BAB I
PENDAHULUAN
Skenario
An. Samson, seorang anak laki-laki berusia 6 tahun dibawa ke dokter dengan
keluhan pucat. Meneurut anamnesis dari ibu, anaknya terlihat pucat sejak 2 bulan yang lalu.
Keluhan lain yang menyertai adalah demam yang tidak terlalu tinggi, perut mual dan susah.
Sejak kecil Samson memang tidak suka makan daging. Kata guru Tknya, saat mengikuti
pelajaran, Samson sering tertidur di kelas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva
pucat, bising jantung, tidak didapatkan hepatomegali maupun splenomegali. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 8 g/dL. Dokter memberikan tablet tambah darah
untuk Samson.
Hipotesis
Samson menderita anemia defisiensi besi karena kurangnya asupan besi.
C. TUJUAN
1. Menjelaskan mekanisme eritropoiesis dan pembentukan hemoglobin.
2. Menjelaskan fisiologi dan patofisiologi sel-sel yang berkaitan dengan penyakit yang diderita
pasien.
3. Memahami mekanisme gejala yang ditimbulkan terhadap penyakit tersebut.
4. Megetahui manfaat dilkakukannya pemeriksaan fisik dan test laboratorium terhadap
diagnosis yang diperoleh.
5. Mengetahui penatalaksanaan terhadap penyakit tersebut.
D. MANFAAT
1. Mahasiswa dapat menganalisis penyakit yang berkaitan dengan heme.
2. Mahasiswa dapat membaca dan mengaitkan hasil laboratorium dengan diagnosis penyakit.
3. Mahasiswa dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat dari penyakit yang didiagnosis.
BAB II
STUDI PUSTAKA
B. ERITROPOIETIN
Eritropoietin merupakan suatu glikoprotein sebagai stimulus utama yang
merangsang produksi eritrosit, bahkan dalam keadaan O2 yang rendah. Hormon ini dibentuk
sebagian besar di ginjal dan sisanya di hati. Hormon epinefrin, norepinefrin, dan
prostaglandin akan merangsang produksi eritropoietin. Berdasarkan penelitian, pengaruh
utama eritropoietin adalah merangsang produksis proeritroblas dari sel stem pluripoten di
sumsum tulang dan mempercepat pertumbuhan menjadi eritrosit (Guyton and Hall, 2007).
D. ANEMIA
Anemia merupakan penurunan volume eritosit atau kadar Hb di bawah batas normal.
Kadar Hb normal untuk anak usia 6 bulan – 6 tahun adalah 10,5 – 14 mg/dL (Nelson et. Al,
2000). Anemia berdasarkan morfologinya dapat diklasifikasikan :
1. Anemia Hipokromik Mikrositer
Anemia ini memiliki eritrosit pucat dan ukuran sel yang kecil.
2. Anemia Normokromik Normositer
Anemia ini memiliki warna eritrosit yang normal dan ukuran sel normal.
3. Anemia Normokromik Makrositer
Warna eritrosit normal tetapi ukuran sel lebih besar dari normal.
Sedangkan berdasarkan etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan:
1. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
b. Gangguan penggunaan besi
c. Kerusakan sumsum tulang
2. Anemia akibat hemoragi
3. Anemia hemolitik
Gejala pada anemia juga dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:
1. Gejala umum anemia
Disebut sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar Hb. Biasanya muncul setelah kadar
Hb<7 – 8 mg/dL. Tanda-tanda ini bisanya seperti: rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga
mendenging, mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas, dispepsia, pucat pada
konjungtiva,mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan di bawah kuku.
2. Gejala khas masing-masing anemia
Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok
(koilynochia).
Anemia megaloblastik: glositis
Anemia hemolitik: ikterus, splenomegaly, hepatomegaly
Anemia aplastik: perdarahandan tanda-tanda infeksi
3. Gejala penyakit dasar
Gejala penyakit dasar bervariasi tergantung penyebab dari anemia jenis tersebut.
(Bakta, 2007)
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien dalam sekenario mengeluhkan gejala pucat sudah sejak 2 bulan yang lalu.
