Anda di halaman 1dari 41

Referat

FRONTO-ORBITAL ADVANCEMENT SURGERY


R. Chandra Jaya Listiandoko, dr.

Magda Rosalina Hutagalung, dr., Sp.BP-RE (KKF)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

BEDAH PLASTIK REKONSTRUKSI DAN ESTETIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA/

RSUD DR. SOETOMO

SURABAYA
2021 Referat

FRONTO-ORBITAL ADVANCEMENT SURGERY

i
R. Chandra Jaya Listiandoko, dr.

Magda Rosalina Hutagalung, dr., Sp.BP-RE (KKF)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

BEDAH PLASTIK REKONSTRUKSI DAN ESTETIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA/

RSUD DR. SOETOMO

SURABAYA

2021

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul “Fronto-Orbital Advancement Surgery”

Telah memenuhi persyaratan dan telah disetujui

Pada Tanggal 6 April 2021

Pembimbing

Magda Rosalina Hutagalung, dr., Sp.BP-RE (KKF)

NIP 19680108 201410 2 001

iii
Mengetahui,

Koordinator Program Studi PPDS-I

Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik

Dr. dr. Iswinarno Doso Saputro, Sp.BP-RE (K)

NIP 19630415 199003 1 016

BAB 1

iv
BAB 2

BAB 3 DAFTAR ISI

halaman
Sampul Dalam ......................................................................................... i
Lembar Pengesahan ................................................................................ ii
Daftar Isi ................................................................................................. iii
Daftar Tabel ............................................................................................ iv
Daftar Gambar ........................................................................................ v
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................. 1
1.2 Tujuan Penulisan ........................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 3
2.1 Jaringan Parut ................................................................ 3
2.1.1 Definisi Jaringan Parut ...................................... 3
2.1.2 Patofisiologi Jaringan Parut ............................... 3
2.1.3 Jenis Jaringan Parut ........................................... 6
2.2 Parut Hipertrofik ............................................................ 11
2.2.1 Definisi Parut Hipertrofik .................................. 11
2.2.2 Patofisiologi Parut Hipertrofik .......................... 11
2.2.3 Penilaian Parut Hipertrofik ................................ 14
2.2.4 Pencegahan ........................................................ 17
2.2.5 Terapi ................................................................. 20
BAB 3 PENUTUP .............................................................................. 31
Daftar Pustaka ......................................................................................... 32

v
BAB 4 DAFTAR TABEL

halaman
Tabel 2.1 Perbedaan parut hipertrofik dan keloid ............................ 10
Tabel 2.2 Derajat parut hipertrofik ................................................... 10
Tabel 2.3 Penilaian parut menggunakan Vancouver Scar Scale ...... 15
Tabel 2.4 Pemasangan splint pada area yang berisiko terjadi kontraktur
......................................................................... 19

vi
BAB 5 DAFTAR GAMBAR

halaman
Gambar 2.1 Keloid telinga disebabkan oleh tindik telinga .................. 8
Gambar 2.2 Keloid dada ...................................................................... 8
Gambar 2.3 Parut hipertrofik pada laki-laki berusia 34 tahun, 8 bulan
setelah luka bakar dengan 60% total body surface area pada
ektremitas atas dan tangan ....................................... 9
Gambar 2.4 Kontraktur aksila .............................................................. 10
Gambar 2.5 Algoritma parut hipertrofik paska luka bakar .................. 21
Gambar 2.6 Penggunaana z-plasty pada kontraktur tangan ................. 22

vii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Luka bakar merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas yang

sering ditemui di negara berkembang, terutama pada masyarakat dengan tingkat sosial

ekonomi rendah dan di daerah pelosok (Akhtar, et al., 2015). Luka bakar dapat disebabkan

oleh api, air panas, bahan kimia, listrik, petir, radiasi, sengatan sinar matahari, tengku

panas/udara panas, dan ledakan bom (Sjaifuddin, 2006). Luka bakar tidak hanya

menyebabkan kematian, namun juga kecacatan seumur hidup, yang sering kali mendapat

stigma dan penolakan di masyarakat serta menyebabkan stres fisik, psikologis maupun sosial

ekonomi (Cheng, et al., 2018).

Pasien luka bakar memerlukan penanganan yang komprehensif. Manajemen cairan dan

elektrolit, pembedahan, penutupan luka dengan skin graft mempunyai peran penting dalam

proses penyembuhan dan menurunkan angka kematian pasien luka bakar (Gangemi, et al.,

2008). Tidak hanya itu, penanganan luka bakar juga harus memperhatikan jaringan parut

yang akan timbul pada proses penyembuhan luka. Parut hipertrofik dan keloid pada pasien

luka bakar menyebabkan kecacatan yang seringkali menghasilkan fungsi dan

tampilan/kosmetik yang buruk. Selain itu, parut luka bakar juga dapat menyebabkan nyeri,

pruritus, dispigmentasi, intoleransi panas, dan keterbatasan gerak sendi akibat kontraktur

(Wang, et al., 2018).

Modalitas penanganan parut paska luka bakar, khususnya parut hipertrofik, telah

banyak ditemukan. Namun, tidak ada satu modalitas utama yang dapat menyembuhkan parut

hipertrofik karena mekanisme pembentukan jaringan parut belum diketahui dengan jelas.

Terapi kombinasi sangat dianjurkan pada penanganan parut hipertrofik, baik bedah maupun

1
non bedah. Tantangan dalam pengobatan parut luka bakar terletak pada penemuan baru target

terapi dengan pemahaman proses pembentukan jaringan parut. Oleh karena itu, referat ini

dibuat dengan tujuan untuk memahami jaringan parut secara umum, proses pembentukan,

penilaian, pencegahan serta terapi parut hipertrofik paska luka bakar.

1.2 Tujuan Penulisan

1. Memahami tentang definisi, proses pembentukan, dan jenis jaringan parut secara

umum

2. Memahami tentang definisi, proses pembentukan, penilaian, pencegahan, dan

terapi parut hipertrofik paska luka bakar

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jaringan Parut

2.1.1 Definisi Jaringan Parut

Parut atau scar berasal dari bahasa Yunani yaitu eskhara yang berarti keropeng.

Jaringan parut merupakan jaringan fibrous yang menggantikan jaringan normal yang

diakibatkan oleh cedera atau suatu penyakit (Serghiou, et al., 2018). Secara klinis parut

adalah cacat alami yang ditinggalkan sebagai akibat dari proses penyembuhan luka. Pada

parut didapatkan perubahan struktur dari kulit berupa hilangnya pori, rambut, dan kelenjar

yang disertai perubahan warna kulit menjadi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi

(Perdanakusuma, 2017).

2.1.2 Patofisiologi Jaringan Parut

Parut merupakan cacat alami yang ditinggalkan akibat proses penyembuhan luka.

Apabila terdapat gangguan pada proses penyembuhan luka, maka akan menghasilkan

jaringan parut berupa parut hipertrofik atau keloid. Penyembuhan luka adalah suatu proses

usaha untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh karena goresan, cedera, ataupun

luka bakar. Proses penyembuhan luka secara alami akan mengalami tiga fase, yaitu fase

inflamasi, fase proliferasi atau fibroplasi, dan fase remodelling atau maturasi.

Fase inflamasi adalah fase pertama yang terjadi dimulai sejak terjadinya luka sampai

hari kelima. Segera setelah luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan

retraksi disertai reaksi hemostasis. Agregrasi tombosit bersama jala fibrin akan membekukan

darah ditepi luka. Kemudian komponen hemostasis akan melepaskan dan mengaktifkan

sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF),

3
Platelet-derived Growth Factor (PDGF), dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β)

yang berperan dalam terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial, dan

fibroblas. Pada fase ini terjadi proses inflamasi. Pemanjangan fase inflamasi yang disebabkan

oleh berbagai hal akan meningkatkan aktivitas sitokin fibrogenik seperti TGF-β dan IGF-1

(Gundogan & Orgill, 2020).

Fase proliferasi atau fibroplasi dimulai pada akhir fase inflamasi hingga hari ke 21.

Peran fibroblas dalam fase ini sangat menonjol, yaitu mengalami proliferasi dan mensintesis

kolagen. Serat kolagen yang terbentuk menyebabkan kekuatan untuk bertautnya tepi luka.

TGF-β1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen dan berperan dalam

pembentukan jaringan parut. TGF-β memiliki kemampuan mengurangi sintesis kolagenase

dan merangsang sintesis TIMP. Peningkatan sitokin fibrogenik pada fase inflamasi akan lebih

meningkatkan aktivitas fibroplasi di fase proliferasi. Keadaan ini menyebabkan peningkatan

risiko terjadinya parut abnormal seperti parut hipertrofik atau keloid (Perdanakusuma, 2017).

Fase remodeling atau maturasi adalah fase terakhir dan terpanjang dalam proses

penyembuhan luka, yaitu mulai hari ke 21 hingga 6-12 bulan atau lebih dari setahun paska

cedera. Pada fase ini terjadi keseimbangan aktivitas sintesis dan degradasi kolagen. Sintesis

kolagen memerlukan enzim prolin hidroksilase dan degradasi kolagen ditentukan oleh enzim

kolagenase. Matriks dibentuk dari kolagen tipe III (20%) dan kolagen tipe I (80%) oleh

matrix metalloproteinases (MMPs). MMPs diproduksi oleh fibroblas, makrofag, keratinosit,

dan trombosit. Kolagen berperan sebagai bahan untuk kekuatan integritas jaringan luka. Luka

akan berakhir menjadi parut dan hanya mencapai kekuatan pertautan (tensile strength)

sebesar 70-80% dari kulit normal (Gundogan & Orgill, 2020).

Tiga fase tersebut akan berjalan normal selama tidak ada gangguan baik dari faktor luar

maupun dalam. Gangguan pada proses penyembuhan luka akan membuat parut menjadi tidak

normal, dapat berupa parut hipertrofik atau keloid.

4
Proses terbentuknya jaringan parut sangat kompleks dan banyak mekanisme yang

belum diketahui dengan jelas. Teori yang dianut secara umum adalah parut abnormal terjadi

karena gangguan keseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen. Ketidakseimbangan

tersebut dapat terjadi karena tiga kemungkinan, yaitu pertama, sintesis meningkat tidak

disertai dengan peningkatan degradasi; kedua, sintesis dan degradasi kolagen meningkat,

hanya peningkatan sintesis kolagen lebih tinggi dari degradasinya; ketiga, sintesis kolagen

normal dengan penurunan degradasi kolagen. Pada keloid ditemukan peningkatan enzim

prolin hidroksilase yang berfungsi untuk mensintesis kolagen secara signifikan dibanding

parut hipertrofik. Aktivitas prolin hidroksilase juga meningkat secara signifikan pada parut

hipertrofik dibanding kulit sekitar parut (Perdanakusuma, 2017).

Studi terkini mengemukakan bahwa keloid dan parut hipertrofik disebabkan oleh

kelainan fibroproliferasi yang sama dan perbedaan klinis serta patologis menggambarkan

beratnya derajat inflamasi pada penyembuhan luka. Diketahui beberapa faktor sistemik

maupun lokal memacu peradangan persisten pada luka maupun bekas luka sehingga

terbentuk keloid. Proses peradangan ini menyebabkan aktivitas kronis dari fibroblas dan

menghalangi proses maturasi jaringan parut. Faktor lokal yang menyebabkan pembentukkan

jaringan parut antara lain pemanjangan proses penyembuhan luka, kedalaman luka, dan gaya

mekanis seperti ketegangan kulit yang disebabkan oleh peregangan (Tsai & Ogawa, 2019).

Jaringan parut akan timbul ketika luka melewati atau lebih dalam dari seluruh ketebalan

kulit (full thickness). Apabila luka hanya sebatas lapisan dermis, maka cenderung tidak

menimbulkan parut karena masih terdapat komponen epitelial dari kelenjar keringat, kelenjar

minyak dan folikel rambut. Luka tersebut akan tertutup epitel dalam waktu yang relatif

singkat dan dapat dikatakan sembuh. Selain itu, jaringan parut sering muncul pada luka di

daerah yang tension atau melawan garis lipatan kulit, daerah kulit tebal dan banyak bergerak,

5
ras kulit gelap, dan pasien dengan riwayat penyakit keluarga menderita parut serupa

(Perdanakusuma, 2017).

2.1.3 Jenis Jaringan Parut

Secara klinis jaringan parut dibedakan menjadi 2 yaitu parut normal dan parut

abnormal. Parut normal terbentuk sekitar 7-10 hari pada proses penyembuhan luka yang

ditandai dengan lesi yang rata dengan permukaan kulit, lunak, nonvaskuler, terjadi kontraksi,

mengecil secara spontan, dan dapat terjadi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Secara

umum dapat kita sebut sebagai acceptable scar. Sedangkan parut abnormal memiliki

karakteristik lesi tebal, menonjol, keras, berwarna kemerahan atau kecoklatan disertai rasa

gatal dan nyeri. Parut abnormal bisa dalam bentuk parut hipertrofik atau keloid.

International Clinical Recommendation on Scar Management membagi parut dalam

beberapa bentuk, sebagai berikut:

1. Parut matur

Parut yang telah melewati fase remodelling penyembuhan luka ditandai dengan eritem

yang telah berkurang menjadi lebih keputihan, rata, lunak, serta tidak ada keluhan gatal

atau nyeri.

2. Parut imatur

Parut yang masih dalam proses penyembuhan fase remodelling. Secara klinis

didapatkan kondisi eritem, tidak elastis, elevasi ke atas permukaan kulit, tebal disertai

rasa gatal atau nyeri.

3. Parut hipertrofik linier

Parut yang menebal berbentuk garis berwarna kemerahan/eritem, gatal, biasanya terjadi

pada luka pembedahan atau trauma.

4. Parut hipertrofik difus

6
Parut lebar yang tersebar berwarna kemerahan/eritem disertai gatal. Sering terjadi pada

kasus luka bakar. Parut timbul terbatas pada daerah yang terkena trauma luka bakar.

5. Keloid minor

Parut abnormal yang meninggi dan melewati batas luka dengan ukuran yang kecil,

berkembang setelah satu tahun paska cedera, dan tidak terjadi regresi. Lokasi khas pada

lobulus telinga.

6. Keloid mayor

Keloid yang meninggi lebih dari 0,5 cm, disertai rasa nyeri, gatal, dan melewati batas

luka. Semakin membesar dengan perjalanan waktu.

Jenis parut abnormal yang dapat terjadi karena penyimpangan proses penyembuhan

luka, antara lain :

a. Keloid

Suatu kelainan kulit akibat proliferasi abnormal pada lapisan dermis kulit. Keloid

berhubungan dengan deposisi kolagen yang berlebih pada jaringan parut. Karakteristik keloid

adalah pertumbuhan parut keatas (elevasi) dan lateral ke arah jaringan sehat melampaui batas

luka, tidak mengalami regresi, sering timbul hanya dengan luka minor, dan didapatkan

peningkatan TGF-β (Payne & Smith, 2020). Gambaran histologi keloid didapatkan

penumpukan kolagen yang tebal disertai sedikit sel fibroblas dan arah serat kolagen tidak

teratur. Keloid dapat tumbuh diseluruh area tubuh, namun mempunyai tempat predileksi pada

daerah bahu, telinga, punggung, dan dada. Keloid pada daerah kepala leher paling sering

terjadi di lobulus telinga sekitar 55% (Gambar 2.1), dan penyebab paling banyak adalah

tindik lubang telinga. Urutan daerah tersering timbul keloid adalah deltoid (21%), sternal

(7%) (Gambar 2.2), dan retroaurikuler (5%) (Perdanakusuma, 2017).

