Anda di halaman 1dari 2

Polemik Gedung Baru dan Aspirasi Rakyat

Oleh Ahmad Maltup*

Hari Jum’at (1/4) secara serentak berbagai media, baik cetak maupun online dan
visual, memuat pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie yang kontroversial. Aspirasi rakyat
dinodainya dengan melontarkan pernyataan; “Rakyat biasa jangan diajak membahas
pembangunan gedung baru, hanya orang-orang elite, orang-orang pintar yang bisa diajak
membicarakan masalah itu”.
Sungguh ironis pernyataan itu keluar dari mulut seorang Marzuki yang “elite” ketika
menanggapi penolakan rakyat, terkait pembangunan gedung DPR baru senilai 1,1 triliun.
Karena paradoks sekali dengan pasal 71 huruf s Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menegaskan bahwa, tugas DPR adalah
menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Ketika
aspirasi rakyat mengatakan tidak perlu, sepatutnya kebijakan tersebut dipertimbangkan.
Penulis mensinyalir Marzuki bicara seperti itu lantaran penolakan bertubi-tubi rakyat
terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh DPR; dari pengadaan fasilitas laptop
DPR priode sebelumnya, pembangunan rumah dinas, dana aspirasi, kunjungan luar
negeri, sampai sekarang pembangunan gedung baru. Maka seyogyanya, rakyat menolak
semua kebijakan itu yang dianggap menghambur-hamburkan uang rakyat, sedangkan
kinerja belum apa-apa. Rakyat merasa berada pada posisi tertindas seperti yang
digambarkan oleh Aloys Budi Purnomo; “...di mana pemegang kekuasaan, rakyat tak
lebih dari sebatang tebu yang habis manis sepah dibuang. Janji tinggal janji, tanpa
realisasi.” (Epilog buku Rakyat Bukan Tumbal Kekerasan dan Kekuasaan;2007)

Jati Diri Wakil Rakyat


Kinerja wakil rakyat adalah tumpuan dari kehidupan politik. Apabila lembaga ini
tidak memberdayakan jati dirinya, maka proses kesadaran politik rakyat akan terkikis
dengan sendirinya. Sebab bagaimanapun, secara konstitusional, hanya lembaga legislatif
yang dapat menjadi saluran aspirasi itu. Status sebagai wakil rakyat hanya akan menjadi
simbol legitimasi bukan simbol aspirasi, apabila senyatanya lembaga legislatif tidak
mampu mengakomodasikan kekuasaan rakyat dalam hubungannya dengan perlakuan
kekuasaan lembaga eksekutif.
Kepemimpinan yang berakar pada rakyat itu bukan sekedar simbolisasi politik, tapi
merupakan pemberdayaan. Rakyat tidak menginginkan partisipasi politik rakyat dalam
hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintah disalurkan dengan cara-cara yang tidak
konstitusional, hanya karena rakyat menganggap para wakil mereka tidak mampu
memperjuangkan aspirasinya. Lembaga legislatif bukanlah lembaga stempel, tapi
merupakan lembaga kontrol atas kinerja eksekutif. Hak-hak serta wewenang anggota
legislatif memungkinkan itu. Namun, apabila visi politik para wakil rakyat itu tidak
berorientasi kepada rakyat, rakyat tidak dapat berharap banyak para wakilnya itu bisa
menjadi tumpuan dari perjuangan aspirasi.
Di dalam perkembangan kedewasaan politik rakyat sekarang ini, apabila tidak
diimbangi oleh kualitas kinerja wakil rakyat, maka ritualisme politik yang selama ini
mendapat sorotan itu akan tetap ada. Kecenderungan 5D –datang , duduk, dengar, diam
dan duit- masih mengakar dalam kejiwaan anggota DPR. Kualitas, visi serta kemampuan
memperjuangkan kepentingan rakyat itu, adalah beban yang tidak ringan. Tapi untuk
itulah sebenarnya para wakil rakyat memperebutkan kursi, dan untuk itu pula rakyat
memberikan suaranya.
Terkait dengan pembangunan gedung baru, tahun 2010 ada pernyataan rencana
pembangunan gedung itu ditunda setelah ada kritik dari rakyat. Namun, kenapa rencana
tersebut kembali diteruskan pada tahun 2011 setelah kritik mereda? Apakah ini tidak
menampakkan ambisi DPR untuk menikmati fasilitas mewah tersebut sebelum masa
jabatannya usai pada 2014 nanti? Tidak menutup kemungkinan, karena yang kita lihat
kinerja DPR saat ini amat memprihatinkan. Dari 70 rancangan undang-undang yang
masuk Program Legislasi Nasional 2010, hanya delapan buah yang dapat disahkan
menjadi undang-undang.
Anggaran 1,1 triliun untuk gedung baru tidak mencerminkan ekonomis di negara
berkembang seperti Indonesia. Prinsip keadilan dan kepatutan anggaran sebesar itu tidak
relevan ketika dihadapkan dengan mayoritas rakyat yang masih dilanda kemiskinan akut,
pengangguran, dan kekurangan pangan. Hal itu perlu diprioritaskan dari pada gedung
baru, karena tidak ada jaminan “adanya gedung baru kinerja DPR semakin membaik”.

*)Penulis adalah Peniliti The Indonesia View Yogyakarta.

No. Hp. 087838525733


Domisili: PPM. Hasyim Asy’ari, Jl. Parangtritis Km 7, Dukuh Cabeyan RT. 04,
Panggung Harjo, Sewon Bantul 55188 Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai