SURABAYA
2021 Referat
i
R. Chandra Jaya Listiandoko, dr.
SURABAYA
2021
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Pembimbing
iii
Mengetahui,
BAB 1
iv
BAB 2
halaman
Sampul Dalam ......................................................................................... i
Lembar Pengesahan ................................................................................ ii
Daftar Isi ................................................................................................. iii
Daftar Tabel ............................................................................................ iv
Daftar Gambar ........................................................................................ v
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................. 1
1.2 Tujuan Penulisan ........................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 3
2.1 Jaringan Parut ................................................................ 3
2.1.1 Definisi Jaringan Parut ...................................... 3
2.1.2 Patofisiologi Jaringan Parut ............................... 3
2.1.3 Jenis Jaringan Parut ........................................... 6
2.2 Parut Hipertrofik ............................................................ 11
2.2.1 Definisi Parut Hipertrofik .................................. 11
2.2.2 Patofisiologi Parut Hipertrofik .......................... 11
2.2.3 Penilaian Parut Hipertrofik ................................ 14
2.2.4 Pencegahan ........................................................ 17
2.2.5 Terapi ................................................................. 20
BAB 3 PENUTUP .............................................................................. 31
Daftar Pustaka ......................................................................................... 32
v
BAB 4 DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 2.1 Perbedaan parut hipertrofik dan keloid ............................ 10
Tabel 2.2 Derajat parut hipertrofik ................................................... 10
Tabel 2.3 Penilaian parut menggunakan Vancouver Scar Scale ...... 15
Tabel 2.4 Pemasangan splint pada area yang berisiko terjadi kontraktur
......................................................................... 19
vi
BAB 5 DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 2.1 Keloid telinga disebabkan oleh tindik telinga .................. 8
Gambar 2.2 Keloid dada ...................................................................... 8
Gambar 2.3 Parut hipertrofik pada laki-laki berusia 34 tahun, 8 bulan
setelah luka bakar dengan 60% total body surface area pada
ektremitas atas dan tangan ....................................... 9
Gambar 2.4 Kontraktur aksila .............................................................. 10
Gambar 2.5 Algoritma parut hipertrofik paska luka bakar .................. 21
Gambar 2.6 Penggunaana z-plasty pada kontraktur tangan ................. 22
vii
BAB 1
PENDAHULUAN
Luka bakar merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas yang
sering ditemui di negara berkembang, terutama pada masyarakat dengan tingkat sosial
ekonomi rendah dan di daerah pelosok (Akhtar, et al., 2015). Luka bakar dapat disebabkan
oleh api, air panas, bahan kimia, listrik, petir, radiasi, sengatan sinar matahari, tengku
panas/udara panas, dan ledakan bom (Sjaifuddin, 2006). Luka bakar tidak hanya
menyebabkan kematian, namun juga kecacatan seumur hidup, yang sering kali mendapat
stigma dan penolakan di masyarakat serta menyebabkan stres fisik, psikologis maupun sosial
Pasien luka bakar memerlukan penanganan yang komprehensif. Manajemen cairan dan
elektrolit, pembedahan, penutupan luka dengan skin graft mempunyai peran penting dalam
proses penyembuhan dan menurunkan angka kematian pasien luka bakar (Gangemi, et al.,
2008). Tidak hanya itu, penanganan luka bakar juga harus memperhatikan jaringan parut
yang akan timbul pada proses penyembuhan luka. Parut hipertrofik dan keloid pada pasien
tampilan/kosmetik yang buruk. Selain itu, parut luka bakar juga dapat menyebabkan nyeri,
pruritus, dispigmentasi, intoleransi panas, dan keterbatasan gerak sendi akibat kontraktur
Modalitas penanganan parut paska luka bakar, khususnya parut hipertrofik, telah
banyak ditemukan. Namun, tidak ada satu modalitas utama yang dapat menyembuhkan parut
hipertrofik karena mekanisme pembentukan jaringan parut belum diketahui dengan jelas.
Terapi kombinasi sangat dianjurkan pada penanganan parut hipertrofik, baik bedah maupun
1
non bedah. Tantangan dalam pengobatan parut luka bakar terletak pada penemuan baru target
terapi dengan pemahaman proses pembentukan jaringan parut. Oleh karena itu, referat ini
dibuat dengan tujuan untuk memahami jaringan parut secara umum, proses pembentukan,
1. Memahami tentang definisi, proses pembentukan, dan jenis jaringan parut secara
umum
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Parut atau scar berasal dari bahasa Yunani yaitu eskhara yang berarti keropeng.
Jaringan parut merupakan jaringan fibrous yang menggantikan jaringan normal yang
diakibatkan oleh cedera atau suatu penyakit (Serghiou, et al., 2018). Secara klinis parut
adalah cacat alami yang ditinggalkan sebagai akibat dari proses penyembuhan luka. Pada
parut didapatkan perubahan struktur dari kulit berupa hilangnya pori, rambut, dan kelenjar
(Perdanakusuma, 2017).
Parut merupakan cacat alami yang ditinggalkan akibat proses penyembuhan luka.
Apabila terdapat gangguan pada proses penyembuhan luka, maka akan menghasilkan
jaringan parut berupa parut hipertrofik atau keloid. Penyembuhan luka adalah suatu proses
usaha untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh karena goresan, cedera, ataupun
luka bakar. Proses penyembuhan luka secara alami akan mengalami tiga fase, yaitu fase
inflamasi, fase proliferasi atau fibroplasi, dan fase remodelling atau maturasi.
Fase inflamasi adalah fase pertama yang terjadi dimulai sejak terjadinya luka sampai
hari kelima. Segera setelah luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan
retraksi disertai reaksi hemostasis. Agregrasi tombosit bersama jala fibrin akan membekukan
darah ditepi luka. Kemudian komponen hemostasis akan melepaskan dan mengaktifkan
sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF),
3
Platelet-derived Growth Factor (PDGF), dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β)
yang berperan dalam terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial, dan
fibroblas. Pada fase ini terjadi proses inflamasi. Pemanjangan fase inflamasi yang disebabkan
oleh berbagai hal akan meningkatkan aktivitas sitokin fibrogenik seperti TGF-β dan IGF-1
Fase proliferasi atau fibroplasi dimulai pada akhir fase inflamasi hingga hari ke 21.
Peran fibroblas dalam fase ini sangat menonjol, yaitu mengalami proliferasi dan mensintesis
kolagen. Serat kolagen yang terbentuk menyebabkan kekuatan untuk bertautnya tepi luka.
TGF-β1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen dan berperan dalam
dan merangsang sintesis TIMP. Peningkatan sitokin fibrogenik pada fase inflamasi akan lebih
risiko terjadinya parut abnormal seperti parut hipertrofik atau keloid (Perdanakusuma, 2017).
Fase remodeling atau maturasi adalah fase terakhir dan terpanjang dalam proses
penyembuhan luka, yaitu mulai hari ke 21 hingga 6-12 bulan atau lebih dari setahun paska
cedera. Pada fase ini terjadi keseimbangan aktivitas sintesis dan degradasi kolagen. Sintesis
kolagen memerlukan enzim prolin hidroksilase dan degradasi kolagen ditentukan oleh enzim
kolagenase. Matriks dibentuk dari kolagen tipe III (20%) dan kolagen tipe I (80%) oleh
dan trombosit. Kolagen berperan sebagai bahan untuk kekuatan integritas jaringan luka. Luka
akan berakhir menjadi parut dan hanya mencapai kekuatan pertautan (tensile strength)
Tiga fase tersebut akan berjalan normal selama tidak ada gangguan baik dari faktor luar
maupun dalam. Gangguan pada proses penyembuhan luka akan membuat parut menjadi tidak
4
Proses terbentuknya jaringan parut sangat kompleks dan banyak mekanisme yang
belum diketahui dengan jelas. Teori yang dianut secara umum adalah parut abnormal terjadi
tersebut dapat terjadi karena tiga kemungkinan, yaitu pertama, sintesis meningkat tidak
disertai dengan peningkatan degradasi; kedua, sintesis dan degradasi kolagen meningkat,
hanya peningkatan sintesis kolagen lebih tinggi dari degradasinya; ketiga, sintesis kolagen
normal dengan penurunan degradasi kolagen. Pada keloid ditemukan peningkatan enzim
prolin hidroksilase yang berfungsi untuk mensintesis kolagen secara signifikan dibanding
parut hipertrofik. Aktivitas prolin hidroksilase juga meningkat secara signifikan pada parut
Studi terkini mengemukakan bahwa keloid dan parut hipertrofik disebabkan oleh
kelainan fibroproliferasi yang sama dan perbedaan klinis serta patologis menggambarkan
beratnya derajat inflamasi pada penyembuhan luka. Diketahui beberapa faktor sistemik
maupun lokal memacu peradangan persisten pada luka maupun bekas luka sehingga
terbentuk keloid. Proses peradangan ini menyebabkan aktivitas kronis dari fibroblas dan
menghalangi proses maturasi jaringan parut. Faktor lokal yang menyebabkan pembentukkan
jaringan parut antara lain pemanjangan proses penyembuhan luka, kedalaman luka, dan gaya
mekanis seperti ketegangan kulit yang disebabkan oleh peregangan (Tsai & Ogawa, 2019).
Jaringan parut akan timbul ketika luka melewati atau lebih dalam dari seluruh ketebalan
kulit (full thickness). Apabila luka hanya sebatas lapisan dermis, maka cenderung tidak
menimbulkan parut karena masih terdapat komponen epitelial dari kelenjar keringat, kelenjar
minyak dan folikel rambut. Luka tersebut akan tertutup epitel dalam waktu yang relatif
singkat dan dapat dikatakan sembuh. Selain itu, jaringan parut sering muncul pada luka di
daerah yang tension atau melawan garis lipatan kulit, daerah kulit tebal dan banyak bergerak,
5
ras kulit gelap, dan pasien dengan riwayat penyakit keluarga menderita parut serupa
(Perdanakusuma, 2017).
Secara klinis jaringan parut dibedakan menjadi 2 yaitu parut normal dan parut
abnormal. Parut normal terbentuk sekitar 7-10 hari pada proses penyembuhan luka yang
ditandai dengan lesi yang rata dengan permukaan kulit, lunak, nonvaskuler, terjadi kontraksi,
mengecil secara spontan, dan dapat terjadi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Secara
umum dapat kita sebut sebagai acceptable scar. Sedangkan parut abnormal memiliki
karakteristik lesi tebal, menonjol, keras, berwarna kemerahan atau kecoklatan disertai rasa
gatal dan nyeri. Parut abnormal bisa dalam bentuk parut hipertrofik atau keloid.
1. Parut matur
Parut yang telah melewati fase remodelling penyembuhan luka ditandai dengan eritem
yang telah berkurang menjadi lebih keputihan, rata, lunak, serta tidak ada keluhan gatal
atau nyeri.
2. Parut imatur
Parut yang masih dalam proses penyembuhan fase remodelling. Secara klinis
didapatkan kondisi eritem, tidak elastis, elevasi ke atas permukaan kulit, tebal disertai
Parut yang menebal berbentuk garis berwarna kemerahan/eritem, gatal, biasanya terjadi
6
Parut lebar yang tersebar berwarna kemerahan/eritem disertai gatal. Sering terjadi pada
kasus luka bakar. Parut timbul terbatas pada daerah yang terkena trauma luka bakar.
5. Keloid minor
Parut abnormal yang meninggi dan melewati batas luka dengan ukuran yang kecil,
berkembang setelah satu tahun paska cedera, dan tidak terjadi regresi. Lokasi khas pada
lobulus telinga.
6. Keloid mayor
Keloid yang meninggi lebih dari 0,5 cm, disertai rasa nyeri, gatal, dan melewati batas
Jenis parut abnormal yang dapat terjadi karena penyimpangan proses penyembuhan
a. Keloid
Suatu kelainan kulit akibat proliferasi abnormal pada lapisan dermis kulit. Keloid
berhubungan dengan deposisi kolagen yang berlebih pada jaringan parut. Karakteristik keloid
adalah pertumbuhan parut keatas (elevasi) dan lateral ke arah jaringan sehat melampaui batas
luka, tidak mengalami regresi, sering timbul hanya dengan luka minor, dan didapatkan
peningkatan TGF-β (Payne & Smith, 2020). Gambaran histologi keloid didapatkan
penumpukan kolagen yang tebal disertai sedikit sel fibroblas dan arah serat kolagen tidak
teratur. Keloid dapat tumbuh diseluruh area tubuh, namun mempunyai tempat predileksi pada
daerah bahu, telinga, punggung, dan dada. Keloid pada daerah kepala leher paling sering
terjadi di lobulus telinga sekitar 55% (Gambar 2.1), dan penyebab paling banyak adalah
tindik lubang telinga. Urutan daerah tersering timbul keloid adalah deltoid (21%), sternal
faktor genetik pada keloid antara lain lebih banyak terjadi pada kulit gelap, ras asia, dan
7
penderita dengan riwayat penyakit keluarga menderita parut serupa. Studi terbaru
antara lain metilasi DNA, merubah struktur DNA dan bentuk sel, serta melibatkan non-
coding RNA yang dapat merubah fenotipe sel (Tsai & Ogawa, 2019).
b. Parut hipertrofik
Parut hipertrofik adalah jaringan parut yang berlebih, yang disebabkan oleh
penyimpangan penyembuhan luka. Parut hipertrofik ditandai dengan penebalan jaringan parut
dalam beberapa minggu setelah luka, berada dalam batas luka, eritema, gatal, dapat terjadi
regresi, disebabkan oleh trauma, insisi atau luka bakar, disebabkan oleh karena penyembuhan
luka yang memanjang, peningkatan ketebalan lapisan epidermis atau dermis, berkurangnya
jaringan kolagen, peningkatan TGF-β, sel mast, dan penurunan produksi kolagen (Payne &
Smith, 2020).
Parut hipertrofik kemungkinan besar timbul apabila lebih dari seminggu epitel belum
menutupi luka. Suatu pengamatan menunjukkan 71% parut hipertrofik terjadi pada luka bakar
yang sembuh lebih dari 21 hari. Insiden parut hipertrofik didapatkan sekitar 39-68% paska
pembedahan dan 33-91% paska luka bakar, tergantung kedalaman luka. Parut hipertrofik
8
ditemukan lebih dari 50% pada pasien dengan luka bakar yang dalam. Bila parut hipertrofik
Parut hipertrofik terjadi disebabkan oleh regangan dan menimbulkan tension. Sering
terjadi pada permukaan persendian fleksor. Parut hipertrofik umumnya timbul sekitar 4-6
minggu setelah cedera, kemudian akan terjadi peningkatan dalam 3-7 bulan dan akan terjadi
regresi setelah 1 tahun. Secara klinis parut hipertrofik berwarna kemerahan, tertutup epitel
tipis, teraba keras disertai peradangan disekitarnya dan keluhan gatal atau nyeri (Gambar
2.3). Secara klinis dapat ditentukan derajat parut hipertrofik berdasarkan penilaian terhadap
warna, konsistensi dan ketebalan, dijelaskan pada Tabel 2.2 (Perdanakusuma, 2017).
Gambar 2.3 Parut hipertrofik pada laki-laki berusia 34 tahun, 8 bulan setelah luka bakar dengan 60%
yang besar
Timbul karena pergerakan Tidak tergantung gerak
9
Biasanya melewati permukaan yang bisa Ada area predileksi, jarang melewati
buruk
Tabel 2.2 Derajat parut hipertrofik
Derajat Warna Konsistensi Ketebalan
I Agak merah muda Sangat lunak Sangat tipis
II Merah muda Lunak Tipis
III Merah Padat Agak tebal
IV Ungu Keras Tebal
V Ungu tua Sangat keras, blister Sangat tebal
c. Kontraktur
atau distorsi. Kontraktur terbentuk karena kehilangan kulit yang luas dengan terjadi kontraksi
miofibroblas dan deposisi kolagen pada daerah yang melewati persendian. Kontraktur lebih
10
sering terjadi pada parut hipertrofik dibanding keloid. Parut hipertrofik akan menimbulkan
kontraktur bila mengenai daerah persendian (Gambar 2.4). Karakteristik dari kontraktur
adalah adanya posisi abnormal serta gerakan yang terbatas (Perdanakusuma, 2017).
Parut hipertrofik adalah jaringan parut yang berlebih, merupakan produk dari
jaringan parut dalam beberapa minggu setelah luka, berada dalam batas luka, eritema, rasa
gatal, dapat terjadi regresi, dan dapat terjadi pada luka yang disebabkan oleh trauma, insisi
Parut hipertrofik merupakan kelainan fibroproliferasi pada dermis yang dapat timbul
akibat pembedahan, luka trauma termasuk luka bakar, dimana pada umumnya terjadi luka
hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth
Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Platelet-derived Growth Factor (PDGF),
dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan dalam terjadinya kemotaksis
neutrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial, dan fibroblast. Keadaan ini disebut fase
Pada luka bakar, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan eksudasi
protein plasma. Hal ini terjadi karena pelepasan lokal dari histamin dan vascular endothelial
growth factor (VEGF) oleh sel mast dan substance P oleh nervus sensoris lokal. Eksudasi
protein plasma berlangsung selama beberapa jam di seluruh tubuh oleh karena respon dari
stimulus yang belum diketahui. Sel plasma dan sel darah merah memasuki luka melalui
11
pembuluh darah yang rusak atau nekrosis. Infeksi memicu terjadinya eksudasi plasma yang
Peningkatan proliferasi fibroblas dan sel endotelial vaskuler merupakan karakteristik awal
dari fase penyembuhan luka. Sel tersebut bersama dengan jala fibrin dan kolagen akan
sedangkan sel endotelial vaskuler distimulasi oleh VEGF. Fibroblas membentuk jaringan
pada dermis yang memungkinkan luka untuk berkontraksi. Ketika terjadi penyimpangan
proses penyembuhan luka dan parut hipertrofik berkembang, proses fibroblas dalam
membentuk jaringan untuk mendukung kekuatan integritas jaringan pada luka terganggu dan
menghasilkan nodul kolagen yang tidak datar (Hawkins, Jay, & Finnerty, 2018).
Fase maturasi ditandai dengan pembentukan parut yang secara perlahan meningkatkan
tensile strength. Pada fase ini, juga terjadi remodeling dari kolagen. Terjadi keseimbangan
sintesis dan degradasi kolagen, namun proses yang mengontrolnya masih belum diketahui
dengan jelas. Pemanjangan aktivasi keratinosit pada luka menyebabkan pengurangan regulasi
dari sintesis kolagen, dan pemanjangan inflamasi, yang keduanya berkontribusi dalam
terjadinya fibrosis. Dalam waktu yang bersamaan, sel mast menginduksi terjadinya fibrosis
dengan perilisan histamin, triptase, dan kimase, yang menstimulasi sintesis kolagen
Pada luka bakar, terjadi pemanjangan fase inflamasi yang akan meningkatkan aktivitas
sitokin fibrogenik seperti TGF-β dan IGF-1. Akibat dari hal ini adalah pada fase fibroplasi
12
Peningkatan level TGF-β1 sistemik berkolerasi dengan peningkatan fibrosit di sirkulasi.