Pembentukan keloid dihubungkan dengan faktor genetik dan epigenetik. Predisposisi

faktor genetik pada keloid antara lain lebih banyak terjadi pada kulit gelap, ras asia, dan

7
penderita dengan riwayat penyakit keluarga menderita parut serupa. Studi terbaru

menjelaskan beberapa mekanisme epigenetik yang mungkin memicu terbentuknya keloid,

antara lain metilasi DNA, merubah struktur DNA dan bentuk sel, serta melibatkan non-

coding RNA yang dapat merubah fenotipe sel (Tsai & Ogawa, 2019).

Gambar 2.1 Keloid telinga Gambar 2.2 Keloid dada

disebabkan oleh tindik telinga (Sumber: Tsai & Ogawa, 2019)

(Sumber: Tsai & Ogawa, 2019)

b. Parut hipertrofik

Parut hipertrofik adalah jaringan parut yang berlebih, yang disebabkan oleh

penyimpangan penyembuhan luka. Parut hipertrofik ditandai dengan penebalan jaringan parut

dalam beberapa minggu setelah luka, berada dalam batas luka, eritema, gatal, dapat terjadi

regresi, disebabkan oleh trauma, insisi atau luka bakar, disebabkan oleh karena penyembuhan

luka yang memanjang, peningkatan ketebalan lapisan epidermis atau dermis, berkurangnya

jaringan kolagen, peningkatan TGF-β, sel mast, dan penurunan produksi kolagen (Payne &

Smith, 2020).

Parut hipertrofik kemungkinan besar timbul apabila lebih dari seminggu epitel belum

menutupi luka. Suatu pengamatan menunjukkan 71% parut hipertrofik terjadi pada luka bakar

yang sembuh lebih dari 21 hari. Insiden parut hipertrofik didapatkan sekitar 39-68% paska

pembedahan dan 33-91% paska luka bakar, tergantung kedalaman luka. Parut hipertrofik

8
ditemukan lebih dari 50% pada pasien dengan luka bakar yang dalam. Bila parut hipertrofik

berada di area persendian sering terjadi kontraktur (Perdanakusuma, 2017).

Parut hipertrofik terjadi disebabkan oleh regangan dan menimbulkan tension. Sering

terjadi pada permukaan persendian fleksor. Parut hipertrofik umumnya timbul sekitar 4-6

minggu setelah cedera, kemudian akan terjadi peningkatan dalam 3-7 bulan dan akan terjadi

regresi setelah 1 tahun. Secara klinis parut hipertrofik berwarna kemerahan, tertutup epitel

tipis, teraba keras disertai peradangan disekitarnya dan keluhan gatal atau nyeri (Gambar

2.3). Secara klinis dapat ditentukan derajat parut hipertrofik berdasarkan penilaian terhadap

warna, konsistensi dan ketebalan, dijelaskan pada Tabel 2.2 (Perdanakusuma, 2017).

Perbedaan parut hipertrofik dan keloid dijelaskan pada Tabel 2.1.

Gambar 2.3 Parut hipertrofik pada laki-laki berusia 34 tahun, 8 bulan setelah luka bakar dengan 60%

total body surface area pada ektremitas atas dan tangan

(Sumber: Kwan, Desmouliere, & Tredget, 2018)

Tabel 2.1 Perbedaan parut hipertrofik dan keloid


Parut hipertrofik Keloid
Timbul segera/dini setelah pembedahan Timbul lebih lambat bisa sampai setahun

(dalam beberapa minggu atau bulan)


Terjadi maturasi, cenderung regresi dalam Tidak ada maturasi, cenderung

perjalanan waktu membesar/progres dengan perjalanan waktu


Terbatas pada daerah luka Tumbuh melewati batas luka
Ukuran parut sesuai dengan besarnya cedera Cedera minimal dapat menimbulkan parut

yang besar
Timbul karena pergerakan Tidak tergantung gerak

9
Biasanya melewati permukaan yang bisa Ada area predileksi, jarang melewati

bertekuk (sendi, abdomen, dll) persendian


Ada perbaikan dengan pembedahan Pembedahan sering membuat menjadi lebih

buruk
Tabel 2.2 Derajat parut hipertrofik
Derajat Warna Konsistensi Ketebalan
I Agak merah muda Sangat lunak Sangat tipis
II Merah muda Lunak Tipis
III Merah Padat Agak tebal
IV Ungu Keras Tebal
V Ungu tua Sangat keras, blister Sangat tebal

Gambar 2.4 Kontraktur aksila

(Sumber: Capek, Sirvent, & Huang, 2018)

c. Kontraktur

Kontraktur adalah pemendekan permanen dari jaringan yang menyebabkan deformitas

atau distorsi. Kontraktur terbentuk karena kehilangan kulit yang luas dengan terjadi kontraksi

miofibroblas dan deposisi kolagen pada daerah yang melewati persendian. Kontraktur lebih

10
sering terjadi pada parut hipertrofik dibanding keloid. Parut hipertrofik akan menimbulkan

kontraktur bila mengenai daerah persendian (Gambar 2.4). Karakteristik dari kontraktur

adalah adanya posisi abnormal serta gerakan yang terbatas (Perdanakusuma, 2017).

2.2 Parut Hipertrofik

2.2.1 Definisi Parut Hipertrofik

Parut hipertrofik adalah jaringan parut yang berlebih, merupakan produk dari

penyimpangan proses penyembuhan luka. Parut hipertrofik ditandai dengan penebalan

jaringan parut dalam beberapa minggu setelah luka, berada dalam batas luka, eritema, rasa

gatal, dapat terjadi regresi, dan dapat terjadi pada luka yang disebabkan oleh trauma, insisi

atau luka bakar (Payne & Smith, 2020).

2.2.2 Patofisiologi Parut Hipertrofik

Parut hipertrofik merupakan kelainan fibroproliferasi pada dermis yang dapat timbul

akibat pembedahan, luka trauma termasuk luka bakar, dimana pada umumnya terjadi luka

yang luas dengan masalah yang kompleks.

Segera setelah luka terjadi, akan menimbulkan reaksi hemostasis. Komponen

hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth

Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Platelet-derived Growth Factor (PDGF),

dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan dalam terjadinya kemotaksis

neutrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial, dan fibroblast. Keadaan ini disebut fase

inflamasi (Sjaifuddin, 2006).

Pada luka bakar, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan eksudasi

protein plasma. Hal ini terjadi karena pelepasan lokal dari histamin dan vascular endothelial

growth factor (VEGF) oleh sel mast dan substance P oleh nervus sensoris lokal. Eksudasi

protein plasma berlangsung selama beberapa jam di seluruh tubuh oleh karena respon dari

stimulus yang belum diketahui. Sel plasma dan sel darah merah memasuki luka melalui

11
pembuluh darah yang rusak atau nekrosis. Infeksi memicu terjadinya eksudasi plasma yang

berkelanjutan dengan mekanisme menstimulus dan memperpanjang fase vaskuler dari

inflamasi akut (Hawkins, Jay, & Finnerty, 2018).

Proses penyembuhan luka selanjutnya mengalami fase proliferasi atau fibroplasi.

Peningkatan proliferasi fibroblas dan sel endotelial vaskuler merupakan karakteristik awal

dari fase penyembuhan luka. Sel tersebut bersama dengan jala fibrin dan kolagen akan

menghasilkan jaringan granulasi. TGF-β memiliki peran menstimulasi proliferasi fibroblas,

sedangkan sel endotelial vaskuler distimulasi oleh VEGF. Fibroblas membentuk jaringan

pada dermis yang memungkinkan luka untuk berkontraksi. Ketika terjadi penyimpangan

proses penyembuhan luka dan parut hipertrofik berkembang, proses fibroblas dalam

membentuk jaringan untuk mendukung kekuatan integritas jaringan pada luka terganggu dan

menghasilkan nodul kolagen yang tidak datar (Hawkins, Jay, & Finnerty, 2018).

Fase maturasi ditandai dengan pembentukan parut yang secara perlahan meningkatkan

tensile strength. Pada fase ini, juga terjadi remodeling dari kolagen. Terjadi keseimbangan

sintesis dan degradasi kolagen, namun proses yang mengontrolnya masih belum diketahui

dengan jelas. Pemanjangan aktivasi keratinosit pada luka menyebabkan pengurangan regulasi

dari sintesis kolagen, dan pemanjangan inflamasi, yang keduanya berkontribusi dalam

terjadinya fibrosis. Dalam waktu yang bersamaan, sel mast menginduksi terjadinya fibrosis

dengan perilisan histamin, triptase, dan kimase, yang menstimulasi sintesis kolagen

(Hawkins, Jay, & Finnerty, 2018).

Pada luka bakar, terjadi pemanjangan fase inflamasi yang akan meningkatkan aktivitas

sitokin fibrogenik seperti TGF-β dan IGF-1. Akibat dari hal ini adalah pada fase fibroplasi

terjadi peningkatan aktivitas fibroblas untuk mensintesis kolagen, sehingga meningkatkan

risiko terjadinya parut abnormal (Sjaifuddin, 2006).

12
Peningkatan level TGF-β1 sistemik berkolerasi dengan peningkatan fibrosit di sirkulasi.

Meskipun peningkatan level TGF-β1 sistemik memberi keuntungan pada cedera luka bakar,

namun pemanjangan ekspresi tersebut secara lokal pada daerah luka dapat menyebabkan

terbentuknya parut hipertrofik, dengan meningkatkan fibrosis, menurunkan regulasi dari

decorin, meningkatkan regulasi dari versican, meningkatkan neovaskularisasi, dan

menurunkan aktivitas kolagenase (Hawkins, Jay, & Finnerty, 2018).

Pada parut hipertrofik ditemukan perbedaan signifikan pada fenotipe dari fibroblas.

Fibroblas pada parut hipertrofik lebih banyak mensintesis TGF-β dan kolagen secara

konsisten dan cepat dibanding pada kulit atau parut normal. Fibroblas yang berada pada

lapisan deep dermal memiliki karakteristik meningkatkan sintesis kolagen dengan

menurunkan aktivitas kolagenase, memperlambat proliferasi, dan meningkatkan ekspresi

aktin dari α-smooth muscle bila dibandingkan dengan superficial fibroblas. Analisis gen

fibroblas pada parut hipertrofik menunjukkan pengurangan respon pada IL-6 dibanding pada

kulit normal. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan aktivasi reseptor dapat menjadi faktor

terbentuknya parut hipertrofik (Hawkins, Jay, & Finnerty, 2018).

Kegagalan proses normal dari sintesis kolagen dan pembentukan matriks ditemukan

pada parut hipertrofik. Didapatkan peningkatan aktivitas myofibroblas yang prominen pada

parut hipertrofik dibanding parut normal, yang diduga memiliki peran pada kontraksi luka

yang berlebihan (Hawkins, Jay, & Finnerty, 2018).

Bila tidak di terapi dengan baik, jaringan parut luka bakar berpotensi menjadi tebal dan

meninggi, menghasilkan parut hipertrofik. Semakin dalam derajat kedalaman luka bakar

maka risiko terjadi parut hipertrofik akan semakin meningkat. Semakin lama luka dibiarkan

terbuka juga akan meningkatkan risiko pembentukan parut hipertrofik (Serghiou, et al.,

2018). Parut hipertrofik paska luka bakar akan terbentuk pada 8-12 minggu setelah penutupan

luka dan akan mengalami maturasi dalam 2 tahun atau lebih dan berakhir menjadi parut yang

13
datar tanpa gejala lain. Pada parut hipertrofik sering dijumpai warna kulit abnormal berupa

depigmentasi atau hiperpigmentasi (Hawkins, Jay, & Finnerty, 2018).

Beberapa faktor yang menyebabkan terbentuknya parut hipertrofik antara lain infeksi

pada luka; genetik, 75% terjadi pada ras hitam, kaukasian, dan hispanic; faktor imunologis;

pengambilan donor skin graft yang berulang; usia; proses inflamasi kronis; lokasi cedera; dan

tension (Serghiou, et al., 2018).

2.2.3 Penilaian Parut Hipertrofik

Secara klinis terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk menilai parut.

Vancouver Scar Scale adalah salah satu cara menilai parut yang telah teruji pada parut luka

bakar. Pada Tabel 2.3 dapat dilihat parameter yang dinilai, antara lain konsistensi

(fleksibilitas), tebal, vaskularisasi, dan pigmentasi (warna). Setiap parameter di nilai,

kemudian hasil penilaiannya dijumlahkan. Total nilai dari rentang 0 sampai 14, semakin

tinggi nilai maka semakin jelek kualitas jaringan parut. Selain menilai dengan skor, dilakukan

pengisian lokasi parut sesuai letak anatomi menggunakan diagram tubuh dan ukuran parut

secara 3 dimensi, yaitu panjang, lebar, dan tinggi. Fotografi dilakukan untuk membandingkan

efektivitas terapi. Beberapa modifikasi menambahkan keluhan subjektif penderita berupa

gatal dan nyeri.

Tabel 2.3 Penilaian parut menggunakan Vancouver Scar Scale


Konsistensi/ Fleksibilitas 0 Normal

1 Lentur

2 Lunak

3 Keras

4 Padat
Ketinggian 0 Normal

1 1-2 mm

2 3-4 mm

14
3 5-6 mm

4 >6 mm
Vaskularisasi 0 Normal

1 Merah muda

2 Merah

3 Ungu
Pigmentasi 0 Normal

1 Hipopigmentasi

2 Campuran

3 Hiperpigmentasi

Penjelasan parameter yang digunakan untuk menilai parut adalah sebagai berikut:

a. Konsistensi

Konsistensi, tekstur dan perluasan merupakan keadaan yang diamati dari parut.

0 : normal

1 : supel, lentur dengan sedikit tahanan

2 : lunak, ikut dengan penekanan

3 : keras, tidak dapat digerakkan, resisten terhadap penekanan

4 : padat, menimbulkan alur kepucatan yang meregang tetapi tidak mengganggu

pergerakan

5 : kontraktur, parut yang menimbulkan gangguan terbatasnya gerakan

b. Ketinggian

Merupakan salah satu parameter pada Vancouver Scar Scale.

0 : normal, sejajar permukaan kulit sekitar

1 : 1-2 mm

2 : 3-4 mm

3 : 5-6 mm

15
4 : >6 mm

c. Warna/ Vaskularisasi

Merupakan parameter untuk menilai derajat bendungan dan vaskularisasi parut.

0 : warna normal mendekati warna kulit tubuh penderita

1 : merah muda. Warna ini diamati pada proses pematangan yang akan menjadi

tanda timbulnya parut abnormal.

2 : merah. Menandakan hipervaskularisasi pada jaringan parut. Warna ini menjadi jelas

setelah 4-8 minggu paska luka terjadi, biasanya disertai peninggian dari parut.

3 : ungu. Warna ini merupakan keadaan hipervaskuler. Seperti luka bakar atau fase awal

terjadinya keloid.

d. Pigmentasi

Parameter ini digunakan untuk menilai perbedaan derajat kedalaman dari cedera.

0 : normal

1 : hipopigmentasi

2: campuran

3 : hiperpigmentasi

Parut juga dapat dievaluasi dengan menggunakan beberapa alat, antara lain

colorimeters atau spectrophotometers, laser doppler imaging, pneumatonometers,

cutometers, atau ultrasound. Parameter yang diukur antara lain warna, perfusi, kelenturan,

elastisitas, atau ketebalan parut. Alat-alat tersebut menggunakan prosedur non invasif, mudah

digunakan, dan dapat menilai luka secara objektif dengan cara yang teruji. Meskipun

didapatkan kurangnya konsensus mengenai standarisasi alat yang paling tepat untuk

digunakan, kombinasi teknologi dengan klinis dapat memperbaiki penilaian parut (Finnerty,

et al., 2016).

2.2.4 Pencegahan

16
Upaya pencegahan terjadinya parut abnormal merupakan hal yang penting dalam

penanganan penderita luka bakar. Prinsip pencegahan timbulnya parut abnormal adalah

dengan menegakkan diagnosis dan memperkirakan secara dini masalah jaringan parut yang

akan timbul saat parut masih imatur. Prosedur pembedahan tidak tension, menghindari insisi

pada area sternal dan persendian, memastikan luka sesuai dengan garis lipatan kulit atau

relaxed skin tension lines (RSTLs) merupakan tindakan yang dianjurkan untuk mencegah

timbulnya parut hipertrofik. Inflamasi juga berkontribusi pada pembentukan parut hipertrofik,

sehingga harus dilakukan upaya untuk meminimalisasi respons inflamasi dengan memastikan

pembedahan bersih dan perawatan luka yang baik untuk mencegah infeksi (Rabello, Souza,

& Junior, 2014).

Menurut Perdanakusuma (2017), beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk

mencegah timbulnya parut hipertrofik adalah sebagai berikut :

1. Teknik pembedahan yang baik, antara lain :

 Menghormati jaringan

 Menghindari dead space

 Menghindari hematoma

 Menghindari kematian jaringan yang berlebih

 Penggunaan elektrokoagulasi dengan halus

 Mencegah kekeringan daerah pembedahan yang terbuka terlalu lama

 Memakai desinfektan yang tidak mengiritasi

 Penggunaan absorbable suture seminimal mungkin

 Pertemuan tepi luka yang tepat

 Insisi searah dengan garis lipatan kulit

 Simpul jahitan jangan terlalu kencang

 Pertahankan luka jahitan dalam keadaan lembap


17
 Pengangkatan jahitan dilakukan setelah pertautan tepi luka cukup kuat

 Imobilisasi yang adekuat untuk menahan regangan

2. Manajemen luka yang baik dengan mencegah terjadinya infeksi, karena infeksi akan

memperlambat proses penyembuhan luka dan akan meningkatkan risiko terjadinya

parut hipertrofik.

3. Perhatian khusus dilakukan pada penderita yang berisiko tinggi timbul parut abnormal,

misalnya pada penderita yang memiliki riwayat timbul parut abnormal setelah

pembedahan atau luka.

Parut hipertrofik yang disebabkan oleh luka bakar akan menjadi masalah ketika

mengganggu fungsi atau pergerakan persendian, terutama pada sendi ektremitas maupun

wajah. Pada luka bakar yang luas dan dalam cenderung terjadi parut hipertrofik dan

penutupan dini luka dengan skin grafting akan memperbaiki kualitas kulit serta mengurangi

durasi perawatan di rumah sakit.

Pencegahan terjadinya parut hipertrofik pada pasien luka bakar dapat dilakukan dengan

eksisi atau membuang jaringan nekrotik (eschar) secara dini disertai penutupan luka dengan

skin grafting. Eksisi yang agresif dan skin grafting secara dini akan mempercepat proses

penyembuhan luka dan mengurangi terjadinya pembentukan parut. Pada fase penyembuhan

luka dianjurkan pemasangan splinting pada posisi fungsional dan dilakukan mobilisasi dini

serta fisioterapi untuk mencegah terjadinya kontraktur (Perdanakusuma, 2017). Penggunaan

terapi compression sejak awal juga dapat mencegah terjadinya parut yang jelek (Tredget,

Shupp, & Schneider, 2017). Pemasangan splint dijelaskan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Pemasangan splint pada area yang berisiko terjadi kontraktur

(Perdanakusuma, 2017)
Area Posisi fungsional Splint Tambahan
Leher Netral atau sedikit Neck conformer Tidur tanpa bantal di

ekstensi splints kepala

18
Netral rotasi Triple component Bantal kecil untuk

neck splint leher


Bahu Netral rotasi/ elevasi Figure-of-eight soft Soft vertical roll di

splint skapula
Aksila Abduksi: 70o-80o Airplane-splint Arm through

Abduksi horisontal Meja ditepi tempat

15o-20o tidur

Abduction wedge
o o
Siku Ekstensi: -5 to -10 Volar based

Lengan bawah: netral- extension splint

supinasi
Pergelangan Netral- sedikit ekstensi Intrinsic-plus-splint

tangan Netral-deviasiradial/ Wrist cock-up

ulnar
Tangan Luka bakar di dorsal Intrinsic-plus-splint K-wire

sendi MCP fleksi 50o- C-bar for thumb Sisipan disela jari

70o

Ekstensi sendi IP
Luka bakar palmar Hand extension

Ekstensi MCP dan IP splint

Abduksi ibu jari Halo or horseshoe

Abduksi jari splint

Proses pembentukan jaringan parut hipertrofik dipengaruhi oleh mediator humoral dan

seluler. Pada proses penyembuhan luka, salah satu fungsi dari growth factor atau cytokines

adalah meningkatkan proliferasi seluler, diferensiasi, dan migrasi dari keratinosit pada

epidermis serta perekrutan sel inflamasi. Penggunaan basic fibroblast growth factor (bFGF)

dapat menjadi peran penting dalam proses penyembuhan luka, yaitu dengan mengaktifkan

makrofag lokal secara berkepanjangan hingga fase remodelling dan juga mempengaruhi

perekrutan sel inflamasi dan interaksi dengan keratinosit.

19
Konsentrasi bFGF pada cairan luka bakar yang terbatas pada lapisan dermis lebih

rendah dibandingkan luka akibat pembedahan atau luka yang lebih dalam dari lapisan dermis,

sehingga mengurangi aktivitas proliferasi sel endotel dan kemotaktik. Penggunaan silicone

gel pada kultur normal atau fetal fibroblas meningkatkan bFGF dan dapat mencegah

terjadinya parut hipertrofik. Luka yang diterapi dengan bFGF menghasilkan jaringan parut

yang lebih lunak secara signifikan pada satu tahun setelah penutupan luka (Akita, 2005).

Pemberian bFGF menunjukkan imunolokalisasi endogen di lapisan dermis luka bakar

partial-thickness dari hari ke 4 hingga hari ke 11. bFGF berpartisipasi dalam proses

penyembuhan luka di kulit dengan cara mengaktivasi makrofag lokal hingga beberapa

minggu setelah luka terjadi (fase remodelling). bFGF pada luka bakar diduga merupakan

presintesis mediator yang dilepaskan secara lokal di lokasi luka, sehingga dapat memiliki

peran penting pada awal proses penyembuhan luka. Pada pasien dewasa dengan luka bakar

derajat 2, pemberian bFGF topikal dalam waktu 5 hari setelah terjadi luka menunjukkan

regenerasi dari jaringan granulasi secara signifikan dan terjadi pembentukan vaskularisasi

baru pada randomized-control clinical trial (Akita, 2010).

2.2.5 Terapi

Parut hipertrofik terjadi beberapa minggu setelah luka bakar, ukuran akan meningkat

dengan cepat dalam 3-6 bulan, dan setelah fase statis, akan mengalami regresi. Parut akan

bermaturasi sekitar 2-5 tahun. Indikasi terapi pasien dengan parut hipertrofik paska luka

bakar harus didasarkan dengan ada tidaknya kontraktur yang menyertai. Terapi pembedahan

harus dipilih pada kasus parut hipertrofik dengan kontraktur. Tujuan pembebasan skar

kontraktur dengan pembedahan adalah memperbaiki fungsi persendian dan dapat

mengakselerasi maturasi jaringan sekitar yang masih imatur. Namun pada parut hipertrofik

kecil dan linier dengan kontraktur ringan, dapat diterapi dengan eksisi total atau dengan terapi

kombinasi non bedah. Parut hipertrofik yang berulang dapat diterapi dengan menggunakan

20
algoritma penanganan keloid, yaitu dengan terapi kombinasi pembedahan dan terapi non

bedah (seperti radiasi atau injeksi kortikosteroid). Tindak lanjut jangka panjang dan terapi

konservatif dibutuhkan untuk pemulihan fungsional dan kosmestik (Ogawa, Akaishi, &

Kinoshita, 2010).

Gambar 2.5 Algoritma parut hipertrofik paska luka bakar

(Sumber: Ogawa, Akaishi, & Kinoshita, 2010)

2.2.41 Terapi Bedah

21
Berdasar algoritma parut hipertrofik paska luka bakar (Gambar 2.5), pada kasus parut

hipertrofik dengan kontraktur berat (tipe 1) dan parut hipertrofik yang lebar/ luas (tipe 2a)

dapat dilakukan pembebasan kontraktur secara parsial atau eksisi total. Setelah pembebasan

kontraktur, defek dapat ditutup dengan flap atau skin graft. Penutupan defek dengan flap

lebih efektif mencegah terjadinya parut hipertrofik berulang dibanding skin graft. Meskipun

hanya pembebasan kontraktur parsial maupun eksisi kecil pada kontraktur, transferred flap

dapat diperluas secara bertahap, dan dapat mengakselerasi maturasi dari jaringan parut sekitar

yang masih imatur. Penutupan defek dengan skin graft juga bermanfaat untuk defek luas pada

area kontur yang sensitif seperti pada punggung tangan (Ogawa, Akaishi, & Kinoshita, 2010).

Pada pasien dengan parut hipertrofik kecil atau linier dengan kontraktur ringan (tipe

2b) dapat dilakukan eksisi total. Desain yang dapat digunakan antara lain elips, z-plasty, w-

plasty, dan geometric broken line closure (GBLC) dan menggunakan teknik jahit

subcutaneous/ fascia tensile reduction (Gambar 2.6). Dengan desain dan teknik tersebut

diharapkan dapat dilakukan penutupan primer (Perdanakusuma, 2017).

Gambar 2.6 Penggunaana z-plasty pada kontraktur tangan

(Sumber: Culnan, et al, 2018)

2.2.42 Terapi Non Bedah

22
Pasien dengan parut hipertrofik tanpa kontraktur secara alami akan membaik selama

proses maturasi parut, sehingga penanganan non bedah menjadi pilihan terapi. Banyak

pilihan terapi non bedah yang dapat mempercepat proses maturasi dan juga mengurangi

beberapa gejala seperti iritasi, nyeri, gatal, kemerahan, dan ketebalan parut. Penggunaan

terapi non bedah harus dilakukan dengan kombinasi untuk mempercepat proses

penyembuhan. Berikut beberapa modalitas yang sering digunakan untuk penanganan parut

hipertrofik :

a. Compression Theraphy

Terapi compression (penekanan) sudah digunakan untuk menangani parut hipertrofik

dan keloid sejak tahun 1970an dan hingga saat ini menjadi standar lini pertama untuk parut

luka bakar di berbagai senter. Beberapa macam dalam metode ini adalah anting-anting

penekan, kancing penekan, elastic bandage, lycra bandages dan compression

wrap/compression garment. Tekanan yang direkomendasikan adalah sebesar 24-30 mmHg,

dipasang 18-24 jam/ hari selama 6-12 bulan. Terapi tekanan direkomendasikan pada pasien

luka bakar yang perkiraan penyembuhan lukanya memerlukan waktu lebih dari 10-14 hari

dan memerlukan skin grafting.

Tekanan menyebabkan hipoksia jaringan sehingga mengurangi fibroblas, dan juga

menurunkan alfa macroglobulin yang berperan dalam menghambat kolagenase untuk

mendegradasi kolagen. Garment digunakan segera setelah luka tertutup epitel, sehingga

tekanan akan menurunkan aliran darah parut, menurunkan deposisi protein, meningkatkan

lisis dan menurunkan edema. Garment yang ketat akan meningkatkan temperatur parut

sebesar 10C, yang secara signifikan dapat meningkatkan kolagenolisis dan pematangan parut

(Perdanakusuma, 2017).

b. Silicone Gel Sheeting

23
Silicone gel sheeting telah digunakan secara luas pada penanganan parut hipertrofik

sejak awal tahun 1980an. Meskipun mekanisme pasti belum diketahui, cara ini menunjukkan

perbaikan kontur parut, warna, dan tekstur. Penggunaan silicone gel dapat mempertahankan

fungsi barrier dari stratum korneum dengan mengurangi transepidermal water loss (TEWL),

sehingga menurunkan produksi dari kolagen oleh fibroblast (Shirakami, Yamakawa, &

Hayashida, 2020). Didapatkan bukti yang baik dan efektif pada penggunaan silicone gel

sheeting, sehingga dijadikan standar dalam perawatan parut (Signorini & Clementoni, 2007).

Penggunaan silicone gel sheetings yang direkomendasikan adalah 12-24 jam/ hari selama 6-

12 bulan, dengan penghentian penggunaan sementara bila terdapat efek samping (Rabello,

Souza, & Junior, 2014).

Meskipun penggunaan silicone gel sheeting efektif untuk penanganan parut hipertrofik,

namun kepatuhan pasien mungkin tidak memuaskan karena alasan berikut: reaksi kulit

terhadap tape yang digunakan untuk fiksasi, keringat berlebihan, kesulitan dalam pemakaian,

dan visibilitas perawatan dalam kasus bekas luka yang terletak di area yang terlihat seperti

wajah (Karagoz, et al., 2009).

c. Injeksi Kortikosteroid

Penggunaan injeksi kortikosteroid untuk penanganan parut hipertrofik telah dilakukan

sejak tahun 1960an. Konsensus internasional mengakui bahwa injeksi kortikosteroid efektif

sebagai terapi lini pertama untuk keloid dan lini kedua untuk parut hipertrofik jika cara yang

lebih mudah gagal. Meskipun mekanisme kerjanya masih belum jelas, beberapa teori

mengatakan bahwa injeksi kortikosteroid dapat mereduksi sintesis kolagen dan

glikosaminoglikan melalui reduksi mediator inflamasi dan proliferasi fibroblas, serta

meningkatkan hipoksia jaringan.

Triamcinolone acetonide adalah sediaan injeksi kortikosteroid yang sering digunakan.

Injeksi triamcinolone intralesi dengan dosis 10-40 mg/ml dilakukan dengan interval 4-6

24
minggu. Injeksi kortikosteroid dapat menyebabkan efek samping nyeri, maka bila perlu dapat

ditambahkan anestesi lidokain atau cryosurgery selama 10-15 detik. Hasil terapi akan baik

bila dilakukan kombinasi dengan terapi lain. Efek samping pada injeksi kortikosteroid dapat

berupa atrofi kulit, depigmentasi, dan telangiektasi (Perdanakusuma, 2017).

d. Laser

Studi penggunaan laser untuk parut hipertrofik telah dilakukan secara luas. Laser secara

umum dapat mengurangi parut hipertrofik dengan cara mengurangi eritema, mengurangi

tebal parut, dan meningkatkan kelenturan. Selain itu juga dapat mengurangi rasa nyeri,

pruritus, warna dan kontur abnormal (Finnerty, et al., 2016). Penggunaan pulse dye laser

(PDL) atau Nd: YAG laser efektif untuk terapi luka paska luka bakar. Meskipun demikian,

penggunaan laser sebagai terapi tunggal bukan merupakan terapi yang ideal, namun akan

menguntungkan secara signifikan bila dikombinasikan dengan terapi multimodal yang lain

(Ogawa, Akaishi, & Kinoshita, 2010).

Pulse dye laser (PDL) dan Nd: YAG bekerja dengan cara mengurangi angiogenesis

yaitu dengan menginduksi nekrosis pada kapiler dengan fototermolisis, sehingga dapat

mengurangi volume parut, eritema, kelunakan, rasa gatal dan pruritus (Wang, et al., 2018).

Terapi PDL dengan panjang gelombang 585 atau 595 nm dapat dilakukan 2-3 kali dengan

interval sekitar 6 minggu – 6 bulan paska luka bakar untuk mendapat hasil yang baik

(Shirakami, Yamakawa, & Hayashida, 2020). Laser Nd: YAG dengan panjang gelombang

1320 nm secara in vitro menurunkan kolagen dengan menghambat produksi kolagen secara

selektif. Saat ini PDL merupakan terapi laser pilihan utama untuk penanganan parut

hipertrofik (Perdanakusuma, 2017).

