Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH SEMINAR PERPAJAKAN

PAJAK PENGHASILAN DAN OPERASI BISNIS

Diajukan untuk memenuhi syarat Mata Kuliah Seminar Perpajakan


Program Strata 1 Jurusan Akuntansi
Institut Teknologi dan Bisnis
Ahmad Dahlan Jakarta

Disusun Oleh:

1. Dhea Maulita 2017222350116


2. Eka Sri Winarsih 2017222350096
3. Nur Aida 2017222350098

INSTITUT TEKNOLOGI DAN BISNIS AHMAD DAHLAN


JAKARTA
2021
PENDAHULUAN
BAB I

Kemandirian suatu bangsa dapat diukur dari kemampuan bangsa tersebut


untuk melaksanakan dan membiayai pembangunan sendiri. Oleh karena itu untuk
meningkatkan penerimaan pajak negara, maka sistem dan prosedur perpajakan
yang berlaku terus disempurnakan dengan memperhatikan asas keadilan,
pemeratan, manfaat dan kemampuan masyarakat melalui peningkatan mutu
pelayanan dan kualitas aparat yang mencerminkan dalam peningkatan kejujuran,
tanggung jawab, dedikasi dan penyempurnaan sistem administrasi.
Salah satu jenis pajak yang ditetapkan pemerintah sebagai penerimaan
negara adalah pajak penghasilan dimana pajak penghasilan dikenakan terhadap
subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak
(Mardiasmo, 2011:5). Pajak penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi dan
badan. Dimana pajak penghasilan orang pribadi merupakan salah satu instrumen
untuk mengatasi ketimpangan distribusi pendapatan antara masyarakat yang
berpenghasilan tinggi dan berpenghasilan rendah dan pajak penghasilan badan
adalah pajak penghasilan yang dikenakan terhadap badan dan dengan penghasilan
yang diterima atau diperolehnya selama 1 tahun pajak.
Perhitungan PPh badan seringkali terjadi perbedaan antara pajak
penghasilan yang telah dihitung (komersial) dengan menurut fiskus. Hal ini
disebabkan karena adanya perbedaan mengenai pengakuan pendapatan, biaya dan
laba antara menurut perusahaan (komersial) dengan fiskus, maka perlu dilakukan
penilaian mengenai cara perhitungan pajak penghasilan yang dilakukan oleh
perusahaan dengan fiskus. Hal ini dimaksudkan untuk dapat menentukan pajak
penghasilan badan (terutang) sesuai UU Perpajakan No. 36 Tahun 2008 dari
Direktorat Jenderal Pajak
BAB II
LANDASAN TEORI

Pajak
Waluyo (2010:2), menyatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang
dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.

Badan
adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Bentuk Badan dapat
berupa Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer (CV), perseroan lainnya,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan
lainnya.

Pajak Penghasilan Badan


Peraturan Pajak Penghasilan yang tercantum pada pasal 2 (1)
mendefinisikan pajak penghasilan yaitu pajak yang terutang oleh wajib pajak
untuk tiap penghasilan yang diterima dari berbagai sumber baik dari dalam negeri
maupun luar negeri dengan nama dan bentuk apapun. Salah satu subjek pajak
penghasilan adalah badan usaha, sehingga pajak penghasilan badan dapat
didefinisikan sebagai pajak yang terutang oleh badan berkedudukan di Indonesia
atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan usaha selama periode tahun pajak.
Untuk menghitung pajak penghasilan badan suatu perusahaan perlu dilakukan
koreksi fiskal terlebih dahulu atas laporan keuangan komersial.
BAB III
PEMBAHASAN

Subjek PPH Badan


Subjek PPh Badan merupakan Badan Usaha yang diberikan kewajiban untuk
membayar pajak dalam periode bulan atau tahun dan disetor ke kas negara.
Subjek Badan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU
KUP), yang termasuk Badan yaitu:
1. Perseroan Terbatas (PT)
2. Perseroan Lainnya
3. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
4. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
5. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
6. Firma
7. Kongsi
8. Koperasi
9. Dana Pensiun
10. Persekutuan
11. Perkumpulan
12. Yayasan
13. Organisasi Masyarakat
14. Organisasi Sosial Politik
15. Organisasi lainnya dengan nama dan bentuk apapun
16. Lembaga dan bentuk badan lainnya
17. Kontrak Investasi Kolektif (KIK)
18. Bentuk Usaha Tetap

Bukan Subjek Pajak Badan


Beberapa badan yang merupakan bukan Subjek PPh yaitu:
1. Kantor perwakilan negara asing;
2. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
a) Negara Indonesia merupakan anggota organisasi internasional tersebut;
b) organisasi ini tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan kredit
kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
3. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
c. penerimaannya dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Dacrah; dan
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional.
Dikecualikan sebagai Subjek Pajak yang dikenakan PPh Badan. Namun, unit dari
pemerintah tersebut tetap berkedudukan sebagai Pemotong- Pemungut PPh dan
juga tetap sebagai Pemungut PPN dalam beberapa transaksi tertentu.

Kelompok Objek Pajak Badan


Secara besar, PPh yang dikenakan kepada Subjek Pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak. penghasilan yang diterima Wajib
Pajak menurut UU PPh menjadi 3 yaitu:
a) Jenis penghasilan yang merupakan objek pajak dan yang dikenakan PPh
bersifat tidak Final (pasal 4 ayat (1)).
b) penghasilan yang merupakan objek pajak dan yang dikenakan PPh bersifat
Final (pasal 4 ayat (2)).
c) Penghasilan yang bukan objek pajak sehingga berapa pun nilainya tidak
dikenakan PPh (pasal 4 ayat (3)).
Secara umum, UU PPh mengatur secara umum pengertian penghasilan secara luas,
tetapi untuk memudahkan, kita hanya perlu memahami jenis penghasilan yang
dikerakan PPh bersifat final dan penghasilan yang masuk kelompok pajak. Selain
itu, seluruh penghasilan yang tidak dicantumkan pada kedua kelompok wajib
yang dikenakan PPh tidak bersifat final. Sangat penting memahami jenis
penghasilan untuk dapat melakukan penghitungan PPh secara tepat.
1. Penghasilan yang Bukan Objek Pajak (pasal 4 ayat (3)) Berikut penghasilan
bukan objek pajak, yang dapat diterima oleh Subjek Pajak Badan:
a. bantuan, sumbangan. zakat dan hibah:
1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang wajib bagi pemeluk agama yang diakui
di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang ditetapkan
atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan
sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan;
(Kata-kata "sepanjang tidak ada hubungan." di atas suatu syarat agar
penghasilan tidak kena pajak. Dengan demikian, jika ada hubungan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan, penghasilan tersebut berubah menjadi objek pajak)
b. harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau scbagai pengganti penyertaan modal;
c. penggantian atau ketidakseimbangan hubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk alam dan/atau kenikmatan
dari Wajib Pajak atau Pemerintah. Jika alam dan/atau kenikmatan yang
diberikan oleh:
1. bukan Wajib Pajak;
2. Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final; atau
3. Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus
(deemed profit), alam dan/atau kenikmatan tersebut berubah menjadi
objek pajak;
d. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:
1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
2) dan bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
e. iuran yang diterima atau diperolech dana pensiun, yang pendiriannya
telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar baik pemberi kerja
maupun pegawai;
f. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam
bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan;
g. bagian laba yang diterima atau diperoleh dari anggota perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, gabungan,
perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif;
h. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa laba dari badan usaha yang didirikan dan dijalankan di Indonesia,
dengan syarat-syarat badan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro,
menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor usaha yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan
sahamnya tidak ada di bursa efek di Indonesia;
i. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah tercatat pada instansi yang membidanginya,
yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu waktu
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolchnya sisa lebih dari tersebut,
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;
j. bantuan atau pemberian bantuan tertentu oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Wajib Pajak, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Keuangan.
2. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak PPh Bersifat Final (pasal 4 ayat (2))
Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
a) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi
dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang digunakan oleh
koperasi untuk anggota orang pribadi;
b) penghasilan berupa hadiah undian;
c) penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif
yang terjadi di bursa, dan transaksi penjualan saham atau penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan
modal ventura;
d) penghasilan dari transaksi harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha
konstruksi, usaha real estat, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
e) penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
3. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak PPh yang Dikenakan PPh Bersifat
Tidak Final (pasal 4 ayat (1) Pada hakikatnya, semua penghasilan yang
dikenakan PPh secara tidak final, kecuali yang diskbutkan dalam ketentuan
pasal 4 ayat 3 (bukan objek pajak) dan pasal 4 ayat 2 UU PPh. Jika
kemudian pasal 4 ayat (1) UU PPh menyebutkan jenis-jenis penghasilan yang
merupakan objek pajak tidak final, itu hanya contoh penghasilan lainnya yang
tidak disebutkan, dan pada prinsipnya adalah objek pajak tidak final.
Mengapa demikian, karena pada dasarnya objek pajak adalah penghasilan,
yaitu setiap tambahan kemampuan yang ekonomis yang diterima atau
diperoleh dari Wajib Pajak, baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun .
Tambahan kemampuan ekonomis tersebut dapat menjadi tiga macam:
a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan:
1. laba usaha;
2. premi asuransi (yang diterima perusahaan asuransi):
3. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya
yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas;
4. hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan (yang diterima
badan).
b. Penghasilan dari modal atau investasi:
1) Keuntungan karena penjualan atau karena harta kekayaan termasuk:
a. keuntungan karena harta bagi perseroan, perseroan, dan badan
lainnya sebagai pengganti atau penyertaan modal;
b. keuntungan karena harta pemegang saham, sekutu, atau anggota
yang diperoleh dari perseroan, dan badan lainnya;
c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi
dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
d. keuntungan karena harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang-orang yang menjalankan
bisnis mikro dan kecil, ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-
pihak yang bersangkutan; dan
e. keuntungan karena sebagian atau seluruh penjualan penambangan,
tanda ikut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan.
2) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang
3) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi
4) Royalti atau ketidakseimbangan atas penggunaan hak.
5) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
c. Penghasilan lain-lain:
1. Hadiah (penghargaan), kecuali hadiah dari undian sudah dikenakan
pajak final;
2. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya
3. Penerimaan atan nerolchan nembavaran berkala.
4. Keuntungan utang, kecuali sampai jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah:
a. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
b. lebih karena pemandangan kembali aktiva (tetapi kemudian diatur
khusus melalui Peraturan Pemerintah nomor PP 79 Tahun 2008
bahwa selisih lebih karena penilaian kembali aktiva yang dikenakan
PPh Final sebesar 10%);
c. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
d. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
e. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
f. surplus Bank Indonesia.
Objek PPH Badan
Objek PPh Badan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh badan.
Penghasilan sebagai objek PPh dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang PPh
diantaranya:
1) Hadiah dari kegiatan dan penghargaan
2) Laba usaha
3) Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta (selain tanah dan
bangunan)
4) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
5) Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang
6) Dividen
7) Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
8) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
9) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan
10) Peraturan Pemerintah
11) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
12) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva tetap
13) Iuran yang diterima perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
14) Penghasilan dari usaha berbasis Syariah
15) Surplus Bank Indonesia