Meskipun peningkatan level TGF-β1 sistemik memberi keuntungan pada cedera luka bakar,
namun pemanjangan ekspresi tersebut secara lokal pada daerah luka dapat menyebabkan
Pada parut hipertrofik ditemukan perbedaan signifikan pada fenotipe dari fibroblas.
Fibroblas pada parut hipertrofik lebih banyak mensintesis TGF-β dan kolagen secara
konsisten dan cepat dibanding pada kulit atau parut normal. Fibroblas yang berada pada
aktin dari α-smooth muscle bila dibandingkan dengan superficial fibroblas. Analisis gen
fibroblas pada parut hipertrofik menunjukkan pengurangan respon pada IL-6 dibanding pada
kulit normal. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan aktivasi reseptor dapat menjadi faktor
Kegagalan proses normal dari sintesis kolagen dan pembentukan matriks ditemukan
pada parut hipertrofik. Didapatkan peningkatan aktivitas myofibroblas yang prominen pada
parut hipertrofik dibanding parut normal, yang diduga memiliki peran pada kontraksi luka
Bila tidak di terapi dengan baik, jaringan parut luka bakar berpotensi menjadi tebal dan
meninggi, menghasilkan parut hipertrofik. Semakin dalam derajat kedalaman luka bakar
maka risiko terjadi parut hipertrofik akan semakin meningkat. Semakin lama luka dibiarkan
terbuka juga akan meningkatkan risiko pembentukan parut hipertrofik (Serghiou, et al.,
2018). Parut hipertrofik paska luka bakar akan terbentuk pada 8-12 minggu setelah penutupan
luka dan akan mengalami maturasi dalam 2 tahun atau lebih dan berakhir menjadi parut yang
13
datar tanpa gejala lain. Pada parut hipertrofik sering dijumpai warna kulit abnormal berupa
Beberapa faktor yang menyebabkan terbentuknya parut hipertrofik antara lain infeksi
pada luka; genetik, 75% terjadi pada ras hitam, kaukasian, dan hispanic; faktor imunologis;
pengambilan donor skin graft yang berulang; usia; proses inflamasi kronis; lokasi cedera; dan
Secara klinis terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk menilai parut.
Vancouver Scar Scale adalah salah satu cara menilai parut yang telah teruji pada parut luka
bakar. Pada Tabel 2.3 dapat dilihat parameter yang dinilai, antara lain konsistensi
kemudian hasil penilaiannya dijumlahkan. Total nilai dari rentang 0 sampai 14, semakin
tinggi nilai maka semakin jelek kualitas jaringan parut. Selain menilai dengan skor, dilakukan
pengisian lokasi parut sesuai letak anatomi menggunakan diagram tubuh dan ukuran parut
secara 3 dimensi, yaitu panjang, lebar, dan tinggi. Fotografi dilakukan untuk membandingkan
1 Lentur
2 Lunak
3 Keras
4 Padat
Ketinggian 0 Normal
1 1-2 mm
2 3-4 mm
14
3 5-6 mm
4 >6 mm
Vaskularisasi 0 Normal
1 Merah muda
2 Merah
3 Ungu
Pigmentasi 0 Normal
1 Hipopigmentasi
2 Campuran
3 Hiperpigmentasi
Penjelasan parameter yang digunakan untuk menilai parut adalah sebagai berikut:
a. Konsistensi
Konsistensi, tekstur dan perluasan merupakan keadaan yang diamati dari parut.
0 : normal
pergerakan
b. Ketinggian
1 : 1-2 mm
2 : 3-4 mm
3 : 5-6 mm
15
4 : >6 mm
c. Warna/ Vaskularisasi
1 : merah muda. Warna ini diamati pada proses pematangan yang akan menjadi
2 : merah. Menandakan hipervaskularisasi pada jaringan parut. Warna ini menjadi jelas
setelah 4-8 minggu paska luka terjadi, biasanya disertai peninggian dari parut.
3 : ungu. Warna ini merupakan keadaan hipervaskuler. Seperti luka bakar atau fase awal
terjadinya keloid.
d. Pigmentasi
Parameter ini digunakan untuk menilai perbedaan derajat kedalaman dari cedera.
0 : normal
1 : hipopigmentasi
2: campuran
3 : hiperpigmentasi
Parut juga dapat dievaluasi dengan menggunakan beberapa alat, antara lain
cutometers, atau ultrasound. Parameter yang diukur antara lain warna, perfusi, kelenturan,
elastisitas, atau ketebalan parut. Alat-alat tersebut menggunakan prosedur non invasif, mudah
digunakan, dan dapat menilai luka secara objektif dengan cara yang teruji. Meskipun
didapatkan kurangnya konsensus mengenai standarisasi alat yang paling tepat untuk
digunakan, kombinasi teknologi dengan klinis dapat memperbaiki penilaian parut (Finnerty,
et al., 2016).
2.2.4 Pencegahan
16
Upaya pencegahan terjadinya parut abnormal merupakan hal yang penting dalam
penanganan penderita luka bakar. Prinsip pencegahan timbulnya parut abnormal adalah
dengan menegakkan diagnosis dan memperkirakan secara dini masalah jaringan parut yang
akan timbul saat parut masih imatur. Prosedur pembedahan tidak tension, menghindari insisi
pada area sternal dan persendian, memastikan luka sesuai dengan garis lipatan kulit atau
relaxed skin tension lines (RSTLs) merupakan tindakan yang dianjurkan untuk mencegah
timbulnya parut hipertrofik. Inflamasi juga berkontribusi pada pembentukan parut hipertrofik,
sehingga harus dilakukan upaya untuk meminimalisasi respons inflamasi dengan memastikan
pembedahan bersih dan perawatan luka yang baik untuk mencegah infeksi (Rabello, Souza,
Menghormati jaringan
Menghindari hematoma
2. Manajemen luka yang baik dengan mencegah terjadinya infeksi, karena infeksi akan
parut hipertrofik.
3. Perhatian khusus dilakukan pada penderita yang berisiko tinggi timbul parut abnormal,
misalnya pada penderita yang memiliki riwayat timbul parut abnormal setelah
Parut hipertrofik yang disebabkan oleh luka bakar akan menjadi masalah ketika
mengganggu fungsi atau pergerakan persendian, terutama pada sendi ektremitas maupun
wajah. Pada luka bakar yang luas dan dalam cenderung terjadi parut hipertrofik dan
penutupan dini luka dengan skin grafting akan memperbaiki kualitas kulit serta mengurangi
Pencegahan terjadinya parut hipertrofik pada pasien luka bakar dapat dilakukan dengan
eksisi atau membuang jaringan nekrotik (eschar) secara dini disertai penutupan luka dengan
skin grafting. Eksisi yang agresif dan skin grafting secara dini akan mempercepat proses
penyembuhan luka dan mengurangi terjadinya pembentukan parut. Pada fase penyembuhan
luka dianjurkan pemasangan splinting pada posisi fungsional dan dilakukan mobilisasi dini
terapi compression sejak awal juga dapat mencegah terjadinya parut yang jelek (Tredget,
Shupp, & Schneider, 2017). Pemasangan splint dijelaskan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Pemasangan splint pada area yang berisiko terjadi kontraktur
(Perdanakusuma, 2017)
Area Posisi fungsional Splint Tambahan
Leher Netral atau sedikit Neck conformer Tidur tanpa bantal di
18
Netral rotasi Triple component Bantal kecil untuk
splint skapula
Aksila Abduksi: 70o-80o Airplane-splint Arm through
15o-20o tidur
Abduction wedge
o o
Siku Ekstensi: -5 to -10 Volar based
supinasi
Pergelangan Netral- sedikit ekstensi Intrinsic-plus-splint
ulnar
Tangan Luka bakar di dorsal Intrinsic-plus-splint K-wire
sendi MCP fleksi 50o- C-bar for thumb Sisipan disela jari
70o
Ekstensi sendi IP
Luka bakar palmar Hand extension
Proses pembentukan jaringan parut hipertrofik dipengaruhi oleh mediator humoral dan
seluler. Pada proses penyembuhan luka, salah satu fungsi dari growth factor atau cytokines
adalah meningkatkan proliferasi seluler, diferensiasi, dan migrasi dari keratinosit pada
epidermis serta perekrutan sel inflamasi. Penggunaan basic fibroblast growth factor (bFGF)
dapat menjadi peran penting dalam proses penyembuhan luka, yaitu dengan mengaktifkan
makrofag lokal secara berkepanjangan hingga fase remodelling dan juga mempengaruhi
19
Konsentrasi bFGF pada cairan luka bakar yang terbatas pada lapisan dermis lebih
rendah dibandingkan luka akibat pembedahan atau luka yang lebih dalam dari lapisan dermis,
sehingga mengurangi aktivitas proliferasi sel endotel dan kemotaktik. Penggunaan silicone
gel pada kultur normal atau fetal fibroblas meningkatkan bFGF dan dapat mencegah
terjadinya parut hipertrofik. Luka yang diterapi dengan bFGF menghasilkan jaringan parut
yang lebih lunak secara signifikan pada satu tahun setelah penutupan luka (Akita, 2005).
partial-thickness dari hari ke 4 hingga hari ke 11. bFGF berpartisipasi dalam proses
penyembuhan luka di kulit dengan cara mengaktivasi makrofag lokal hingga beberapa
minggu setelah luka terjadi (fase remodelling). bFGF pada luka bakar diduga merupakan
presintesis mediator yang dilepaskan secara lokal di lokasi luka, sehingga dapat memiliki
peran penting pada awal proses penyembuhan luka. Pada pasien dewasa dengan luka bakar
derajat 2, pemberian bFGF topikal dalam waktu 5 hari setelah terjadi luka menunjukkan
regenerasi dari jaringan granulasi secara signifikan dan terjadi pembentukan vaskularisasi
2.2.5 Terapi
Parut hipertrofik terjadi beberapa minggu setelah luka bakar, ukuran akan meningkat
dengan cepat dalam 3-6 bulan, dan setelah fase statis, akan mengalami regresi. Parut akan
bermaturasi sekitar 2-5 tahun. Indikasi terapi pasien dengan parut hipertrofik paska luka
bakar harus didasarkan dengan ada tidaknya kontraktur yang menyertai. Terapi pembedahan
harus dipilih pada kasus parut hipertrofik dengan kontraktur. Tujuan pembebasan skar
mengakselerasi maturasi jaringan sekitar yang masih imatur. Namun pada parut hipertrofik
kecil dan linier dengan kontraktur ringan, dapat diterapi dengan eksisi total atau dengan terapi
kombinasi non bedah. Parut hipertrofik yang berulang dapat diterapi dengan menggunakan
20
algoritma penanganan keloid, yaitu dengan terapi kombinasi pembedahan dan terapi non
bedah (seperti radiasi atau injeksi kortikosteroid). Tindak lanjut jangka panjang dan terapi
konservatif dibutuhkan untuk pemulihan fungsional dan kosmestik (Ogawa, Akaishi, &
Kinoshita, 2010).
21
Berdasar algoritma parut hipertrofik paska luka bakar (Gambar 2.5), pada kasus parut
hipertrofik dengan kontraktur berat (tipe 1) dan parut hipertrofik yang lebar/ luas (tipe 2a)
dapat dilakukan pembebasan kontraktur secara parsial atau eksisi total. Setelah pembebasan
kontraktur, defek dapat ditutup dengan flap atau skin graft. Penutupan defek dengan flap
lebih efektif mencegah terjadinya parut hipertrofik berulang dibanding skin graft. Meskipun
hanya pembebasan kontraktur parsial maupun eksisi kecil pada kontraktur, transferred flap
dapat diperluas secara bertahap, dan dapat mengakselerasi maturasi dari jaringan parut sekitar
yang masih imatur. Penutupan defek dengan skin graft juga bermanfaat untuk defek luas pada
area kontur yang sensitif seperti pada punggung tangan (Ogawa, Akaishi, & Kinoshita, 2010).
