Anda di halaman 1dari 114

KONSEP ÛLÛ AL-ALBÂB DALAM AL-QUR’AN AL-KARIM

DAN RELEVAVSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh
MUHAMMAD MUSTAIN
NIM: 1110011000092

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
ABSTRAK

Skripsi dengan judul “Konsep Ûlû Al-Albâb Dalam Al-Qur’an Al-Karim


dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam” ini ditulis oleh Muhammad
Mustain dengan dibimbing oleh Bapak Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA.

Kata Kunci: Ûlû Al-Albâb, Al-Qur’an dan Tafsir Maudhu’i

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami konsep ûlû al-
Albâb dalam al-Qur’an al-Karim serta relevansinya dengan pendidikan Islam. Ûlû
al-Albâb merupakan istilah yang disebutkan sebanyak enam belas kali yang
terliput dalam sepuluh surah di dalam al-Qur’an, sembilan di antaranya dalam al-
Qur’an surah-surah Makkiyah, dan tujuh di antaranya dalam al-Qur’an surah-
surah Madaniyah. Di dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa ûlû al-Albâb adalah
kelompok manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT.

Adapun metode yang digunakan peneliti dalam menafsirkan ayat-ayat


tentang ûlû al-Albâb adalah metode tafsir maudhu’i (tematik). Penelitian ini
bersifat kajian pustaka (library reaserch) yang dilakukan dengan cara
mengumpulkan data dengan cara mencari serta menelaah data kualitatif yang
sesuai dengan tema dari sumber data primer dan data sekunder. Data primer yang
digunakan adalah ayat-ayat al-Qur’an dan kitab-kitab tafsir al-Maraghi, tafsir Ibnu
Katsir, tafsir Jalalain, serta mengumpulkan data-data lain yang ada kaitanya
sebagai sumber data sekunder.

Dari hasil penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa: konsep ûlû al-Albâb
dalam al-Quran adalah seseorang yang memiliki wawasan yang luas dan
mempunyai ketajaman dalam menganalisis suatu permasalahan, bahkan ia
menggunakan kelebihan yang dimiliki untuk selalu mendekatkan diri kepada
Allah dengan cara mengingat (dzikr) dan memikirkan (tafakkur) ciptaan-Nya,
sehingga tumbuh rasa takut kepada Allah dan ketakwaan yang kuat dalam dirinya.
Keterkaitan konsep ûlû al-Albâb dengan pendidikan Islam adalah bahwa sosok
ûlû al-Albâb memiliki karakteristik berkepribadian yang dicirikan oleh adanya
spiritualitas, moralitas, intelektualitas dan profesionalitas.
ABSTRACT

Skripsi with the title “Concept Ûlû Al-Albâb in Al-Qur’an Al-Karim and
Relevance to Islamic Education” was written by Muhammad Mustain. The
Supervisor is Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA.

Keywords: Ûlû Al-Albâb, Al-Qur’an and Thematic (Maudhu’i).

This study aims to know and understand the concept of ûlû al-Albâb in al-
Qur'an al-Karim and its relevance to Islamic education. Ûlû al-Albâb is mentioned
sixteen times that are observed in ten surah in the al-Qur’an, nine ayat from period
Makkiyah, and seven ayat from period Madaniyah. According to the al-Qur’an,
ûlû al-Albâb is a group of people who are given certain privileges by Allah SWT.

The method used by the researchers in interpreting passages of the ûlû al-
Albâb is a method of thematic (maudhu’i). This study is a literature study (library
research), which collects data by finding and studying the qualitative data that
matches the theme of the source of primary data and secondary data. The primary
data used are the verses of the al-Qur’an, books of tafsir al-Maraghi, tafsir Ibnu
Katsir, tafsir Jalalain, and collect other data that has relationship with secondary
data source.

From thise research, the researchers concluded that: The concept of ûlû al-
Albâb in the al-Qur’an is someone who has extensive knowledge and has the
sharpness in analyzing a problem, then he uses the advantages to be closer to God
by remembering (dzikr) and thinking (tafakkur) the creations of God, so there will
be afraid of God and strong piety in him self. The connection between concept of
ûlû al-Albâb with islamic education are figure ûlû al-Albâb has personality
characteristic that is characterized by the presence of spirituality, morality,
intellect and professionalism.
KATA PENGANTAR

Al-Hamdulillahirabbil ‘alamin, Puji syukur Peneliti panjatkan kepada


Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga
skirpsi ini bisa terselesaikan. Shalawat seiring salam semoga tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. sebagai suri tauladan bagi kita semua.

Skripsi yang berjudul “Konsep Ûlû Al-Albâb Dalam Al-Qur’an Al-


Karim dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam” disusun untuk memenuhi
syarat gelar Sarjana Strata Satu (S1) Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selesainya skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan yang telah diberikan
selama masa perkuliahan baik berupa ilmu pengetahuan, tenaga, waktu serta do’a
restu serta motivasi dari berbagai pihak lain, baik langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu Peneliti mengucapkan terima kasih kepada kedua orang
tua, yaitu Ayahanda H. Mughni, S.Pd.I. dan Ibunda Hj. Rosyadah yang telah
merawat serta mendidik Peneliti dengan penuh kasih sayang, mendo’akan dan
mencukupi moril dan materil sejak kecil hingga saat ini, Kakak-kakakku yang
selalu memberikan senyum semangat untuk Peneliti, Istriku, Sofia Hasanah
Fitrianur, S.Pd.I., yang selalu mensupport Peneliti, dan menemani disaat suka
maupun duka.

Selanjutnya, Peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA. Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan pengetahuan serta
bimbingan yang dapat memotivasi Peneliti.
2. Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, MA, Ketua Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
3. Ibu Marhamah Shaleh, MA. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, yang selalu memberikan motivasi
serta nasihat untuk Peneliti.

i
ii

4. Bapak Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA. sebagai Dosen Pembimbing
skripsi yang sabar, memberi masukan dan meluangkan waktu dalam
proses penyusunan skripsi.
5. Bapak Drs. Rusydi Jamil, M.Ag. Dosen Penasehat Akademik yang telah
membimbing Peneliti selama kurang lebih 4 tahun dalam proses
perkuliahan.
6. Segenap Dosen Pendidikan Agama Islam yang selalu memberikan
motivasi untuk Peneliti.
7. Teman-teman seperjuangan jurusan Pendidikan Agama Islam 2010 yang
telah memberikan dukungan, semangat, motivasi, serta bantuannya.
Khususnya teman-teman Molose PAI C 2010 yang selalu menyemangati
serta menjaga kekompakkan untuk bisa lulus dan sarjana, sehingga
Peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8. Semua pihak yang tidak Peneliti sebutkan satu persatu yang telah
memberikan semangat dan saran untuk penulisan skripsi.

Semoga bantuan dan dorongan yang telah diberikan dapat menjadi amal
baik dan mendapat balasan dari Allah SWT. Mudah-mudahan skripsi ini dapat
bermanfaat bagi Peneliti khususnya dan umumnya bagi khazanah ilmu
pengetahuan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 03 Juli 2017


Peneliti,

Muhammad Mustain
NIM. 1110011000092
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................ iii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................ v
DAFTAR TABEL ......................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 8
C. Pembatasan Masalah ....................................................................... 8
D. Perumusan Masalah ........................................................................ 8
E. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8
F. Manfaat Penelitian .......................................................................... 9

BAB II KAJIAN TEORI


A. Pengertian Ûlû al-Albâb ......................................................................... 10
B. Ciri-ciri Ûlû al-Albâb ............................................................................. 16
C. Relevansi Ûlû al-Albâb di Zaman Sekarang .......................................... 20
D. Hasil Penelitian yang Relevan ........................................................ 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


A. Objek dan Waktu Penelitian ........................................................... 25
B. Metode Penelitian ........................................................................... 25
C. Sumber data .................................................................................... 25
D. Fokus Penelitian ............................................................................. 26
E. Prosedur Penelitian ......................................................................... 26

iii
iv

BAB IV KONSEP ÛLÛ AL-ALBÂB DALAM AL-QUR’AN


AL-KARIM
A. Term Ûlû al-Albâb dalam al-Qur’an .................................................. 28
1. Ûlû al-Albâb dalam Surah-surah Makkiyah ........................................ 29
2. Ûlû al-Albâb dalam Surah-surah Madaniyah ..................................... 43
B. Klasifikasi Ayat-ayat Ûlû al-Albâb Berdasarkan Tartib Nuzul ............ 55
C. Analisis Ayat-ayat al-Qur’an tentang Ûlû al-Albâb ........................... 59
D. Konsep Ûlû al-Albâb dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam ......... 72

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 87
B. Saran ............................................................................................... 87

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
v

DAFTAR LAMPIRAN

Surat Bimbingan Skripsi


vi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 : Tartib Nuzul Surah-surah Makkiyah ................................... 61


Tabel 4.2 : Tartib Nuzul Surah-surah Madaniyah .................................. 63
Tabel 4.3 : Tartib Nuzul Ayat-ayat Ûlû al-Albâb secara berurutan ............ 63
Tabel 4.4 : Konsep Pendidikan Ûlû al-Albâb .......................................... 84
vii

DAFTAR GAMBAR

Konsep Pendidikan Ûlû al-Albâb ..................................................................... 86


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur‟an adalah firman Allah SWT. yang diturunkan kepada hati
Rasulullah Saw., Muhammad bin Abdullah melalui ar-ruhul Amiin (Jibri as)
dengan lafal-lafalnya yang berbahasa Arab dan maknanya yang benar agar ia
menjadi hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar-benar Rasulullah, menjadi
undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk bagi mereka dan menjadi
sarana pendekatan diri dan ibadah kepada Allah SWT dengan membacanya.1
Ayat-ayat al-Qur‟an merupakan serat yang membentuk tenunan
kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Ketika al-
Qur‟an berbicara tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek
tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek lain secara
sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi bagi orang yang tekun
mempelajarinya maka ia akan menemukan keserasian hubungan yang amat
mengagumkan.2
Kehadiran al-Qur‟an senantiasa eksis untuk setiap zaman dan kondisi. Ia
hadir untuk menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia. Hal ini
tersurat jelas dalam firman Allah Swt.:

        ….

 ….   


“…. Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk
memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan ….” (QS. Al-Baqarah: 213)

1
Abuddin Nata, al-Qur‟an dan Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), Cet. I, h.
55.
2
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Berbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1997), Cet. V, h. 8.

1
2

Manusia merupakan makhluk yang dianugerahkan akal pikiran oleh


Allah SWT. dengan akal pikiran tersebut maka manusia dapat menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang ia hadapi sesuai dengan tuntunan al-Qur‟an.
Hal tersebut senada dengan penjelasan Abuddin Nata bahwa, “akal
merupakan bagian dari kecerdasan emosional, yaitu suatu kemampuan
mengolah diri agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan, bahwa keberhasilan seseorang di masyarakat
ternyata tidak semata-mata ditentukan oleh prestasi akademisnya, melainkan
juga oleh kemampuan mengelola dirinya”.3
Allah SWT. menciptakan kemampuan berpikir untuk manusia agar dapat
beribadah kepada-Nya serta dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai
khalifah di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya.
Akal dalam bahasa Arab adalah al-„aql. Banyak sekali istilah al-„aql
disebut dalam al-Qur‟an. Dalam penggunaanya, al-„aql mengandung
pengertian kemampuan berpikir atau menggunakan nalar. Kata tersebut sangat
populer di Indonesia dengan sebutan “akal”.4 Orang yang mempunyai daya
nalar yang tinggi dan kemampuan dalam berpikir, serta mengetahui suatu
pengetahuan secara sistematis dapat disebut pakar.
Dalam diri manusia terdapat dua daya, yaitu daya fikir yang berpusat di
kepala dan daya rasa (qalbu) yang berpusat di dada. Untuk mengembangkan
daya ini telah ditata sedemikian rupa oleh Islam, misalnya untuk mempertajam
daya rasa dapat dilakukan dengan cara shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain.
untuk mempertajam daya pikir perlu arahan ayat kauniyah, yaitu yakni ayat-
ayat mengenai visi cosmos yang menganalisa dan menyimpulkan kemudian
melahirkan gagasan inovatif demi pengembangan peradaban manusia sebagai
khalifah di muka bumi.5

3
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan: Tafsir Ayat At-Tarbawy, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010), Cet. IV, h. 138.
4
Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur‟an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci,
(Jakarta: Paramadina, 1996) Cet. I, h. 558.
5
Miftahul Ulum, “Konsep Ulul Albab Q.S Ali-Imran Ayat 190-195 dan Relevansinya dengan
Tujuan Pendidikan Islam”, Skripsi pada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Semarang, 2011, h. 1,
tidak dipublikasikan.
3

Al-Qur‟an selalu mendorong akal pikiran dan menekan pada upaya


mencari ilmu pengetahuan serta pengalaman dari sejarah, dunia alamiah, dan
diri manusia sendiri, karena Allah SWT menunjukkan tanda-tanda kebesaran-
Nya dalam diri manusia sendiri, ataupun di luar dirinya. Oleh karena itu
menjadi kewajiban manusia untuk menyelidiki dan mengamati ilmu
pengetahuan yang dapat menghasilkan kecakapan dalam semua segi dari
pengalaman manusia.6
Pada masa ini, sepertinya akal tidak begitu diunggulkan, melihat bahwa
manusia pada saat ini lebih bergantung terhadap teknologi daripada
menggunakan akalnya sendiri. Kemajuan ilmu dan teknologi pada saat ini telah
membuat manusia lupa diri, lupa terhadap potensi terbesar yang dimilikinya
yang lebih canggih daripada mesin, yaitu akal.
Hal senada diungkapkan oleh Zainuddin dalam bukunya yang berjudul
Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ûlû al-Albâb bahwa,
“masyarakat muslim saat ini tidak lepas dari faktor modernisasi dan globalisasi
yang berdampak pada semua aspek kehidupan: ekonomi, sosial, politik, dan
juga pendidikan”.7 Tidak dapat kita pungkiri fenomena modernitas saat ini
sangat mempengaruhi gaya dan pola hidup hampir semua lapisan masyarakat.
Misalnya acara televisi, handphone yang banyak mempengaruhi prilaku anak
pada zaman sekarang.
Allah SWT. telah memuliakan manusia dengan akal dan nurani, ia
sebagai pengontrol utama atas semua yang berlaku dalam aktifitas manusia,
namun dalam prakteknya, posisi dan peran akal sering kali terkalahkan oleh
nafsu dan kehendak syaitan. Hasilnya, kemaksiatan terjadi dimana-mana.
Kemaksiatan yang terjadi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh
pertentangan yang luar biasa antara akal dan nafsu.8

6
Miftahul Jannah, “Penafsiran Ulul Al-Bab Dalam Tafsir Al-Misbah”, Skripsi pada UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2015, h. 2, tidak dipublikasikan.
7
M. Zainuddin, “Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ûlû al-Albâb”,
(Malang: UIN Malang Press, 2008), Cet. I, h. 100-101.
8
Yusuf Qardhawi, al-Qur‟an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Terj. dari al-Aqlu
wal „ilmu fil Qur‟anil Karim oleh Abdul. H & Irfan. S, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), Cet. I,
h. 30.
4

Ketika akal lebih dominan maka tindakan positif yang terjadi, sebaliknya
jika hawa nafsu lebih dominan, maka tindakan negatiflah yang akan muncul.
Hal tersebut pula dapat terjadi karena manusia zaman sekarang shalatnya
jarang, kurang berdzikir juga kurang merenung terhadap ayat-ayat Allah SWT.
sehingga tidak dapat membaca gejala-gejala alam.
Perihal di atas berbanding terbalik dengan kondisi pada masa keemasan
Islam yang telah diletakkan dasarnya oleh Rasulullah SAW. dan dikembangkan
oleh para sahabat dan tabi‟in sehingga melahirkan zaman keemasan pada era
Abbasiyah dan beberapa waktu setelahnya antara tahun 700-1500 M, yang
mana pada masa tersebut telah melahirkan para intelektual muslim yang
mengintegrasikan antara wahyu dan rasionalitas dan mengantarkan Islam pada
masa keemasan.9
Sejalan dengan kelebihan dan keistimewaan akal yang dimiliki oleh
manusia yang dirahmatkan sang Khaliq tersebut, maka manusia harus bisa
memposisikan diri sebagai makhluk yang tidak hanya memikirkan atau peduli
terhadap dirinya sendiri, tetapi harus senantiasa peduli dan peka terhadap
keberadaan sekelilingnya, sehingga potensi fikir dan dzikir senantiasa
menyelimuti aktifitasnya sehari-hari sebagai manusia adalah tidak hanya
sebagai makhluk Allah yang paling sempurna tetapi juga sebagai keharusan
untuk menuju insan kamil yang di dalam Al-Qur‟an sering disebut dengan
istilah ûlû al-albâb.
Untuk melahirkan sosok ûlû al-albâb ini merupakan tugas utama
lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam rangka menciptakan kondisi dan
lingkungan pendidikan yang istimewa, sehingga dapat melahirkan intelektual-
intelektual yang mempunyai pandangan yang tajam dan mempunyai wibawa
secara intelektual dan moral untuk berbicara tentang masalah-masalah besar
yang dihadapi umat manusia.
Pendidikan Islam merupakan salah satu lembaga ajaran agama Islam,
memiliki tujuan mulia yang sesuai dengan aturan dan tuntunan Al-Qur‟an

9
Abdul Basid, Ulul Albab Sebagai Sosok dan Karekter Saintis yang Paripurna, jurnal FKIP
UNS, vol 3, no. 4, 2012, h. 281-282.
5

untuk membentuk kepribadian muslim, yaitu suatu kepribadian yang seluruh


aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam.10 Tujuan pendidikan Islam yang ingin
dicapai mencakup aspek kognitif (akal), aspek afektif (moral) dan spiritual.
Dengan kata lain, terciptanya kepribadian yang seimbang, yang tidak hanya
menekankan perkembangan akal, tetapi juga perkembangan spiritual.11
Dengan demikian peranan lembaga pendidikan Islam sangat penting
untuk melahirkan generasi-generasi intelektual muslim yang dapat
merekonstruksi setiap persoalan yang ada sesuai dengan ajaran al-Qur‟an dan
Hadits.
Istilah ûlû al-albâb diambil dari bahasa al-Qur‟an sehingga untuk
memahaminya diperlukan kajian terhadap nash-nash yang berbicara tentang
ûlû al-albâb. oleh karena itu agar diperoleh pemahaman yang utuh mengenai
istilah tersebut, maka diperlukan kajian mendalam terhadap ayat-ayat yang
berkaitan dengan ûlû al-albâb, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun dari
kandungan makna yang dibangun dari pemahaman terhadap pesan, kesan,
keserasian (munasabah) antara ayat yang satu dengan ayat-ayat
sebelumnya.12
Istilah Ûlû al-albâb disebutkan dalam al-Qur‟an sebanyak 16 kali yang
terliput dalam 10 surah.13 Sembilan di antaranya terdapat dalam al-Qur‟an
pada periode Makkiyah dan tujuh lainnya terdapat dalam al-Qur‟an pada
periode Madaniyah. Adapun ayat-ayat yang menyebutkan term ûlû al-albâb
antara lain terdapat pada Q.S: al-Baqarah: 179, 197, 269; Ali „Imran: 7, 190-
191; al-Maidah: 100; Yusuf: 111; al-Ra‟d: 19; Ibrahim: 52; Shaad: 29, 43;
az-Zumar: 9, 18, 21; al-Mu‟min: 54 dan al-Talaq: 10.
Salah satu isyarat al-Qur‟an terhadap orang yang diberi pengetahuan akal
adalah ûlû al-albâb. Allah SWT. memberi penghargaan dan pujian melalui ayat-
ayat al-Qur‟an terhadap ûlû al-albâb. Sosok ûlû al-albâb dalam mencari ilmu

10
Zakiah Daradjat, dkk., Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001),
cet. II, h. 72.
11
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), cet. V, h. 41.
12
Rahmat Aziz, Kepribadian Ulul Albab, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), cet. I, h. 50
13
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2006), cet. II, h. 300.
6

pengetahuan melalui sumbernya yang khas Islami, yaitu wahyu (al- Qur‟an dan
hadis), alam semesta, diri sendiri dan sejarah. Sedangkan cara yang
ditempuhnya dengan menggunakan pengetahuan inderawi, pengetahuan akal
dan intuisi (ilham).14
Ûlû al-albâb akan senantiasa mempergunakan akalnya untuk berpikir
tentang segala ciptaan Allah SWT. dan tunduk atas segala ketentuannya.
Mereka akan selalu mengadakan perbaikan dan penyelidikan terhadap
fenomena yang ada karena keistimewaan yang telah diberikan Allah
kepadanya.15
Akan tetapi sebaliknya, kelompok ûlû al-albâb sudah semakin langka di
dunia Islam, pada saat ini yang lebih mendominasi adalah manusia-manusia
yang hanya berpikir untuk kepentingan dirinya sendiri, bukan untuk
kepentingan maslahat umat.
Generasi ûlû al-albâb dituntut untuk selalu memikirkan dan meneliti
serta mengungkapan kebesaran ilmu-ilmu Allah yang masih banyak belum
terungkap untuk diketahui dan diteliti, sebagaimana firman Allah SWT. dalam
QS. Ali Imron (3): 191-192, sebagai berikut:

       

        

       

        


“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil

14
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu Menyiapkan Generasi ûlû al-albâb,
(Malang: UIN Malang, 2008), h. 98.
15
Abu Samsudin, Wawasan Al-Qur‟an tentang Ûlû al-Albâb: Studi Komparasi Terhadap
Pemikiran Wahbah al-Zuhaily dalam Tafsir al-Munir dengan M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-
Misbah, Tesis di Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2016, h. 1. tidak dipublikasikan.
7

berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka


memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha
suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Âli
Imrân: 190-191)

Konsep ûlû al-albâb yang terdapat dalam surat Âli Imrân ayat 190-191
memberikan penjelasan bahwa orang yang berakal adalah orang yang
melakukan dua hal, yaitu tadzakkur yakni mengingat Allah SWT. dengan
ucapan dan atau hati dalam situasi dan kondisi apapun, dan tafakkur
memikirkan ciptaan Allah SWT. yakni kejadian di alam semesta. Dengan
melakukan dua hal tersebut, seseorang diharapkan sampai kepada hikmah
yang berada di balik proses mengingat dan berpikir, yaitu mengetahui,
memahami, menghayati bahwa di balik fenomena alam dan segala sesuatu
yang ada di dalamnya menunjukkan adanya Sang Pencipta, yaitu Allah
SWT.16
Ayat di atas menunjukan bahwa dalam penciptaan langit dan bumi serta
pergantian malam dan siang termasuk bagian dari keesaan-Nya dan semua
berada dalam kehendak-Nya. Manusia yang memiliki kelebihan berupa
akal pengetahuan dituntut untuk melakukan penelitian tentang apa yang
diciptakan-Nya, karena semua ciptaan-Nya tidak ada yang sia-sia. Apabila
manusia menyia-nyiakan ciptaan-Nya, maka Allah SWT. akan memberi
balasan yang hina baginya.
Oleh karena itu, penting kiranya untuk meneliti secara komprehensif
bagaimana sesungguhnya konsep ûlû al-albâb dalam al-Qur‟an yang
dikaitkan dengan pendidikan Islam. Berdasarkan latar belakang yang telah
peneliti paparkan di atas, maka peneliti merasa perlu untuk melakukan
penelitian dengan judul: “KONSEP ÛLÛ AL-ALBÂB DALAM AL-
QUR’AN AL-KARIM DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN
ISLAM”.

