Sejak lahir sampai mati, perasaan manusia, pemikirannya, dan tindakannya adalah
refleksi dari definisi sosial terhadap jenis kelamin. Semenjak dilahirkan, pertanyaan
yang muncul adalah “Apakah bayinya laki-laki atau perempuan?”. Pertanyaan ini
bukan sekadar ingin tahu tentang jenis kelamin, tetapi juga membawa semua
perspektif yang berkaitan dengan kehidupan sang anak. Jika bayinya laki-laki maka
harus begini, jika perempuan maka harus begitu, dan seterusnya.
Menurut sosiolog yang bernama Jessie Bernard, berpendapat bahwa model
sosialisasi yang dilakukan oleh masyarakat menyesuaikan gender masing-masing
anak. Misalnya di pelbagai masyarakat orang tua sejak awal memperlakukan anak
laki-laki dengan anak perempuannya secara berbeda. Anak laki-laki diharapkan dan
dibentuk sebagai anak yang lebih kuat, lebih agresif, dan lebih mampu memimpin
ketimbang anak perempuan yang lebih lemah, lembut, dan sedikit tegas. Dalam
perbincangan mengenai peran gender pun demikian, ada yang beranggapan bahwa
peran laki-laki dan peran perempuan itu terwariskan sesuai statusnya secara biologis
sehingga karena perempuan secara fisik lebih lemah maka “seharusnya” berperan di
sektor domestik di dalam rumah yang secara fisik akan terlindungi. Sebaliknya, peran
laki-laki otomatis “terwariskan” oleh statusnya secara biologis yang kuat dan perkasa
sehingga lebih tepat bila berperan di luar rumah di sektor publik. Nampak bahwa,
peran gender ini merupakan konstruksi sosial dan budaya dari masyarakat, yaitu
peran yang dideterminasi oleh nilai, norma, dan aturan yang ada di dalam masyarakat.
Sehingga dari hasil konstruksi sosial tersebut, masyarakat menganggap bahwa
perlunya pembedaan sosialisasi antara laki-laki dan perempuan karena menganggap
peran yang dimeban oleh masing-masing dari mereka pun berbeda.
Sumber:
https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/apa-itu-stratifikasi-sosial-definisi-
penyebab-teori-di-sosiologi-f8E2
https://www.sosiologi79.com/2017/04/teori-fungsional-mengenai-
stratifikasi.html?m=1