Kewajiban Badan dalam Wajib Pajak


Ketentuan Wajib Pajak Badan pada umumnya sama dengan Wajib Pajak Pribadi
yaitu membayar pajak penghasilan dan membuat laporan Surat Pemberitahuan
(SPT) pajak. Namun Wajib Pajak Badan memiliki perbedaan kewajiban lain yaitu:
a. Memungut dan menyetor pajak penghasilan
b. Memungut dan menyetor PPN ke kas negara
c. Melaporkan SPT Masa PPN
d. Menyampaikan SPT Masa/Tahunan PPh

Jenis-Jenis Pajak Badan


Beberapa jenis Pajak Badan yang dikenakan pada Wajib Pajak Badan diatur
dalam ketentuan Pajak Penghasilan berikut:
1. PPh Pasal 21/26
2. PPh Pasal 23/26
3. PPh Final
4. PPh Pasal 25
5. PPh Pasal 29
6. PPN dan PPnBM

Ketentuan Perhitungan PPH Badan


Ketentuan yang berlaku terdapat dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Pasal 28 Ayat (1) bahwa Wajib Pajak Badan
diwajibkan untuk mengadakan pembukuan agar mengetahui besar Penghasilan
Kena Pajak yang dikenakan. Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak Badan yaitu melalui proses sebagai berikut:
a. Menghitung penghasilan selama setahun
Perhitungan selama setahun secara keseluruhan dari penghasilan yang
diperoleh dalam satu tahun pajak kecuali penghasilan yang bukan objek pajak
dan yang dikenakan PPh Final.
b. Mengurangi dari biaya-biaya
Pengurangan biaya-biaya yang dikeluarkan yaitu pengeluaran langsung atau
tidak langsung dan berhubungan dengan kegiatan usaha. Biaya yang
dimaksud seperti biaya sewa, pembelian barang, biaya yang terkait dengan
pekerjaan atau jasa, biaya bunga, biaya perjalanan, royalty, premi asuransi,
biaya penyusutan/amortisasi,biaya promosi dan penjualan, biaya pengelolaan
limbah, administrasi, dan biaya sejenis lainnya.
c. Biaya yang tidak dapat dikurangi
Wajib Pajak Badan juga harus mengeluarkan biaya yang tidak dapat dikurangi
diantaranya pembagian laba/dividen, sisa hasil usaha koperasi atau biaya
kepentingan pribadi pemegang saham, maupun biaya lain dalam aturan
perpajakan. Apabila biaya yang tidak dapat dikurangi sudah masuk dalam
pembukuan, maka harus dikeluarkan lebih dahulu melalui koreksi fiskal.