16
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), Cet. X, h. 308-309.
8

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Teknologi mendominasi akal pikiran manusia.
2. Dampak modernitas mempengaruhi gaya dan pola pikir manusia.
3. Pola pikir manusia yang belum maksimal untuk menggunakan akal
pikirannya.

C. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya pembahasan maka diperlukan pembatasan
masalah. Maka peneliti membatasi permasalahan dalam penulisan skripsi ini
pada persoalan seputar konsep ûlû al-albâb dalam al-Qur‟an al-Karim.

D. Perumusan Masalah
Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka peneliti merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep ûlû al-albâb dalam al-Qur‟an al-Karim?
2. Bagaimana keterkaitan konsep ûlû al-albâb dengan pendidikan Islam?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan di atas,
maka tujuan yang diharapkan tercapai dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami konsep ûlû al-albâb dalam al-
Qur‟an.
2. Untuk mengetahui keterkaitan konsep ûlû al-albâb dengan pendidikan
Islam
9

F. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Peneliti
a. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan tentang pendidikan
Islam di dalam al-Qur‟an, khususnya konsep ûlû al-albâb dalam al-
Qur‟an al-Karim;
b. Hasil penelitian ini merupakan modal awal dalam mengkaji konsep
ûlû al-albâb dalam al-Qur‟an al-Karim dan dapat ditindaklanjuti
oleh peneliti selanjutnya.

2. Bagi Lembaga Pendidikan (khususnya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,


Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam)
a. Sebagai barometer interdisipliner keilmuan dan kualitas mahasiswa
dalam bidang pendidikan;
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bacaan dan
menambah perbendaharaan keilmuan di Perpustakaan Tarbiyah dan
Umum.
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Ûlû al-Albâb


Secara etimologis istilah ûlû al-albâb terdiri dari dua kata, yakni ûlû dan

al-albâb. ‫ أول ـ ـ ـ ـوا‬dalam kamus al-Munjid dapat diartikan ‫ ذوو‬atau ‫أصحاب‬,

dan mufradnya adalah ‫ ذو‬atau ‫ صاحب‬yang memiliki arti mempunyai.1 Begitu

juga kamus Arab Indonesia seperti karya Mahmud Yunus2, Al-Munawwir


karya Ahmad Warson Munawir3 memberikan arti yang sama seperti Louis
Ma‟luf yaitu yang mempunyai.
Kata ûlû atau ûlî banyak dipakai dalam al-Qur‟an, kata ûlû atau ûlî
disebut sebanyak 43 kali dalam al-Qur‟an4, kata ûlû juga dapat berarti “yang
memiliki”5, hal ini senada dengan kamus lengkap Al-Fikr karya Ahmad
Sunarto6 yang berarti “yang memiliki”.
Sedangkan kata al-albâb adalah bentuk kata jamak dari kata lubb, yang
berarti akal atau al-qolb (hati),7 dapat juga diartikan isi tiap-tiap sesuatu, akal,
hati, cerdik8. Kata lubb juga berarti saripati. Kacang misalnya, memiliki kulit
yang menutupi isi. Isi kacang dinamai lubb9. Maka ûlû al-albâb artinya

1
Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi Al-Lughoh, (Beirut: Daar Al-Masyriq, 1986), h. 22.
2
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyyah,
2009), h. 55.
3
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. XXIV, h.
49.
4
Ali Audah, Konkordansi Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Lentera AntarNusa, 1991), cet. I,h. 688-
689.
5
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur‟an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), Cet. I, h. 553.
6
Ahmad Sunarto, Kamus Lengkap Al-Fikr, (Surabaya: Halim Jaya, 2002), cet. I, h. 20.
7
Louis Ma‟luf, op.cit., h. 709.
8
Mahmud Yunus, op.cit., h. 390.
9
M. lutfi Musthofa, dkk. Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama,
(Malang: Lembaga Kajian al-Qur‟an dan Sains (LKQS) UIN Malang, 2007), cet. II, h. 305.

10
11

seseorang yang mempunyai otak berlapis-lapis dan sekaligus memiliki


perasaan yang peka terhadap sekitarnya10
Al-Qur‟an mengekspos keluhuran orang yang beriman dan berilmu
sebagai hamba-hamba Allah yang memiliki kedudukan tinggi. Bahkan, diberi
gelar khusus untuk mereka yang memiliki kedudukan ini, yang mampu
mendayagunakan anugerah Allah SWT. (potensi akal, kalbu, dan nafsu) pada
sebuah panggilan, yaitu ûlû al-albâb. Allah SWT. tidak menafikan potensi
yang dianugerahkan oleh-Nya kepada manusia agar tidak tergiur dan
terpesona oleh hasil dirinya sendiri, sehingga keterpesonaan itu membuat
dirinya menjadi hamba dunia, karena kecintaan yang berlebihan pada
kehidupan dunia.
Secara terminologis, ûlû al-albâb adalah orang yang mampu mengambil
kesimpulan, pelajaran dan peringatan dari ayat-ayat Allah dalam al-Qur‟an,
gejala kemasyarakatan, peristiwa sejarah dan fenomena alam. 11 Dalam surat
Al-Baqarah ayat 269, Allah Swt. berfirman:

          

       


Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al
Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan
Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).
Dalam ayat tersebut ûlû al-albâb adalah seseorang dengan kualitas
tertentu. Jadi, seorang ûlû al-albâb seorang yang memiliki pemikiran yang
lebih dari orang lain, baik karena kecerdasan maupun intensitasnya dengan
perkataan lain, ûlû al-albâb adalah seorang pemikir, cendikiawan, cerdik,
cendikia, atau seorang filosof yang berpikir mendalam. Hal ini sesuai dengan
surah Ali Imran ayat 7, yang berbunyi:

10
Rahardjo, op.cit., h. 557.
11
M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia dan Prilaku Politik Bangsa, Risalah
Cendikiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), h. 76.
12

            …

    


“… dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan
kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.”

Dalam surah tersebut terdapat kalimat arraasikhuuna fil „ilmi yang


berarti orang-orang yang mendalam ilmunya. Seorang yang mendalam
ilmunya pastilah orang yang belajar banyak dan berpikir mendalam, mencari
pengertian yang paling hakiki atau inti yang hanya dapat dilakukan apabila
seseorang itu berpikir secara radikal, ke akar-akarnya. Dari aktifitas seperti
itulah seorang akan sampai pada kebijaksanaan (wisdom).
Di dalam al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang bersifat esensial dan
mendasar. Seorang yang berpikir mendalam tentunya akan mencari esensinya
dari berbagai ayat yang beraneka ragam isinya, yang penting, seorang itu
harus berhati jujur dalam mencari kebenaran janganlah kegiatan berpikir itu
diarahkan kepada hal-hal yang mengaburkan kebenaran.
Dari ayat tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang ûlû al-
albâb memiliki dua ciri utama, yaitu kecondongan kepada kebenaran dan
memiliki ilmu yang mendalam agar dapat memilah mana yang esensial dan
mana yang rinci yang mendukung dan memberi penjelasan pada yang pokok
tersebut.
Para cendekiawan memiliki pengertian masing-masing mengenai makna
ûlû al-albâb secara terminologis. Beberapa pendapat akan dikemukakan
seabagai berikut:
1. Menurut Quraish Shihab, ûlû al-albâb yaitu:
“Orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh
“kulit”, yakni kabut ide, yang dapat melahirkan kerancuan dalam
berpikir. Yang merenungkan tentang fenomena alam raya akan dapat
13

sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan


kekuasaan Allah Swt.”12
2. Menurut Ibnu Katsir yang tertuang dalam karyanya (Tafsir Ibnu
Katsir) bahwa yang disebut ûlû al-albâb adalah

‫الْعُ ُق ْو ُل التامةُ الّزكِيةُ ال ِِت تُ ْد ِرُك األَ ْشيَاءَ ِِبَ َقائِ َها َعلَى َجلِي ِاِتَا‬
‫َولَْي ُس ْوا َكالص ِّم َوالْبُ ْك ِم ال ِذيْ َن ََليَـ ْع ِقلُ ْو َن‬
"Yaitu mereka yang mempunyai akal yang sempurna lagi bersih, yang
mengetahui hakikat banyak hal secara jelas dan nyata, dan mereka
bukan seperti orang-orang yang buta dan bisu yang tidak dapat
berfikir.13"
3. Menurut Sayyid Quthb yang tertuang dalam karyanya Tafsir fii
Dzhilaali al-Qur‟an, ûlû al-albâb adalah “Orang yang memiliki
pemikiran dan pemahaman yang benar. Mereka membuka
pandangannya untuk menerima ayat-ayat Allah Swt. pada alam
semesta, tidak memasang penghalang-penghalang, dan tidak menutup
jendela-jendela antara mereka dan ayat-ayat ini. Mereka menghadap
kepada Allah Swt. dengan sepenuh hati sambil berdiri, duduk, dan
berbaring. Maka terbukalah mata (pandangan) mereka, menjadi
lembutlah pengetahuan mereka, berhubungan dengan hakekat alam
semesta yang dititipkan Allah Swt. kepadanya, dan mengerti tujuan
keberadaannya, alasan ditumbuhkannya, dan unsur-unsur yang
menegakkan fitrahnya demi ilham yang menghubungkan antara hati
manusia dan undang-undang alam ini.14
4. Menurut Abuddin Nata dalam karyanya Tafsir Ayat-ayat Pendidikan,
bahwa ûlû al-albâb adalah “Orang yang melakukan dua hal, yaitu
tadzakkur yakni mengingat Allah Swt., dan tafakkur yakni
memikirkan (ciptaan Allah).”15

12
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. X, h. 307.
13
„Abdullah Bin Muhammad Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, (Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi‟i, 2009), h. 795.
14
Sayyid Quthb, Tafsir fii Dzhilaali al-Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani, 2008), Jilid II, h. 245.
15
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: Rajawali , 2010), cet. IV, h. 131.
14

5. Menurut A.M. Syaifuddin, ûlû al-albâb adalah “Pemikir, intelektual


yang memiliki ketajaman analisis terhadap gejala dan proses alamiah
dengan metode induktif dan deduktif serta intelektual yang
membangun kepribadiannya dengan dzikir dalam keadaan dan situasi
apapun, sehingga mampu memanfaatkan gejala, proses, dan sarana
alamiah ini untuk kemaslahatan dan kebahagiaan seluruh umat
manusia. ûlû al-albâb intelektual muslim yang tangguh yang tidak
hanya memiliki ketajaman analisi obyektif, tetapi juga subyektif.”
6. Menurut Jalaluddin Rahmat, ûlû al-albâb adalah orang yang
merenungkan ciptaan Allah dilangit dan di bumi dan berusaha
mengembangkan ilmunya sedemikian rupa sehingga karunia Allah
Swt. ini dilipat gandakan nikmatnya.16
7. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, ûlû al-albâb diartikan sebagai
orang yang cerdas, berakal, atau orang yang mempunyai kecerdasan
tinggi dan berfikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan.17

Dalam Al-Qur‟an, ûlû al-albâb bisa mempunyai arti berbagai arti


tergantung dari penggunannya. Dalam A Concordance of the Qur‟an yang
dikutip oleh Dawam Rahardjo, kata ûlû al-albâb bisa mempunyai beberapa
arti:
1. Orang yang mempunyai pemikiran (mind) yang luas atau mendalam,
2. Orang yang mempunyai perasaan (heart) yang peka, sensitif, atau
yang halus perasaanya,
3. Orang yang mempunyai daya pikir (intellect) yang tajam atau kuat,
4. Orang yang memiliki pandangan dalam atau wawasan (insight) yang
luas, dan mendalam,
5. Orang yang memiliki pengertian (understanding) yang akurat, tepat,
atau luas,

16
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus, (Bandung: Mizan,
1998), Cet. IX, h. 213.
17
Pusat Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2003), ed. III. h. 437.
15

6. Orang yang memiliki kebijakan (wisdom), yakni mampu mendekati


kebenaran, dengan pertimbangan-pertimbangan yang terbuka dan
adil.18
Seorang ûlû al-albâb merupakan orang yang sadar akan ruang dan waktu,
artinya mereka ini adalah orang yang mampu mengadakan inovasi serta
eksplorasi, mampu menduniakan ruang dan waktu, seraya tetap konsisten
terhadap Allah Swt., dengan sikap hidup mereka yang sadar akan dzikir atau
mengingat kepada Allah Swt. Ûlû al-albâb memiliki ketajaman intuisi dan
intelektual dalam berhadapan dengan dunianya karena mereka telah memiliki
potensi yang sangat langka yaitu hikmah dari Allah Swt.
Orientasi hidup ûlû al-albâb hanya mencari ridho Allah SWT. kegiatan
mendidik dan belajar yang dilakukan semata-mata hanya untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Mencari ilmu bukan untuk memperoleh ijazah dan
kemudahan dalam mencari pekerjaan dan rezeki.19 Kebahagian bukan semata-
mata terletak pada keberhasilan mengumpulkan rezeki, tetapi pada kedekatan
dengan Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Keberhasilan hidup bagi penyandang
ûlû al-albâb bukan terletak pada jumlah kekayaan, kekuasaan, sahabat, dan
sanjungan yang diperoleh, melainkan keselamatan dan kebahagian hidup di
dunia dan akhirat.
Penyandang ûlû al-albâb selalu memilih jenis dan cara kerja atau belajar
yang shaleh, artinya yang benar, lurus, tepat, atau professional. Karena itu,
amal shaleh yang dilakukan oleh ûlû al-albâb selalu disenangi oleh manusia
dan bahkan oleh Allah SWT. Di samping itu, ûlû al-albâb meyakini
kehidupan jasmani dan ruhani, dunia dan akhirat.20 Kedua dimensi kehidupan
itu harus memperoleh perhatian secara seimbang dan tidak dibenarkan hanya
memprioritaskan salah satunya. Keberuntungan di dunia harus berdampak
positif pada kehidupan akhirat, dan tidak sebaliknya. Demikian pula
kesehatan jasmani harus memberi dampak positif pada kesehatan ruhani.

18
Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur‟an,op, cit., h. 557.
19
Musthofa, op, cit., h. 307.
20
Ibid., h. 307
16

Dari beberapa pengertian yang telah peneliti paparkan di atas tentang


beberapa pengertian ûlû al-albâb, maka dapat disimpulkan bahwa ûlû al-
albâb adalah seseorang yang memiliki wawasan yang luas dan mempunyai
ketajaman dalam menganalisis suatu permasalahan, tidak menutup diri dari
semua masukan yang datang dari orang lain, dengan kecerdasan dan
pengetahuan yang luas mereka tidak melalaikan Tuhannya, bahkan mereka
menggunakan kelebihan yang dimiliki untuk selalu mendekatkan diri kepada
Allah Swt. dengan cara mengingat (dzikir) dan memikirkan (fikir) semua
keindahan ciptaan dan rahasia-rahasia ciptaan-Nya, sehingga tumbuh
ketakwaan yang kuat dalam dirinya dan selalu bermawas diri dari gejolak
nafsu yang bisa menjerumuskan dirinya ke dalam lembah kenistaan.

B. Ciri-ciri Ûlû al-Albâb


Ûlû al-albâb tidak hanya berpikir tentang alam fisik, botani, dan sejarah.
Mereka pun ternyata mempunyai ciri-ciri yang berkitan tidak hanya dengn
aktifits pikirnya, melainkan juga dengan amal kongkretnya. Ûlû al-albâb
adalah orang dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mempunyai pengetahuan atau orang yang tahu.
2. Memenuhi perjanjian dengan Allah dan tidak akan ingkar dari janji
tersebut (yaitu beriman, berbuat baik, dan menjauhi yang keji dan
yang munkar). Menyambung apa yang diperintahkan oleh Allah untuk
disambung, (misalnya ikatan cinta kasih).
3. Takut kepada Tuhan (jika berbuat dosa) karena takut kepada hasil
perhitungan yang buruk.
4. Sabar karena ingin mendapat keridhoan Tuhan.
5. Menegakkan shalat.
6. Membelanjakan rezeki yang diperoleh untuk kemanfaatan orang lain,
baik secara terbuka maupun tersembunyi.
7. Menolak kejahatan dengan kebaikan.21

21
M. Dawam Rahardjo, Enslikopedi al-Qur‟an, op, cit., h. 568.
17

Pembahasan ûlû al-albâb dalam al-Qur‟an sebanyak 16 kali dan dapat


diperinci menjadi 16 karakteristik mengenai sosok generasi ûlû al-albâb. Hal
tersebut diungkapkan oleh Muhaimin yang dikutip oleh Mustofa dalam buku
yang berjudul Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan
Agama, yaitu:
1. Orang yang memiliki akal pikiran yang murni dan jernih yang tidak
diselubungi oleh kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam
berpikir.
2. Orang yang siap dan mampu hidup dalam suasana pluralisme dan
berusaha menghindari interaksi yang dapat menimbulkan
kesenjangan, kesalahpahaman dan keretakkan hubungan.
3. Orang yang mampu menangkap pelajaran, memilah dan memilih
mana jalan yang benar dan baik serta mana jalan yang salah dan
buruk, dan mampu menerapkan jalan yang benar dan baik, serta
menghindar dari jalan yang salah dan buruk.
4. Orang yang giat melakukan kajian penelitian sesuai dengan
bidangnya dan berusaha menghindari fitnah dan malapetaka dari
proses dan hasil kajian atau penelitiannya.
5. Orang yang mementingkan kualitas hidup disamping kuantitasnya
baik dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatan.
6. Orang yang selalu sadar akan kehadiran Tuhan dalam segala
situasinya dan kondisi, baik saat bekerja maupun beristirahat, dan
berusaha mengenali Allah SWT. dengan qalbu (dzikir) serta
mengenali alam semesta dengan akal (pikir), sehingga sampai
kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah
SWT.
7. Orang yang konsen terhadap kesinambungan, pemikiran dan sejarah,
sehingga tidak mau melakukan loncatan sejarah. Dengan kata lain ia
mau menghargai khazanah intelektual dari para pemikir cendikiawan
atau ilmuan sebelumnya.
18

8. Orang yang memiliki ketajaman hati dalam menangkap fenomena


yang dihadapinya.
9. Orang yang mampu bersedia mengingatkan orang lain berdasarkan
ajaran dan nilai-nilai Ilahi dengan cara yang lebih komunikatif.
10. Orang yang suka merenungkan dan mengkaji ayat-ayat al-
Qur‟an, dan berusaha mengkap pelajaran darinya.
11. Orang yang sabar dan tahan uji walaupun ditimpa musibah.
12. Orang yang mampu membedakan mana yang lebih bermanfaat dan
menguntungkan dan mana pula yang kurang bermanfaat dan
menguntungkan bagi kehidupannya di dunia dan di akhirat kelak.
13. Orang yang bersifat terbuka terhadap pendapat, ide atau teori dari
manapun datangnya, dan ia selalu menyiapkan konsep atau teori,
atau kriteria yang jelas yang dibangun dari petunju wahyu, kemudian
menjadikannya sebagai landasan dalam mengkritisi pendapat, ide
atau teori tersebut untuk selanjutnya berusaha dengan sungguh-
sungguh dalam mengikuti pendapat, ide atau teori yang terbaik.
14. Orang yang sadar dan peduli terhadap pelestarian lingkungan hidup.
15. Orang yang berusaha mencari petunjuk dan pelajaran dari fenomena
historik atau kisah-kisah terdahulu.
16. Orang yang tidak mau berbuat onar, keresahan dan kerusuhan, serta
berbuat yang tidak terpuji di masyarakat.22
Menurut Jalaludin Rahmat, “Sosok ûlû al-albâb menurut al-Qur‟an
memiliki 5 tanda yaitu:
1. Bersungguh-sungguh mencari ilmu, termasuk di dalamnya
kesenangan mensyukuri ni‟mat Allah di langit dan di bumi
2. Mampu memisahkan yang jelek dari yang baik kemudian ia pilih yang
baik walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan
walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang.
3. Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-
nimbang ucapan, teori proposisi atau dalil yang dikemukakan orang
lain; bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk
memperbaiki masyarakatnya.
4. Bersedia memberikan peringatan kepada masyarakat kalau terjadi
ketimpangan, dan diprotesnya kalau terjadi ketidakadilan, ia tidak

22
Mustofa, op, cit., h. 310.
19

duduk berpangku tangan dilaboratorium, ia tampil di hadapan


masyarakat, terpanggil hatinya untuk memperbaiki ketidak beresan
ditengah masyarakat.
5. Tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah”.23

Karakteristik yang dikemukakan oleh Jalaluddin di atas, item 1-3 dan 5


berkaitan dengan kemampuan berpikir dan berdzikir dan item keempat terkait
dengan kemampuan bersikap positif dan memberi manfaat kepada sesama.
Dengan demikian, ûlû al-albâb adalah seseorang yang memiliki kualitas
spiritual (dzikir), ketajaman analisis (fikr) dan memiliki pengaruh yang besar
dalam lingkungan hidupnya (amal sholeh).
Sedangkan menurut Herawati ada sebelas ciri-ciri Ûlû al-albâb, yaitu
1. Bersungguh-sungguh menggali ilmu pengetahuan.
2. Selalu berpegang pada kebaikan dan keadilan.
3. Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-
nimbang ucapan, teori atau dalil yang dikemukakan oleh orang lain.
4. Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain.
5. Sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu.
6. Rajin bangun malam untuk sujud dan ruku‟ dihadapan Allah.
7. Tidak takut kepada siapapun kecuali Allah semata.
8. Mampu memahami substansi dari suatu permasalahan secara
mendalam.
9. Mampu mengambil pelajaran dan hikmah dari peristiwa terdahulu.
10. Memiliki kejernihan pikiran dan kelembutan hati untuk bertaqwa
kepada Allah SWT.
11. Mampu meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya.24
Karakteristik yang dikemukakan oleh Herawati di atas, item 1, 5, 8, dan
9 berkaitan dengan kemampuan berfikir, item 6, 7, dan 10 berkaitan dengan
kemampuan berdzikir, dan item 2, 3, 4, dan 11 terkait dengan memiliki

23
Rahmat, op, cit., h. 214.
24
Azizah Herawati. (2015). Kontekstualisasi Konsep Ûlû al-Albâb di Era Sekarang, Jurnal
Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Vol. 3, No. 1, h.130-136.
20

pengaruh yang besar dalam lingkungan hidupnya atau disebut dengan amal
sholeh.
Berdasarkan pendapat para tokoh di atas, pada intinya ciri-ciri ûlû al-
albâb mengandung tiga unsur, yaitu fikir, dzikir dan amal sholeh. Oleh karena
itu, penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ûlû al-albâb adalah
cendikiawan muslim yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mengupayakan dan mengembangkan potensi intelektual yang dimiliki
untuk dapat memahami ayat-ayat Allah.
2. Menjadikan ilmu pengetahuan sebagai rahmatan lil‟alamin bukan
untuk menimbulkan kerusakan dan kebinasaan.
3. Mengamalkan ilmu pengetahuan yang dimiliki semata-mata hanya
untuk membantu dan membimbing masyarakat.
4. Mampu membedakan perbuatan baik dan buruk.
5. Memiliki keimanan yang kuat serta akhlak yang mulia sehingga tidak
mudah terpengaruh oleh material duniawi.

C. Relevansi Ûlû al-Albâb di Zaman Sekarang


Dalam masyarakat Islam, seorang intelektual bukan saja seorang yang
memahami sejarah bangsanya dan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran
yang analitis, melainkan juga menguasai nilai-nilai yang terkandung dalam
al-Qur‟an. Al-Qur‟an menyebut kaum intelektual dengan sebutan ûlû al-
albâb, sosok ûlû al-albâb merupakan sosok yang ideal yang digambarkan
oleh Allah SWT. melalui al-Qur‟an. Allah SWT. memberikan penghargaan
dan penghormatan kepada ûlû al-albâb, bentuk penghargaan tersebut adalah
dengan menyebut ûlû al-albâb sebanyak 16 kali dalam al-Qur‟an.25
Jika sosok ûlû al-albâb yang digambarkan oleh Allah SWT. dalam al-
Qur‟an dapat diterapkan pada zaman sekarang, tentunya hal tersebut
sangatlah luar biasa. Tidak mustahil sosok ûlû al-albâb ditemukan, namun
perlu bersungguh-sungguh mengerahkan segala kemampuan baik intelektual,

25
Yusuf Qardhawi, al-Qur‟an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Terj. dari al-
Aqlu wal „ilmu fil Qur‟anil Karim oleh Abdul. H & Irfan. S, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998),
Cet. I, h. 30.
21

spiritual maupun emosional. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sub


bab sebelumnya bahwa ûlû al-albâb terbentuk melalui fikir, dzikir dan amal
sholeh.
Menurut Masduki ûlû al-albâb memiliki tanggung jawab serta dituntut
untuk:
1. Terus menerus mempelajari kitab suci al Qur‟an dalam rangka
mengamalkan dan menjabarkan nilai-nilainya yang bersifat umum
agar dapat ditarik darinya petunjuk-petunjuk yang dapat
disumbangkan atau diajarkan kepada masyarakat, bangsa dan negara
yang selalu berkembang, berubah dan meningkat kebutuhan-
kebutuhannya, atau dengan bahasa lain mereka harus mampu
menterjemahkan nilai-nilai tersebut agar dapat diterapkan dalam
membangun dunia ini serta memecahkan masalah-masalah yang
terjadi di masyarakat secara luas. Karena yang demikian itulah tujuan
Al-Qur‟an dan itu pulalah tujuan mengapa mereka diperintahkan
untuk selalu mempelajari dan mengajarkannya.
2. Mereka juga dituntut untuk terus mengamati ayat-ayat Allah SWT.,
serta mengamati fenomena alam. Ini mengharuskan mereka untuk
menangkap dan selalu peka terhadap kenyataan-kenyataan alam dan
sosial. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa peran mereka tidak
hanya terbatas pada perumusan dan pengarahan tujuan-tujuan, akan
tetapi sekaligus harus mampu memberikan contoh pelaksanaan dan
sosialisasinya.26
Dengan demikian tugas dan peran ûlû al-albâb pada saat ini adalah
dalam rangka pengembangan keilmuan. Semua umat manusia sudah
seharusnya mengkaji ilmu, namun tidak semua orang punya kemampuan dan
kemauan untuk mengkajinya. Mengkaji di sini tidak hanya sebatas membaca,
namun lebih luas lagi yaitu untuk dipelajari, dianalisa serta dipecahkannya
persoalan umat manusia, karena seiring sejalan dengan maju dan

26
Yusron Masduki, Kontribusi Keilmuan al-Qur‟an bagi Umat Manusia, Jurnal Studi Islam,
Vol. 14, No. 2, 2016, h. 182.
22

berkembangnya ilmu pengetahuan serta peradaban manusia, semakin


kompleks pula permasalahan yang harus dipecahkan oleh ûlû al-albâb.
Herawati memaparkan bahwa fungsi cendekiawan muslim pada zaman
sekarang adalah sebagai berikut:
a. Mengerahkan secara optimal semua potensi intelektual yang dimiliki
untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta
berijtihad dalam rangka memahami ayat-ayat Allah SWT. baik yang
qauliyah maupun yang kauniyah.
b. Mampu menjadikan ilmu pengetahuan yang dimiliki sebagai alat
unruk mencari karunia sebanyak-banyaknya dari Allah SWT. untuk
kebaikan umat manusia, bukan untuk menimbulkan kerusakan dan
kebinasaan.
c. Bersedia menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dalam
rangka membimbing, membina, dan memimpin masyarakat.
d. Menyadari bahwa sekalipun orang-orang yang berilmu pengetahuan
tidak sama dengan yang tidak berilmu pengetahuan, tapi derajat
kemuliaan seorang cendekiawan tidak hanya ditentukan oleh
ketinggian ilmu pengetahuannya semata, tetapi lebih utama lagi
ditentukan oleh sejauh mana kedekatan (taqarrub)nya dengan Allah
SWT. Oleh sebab itu cendekiawan muslim harus senantiasa berdzikir
kepada Allah SWT. di mana saja berada dan dalam kondisi apapun.
e. Memiliki sikap furqan, ia mampu membedakan antara hal yang baik
dan yang buruk.
f. Memiliki iman yang kuat dan akhlak yang mulia yang tercermin dari
sikap dan tutur katanya.27
Oleh karena itu, sosok ûlû al-albâb pada saat ini sangatlah diperlukan
khususnya di Indonesia yang secara serius dihadapkan pada pengaruh sistem
sekuler dan materialistis. Terlebih lagi saat ini masyarakat juga dihadapkan
dengan realitas permasalahan dekadensi moral yang kian lama semakin
menjadi. Beberapa fenomena yang muncul dalam masyarakat muslim

27
Herawati, op, cit., h. 15.
23

khususnya di Indonesia adalah semakin melonggarnya ikatan-ikatan norma,


baik norma sosial, budaya maupun agama. Hal ini terlihat pada kurangnya
penghargaan terhadap janji, waktu, ketertiban, kebersihan dan masih banyak
etika dasar lainnya yang seharusnya diperhatikan dengan baik.
Realita tersebut terjadi oleh adanya pergeseran nilai yang disebabkan
oleh derasnya arus globalisasi yang tidak imbang dengan penanaman nilai
dan karakter. tentulah menjadi sangat luar biasa dapat menemukan figur
muslim yang bersungguh-sungguh mengerahkan jiwa, raga, spiritual,
intelektual dan emosional.

D. Hasil Penelitian yang Relevan


Untuk mendukung penelitian ini, berikut ini beberapa penelitian yang
relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian tersebut antara
lain:
1. Azizatul Habibah
Penelitian yang dilakukan oleh Azizatul Habibah Jurusan Tafsir
Hadits di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Program S1. Penelitian tersebut
berjudul “Makna Ûlû al-Albâb Dalam Al-Qur‟an”, berdasarkan hasil
penelitian tersebut dijelaskan bahwa ûlû al-albâb menurut al-Qur‟an
merupakan seseorang yang memiliki keistimewaan tertentu baik dalam
bidang hikmah maupun pengetahuan.
Perbedaan penelitian di atas dengan penelitian ini adalah penelitian
tersebut lebih menekankan pada makna ûlû al-albâb dan tidak
mengintegrasikannya dengan pendidikan Islam, sedangkan peneliti
membahas tentang konsep ûlû al-albâb dalam al-Qur‟an dan penerapannya
dalam pendidikan Islam.

2. Rahmat Aziz
Penelitian yang dilakukan oleh Rahmat Aziz dalam Jurnal
Psikoislamika tahun 2006 membahas tentang “Alternatif Pengukuran Ûlû
Al-Albâb: Pendekatan Psikometris dalam Mengukur Kepribadian Ûlû Al-
Albâb”, penelitian tersebut bertujuan untuk mendapatkan alat ukur
24

mengenai kepribadian ûlû al-albâb yang memenuhi persyaratan


psikometris sehingga bisa dijadikan alternatif dalam mengukur
kepribadian ûlû al-albâb pada mahasiswa Universitas Islam Negeri
Malang.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut menyatakan bahwasannya: alat
ukur yang dikembangkan mampu mengungkapkan karakteristik
kepribadian ulul albab yaitu karakteristik kepribadian yang dicirikan
dengan adanya kemampuan berupa spiritual, akhlak dan kematangan ilmu.
Perbedaan penelitian ini adalah penelitian terdahulu menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan instrumen angket sedangkan penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan library research.

3. Miftahul Ulum
Penelitian yang dilakukan oleh Miftahul Ulum Jurusan Pendidikan
Agama Islam di Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang
Program S1. Penelitian tersebut berjudul “Konsep Ûlû Al-Albâb Q.S Ali-
Imran ayat 190-195 dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam”
berdasarkan hasil penelitian tersebut menyatakan bahwasannya: antara
konsep yang ada pada ûlû al-albâb dengan tujuan pendidikan adalah sama-
sama bertujuan untuk menjadikan siswa sebagai Abdullah yang selalu
tunduk dan menghambakan diri kepada Allah SWT. dengan cara
menjalankan perintah Allah SWT. dan meninggalkan semua larangannya
agar benar-benar tercipta pada diri siswa menjadi manusia yang muttaqin
dan mereka mampu mengaplikasikan ilmu yang mereka miliki untuk
kemaslahatan ummat dan menjadi insan yang sempurna (insan kamil).
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian
terdahulu hanya memfokuskan penelitian pada ayat Ûlû Al-Albâb Q.S. Ali-
Imran ayat 190-195. Sedangkan penelitian ini mencoba untuk meneliti
konsep ayat-ayat Ûlû Al-Albâb yang berjumlah 16 ayat dalam al-Qur‟an
dengan surah yang berbeda-beda.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian


Objek dalam penelitian ini adalah mengenai kajian tentang tafsir tentang
Ulu Al-Albab di dalam al-Qur‟an. Adapun waktu penelitian yang dilakukan
oleh peneliti yaitu enam bulan terhitung dari tanggal 01 Januari 2017.

B. Metode Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini peneliti menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research)1, yaitu dengan mengumpulkan data atau
bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan dan permasalahannya,
yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan.

C. Sumber Data
1. Data Primer
Data primer adalah data utama dari berbagai referensi atau sumber-
sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama.2 Adapun
yang menjadi data primer dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai
berikut:
a. Terjemah Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi
oleh Bahrun Abu Bakar, K. Anshori Umar. S., Hery Noer. A,
(Semarang: Toha Putra).
b. Terjemah Lubaabut Tafsir min Ibni Katsir karya „Abdullah bin
Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh oleh M. Abdul
Ghaffar dan Abu Ihsan al-Atsari (Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟i).
c. Terjemah Tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin bin Muhammad
bin Ahmad al-Mahalli dan Imam Jalaluddin bin Abdurrahman bin

1
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset,1999), Jilid I, hal. 9.
2
Saefudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 89

25
26

Abi Bakar as-Suyuti, oleh Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar


Baru al-Gensindo).

2. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari sumber-
sumber lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian dan
memberi interpretasi terhadap sumber primer.3
Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah buku, jurnal, dan
tesis yang berkaitan dengan variabel penelitian.
Selanjutnya untuk memberi penjelasan atau penafsiran terhadap ayat
tersebut, melalui metode studi pustaka (library research), maka langkah
yang ditempuh adalah dengan cara membaca, memahami serta menelaah
buku-buku, baik berupa kitab-kitab tafsir maupun sumber-sumber lain
yang berkenaan dengan permasalahan yang ada, kemudian dianalisa.

D. Fokus Penelitian
Menurut Sugiyono, “batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut
dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat umum”.4
Dengan melihat pendapat Sugiyono, maka penulis mencantumkan apa yang
ada dalam batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam penulisan ini,
yaitu mengenai tafsir tentang Konsep Ulu al-Albab dalam al-Qur‟an.
Jadi, dalam penelitian ini peneliti bermaksud mengkaji tentang tafsir
Konsep Ulu al-Albab dalam al-Qur‟an yang tertulis di dalam al-Qur‟an
sebanyak 16 kali, dengan mencari data-data dan sumber yang membahas
mengenai ayat tersebut.

E. Prosedur Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan dengan cara memilih tema atau
topik kajian tertentu yang hendak dicari penjelasannya dalam al-Qur‟an yang
lebih dikenal dengan metode maudhu’i. Kemudian dicari keterkaitan antara

3
Ibid., h. 91
4
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods),
(Bandung: Alfabeta, 2011), h.287
27

berbagai ayat lain (munasabah al-ayat) dan keterangan-keterangan yang


relevan agar saling mendukung kemudian ditarik kesimpulan akhir
berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat yang saling berkaitan tersebut.5
Dalam penelitian tafsir yang menggunakan metode tafsir maudhu’i, ada
beberapa prosedur atau langkah yang harus diperhatikan. Mengacu pada
penjelasan M. Quraisy Shihab dalam tulisannya Tafsir al-Qur’an masa kini
sebagaimana dikutip oleh Syafe‟i, maka prosedur penelitian tafsir tentang Ulu
al-Albab adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan masalah atau judul pembahasan.
2. Menghimpun atau menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah
tersebut.
3. Menyusun urutan ayat-ayat tadi sesuai dengan masa turunnya dengan
memisahkan periode Mekah dan Madinah.
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
5. Menyusun pembahasan salah satu kerangka yang sempurna.
6. Studi tentang ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan
menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama.
7. Menyusun kesimpulan-kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-
Qur‟an terhadap masalah yang dibahas tersebut.6

5
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), Cet. I,
h. 393.
6
Rachmat Syafe‟i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), Cet. I, h. 295-296.
BAB IV

KONSEP ÛLÛ AL-ALBÂB DALAM AL-QUR’AN AL-KARIM

A. Term Ûlû al-Albâb dalam Al-Qur’an


Di dalam konteksnya, lafadz ûlû al-Albâb dalam beberapa surah yang
mengacu pada makna orang yang memiliki akal pengetahuan, akan
mempunyai penafsiran yang berbeda apabila dirangkai dalam satu kalam dan
dihubungkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya meskipun ditulis dan
berbunyi sama. Bahkan dalam menjelaskan redaksi ayat-ayat tentang ûlû al-
Albâb tidak akan lepas dan memiliki keterkaitan dengan ayat-ayat lain.
Lafadz akan lebih mudah apabila mufassir senantiasa menggunakan
prosedur yang ditetapkan, termasuk pengelompokkan berdasarkan turunnya
ayat. Mengenal kisah-kisah yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur‟an
dan mengenal sebab musabbab turunnya ayat itu, merupakan bantuan yang
paling berdaya guna untuk pemahaman kandungan ayat tersebut dengan
cermat, bahkan bisa jadi inspirasi penta‟wilan dan penafsirannya yang paling
mendekati kebenaran.1
Bahkan Al-Wahidi menyatakan ketidakmungkinan untuk menafsirkan al-
Qur‟an tanpa mempertimbangkan asbabun nuzul. Lebih lanjut Fazrul Rahman
menegaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat al-Qur‟an sebenarnya
mensyaratkan perlunya pemahaman terhadap situasi-situasi historis khusus
yang memperoleh solusi, komentar dan tanggapan dari al-Qur‟an. Uraian ini
mengisyaratkan asbabun nuzul dalam memahami al-Qur‟an.2
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa disebutkan ada 16
ayat yang menjelaskan tentang ûlû al-Albâb yang terliput dalam 10 surah,
yakni sembilan di antaranya dalam al-Qur‟an surah-surah Makkiyah, dan

1
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur‟an (Yogyakarta: LKIS, 2005), h. 156-157
2
Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, Terj. dari Mabaahits Fii „Uluumil
Qur‟an, oleh Mudzakir AS., (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1994), Cet. II, h. 109.

82
29

tujuh di antaranya dalam al-Qur‟an surah-surah Madaniyah.3 Dalam


memahami makna tentang ûlû al-Albâb, peneliti mencoba mengamati dan
menganalisa konteks ayat-ayat tentang ûlû al-Albâb dengan memilih menjadi
periode Makkah dan periode Madinah.
Dalam periode Makkah, makna ûlû al-Albâb tidak mengalami perubahan
makna, yakni tetap dengan makna orang-orang yang memiliki akal
pengetahuan. Namun, konteks ayat-ayat ûlû al-Albâb Makkiyah berbeda-beda
sehingga memiliki pemahaman yang berbeda pula. Dalam hal ini, konteks
ayat-ayatnya lebih cenderung pada makna orang-orang yang memiliki akal
pengetahuan yang mampu mengambil setiap pelajaran dari apa yang
diberikan oleh Allah SWT. untuk hamba-Nya. Pelajaran yang diberikan-Nya
dapat melalui al-Qur‟an, kisah-kisah Nabi terdahulu, peringatan, anjuran,
ancaman dan lain sebagainya.
Kemudian pada periode Madinah bisa dikatakan setelah Nabi hijrah dari
Makkah menuju Madinah.4 Pada masa ini, konteks ayat-ayat ûlû al-Albâb
lebih cenderung kepada perintah dalam nada seruan atau panggilan agar
sosok ûlû al-Albâb meningkatkan ketakwaannya dengan menjalankan semua
perintah Allah SWT. dan menjauhi larangan-Nya, karena Allah SWT.
mengancam bagi mereka yang tidak bertakwa akan mendapatkan azab yang
sangat pedih.

1. Ûlû Al-Albâb dalam Surah-surah Makkiyah


Periode Makkah atau Makkiyah bisa dikatakan setelah masa Nabi
menerima ayat al-Qur‟an ketika bermukim di Makkah, yaitu selama 12
tahun 5 bulan 13 hari, dari mulai dari 17 Ramadhan tahun 41 H dari Milad
hingga awal Rabi‟ul Awal tahun 54 H dari Milad Nabi Muhammad SAW.5
Di antara ayat-ayat yang membicarakan tentang terminologi ûlû al-Albâb
yang diturunkan di Makkah adalah sebagai berikut:
3
Yusuf Qardhawi, al-Qur‟an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Terj. dari al-Aqlu
wal „ilmu fil Qur‟anil Karim oleh Abdul. H & Irfan. S, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), Cet. I,
h. 30.
4
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, (Jakarta: Pustaka
Rizki Putra, 2002), h. 44
5
Ibid., h. 44.
30

a. QS. Yusuf: 111

          

       

      


Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran
bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah
cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab)
yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.6

Di antara beberapa kisah-kisah fenomenal yang terdapat dalam al-


Qur‟an adalah kisah Yusuf. Pada ayat sebelumnya, Allah SWT.
menjelaskan bahwa sunnatullah telah berlaku pada umat-umat
terdahulu. Allah SWT. mengutus para rasul-Nya dengan bukti yang
nyata dan diperkuat dengan mukjizat. Setelah Rasul-rasul itu ditentang,
didustakan, dan dimusuhi oleh kaumnya sehingga merasa tekanan yang
amat berat, timbullah perasaan seakan-akan mereka berputus asa karena
tidak ada harapan lagi kaumnya akan beriman.7
Sedangkan pada ayat ini, Allah SWT. menerangkan bahwa semua
kisah nabi-nabi, terutama Nabi Yusuf bersama ayah-ayah dan saudara-
saudaranya, adalah pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal
sehat. Sedangkan orang-orang yang lalai yang tidak memanfaatkan akal
dan pikirannya untuk memahami baginya, mereka tidak akan dapat
mengambil pelajaran dan peringatan darinya.8
Ayat ini menceritakan kisah Nabi Yusuf AS. dan kisah-kisah Nabi
dan Rasul yang lain sebelum Nabi Muhammad SAW. Diceritakan

6
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media,
2005) h. 248.
7
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Terj. dari Tafsir Al-Maraghi oleh
K. Anshori US, dkk, (Semarang: CV. Toha Putra, 1994), Cet. II, Jild. 13, h. 97.
8
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), h. 56.
31

bahwa umat terdahulu ada yang taat dan adapula yang durhaka. Mereka
yang taat mendapat kebahagiaan, kemaslahatan hidup, sedangkan yang
durhaka terjerumus dalam jurang kesempitan dan kehinaan di dunia dan
di akhirat.9
Oleh karena itu, kisah-kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu
menjadi „ibroh (pelajaran) bagi ûlû al-Albâb, yaitu orang-orang yang
mempunyai akal dan ingin berpikir, merenung, mengambil pelajaran,
dan mengambil manfaat dari apa yang diketahuinya.
Ada juga yang berpendapat bahwa di dalamnya selain
menceritakan tentang para Nabi, orang-orang saleh, juga menceritakan
tentang halal, haram, sunnah, makruh, dan lain-lain. Seperti
memerintahkan berbagai perbuatan taat wajib dan sunnah dan melarang
berbagai perbuatan haram, dan memberitahukan hal-hal yang nyata dan
10
ghaib dan yang akan datang. Oleh sebab itu, al-Qur‟an datang bagi
sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

b. QS. Ar-Ra’d: 19

            

         

         

       

        

9
Al-Maraghi, op.cit., h. 101.
10
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, Terj.
dari Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir, oleh M. Abdul Ghofur, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi‟i,
2009), Cet.I, Jild.3, h. 477.
32

       


Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta?
hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil
pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan
tidak merusak perjanjian, Dan orang-orang yang menghubungkan
apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka
takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan
orang-orang yang sabar Karena mencari keridhaan Tuhannya,
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang kami
berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan
serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah
yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).11

Dalam ayat ini Allah SWT. menjelaskan bahwa tidaklah sama


orang yang mengetahui apa yang diturunkan Allah adalah haqq dan
tidak ada keraguan dengan orang yang tidak mengetahuinya, dia adalah
orang yang buta dan tidak mengikuti dan memahami kebaikan,
walaupun ia memahaminya ia tidak akan tunduk kepadanya.12
Qatadah mengatakan dalam al-Maraghi tentang yang haqq
bahwasannya, “mereka adalah kaum yang memanfaatkan Kitab Allah
yang mereka dengar, pahami dan hayati sedang yang lain adalah seperti
orang buta yang tidak dapat melihat dan tidak pula dapat memahami
kebenaran”.13
Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang dapat mengambil pelajaran
hanyalah orang-orang yang memiliki akal yang bersih dan jernih serta
akidah yang kokoh yaitu ûlû al-Albâb. Dalam Tafsir Ibnu Katsiir
dijelaskan kata “mengambil pelajaran” yang dimaksud adalah, “yang
akan mengambil nasihat, suri tauladan dan mau memikirkannya”.14

11
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media,
2005) h. 252.
12
Al-Maraghi, op.cit., h. 167.
13
Ibid., h. 168.
14
Abdullah, op. cit., h. 501.
33

Ayat selanjutnya 20, 21, dan 22 adalah ayat yang menerangkan


tentang sifat ûlû al-Albâb dari kalangan orang-orang yang beriman,
yaitu orang-orang yang meyakini bahwa yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. adalah suatu kebenaran yang berlaku, sebagai
berikut:
1) Sifat pertama, orang-orang tersebut senantiasa memenuhi janji
Allah, dan tidak mau mengingkari perjanjian itu. Maksudnya
adalah janji-janji yang telah mereka ikrarkan atas diri mereka, baik
mengenai hubungan mereka dengan Allah, maupun hubungan
mereka dengan orang lain disekitarnya.
2) Sifat kedua, mereka memelihara semua perintah Allah dan tidak
melanggarnya, baik hak-hak Allah maupun hak-hak hamba-Nya,
termasuk memelihara silaturahmi.
3) Sifat ketiga, mereka benar-benar takut kepada Allah. Sifat takut
kepada Allah adalah sifat perasaan takut yang dilandasi dengan
rasa hormat yang mendorong orang untuk taat kepada-Nya.
4) Sifat keempat, mereka senantiasa takut kepada hisab yang sifatnya
merugikan mereka pada hari kiamat, yaitu hasil yang buruk dari
amalan mereka di hari kiamat.
5) Sifat kelima, mereka senantiasa sabar dalam menghadapi segala
cobaan dan rintangan, demi mengharapkan ridha Allah.
6) Sifat keenam, mereka senantiasa mendirikan shalat. Artinya
menunaikan shalat dengan cara yang sebaik-baiknya, dengan
menyempurnakan rukun dan syaratnya, disertai khusyu‟ dan
tawadu‟ menghadapkan wajah dan hati kepada Allah SWT.
7) Sifat ketujuh, mereka senantiasa menginfakan sebagian dari rizki
yang telah dilimpahkan Allah kepada mereka, baik secara
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.15
Dari penafsiran ayat di atas, dapat peneliti pahami bahwa ûlû al-
Albâb memiliki khasyyatullah. Mereka takut terhadap siksa Allah yang

15
Ibid., h. 501-502.
34

buruk dan memikirkan hisab pada hari Kiamat. Dengan didasari rasa
takut tersebut, mereka ketika di dunia segera menjalankan perintah-
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan cara
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan menegakan amr ma‟ruf nahi
mungkar.

c. QS. Ibrahim: 52

         

   


“(Al Quran) Ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia,
dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya
mereka mengetahui bahwasanya dia adalah Tuhan yang Maha Esa
dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.”16

Kata Ilaahan Waahida (Tuhan Yang Maha Esa) merupakan titik


kesimpulan dari segala aktivias perenungan yang mendalam terhadap
setiap ciptaan-ciptaan Allah SWT.
Pada ayat ini, Allah SWT. menjelaskan bahwa al-Qur‟an adalah
berisi penjelasan, peringatan dan kabar menakutkan yang disampaikan
rasul-Nya kepada manusia. Manusia yang mau mengambil pelajaran
dari ayat-ayatnya akan bahagia hidupnya di dunia dan di akhirat mereka
akan memperoleh kesenangan dan kenikmatan di dalam surga sebagai
balasan dari perbuatan baik yang telah mereka lakukan.17
Allah menegaskan dan memberi peringatan agar mereka dapat
mengambil pelajaran dan agar mereka mengetahui bahwa Allah SWT.
yang Maha Esa. Hal ini sebagai pelajaran bagi ûlû al-Albâb yaitu orang-
orang yang memiliki akal yang murni lagi sempurna, sehingga mereka
mengetahui dan menyadari bahwa sesungguhnya kelalaian dan
kelengahan tidak dapat menyampaikan pada tingkatan yang mulia di

16
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media,
2005) h. 261.
17
Al-Maraghi, op.cit., h. 325.
35

hadapan Allah. Sebab itu, mereka senantiasa mendekatkan diri dan


merasa dalam pengawasan Allah SWT.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Maraghi bahwasannya dalam
ayat ini mempunyai tiga faedah atau hikmah, yaitu:
1) Para Rasul memberi peringatan kepada manusia bahwa mereka akan
disiksa Allah SWT untuk menyempurnakan pengetahuan mereka
pada Allah serta ketaqwaan dan ketaatan kepada-Nya.
2) Kekuatan pandangan manusia akan mencapai puncak
kesempurnaanya dengan mentauhidkan Allah SWT. dan mengakui
bahwa Dia-lah Pengatur dan Penguasa Alam.
3) Mereka memperbaiki kekuatan amaliyah dengan menggunakan baju
taqwa.18
Hal serupa diungkapkan oleh Abdullah dalam tafsir Ibnu Katsiir
bahwa, “peringatan yang diberikan merupakan cara Allah SWT. agar
manusia dapat mengambil pelajaran darinya”.19

d. QS. Shad: 29

       

 
“Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh
dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan
supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai
fikiran”.20

Kata mubaarak berarti memuat banyak manfaat, kebaikan yang


melimpah baik mengenai agama maupun dunia.21 Kata tadabbur dalam
ayat ini bukanlah sekedar membaca dengan suara yang merdu belaka,
tetapi dengan mengamalkan isi dan mengikuti perintah-perintah-Nya
18
Ibid., h. 325.
19
Abdullah, op. cit., h. 563.
20
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media,
2005) h. 455.
21
Al-Maraghi, op. cit., Jild. 23, h. 207.
36

dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya.22 Hal tersebut disetujui


oleh Hasan al-Bashri bahwasannya, “Demi Allah, tadabbur bukan
dengan menghafal huruf-hurufnya, hingga salah seorang mereka
berkata: ”Aku telah membaca al-Qur‟an seluruhnya akan tetapi semua
itu tidak terlihat sedikitpun dalam akhlak dan amalnya”.23
Dalam ayat ini diterangkan bahwa al-Qur‟an membimbing mereka
kepada sesuatu yang mengarah kepada kebaikan dan kebahagiaan
dalam persoalan agama maupun dunia, yang memuat berbagai macam
kemaslahatan agar dipikirkan oleh orang-orang yang mempunyai akal
yaitu ûlû al-Albâb, yang mana sanubari mereka telah diterangi oleh
allah, sehingga menempuh petunjuk dan mengikuti bimbinganya dalam
perbuatan-perbuatan mereka, di samping mengingat nasihat-nasihat dan
larangan-larangannya serta dapat mengambil pelajaran dari umat
terdahuli.24
Hal ini mengandung arti bahwasannya ûlû al-Albâb adalah
seseorang yang dianggap mampu membedakan antara jalan yang haqq
dan yang batil.

e. QS. Shad: 43

        

 
“Dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali)
keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka
pula sebagai rahmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai fikiran”.25

Ayat sebelum ini mengulas tentang kesabaran Nabi Ayyub as.

22
Ibid., h. 214.
23
Abdullah, op. cit., Jild. 5, h. 312.
24
Al-Maraghi, op., cit., Jild. 23, h. 213.
25
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media,
2005) h. 456.
37

dalam menghadapi cobaan dari Allah SWT. kemudian mengulas pula


nikmat kesembuhan yang diperoleh Nabi Ayyub as.
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah SWT. menganugrahi Nabi
Ayyub, keluarganya yakni anak-anaknya dan istrinya yang sebelumnya
telah terpencar dan ditambahkan pula anugerah yang lain dengan
pengikutnya semakin banyak. Anugerah itu sebagai rahmat dan kasih
sayang Allah SWT. pada kesebaran, ketabahan, ketawadhu‟annya
dalam menerima segala macam ujian. Perjalan hidup Nabi Ayyub sa.
Yang dikisahkan al-Qur‟an sebagai pelajaran bagi ûlû al-Albâb, yaitu
orang-orang yang memiliki akal yang bersih dan pemahaman yang
lurus, agar tahu bahwa buah manis dari kesabaran adalah kesenangan
dan kegembiraan.26
Kesabaran, ketabahan Nabi Ayub as. telah membuahkan hasil yang
sangat besar sehingga beliau telah disembuhkan dari penyakitnya dan
telah diketemukan oleh keluarganya. Buah kesabaran inilah yang
merupakan pertolongan dari Allah SWT. kepada hamba-Nya. Hal ini
sesuai dengan syair Arab yang berbunyi:

‫ْي َعلَى ُك ِّل َع َمل‬ ِ َّ


ُ ْ ‫الصْب ُر يُع‬
“Kesabaran itu dapat menolong segala pekerjaan”

f. QS. Az-Zumar: 9

        

          

      


“(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah
orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan
rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
26
Ibid., h. 227-230.
38

Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima


pelajaran”.27
Dalam suatu riwayat Ibnu Hatim yang bersumber dari Ibnu Umar
yang dikutip oleh Shaleh dkk dikemukakan bahwa yang dimaksud

dengan ‫ أ ََّم ْن ُى َو قنِت‬dalam ayat ini adalah “Usman bin Affan (yang
selalu bangun malam untuk bersujud kepada Allah SWT.)”.28
Sedangkan riwayat Ibnu Sa‟ad al-Kalbi dari Abi Shalih yang
bersumber dari Ibnu Abbas bersepakat dengan riwayat Juwaibir yang
diperoleh dari Ibnu Abbas yang dikutip oleh Shaleh dkk yang
dimaksud dalam ayat ini adalah “Ammar bin Yasir”.29
Secara garis besar ayat ini menjelaskan tentang perbedaan orang
musyrik dan orang mu‟min. Dalam ayat ini dijelaskan yang menjadi
ciri orang musyrik adalah ketika mereka mengalami kesusahan
mereka kembali kepada Allah SWT. dan ketika mereka mengalami
kesenangan mereka kembali kepada patung-patung.
Sedangkan ciri orang mu‟min dalam ayat ini dijelaskan bahwa
keadaan senang maupun susah mereka tetap saja bersandar kepada
Allah SWT serta selalu mengharap rahmat-Nya dan takut kepada-Nya.
Abdullah menjelaskan bahwasannya dalam melaksakan ibadah
harus memiliki dua perasaan yaitu, “takut dan berharap”.
Sebagaimana Imam „Abd bin Humaid berkata dalam musnadnya
sebagaimana dikutip oleh Abdullah, bahwa Anas bin Malik berkata:
“Rasulullah masuk menemui seseorang yang sedang menghadapi
kematian, lalu beliau bertanya kepadanya: „Bagaimana perasaanmu?‟
laki-laki itu menjawab: „Aku berharap dan takut‟. Maka Rasulullah
bersabda”:

27
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media,
2005) h. 459
28
Qamaruddin Shaleh, Dahlan & M.D Dahlan, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis
Turunnya al-Qur‟an, (Bandung: Diponegoro, 1974), h. 416.
29
Ibid., h. 416.
39

‫ب َعْبد ِِف ِمثْ ِل ى َذا الْ َم ْو ِط ِن إِالَّ أ َْعطَاهُ اهللُ َما يَْر ُجوا‬
ِ ‫ان ِِف قَ ْل‬ِ ِ
ْ ‫الَ ََْيتَم َع‬
.ُ‫أ ََمنَوُ ِِمَّا ََيَافُو‬
“Tidaklah kedua perasaan tersebut bersatu di dalam hati
seseorang di saat seperti ini melainkan Allah SWT. akan
memberikan kepadanya apa yang diharapkannya dan memberikan
keamanan kepadanya dari apa yang ditakutkannya”. (HR. At-
Tirmidzi, an-Nasa‟i dalam al-Yaum wal Lailah dan Ibnu Majah).30

Dalam al-Maraghi dijelaskan“ ‫قُ ْل َى ْل يَ ْستَ ِوى الّ ِذيْ َن يَ ْعلَ ُم ْو َن َوالَّ ِذيْ َن‬

‫”الَيَ ْعلَ ُم ْو َن‬ perkataan tersebut menggunakan susunan istifham untuk

menunjukkan antara orang-orang yang mendapat derajat tertinggi dan


orang-orang yang jatuh ke dalam jurang keburukan. Hal tersebut
hanya dapat dimengerti oleh orang yang mempunyai akal. Oleh karena
ِ ‫"إََِّّنَا ي تَ َذ َّكر أُولُوااأللْب‬
"‫اب‬
itu lanjutan kalimat tersebut adalah َ ُ َ hanyalah

orang yang berakal yang mampu mengambil i‟tibar dan pelajaran dari
hujjah-hujjah Allah bukan orang-orang yang bodoh dan lalai.31
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dapat memahami pebedaan antara orang yang tahu dan orang yang
tidak tahu hanyalah orang-orang yang mempunyai akal pikiran yang ia
gunakan untuk berpikir.

g. QS. Az-Zumar: 18

       

       


“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling
baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi
Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai

30
Abdullah, op. cit., Jilid 5, h. 341.
31
Al-Maraghi, op. cit., Jilid 23, h. 278-279.
40

akal”.32

Juwaibir meriwayatkan dengan menyebutkan sanadnya yang


bersumber dari Jabir bin Abdillah bahwasannya setelah turun ayat
...Laha sab‟atu abwabin (S. 15: 44) datang seorang laki-laki Anshar
menghadap kepada Nabi Muhammad saw. dan berkata: ya Rasulallah,
aku mempunyai tujuh hamba telah aku merdekakan seluruhnya untuk
ketujuh pintu neraka. Ayat ini (S. 39: 18) turun berkenaan dengan
peritiwa itu yang menyatakan bahwa orang tersebut telah mengikuti
petunjuk Allah SWT.33
Dalam konteks ayat sebelumnya Allah memberi kabar gembira
kepada orang-orang yang meninggalkan persembahan kepada berhala-
berhala dan tuhan-tuhan selain Allah SW. dengan kembali kepada
jalan yang benar dan lurus, yaitu menegaskan bahwa Allah-lah
Tuhanya dan melakukan ibadah serta persembahan hanya kepada-
Nya.
Dalam konteks ayat ini Allah SWT. juga memberi kabar gembira
kepada hamba-hamba-Nya yang apabila mendengarkan perkataan dan
ucapan, mereka menyaringnya lalu mengikuti dan menerima apa yang
paling baik dan paling benar. Orang-orang yang dimaksud disini
adalah orang-orang yang berakhlak mulia dan beramal shaleh serta
termasuk golongan ahli pikir dan akal yang sempurna.34 Dijelaskan
pula dalam al-Maraghi bahwa kedua ayat ini turun mengenai tiga
orang lelaki, yaitu Zaid bin amr, Abu Zar al-Gifari dan Salman al-
Farisi mereka sudah mengatakan laa ilaaha illallah.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sosok ûlû
al-Albâb adalah mereka yang bisa melakukan apa yang telah ia dengar
juga mereka diberi petunjuk oleh Allah SWT.

32
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media,
2005) h. 460.
33
Shaleh, op, cit., h. 416-417.
34
Ibid., h. 287-288.
41

h. QS. Az-Zumar: 21

          

         

         

 
“Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah
menurunkan air dari langit, Maka diaturnya menjadi sumber-
sumber air di bumi Kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu
tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi
kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, Kemudian
dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal”.35

Secara umum ayat ini menjelaskan tentang sifat-sifat dunia


seperti, dunia ini akan segera sirna dan cepat selesai. Hal tersebut
diumpakan seperti tumbuhan-tumbuhan yang diairi dengan air hujan.
Dan dengan air hujan itu maka tumbuhlah tumbuh-tumbuhan yang
bermacam-macam. Namun kemudian tumbuhan-tumbuhan itu akan
mengering dan hancur.
Abdullah menjelaskan bahwa hal tersebut semakna dengan firman
Allah SWT. dalam surat al-Kahfi ayat 45:36

        

        

      

35
Departemen Agama, op, cit., h. 460.
36
Abdullah, op.cit., Jild.5, h. 348.
42

“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan


dunia sebagai air hujan yang kami turunkan dari langit, Maka
menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi,
Kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan
oleh angin. dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Dengan demikian penjelasan di atas menjelaskan bahwa terdapat


suatu pelajaran yang dapat diambil bahwa tidak ada sesuatu yang kekal
dan abadi, manusia tidak akan muda selamanya sama halnya dengan
proses yang dialami oleh tumbuhan jika sudah sampai pada masanya
maka manusia akan menjadi tua dan akhirnya akan mati. Dan pelajaran
tersebut hanya dapat dipikirkan dan direnungkan oleh orang-orang yang
mau berpikir.

i. QS. Al-Mu’min: 54

    


“Untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang
berfikir”.37

Pada ayat sebelumnya Allah SWT. menjelaskan bahwa


pertolongan kepada Rasul-Nya di dunia, yakni dengan adanya kitab
Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as, sebab di dalamnya berisi
petunjuk dan cahaya, yang kemudian diwariskan kepada Bani Israil.
Hal ini merupakan petunjuk dan nasihat bagi orang-orang yang berakal.
Kitab yang Allah SWT. turunkan kepada Nabi Musa as. sebagai
cahaya dan petunjuk bagi manusia pada masanya. Termasuk di
dalamnya bagaimana Allah SWT. menjadikannya sebagai petunjuk dan
pengingat bagi kaum ûlû al-Albâb .38

37
Departemen Agama, op, cit., h. s473
38
Qordhawi, op, cit., h. 38.
43

2. Ûlû Al-Albâb dalam Surah-surah Madaniyah


Periode Madinah adalah ayat-ayat al-Qur‟an yang diturunkan sesudah
Nabi Muhammad saw hijrah, yaitu selama 9 tahun 9 bulan 9 hari. Periode
ini dimulai dari permulaan Rabi‟ul awal tahun 54 H dari Milad Nabi
hingga 9 Dzulhijjah tahun 63 H.39
Adapun ayat-ayat madaniyah yang membicarakan tentang ûlû al-
Albâb adalah sebagai berikut:

a. QS. Al-Baqarah: 179

        


“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”.40

Pada ayat sebelumnya Allah menetapkan hukum qishas, yaitu


balasan bunuh dengan bunuh antara orang merdeka dengan merdeka,
budak dengan budak, wanita dengan wanita dan jangan sampai
melampaui batas atau mengubah hukum Allah.
Pada ayat ini Allah memberikan penjelasan tentang hikmah dari
diadakannya hukum qishas yaitu untuk mencapai keamanan dan
kedamaian. Karena dengan adanya hukum ini maka manusia tidak akan
melakukan tindakan yang sewenang-wenang seperti membunuh karena
mengikuti hawa nafsunya.
Dalam al-Maraghi dan Ibnu Katsir dijelaskan bahwa terdapat kata
yang mempunyai pengertian sama dengan qisas, di antaranya adalah:

‫القتل أَنْ َفى لِْل َقْت ِل‬ : membunuh


pembunuhan 41
itu akan menghapus

‫ض إِ ْحيَاء لِْل َج ْم ِع‬


ِ ‫قَْتل البَ ْع‬
ُ
: membunuh sebagian berarti memelihara
kehidupan semuanya.

‫أَ ْكثُِروا ال َقْت َل لِيَ ِق َّل الْ َقْت َل‬ : perbanyaklah melakukan pembunuhan
agar pembunuh semakin menurun.

39
As-Shiddieqy, op.cit., h. 51.
40
Departemen Agama, op, cit., h. 27.
41
Abdullah, op, cit., Jilid I, h. 337.
44

Kata tersebut sebagaimana dijelaskan al-Maraghi dirasa kurang


cocok, seperti kata ketiga yang mengandung unsur memicu adanya
pertumpahan darah juga memicu untuk saling melakukan pembunuhan
secara kontinue. Menurutnya hanya dengan cara qisash yang dapat
menghapuskan pembunuhan atau paling tidak mengurangi terjadinya
pembunuhan.42
Lebih lanjut yang dimaksud ûlû al-Albâb pada ayat ini adalah
orang-orang yang berakal mereka yang mau menyerap dan memahami
hukum-hukum Allah.
Imam Jalaludin al-Mahalli dan as-Suyuti menjelaskan bahwa jika
seseorang yang akan membunuh mengetahui bahwa ia akan dibunuh
pula, maka ia akan merasa takut dan berpikir panjang sehingga ia akan
mengurungkan niatnya untuk membunuh. Hal ini berarti ia telah
memelihara nyawanya dan nyawa orang yang akan dibunuhnya tadi. 43

b. QS. Al-Baqarah: 197

          

            

        


“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,
barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa
yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal

42
Al-Maraghi, op,cit., Jilid II, h. 108.
43
Jalaluddin al-Mahalli & Jalaluddin as-Syuyuti, Tafsir Jalalain berikut Asbaabun Nuzuul,
Terj. dari Tafsir Jalalain oleh Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru al-Gensindo, 1997), Cet.
IV, Jild. 1, h. 94.
45

adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang


berakal”.44

Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Ibnu Abbas


yang melatarbelakangi turunya ayat ini adalah ketika orang-orang
Yaman pergi haji mereka tidak membawa bekal apa-apa dengan alawan
tawakkal kepada Allah SWT. maka turunlah watazawwaduu, fainna
khairaz zaadit taqwaa.45
Pada ayat sebelumnya Allah SWT. memerintahkan kepada
hamba-Nya untuk menunaikan haji bagi yang mampu, dan menjelaskan
masalah tentang haji, seperti ketika pada saat sakit diwajibkan untuk
membayar fidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban.
Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu),
maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji.
Selanjutnya pada ayat ini Allah menjelaskan tentang waktu
ibadah haji juga menjelaskan tentang hal-hal yang dilarang saat
melakukan ibdah haji. Kemudian diakhir ayat Allah memerintahkan
untuk bertakwa serta memiliki akhlak yang saleh.

Al-Maraghi menafsirkan kata "‫”احلَ ُّج أ ْش ُهر معلومات‬ ibadah haji

dilaksanakan pada waktu-waktu yang sudah dikenal oleh umat manusia,


yaitu dimulai sejak Syawal, Zulqa‟dah sampai dengan tanggal 10 bulan
Zulhijjah (bulan Muharram atau bulan haji).46
Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dari Yunus bin „Abdul A‟la dari Ibnu Wahab dari Ibnu
Juraij ia menceritakan, pernah kutanyakan kepada Nafi: “Apakah
engkau pernah mendengar Abdullah bin Umar menyebut bulan-bulan
haji?” ia menjawab: “Ya, Abdullah bin Umar menyebutnya Syawwal,
Dzulqa‟dah dan Dzulhijjah”.47

44
Departemen Agama, op, cit., h. 31.
45
Shaleh, op, cit., h. 62.
46
Al-Maraghi, op, cit., Jild. II, h. 172.
47
Abdullah, op, cit., Jilid I, h. 384.
46

Dalam kitab Tafsir Jalalain disebutkan bahwa bulan haji adalah,


“Syawwal, Zulqa‟dah dan 10 hari pertama bulan Zulhijjah”.48
Penjelasan di atas menunjukkan bahwasannya bulan haji telah
ditetapkan, oleh karena itu ibadah haji dianggap tidak sah jika
dilakukan di luar bulan-bulan yang telah ditetapkan.
Secara khusus redaksi ayat di atas, diperuntukan bagi sosok ûlû

al-Albâb terlihat dari konteks ayat yang berbunyi “‫األلباب‬ ‫”واتّقون ياوىل‬
Allah SWT. memerintahkan kepada ûlû al-Albâb untuk bertakwa
kepada-Nya dengan apa yang telah Allah SWT. wajibkan dan menjauhi
perkara-perkara yang telah Allah haramkan.

c. QS. Al-Baqarah: 269

         

        


“Allah menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam
tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-
Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar
Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang
yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah)”.49

Pada ayat sebelumnya Allah SWT. memerintahkan agar kita


menginfakkan barang-barang yang baik dari harta yang kita miliki.
Allah SWT. juga melarang kita menginfakkan barang-barang yang
jelek. Selanjutnya Allah SWT. memberi hikmah dan ilmu pengetahuan
kepada orang yang dikehendaki-Nya.
Abdullah bin Abbas dalam al-Maraghi yang dimaksud dengan
kalimat hikmah dalam ayat ini adalah “pengetahuan mengenai al-
Qur‟an atau mengetahui apa yang terkandung di dalamnya yakni

48
Jalaluddin, op, cit., Jilid. I, h. 107.
49
Departemen Agama, op, cit., h. 45
47

hidayah, hukum, rahasia dan hikmah.50


Dalam kitab Ibnu Katsir dijelaskan Ibnu Abi Najih berbeda
pendapat dengan Abul „Aliyah dalam mengartikan kata hikmah.
Menurut Ibnu Abi Najih yang menceritakan dari Mujahid yang
dimaksud dengan hikmah di sini adalah, “tepat dalam ucapan”.
Sedangkan Abul „Aliyah mengatakan hikmah berarti, “takut kepada
Allah SWT. karena sesungguhnya rasa takut kepada Allah merupakan
pokok dari setiap hikmah”.51
Berdasarkan penjelasan di atas hikmah adalah ilmu-ilmu yang
bermanfaat, pengetahuan yang mumpuni, akal yang terus, pemikiran
yang matang dan terciptanya kebenaran dalam perkataan maupun
perbuatan. Inilah seutama-utamanya pemberian dan sebaik-baiknya

karunia. Karena itu Allah berfirman, ( ‫ُوِتَ َخْي ًرا َكثِ ًريا‬
ِ ‫احلِكْمةَ فَ َق ْد أ‬
َ ْ ‫ت‬ َ ‫) َوَمن يُ ْؤ‬:
“Dan barang-siapa yang dianugerahi hikmah, dia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak”. Karena dia telah keluar dari gelap
kebodohan kepada cahaya petunjuk, dari penyimpangan dalam
perkataan dan perbuatan menuju tepat kebenaran padanya, serta
terciptanya kebenaran.
Pada akhir ayat Allah SWT. menyebut hanya orang-orang
berakallah (ûlû al-Albâb) yang dapat mengambil pelajaran. Di sini
Allah SWT. mencoba untuk menegaskan bahwa hanya orang-orang
yang memiliki hati dan akal yang dapat mengambil pelajaran dari suatu
nasihat yang mana ia mampu memahami apa yang sedang dibicarakan
dan makna yang terkandung dalam firman-Nya.

d. QS. Ali ‘Imran: 7

         

50
Al-Maraghi, op, cit., Jilid. III, h. 74.
51
Abdullah, op, cit., Jilid I, h. 537.
48

         

          

           

       


“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di
antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-
pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat,
adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui
ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang
yang berakal”.52

Pada ayat ini Allah memberitahu bahwa di dalam al-Qur‟an


terdapat ayat-ayat yang muhkamat yang merupakan pokok-pokok isi al-
Qur‟an yang terang maknanya dan tegas maksudnya dan dapat
dimengerti dengan mudah. Di samping itu terdapat ayat-ayat
mutasyabihat yang menimbulkan pengertian yang kurang jelas bagi
banyak orang atau sebagian dari mereka atau kadang kala karena lafaz
dan susunan kata-katanya memberi pengertian yang lain dari pada yang
dimaksud.53
Kemudian pada ayat ini lebih lanjut dijelaskan tentang orang-
orang yang anti kebenaran, kemudian mengikuti kemauan hawa
nafsunya yang batil dan mereka ingkar terhadap ayat-ayat mutasyabih.
Selain itu mereka pun tidak berhenti sampai disitu, mereka mulai
mempengaruhi orang-orang agar mengikuti mereka yaitu ingkar

52
Departemen Agama, op, cit., h. 50.
53
Al-Maraghi, op.cit., Jilid III, h. 170
49

terhadap ayat mutasyabih.


Dalam Abdullah Imam Ahmad meriwayatkan dari „Aisyah ra, dia
berkata: Rasulullah pernah membaca ayat ini. Lalu beliau bersabda:

‫إِذَا َرأَيْتُ ُم الَّ ِذيْ َن َُيَ ِادلُْو َن فِْي ِو فَ ُه ُم الَّ ِذيْ َن َع ََن اهللُ فَا ْح َذ ُرْوُى ْم‬
“jika kalian melihat orang-orang yang berbantah-bantahan
tentang al-Qur‟an, maka mereka itulah orang-orang yang
dimaksud Allah, maka waspadalah terhadap mereka”.

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari ketika


meriwayatkan ayat ini, Imam Muslim dalam kitab al-Qadar dari kitab
Shahihnya dan Abu Daud dalam as-Sunnah pada kitab sunannya.54
Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwasaannya Allah
menjelaskan bahwa al-Qur‟an terbagi menjadi dua bagian yaitu ada
yang muhkam dan mutasyabih. Muhkam itu pasti dan terpelihara dari
segala kemungkinan-kemungkinan yang keliru. Sedangkan mutasyabih
ayat yang lafadznya menunjukkan pada sesuatu yang masih samar.
Lebih lanjut pada akhir ayat tersebut menyebutkan bahwa yang
dapat memahami dan merenungi maknanya hanyalah orang-orang yang
berakal sehat dan mempunyai pemahaman yang benar. Dalam al-
Maraghi dijelaskan bahwa tidak akan mengerti dan tidak akan
memahami hikmahnya kecuali ûlû al-Albâb yaitu orang-orang yang
mempunyai mata hati terang, akal kuat, serta memiliki keistimewaan
suka bertafakkur dan menganalisis.55 Hal ini mengisyaratkan
bahwasannya sosok ûlû al-Albâb menggunakan akalnya untuk
merenungi tanda-tanda kekuasaan Allah SWT.

e. QS. Ali ‘Imran: 190-191

       

        

54
Abdullah, op, cit., Jilid I, h. 591.
55
Al-Maraghi, op, cit., Jilid III, h. 176.
50

       

        


“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-
orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa
neraka.56
Diriwayatkan oleh at-Thabrani dan Ibnu Abi Hatim yang
bersumber dari Ibnu Abbas dikemukakan bahwa orang Quraisy datang
kepada orang Yahudi untuk bertanya: Mu‟jizat apa yang dibawa Musa
kepada kalian? Mereka menjawab: tongkat dan tangannya terlihat putih
bercahaya. Kemudian mereka bertanya kepada kaum Nashara: mu‟jizat
apa yang dibawa Isa kepada kalian? Mereka menjawab: ia dapat
menyembuhkan orang buta sejak lahir hingga dapat melihat,
menyembuhkan orang berpenyakit sopak dan menghidupkan orang
mati. Kemudian mereka menghadap Nabi Muhammad SAW. dan
berkata: Hai Muhammad, coba berdo‟alah engkau kepada Tuhanmu
agar gunung shafa ini dijadikan mas, lalu Rasul Saw. berdoa, maka
turunlah surah al-Baqarah ayat 190 sebagai petunjuk untuk
memperhatikan apa yang telah ada yang akan lebih besar manfaatnya
bagi orang-orang yang mau menggunakan akalnya.57
Dalam redaksi ayat ini, Allah SWT. memperingatkan kepada
hamba-hamba-Nya bahwa apa yang diciptakan oleh-Nya berupa langit
dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, planet dan bintang-
bintang yang gemerlapan, lautan, gunung, hutan-hutan, pohon dan
tetumbuhan, bermacam-macam bintang dan beraneka ragam, semua itu

56
Departemen Agama, op, cit., h. 75.
57
Shaleh, op, cit., h. 114-115.
51

mengandung tanda-tanda yang nyata bagi orang-orang yang memiliki


akal yang sempurna, sehat dan cerdas dan bukannya orang yang buta
tuli pikirannya.58
Hal tersebut dapat kita rasakan langsung pengaruhnya dalam
kehidupan pada tubuh kita dan cara berpikir kita karena pengaruh panas
matahari, dinginnya malam dan pengaruhnya yang ada pada dunia flora
dan fauna dan sebagianya merupakan tanda dan bukti yang
menunjukkan keesaan Allah SWT. kesempurnaan, pengetahuan dan
kekuasaannya.
ûlû al-Albâb dalam kitab al-Maragi adalah orang-orang yang
dapat menggunakan pikirannya, mengambil faedah darinya, mengambil
hidayah darinya, menggambarkan keagungan Allah SWT. dan mau
mengingat hikmah akal dan keutamaannya, di samping keagungan
karunia-Nya dalam segala sikap dan perbuatan mereka sehingga mereka
bisa berdiri, duduk, berjalan, berbaring, dan sebagainya. Hal ini sesuai
dengan firman Allah SWT. dalam surah ali Imran ayat 161:59

              

        


“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta
rampasan perang. barangsiapa yang berkhianat dalam urusan
rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri
akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan
(pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”.

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa ûlû al-Albâb tidak hanya


berdzikir saja akan tetapi harus pula dibarengi dengan memikirkan
keindahan ciptaan dan rahasia-rahasia ciptaan-Nya, memikirkan
tentang kejadian langit dan bumi beserta rahasia-rahasia dan manfaat-
manfaat yang terkandung di dalamnya yang menunjukkan pada ilmu
58
Ibid., Jilid IV, h. 288.
59
Ibid., h. 290.
52

yang sempurna hikmah tertinggi dan kemampuan yang utuh. 60 Dalam


kitab Ibnu Katsir dijelaskan pula bahwa ûlû al-Albâb adalah mereka
yang memiliki akal yang sempurna lagi bersih dan mereka tidaklah
termasuk orang-orang yang bisu dan tuli.61
Berdasarkan penjelasan di atas, ûlû al-Albâb yang dimaksud
dalam ayat ini adalah orang-orang yang tidak melalaikan Allah SWT.
dalam sebagian besar waktunya. Mereka merasa tenang dengan
mengingat Allah SWT. dan tenggelam dalam kesibukkan mengoreksi
diri secara sadar bahwa Allah SWT. selalu mengawasi mereka.

f. QS. Al-Maidah: 100

         

       

“Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik,


meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka
bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu
mendapat keberuntungan”.62

Al-Wahidi dan as-Shabani dalam kitab at-Targhib yang


bersumber dari Jabir sebagaimana yang telah dikutip oleh Shaleh dkk
mengemukakan bahwa ketika Nabi Saw. menerangkan haramnya arak,
berdirilah seorang Badwi dan berkata: saya pernah menjadi pedagang
arak dan saya menjadi kaya raya karenanya. Apakah kekayaanku ini
bermanfaat apabila saya menggunakannya untuk keta‟atan kepada
Allah SWT.? Nabi menjawab: sesungguhnya Allah SWT. tidak
menerima kecuali yang baik. Kemudian turunlah surah al-Maidah ayat
100 ini yang membenarkan ucapan Rasulullah saw.63
Pada ayat sebelumnya, Allah menjelaskan bahwa kewajiban
60
Ibid., h. 291.
61
Abdullah, op, cit., Jilid I, h. 795.
62
Derpatemen Agama, op, cit., h. 124.
63
Shaleh, op, cit., h. 190.
53

Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan amanah yang diberikan


kepadanya, dan Allah mengetahui apa yang jelas-jelas tampak dan
setiap apa yang disembunyikan dari hamba-Nya. Sehingga tidak ada
yang bisa melepaskan diri dari pengawasan Allah dalam setiap langkah
kehidupannya.
Pada ayat ini Allah SWT. menerangkan bahwa: Hai Rasul,
katakakanlah kepada umatmu, tidaklah sama yang buruk dengan yang
baik di antara perkara, perbuatan dan harta. Maka tidak sama antara
yang membahayakan dengan yang bermanfaat, yang rusak dengan
yang baik, yang haram dengan yang halal, yang dzolim dengan yang
adil. Masing-masing daripadanya mempunyai hukum yang sesuai
dengannya di sisi Allah SWT. yang meletakkan segala sesuatu pada
tempatnya, sesuai dengan ilmunya.64 Dalam kitab Ibnu Katsir
disebutkan secara jelas bahwa kata katsratul khabiits menjelaskan
sesuatu yang halal yang bermanfaat lebih baik walaupun jumlahnya
sedikit daripada sesuatu yang haram yang berbahaya yang berjumlah
banyak.65
Dari penjelasan di atas, bahwa orang-orang yang berakal itu dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga mereka
dapat meninggalkan perkara yang buruk dengan menyibukkan diri
dalam mengerjakan perkara yang baik.
Pada ayat ini orang-orang yang berakal disebutkan secara khusus,
karena mereka adalah orang-orang yang mengerti serta memahami
akibat berbagai perkara setelah memikirkan hakikat dan sifatnya.
Adapaun orang-orang yang terpedaya yang lengah tidak dapat
mengambil manfaat dari nasihat dan peringatan sehingga tidak dapat
mengambil pelajaran dari apa yang mereka lihat dengan mata, dan
dengar denga telinganya sendiri.66
Hal ini telah banyak kita saksisakan dari keadaan kebanyakan
64
Ibid., Jilid VII, h. 62.
65
Abdullah, op, cit., Jilid 2, h. 412.
66
Al-Ma raghiop, cit., Jilid VII, h. 63.
54

orang kaya yang kehilangan hartanya yang berlimpah ruah karena


harta tersebut adalah hasil pengumpulan secara haram, dan keadaan
negara-negara yang menjadi lemah akibat kehilangan keutamaan ilmu
dan akhlak.