Pucat ada yang fisiologis dan ada pula yang anemis. Pucat yang fisiologis berhubungan
dengan pigmentasi kulit dan suhu. Sedangkan pucat yang anemis karena berkurangnya
volume darah, berkurangnya hemoglobin, dan vasokonstriksi untuk memaksimalkan
pengiriman O2 ke organ-organ yang vital. Oleh karena itu dokter memeriksa konjungtiva
karena pada mukosa tidak dipengaruhi oleh pigmentasi kulit. Pemeriksaan lain pada telapak
tangan, membran mukosa mulut, bantalan kapiler, dan bantalan kuku (Price and Lorraine,
2007). Pada daerah tersebut terdapat banyak pembuluh darah sehingga dapat dijadikan
indikator. Pucat ini sebenarnya tanda anemi secara umum. Anemi bisa menimbulkan gejala
seperti yang dialami oleh anak tersebut, seperti sering tertidur di kelas dan ditemukannya
bising jantung.
Seseorang yang anemi memiliki kadar Hb yang rendah. Padahal Hb memiliki
fungsi mengangkut O2. Semua organ agar dapat bekerja membutuhkan O 2 agar dapat
menghasilkan energi, termasuk otak. Jika otak tidak mendapat energi, maka akan cepat
mengalami lelah, sehingga menimbulkan efek mengantuk. Anemi juga bisa berarti kadar
eritrosit yang rendah atau bisa disebut kekurangan darah. Mengingat organ membutuhkan O2,
padahal darah yang mengalir sedikit, maka pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi
dan jantung akan memompa lebih kencang agar darah tersebut bisa cepat sampai ke organ
untuk mengantarkan O2. Dengan begitu aliran darah akan menjadi cepat sehingga
menimbulkan suara yang dikenal dengan bising jantung. Bising jantung tersebut
mencerminkan beban kerja dan curah jantung yang meningkat. Oleh karena itu, pada
pemeriksaan fisik kepada anak tersebut ditemukan bising jantung yang disebabkan oleh
manifestasi dari anemia (Price and Lorraine, 2007). Diagnosis anemia tersebut diperkuat
dengan hasil pemeriksaan Hb yang menunjukkan kadar Hb yang rendah. Kurangnya eritrosit
maupun hemoglobin akan berdampak juga pada kurangnya asupan oksigen dalam
gastrointestinal. Hal ini dapat menyebabkan penimbunan asam laktat pada otot-otot polos
sehingga gaster, intestinal, colon, menjadi kelelahan, dan manifestasinya adalah berupa
disritmia dan kontraksinya tidak teratur (Bakta, 2007; Sherwood, 2001; Guyton, 1996).
Selain kekurangan oksigen keadaan kekurangan besi juga dapat menyebabkan disritmia dan
gangguan kontraksi otot karena penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan
gliserofosfat oksidase yang akan menyebabkan glikolisis terganggu sehingga adanya
penumpukan asam laktat (Bakta, 2007). Keadaan ini akan menyebabkan mual dan rasa penuh
pada perut sehingga pasien sulit untuk makan (Djojoningrat, 2007).
Anak tersebut memiliki kebiasaan tidak suka makan daging, hal ini bisa berkaitan
dengan gejala-gejala lain yang ditimbulkannya. Padahal di dalam daging terkandung zat besi
yang banyak, walaupun memang juga ada kandungan nutrisi yang lain. Jika anak tersebut
kekurangan asupan sumber zat besi, maka anak tersebut akan terjadi defisiensi besi.
Mengingat usia 5 tahun merupakan fase pertumbuhan yang sedang cepat-cepatnya, anak
tersebut juga membutuhkan asupan zat besi untuk pertumbuhan. Jika cadangan besi yang
terdapat di dalam tubuh dipakai untuk pertumbuhan, maka proses tubuh yang lain yang
membutuhkan zat besi akan sangat terganggu. Hal tersebut berakibat timbulnya keluhan
pasien seperti demam. Zat besi memilki fungsi mengaktifkan enzim untuk sintesis DNA
pembentuk sel limfosit T sebagai imunitas tubuh. Dengan menurunnya sistem imun, maka
tubuh akan mudah terserang penyakit yang berakibat demam. Selain itu, zat besi juga
diperlukan bakteri baik untuk tumbuh agar dapat membasmi bakteri jahat yang dapat
menimbulkan penyakit (Suega dkk, 2007).
