elemen emosi, yang di dalamnya terdapat kehangatan,

kepercayaan (trust) dan keinginan untuk membina hubungan. Di masa anak-anak,

hubungan persahabatan berorientasi pada kegiatan fisik saja misalkan bermain

bersama. Tetapi hubungan persahabatan di masa remaja memiliki dasar emosi yang

kuat yang membanguna ikatan batin antara dua orang yang saling memperhatikan dan

saling memahami (Newcomb & Bagwell, 1995).

Alasan lain akan pentingnya keintiman di masa remaja adalah adanya

perubahan hubungan sosial yang alami di masa remaja. Di awal remaja mulai tumbuh

kesadaran tentang pentingnya teman sebaya, di usia remaja pertengahan dan remaja

lanjut tumbuh kesadaran akan pentingnya pasangan lawan jenis (Furman, Brown &

Feiring, 1999).

Beberapa teori menjelaskan terjadinya perubahan hubungan di masa remaja.

Berndt (1982), Savin-William & Berndt (1990) membuktikan adanya korelasi yang

signifikan antara perkembangan keintiman dengan perubahan sosial, kognitif dan

biologis di masa remaja.

Kandel & Lesser (1972) menyimpulkan perubahan hubungan di masa remaja

adalah karena pubertas dan mulai adanya rangsangan kebutuhan seks. Lebih lanjut

dijelaskan bahwa remaja merasa tidak nyaman berbicara tentang seks dengan orang
tuanya, sehingga mereka mencari tahu tentang seks dengan orang lain. Akan tetapi

kedewasaan mungkin juga dapat mendorong hubungan antara remaja dan orang tua

lebih intim apabila remaja tersebut minta nasihat dan petunjuk dari ibu bapaknya.

Hill & Palmquist (1978) memandang perubahan hubungan di masa remaja dari

sisi perubahan sosial kognitif. Mereka mengatakan bahwa perkembangan sosial

kognitif di masa remaja terpantul dari konsepsi hubungan sosial di masa remaja yang

lebih komplek dan adanya perkembangan komunikasi antar pribadi.

TEORI TENTANG KEINTIMAN DI MASA REMAJA

Ada 3 perspektif teori yang sangat penting tentang keintiman di masa remaja

yakni dari Harry Stack Sulivan, Erik Erikson dan teori Attachment.

Teori Sullivan tentang Perkembangan Hubungan Interpersonal

Sullivan memandang perkembangan hubungan interpersonal dipengarui oleh

kebutuhan berdasarkan perkembangan biologis seseorang yakni:

1. Masa Bayi (infancy) usia 0 sampai 2-3 tahun membutuhkan bantuan orang lain dan

kasih saying dari ibunya.

2. Masa Anak awal (early childhood) 2-3 tahun sampai 6-7 tahun

membutuhkna teman peran serta orang yang lebih dewasa dalam bermain.


3. Masa Anak pertengahan (middle childhood) 6-7 tahun sampai 8-10

tahun membutuhkan teman sebaya untuk bermain dan diterima di masyarakat.

4. Masa Praremaja (preadolescence) usia 8-10 tahun sampai 12-14 tahun

membutuhkan keintiman dengan teman sebaya.

5. Masa Remaja awal (early adolescence) usia 12-14 tahun sampai 17-18 tahun

membutuhkan kontak seks dan keintiman dengan dengan lawan jenisnya.

6. Masa Remaja lanjut (late adolescene) usia 17-18 tahun sampai dewasa

membutuhkan pencapaian manusia seutuhnya yang diterima di masyarakat.

Dari teori tersebut menurut sulivan kebutuhan akan keintiman dimulai dari

masa praremaja dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenisnya dan

di masa remaja awal dan lanjut semakin adanya rangsangan seks dan kerinduan

kebutuhan akan keintiman berujung pada hubungan percintaan dengan pasangannya.

Menurut Sulivan tantangan utama di masa remaja adalah menggabungkan kebutuhan

akan keintiman dengan kebutuhan akan hubungan seks.