Jika penghasilan bruto setelah pengurangan biaya-biaya hasilnya rugi dan tidak
dikenakan Penghasilan Kena Pajak, maka kerugian dapat dikompensasi dengan
penghasilan Tahun Pajak berikutnya yang berlaku 5 tahun berturut-turut.

Tarif PPH Badan


Untuk besaran tarif yang dikenakan PPH Badan telah diatur dalam Undang-
Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 17. Tarif dalam Pasal 17 ayat (2a)
secara umum Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan BUT dikenakan sebesar 25%.
Penjelasan lebih lanjut mengenai tarif PPh Badan yaitu sebagai berikut:
a) Penurunan tarif PPh Badan untuk Perusahaan Tbk
Berdasarkan tarif umum PPh Badan sebesar 25% terdapat penurunan tarif
dengan ketentuan khusus yang diatur PPh Pasal 17 Ayat (2) b yaitu bagi
Wajib Pajak Dalam Negeri yang bentuknya Perseroan Terbuka (Tbk) dan
memenuhi ketentuan maka mendapat penurunan tarif PPh sebesar 5% lebih
rendah.
Syarat Penggunaan Tarif PPh Badan Perusahaan Tbk
Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham
(IPO/Initial Public Offering), sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal sesuai PP 77 tahun 2013 sampai dengan PP 56 tahun
2015 yaitu:
1. Saham yang dimaksud huruf a harus dimiliki paling sedikit 300 pihak.
2. Masing-masing pihak yang dimaksud huruf b hanya dapat memiliki saham
kurang dari 5% dari seluruh saham yang ditempatkan.
3. Ketentuan yang dimaksud dalam huruf a, b, dan c harus dipenuhi dalam
waktu paling singkat dalam jangka waktu satu tahun pajak.

b) Penurunan Tarif PPh Badan untuk Peredaran Bruto Tertentu


Penurunan tarif PPh Wajib Pajak Badan dalam negeri selain diatur dalam
Pasal 17 Ayat (1) b dan ayat (2) a yang dikenakan atas Penghasilan Kena
Pajak dari peredaran bruto sampai dengan 4.8 miliar. Maka dari itu, jika
badan dalam negeri memiliki peredaran bruto tidak lebih dari 50 miliar
penghitungan PPh Badan yang dilakukan ialah pertama Penghasilan Kena
Pajak dari peredaran bruto sampai dengan 4.8 miliar dikenakan tarif sebesar
50% x 25% sedangkan untuk kena pajak sisanya dikenakan sebesar 25%.

Contoh Perhitungan Pajak Badan

Peredaran bruto hingga Rp50 miliar


Wajib Pajak berupa badan yang berdomisili di dalam negeri dan memiliki
peredaran bruto hingga Rp50 miliar berhak menerima pengurangan tarif 50% dari
tarif yang termaktub dalam Undang-Undang PPh Pasal 17 Ayat (1) Huruf b dan
Ayat (2a). Pemberlakuan pengurangan dikenakan untuk perusahaan dengan bruto
hingga Rp4,8 miliar.

1. Perusahaan dengan bruto kurang dari Rp4,8 miliar


Untuk kasus ini, rumus yang digunakan adalah (50% x 25% x PKP).
Contohnya, PT Angkasa pada tahun pajak 2019 memiliki peredaran bruto
dengan jumlah Rp4,5 miliar. Sementara jumlah Penghasilan Kena Pajak
(PKP) adalah Rp800 juta. Maka, jumlah perhitungannya adalah:

PPh Terutang = (50% x 25%) X Rp800 juta = Rp100 juta.


