Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
Irma Rahmawati
Tina Nurlaela
Euis Nurafifah
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
iv
BAB II
PEMBAHASAN
A. DO’A
1. Pengertian Do’a
Doa merupakan salah satu jenis ibadah yang luar biasa. Permohonan manusia
kepada Allah dihitung juga sebagai ibadah. Pada saat yang bersamaan, doa meski
praktiknya sama saja dimaknai secara berbeda oleh manusia sesuai dengan tingkat
spiritual mereka. Artinya, “Terkait doa, manusia terbagi menjadi tiga kelompok:
awam, khawas, dan khawashul khawash,” (Syekh Ali bin Abdullah bin Ahmad
Baras, Syifa’us Saqam wa Fathu Khaza’inil Kalim fi Ma’nal Hikam, [Beirut,
Darul Hawi: 2018 M/1439 H], halaman 132). Syekh Ali Baras menerangkan
secara rinci tiga jenis manusia yang dimaksud dalam kaitannya dengan doa :
v
keramahan ini khusus untukku atau umum untuk hamba-hamba-Mu?”
tanya Nabi Musa AS. “Untuk setiap orang yang memanggil-Ku dengan
seruan tersebut (Yā rabbi),” kata Allah. Orang khawashul khawash tidak
memiliki tujuan, permintaan, permohonan perlindungan apapun dalam doa
mereka. Mereka dengan doa hanya menyukai jawaban atau talbiyah Allah,
senang “berdampingan” dengan-Nya, dan menikmati “perbincangan”
dengan-Nya. (Syekh Ali Baras, 2018 M: 134). Keterangan ini diangkat
ketika Syekh Ali Baras menerangkan salah satu butir hikmah Al-Hikam
berikut ini: Artinya, “Jangan sampai penundaan ijabah atau pemberian
Allah yang disertai dengan keseriusan doa membuatmu putus asa. Allah
telah menjamin ijabah-Nya pada sesuatu yang Dia pilihkan untukmu,
bukan pada apa yang kaupilihkan untuk dirimu, dan pada waktu yang Dia
kehendaki, bukan pada waktu yang kauinginkan.” (Syekh Ibnu Athaillah,
Al-Hikam). Syekh Ali Baras terkait hikmah ini berpesan agar umat Islam
menjauhkan diri dari sikap putus asa karena misalnya doa yang menurut
ukuran mereka belum terkabul. Pasalnya, putus asa adalah sifat orang
kafir, orang ingkar, dan orang yang durhaka kepada Allah. Wallahu a’lam.
2. Keutamaan Doa
vi
Dengan doa manusia akan mendapat pengampunan Allah sehingga
jiwanya lebih tenang.
B. ZUHUD
1. Pengertian Zuhud
Jika berbicara tentang zuhud ini ada kaitannya dengan sufi, maksudnya
zuhud merupakan bagian dari sufi. Zuhud dalam istilah tasawuf berarti
jalan spiritual atau tahapan-tahapan spiritual (maqamat) yang harus dilalui
seorang sufi. Zuhud artinya sikap menjauhkan diri dari segala sesuatu yang
berkaitan dengan dunia. Seorang yang zuhud seharusnya hatinya tidak
terbelenggu atau hatinya tidak terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi
dan tidak menjadikannya sebagai tujuan. Hanya sarana untuk mencapai
derajat ketaqwaan yang merupakan bekal untuk akhirat. Allah berfirman
dalam surat An-Nisa’ (4):77, yang artinya: “Katakanlah, ‘kesenangan
dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang
yang bertaqwa,”
2. Tanda-tanda Zuhud
Ada tiga tanda kezuhudan yang harus ada pada batin seseorang:
Pertama, tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih
karena hal yang hilang. Sebagaimana firman Allah: “Supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (al-
Hadid:23)
Kedua, sama saja disisinya orang yang mencela dan orang yang
mencacinya. Yang pertama merupakan tanda zuhud dalam harta
sedangkan yang kedua merupakan tanda zuhud dalam kedudukan.