g. QS. At-Thalaq: 10

          

       


“Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, Maka
bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang yang mempunyai akal;
(yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah Telah
menurunkan peringatan kepadamu”.67

Dalam konteks ayat ini perintah bertakwa ditujukan kepada ûlû


al-Albâb yaitu orang yang beriman kepada Allah.68 Takwa merupakan
ajaran dalam agama Islam yang mengandung arti melakukan segala
yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi segala larangan yang
diperintahkan oleh Allah.
Latar belakang perintah bertaqwa dalam ayat ini berhubungan
dengan ayat sebelumnya (ayat 8 dan 9) yang memerintahkan kita
untuk memperhatikan betapa banyaknya negeri yang telah
dibinasakan oleh Allah SWT. disebabkan oleh keingkaran mereka
kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, mereka berbuat sekehendak
hatinya memperturutkan hawa nafsunya, tidak mau mengerjakan
perintah dan menjauhi larangan, suka menipu dan menganiaya yang
lemah, senang berjudi, berzina, dan memakan harta yang haram
dengan cara mencuri dan merampas.69 Dalam kitab Ibnu Katsir
dijelaskan bahwa ayat ini Allah SWT. mencoba memberi petunjuk dan
arahan bagi orang-orang yang mau berpikir agar mereka tidak tertimpa
67
Departemen Agama, op, cit., h. 559.
68
Ibid., Jilid XXVIII, h. 243.
69
Ibid., Jilid XXVIII, h. 242.
55

apa yang telah menimpa orang-orang terdahulu.70 Dengan sebab itulah


Allah membalas kezaliman mereka dengan balasan yang setimpal dan
memberikan hukuman berdasarkan perhitungan yang sangat teliti
sehingga kecurangan itu mendapatkan ganjaran yang setimpal di dunia
ini.
Berdasarkan penjelasan di atas, perbuatan yang tidak berdasarkan
taqwa kepada Allah dan tidak menurut ajaran yang dibawa oleh Rasul
akhirnya akan membawa bencana yang buruk bagi masyarakat di
dunia ini, seperti hilangnya keamanan dan kedamaian, segala rencana
digagalkan Allah, bahkan musibah datang bertubi-tubi, hasil bumi
tidak lagi berkah, yang kaya benci dan menjauhi yang miskin, dan
yang miskin menaruh dendam kepada yang kaya. dan lain lain.
Melalui ayat ini Allah SWT. memerintahkan ûlû al-Albâb untuk
meningkatkan ketaqwaannya dengan menata imannya yang
berpedoman kepada kitab yang telah diturunkan oleh Allah yang
berfungsi untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya
yang akan menuntun mereka menuju surga. mengeluarkan mereka
dari gelapnya kafir kepada terangnya iman dari gelap gulitanya
jahiliyah kepada terangnya Islam, dari gelap gulitanya musyrik kepada
terang benderangnya tauhid, dari gelap gulitanya maksiat kepada
terang benderangnya taat.

B. Klasifikasi ayat-ayat Ûlû al-Albâb berdasarkan Tertib Nuzul


Semua surah yang ada di dalam al-Qur,an yang dimulai dari surah al-
Fatihah hingga surah an-Nas semua berjumlah 144 surah. Semua surah
tersebut tidaklah turun secara bersamaan, akan tetapi turun secara berangsur-
angsur. Masa turunnya al-Qur‟an tersebut secara garis besar oleh para ulama
dikelompokan dalam dua periode yaitu periode Makkah dan periode
Madinah.
Teori Mulahadzah Zaman an-Nuzul (teori historis) yaitu teori yang

70
Abdullah, op, cit., Jilid VI, h. 335.
56

didasarkan pada sejarah waktu turunnya al-Qur‟an maka makkiyah adalah


ayat-ayat al-Qur‟an yang diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad saw ke
Madinah. Sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah
hijrah Nabi Muhammad saw. ke Madinah.71
Melihat penjelasan di atas, ayat-ayat ûlû al-Albâb dapat diklasifikasikan
berdasarkan tertib nuzul. Adapun tertib urutan surah-surah Makiyyah adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.1
Tertib Nuzul Surah-surah Makkiyah72

No. Nama Surah No. Nama Surah


1 Al-„Alaq 47 Asy-Syu‟ara
2 Al-Qolam 48 An-Naml
3 Al-Muzzammil 49 Al-Qoshash
4 Al-Muddatstsir 50 Al-Isro‟
5 Al-Fatihah 51 Yunus
6 Al-Lahab 52 Hud
7 At-Takwir 53 Yusuf
8 Al-A‟la 54 Al-Hir
9 Al-Lail 55 Al-An‟am
10 Al-Fajr 56 Ash-Shaffat
11 Ad-Dhuha 57 Luqman
12 Al-Insyiroh 58 Az-Zumar
13 Al-Ashr 59 Saba‟
14 Al-Adiyat 60 Ghofir
15 Al-Kautsar 61 Fushshilat
16 At-takatsur 62 Asy-Syura
17 Al-Ma‟un 63 Az-Zukhruf
18 Al-Kafirun 64 Ad-Dukhan

71
Moh Ali, Kontekstualisasi al-Qur‟an: Studi atas Ayat-ayat Makiyah dan Madaniah melalui
Pendekatan Historis dan Fenomenologis, Jurnal Hunafa, Vol. VII, No. 1, h. 63.
72
Ash-Shiddieqy, op,cit., h. 44.
57

19 Al-Fiil 65 Al-Jatsiah
20 Al-Falaq 66 Al-Ahqof
21 An-Nas 67 Al-Adzariyat
22 Al-Ikhlas 68 Al-Ghosiyah
23 An-Najm 69 Al-Kahfi
24 „Abasa 70 An-Nahl
25 Al-Qodar 71 Nuh
26 Asy-Syams 72 Ibrahim
27 Al-Buruj 73 Al-Anbiya‟
28 At-Tiin 74 Al-Mu‟minun
29 Al-Quroisy 75 As-Sajadah
30 Al-Qori‟ah 76 At-Thur
31 Al-Qiyamah 77 Al-Mulk
32 Al-Humazah 78 Al-Haqqoh
33 Al-Mursalat 79 Al-Ma‟arij
34 Qaf 80 An-Naba‟
35 Al-Balad 81 An-Nazi‟at
36 At-Thoriq 82 Al-Infithor
37 Al-Qomar 83 Al-Insyiqoq
38 Shad 84 Ar-Rum
39 Al-A‟rof 85 Al-Ankabut
40 Jinn 86 Al-Muthoffifin
41 Yasin 87 Al-Zalzalah
42 Al-Furqon 88 Ar-Ro‟d
43 Fathir 89 Ar-Rohman
44 Maryam 90 Al-Insan
45 Thoha 91 Al-Bayyinah
46 Al-Waqiah

Sedangkan surah-surah yang turun di Madinah secara berurutan adalah


58

sebagai berikut:73
Tabel 4.2
Tertib Nuzul Surah-surah Madaniyah

No. Nama Surah No. Nama Surah

1 Al-Baqarah 13 Al-Munafiqun
2 Al-Anfal 14 Al-Mujadilah
3 Ali-Imran 15 Al-Hujurat
4 Al-Ahzab 16 At-Tahrim
5 Al-Mumtahanah 17 At-Taghabun
6 An-Nisa‟ 18 As-Shaf
7 Al-Hadid 19 Al-Jumuah
8 Al-Qital (Muhammad) 20 Al-Fath
9 At-Tholaq 21 Al-Maidah
10 Al-Hasr 22 At-Taubah
11 An-Nur 23 An-Nashr
12 Al-Hajj

Dengan mengacu pada tertib nuzul surah-surah al-Qur‟an di atas, maka


klasifikasi ayat-ayat ûlû al-Albâb yang diturunkan di Makkah dan Madinah
dapat disusun sebagaimana tabel berikut:
Tabel 4.3
Tertib Nuzul Ayat-ayat Ûlû al-Albâb secara berurutan

No Nama Surah Ayat No Nama Surah Ayat


1 Shad 29 9 Ar-Ra‟d 19
2 Shad 43 10 al-Baqarah 179
3 Yusuf 111 11 al-Baqarah 197
4 Ibrahim 52 12 al-Baqarah 269
5 az-Zumar 9 13 Ali „Imran 7
6 az-Zumar 18 14 Ali „Imran 190

73
Ibid., h. 46.
59

7 az-Zumar 21 15 at-Thalaq 10
8 al-Mu‟min 54 16 Al-Maidah 100
Dengan melihat susunan tertib nuzul ayat-ayat tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa ayat-ayat al-Qur‟an yang membicarakan tentang ûlû al-
Albâb, hampir secara keseluruhan turun pada periode Makkah atau
Makkiyyah.

C. Analisis Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Ûlû Al-Albâb


Dapat diketahui bahwa ûlû al-Albâb berhubungan dengan: 1) Qishash (Al
Baqarah: 179), 2) Haji (Al Baqarah: 197), 3) Hikmah (Al Baqarah: 269), 4)
Teks dan pemaknaan terhadap teks Al Qur‟an (Ali Imran: 7), 5) Penciptaan
makro kosmik (Ali Imran: 190), 6) Kebaikan dan keburukan (Al Maidah:
100), 7) Kisah para nabi (Yusuf: 111), 8) Respon masyarakat terhadap Al
Qur‟an (Al Ra‟d: 19), 9) Ajaran tauhid sebagai tujuan utama Al Qur‟an
diturunkan (Ibrahim: 52), 10) Fungsi Al Qur‟an sebagai renungan (Shad: 29),
11) Berkumpulnya keluarga sebagai rahmat (Shad: 29), 43) „Abid (orang ahli
ibadah) dan „Alim (orang berpengetahuan/ intelektual) memiliki stratifikasi
lebih tinggi dari yang lain (Az-Zumar: 9), 13) Orang yang mendengarkan lalu
mengikuti kebaikan (Az-Zumar: 18), 14) Perintah memperhatikan makro
kosmik (Az-Zumar: 21), 15) Hidayah dan dzikir (Al Mu‟minun: 54), 16)
Perintah bertaqwa agar terhindar dari siksa Allah (At Thalaq: 10).
Ûlû al-Albâb terulang dalam al-Qur‟an sebanyak 16 kali. Sembilan di
antaranya adalah ayat Makkiyah dan tujuh lainnya adalah ayat Madaniyah. Di
antara tujuh yang madaniyah, empat diantaranya dengan redaksi memanggil.
Pertama, dalam firman Allah SWT.

        


“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”.
(QS. Al-Baqoroh: 179)
Hal itu karena secara lahir qishash adalah membunuh jiwa seseorang.
Kemudian, mengapa dalam al-Qur‟an qishash dikatakan sebagai kehidupan?
60

Inilah yang dapat dipikirkan oleh Ulul Albab: satu jiwa dibunuh dengan
qishash sehingga dengannya masyarakat terpelihara hidupnya. Karena dengan
hukuman qisash tersebut akan membuat orang takut melakukan kejahatan
pembunuhan, juga untuk menentramkan hati keluarga yang menjadi korban
pembunuhan.
Kedua, Allah SWT. berfirman:

          

            

         


“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi,
barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa
yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang
berakal”. (QS. Al-Baqoroh: 197)
Perbekalan yang biasa dikenal orang adalah makanan dan minuman, akan
tetapi ayat ini menjelaskan bahwasannya perbekalan yang dimaksud disini
adalah taqwa. Karena taqwa merupakan sebaik-baik perbekalan, kemudian
mengapa dalam ayat tersebut dikatakan bahwa perbekalan adalah taqwa, dan
ia adalah sebaik-baik perbekalan. Hal Inilah yang dipikirkan oleh kaum ûlû
al-Albâb yang mendapat petunjuk dari Allah SWT
Ketiga, firman Allah SWT.:

          

      

“Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik,


meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka
bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu
61

mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah: 100)


Fenomena yang ada banyak manusia yang memberi perhatian terhadap
kuantitas dan jumlah sesuatu, namun mereka melupakan bagaimana hal itu
diperoleh dan bagaimana kualitasnya. Kaum ûlû al-Albâb-lah yang memberi
perhatian pada kualitas sesuatu. Oleh karena itu, mereka akan memberi
perhatian pada sesuatu yang baik, meskipun sesuatu itu sedikit. Karenanya, di
sini Allah SWT. memerintahkan kepada mereka untuk bertakwa dengan
harapan agar mendapatkan kemenangan dunia dan akhirat.
Keempat, firman Allah SWT.:

          

       


“Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, Maka
bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang yang mempunyai akal;
(yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah Telah
menurunkan peringatan kepadamu”. (QS. Ath-Tholaq: 10)
Redaksi pertama yang ditujukan kepada kaum ûlû al-Albâb ini
dimaksudkan untuk menjelaskan kepada orang yang mempunyai akal tentang
petunjuk yang diturunkan kepada mereka. Hal ini terwujud dalam diri
Rasulullah SAW., yang menjadi bentuk perwujudan keimanan yang hidup
dalam sunnah dan sirahnya, dan ia mengeluarkan mereka dari kegelapan
menuju cahaya.
Sedangkan tiga ayat yang lain, antara lain dalam surat al-Baqarah ayat
269, yaitu:

         

        


“Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam
tentang Al Quran dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-
Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar
62

telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang


yang berakal-lah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah)”.
Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang paling berhak untuk mengambil
manfaat dari hikmah adalah kaum ûlû al-Albâb, yaitu mereka yang
meletakkan sesuatu sesuai tempatnya dan memberikan kepada masing-masing
orang haknya.

Dalam surat Ali Imran, ûlû al-Albâb disebut sebanyak dua kali.
Pertama, dalam pembicaraan tentang ayat-ayat yang mutasyabihat. Di
sini dijelaskan bahwa ûlû al-Albâb tidak terjerumus dalam kecelakaan seperti
yang terjadi pada orang-orang yang terdapat penyakit dalam hatinya, mereka
yang mengikuti apa yang tersamar dari ayat-ayat al-Qur‟an. Kaum ûlû al-
Albâb tersebut mengembalikan ayat-ayat mutasyabihat itu kepada ayat-ayat
muhkamat, yaitu ummul kitab dan sebagian besar al-Qur‟an ini merupakan
buah ketinggian ilmu mereka. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surah
Ali Imron ayat 7, yaitu:

          

           

           

             

 
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di
antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-
pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat,
adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui
63

ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam


ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang
yang berakal”.
Kedua, pada bagian akhir surat, ûlû al-Albâb kembali disebut dalam
kerangka pembicaraan tentang ayat-ayat Allah pada alam semesta yang kasat
mata ini. Di dalamnya terdapat banyak objek untuk dijadikan kajian berpikir
dan merenung, kemudian dijelaskan pula bahwa alam semesta ini tidak
diciptakan sia-sia, namun diciptakan karena suatu hikmah yang dapat
ditangkap oleh kaum ûlû al-Albâb. Sebagaimana Allah SWT. berfirman
dalam surah Ali Imron ayat 190-191, yaitu:

        

         

        

     


“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-
orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari
siksa neraka.
Sedangkan bentuk Ulul Albab yang tersebut dalam ayat-ayat Makkiyah
adalah sebagai berikut:
Pada penutup surat Yusuf, istilah ûlû al-Albâb disebut sebagai kelompok
orang yang dapat menangkap „ibrah dari sejarah, kisah-kisah al-Qur‟an, dan
hukum-hukum Allah yang terpatri dalam rentetan kejadian itu.
64

Hanya kaum ûlû al-Albâb-lah yang dapat membaca kisah-kisah al-


Qur‟an, perjalanan sejarah dan membaca realitas. Ditegaskan oleh Allah
dalam firman-Nya surah Yusuf ayat 111, yaitu:

          

        

     


“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran
bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah
cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab)
yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”74

Pada surat ar-Ra‟ad, kaum ûlû al-Albâb disebut sebagai kelompok orang
yang mengetahui apa yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta
mengetahui bahwa yang diturunkan itu adalah benar dan tidak mengandung
kebatilan sedikitpun. Sesuai dengan firman-Nya dalam Surah Ar-Ra‟d ayat
19, yaitu :

            

   


“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang
yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat
mengambil pelajaran.” (QS. Ar-Ra‟d: 19)

Ayat al-Qur‟an menggambarkan kaum ûlû al-Albâb dengan beberapa


keutamaan akhlak yang mulia. Dengan demikian, ayat-ayat itu mengaitkan
antara kesempurnaan intelektual dan kesempurnaan akhlak pada kaum ûlû al-
Albâb.

74
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Syamil Cipta Media,
2005) h. 248.
65

Pada penutup sifat ûlû al-Albâb dan doa-doa mereka pada akhir surat Ali
Imran, Allah SWT berfirman:

             

          

        

            
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-
orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari
kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang
berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka
ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai
pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
(QS. Ali Imron: 195)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa penghuni surga adalah kaum ûlû al-
Albâb atau kaum cerdik cendekia. Penghuni surga bukanlah kelompok orang-
orang bodoh.
Pada penutup surat Ibrahim disebutkan tentang al-Qur‟an dan
kandungannya yang berisikan penyampaian yang jelas bagi manusia,
peringatan bagi mereka dengan al-Qur‟an ini serta penjelasan tentang keesaan
Allah. Untuk tugas inilah Rasul-rasul diutus, kitab-kitab diturunkan, hari
kiamat datang, serta dipancangkan surga dan neraka. Dan akhirnya, agar
dengan al-Qur‟an yang agung ini kaum ûlû al-Albâb dapat mengambilnya
menjadi pengingat dan pemberi pelajaran. Merekalah manusia yang paling
kompeten untuk mendalami kandungan al-Qur‟an tersebut serta menghafal
dan membacanya. Allah SWT. berfirman:

         
66

   


“(Al-Quran) Ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia,
dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya
mereka mengetahui bahwasanya dia adalah Tuhan yang Maha Esa
dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (QS.
Ibrahim: 52)

Pembicaraan tentang al-Qur‟an dengan redaksional seperti itu juga


terdapat pada surat Shad. Allah SWT. berfirman:

       

 
“Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh
dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan
supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai
fikiran”. (QS. Shad: 29)

Jika kekuatan intelektual dipergunakan untuk mengembara di dunia ini,


yang tampak dan yang tidak tertangkap pandangan mata, maka ia mempunyai
kompetensi untuk mengembara, memikirkan, dan mentadabburi kandungan
al-Qur‟an ini, yang merupakan perwujudan bentuk dunia perintah. Kedua
dunia tersebut mengandung ayat-ayat Allah SWT. Dunia yang satu
mengandung ayat-ayat dari perbuatannya, sedang dunia yang lainnya
mengandung ayat-ayat dari firman-Nya. Ayat-ayat pertama dapat ditangkap
dengan berpikir dan bertafakur, sedangkan ayat-ayat yang kedua dapat
dipahami dengan bertadabbur dan tazakkur.
Istilah ûlû al-Albâb kembali disebut pada surat Shad berkaitan dengan
pembicaraan tentang hamba Allah Ayyub dan kesabarannya menerima
cobaan dari Allah.
Allah SWT. kemudian membalas kesabaran dan keridhaannya atau
ketentuan rabbnya, dan mengembalikan keluarganya kepada-Nya. Allah
SWT berfirman:
67

         


“Dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali)
keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka
pula sebagai rahmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai fikiran”. (QS. Shad: 43)

Pada surat az-Zumar istilah ûlû al-Albâb disebut sebanyak tiga kali.
Pertama, dalam konteks pembicaraan tentang orang-orang yang
mendirikan malam mereka, berdiri di atas kaki mereka untuk beribadah
kepada Rabb mereka dengan penuh pengharapan. Sementara, manusia-
manusia lain masih tenggelam dalam tidur mereka atau sebagian lagi malah
menghabiskan malam-malam mereka dengan kemaksiatan. Mereka
menyadari betul bahwa mereka adalah orang-orang yang beruntung,
sedangkan golongan yang selain mereka adalah orang-orang yang merugi. Ini
benar-benar sebuah kecerdikan, Allah berfirman:

         

            

   


“(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah
orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan
rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran”. (QS. Az-Zumar: 9)

Kedua, dalam koteks pembicaraan tentang hamba-hamba Allah yang


menegakkan tauhid, tidak menyembah patung dan berhala, dan mereka hanya
mengharap kepada Allah SWT semata. Dalam kaitan ini Allah SWT.
memberikan berita gembira kepada mereka dengan kemuliaan dan balasan,
68

dan Allah menisbatkan mereka pada penyembahan kepada-Nya sebagai


pemuliaan dan penghormatan kepada mereka. Allah SWT. mensifati mereka,
“yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
diantaranya..”(az-Zumar: 18) mereka tidak berhenti pada tingkatan “baik”,
namun terus berusaha untuk meraih “yang paling baik”. Allah SWT.
berfirman:

          

         

        


Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah-
nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab
itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
(QS. Az-Zumar: 17-18)

Selanjutnya Allah SWT memberi sifat kepada mereka dengan tiga hal:
bertauhid atau menjauhi thagut, kembali kepada Allah SWT., atau mengikuti
perkataan yang paling baik (wahyu).
Dan Allah SWT. membalas mereka dengan tiga ganjaran: Mendapatkan
kabar gembira dari Allah SWT., Memasukkan mereka sebagai kelompok
yang mendapatkan hidayah, bahkan Allah SWT. mengatakan bahwa hanya
merekalah yang berada dalam hidayah, termasuk membatasi sifat ûlû al-
Albâb bagi mereka.
Ketiga, yang disebut terakhir dalam surat az-Zumar ayat 21, dalam
konteks membicarakan air yang diturunkan Allah dari langit dan dia
memperjalankannya dalam sumber-sumber mata air di bumi, kemudian
bagaimana Allah SWT. mengeluarkan dengan air itu tumbuh-tumbuhan yang
beragam warnanya. Sampai akhirnya semua itu kembali menjadi kepingan-
69

kepingan sampah, hal tersebut merupakan pelajaran yang sangat berharga


bagi orang-orang yang disebut dengan “ûlû al-Albâb”. Allah SWT. berfirman:

            

          

        


“Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah
menurunkan air dari langit, Maka diaturnya menjadi sumber-sumber air
di bumi Kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang
bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya
kekuning-kuningan, Kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang mempunyai akal”.

Terakhir, yang datang dalam surat makkiyah adalah dalam konteks


pembicaraan tentang Taurat, kitab yang Allah SWT. diturunkan kepada Nabi
Musa as. Sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia pada masanya.
Termasuk di dalamnya, bagaimana Allah SWT. menjadikannya sebagai
petunjuk dan pengingat bagi kaum cendekiawan pada masa itu. Dengan ini
Allah SWT. mengaitkan antara kitab-kitab seluruhnya, dan para Rasul. Allah
SWT berfirman:

         

   


“Dan Sesungguhnya Telah kami berikan petunjuk kepada Musa; dan
kami wariskan Taurat kepada Bani Israil ,Untuk menjadi petunjuk dan
peringatan bagi orang-orang yang berfikir.” (QS.Al-Mu‟min: 53-54)

Beberapa kriteria tersebut diatas (baik secara global maupun detail)


mengindikasikan tentang pengertian atau definisi dari ûlû al-Albâb itu sendiri.
Ditinjau dari segi bahasa kata ûlû al-Albâb terdiri dari dua kata, yakni Ulu
yang berarti “memiliki” dan kata al-Albab yang berasal dari kata al-Lubb
70

yang artinya “otak” atau “pikiran” (intelect). Kata al-Albab adalah bentuk
jamak dari kata al-lubb, dengan demikian ûlû al-Albâb adalah orang yang
memiliki otak berlapis-lapis.
Dengan beraneka ragamnya istilah ûlû al-Albâb yang disebut dalam
berbagai ayat tersebut di atas, menjelaskan bahwa hal ini juga berimplikasi
terhadap keanekaragaman karakteristik ûlû al-Albâb antara lain ûlû al-Albâb
merupakan orang yang memiliki akal yang murni, cerdas, selalu dalam
keadaan siap dalam segala hal, selalu ingat kepada Allah, selalu konsen
terhadap kesinambungan pemikiran dan sejarah, memiliki ketajaman hati,
suka merenungkan dan mengkaji ayat-ayat Tuhan, sabar, tidak pernah
membuat onar dan bertaqwa kepada Allah.
Ûlû al-Albâb adalah sosok yang memiliki kualifikasi: beriman,
berpengetahuan tinggi, berakhlak mulia, tekun beribadah, berjiwa sosial dan
bertakwa.
Dari ayat-ayat ûlû al-Albâb tersebut juga dapat diambil kesimpulan
secara ringkas, ûlû al-Albâb bukan hanya mereka yang berfikir tentang alam
fisik, botani dan sejarah. Mereka juga bukan orang-orang yang hanya
memiliki kriteria yang hanya terkait dengan aktifitas pikir, melainkan juga
dengan amal (perbuatan) kongkritnya.
Pada intinya ayat-ayat al-Qur‟an banyak sekali yang memerintahkan
manusia untuk selalu memikirkan hakikat penciptaan makhluk-makhluk
Allah SWT. di alam semesta ini, dengan harapan manusia dapat mensyukuri
nikmat Allah SWT. tersebut sehingga menjadi insan ûlû al-Albâb.
Jadi beberapa pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa ûlû al-
Albâb adalah seorang yang mempunyai otak yang berlapis-lapis dan sekaligus
memiliki perasaan yang peka terhadap sekitarnya, yang dicirikan sebagai
seseorang yang berilmu pengetahuan yang luas, mampu melihat/membaca
fenomena alam dan sosial secara tepat, memiliki otak yang cerdas, berhati
lembut, dan bersemangat juang tinggi karena Allah SWT. sebagai ibadah
amal shaleh.
71

Untuk menjadikan seorang Siswa dengan berkepribadian ûlû al-Albâb,


maka ia harus memenuhi indikator-indikator berikut ini:
1. Memiliki ketajaman analisis
2. Memiliki kepekaan spiritual
3. Optimisme dalam menghadapi hidup
4. Memiliki keseimbangan jasmani-ruhani, individual-sosial, dan
keseimbangan dunia-akhirat
5. Memiliki kemanfaatan bagi kemanusiaan
6. Pioneer dan pelopor dalam transformasi sosial
7. Memiliki kemandirian dan tanggung jawab, dan
8. Berkepribadian kokoh

Seorang Siswa harus memotivasi dirinya untuk menjadi sosok ûlû al-
Albâb dengan memperhatikan beberapa karakteristik kepribadian ûlû al-
Albâb di dalam al-Qur‟an, yaitu:
1. Pada Periode Makkiyah
a. Mampu mengambil pelajaran dan hikmah dari peristiwa terdahulu.
b. Berakal sehat dan berpikiran lurus.
c. Berpikir cerdik, menghayati dan mengamalkan al-Qur‟an.
d. Mampu melihat kebenaran dan bersikap adil.
e. Mampu melihat anugerah sebagai pelajaran.
f. Mendirikan shalat malam dan mengharap rahmat Allah SWT.
g. Mendengarkan nasihat dengan baik.
h. Menjadikan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. sebagai petunjuk dan
pengingat bagi dirinya
i. Mengharap petunjuk dari Allah SWT.

2. Pada Periode Madaniyah


a. Memahami substansi dari permasalahan.
b. Memiliki kejernihan akal dan tidak memiliki kerancuan dalam
berpikir.
72

c. Menggunakan pikiran dan memanfaatkannya untuk mengetahui


kebenaran.
d. Bertaqwa kepada Allah SWT.
e. Meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya.
f. Memiliki kemantapan iman.
g. Mengingat Allah (dzikrullah) dalam kondisi apapun.

D. Konsep Ûlû Al-Albâb dan Relevansinya dengan Pendidikan


Islam
Setelah penulis memaparkan tentang konsep yang ada pada Ulul Albab
dan juga pendidikan Islam, penulis akan melanjutkan tentang relevansi antara
konsep ulul albab dengan pendidikan Islam.
Ulul Albab dan pendidikan Islam adalah dua kata yang saling
berhubungan, karena sebenarnya tujuan dari pendidikan Islam adalah suatu
misi yang diemban dan hendak direalisasikan oleh seorang ulul albab melalui
berbagai aktifitas dalam kehidupan yang dijalaninya. Sedangkan ulul albab
adalah merupakan salah satu tujuan akhir dari pendidikan Islam.
Ketidak terpisahan antara ulul albab dengan pendidikan Islam memang
merupakan suatu hal yang tak bisa dielakkan lagi. Karena sebenarnya ulul
albab itu merupakan salah satu tujuan akhir dari pendidikan Islam.
Sedangkan pendidikan Islam merupakan salah satu misi yang diemban dan
hendak direalisasikan oleh ulul albab melalui berbagai aktivitas dalam
kehidupannya.
Sedangkan bentuk relevansi antara konsep Ulul Albab dengan
pendidikan Islam sebagai berikut:
1. Orang yang selalu berdzikir kepada Allah kapanpun dan di manapun dia
berada.
Dalam konsep yang ada pada diri ulul albab yang berupa terus
menerusnya mereka mengingat Allah SWT. adalah hasil dari terbentuknya
kesadaran terhadap hakikat dirinya sebagai manusia hamba Allah yang
diwajibkan menyembah kepada-Nya. Melalui kesadaran ini pada akhirnya
73

dirinya akan berusaha agar potensi dasar keagamaan (fitrah) yang dimiliki
dapat tetap terjaga kesuciannya sampai akhir hayatnya. Sehingga, hidup
dalam keadaan beriman dan meninggalnya juga dalam keadaan beriman
(muslim), hal ini juga yang menjadi pokok dari tujuan yang akan dicapai
dari Pendidikan Agama Islam.
hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.:

        

         

        

     


“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-
orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari
siksa neraka.

Ayat di atas dapat dijelaskan bahwa siapapun yang mencari ilmu


dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. dan mampu
memberikan implikasi positif bagi diri sendiri dan sesamanya dan
kecintaannya mensyukuri nikmat Allah.
Dari penjelasan di atas, kalau dikaitkan dengan pendidikan Islam
adalah setiap ilmu pengetahuan yang diberikan kepada kita, tidak perlu
memandang siapa yang memberikannya tetapi bersyukurlah atas ilmu yang
diberikan Allah swt.
Secara detail, kemampuan seseorang dalam merenungkan secara
mendalam fenomena alam dan sosial, yang hal itu mendorongnya
mengembangkan ilmu pengetahuan dengan berbasis pada kepasrahan
74

terhadap kebesaran Allah untuk dijadikan sebagai penopang dalam berkarya


positif.
Pada ayat ini Allah menjelaskan 3 aktivitas insan Ulul Albab yaitu:
a. Senantiasa mengingat Allah (berzikir), sebuah bentuk kesadaran
spiritual dan keberagamaannya dengan berzikir ia selalu mendapatkan
petunjuk dan bimbingan dalam bersikap dan bertindak atau setidaknya
apa yang dilakukannya secara transindental mengatas namakan Allah.
Oleh karena itu ia berupaya menghindar dari perbuatan yang merusak
dan merugikan agar tetap memiliki makna atau nilai ibadah.
b. Memikirkan penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam
dan siang sebagai kegiatan intelektual kognitif yang pada berikutnya
ia dapat menentukan apa yang harus diperbuat dirinya sebagai
menjaga keseimbangan agar tetap bertahan hidup dan dapat
menghadirkan mamfaat bagi kehidupan.
c. Ketiga menyadari kebesaran Allah akan membentuk sesuatu
mentalitas atau emosi yang agung. Hanya dengan kesadarannya yang
tinggi terhadap kebesaran Allah dan dengan mentalitas yang agung
maka insan ulul albab akan memadukan antara kecerdasan intelektual
dan kecerdasan emosional, antara moral yang terbangun dalam
komunitasnya dan agama yang diwahyukannya.

Berdasarkan penjelasan di atas seorang pendidik hendaknya


mengembangkan dan membersihkan jiwa anak didik agar dapat
mendekatkan diri kepada Allah, menjauhkan diri dari keburukan dan
menjaga atau memelihara agar tetap berada pada fitrahnya.

2. Orang yang berusaha menggali ke-Esa-an Tuhannya dengan selalu


memikirkan ciptaan-NYA secara bersungguh-sungguh dan berusaha untuk
mendalaminya
Salah satu dari tujuan pendidikan Islam adalah menumbuhkan
kesadaran ilmiah melalui kegiatan penelitian, baik terhadap kehidupan
manusia, alam maupun kehidupan makhluk Allah diseluruh semesta alam.
75

Dengan menggali ayat-ayat Allah tentunya akan menambah tunduknya dan


sadarnya mereka akan kedhoifan yang ada pada dirinya.
Sudah dikemukakan pada bab ini dan sebelumnya bahwa seorang ulul
albab mempunyai dorongan yang kuat untuk belajar banyak dan berfikir
mendalam, mencari pengertian yang paling hakiki atau inti yang hanya
dilakukan apabila seseorang itu berfikir secara radikal ke akar-akarnya.
Dari aktifitas itulah orang akan sampai pada tingkat kebijaksanaan.
Firman Allah SWT.:

            

    


“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari
sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (QS. Ali
Imron: 7)

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa konsep ulul albab dan


pendidikan Islam mempunyai relevansi yang sangat kuat dalam rangka
mewujudkan tujuan hidup manusia, yaitu sebagai khalifatullah yang selalu
ta‟abud ilallah, yang semua itu dapat diwujudkan melalui pendidikan
dengan cara mengembangkan potensi- potensi yang ada dalam diri
manusia sehingga terbentuk insan kamil.
Dari semua uraian diatas sebenarnya pendidikan Islam diharapkan
dapat menggerakkan pola fikir dan dzikir manusia yang selanjutnya dapat
diwujudkan dalam bentuk amal. Adanya keseimbangan pengembangan
Dzikir, fikir, dan amal inilah yang nantinya dapat menghasilkan
kepribadian sempurna yang diharapkan mampu menjalankan segala misi
kehidupan kekhalifahan sebagaimana yang menjadi amanat Allah dan
tujuan pendidikan Islam.
76

3. Orang yang tunduk dan memasrahkan jiwa raganya dengan cara beribadah
kepada Allah SWT dengan mengimani dan mentaati seruan dari Allah
SWT. Sebagaimana firman Allah :

      

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya


mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Berkaitan dengan tugas hidup manusia tersebut, Ahmadi berpendapat


bahwa tujuan diciptakanya manusia oleh Allah terdiri dari: pertama, tujuan
utama penciptaanya ialah agar manusia beribadah kepada-Nya. Kedua,
manusia diciptakan untuk berperan sebagai wakil Tuhan di muka bumi
(khalifatullah fil ardl). Ketiga, manusia diciptakan untuk membentuk
masyarakat, manusia yang saling mengenal hormat-menghormati dan
tolong menolong antar yang satu dengan yang lain dalam rangka
menunaikan tugas kekhalifahannya.75
Manusia tidak akan dapat menanggung beban tugasnya sebagai
khalifah jika dalam dirinya tidak terbentuk perasaan tunduk (ibadah) yang
total kepada Allah. Pendidikan Islam pun mempunyai tujuan agar anak
didik selalu bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang terwujud
dalam kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah.
Ulul Albab juga selalu menjaga dan menghidarkan dirinya dari taghut,
yakni setan, berhala dan sesembahan selain Allah SWT. Serta segala
sesuatu yang melampaui batas, kekufuran dan kedzaliman, mereka hanya
tulus menyembah dan beribadah kepada Allah.
Kedudukan manusia dalam sistem penciptaanya adalah sebagai hamba
Allah sekaligus sebagai khalifah di bumi ini. Kedudukan itu berhubungan
dengan peranan yang ideal. Yaitu pola perilaku yang di dalamnya
terkandung hak, kewajiban, dan tugas manusia yang terkait dengan

75
Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006 ),
h. 41.
77

kedudukannya di hadapan Allah sebagai pencipta. inilah tanda khas yang


membedakan ulul albab dengan ilmuwan, intelektual lainnya. Ulul albab
rajin bangun tengah malam untuk bersujud, ruku‟ di hadapan Allah.
Sebagaimana firman Allah:

         

            

   


“(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah
orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan
rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran”. (QS. Az-Zumar: 9)

Dengan merujuk Firman Allah diatas inilah tanda khas yang


membedakan ulul albab dengan ilmuwan dan intelektual lainnya. Ulul
Albab rajin bangun tengah malam untuk bersujud, ruku‟ dihadapan Allah.
Dia merintih pada waktu mengajukan segala derita dan segala permohonan
ampunan kepada Allah SWT semata-mata hanya mengharap rahmat-Nya.
Karena telah melembaga keimanan dalam hati sanubarinya ulul albab,
maka akhirnya melahirkan kesadaran dan keikhlasan serta tanggung jawab
untuk mengabdikan diri kepada Allah, seluruh aktivitas hidupnya hanya
semata-mata karena diperuntukkan Allah bukan karena supaya mendapat
prestise dari sesama manusia.
Dengan demikian, manusia diciptakan bukan sekedar untuk hidup
mendiami dunia ini dan kemudian mengalami kematian tanpa adanya
pertanggung jawaban kepada pencipta-Nya, melainkan manusia diciptakan
oleh Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
78

Seorang ulul Albab dalam menggali ilmu lebih mementingkan


kemaslahatan masyarakat dan kemajuan peradaban manusia secara merata
bukan untuk kepentingan pribadi. Jadi dalam kesungguhan mencari ilmu
ada dua kegiatan yang dilakukan insan ulul Albab yaitu tafakkur dan
tasyakkur. Tafakkur berarti merenungkan ciptaan Allah di langit dan di
bumi, kemudian menangkap hukum-hukum yang terdapat di alam semesta.
Sedangkan Tasyakkur berarti memanfaatkan nikmat dan karunia Allah
dengan menggunakan akal pikiran sehingga kenikmatan makin bertambah.
Seorang ulul Albab akan selalu bersedia menyampaikan ilmunya
kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakatnya, bersedia
memberikan pengertian kepada masyarakat, menegur apabila terjadi
ketimpangan, dan terpanggil hatinya untuk memperbaiki ketidak beresan
di tengah-tengah masyarakat.

Firman Allah SWT.:

        

        

          


Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah-
nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab
itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
(QS. Az-Zumar: 17-18)

Ayat di atas menjelaskan tentang Ulul Albab sebagai hamba Allah


yang mendengarkan, memahami dan mengamalkan petunjuk dari Al-
Qur‟an sehingga terlahirlah sikap optimis untuk selalu mendapatkan
79

petunjuk dari Allah. Menjadikan manusia yang tidak mudah putus asa
dengan selalu mengharapkan petunjuk tuhannya.
Penjelasan tafsir Al-Qur‟an tentang ayat ini adalah bahwasanya
bersikap kritis dalam menerima pengetahuan atau mendengarkan
pembicaraan orang lain, memiliki kemampuan menimbang ucapan atau
teori. Maksudnya manusia itu diperintahkan oleh Allah SWT. apabila ia
mendapatkan ilmu pengetahuan dan dia mampu memikirkan dan
menganalisa yang mana baik dan buruk.

4. Orang yang selalu ta‟zhim pada guru (pendidik) dengan cara merendahkan
diri dan mengagungkannya.
Pendidikan Islam harus berupaya membangun manusia dan
masyarakat secara utuh dan menyeluruh (insan kamil) dalam semua aspek
kehidupan yang berbudaya dan berperadaban yang tercermin dalam
kehidupan manusia yang bertakwa dan beriman, berpengetahuan dan
berakhlak mulia. Firman Allah SWT.:

         

        

           

          
“Dan Berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah
Tuhan mereka dan rasul-rasul-Nya, Maka kami hisab penduduk negeri itu
dengan hisab yang keras, dan kami azab mereka dengan azab yang
mengerikan. Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari
perbuatannya, dan adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar.
Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, Maka bertakwalah
kepada Allah Hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang
yang beriman. Sesungguhnya Allah Telah menurunkan peringatan
kepadamu.” (QS. Ath-Tholaq: 8-10)
80

Ayat di atas menjelaskan tentang Ulul Albab adalah mereka yang


tidak suka meniru orang-orang yang suka berbuat dosa. Pikiran sehatnya
menjadikannya pandai berkomunikasi, selalu waspada sehingga mereka
tidak menginginkan musibah itu menimpa dirinya, keluarga dan
lingkungannya. Cukup jadi pelajaran baginya peristiwa atau kisah dari
orang yang diajab oleh Allah SWT. karena dosa-dosa yang dilakukan atas
dasar kesombongannya. Maka dari itu Ulul Albab diharapkan memiliki
kemampuan untuk mengambil pelajaran dari kisah-kisah dan tidak
menyombongkan dirinya, serta teguh memegang amanat tidak merusak
perjanjian serta pandai berkomunikasi
Karakteristik yang ada pada seorang ulul albab itu juga sebagai
puncak atau tujuan akhir dari dzikir adalah dzikir amaliyah. Dzikir ini
secara singkat diaplikasikan dalam taqwa yang sekaligus menjadi akhlak
mulia, hal ini relevan dengan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan
Islam yaitu membina dan memupuk akhlak karimah.