2. Perusahaan dengan bruto lebih dari Rp4,8 miliar hingga kurang dari Rp50
miliar
Sementara untuk jenis yang kedua dapat dihitung menggunakan rumus
[(50% x 25%) x PKP memperoleh fasilitas] + [25% x PKP tidak
memperoleh fasilitas]. Dengan contoh PT Yemen di tahun pajak 2019
peredaran brutonya adalah Rp30 miliar dan perhitungan bagan penghasilan
mendapatkan fasilitas yakni:
(Rp4.800.000.000 : Rp30.000.000.000) x Rp3.000.000.000 =
Rp480.000.000

Maka, jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto dan
tidak mendapatkan fasilitas adalah:
Rp3.000.000.000 – Rp480.000.000 = Rp2.520.000.000,-.

Maka PPh yang terutang yakni:


(50% x 25%) x Rp480.000.000 = Rp60.000.000
25% x Rp2.520.000.000 = Rp630.000.000 +
Jumlah PPh Terutang = Rp690.000.000

Peredaran bruto di atas Rp50 miliar


Jika di atas adalah cara menghitung PPh badan terutang hingga Rp50 miliar, maka
selanjutnya Anda perlu mengetahui perhitungan bagi badan dengan bruto di atas
Rp50 miliar dari segi pendapatan brutonya. Di sini, ada peraturan atau ketentuan
umum tanpa pengurangan tarif. Dengan kata lain, PPh terutang mulai tahun pajak
2010 sebesar 25% dikalikan dengan PKP.
Sebagai contoh, PT CDE di tahun 2019 lalu mencatatkan peredaran brutonya
sebesar Rp60 miliar. Perhitungan PPh badan terutangnya adalah:

25% x Rp60 miliar = Rp1.5 miliar.


Cara menghitung PPh badan terutang yang berbentuk Perseroan Terbuka
Untuk Wajib Pajak yang berupa badan dan berbentuk Perseroan Terbuka (PT),
akan mendapatkan penurunan tarif PPh 5% yang lebih rendah bila dibandingkan
Wajib Pajak dalam negeri. Meski begitu, ada beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi antara lain:

- Setidaknya memiliki 40% saham yang dicatat dalam Bursa Efek Indonesia
untuk diperdagangkan.
- Paling tidak memiliki kepemilikan saham oleh 300 pihak publik, baik itu
badan maupun pribadi.
- Saham yang dimiliki masing-masing pihak hanya boleh kurang dari 5%
dari keseluruhan saham yang disetor penuh dan harus dipenuhi dalam
waktu 183 hari kalender dalam jangka satu tahun pajak.

Adapun contoh perhitungannya, PT ABC Tbk memiliki modal Rp1,5 miliar.


Modal itu ditempatkan dan disetorkan penuh dengan besaran Rp1 miliar yang
nilai nominal untuk setiap lembar sahamnya adalah Rp1.000. Jadi, total saham
yang ditempatkan maupun disetor penuh adalah 1 juta lembar saham.

Kemudian, PT ABC Tbk ini mencatat 40% saham, yakni, 400 ribu lembar saham
di Bursa Efek Indonesia yang dimiliki oleh 320 pihak dengan persentase
kepemilikannya maksimal 4,99%. Kondisi ini dilakukan selama 183 hari kalender
di satu tahun pajak. Jadi, PT ABC Tbk ini berhak mendapatkan penurunan tarif
hingga 5% lebih rendah.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Dari penjabaran diatas dapat kami simpulkan bahwa PPH Badan
merupakan pajak yang terutang oleh badan berkedudukan di Indonesia atas
penghasilan yang diperoleh dari kegiatan usaha selama periode tahun pajak.
Untuk menghitung pajak penghasilan badan suatu perusahaan perlu dilakukan
koreksi fiskal terlebih dahulu atas laporan keuangan komersial. Subjek dan Objek
PPH Badan, Jenis-jenis PPH Badan, Ketentuan Perhitungan PPH Badan dan
TarifPPH Badan semua telah diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
DAFTAR PUSTAKA

Gede Komang Chahya Bayu Anta Kusuma, S. S. M. B. K. A. P., 2019. BAB 1 SUBJEK DAN
OBJEK PAJAK. In: B. Setiawan, ed. PRAKTIKUM PAJAK PENGHASILAN (PPH BADAN).
Yogyakarta: Andi (Anggota IKAPI), pp. 1-7.

PT. Garda Bina Utama, 2021. Ayo Pajak. [Online]


Available at: https://ayopajak.com/cara-menghitung-pph-badan-terutang/
[Accessed 10 10 2021].

Anda mungkin juga menyukai