Anda di halaman 1dari 13

Behavioristik Therapy

Latar Belakang Teori


Teori behavioristik muncul akibat adanya kritik terhadap teori sebelumnya yaitu
psikoanalisis. Psikoanalisa dinilai memandang manusia secara deterministik sehingga
dianggap melemahkan martabat kemanusiaan sebagai individu yang penuh dinamika dan
memiliki kebebasan. Selain itu, Pendekatan psikoanalisa juga klinis dan mementingkan
energi-energi psikis dan kurang mengakui aspek kognitif. Posisi individu hanya ditentukan
oleh model perkembangan pada masa kanak-kanak. Oleh sebab itu muncul teori baru yang
memiliki cara pandang berbeda dengan psikoanalisa. Pada tahun 1950-an banyak eksperimen
yang dilakukan oleh psikolog dan terapis dalam upaya pengembangan potensi manusia, Salah
satu temuan baru yang didapatkan adalah menganggap pentingnya faktor belajar pada
manusia, di mana untuk memperoleh hasil belajar yang optimal diperlukan reinforcement
sehingga teori ini menekankan pada dua hal penting yaitu learning dan reinforcement serta
tercapainya suatu perubahan perilaku (behavior). Dalam perkembangan lebih lanjut teori ini
dikenal dengan behavior therapy dalam kelompok paham behaviorisme, yang dikembangkan
melalui penelitian eksperimental.
Sejarah Perkembangan
1954, istilah pendekatan behavior pertama kali digunakan oleh Lindzey, dan
kemudian lebih dikenalkan oleh Lazarus pada tahun 1958. Istilah pendekatan tingkah laku
lebih dikenal di Inggris sedangkan di Amerika Serikat lebih terkenal dengan istilah behavior
modification. Di kedua negara tersebut pendekatan tingkah laku terjadi secara bersamaan.
Pada tahun 1952 seorang psikolog Inggris yaitu H.J. Eysenck mempublikasikan tulisan
tentang terapi behavior. Di bawah pimpinan H.J. Eysenck, Jurusan Psikologi di Institut
Psikiatri memiliki dua bidang yaitu bidang penelitian dan bidang pengajaran klinis. Bidang
penelitian lebih mengembangkan dimensi tingkah laku untuk menjelaskan abnormalitas
tingkah laku yang dirumuskan oleh Eysenck, sedangkan dalam bidang pengajaran klinis
menyelenggarakan latihan bagi sarjana-sarjana psikologi klinis. Dalam tahap awal
perkembangannya batasan pendekatan behavior diberikan sebagai aplikasi teori belajar
modern pada perlakuan masalah-masalah klinis.
Setelahnya, muncul beberapa tokoh lagi yang ikut berkontribusi dalam perkembangan
teori behaviour ini. B.F. Skinner pada tahun 1953 dengan buku Science and Human
Behavior, Eksperimen Pavlov dengan classical conditioning dan Bekhterev dengan
instrumental conditioning-nya, Joseph Wolpe (1958) dengan bukunya Psychotherapy by
Reciprocal Inhibition dan masih banyak lagi.
Tokoh-Tokoh
1. Ivan Pavlov atau Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia
yaitu desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia
dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai
sarjana kedokteran dengan bidang dasar fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi direktur
departemen fisiologi pada institute of Experimental Medicine dan memulai penelitian
mengenai fisiologi pencernaan. Karyanya mengenai pengkondisian sangat
mempengaruhi psikology behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah Work of
Digestive Glands(1902) dan Conditioned Reflexes(1927). Ivan Pavlov menemukan
suatu jenis belajar yang dikenal sebagai pengkondisian klasik (classical conditioning)
adalah suatu proses belajar yakni stimulus netral dapat memunculkan respon baru
setelah dipasangkan dengan stimulus yang biasanya mengikuti respon tersebut.
Pavlov berhasil membuktikan bahwa melalui membunyikan bel sebelum
mengadakan percobaan makanan anjing. Setelah beberapa saat, anjing itu, yang
sebelumnya hanya mengeluarkan air liur saat mereka melihat dan memakan
makanannya, akan mulai mengeluarkan air liur saat bel itu berbunyi, bahkan jika tidak
ada makanan. Ivan meninggal di Leningrad pada tanggal 27 Februari 1936.
2. B.F. Skinner Lahir pada tahun 1904 dan dibesarkan di Susquehanna, Pennsylvania,
di lingkungan keluarga yang hangat dan harmonis. Pandangan Skinner akan
pengendalian prilaku didasarkan pada prinsip kondisioning operan, yang bertumpu
pada suatu asumsi bahwa perubahan prilaku tercipta mana kala perilaku itu diikuti
oleh semacam konsekuensi yang khusus. Skinner berpendapat bahwa kegiatan belajar
tidak akan ada tanpa suatu penguatan (reinforcement).
3. Albert Bandura Albert Bandura merupakan tokoh dari teori belajar sosial atau
belajar dengan mencontoh (observational learning). Menurut Bandura perilaku dapat
terbentuk melalui observasi model secara langsung yang disebut dengan imitasi dan
melalui pengamatan tidak langsung yang disebut dengan vicarious conditioning.
Perilaku manusia dapat terjadi dengan mencontoh perilaku di lingkungannya. Bandura
mengemukakan teori social learning setelah melakukan penelitian terhadap perilaku
agresif di kalangan kanak-kanak. Menurutnya, anak-anak berperilaku agresif setelah
mencontoh perilaku modelnya.
Dan masih banyak lagi tokoh behavioristik seperti Edward Lee Thorndike, Lazarus, John
Watson, dll
Konsep Behavioral Terapi
Dalam pandangan behavioral, kepribadian manusia itu pada hakikatnya adalah perilaku.
Perilaku dibentuk berdasarkan hasil dari segenap pengalamanya berupa interaksi individu
dengan lingkungan sekitarnya. Kepribadian seseorang merupakan cerminan dari pengalaman,
yaitu situasi atau stimulus yang diterimanya. Untuk itu memahami kepribadian individu tidak
lain adalah perilakunya yang tampak (Latipun, 2003: 85). Dari penjelasan tersebut dapat
dipahami bahwa perilaku merupakan bagian dari kepribadian manusia yang terbentuk oleh
pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Tingkah laku yang bermasalah dalam konseling behavioral adalah perilaku yang tidak
sesuai dengan yang diharapkan atau tidak sesuai dengan norma yang ada. Perilaku
bermasalah ini merupakan kebiasaan-kebiasaan negatif yang juga terbentuk dari hasil
interaksi dengan lingkungan. Tingkah laku bermasalah ada dua, yaitu tingkah laku yang
berlebih (excessive) dan tingkah laku yang kurang (deficit). Tingkah laku yang berlebihan
seperti terlalu banyak main game. Adapun tingkah laku yang deficit adalah terlambat masuk
sekolah, tidak mengerjakan tugas. Tingkah laku excessive dirawat dengan menggunakan
teknik konseling untuk menghilangkan atau mengurangi tingkah laku, sedangkan tingkah
laku deficit diterapi dengan menggunakan teknik meningkatkan teknik meningkatkan tingkah
laku.
Tujuan konseling behavioral berorientasi pada pengubahan atau modifikasi perilaku
konseli, yaitu membantu Konseli belajar perilaku baru dan mengeliminasi perilaku yang
maladaptive, dan memperkuat serta mempertahankan perilaku yang diinginkan.