5. Menumbuhkan dan mengembangkan ketakwaan kepada Allah,


Sebagaimana firman Allah SWT.:

          

 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-


benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imron: 102)
Menumbuhkan dan mengembangkan ketakwaan kepada Allah adalah
karakteristik yang dimiliki oleh ulul albab, hal ini sinkron dengan tujuan
pendidikan agama Islam yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar
tunduk, bertaqwa, dan beribadah dengan baik kepada Allah. Sehingga
memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
81

Allah SWT. berfirman dalam Surah Ar-Ra‟d ayat 19:

            

   


“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang
yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat
mengambil pelajaran.” (QS. Ar-Ra‟d: 19)

Menurut penjelasan tafsir Al-Qur‟an tentang ayat ini adalah hanya


orang-orang yang berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran.
Maksudnya hanya orang yang memiliki kesediaan untuk menyampaikan
ilmunya kepada orang lain, memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki
masyarakat serta terpanggil hatinya untuk menjadi pelopor terciptanya
kemaslahatan dalam masyarakat.
Dari uraian di atas dapat dikaitkan ke dalam dunia pendidikan Islam
bahwa seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan hendaknya
mengajarkan kepada orang lain. Misalnya seorang guru harus
mengajarkan, membina, memotivasi kepada siswanya dengan tulus dan
ikhlas agar tujuan pendidikan islam dapat tercapai yaitu menjadikan
manusia yang berakhlak mulia dan sesuai dengan ajaran agama Islam.

Dalam Surah Al-Baqarah ayat 197, Allah SWT. berfirman:

          

            

         


“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji,
Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di
82

dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa
kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan
Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah
kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal”. (QS. Al-Baqoroh: 197)

Dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 197 bahwa dalam


mengerjakan ibadah haji. Maka seseorang dilarang untuk berkata jorok,
berbuat maksiat, dan bertengkar. Hal tersebut sejalan dengan hukum fiqih
yakni; Dalam melakukan ibadah haji dilarang melakukan perbuatan yang
dapat mengotorkan pribadinya ketika ia menghadap ke hadhirat Allah
SWT. Misalnya, bermaki-maki, berkelahi, bersetubuh dan semua sifat
yang dapat merendahkan kesucian martabat manusia.
Ayat ini menjelaskan bahwa karakter Ulul Albab ketika melakukan
ibadah seperti haji yang dilakukan secara kolektif, ia akan menjaga
interaksi, komunikasi dan sopan santun dalam berbicara malu berkata
kotor yang mengundang reaksi negatif dari sesamanya karena tahu pasti
bahwa apa yang dilakukannya diketahui dan diawasi oleh Allah SWT.

Pada era teknologi ini, pendidikan Islam menjadi kebutuhan pokok


masyarakat luas. Sebab, hadirnya teknologi tidak hanya membawa dampak
positif, namun terdapat dampak negatif yang mengiringinya seperti mulai
terkikisnya nilai-nilai keruhanian pada manusia masa kini. Oleh karena itu
pendidikan Islam menjadi penting untuk mengimbangi perkembangan
teknologi yang begitu pesat. pendidikan Islam diharapkan tidak hanya
membentuk intelegensi namun juga membentuk aspek rohani.
Konsep pendidikan ûlû al-albâb melihat bahwa manusia yang disebut ûlû
al-albâb adalah sosok manusia yang mengedepankan dzikir, fikir, dan amal
sholeh. Ia memiliki ilmu yang luas, pandangan mata yang tajam, otak yang
cerdas, hati yang lembut, dan semangat jiwa pejuang (jihad di jalan Allah
SWT.). Manusia ûlû al-albâb adalah manusia yang bertauhid dan karenanya
ia berkeyakinan bahwa semua makhluk adalah sama dan tiada yang lebih
83

tinggi kecuali ia memiliki kemuliaan yang disebabkan ia memiliki ilmu,


iman, dan amal sholeh atau taqwa.76
Pendidikan ûlû al-albâb memberikan suatu manfaat yang dipandang
kokoh dan strategis agar seseorang dapat menjalankan peran sebagai
khalifatullah fil ardh yaitu sebagai khalifah di muka bumi ini. Pendidikan ûlû
al-albâb berkeyakinan bahwa mengembangkan ilmu pengetahuan semata-
mata dimaksudkan sebagai upaya mendekatkan diri dan memperoleh ridho
Allah SWT. Akan tetapi pendidikan ûlû al-albâb juga tidak menafikan arti
pentingnya pekerjaan sebagai sumber rezeki. Ûlû al-albâb berpandangan
bahwa jika seseorang telah menguasai ilmu pengetahuan, cerdas,
berpandangan luas dan perangai yang lembut serta mau berjuang di jalan
Allah SWT., insya Allah akan mampu melakukan amal sholeh. 77 Konsep
amal sholeh diartikan sebagai bekerja secara lurus, tepat, benar, dan
professional. Amal sholeh bagi ûlû al-albâb adalah merupakan suatu
keharusan, sebab amal sholeh adalah menuju jalan ridho Allah SWT.
Amal sholeh sedikitnya merangkum tiga dimensi, yaitu:
1. Profesionalisme
2. Transenden berupa pengabdian dan keikhlasan, dan
3. Kemaslahatan bagi kehidupan pada umumnya.78
Karena itu, amal sholeh harus didasarkan pada keahlian dan rasa
tanggung jawab yang tinggi. Pendidikan ûlû al-albâb menanamkan nilai,
sikap dan pandangan bahwa kapan dan dalam suasana apapun harus
dilakukan yang terbaik (amal sholeh).
Pendidikan ûlû al-albâb dapat dikatakan berhasil jika mampu
mengantarkan seseorang memiliki identitas sebagai berikut:
1. Berilmu pengetahuan yang luas
2. Berpenglihatan yang tajam
3. Berotak cerdas

76
Zamroni, Pendidikan Islam Berorientasi Masa Depan: Konsep Pendidikan Ulul Albab
Perspektif Imam Suprayogo, Jurnal at-turas, vol 1, No. 1, 2014, h. 57.
77
Musthofa, op.cit., h. 308.
78
Ibid., h. 308.
84

4. Berhati lembut, dan


5. Bersemangat juang tinggi sebagai pengejawantahan/perwujudan amal
sholeh79
Jika kelima kekuatan itu berhasil dimiliki oleh siapa saja yang belajar,
maka artinya pendidikan ûlû al-albâb sudah dipandang berhasil.
Konsep pendidikan ûlû al-albâb menurut Imam Suprayogo sebagaimana
yang dikutip oleh Zamroni mencakup tiga aspek yaitu, “Konsep pendidikan
ûlû al-albâb harapannya adalah akan membentuk pribadi yang cerdas secara
intelektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ)”.80
Oleh karena itu, pendidikan Islam harus mulai memperhatikan tiga aspek
ranah pendidikan, baik kognitif, afektif, dan psikomotorik. Karena pada
kenyataannya pendidikan Islam sampai detik ini masih menitik beratkan pada
satu aspek yaitu aspek kognitif. Konsep pendidikan ûlû al-albâb patut kiranya
menjadi sebuah alternatif pengembangan lembaga pendidikan Islam dan
menjawab tantangan globalisasi dan keterpurukan pendidikan pada saat ini
dan mendatang.
Suprayogo membagi konsep pendidikan ûlû al-albâb dalam tiga aspek
yaitu, IQ, EQ dan SQ. Sedangkan Dato‟ Seri Idris mengelompokkan konsep
pendidikan ûlû al-albâb menjadi tiga aspek yaitu: Qur‟ani, Ijtihadi dan
Ensiklopedi. Ketiga aspek tersebut dibuat berdasarkan pada ayat-ayat ûlû al-
albâb yang terdapat dalam al-Qur‟an, lebih jelasnya akan peneliti jabarkan
dalam tabel berikut:
Tabel 4.4
Konsep Pendidikan ûlû al-albâb81

No. Surah Ayat Inti Pembahasan Ciri-ciri

1 al-Baqarah 179 Berakal pikiran dan bertaqwa Ijtihadi

79
Ibid., h. 309.
80
Zamroni, op.cit., h. 58.
81
Arniyuzie, Ulasan Sistematik: Program Ûlû Al-Albâb dalam Sistem Pendidikan di Malaysia,
Jurnal Kurikulum dan Pengajaran Asia Pasifik, Bil 3, Isu 4, 2015, h. 24
85

2 al-Baqarah 197 Memelihara diri dan bertaqwa Ijtihadi

3 al-Baqarah 269 Mengambil pengajaran dan peringatan Ijtihadi

4 Ali-Imran 7 Mendalami ilmu-ilmu agama Ensiklopedi

5 Ali-Imran 190 Kejadian langit dan bumi Ensiklopedi

6 al-Maidah 100 Baik dan buruk Ijtihadi

7 Yusuf 111 Sebagai keterangan Ijtihadi

8 ar-Ra‟d 19 al-Qur‟an diturunkan Qur‟ani

9 Ibrahim 52 Diberi peringatan dan nasihat Qur‟ani

10 Shaad 29 Banyak faidah-faidah Qur‟ani

11 Shaad 43 Peringatan Ijtihadi

12 az-Zumar 9 Orang yang mengetahui dan tidak tahu Ijtihadi

13 az-Zumar 18 Memilih dan mengikuti hukum agama Ijtihadi

14 az-Zumar 21 Memperhatikan kejadia Allah SWT. Ijtihadi


Ghafir/al-
15 54 Hidayah dan peringatan Qur‟ani
Mu‟min
16 at-Thalaq 10 Bertaqwa Qur‟ani

Tujuan konsep pendidikan ûlû al-albâb yang berbasis Qur‟ani adalah


untuk menanamkan rasa cinta, memahami, mengamalkan ajarannya dan sikap
menghargai al-Qur‟an sebagai kalam Ilahi. Konsep pendidikan ûlû al-albâb
Qur‟ani dimaksudkan agar siswa dapat menjadikan al-Qur‟an sebagai budaya
dalam kehidupan sehari-hari.82 Oleh karena itulah dalam menghasilkan
generasi ûlû al-albâb yang berkualitas, harus adanya pendekatan pendidikan
yang bersifat Qur‟ani agar terciptanya insan ûlû al-albâb yang beriman,
bertaqwa, berilmu, berakhlak mulia, berketrampilan, bertanggungjawab dan
dapat berbakti kepada agama, bangsa dan negara.

82
Ibid., h. 25.
86

Selanjutnya aspek dari konsep pendidikan ûlû al-albâb yaitu ensiklopedi


yang berarti mereka yang menguasai berbagai disiplin ilmu, dan berbagai
jenis bahasa serta berkemahiran tinggi dan menjadi sumber rujukan utama
masyarakat.
Pendidikan yang bersifat ijtihadi yaitu suatu proses pendidikan yang
dapat melahirkan golongan ilmuan dan intelektual Islam yang mempunyai
kreativitas dan daya cipta yang tinggi, yang mempunyai kemauan untuk
berani mencoba perkara baru dan menghasilkan idea-idea baru untuk
kebaikan umat manusia.83 Oleh karena itu ûlû al-albâb yang bersifat Ijtihadi
adalah ia yang mampu dan berupaya memberikan pandangan mereka dalam
menyelesaikan masalah, memaksimalkan berfikir, berfikiran kreatif dan
inovatif serta berteknologi tinggi.
Berdasarkan penjelasan di atas, inti dari konsep pendidikan ûlû al-albâb
adalah untuk memperdalam penghayatan ajaran Islam ke dalam diri siswa
agar mereka dapat menjadikan agama sebagai landasan utama serta mampu
membedakan perkara-perkara yang baik dan buruk, berikut peneliti paparkan
gambaran dari konsep pendidikan ûlû al-albâb yaitu:

Konsep Pendidikan ûlû al-albâb84

83
Ibid., h. 25.
84
Stemind, Pemeriksaan Ûlû al-Albâb melalui Modul STEM Berpadu Stemind, The Online
Journal of Islamic Education, Issue ICIEd2014, h. 3.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa konsep ûlû al-Albâb yaitu sosok
yang memiliki kualifikasi: berwawasan luas, mempunyai ketajaman dalam
menganalisis suatu permasalahan, beriman, bertakwa, sabar, tidak takut terhadap
apapun kecuali Allah, berakhlak mulia, tekun beribadah, berjiwa sosial dan mampu
menjadi insan terdepan. Dengan kecerdasan dan pengetahuan yang luas, mereka
tidak melalaikan Tuhannya, bahkan mereka menggunakan kelebihan yang dimiliki
untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan cara mengingat (dzikr)
dan memikirkan (tafakkur) semua keindahan dan rahasia-rahasia ciptaan-Nya.
Adapun wujud dari relevansi kandungan ayat-ayat ûlû al-Albâb
terhadap dunia pendidikan Islam, yaitu untuk memperdalam penghayatan
ajaran Islam ke dalam diri siswa agar mereka dapat menjadikan agama Islam
sebagai landasan utama serta mampu membedakan perkara-perkara yang baik
dan buruk, dan dapat menjadikan al-Qur’an sebagai budaya dalam kehidupan
sehari-hari.

B. Saran-saran
Adapun saran-saran dari peneliti sebagai berikut:
1. Bagi Pendidik
Dari kajian tentang konsep tarbiyah ûlû al-Albâb diharapkan
menjadi wacana baru bagi peningkatan kualitas pendidikan Islam di
Indonesia, hal ini dapat terwujud dengan mensyaratkan pembelajaran
pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada pengetahuan dan
kepandaian dengan menggunakan sistem hafalan, serta ranah kognitif
yang dijadikan acuan dan prioritas, akan tetapi bagaimana proses
pembelajaran pendidikan Islam ini dapat dikembangkan pada nalar
pengetahuan yang dilengkapi dengan nalar moral yang beretika sehingga

87
88

pada akhirnya mampu menciptakan peserta didik yang memiliki multiple


intelegen untuk mencetak insan yang ûlû al-Albâb.
Di samping itu diharapkan bagi para pendidik untuk tidak sekedar
mentransfer knowledge (pengetahuan), tapi juga mentransfer value
(nilai), serta uswah hasanah (teladan) bagi peserta didiknya, jika hal ini
dapat dilaksanakan maka hal ini bisa membantu terwujudnya tujuan
pendidikan yang sejak lama hanya tertulis di undang-undang dan buku-
buku pendidikan.

2. Bagi Lembaga Pendidikan


Lembaga pendidikan yang merupakan tempat belajar bagi seluruh
peserta didik diharapkan dapat mengembangkan dan menciptakan insan
yang ûlû al-Albâb, dengan mengembangkan kebijakan-kebijakan yang
mengarah pada pengembangan insan yang ûlû al-Albâb yang cerdas,
berbudi baik, memiliki pandangan kedepan yang mengacu pada al-
Qur’an dan hadits.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya


Penelitian tentang ûlû al-Albâb ini tentu saja sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, diharapkan dilakukan penelitian dengan
tema yang sama, agar dapat diraih pemahaman yang lebih mendalam
mengenai ûlû al-Albâb, karena dengan dilakukan penelitian ulang dengan
menggunakan pendekatan yang berbeda akan didapatkan kesimpulan
yang berbeda pula.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Hafidz, Ahsin W., Kamus Ilmu al-Qur‟an, Jakarta: Amzah, 2006.

Ali, Moh, Kontekstualisasi al-Qur’an: Studi atas Ayat-ayat Makiyah dan


Madaniah melalui Pendekatan Historis dan Fenomenologis, Jurnal Hunafa,
Vol. VII, No. 1, 2010.

al-Mahalli, Jalaluddin & Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain berikut Asbaabun


Nuzuul, Terj. dari Tafsir Jalalain oleh Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar
Baru al-Gensindo, 1997.

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Terj. dari Tafsir Al-
Maraghi oleh K. Anshori US, dkk, Semarang: CV. Toha Putra, 1994.

Alu Syaikh, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq, Tafsir Ibnu
Katsir, Terj. dari Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir, oleh M. Abdul Ghofur,
Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2009.

Amin Suma, Muhammad, Ulumul Qur‟an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2013.

Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

Arniyuzie, Ulasan Sistematik: Program Ûlû Al-Albâb dalam Sistem Pendidikan di


Malaysia, Jurnal Kurikulum dan Pengajaran Asia Pasifik, Bil 3, Isu 4, 2015.

Ash-Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir,


Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur‟an , Yogyakarta: LKIS, 2005.

Audah, Ali, Konkordansi Qur‟an, Jakarta: Pustaka Lentera AntarNusa, 1991.

Aziz, Rahmat, Kepribadian Ulul Albab, Malang: UIN Maliki Press, 2011.
Azwar, Saefudin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Basid, Abdul, Ulul Albab Sebagai Sosok dan Karekter Saintis yang Paripurna,
jurnal FKIP UNS, vol 3, no. 4, 2012.

Daradjat, Zakiah, dkk., Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi


Aksara, 2001.

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung: PT. Syamil Cipta
Media, 2005.

Hadi, Sutrisno. Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset,1999.

Herawati, Azizah, Kontekstualisasi Konsep Ûlû al-Albâb di Era Sekarang, Jurnal


Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, 2015.

Jannah, Miftahul, “Penafsiran Ulul Al-Bab Dalam Tafsir Al-Misbah”, Skripsi


pada UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2015.

Khalil al-Qattan, Manna’, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, Terj. dari Mabaahits Fii
„Uluumil Qur‟an, oleh Mudzakir AS., Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa,
1994.

Ma’luf, Louis, Al-Munjid fi Al-Lughoh, Beirut: Daar Al-Masyriq, 1986.

Munawir, Ahmad Warson, Al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Musthofa, M. lutfi, dkk. Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu


dan Agama, Malang: Lembaga Kajian al-Qur’an dan Sains (LKQS) UIN
Malang, 2007.

Nata, Abuddin, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan: Tafsir Ayat At-Tarbawy, Jakarta:


PT. Raja Grafindo Persada, 2010.

Pusat Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:


Balai Pustaka, 2003.
al-Qardhawi, Yusuf, al-Qur‟an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan,
Terj. dari al-Aqlu wal „ilmu fil Qur‟anil Karim oleh Abdul. H & Irfan. S,
Jakarta: Gema Insani Press, 1998.

Quthb, Sayyid, Tafsir fii Dzhilaali al-Qur‟an, Jakarta: Gema Insani, 2008.

Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur‟an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-


konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996.

..., Intelektual Inteligensia dan Prilaku Politik Bangsa, Risalah Cendikiawan


Muslim, Bandung: Mizan, 1993.

Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus, Bandung:


Mizan, 1998.

Samsudin, Abu, Wawasan Al-Qur‟an tentang Ûlû al-Albâb: Studi Komparasi


Terhadap Pemikiran Wahbah al-Zuhaily dalam Tafsir al-Munir dengan M.
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, Tesis di Pasca Sarjana UIN Sunan
Ampel, Surabaya, 2016.

Shaleh, Qamaruddin Dahlan & M.D Dahlan, Asbabun Nuzul: Latar Belakang
Historis Turunnya al-Qur‟an, Bandung: Diponegoro, 1974.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an,


Jakarta: Lentera Hati 2007.

..., Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Berbagai Persoalan Umat,


Bandung: Mizan, 1997.

Stemind, Pemeriksaan Ûlû al-Albâb melalui Modul STEM Berpadu Stemind, The
Online Journal of Islamic Education, Issue ICIEd, 2014.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed


Methods), Bandung: Alfabeta, 2011.

Sunarto, Ahmad, Kamus Lengkap Al-Fikr, Surabaya: Halim Jaya, 2002.


Syafe’i, Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2006.

Ulum, Miftahul, “Konsep Ulul Albab Q.S Ali-Imran Ayat 190-195 dan
Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam”, Skripsi pada Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo, Semarang, 2011.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa


Dzurriyyah, 2009.

Zainuddin, M., “Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ûlû al-


Albâb”, Malang: UIN Malang Press, 2008.

Zamroni, Pendidikan Islam Berorientasi Masa Depan: Konsep Pendidikan Ulul


Albab Perspektif Imam Suprayogo, Jurnal at-turas, vol 1, No. 1, 2014.
BIODATA PENELITI

Nama : Muhammad Mustain


TTL : Tangerang, 03 Juli 1989
Alamat : Jl. Japos Raya, Pondok Jati Selatan, RT. 07/013 No. 12.
Jurangmangu Barat, Pondok Aren, Tangerang Selatan
Fak/Jur : Ilmu Tarbiyah & Keguruan/Pendidikan Agama Islam
Email : muztok.ajja@gmail.com
CP : 087889210505

Jenjang Pendidikan Formal


SD : SD Negeri 02 Jurangmangu Barat (2002)
MTs. : Al-Mukhlishin, Ciseeng (2005)
MA : Daar el-Qolam, Gintung, Jayanti (2009)
S1 : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengalaman Organisasi
1. Ketua OSIS MTs. Al-Mukhlishin, Ciseeng (2004-2005)
2. Wakil Ketua ISMI Putra, Daar el-Qolam II (2007-2008)
3. Pengurus HMJ PAI UIN Jakarta (2011-2012)

Anda mungkin juga menyukai