Dokter tersebut memeriksa adanya hepatomegali dan splenomegali untuk
mengidentifikasi apa penyebab terjadinya anemia pada anak tersebut, apakah benar ada
kaitannya dengan asupan besi yang kurang atau anemia jenis yang lain. Hasil didapatkan
tidak ditemukan adanya pembesaran pada hepar dan splen tersebut, hal ini mengarahkan pada
analisis sebelumnya mengenai defisiensi besi. Sayangnya, test lab sebagai diagnosis
penunjang hanya dilkukakan pemeriksaan Hb. Hal tersebut belum bisa digunakan untuk
diagnosis pasti anemia defisiensi besi. Untuk memastikan adanya anemia defisiensi besi,
diperlukan tes-tes lain, seperti MCV (<80 fl), MCHC (<31%), MCH (<27 pg), Fe serum (<12
mg/L), TIBC (>350 μg/dL) (Price and Lorraine, 2007).
Setelah diketahui anemia jenis apa, perlu diketahui juga penyebab anemia jenis
tersebut agar penanganan yang dilakukan selanjutnya tepat. Dalam skenario, dokter tersebut
memberikan tablet penambah darah. Tablet ini biasanya berisi zat-zat pembentuk darah, salah
satunya dalah besi. Sebenarnya, pengobatan awal yang dilakukan adalah pengobatan kausal,
yaitu pengobatan terhadap penyebab terjadinya defisiensi besi. Jika tidak begitu, anemia
dapat kambuh kembali. Setelah itu baru diberi preparat besi secara oral (ferrous sulphat,
ferrous gluconate, ferrous fumarat, frroue lactate, feroous succinate) atau parenteral. Selain
itu pengobatan lainnya dapat berupa diet tinggi protein (terutama dari hewani), pemberian
vitamin C (mempercepat reduksi besi menjadi fero), dan tranfusi darah. Sebenarnya dalam
kasus anemia defisiensi besi, jarang sekali dilakukan tranfusi darah, hanya pada kasus
tertentu seperti adanya penyakit jantung anemik, anemia yang simptomatik, dan pasien yang
perlu peningkatan Hb yang cepat (pada kehamilan trimester akhir dan praoperasi) (Suega
dkk, 2007).
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. Anemia ada banyak macam, tergantung dari morfologi dan etiologinya.
2. Gejala yang dialami pasien adalah manifestasi dari anemia yang disebabkan oleh defisiensi
zat besi.
3. Zat besi sangat mempengaruhi eritropoiesis, terutama pada pembentukan hemoglobin.
4. Penanganan pertama yang dilakukan pada pasien adalah dengan mengobati kausal dari
penyakit tersebut, kemudian menambah preparat zat yang mengalami defisiensi, dan yang
terakhir adalah penanganan tambahan.
5. Pemeriksaan kadar Hb hanya untuk menentukan pasien tersebut mengalami anemia atau
tidak, tetapi belum bisa menentukan jenis anemianya.
B. SARAN
1. Untuk melakukan diagnosis pasti dari suatu penyakit diperlukan pemeriksaan laboratorium
yang spesifik untuk penyakit tersebut.
2. Pada masa-masa pertumbuhan perlu ditingkatkan asupan zat besi.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Bhakta, I Made. 2007. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Djojoningrat, Dharmika. 2007. Dispepsia Fungsional. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Dorland, W.A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland-Edisi 29. Jakarta: EGC.
Guyton, A.C., John E. Hall, 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Nelson, Waldo et. Al. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A and Lorraine M Wilson. 2005. Patofisologi Volume 2. Jakarta: EGC.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Jakarta: EGC.
Suega, Ketut dkk. 2007. Anemia Defisiensi Besi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.