Hari Jum’at (1/4) secara serentak berbagai media, baik cetak maupun online dan
visual, memuat pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie yang kontroversial. Aspirasi rakyat
dinodainya dengan melontarkan pernyataan; “Rakyat biasa jangan diajak membahas
pembangunan gedung baru, hanya orang-orang elite, orang-orang pintar yang bisa diajak
membicarakan masalah itu”.
Sungguh ironis pernyataan itu keluar dari mulut seorang Marzuki yang “elite” ketika
menanggapi penolakan rakyat, terkait pembangunan gedung DPR baru senilai 1,1 triliun.
Karena paradoks sekali dengan pasal 71 huruf s Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang menegaskan bahwa, tugas DPR adalah
menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Ketika
aspirasi rakyat mengatakan tidak perlu, sepatutnya kebijakan tersebut dipertimbangkan.
Penulis mensinyalir Marzuki bicara seperti itu lantaran penolakan bertubi-tubi rakyat
terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh DPR; dari pengadaan fasilitas laptop
DPR priode sebelumnya, pembangunan rumah dinas, dana aspirasi, kunjungan luar
negeri, sampai sekarang pembangunan gedung baru. Maka seyogyanya, rakyat menolak
semua kebijakan itu yang dianggap menghambur-hamburkan uang rakyat, sedangkan
kinerja belum apa-apa. Rakyat merasa berada pada posisi tertindas seperti yang
digambarkan oleh Aloys Budi Purnomo; “...di mana pemegang kekuasaan, rakyat tak
lebih dari sebatang tebu yang habis manis sepah dibuang. Janji tinggal janji, tanpa
realisasi.” (Epilog buku Rakyat Bukan Tumbal Kekerasan dan Kekuasaan;2007)