Studi terbaru, penggunaan non-ablative fractional laser (NAFL) dan ablative

fractional laser (AFL) telah menjadi strategi baru untuk pengobatan parut. Mekanisme secara

pasti masih belum diketahui, namun teori menyebutkan pengaruhnya terhadap sekresi

25
berbagai sitokin dan growth factors. NAFL secara spesifik efektif untuk mengobati parut

atrofi, datar atau matur. Suatu uji klinis menunjukkan pengobatan luka bakar dengan NAFL

dapat memperbaiki kualitas parut secara signifikan selama 6 bulan follow up, dan analisis

histologis didapatkan kolagen yang menyerupai kulit normal. Namun, pengobatan parut

paska luka bakar dengan AFL memicu reaksi neocollagenesis dan tissue-rearrangement yang

lebih kuat dibandingkan dengan NAFL (Wang, et al., 2018).

e. Radiotherapy

Radiotherapy telah digunakan sebagai terapi tunggal maupun kombinasi dengan

pembedahan untuk parut hipertrofik dan keloid, meskipun masih didapatkan kontroversi

dalam penggunaannya sebagai terapi tunggal. Kombinasi eksisi parut hipertrofik dilanjutkan

dengan radiotherapy efektif mencegah terjadinya rekurensi jaringan parut (Shirakami,

Yamakawa, & Hayashida, 2020). Hasil terbaik didapatkan dengan 1500-2000 rad sampai 5-6

sesi pada periode paska pembedahan. Efek samping yang paling sering ditemukan adalah

hiperpigmentasi (Perdanakusuma, 2017).

f. Cryotherapy

Cryotherapy pertama kali diperkenalkan tahun 1899. Prinsip cryotherapy adalah

melakukan freezing terhadap lesi menggunakan liquid nitrogen yang menyebabkan kerusakan

sel dan mikrovaskuler, Liquid nitrogen pada suhu -195,80C atau -320,40C diaplikasikan

dengan cotton swab selama 4 detik sampai 2 menit. Hal ini akan membuat parut menjadi

lebih datar. Efek samping dari prosedur ini antara lain hipopigmentasi atau hiperpigmentasi,

atrofi kulit, dan nyeri (Perdanakusuma, 2017).

g. Antihistamin

Golongan H1 blocker seperti mepyramin dan promethazine dapat mengurangi

kandungan kolagen. Pemberian antihistamin membantu mencegah pembentukan parut yang

berlebih (Perdanakusuma, 2017).

26
h. Topical Retinoic Acid/ Tretinoin (Derivat Vitamin A)

Studi in vitro pada pemakaian retinoic acid menunjukan reduksi dari metabolisme

kolagen. Pada studi in vivo didapatkan reduksi dari parut hipertrofik dan keloid pada 50-

100% pasien yang diberikan tretinoin atau retinoic acid. Uji klinis yang dilakukan pada 28

penderita keloid dan parut hipertrofik menunjukkan hasil yang baik sebesar 77-79%, volume

parut mengecil dan keluhan pasien berkurang. Pengaplikasian retinoic acid yaitu 2 kali sehari

selama 3 bulan (Perdanakusuma, 2017).

i. Injeksi Interferon

Terapi dengan interferon merupakan terapi yang menjanjikan di masa depan. Interferon

alfa (IFN-α), beta (IFN-β) dan gamma (IFN-γ) dapat menurunkan sintesis kolagen tipe I dan

III melalui reduksi RNA seluler, serta meningkatkan penghancuran kolagen. Pada pemberian

injeksi IFN-α2β 3 kali dalam seminggu, didapatkan hasil yang signifikan pada perbaikan

parut hipertrofik dibandingkan dengan kontrol, serta terjadi pengurangan serum TGF-β

setelah terapi. Pemberian injeksi intralesi IFN-γ dengan dosis 0,001 mg atau 0,1 mg setiap

minggu didapatkan respon lebih dari 50% berupa penurunan tinggi parut (Perdanakusuma,

2017).

j. Bleomisin Intralesi

Bleomisin sulfate pertama kali diperkenalkan oleh Bodokh dan Brun pada tahun 1996

sebagai salah satu pilihan terapi keloid dan parut hipertrofik. Bleomisin bekerja dengan cara

menghambat sintesis deoxyribonucleic acid (DNA). Bleomisin merupakan turunan strain

Streptomyces yang mempunyai efek antitumor, antivirus, dan antibakteri. Pada pengamatan

histologi, bleomisin menyebabkan nekrosis dari keratinosit. Namun demikian, mekanisme

kerja bleomisin dalam meregresi keloid ataupun parut hipertrofik masih belum jelas (Rabello,

Souza, & Junior, 2014).

27
Didapatkan pengurangan volume keloid pada 84% dari 31 pasien keloid yang

mendapat bleomisin intralesi dengan dosis 1,5 IU/ml dengan multiple puncture method

selama 1 bulan. Pada penderita dengan parut yang lama dan resisten terhadap kortikosteroid,

injeksi bleomisin 0,01% setiap 3-4 minggu menunjukkan respon yang baik (Perdanakusuma,

2017).

k. 5 Fluorouracil (5-FU) Intralesi

5-FU merupakan terapi pilihan parut hipertrofik karena dapat menginduksi apoptosis

pada matrix metalloproteinase-2 dan menurunkan produksi kolagen tipe 1. Hasil pengamatan

dari pemberian 5-FU dengan konsentrasi 50mg/ml selama 12 minggu dan di follow up hingga

24 minggu menunjukkan penghambatan proliferasi fibroblast 0,5-2 ml/ minggu

(Perdanakusuma, 2017).

l. Anti TGF-β

Saat ini penelitian upaya menghambat TGF-β sedang dilakukan. TGF-β mempunyai

peran penting dalam pembentukan parut pada proses penyembuhan luka. Studi pada binatang

menunjukkan penghambatan TGF-β terjadi melalui reseptor mannose-6-phosphate ditambah

dengan TGF-β isoform, dan didapatkan hasil yang baik. Percobaan pada manusia sedang

dikembangkan menggunakan strategi ini (Perdanakusuma, 2017).

m. Terapi Kombinasi Triamcinolone dan 5 Fluorouracil (5-FU)

Saat ini terapi kombinasi triamcinolone (TAC) dengan 5-FU cukup popular karena

memberikan hasil yang baik pada parut hipertrofik. TAC secara signifikan mensupresi

proliferasi sel dan ekspresi TGF-B1, sedangkan 5-FU menginduksi apoptosis pada matrix

metalloproteinase-2 dan menurunkan produksi kolagen tipe 1, sehingga kombinasi keduanya

menghasilkan efek yang sinergis (Nischwitz, et al., 2020). Dosis yang digunakan pada

kombinasi TAC dan 5-FU adalah 1:1 sampai 1:9. Dosis diberikan 2-4 minggu sekali dan

dapat diberikan beberapa sesi sesuai kebutuhan (Perdanakusuma, 2017).

28
n. Depigmentasi

Didapatkan penurunan kandungan kolagen serta perlunakan, perubahan warna yang

lebih terang, ukuran parut mengecil serta keluhan pasien berkurang pada hasil penelitian

eksperimental laboratorium, observasional maupun uji klinis. Mekanisme kerja depigmentasi

adalah dengan menurunkan kandungan melanin dermis, membuat kondisi basa sehingga

aktivitas enzim kolagenase untuk mendegradasi kolagen menjadi optimal. Dengan

optimalnya aktivitas enzim kolagase, maka penumpukan kolagen secara perlahan akan

menurun dan volume parut akan mengecil (Perdanakusuma, 2017).

o. Make-Up Therapy

Terapi make-up atau camouflage dapat dipertimbangkan dalam manajemen stres

psikologis penderita, karena terapi ini dapat memperbaiki penampilan estetik luka dan

perubahan psikologis pasien meskipun hal ini perlu dibuktikan secara ilmiah (Ogawa,

Akaishi, & Kinoshita, 2010). Beberapa keuntungan dengan terapi make-up antara lain

prosedur yang non-invasif, pasien dengan kelainan organ dalam bisa mendapatkan terapi ini;

biaya yang ringan, tidak ada alat atau bahan khusus, hanya kosmetik standar yang diperlukan;

mudah dihilangkan, apabila pasien tidak suka dengan tampilannya, maka dapat dihapus

dengan mencuci muka. Oleh karena itu, terapi make-up merupakan pilihan yang baik untuk

penanganan jaringan parut, khususnya pada pasien yang hampir menyelesaikan operasi

pembedahannya (Aoki & Kazki, 2010).