Ciri-ciri Terapi Behaviorisme
Membahas konsep dasar tentang suatu teori atau pendekatan, tidak akan lepas dari
pembahasan tentang ciri-ciri atau karakteristik pendekatan tersebut. menurut Singgih, (2007:
194), menjelaskan ciri-ciri pendekatan Behavioral sebagai berikut:
1. Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat dirubah
2. Perubahan khusus terhadap lingkungan individual yang dapat membantu individu atau
sekelompok individu dalam merubah perilaku-perilaku yang tidak relevan. Sehingga
prosedur-prosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan
dalam perilaku konseli dengan merubah lingkungan
3. Prinsip-prinsip belajar sosial, dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-
prosedur konseling
4. Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-perubahan dalam
perilaku-perilaku khusus konseli diluar dari layanan konseling yang diberikan
5. Prosedur-prosedur konseling dapat secara khusus didesain untuk membantu konseli
dalam memecahkan masalah khusus.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahai bahwa perilaku menurut pendekatan Behavioral
merupakan keadaan yang terbentuk karena lingkungan. Ketika bentuk perilaku tersebut
negatif, maka dapat dirubah menggunakan prosedur-prosedur konseling.
Proses Terapi
1. Melakukan Asesmen ( Assement )
Bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan klien (untuk
mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola
hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya) Konselor
mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada
waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana yang
akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah. Menurut Kanker dan Saslow
terdapat tujuh informasi yang digali dalam asesmen, yaitu :
a. Analisis tingkah laku yang bermasalah yang dialami konseli saat ini
b. Analisis situasi yang didalamnya masalah konseli terjadi. Analisis ini mencoba
untuk mengidentifikasi peristiwa yang mengawali tingkah laku dan mengikutinya
(antecedent dan consequence) sehubungan dengan masalah konseli.
c. Analisis motivasional.
d. Analisis self control
e. Analisis hubungan sosial
f. Analisis lingkungan fisik sosial budaya. Analisis ini atas dasar norma-norma dan
keterbatasan lingkungan
Dalam kegiatan asesmen ini konselor melakukan analisis ABC
A = Antecedent (pencetus perilaku)
B = Behavior (perilaku yang dipermasalahkan)
Tipe tingkah laku
Frekuensi tingkah laku
Durasi tingkah laku
Intensitas tingkah laku
Data tingkah laku ini menjadi data awal (baseline data) yang akan dibandingkan dengan
data tingkah laku setelah intervensi.
C = Consequence (konsekuensi atau akibat perilaku tersebut).
2. Menetapkan Tujuan ( Goal Setting )
Konselor dan konseli menentukan tujuan konseling sesuai dengan kesepakatan
bersama berdasarkan informasi yang telah disusun dan dianalisis. Menurut Burks dan
Engelkes fase goal setting disusun atas tiga langkah yaitu :
a. Membantu konseli untuk memandang masalahnya atas dasar tujuan-tujuan yang
diinginkan.
b. Mempertahankan tujuan konseli berdasarkan kemungkinan hambatan-hambatan
situasional belajar yang dapat diterima dan dapat diukur.
c. Memecahkan tujuan kedalam sub-tujuan dan menyusun tujuan menjadi susunan
yang berurutan.
3. Impelentasi Teknik
Menentukan strategi belajar yang terbaik untuk membantu konseli mencapai
perubahan tigkah laku yang diinginkan. Konselor dan konseli mengimplementasikan
teknik-teknik konseling sesuai dengan masalah yang dialami oleh konseli (tingkah laku
excessive atau deficit).
4. Evaluasi dan Pengakhiran
Yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah
dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling. Terminasi
meliputi :
a. Menguji apa yang konseli lakukan terakhir.
b. Eksplorasi kemungkinan kebutuhan konseling tambahan.
c. Membantu konseli mentransfer apa yang dipelajari dalam konseling ke tingkah
laku konseli.
d. Memberi jalan untuk memantau secara terus menerus tingkah laku konseli.
Teknik-Teknik
Teknik konseling behavioral terdiri dari dua jenis, yaitu teknik untuk meningkatkan
tingkah laku dan untuk menurunkan tingkah laku. Berikut ini penjelasannya:
1. Operan kondisioning (Operant Conditioning)
Teknik ini bertujuan untuk memahami masalah klien dan mengubah penyebab
munculnya perilaku tertentu beserta konsekuensi yang didapatkan. Teknik ini dibagi
menjadi 5 metode, yakni:
a. Penguatan positif (Positive Reinforcement) adalah memberikan penguatan yang
menyenangkan setelah tingkah laku yang diinginkan ditampilkan yang bertujuan agar
tingkah laku yang diinginkan cenderung akan diulang, meningkat dan menetap
dimasa akan datang. Contoh : seorang anak diberikan hadiah saat ia mendapat juara
kelas, hal ini dapat mendorong sang anak untuk terus mempertahankan prestasi
belajarnya.
Terdapat tiga jenis reinforcement yang dapat digunakan untuk modifikasi tingkah
laku, yaitu:
1) Primary reinforce atau uncondition reinforce, yaitu reinforcement yang
langsung dapat dinikmati, bersifat almiah, dan berupa pemenuhan kebutuhan
biologis. Misalnya makanan dan minuman.
2) Secondary reinforce atau conditioned reinforce, stimulus yang berhubungan
dengan reinforcement positif atau reinforcement yang dipelajari. Terdapat tiga
macam reinforcement skunder :
a) Social reinforcement, adalah reinforcement berupa penerimaan sosial
seperti senyuman dan pujian
b) Activity reinforcement, adalah reinforcement berupa kegiatan.
Misalnya anak baru boleh menonton TV setelah mengerjakan tugas.
c) Token reinforcement, yaitu reinforcemen berupa barang atau hal-hal
bersifat nyata. Misalnya pemberian hadiah atau uang
a. Reinforcement negatif, yaitu peristiwa atau sesuatu yang membuat tingkah laku yang
dikehendaki kecil peluang untuk diulang. Contoh : seorang anak benci dibangunkan
dengan suara berisik alarm, olah sebab itu sang anak pun mulai berusaha bangun
sebelum suara alarm berbunyi.
b. Penghapusan ( Extincition ), merupakan suatu cara mengurangi perilaku yang tidak
dikehendaki dengan cara menahan atau tidak memberikan positive reinforcement
yang selama ini memperkuat perilaku tersebut. Contohnya seperti seorang anak
meminta dibelikan mainan ketika diajak ibunya belanja. Pada awalnya dituruti, namun
lama-kelamaan, anak itu akan terus meminta hal yang sama setiap kali diajak ibunya
berbelanja. Alhasil, untuk mengurangi perilaku tersebut, setiap kali sang anak
meminta mainan, sang ibupun tetap diam dan tidak menuruti sang anak.
c. Punishment positif adalah kejadian suatu perilaku yang diikuti penyajian stimulus
yang tidak menyenangkan dan membuat tingkah laku yang tidak diinginkan tidak
muncul kembali dimasa yang akan datang. Misalnya seorang anak saat pulang sekolah
tidak langsung pulang ke rumah tapi main dulu ke rumah teman dan dilakukan
berulang ulang, maka pada saat ia pulang kerumah tidak satupun dari anggota
keluarga mau berbicara dengannya mulai dari ibu, ayah, dan adik karena
ketidakikutsertaan sang kakak dalam acara makan siang bersama. gara gara sikap
acuh itulah si kakak merasa mendapatkan hukuman.
d. Punishment negatif adalah kejadian suatu perilaku yang diperkuat dengan
penghilangan stimulus dan dan membuat tingkah laku yang tidak diinginkan tidak
muncul kembali dimasa yang akan datang. Contohnya seorang anak selalu
menghabiskan uang sakunya untuk bermain PS, maka sang ibu pun memotong uang
saku sang anak sehingga hanya cukup untuk dibelikan makanan.
2. Disensitisasi sistematis
Digunakan untuk menghapus rasa cemas dan tingkah laku menghindar. Disensitisasi
sistematis melibatkan teknik relaksasi, yaitu melatih konseli untuk santai dan
mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman pembangkit kecemasan yang
dibayangkan atau divisualisasi. Menurut Joseph, teknik disensitisasi sistematis behaviour
adalah peraduan beberapa tekhnik seperti memikirkan sesuatu, menenangkan diri,
(relaksasi) dan membayangkan sesuatu. Dalam pelaksanaannya, konselor berusaha
berusaha untuk mengulangi ketakutan atau kecemasan yang dihadapi oleh konseli.
Adapun Langkah-langkahnya:
a. Analisis tingkah laku yang membangkitkan kecemasan.
b. Menyusun tingkah kecemasan.
c. Membuat daftar situasi yang memunculkan atau meningkatkan taraf kecemasan
mulai dari yang paling rendah-paling tinggi.
d. Melatih relaksasi konseli dengan berlatih pengenduran otot dan bagian tubuh
dengan titik berat wajah, tangan, kepala, leher, pundak, punggung, perut, dada dan
anggota badan bagian bawah.
e. Konseli mempraktikkan 30 menit setiap hari, hingga terbiasa untuk santai dengan
cepat.
f. Pelaksanaan desensitisasi konseli dalam santai dan mata tertutup.
g. Meminta konseli membayangkan dirinya berada pada satu situasi yang netral,
menyenangkan, santai, nyaman, tenang. Saat konseli santai diminta
membayangkan situasi yang menimbulkan kecemasan pada tingkat yang paling
rendah.
h. Dilakukan terus secara bertahap sampai tingkat yang memunculkan rasa cemas dan
dihentikan.
i. Kemudian dilakukan relaksasi lagi sampai konseli santai, diminta membayangkan
lagi pada situasi dengan tingkat kecemasan yang lebih tinggi dari sebelumnya.
j. Terapi selesai apabila konseli mampu tetap santai ketika membayangkan situasi
yang sebelumnya paling menggelisahkan dan mencemaskan.
k. Cocok untuk kasus fobia, takut ujian, impotensi, frigiditas, kecemasan neurotik,
ketakutan yang digeneralisasi.
3. Terapi aversi
Atau pengkondisisan aversi merupakan teknik yang bertujuan untuk meredakan
gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku
simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak
diinginkan terhambat kemunculannya. Stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan
kejutan listrik atau ramuan yang membuat mual. Kendali aversi bisa melibatkan
penarikan penguatan positif atau penggunaan hukuman. Area pengunaan aversi adalah
untuk tingkah laku maladaptif antara lain ketergantungan alkohol, obat-obatan, merokok,
obsesi, kompulsi, berjudi, homoseksualitas, penyimpangan seksual seperti pedofilia.
Merupakan teknik utama untuk alkoholik, melalui pemberian ramuan yang menimbulkan
mual kedalam alkohol yang diminum. Prosedur aversif menyajikan cara-cara menahan
respons maladaptif pada satu periode, sehingga ada kesempatan untuk memperoleh
tingkah laku alternatif yang adaptif.
Contohnya: remaja yang sering berkelahi, ditunjukkan foto teman yang kesakitan, saat
yang sama diberi kejutan listrik yang menimbulkan rasa sakit. Dengan terapi aversi
diharapkan terjadi proses pembalikan reinforcement dari perasaan senang atau bangga
menyakiti orang lain menjadi reinforcement seperti iba, takut, rasa berdosa melihat orang
lain terluka dan merasa sakit karena listrik. Stimuli yang tidak disukai (aversive stimuli)
akan menciptakan stimulus yang tidak menyenangkan bersamaan dengan stimulus yang
ingin dikontrol.
4. Modelling
Pemodelan (modelling) yaitu mencontohkan dengan menggunakan belajar observasional.