Pada pasien dengan parut hipertrofik kecil atau linier dengan kontraktur ringan (tipe
2b) dapat dilakukan eksisi total. Desain yang dapat digunakan antara lain elips, z-plasty, w-
plasty, dan geometric broken line closure (GBLC) dan menggunakan teknik jahit
subcutaneous/ fascia tensile reduction (Gambar 2.6). Dengan desain dan teknik tersebut
22
Pasien dengan parut hipertrofik tanpa kontraktur secara alami akan membaik selama
proses maturasi parut, sehingga penanganan non bedah menjadi pilihan terapi. Banyak
pilihan terapi non bedah yang dapat mempercepat proses maturasi dan juga mengurangi
beberapa gejala seperti iritasi, nyeri, gatal, kemerahan, dan ketebalan parut. Penggunaan
terapi non bedah harus dilakukan dengan kombinasi untuk mempercepat proses
penyembuhan. Berikut beberapa modalitas yang sering digunakan untuk penanganan parut
hipertrofik :
a. Compression Theraphy
dan keloid sejak tahun 1970an dan hingga saat ini menjadi standar lini pertama untuk parut
luka bakar di berbagai senter. Beberapa macam dalam metode ini adalah anting-anting
dipasang 18-24 jam/ hari selama 6-12 bulan. Terapi tekanan direkomendasikan pada pasien
luka bakar yang perkiraan penyembuhan lukanya memerlukan waktu lebih dari 10-14 hari
mendegradasi kolagen. Garment digunakan segera setelah luka tertutup epitel, sehingga
tekanan akan menurunkan aliran darah parut, menurunkan deposisi protein, meningkatkan
lisis dan menurunkan edema. Garment yang ketat akan meningkatkan temperatur parut
sebesar 10C, yang secara signifikan dapat meningkatkan kolagenolisis dan pematangan parut
(Perdanakusuma, 2017).
23
Silicone gel sheeting telah digunakan secara luas pada penanganan parut hipertrofik
sejak awal tahun 1980an. Meskipun mekanisme pasti belum diketahui, cara ini menunjukkan
perbaikan kontur parut, warna, dan tekstur. Penggunaan silicone gel dapat mempertahankan
fungsi barrier dari stratum korneum dengan mengurangi transepidermal water loss (TEWL),
sehingga menurunkan produksi dari kolagen oleh fibroblast (Shirakami, Yamakawa, &
Hayashida, 2020). Didapatkan bukti yang baik dan efektif pada penggunaan silicone gel
sheeting, sehingga dijadikan standar dalam perawatan parut (Signorini & Clementoni, 2007).
Penggunaan silicone gel sheetings yang direkomendasikan adalah 12-24 jam/ hari selama 6-
12 bulan, dengan penghentian penggunaan sementara bila terdapat efek samping (Rabello,
Meskipun penggunaan silicone gel sheeting efektif untuk penanganan parut hipertrofik,
namun kepatuhan pasien mungkin tidak memuaskan karena alasan berikut: reaksi kulit
terhadap tape yang digunakan untuk fiksasi, keringat berlebihan, kesulitan dalam pemakaian,
dan visibilitas perawatan dalam kasus bekas luka yang terletak di area yang terlihat seperti
c. Injeksi Kortikosteroid
sejak tahun 1960an. Konsensus internasional mengakui bahwa injeksi kortikosteroid efektif
sebagai terapi lini pertama untuk keloid dan lini kedua untuk parut hipertrofik jika cara yang
lebih mudah gagal. Meskipun mekanisme kerjanya masih belum jelas, beberapa teori
Injeksi triamcinolone intralesi dengan dosis 10-40 mg/ml dilakukan dengan interval 4-6
24
minggu. Injeksi kortikosteroid dapat menyebabkan efek samping nyeri, maka bila perlu dapat
ditambahkan anestesi lidokain atau cryosurgery selama 10-15 detik. Hasil terapi akan baik
bila dilakukan kombinasi dengan terapi lain. Efek samping pada injeksi kortikosteroid dapat
d. Laser
Studi penggunaan laser untuk parut hipertrofik telah dilakukan secara luas. Laser secara
umum dapat mengurangi parut hipertrofik dengan cara mengurangi eritema, mengurangi
tebal parut, dan meningkatkan kelenturan. Selain itu juga dapat mengurangi rasa nyeri,
pruritus, warna dan kontur abnormal (Finnerty, et al., 2016). Penggunaan pulse dye laser
(PDL) atau Nd: YAG laser efektif untuk terapi luka paska luka bakar. Meskipun demikian,
penggunaan laser sebagai terapi tunggal bukan merupakan terapi yang ideal, namun akan
menguntungkan secara signifikan bila dikombinasikan dengan terapi multimodal yang lain
Pulse dye laser (PDL) dan Nd: YAG bekerja dengan cara mengurangi angiogenesis
yaitu dengan menginduksi nekrosis pada kapiler dengan fototermolisis, sehingga dapat
mengurangi volume parut, eritema, kelunakan, rasa gatal dan pruritus (Wang, et al., 2018).