Teori Erikson Tentang Keintiman

Teori Erikson menyatakan bahwa perkembangan seseorang di masa remaja

berputar pada two krisis psikososial yakni indentity crisis vs identity confusion (krisis

identitas vs kekacauan identitas) dan crisis of intimacy vs isolation (keintiman vs

isolasi).
Krisis identitas dimaknai bahwa masa remaja adalah masa dimana remaja mulai

merasakan suatu perasaan identitasnya sendiri, merasa unik, siap untuk berperan

dalam masyarakat. Mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri

seperti kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan yang dikejar di masa datang, kekuatan

dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri sedangkan kekacauan identitas

merupakan masa peralihan dari anak ke dewasa. Menjadikan kadang remaja berada

pada kondisi kekacauan identitas. Mereka menjadi hampa, terisolasi, cemas dan

bimbang. Mereka menjadi kacau, tingkah lakunya tidak konsisten. Ingin masuk dunia

kehidupan dewasa tapi masyarakat menganggap belum mampu dan mereka merasa

sudah bukan anak-anak lagi. Terjadi suatu kekacauan. Jika tidak terselesaikan anak

akan berada pada kondisi krisis identitas yang akan mengembangkan identitas negatif

pada dirinya yaitu dirinya hanya memiliki sifat yang potensial buruk atau tidak

berharga.

Sedangkan krisis keintiman mengandung arti bahwa remaja siap dan ingin

menyatukan identitasnya dengan orang lain, mendambakan hubungan akrab dengan

lawan jenis dalam percintaan. Mengembangkan persaudaran, menyiapkan daya untuk

membina komitmen dan siap berkorban. Kebalikan dari keintiman adalah muncul

isolasi, kecenderungan untuk menghindari hubungan karena tidak mau terlibat atau

melibatkan diri dalam keintiman.


Dari dua pandangan tersebut menurut para ahli seakan bersaing namun hasil

penelitian membukstikan bahwa antar pengembangan identitas dan pengembangan

keintiman sejajar saling melengkapi.

Teori Attachment (Kelibatan) tentang Masa remaja

Menurut teori attachment keintiman di masa remaja berhubungan erat dengan

masa lalu individu tersebut khususnya di waktu masa balita. Terdapat bukti yang kuat

bahwa seorang yang memiliki ikatan/attachment yang kuat dengan pengasuhnya di

waktu balita akan lebih mampu melakukan persahabatan dengan teman sebaya di

waktu kecil dan terbukti pula akan memudahkan seseorang dalam melakukan

keintiman di masa remaja dan dewasa. Dan sebaliknya pula terbukti bahwa seseorang

yang dengan mudah melakukan keintiman dengan orang lain di masa remaja tidak

dapat terpisahkan dengan hasil persahaba tan di masa kecil.

PERKEMBANGAN KEINTIMAN DI MASA REMAJA

Perubahan Alami dalam Persahabatan

Bernth (1981) membuktikan bahwa di masa anak-anak konsep persahabatan

selalu berhubungan dengan bermain. Teman yang baik adalah teman yang menemani

dalam bermain. Keintiman yang di dalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan

(trust) dan keinginan untuk membina hubungan muncul di masa remaja awal sampai

dewasa.
Berndt & Perry (1990), McNelles & Connolly (1999) mengindikasikan

perubahan pandangan remaja tentang keiintiman terjadi pada usia sekita 14 tahun.

Parker, low dan Wargo (1999) menyebutkan bahwa remaja perempuan antara 13

tahun sampai dengan 15 tahun lebih cemburuan dengan temannya dan ini berakibat

timbulnya konflik antara teman.

Laursen (1995,1996), Rafedi (1997) Whitesell & Harter (1996) mengatakan

terdapat perbedaan konflik antara teman dekat dan teman biasa. Lebih lanjut mereka

menjelaskan bahwa konflik antara teman dekat biasanya lebih

emosional/menyakitkan.namunmeningkatkan usaha untuk memperbaiki hubungan di

masa yang akan datang. Berbeda dengan konflik bukan teman dekat. Ada pula

perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam menyikapi konflik dengan teman

dekat. Anak laki-laki biasanya dapat menyelesaikannya singkat dan berkaitan dengan

permainan. Anak perempuan biasanya lebih lama dan dan umumnya karena

kecemburuan.

Perubahan dalam Menunjukkan Keintiman

Diaz & Berndt (1982), Jones & Dembo (1989) membuktikan bahwa remaja

lebih berkepribadian di bandingkan waktu masih anak-anak. Mereka menjelaskan

bahwa seoran di masa remaja lebih tanggap, sedikit mengatur, dan lebih toleran

dengan dengan teman. Dibandingkan dengan anak kecil, seorang remaja lebih

memahami bagaimana perasaan teman ketika mereka mempunyai masalah.


Perubahan dalam Sasaran Keintiman

Menurut Sullivan, masa remaja adalah masa dimana remaja berubahnya sasaran

dalam perilaku keintiman. Di masa praremaja dan remaja awal orang tua tergantikan

oleh teman sebaya, selanjutnya di masa akhir remaja teman sebaya tergantikan oleh

pasangan lawan jenisnya.