Modelling berakar dari teori Albert Bandura dengan teori belajar sosial. Modelling
merupakan belajar melalui observasi dengan menambahkan atau mengurangi tingkah
laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, melaibatkan proses
kognitif. Dalam hal ini klien dapat mengamati seseorang yang dijadikan modelnya untuk
berperilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model. menurut
Bandura (Ormrod, 2012: 120) jenis teknik modeling adalah:
a. Live model Orang yang secara langsung mendemonstrasikan perilaku tertentu
yang akan memberikan pengalaman hidupnya kepada orang lain untuk
mendapatkan perilaku baru.
b. Simbolic model Mendemonstrasikan seseorang atau karakter yang digambarkan
dalam buku, film, acara televisi, video game atau media lainnya
c. Verbal instruction Mendiskripsikan tentang bagaimana berperilaku, tanpa
mendatangkan seseorang model baik secara model langsung atau simbolik
5. Latihan Asertif
Menurut Goldstein (1986) latihan asertif merupakan rangkuman yang sistematis dari
ketrampilan, peraturan, konsep atau sikap yang dapat mengembangkan dan melatih
kemampuan individu untuk menyampaikan dengan terus terang pikiran, perasaan,
keinginan dan kebutuhannya dengan penuh percaya diri sehingga dapat berhubungan baik
dengan lingkungan sosialnya. Sedangkan Rees & Graham (1991) menyatakan bahwa inti
dari latihan asertif adalah penanaman kepercayaan bahwa asertif dapat dilatihkan dan
dikembangkan, memilih kata-kata yang tepat untuk tujuan yang mereka inginkan, saling
mendukung, pengulangan perilaku asertif dalam berbagai situasi, dan umpan balik bagi
setiap peserta dari trainer maupun peserta.
Tujuan utama latihan asertif adalah untuk mengatasi kecemasan yang dihadapi
oleh seseorang akibat perlakuan yang dirasakan tidak adil oleh lingkungannya,
smeningkatkan kemampuan untuk bersikap jujur terhadap diri sendiri dan lingkungan,
serta meningkatkan kehidupan pribadi dan sosial agar lebih efektif. Prosedur yang
dilakukan:
a. Rasional Strategi: Konselor memberikan rasional/menjelaskan maksud
penggunaan strategi, Konselor memberikan overview tahapantahapan
implementasi strategi
b. Identifikasi keadaan yang menimbulkan persoalan: Konselor meminta konseli
menceritakan secara terbuka permasalahan yang dihadapi dan sesuatu yang
dilakukan atau dipikirkan pada saat permasalahan timbul.
c. Membedakan perilaku asertif dan tidak asertif serta mengeksplorasi target:
Konselor dan konseli membedakan perilaku asertif dan perilaku tidak asertif
serta menentuakan perubahan perilaku yang diharapkan
d. Bermain peran, pemberian umpan balik serta pemberian model perilaku yang
lebih baik: Konseli bermain peran sesuai dengan permasalahan yang dihadapi,
Konselor memberikan umpan balik secara verbal, Pemberian model perilaku
yang lebih baik, Pemberian penguat positif dan penghargaan
e. Melaksanakan latihan dan praktik: Konseli mendemonstrasikan perilaku yang
asertif sesuai dengan target perilaku yang diharapkan
f. Mengulang: konseli mengulang latihan kembali tanpa bantuan pembimbing
g. Tugas rumah dan tindak lanjut: Konselor memberi tugas rumah pada konseli,
dan meminta konseli mempraktikan perilaku yang diharapkan dan memeriksa
perilaku target apakah sudah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari
h. Terminasi: Konselor mengehentikan program bantuan
6. Terapi Impulsif
Terapi implosif dikembangkan berdasarkan atas asumsi bahwa seseorang yang secara
berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi
yang menakutkan teryata tidak muncul, maka kecemasan akan menghilang. Dalam
situasi konseling secara berulang-ulang membayangkan stimulus sumber kecemasan dan
konsekuensi yang diharapkan ternyata tidak muncul, akhirnya stimulus yang mengancam
tidak memiliki kekuatan dan neurobotiknya menjadi hilang.