29
BAB 3

PENUTUP

Pada penanganan luka bakar, selain penanganan pada fase akut dan subakut, juga

perlu memperhatikan manajemen parut paska luka bakar. Parut luka bakar dapat

menyebabkan kecacatan seumur hidup yang sering kali mendapat stigma dan penolakan di

masyarakat serta menyebabkan stres fisik, psikologis maupun sosial ekonomi.

Upaya pencegahan terjadinya parut hipertrofik pada luka bakar dapat dilakukan

dengan eksisi atau membuang jaringan nekrotik (eschar) secara dini disertai penutupan luka

dengan skin grafting. Hal ini akan mempercepat proses penyembuhan luka dan mengurangi

terjadinya pembentukan parut. Parut hipertrofik paska luka bakar dapat di terapi kombinasi

dengan pembedahan atau non bedah sesuai dengan indikasi ada atau tidaknya kontraktur yang

menyertai.

Sampai saat ini mekanisme pembentukan parut hipertrofik masih belum diketahui

dengan jelas. Berbagai teori dikemukakan, namun masih perlu dikaji mengenai pembuktian

ilmiahnya. Tantangan dalam pengobatan parut hipertrofik paska luka bakar terletak pada

penemuan baru target terapi dengan pemahaman proses pembentukan jaringan parut agar

dapat memberikan hasil yang optimal.

30
DAFTAR PUSTAKA

(Akhtar, et al., 2015).

(Mendonca, et al., 2015).

Mendonca, Derick., et al., 2015. Fronto-orbital advancement: Revisited. Journal of Cleft Lip
Palate and Craniofacial Anomalies, pp. 20-6.

Akhtar, S.M., et al., 2015. Epidemiology and outcome of chemical burn patients admitted in
burn unit of JNMC hospital, aligarh muslim university, aligarh, uttar pradesh, India: a
5-year experience. Journal of Family Medicine and Primary Care, 4: pp. 106-9.
Akita, S., Akino, K., Imaizumi, T., Hirano, A., 2005. A basic fibroblast growth factor
improved the quality of skin grafting in burn patients. Burns, 31: pp. 855–858.
Akita, S., 2010. Prevention of scar using bFGF. In: Hyakusoku, H., Orgill D.P., Teot, L.,
Pribaz, J.J., Ogawa, R., eds., Color atlas of burn reconstructive surgery, Dordrecht:
Springer, pp. 62-71.
Aoki, R., Kazki, R., 2010. Make-up therapy for burn scar patients. In: Hyakusoku, H., Orgill
D.P., Teot, L., Pribaz, J.J., Ogawa, R., eds., Color atlas of burn reconstructive surgery,
Dordrecht: Springer, pp. 82-88.
Capek, K.D., Sirvent, R.Z., Huang, T.T., 2018. Management of contractural deformities
involving the shoulder (axilla), elbow, hip and knee joints in burned patients. In:
Herndon, D.N., ed., Total burn care, 5th ed, Edinburgh: Elsevier, pp. 573-588.
Cheng, W., Wang, S., Shen, C., Zhao, D., Li, D., Shang, Y., 2018. Epidemiology of
hospitalized burn patients in China: a systematic review. Burns Open, 2(1): pp. 8-16.
Culnan, D.M., Capek, K.D., Huang, T., Lineweaver, W., 2018. Acute and reconstructive care
of the burned hand. In: Herndon, D.N., ed., Total burn care, 5th ed, Edinburgh:
Elsevier, pp. 589-608.
Feng, Y., et al., 2019. Direct and indirect roles of macrophages in hypertrophic scar
formation. Front. Physiol, 10: pp. 1101-1107.
Finnerty, C.C., Jeschke, M.G., Branski, L.K., Barret, J.P., Dziewulski, P., & Herndon, D.N,
2016. Hypertrophic scarring: the greatest unmet challenge after burn injury. The
Lancet, 388: pp. 1427–1436.
Gangemi, N., et al., 2008. Epidemiology and risk factors for pathologic scarring after burn
wounds. Arch Facial Plastic Surgery, 10(2): pp. 93-102.
Gundogan, B., Orgill, D.P., 2020. Basic science of wound healing and management of
chronic wounds. In: Chung, K.C., ed., Grabb and Smith's plastic surgery, 8th ed,
Philadelphia: Wolters Kluwer, pp. 21-57.
Hawkins, H.K., Jay, J., Finnerty, C.C., 2018. Pathophysiology of the burn scar. In: Herndon,
D.N., ed., Total burn care, 5th ed, Edinburgh: Elsevier, pp. 466-475.

31
Karagoz, H., Yuksel, F., Ulkur, E., Evinc, R., 2009. Comparison of efficacy of silicone gel,
silicone gel sheeting, and topical onion extract including heparin and allantoin for the
treatment of postburn hypertrophic scars. Burns, 35(8): pp. 1097-103.
Kwan, P., Desmouliere, A., Tredget, E.E., 2018. Molecular and cellular basis of hypertrophic
scarring. In: Herndon, D.N., ed., Total burn care, 5th ed, Edinburgh: Elsevier, pp. 455-
465.
Nischwitz, S.P., et al., 2020. Evidence-based therapy in hypertrophic scars: an update of a
systematic review. Wound Repair and Regeneration, 28: pp. 656–665.
Ogawa, R., Akaishi, S., Kinoshita, K., 2010. Treatments for post-burn hypertrophic scars. In:
Hyakusoku, H., Orgill D.P., Teot, L., Pribaz, J.J., Ogawa, R., eds., Color atlas of burn
reconstructive surgery, Dordrecht: Springer, pp. 76-81.
Payne, W.G., Smith, D.J., 2020. Management of scars. In: Chung, K.C., ed., Grabb and
Smith's plastic surgery, 8th ed, Philadelphia: Wolters Kluwer, pp. 58-88.
Perdanakusuma, D.S., 2017. Penanganan parut hipertrofik dan keloid. Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.
Rabello, F.P., Souza, C.D., Junior, J.A.F., 2014. Update on hypertrophic scar treatment.
Clinics, 69(8): pp. 565-573.
Serghiou, M.A., Ott, S., Cowan, A., Offenberg, J.K., Suman, O.E., 2018. Burn rehabilitation
along the continuum of care. In: Herndon, D.N., ed., Total burn care, 5th ed,
Edinburgh: Elsevier, pp. 476-508.
Shirakami, E., Yamakawa, S., & Hayashida, K., 2020. Strategies to prevent hypertrophic scar
formation: a review of therapeutic interventions based on molecular evidence. Burns
& Trauma, pp. 1-8.
Signorini, M., Clementoni, M.T., 2007. Clinical evaluation of a new self-drying silicone gel
in the treatment of scars: a preliminary report. Aesthetic Plast Surg, 31(2): pp. 183-
187.
Sjaifuddin, N.M., 2006. Penanganan luka bakar. Surabaya: Airlangga University Press.
Tredget, E.E., Shupp, J.W., & Schneider, J.C, 2017. Scar Management Following Burn
Injury. Journal of Burn Care & Research, 38(3): pp. 146–147.
Tsai, C.H., Ogawa, R., 2019. Keloid research: current status and future directions. Scars,
Burns & Healing, 5: pp. 1-8.
Wang, Y., et al., 2018. Burn injury: Challenges and advances in burn wound healing,
infection, pain and scarring. Advanced Drug Delivery Reviews, 123: pp. 3–17.

32

Anda mungkin juga menyukai