· Orang Tua dan Teman Sebaya sebagai Sasaran Keintiman

Penelitian tentang keintiman di masa remaja di Amerika membuktikan bahwa di

masa remaja, hubungan seseorang dengan teman baik dan pacarnya lebih intim

dibandingkan dengan ibu maupun bapaknya (Beaumont, 1996; Hunter & Youniss,

1982; Rice & Mulkeen, 1995). Kedua, walaupun ada penurunan keintiman antara

orang tua dan remaja, tetapi grafiknya bertambah lagi menjelang dewasa. Hal ini

menunjukkan bahwa orang tua masih memegang peranan penting dalam hubungan

dengan anaknya. Blyth, Hill dan Thiel (1982) memberi angket kepada 2.500 siswa

berusia 7-14 tahun untuk menanyakan kepada mereka siapa orang yang paling

perhatian, sering memberi nasihat dan selalu melakukan sesuatu bersama. 93%

menjawab orang tua mereka. Hal ini mengindikasikan bahwa orang tua masih

dianggap orang yang dekat dengan mereka.

Dari penelitian tersebut secara umum dapat digambarkan bahwa keintiman

remaja antara orang tua dan teman sebaya tidak bisa dibandingkan, meskipun secara

jelas bahwa remaja lebih memilih teman sebayanya. Peran orang tua tetap penting
dan berpengaruh. Bahkan remaja yang dekat dengan orang tuanya mempunyai

dampak kesehatan psikologi yang lebih positif dibandingkan dengan remaja yang

hanya dekat dengan teman baiknya (Greenberg, Siegel, & Leitch, 1983). Penelitian

lain juga membuktikan bahwa kualitas hubungan di masa remaja dengan orang tua

mempunyai pengaruh terhadap hubungan dengan teman dekatnya. (Cooper, carlson,

Keller, Koch, & Spradling, 1993; Gold & Yanof, 1985).

· Sasaran Lain dalam Keintiman

Sasaran lain keintiman di masa remaja adalah saudara kandung, saudara di luar

anggota keluarga, guru dan pelatih. Penelitian Blyth dkk (1982) membuktikan 75%

remajamemilih saudara kandung sebagai sahabat intim. Mereka berpendapat saudara

kandung sama tingkatannya dengan teman baik. Buhrmester & Furman (1997)

mengatakan bahwa remaja lebih banyak bertengkar dengan saudara kandungnya

dibandingkan dengan teman dekatnnya dan hanya bisa diselesaikan orang tuanya.

Ketika anak-anak ditanya orang-orang penting terdekatnya 80% menjawab

salah satu dari kakek nenek, bibi, paman dan sepupunya (Blyth, Hill & Thiel, 1982).

Tetapi remaja jarang berhubungan lagi dengan mereka karena tempat tinggal yang

jauh dengan mereka (Lewis, 1991). Namun tidak dipungkiri mereka bisa menjadi

tempat keintiman khususnya bagi mereka yang kedua orantuanya bercerai

(Clingempeel, Colyar, Brand & hetherington, 1992).


Beberapa penelitian juga telah membuktikan hubungan antara remaja dengan

orang di luar keluarganya baik di sekolah, tempat kerja maupun tetangganya. Dan ini

juga memainkan peran yang signifikan dalam kehidupan remaja (Greenberger, Chen

& beam, 1998; Munch, Liang & DeSecottier, 1996). Persahabatan yang dekat

berkembang secara alami antara para remaja dengan gurunya atau supervisornya

melalui suatu organisasi/institusi. Ini menolong mereka mengatasi stres. Rhodes,

Contreras & Mangelsdorf, 1994 dalam laporan penelitiannya menyimpulkan bahwa

remaja yang memiliki mentor mempunyai kesehatan mental yang baik dibandingkan

dengan mereka yang tidak punya.

· Persahabatan dengan Teman lawan Jenis

Persahabatan intim dengan teman lawan jenis akan menjadi lebih penting ketika

remaja menginjak dewasa. (Hallinan, 1981). Ini mengandung arti bahwa gender

(perbedaan jenis kelamin) menjadi penentu utama dan penting dalam berhubungan

selama praremaja, dan juga memainkan peranan yang lebih kuat dibandingkan latar

belakang ekonomi dan ras. (Schofield, 1981). Sebenarnya usia juga berpengaruh

dalam persahabatan tetapi ini susah diteliti.

Richard dkk, (1998) menyatakan bahwa dari keintiman berhubungan dengan

lawan jenisnya mereka mempunyai fantasi tentang lawan jenisnya sampai akhirnya

terealisasi dengan meningkatnya usia. Ini merupakan langkah awal menuju ke

pengalaman romantis mereka di masa datang.


Montmogory & Sorell (1998) menambahkan bahwa remaja yang memiliki

teman lawan jenis dari pada teman sesama jenis cenderung lebih cepat memasuki ke

dalam hubungan romantis. Namun tidak semua hubungan antara laki-laki dan

perempuan di masa remaja menjadi hubungan romantis. Persahabatan dengan lawan

jenisnya adalah suatu yang wajar dialami para remaja. (Kuttler, La Greca & Prinstein,

1999).

Penelitian selanjutnya menyebutkan ada bukti bahwa keintiman hubungan

dengan lawan jenis lebih menguntungkan remaja laki-laki dibandingkan dengan

remaja perempuan (Bukowski dkk, 1999). Hal ini disebabkan dapat menutupi

kekurangan remaja tersebut atas sedikitnya teman sejenis.

KENCAN DAN HUBUNGAN ROMANTIS

Untuk membahas tentang hubungan romantis di masa remaja kita kembali ke

teori Sulivan yang menyatakan bahwa melakukan keintiman hubungan dengan teman

lawan jenis adalah tugas utama dalam perkembangan seseorang di masa remaja.

Keintiman persahabatan dengan lawan di masa remaja membawanya ke dalam

hubungan romantis.

Di masyarakat Amerika, remaja wanita lebih matang dibandingkan dengan

remaja pria. Mereka lebih cepat intim dan lebih dekat secara emosional. Berkaitan

dengan hubungan sex, wanita jauh lebih menghayati arti cinta, lebih terlibat secara

emosional dan dan jauh lebih intim (Shulman & Scharf, 2000). Dengan alasan in para
peneliti menyarankan bahwa wanita seharusnya mengajari pria untuk lebih terbuka,

berperasaan dan perhatian.

Berkencan (dating) mempunyai arti yang bermacam-macam. Berkencan bisa

diartikan menghabiskan waktu dengan pasangan dalam kelompok atau berbincang

dengan pasangan lawan jenisnya untuk memantapkan sebelum menuju ke pernikahan.

Berkencan dapat berfungsi mengembangkan keintiman untuk saling mengenal satu

dengan yang lain.

Pemantapan hubungan menuju pernikahan melalui 4 fase (Brown, 1999;

Conolly & Golbergg, 1999):

1. Fase kegairahan

Ketertarikan pada pandangan fisik seseorang.

2. Fase status

Pemantapan status terhadap lingkungan sekitar

3. Fase Intim

Memantapkan kedekatan, hubungan emosional dan kehangatan

4. fase Pengikatan

Komitmen untuk melangkah ke depan.


PERKEMBANGAN KEINTIMAN DAN PSIKOSOSIAL REMAJA

Remaja yang mempunyai persahabatan yang intim umumnya mempunyai

kesehatan mental dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki keintiman.

Teman dekat dapat digunakan mencurahkan isi hati tentang harapan-harapan di masa

depan. Teman dekat juga dapat memberi nasihat dan dorongan-dorongan dalam

kehidupan. Namun dibalik itu semua teman dekat juga membuat kita tidak nyaman,

muncul konflik, kecemburuan dan ketidakpercayaan. Ini semua terjadi karena tidak

semua persahabatan adalah persahabatan yang baik.

KOMENTAR

Masa remaja ditandai dengan adanya berbagai perubahan, baik secara fisik

maupun psikis, yang mungkin saja dapat menimbulkan problema tertentu bagi si

remaja apabila tidak disertai dengan upaya pemahaman diri dan pengarahan diri

secara tepat, bahkan dapat menjurus pada berbagai tindakan kenakalan remaja dan

kriminal.

Salah satu problem yang dihadapi remaja adalah problema berkaitan dengan

perkembangan perilaku sosial dimana dalam masa remaja membutuhkan keintiman.

Keintiman di sini adalah elemen emosi, yang di dalamnya terdapat kehangatan,

kepercayaan (trust) dan keinginan untuk membina hubungan hubungan dengan teman

sebaya, teman lawan jenis maupun dengan keluarga atau yang lain..
Di awal masa remaja kebutuhan akan keintiman ditandai dengan adanya

keinginan untuk bergaul dan diterima di lingkungan kelompok sebayanya (peer

group). Penolakan dari peer group dapat menimbulkan frustrasi dan menjadikan dia

terisolasi (isolated) dan merasa rendah diri. Namun sebaliknya apabila remaja dapat

diterima oleh rekan sebayanya dan bahkan menjadi idola tentunya ia akan merasa

bangga dan memiliki kehormatan dalam dirinya.