Terapi PDL dengan panjang gelombang 585 atau 595 nm dapat dilakukan 2-3 kali dengan
interval sekitar 6 minggu – 6 bulan paska luka bakar untuk mendapat hasil yang baik
(Shirakami, Yamakawa, & Hayashida, 2020). Laser Nd: YAG dengan panjang gelombang
1320 nm secara in vitro menurunkan kolagen dengan menghambat produksi kolagen secara
selektif. Saat ini PDL merupakan terapi laser pilihan utama untuk penanganan parut
fractional laser (AFL) telah menjadi strategi baru untuk pengobatan parut. Mekanisme secara
pasti masih belum diketahui, namun teori menyebutkan pengaruhnya terhadap sekresi
25
berbagai sitokin dan growth factors. NAFL secara spesifik efektif untuk mengobati parut
atrofi, datar atau matur. Suatu uji klinis menunjukkan pengobatan luka bakar dengan NAFL
dapat memperbaiki kualitas parut secara signifikan selama 6 bulan follow up, dan analisis
histologis didapatkan kolagen yang menyerupai kulit normal. Namun, pengobatan parut
paska luka bakar dengan AFL memicu reaksi neocollagenesis dan tissue-rearrangement yang
e. Radiotherapy
pembedahan untuk parut hipertrofik dan keloid, meskipun masih didapatkan kontroversi
dalam penggunaannya sebagai terapi tunggal. Kombinasi eksisi parut hipertrofik dilanjutkan
Yamakawa, & Hayashida, 2020). Hasil terbaik didapatkan dengan 1500-2000 rad sampai 5-6
sesi pada periode paska pembedahan. Efek samping yang paling sering ditemukan adalah
f. Cryotherapy
melakukan freezing terhadap lesi menggunakan liquid nitrogen yang menyebabkan kerusakan
sel dan mikrovaskuler, Liquid nitrogen pada suhu -195,80C atau -320,40C diaplikasikan
dengan cotton swab selama 4 detik sampai 2 menit. Hal ini akan membuat parut menjadi
lebih datar. Efek samping dari prosedur ini antara lain hipopigmentasi atau hiperpigmentasi,
g. Antihistamin
26
h. Topical Retinoic Acid/ Tretinoin (Derivat Vitamin A)
Studi in vitro pada pemakaian retinoic acid menunjukan reduksi dari metabolisme
kolagen. Pada studi in vivo didapatkan reduksi dari parut hipertrofik dan keloid pada 50-
100% pasien yang diberikan tretinoin atau retinoic acid. Uji klinis yang dilakukan pada 28
penderita keloid dan parut hipertrofik menunjukkan hasil yang baik sebesar 77-79%, volume
parut mengecil dan keluhan pasien berkurang. Pengaplikasian retinoic acid yaitu 2 kali sehari
i. Injeksi Interferon
Terapi dengan interferon merupakan terapi yang menjanjikan di masa depan. Interferon
alfa (IFN-α), beta (IFN-β) dan gamma (IFN-γ) dapat menurunkan sintesis kolagen tipe I dan
III melalui reduksi RNA seluler, serta meningkatkan penghancuran kolagen. Pada pemberian
injeksi IFN-α2β 3 kali dalam seminggu, didapatkan hasil yang signifikan pada perbaikan
parut hipertrofik dibandingkan dengan kontrol, serta terjadi pengurangan serum TGF-β
setelah terapi. Pemberian injeksi intralesi IFN-γ dengan dosis 0,001 mg atau 0,1 mg setiap
minggu didapatkan respon lebih dari 50% berupa penurunan tinggi parut (Perdanakusuma,
2017).
j. Bleomisin Intralesi
Bleomisin sulfate pertama kali diperkenalkan oleh Bodokh dan Brun pada tahun 1996
sebagai salah satu pilihan terapi keloid dan parut hipertrofik. Bleomisin bekerja dengan cara
Streptomyces yang mempunyai efek antitumor, antivirus, dan antibakteri. Pada pengamatan
kerja bleomisin dalam meregresi keloid ataupun parut hipertrofik masih belum jelas (Rabello,
27
Didapatkan pengurangan volume keloid pada 84% dari 31 pasien keloid yang
mendapat bleomisin intralesi dengan dosis 1,5 IU/ml dengan multiple puncture method
selama 1 bulan. Pada penderita dengan parut yang lama dan resisten terhadap kortikosteroid,
injeksi bleomisin 0,01% setiap 3-4 minggu menunjukkan respon yang baik (Perdanakusuma,
2017).
5-FU merupakan terapi pilihan parut hipertrofik karena dapat menginduksi apoptosis
pada matrix metalloproteinase-2 dan menurunkan produksi kolagen tipe 1. Hasil pengamatan
dari pemberian 5-FU dengan konsentrasi 50mg/ml selama 12 minggu dan di follow up hingga
(Perdanakusuma, 2017).
l. Anti TGF-β
Saat ini penelitian upaya menghambat TGF-β sedang dilakukan. TGF-β mempunyai
peran penting dalam pembentukan parut pada proses penyembuhan luka. Studi pada binatang
dengan TGF-β isoform, dan didapatkan hasil yang baik. Percobaan pada manusia sedang
Saat ini terapi kombinasi triamcinolone (TAC) dengan 5-FU cukup popular karena
memberikan hasil yang baik pada parut hipertrofik. TAC secara signifikan mensupresi
proliferasi sel dan ekspresi TGF-B1, sedangkan 5-FU menginduksi apoptosis pada matrix
menghasilkan efek yang sinergis (Nischwitz, et al., 2020). Dosis yang digunakan pada
kombinasi TAC dan 5-FU adalah 1:1 sampai 1:9. Dosis diberikan 2-4 minggu sekali dan
28
n. Depigmentasi
lebih terang, ukuran parut mengecil serta keluhan pasien berkurang pada hasil penelitian
adalah dengan menurunkan kandungan melanin dermis, membuat kondisi basa sehingga
optimalnya aktivitas enzim kolagase, maka penumpukan kolagen secara perlahan akan
o. Make-Up Therapy
psikologis penderita, karena terapi ini dapat memperbaiki penampilan estetik luka dan
perubahan psikologis pasien meskipun hal ini perlu dibuktikan secara ilmiah (Ogawa,
Akaishi, & Kinoshita, 2010). Beberapa keuntungan dengan terapi make-up antara lain
prosedur yang non-invasif, pasien dengan kelainan organ dalam bisa mendapatkan terapi ini;
biaya yang ringan, tidak ada alat atau bahan khusus, hanya kosmetik standar yang diperlukan;
mudah dihilangkan, apabila pasien tidak suka dengan tampilannya, maka dapat dihapus
dengan mencuci muka. Oleh karena itu, terapi make-up merupakan pilihan yang baik untuk
penanganan jaringan parut, khususnya pada pasien yang hampir menyelesaikan operasi
29
BAB 3
PENUTUP
Pada penanganan luka bakar, selain penanganan pada fase akut dan subakut, juga
perlu memperhatikan manajemen parut paska luka bakar. Parut luka bakar dapat
menyebabkan kecacatan seumur hidup yang sering kali mendapat stigma dan penolakan di
Upaya pencegahan terjadinya parut hipertrofik pada luka bakar dapat dilakukan
dengan eksisi atau membuang jaringan nekrotik (eschar) secara dini disertai penutupan luka
dengan skin grafting. Hal ini akan mempercepat proses penyembuhan luka dan mengurangi
terjadinya pembentukan parut. Parut hipertrofik paska luka bakar dapat di terapi kombinasi
dengan pembedahan atau non bedah sesuai dengan indikasi ada atau tidaknya kontraktur yang
menyertai.