Ketiga, hendaknya ia bersama Allah dan hatinya lebih banyak
didominasi oleh lezatnya ketaatan, karena hati tidak dapat terbebas sama
vii
sekali dari cinta; cinta dunia atau cinta Allah. Kedua cinta ini di dalam hati
seperti air dan udara yang ada di dalam gelas. Apabila air dimasukkan
kedalam gelas maka udara pun akan keluar. Keduanya tidak dapat
bertemu. Setiap orang yang akrab dengan Allah pasti ia akan sibuk
dengan-Nya dan tidak akan sibuk dengan selain-Nya. Oleh karena itu
dikatakan sebagian me"reka, “Kepada apa zuhud itu membawa mereka?”
dijawab, “Kepada keakraban dengan Allah.” Sedangkan keakraban dengan
dunia dan keakraban dengan Allah tidak akan pernah bertemu.
Jadi tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan
kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan, karena adanya dominasi
keakraban dengan Allah. Dari tanda-tanda ini tentu muncul beberapa tanda yang
lainnya.
Yahya bin Mu’adz berkata, “Tanda zuhud adalah kedermawanan dengan apa
yang ada.”
Ibnu Khafif berkata, “Tandanya ialah adanya rasa lega dalam keluar dari
kepemilikan. “Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.”
Ahmad bin Hanbal dan Sufyan rahimahumallah berkata, “Tanda zuhud
pendeknya angan-angan.”
As-Surri berkata, “Tidak akan baik kehidupan orang yang zuhud apabila ia
sibuk dari dirinya, dan tidak akan baik kehidupan orang yang ‘arif apabila ia sibuk
dengan dirinya.”
As-Surri berkata lagi, “Aku telah mempraktekan segala sesuatu dari perkara
zuhud lalu aku mendapatkan darinya apa yang aku inginkan kecuali zuhud pada
orang; karena sesungguhnya aku tidak dapat mencapainya dan tidak kuasa
mendapatkannya.”
Al-Fudhail rahimahumallah berkata, “Allah menjadi segenap keburukan
dalam sebuah rumah dan menjadikan kuncinya adalah cinta dunia. Dan Allah
menjadikan segenap kebaikan dalam sebuah rumah dan menjadikan kuncinya
adalah zuhud dari dunia.”
viii
C. RIDHO
1. Pengertian Ridho
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan
ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang kada dan kadar Tuhan. Menerima
kada dan kadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaaan benci dari hati
sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa
senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat.
Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijatuhkan dari nerak. Tidak
berusaha sebelum turunnya kada dan kadar, tidak merasa pahit dan Sakit sesudah
turunnya kada dan kadar, malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya
bala’ (cobaan yang berat).
Orang yang berhati rela terhadap takdir, hatinya senantiasa gembira, meski
mengidap penyakit atau tertimpa kemiskinan dan malapetaka yang melintang,
lantaran dia berpandangan bahwa itu terjadi selaras dengan kehendak Allah SWT.
Setelah mencapai maqom tawakal, nasib hidup mereka bulat-bulat diserahkan
pada Pemeliharaan dan rahmat Allah, meninggalkan dan membelakangi segala
keinginan terhadap apa sja yang selain Tuhan, maka selanjutnya harus segera
diikuti menata hati mencapai maqom ridha. Maqom ridha adalah ajaran untuk
menanggapi da mengubah segala bentuk pebderitaan, kesengsaraan, dan
kesusahaan menjadi kegembiraan dan kenikmatan.
ix
Allah SWT berfirman yang artinya:
“ ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaraan
mereka. Bagi mereka surga yang dibawahnya mengair sungai-sungai; mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka dan merekapun
ridha trhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar”. (Qs. Al-
Maidah:119)
x
1. Ibn Khafi mengatakan“ Ridha adalah hati menerima ketentuan tuhan, dan
persetujuan hainya terhadap yang diridhoi Allah untuknya”.
2. Abu Bakar Thahir mengatakan“ ridha itu hilangnya ketidaksenangan dari
hatinya, sehinggan yang tinggal kegembiraan dan kesenangan (suka cita) dalam
ketentraman jiwa dan hatinya”.
2. Macam-macam Ridho
xi
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari materi yang telah disampaikan adalah :
Daftar Pustaka
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/123559/3-makna-doa-dalam-kajian-
tasawuf
xii