Problema perilaku sosial di awal remaja tidak hanya terjadi dengan kelompok

sebayanya, namun juga dapat terjadi dengan orang tua dan orang dewasa lainnya,

termasuk dengan guru di sekolah. Hal ini disebabkan pada masa remaja, khususnya

remaja awal akan ditandai adanya keinginan yang membingungkan (ambivalen), di

satu sisi adanya keinginan untuk melepaskan ketergantungan dan dapat menentukan

pilihannya sendiri, namun di sisi lain dia masih membutuhkan orang tua, terutama

secara ekonomis.

Sejalan dengan pertumbuhan organ reproduksi, hubungan sosial yang

dikembangkan pada masa remaja ditandai pula dengan adanya keinginan untuk

menjalin hubungan khusus dengan lain jenis dan jika tidak terbimbing dapat

menjurus tindakan penyimpangan perilaku sosial dan perilaku seksual. Pada masa

remaja juga ditandai dengan adanya keinginan untuk mencoba-coba dan menguji

kemapanan norma yang ada, jika tidak terbimbing, mungkin saja akan berkembang

menjadi konflik nilai dalam dirinya maupun dengan lingkungannya.


Masa remaja disebut juga masa untuk menemukan identitas diri (self identity).

Usaha pencarian identitas pun, banyak dilakukan dengan menunjukkan perilaku coba-

coba, perilaku imitasi atau identifikasi. Ketika remaja gagal menemukan identitas

dirinya, dia akan mengalami krisis identitas maupun identity confusion, sehingga

mungkin saja akan terbentuk sistem kepribadian yang bukan menggambarkan

keadaan diri yang sebenarnya. Reaksi-reaksi dan ekspresi emosional yang masih labil

dan belum terkendali pada masa remaja dapat berdampak pada kehidupan pribadi

maupun sosialnya. Dia menjadi sering merasa tertekan dan bermuram durja atau

justru dia menjadi orang yang berperilaku agresif. Pertengkaran dan perkelahian

seringkali terjadi akibat dari ketidakstabilan emosinya.

Upaya untuk memfasilitasi perkembangan remaja menjadi amat penting. Dalam

hal ini, peranan orang tua, guru/sekolah, serta masyarakat sangat diharapkan.

Pada masa remaja pertengahan dan remaja akhir juga akan terlihat jelas

berbagai perubahan yang menyangkut aspek psikis, sosial dan prilakunya. Pada masa

ini mulai muncul kebutuhan akan privasi, dan ekspresi erotik. Ditandai dengan mulai

tumbuh ketertarikan pada lawan jenisnya dan keinginan untuk menjalin hubungan

yang lebih dekat dengan lawan jenisnya. Remaja mulai mengenali cinta melalui

hubungan yang mengandung komponen keintiman. Mulai dari tahap perkenalan, lalu

menjadi teman akrab, lalu sahabat. Pada tahap persahabatan, baik dengan lawan jenis

maupun sesama jenis kelamin, diharapkan berkembang perasaan hangat, kedekatan

dan emosi-emosi lain yang lebih kaya. Dalam hubungan antar jenis,  persahabatan
dapat berkembang dengan komitmen pacaran. Pada tahap pacaran ini keintiman dapat

muncul komponen gairah dengan proporsi yang relatif rendah.

Pada pasangan yang telah dewasa, bila faktor-faktor emosional dan sosial telah

dinilai siap, maka hubungan itu dapat dilanjutkan dengan membuat komitmen

perkawinan. Dalam perkawinan, diharapkan ketiga komponen ini tetap hadir dan

sama kuatnya.

Sebagai orang tua dan guru yang mendidik dan mengasuh anaknya sedemikian

rupa, jangan pernah berhenti dari upaya pembinaan diri anak. Satu hal yang penting,

jangan pernah menutup komunikasi dengan anak, namun bukalah jembatan

komunikasi tersebut sebesar-besarnya. Walaupun sebagian besar anak kini pada

kelompok bermainnya, namun kita jangan pernah menutup pintu untuknya saat ia

kembali kepada kita.

Saat ini, posisikan diri kita sebagai temannya. Hiburlah ia dan berikan jalan

keluar yang solutif untuknya dan tidak menggurui. Bila kita ingin memberinya

nasehat, maka sampaikan dengan bahasa teman, bukan bahasa orangtua.

* RINGKASAN BAB 10 Buku “Adolescence” Karangan Laurence Steinberg

(2002)

Anda mungkin juga menyukai