7. Kontrak Perilaku
Kontrak perilaku didasarkan atas pandangan bahwa membantu konseli untuk
membentuk perilaku tertentu yang diinginkan dan memperoleh ganjaran tertentu sesuai
dengan kontrak yang disepakati. Dalam hal ini individu mengantisipasi perubahan
perilaku mereka atas dasar persetujuan bahwa beberapa konsekuensi akan muncul.
Kontrak perilaku menurut Latipun (2003: 92-95) adalah persetujuan antara dua orang
atau lebih untuk mengubah perilaku tertentu pada konseli. Konselor dapat memilih
perilaku dimunculkan sesuai dengan kesepakatan, ganjaran dapat diberikan kepada
konseli. Dalam Konsep terapi ini ganjaran positif terhadap perilaku yang dibentuk lebih
dipentingkan dari pada pemberian hukuman jika kontrak perilaku tidak berhasil.
Studi Kasus
Efektivitas Konseling Behavioral Dengan Teknik Desensitisasi Sistematis Untuk
Mengurangi Kecemasan Berkomunikasi Di Depan Umum Pada Peserta Didik Kelas Xii
Sman 8 Bandar Lampung.
1. Tahap Pertama : pada tahapan ini peneliti melakukan wawancara dengan guru BK
kemudian melakukan pretest yaitu penyebaran angket pada saat jam Bimbingan
Klasikal.
2. Tahap Kedua: pada pertemuan ini peneliti melakukan pengenalan dengan anggota
kelompok, serta menjelaskan tentang pengertian, asas, tujuan dan menentukan hirarki
yang menimbulkan kecemasan serta menyusun hirarki tersebut dari yang paling
menimbulkan kecemasan sampai yang paling ringan, selanjutnya menjelaskan cara
pelaksanaan desensitisasi sistematis kepada peserta didik di lanjutkan dengan latihan
relaksasi, dan peserta didik di ajak untuk latihan relaksasi dan selanjutnya peserta
didik di anjurkan untuk sendiri latihan di rumah sebelum datang pada pertemuan
selanjutnya.
3. Pertemuan Ketiga: Pada tahapan ini peserta didik di ajak untuk melakukan relaksasi
kemudian peserta didik di minta untuk mengimajinasikan situasi yang sangat
menyenangkan, kemudian imajinasi situasi di lanjutkan pada urutan hirarki yang
paling tinggi yang menimbulkan kecemasan, demikian seterusnya hingga hirarki yang
paling ringan.
4. Pertemuan Keempat: Sampai Dengan Pertemuan Keenam Pada tahapan ini sama
dengan tahapan yang sebelumnya peserta didik di ajak untuk melakukan relaksasi
kemudian peserta didik di minta untuk mengimajinasikan situasi yang sangat
menyenangkan, kemudian imajinasi situasi di lanjutkan pada urutan hirarki yang
paling tinggi yang menimbulkan kecemasan, demikian seterusnya hingga hirarki yang
paling ringan , situasai yang menimbulkan kecemasan pada session sebelumnya maka
pada tahap ini situasi tersebut sudah tidak lagi menjadi situasi yang mencemaskan
dalam diri klien.
Daftar Pustaka

Astuti. Efektivitas Konseling Behavioral Dengan Teknik Desensitisasi Sistematis Untuk Mengurangi
Kecemasan Berkomunikasi Di Depan Umum Pada Peserta Didik Kelas Xii Sman 8 Bandar
Lampung. 2018
Corey, G. (2005). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Seventh Edition.
Belmont : Brooks/Cole-Thomson Learning.
Kumalasari, Gantina, Eka Wahyuni dan Karsih. (2011). Teori dan Teknik Konseling. Jakarta :
Indeks.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakir. Nuansah-nuansah Psikologi Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Nursalim, Mochamad. (2013). Strategi Intervensi dan Konseling. Jakarta: Akademia Permata
Singgih. (2007). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Diterbitkan oleh Anggota Ikapi.

Anda mungkin juga menyukai