Sampai saat ini mekanisme pembentukan parut hipertrofik masih belum diketahui
dengan jelas. Berbagai teori dikemukakan, namun masih perlu dikaji mengenai pembuktian
ilmiahnya. Tantangan dalam pengobatan parut hipertrofik paska luka bakar terletak pada
penemuan baru target terapi dengan pemahaman proses pembentukan jaringan parut agar
30
DAFTAR PUSTAKA
Mendonca, Derick., et al., 2015. Fronto-orbital advancement: Revisited. Journal of Cleft Lip
Palate and Craniofacial Anomalies, pp. 20-6.
Akhtar, S.M., et al., 2015. Epidemiology and outcome of chemical burn patients admitted in
burn unit of JNMC hospital, aligarh muslim university, aligarh, uttar pradesh, India: a
5-year experience. Journal of Family Medicine and Primary Care, 4: pp. 106-9.
Akita, S., Akino, K., Imaizumi, T., Hirano, A., 2005. A basic fibroblast growth factor
improved the quality of skin grafting in burn patients. Burns, 31: pp. 855–858.
Akita, S., 2010. Prevention of scar using bFGF. In: Hyakusoku, H., Orgill D.P., Teot, L.,
Pribaz, J.J., Ogawa, R., eds., Color atlas of burn reconstructive surgery, Dordrecht:
Springer, pp. 62-71.
Aoki, R., Kazki, R., 2010. Make-up therapy for burn scar patients. In: Hyakusoku, H., Orgill
D.P., Teot, L., Pribaz, J.J., Ogawa, R., eds., Color atlas of burn reconstructive surgery,
Dordrecht: Springer, pp. 82-88.
Capek, K.D., Sirvent, R.Z., Huang, T.T., 2018. Management of contractural deformities
involving the shoulder (axilla), elbow, hip and knee joints in burned patients. In:
Herndon, D.N., ed., Total burn care, 5th ed, Edinburgh: Elsevier, pp. 573-588.
Cheng, W., Wang, S., Shen, C., Zhao, D., Li, D., Shang, Y., 2018. Epidemiology of
hospitalized burn patients in China: a systematic review. Burns Open, 2(1): pp. 8-16.
Culnan, D.M., Capek, K.D., Huang, T., Lineweaver, W., 2018. Acute and reconstructive care
of the burned hand. In: Herndon, D.N., ed., Total burn care, 5th ed, Edinburgh:
Elsevier, pp. 589-608.
Feng, Y., et al., 2019. Direct and indirect roles of macrophages in hypertrophic scar
formation. Front. Physiol, 10: pp. 1101-1107.
Finnerty, C.C., Jeschke, M.G., Branski, L.K., Barret, J.P., Dziewulski, P., & Herndon, D.N,
2016. Hypertrophic scarring: the greatest unmet challenge after burn injury. The
Lancet, 388: pp. 1427–1436.
Gangemi, N., et al., 2008. Epidemiology and risk factors for pathologic scarring after burn
wounds. Arch Facial Plastic Surgery, 10(2): pp. 93-102.
Gundogan, B., Orgill, D.P., 2020. Basic science of wound healing and management of
chronic wounds. In: Chung, K.C., ed., Grabb and Smith's plastic surgery, 8th ed,
Philadelphia: Wolters Kluwer, pp. 21-57.
Hawkins, H.K., Jay, J., Finnerty, C.C., 2018. Pathophysiology of the burn scar. In: Herndon,
D.N., ed., Total burn care, 5th ed, Edinburgh: Elsevier, pp. 466-475.
31
Karagoz, H., Yuksel, F., Ulkur, E., Evinc, R., 2009. Comparison of efficacy of silicone gel,
silicone gel sheeting, and topical onion extract including heparin and allantoin for the
treatment of postburn hypertrophic scars. Burns, 35(8): pp. 1097-103.
Kwan, P., Desmouliere, A., Tredget, E.E., 2018. Molecular and cellular basis of hypertrophic
scarring. In: Herndon, D.N., ed., Total burn care, 5th ed, Edinburgh: Elsevier, pp. 455-
465.
Nischwitz, S.P., et al., 2020. Evidence-based therapy in hypertrophic scars: an update of a
systematic review. Wound Repair and Regeneration, 28: pp. 656–665.
Ogawa, R., Akaishi, S., Kinoshita, K., 2010. Treatments for post-burn hypertrophic scars. In:
Hyakusoku, H., Orgill D.P., Teot, L., Pribaz, J.J., Ogawa, R., eds., Color atlas of burn
reconstructive surgery, Dordrecht: Springer, pp. 76-81.
Payne, W.G., Smith, D.J., 2020. Management of scars. In: Chung, K.C., ed., Grabb and
Smith's plastic surgery, 8th ed, Philadelphia: Wolters Kluwer, pp. 58-88.
Perdanakusuma, D.S., 2017. Penanganan parut hipertrofik dan keloid. Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.
Rabello, F.P., Souza, C.D., Junior, J.A.F., 2014. Update on hypertrophic scar treatment.
Clinics, 69(8): pp. 565-573.
Serghiou, M.A., Ott, S., Cowan, A., Offenberg, J.K., Suman, O.E., 2018. Burn rehabilitation
along the continuum of care. In: Herndon, D.N., ed., Total burn care, 5th ed,
Edinburgh: Elsevier, pp. 476-508.
Shirakami, E., Yamakawa, S., & Hayashida, K., 2020. Strategies to prevent hypertrophic scar
formation: a review of therapeutic interventions based on molecular evidence. Burns
& Trauma, pp. 1-8.
Signorini, M., Clementoni, M.T., 2007. Clinical evaluation of a new self-drying silicone gel
in the treatment of scars: a preliminary report. Aesthetic Plast Surg, 31(2): pp. 183-
187.
Sjaifuddin, N.M., 2006. Penanganan luka bakar. Surabaya: Airlangga University Press.
Tredget, E.E., Shupp, J.W., & Schneider, J.C, 2017. Scar Management Following Burn
Injury. Journal of Burn Care & Research, 38(3): pp. 146–147.
Tsai, C.H., Ogawa, R., 2019. Keloid research: current status and future directions. Scars,
Burns & Healing, 5: pp. 1-8.
Wang, Y., et al., 2018. Burn injury: Challenges and advances in burn wound healing,
infection, pain and scarring. Advanced Drug Delivery Reviews, 123: pp. 3–17.
32