Anda di halaman 1dari 3

Pembelajaran Leadership

Eileen Rachman & Billy Latuputy


EXPERD

Dimuat dalam KOMPAS, 23 September 2017

DENGAN mengglobalnya pendidikan, banyak lembaga besar bekerja sama dengan


sekolah-sekolah bisnis ternama mengirimkan calon pemimpinnya untuk belajar.
Biaya pendidikan yang tidak sedikit ini tentunya berimbang dengan kebutuhan tiap
lembaga untuk mencetak pemimpin-pemimpin baru.

Kita semua mengharapkan pemimpin yang kuat, dicintai bawahan, mampu


menggerakkan tim ke tujuan yang jelas, tidak menunda nunda, dan mampu
mendistribusikan beban kerja dengan prima sehingga bawahan merasakan
kebersamaan yang menyenangkan, dan sekaligus mau bekerja keras untuk menunjang
pencapaian visi organisasinya. Namun, sudah seberapa banyak kita melihat
keberhasilan dari upaya-upaya ini? Apakah sudah terlihat para suksesor yang bisa
menjadi penerus pemimpin sekaliber Agus Marto, Sri Mulyani maupun pemimpin-
pemimpin hebat lainnya?

Literatur mengenai kepemimpinan dan upaya suksesi memang sangat banyak. Namun
demikian, kita memang tetap masih perlu mempertanyakan bagaimana kita melatih
seorang individu agar ia kemudian menyandang kualitas-kualitas kepemimpinan yang
hebat. Bahkan, ada sebuah tulisan yang membandingkan bagaimana Ronald  Reagan,
yang berkiprah di dunia film bisa lebih berhasil dari George Bush yang konon lulusan
sekolah bisnis terkenal. Kita juga baru-baru ini terhenyak melihat kejatuhan karir
Travis Kalanick, salah satu pemrakarsa dan CEO Perusahaan pengangkutan
berbasis online, Uber. Meskipun Kalanick seorang pebisnis jenius, ia ternyata sudah
membuat 14 eksekutif dibawahnya mengundurkan diri, mengakibatkan goyahnya
kultur perusahaan dan hilangnya rasa percaya anggota timnya. Bahkan ia membuat
perusahaan merugi sebanyak 708 juta dollar AS pada kuartal pertama tahun 2017.

Di sini kita bisa membuktikan bahwa walaupun seseorang pergi ke sekolah bisnis,
belajar dari banyak studi kasus, ada beberapa aspek dalam kepribadiannya yang tetap
tidak tersentuh, padahal hal-hal tersebut vital sebagai modal kepemimpinannya. Dari
berbagai studi kasus, seseorang mendapatkan peluang untuk belajar hal-hal yang
faktual, kompleks, dan rumit. Walaupun dalam pembelajaran ini ia diminta untuk
melakukan permainan peran, aspek mendasar lain yang kita perlu pertanyakan
adalah : apakah daya empatinya terasah di situ?
Banyak orang mengatakan bahwa kepemimpinan Sri Mulyani mengalami perubahan
pada era kepemimpinannya yang kedua. Di sisi mana beliau berubah? Konon orang-
orang dekat yang mengalami perbedaannya mengatakan bahwa beliau lebih tenang,
lebih çool,dan alhasil lebih siap menghadapi tantangan yang berat.

Refleksi

Dari kenyataan kenyataan di atas, kita melihat bahwa pengembangan kepemimpinan


memang tidak bisa sekedar menyentuh aspek kognitif. Walaupun melalui berbagai
studi kasus seseorang belajar mengelola kompleksitas, risiko, dan peluang,
pertanyaannya, apakah si pembelajar juga sempat mengasah  emosinya dan
merefleksikannya ke dalam jiwanya? Dari  buku-buku kita juga belajar dan sadar
bahwa self awareness itu amatlah penting. Namun bagaimanakah mengajarkannya?

Masih banyak kompetensi  penting lainnya yang terbukti sangat ampuh dalam
memimpin. Termasuk bagaimana kita mengelola emosi para followers kita,
bagaimana berkomunikasi dan berhubungan secara otentik dan bermakna, bagaimana
menginsiprasi, berempati, dan mendukung bawahan. Joshua Spodek dalam bukunya
“Step by step leadership” menyatakan : “What holds people back isn’t not knowing
what skills to have but how to get them and use them effectively. Intellectually
knowing that self-awareness is important doesn’t increase yours. I know the
principles of playing piano. But I haven’t practiced, so I can’t play.”  Spodek juga
mempertanyakan, bisakah kita mengajarkan integrity melalui kuliah-kuliah moral?
Berapa banyak buku yang harus dibaca untuk menambah greget kepemimpinan
seseorang? Spodek mengatakan bahwa tantangan untuk menjadi seorang pemimpin
hanya bisa dilakukan dengan latihan. Seorang pemimpin perlu mengasah ketrampilan
sosial, emosional dan ekspresinya.

Praktek, gladi resik, praktek lagi

Menteri Susi Pudjiastuti adalah contoh pemimpin yang pembelajarannya dilakukan di


lapangan. Pendidikan sampai kelas 2 SMA tidak membuat ia berhenti belajar. Ia tetap
membaca, berhubungan dengan berbagai macam orang, mengalami banyak sukses
dan gagal namun belajar dari setiap kekecewaan dan kegembiraan itu. Demikian pula
Richard Branson, Bill Gates, Oprah Winfrey, Sean Combs, Jack Ma, Michael Dell,
Elon Musk. Mereka adalah para pembelajar lapangan yang berhasil. Tanpa
mengecilkan pendidikan formal, ada berbagai cara belajar lain, yang mengasah
mereka menjadi pemimpin-pemimpin tangguh.
Pengalaman lapangan penting untuk membentuk kualitas kepemimpinan dalam 4 hal,
menurut Spodek :

1. Pengenalan diri akan motif, emosionalitas, kapasitas sosialnya, ekspresinya.


Pemimpin harus mampu menggambarkan dirinya, sebagaimana orang
memandang dirinya.

2. Ia perlu mengelola emosinya termasuk kemarahannya, kesedihannya,


curiganya, dan keputusannya, Disinipun ia perlu mawas diri mengatur
reaksinya, sesuai dengan harapan orang lain.

3. Ia harus bisa mengenal orang lain, terutama bawahannya. Blusukan ke


lingkungan anak buah, bahkan kerumah dan mengenal keluarganya akan
mempermudah berkembangnya empati dalam dirinya.

4. Adalah kemampuan mengelola hubungannya dengan orang  lain yang bisa


berbuah sesuatu yang positif. Kesemuanya ini perlu dipraktikkan dan selalu
perlu dievaluasi. Dengan demikian jiwa kepemimpinan individu dijamin akan
lebih kuat, dan akan menunjang rasionalitasnya.

 
EXPERD CONSULTANT
Adding value to business results
Kemang 89 Building, 3rd - 4th Floor 
Jl. Kemang Raya No. 89, Jakarta 12730
Telp. 021-718 0805
Fax.  021-718 3101
http://www.experd.com
http://experdfresh.com

Anda mungkin juga menyukai